Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kesehatan bayi baru lahir kurang dari 1 bulan (neonatal) menjadi hal yang
sangat penting karena akan menentukan apakah generasi kita yang akan datang
dalam keadaan sehat dan berkualitas. Upaya untuk meningkatkan kesehatan maternal
dan neonatal menjadi sangat strategis bagi upaya pembangunan sumber daya
manusia yang berkualitas. Keberhasilan upaya tersebut dapat dilihat dari penurunan
Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB), khususnya angka
kematian bayi baru lahir (neonatal).
Angka kematian bayi merupakan indikator yang dapat digunakan untuk
menilai tingkat kesehatan masyarakat secara umum yang sekaligus memperlihatkan
keadaan dan sistem pelayanan kesehatan di masyarakat, karena dapat dipandang
sebagai output dari upaya peningkatan kesehatan secara keseluruhan. Penurunan
AKB yang berdampak langsung terhadap meningkatnya usia harapan hidup
merupakan kredit poin dalam menimbang keberhasilan pembangunan kesehatan.
Berdasarkan penelitian WHO di seluruh dunia, AKI sebesar 500.000 jiwa
pertahun dan kematian bayi khususnya neonatus sebesar 10.000.000 jiwa
pertahun. Kematian maternal dan bayi tersebut terjadi terutama di negara
berkembang sebesar 99%.
Berdasarkan Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002/ 2003,
AKI di Indonesia masih berada pada angka 307/ 100.000 kelahiran hidup atau setiap
jam terdapat 2 orang ibu bersalin meninggal dunia karena berbagai sebab. AKB,
khususnya angka kematian bayi baru lahir (neonatal) masih berada pada kisaran 20/
1000 kelahiran hidup.
AKB di Jawa Barat disebabkan oleh penyebab langsung kematian bayi, yaitu
: Asfiksia, komplikasi pada bayi berat lahir rendah (BBLR), dan infeksi, sedangkan
penyebab tidak langsung mendasar yang mempengaruhi AKI dan AKB adalah faktor
lingkungan, faktor genetik dan pelayanan kesehatan.

1
Salah satu komplikasi yang dapat terjadi pada bayi berat lahir rendah adalah
ikterus neonatorum. Gejala ini sangat umum terjadi pada bayi baru lahir antara usia
satu sampai tujuh hari. Bahkan ada sekitar 60% pada bayi yang lahir cukup bulan dan
80% pada bayi yang lahir kurang bulan.
Ikterik merupakan salah satu dari beberapa masalah yang sering timbul baik
pada bayi baru lahir maupun pada bayi. Peran bidan dan masyarakat atau ibu adalah
bagian penting dalam mengatasi masalah bayi, oleh karena bidan dan ibu harus dapat
melakukan penanganan dan mencari solusi untuk mengatasi masalah tersebut,
khususnya masalah neonatus dan bayi yang ikterus.

2
BAB II
LANDASAN TEORI
BBL DENGAN IKTERUS NEONATORUM

A. DEFINISI
Ikterus ialah suatu gejala yang perlu mendapat perhatian sungguh-sungguh pada
neonatus. Ikterus ialah suatu diskolorasi kuning pada kulit konjungtiva dan mukosa
akibat penumpukan bilirubin. Gejala ini seringkali ditemukan terutama pada bayi
kurang bulan atau yang menderita suatu penyakit yang bersifat sismetik.
(Abdoerrachman, H, dkk.1981 Kegawatan pada anak. Jakarta. Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran. Universitas Indonesia)

B. METABOLISME BILIRUBIN
1. Produksi : Sumbernya ialah produk degradasi hemoglobin, sebagian lain dari
sumber lain.
2. Tranportasi : Bilirubin indirek dalam ikatannya dengan albumin diangkut ke
hepar untuk diolah oleh sel hepar. Pengolahan dipengaruhi oleh protein Y.
3. Konjugasi : Dalam sel hepar bilirubin dikonjugasi menjadi bilirubin direk dengan
pengaruh enzim glukuronil transferase, bilirubin direk diekskresi ke usus melalui
duktus koledokus.
4. Sirkulasi Enterohepatik : Sebagian bilirubin direk diserap kembali kehepar dalam
bentuk bilirubin indirek yang bebas. Penyerapan ini bertambah pada pemberian
makanan yang lambat atau pada obstruksi usus.
(Abdoerrachman, H, dkk.1981 Kegawatan pada anak. Jakarta. Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran. Universitas Indonesia)

C. BILIRUBIN ADA DUA JENIS


1. Bilirubin Indirek
a. Yang belum dikonjugasi
b. Larut dalam lemak sehingga mudah melekat pada sel otak dalam keadaan
bebas

3
c. Ekstresi pada janin melalui plasenta. Pada neonatus, dengan peoses konjugasi
diubah menjadi bilirubin direk
2. Bilirubin direk
a. Larut dalam air
b. Ekstresi melalui usus dan pada keadaan obstruksi melalui ginjal

Ikterus terjadi akibat penumpukan bilirubin karena :


1. Produksi yang berlebihan, misalnya pada proses hernolisis
2. Gangguan tranportasi, misalnya hipoalbuminemia pada bayi kurang bulan
3. Gangguan pengolahan oleh hepar
4. Gangguan fungsi hepar atau imaturitas hepar
5. Gangguan ekskresi atau obstruksi
(Abdoerrachman, H, dkk.1981 Kegawatan pada anak. Jakarta. Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran. Universitas Indonesia)

D. HIPERBILIRUBINEMIA
a. Suatu penumpukan bilirubin indirek yang mencapai suatu kadar tertentu yang
mempunyai potensi menyebabkan kerusakan otot.
b. Kadar yang paling rendah yang dapat menyebabkan kerusakan otak belum
diketahui dengan pasti. Kejadian kernikterus pada umumnya terdapat pada kadar
bilirubin lebih dari 20 mg %.
c. Kadar bilirubin yang dapat disebut hiperbilirubinemia dapat berbeda-beda untuk
setiap tempat. Harus diientifikasi sendiri. Di RSCM jakarta kadar itu ialah
bilirubin indirek yang lebih dari 10 mg %.

Bahaya Hiperbilirubinemia :
a. Minimal : Kelainan Kognitif
b. Berat : Kernikterus Kematian

E. Pendekatan Untuk Mengetahui Penyebab Ikterus Pada Neonatus


Etiologi ikterus pada neonatus kadang-kadang sangat sulit untuk ditegakkan.
Seringkali faktor etiologinya jarang berdiri sendiri. Untuk memudahkan maka dapat

4
dipakai pendekatan tertentu dan yang mudah dipakai ialah menurut saat terjadinya
ikterus :

I. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama


Penyebab ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya kemungkinan
dapat disusun sebagai berikut :
1. Inkompatibilitas darah Rh, ABO atau golongan lain
2. Infeksi intrauterin (oleh virus, toksoplasma, sifilis, dan kadang-kadang bakteria)
3. Kadang-kadang oleh defisiensi enzim G6PD

Pemeriksaan yang perlu dilakukan ialah :


a. Kadar bilirubin serum berkala
b. Darah tepi lengkap
c. Golongan darah ibu dan bayi
d. Tes coombs
e. Pemeriksaan strining defiensi enzim G6PD, biarkan darah atau biopsi hepar bila
perlu

II. Ikterus yang timbul 24-72 jam sesudah lahir. (Abdoerrachman, H,


dkk.1981Kegawatan pada anak. Jakarta. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran. Universitas Indonesia)
1. Biasanya ikterus fisiologik
2. Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ABO atau Rh atau golongan lain.
Hal ini dapat diduga kalau peningkatan kadar bilirubin cepat, misalnya melebihi 5
mg % per 24 jam
3. Defiensi enzim G6PD atau enzim eritrosit lain, juga masih mungkin.
4. Polisitemia
5. Hemolisis perdarahan tertutup (perdarahan subapeneurosis, perdarahan hepar,
subkapsula dan lainnya).
6. Hipoksia
7. Sfersitosis, eliptositosis dan lain-lain
8. Dehidrasi-asidosis

5
Pemeriksaan yang perlu dilakukan :
Bila keadaan bayi baik dan peningkatan ikterus tidak cepat :
a. Pemeriksaan darah tepi
b. Pemeriksaan darah bilirubin berkala
c. Pemeriksaan skrining enzim G6PD
d. Pemeriksaan lain-lain dilakukan bila perlu

III. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu
pertama. (Abdoerrachman, H, dkk.1981 Kegawatan pada anak. Jakarta.
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran. Universitas Indonesia)
1. Biasanya karena infeksi (sepsis)
2. Dehidrasi dan asiolosis
3. Defisiensi enzim G6PD
4. Pengaruh obat-obat
5. Sindroma Criggler-najjar
6. Sindroma Gilbert

IV. Ikterus yang timbul pada akhir mingu pertama dan


selanjutnya.(Abdoerrachman, H, dkk.1981 Kegawatan pada anak. Jakarta.
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran. Universitas Indonesia)
1. Biasanya karena ikterus obstruktif
2. Hipotiroidisme
3. “ Breast milk jaundice”
4. Infeksi
5. Hepatitis neonatal
6. Galaktosemia
7. Lain-lain

Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan :


a. Pemeriksaan bilirubin berkala
b. Pemeriksaan darah tepi
c. Skrining enzim G6PD

6
d. Biarkan darah, biopsi hepar bila ada indikasi
e. Pemeriksaan lain-lain yang berkaitan dengan kemungkinan penyebab

F. PENATALAKSANAAN (Abdoerrachman, H, dkk.1981 Kegawatan pada


anak.Jakarta. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran. Universitas
Indonesia)
1. Ikterus yang kemungkinan besar menjadi patologik ialah :
a. Ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama
b. Ikterus dengan kadar bilirubin melebihi 10 mg % pada bayi cukup bulan dan
12,5 % pada bayi kurang bulan
c. Ikterus dengan peningkatan bilirubin lebih dari 5 mg % per hari
d. Ikterus yang sudah menetap sesudah 1 minggu pertama
e. Kadar bilirubin direk melebhi 1 mg %
f. Ikterus yang mempunyai hubungan dengan proses hemolitik, infeksi atau
keadaan patalogik lain yang telah diketahui
2. Pencegahan
Ikterus dapat dicegah dan dihentikan peningkatannya dengan :
a. Pengawasan antenatal yang baik
b. Menghindari obat-obat yang dapat meningkatkan ikterus pada bayi, pada
masa kehamilan dan kelahiran misalnya : Sulfafurazol, oksitosin dan lain-lain
c. Pencegahan dan mengobati hipoksia pada janin dan neonatus
d. Penggunaan fenobarbital pada ibu 1-2 hari sebelum partus
e. Iluminasi yang baik bangsal bayi baru lahir
f. Pemberian makanan yang dini
g. Pencegahan infeksi
3. Mengatasi Hiperbilirubinemia
a. Mempercepat proses konjugasi, misalnya pemberian fenobarbital.
Fenobarbital dapat bekerja sebagai perangsang enzim sehingga konjugasi
dapat dipercepat. Pengobatan dengan cara ini tidak begitu efektif dan
membutuhkan waktu 48 jam baru terjadi penurunan bilirubin yang berarti,

7
mungkin lebih bermanfaat bila diberikan pada ibu ± 2 hari sebelum kelahiran
bayi.
b. Memberikan substrat yang kurang untuk tranportasi atau konjugasi.
Contohnya ialah pemberian albumin untuk meningkatkan bilirubin bebas.
Albumin dapat diganti dengan plasma dengan dosis 30 ml/kg BB. Pemberian
glukosa perlu untuk konjugasi hepar sebagai sumber energi.
c. Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi ini ternyata setelah
dicoba dengan alat-alat bantuan sendiri dapat menurunkan kadar bilirubin
dengan cepat. Walaupun demikian fototerapi tidak dapat menggantikan
tranfusi tukar pada proses hemolisis berat. Fototerapi dapat digunakan untuk
pra dan pasca tranfusi tukar alat fototerapi dapat dibuat sendiri.
4. Pengobatan Umum
Pengobatan terhadap etiologi atau faktor-faktor penyebab bagaimana mungkin
dan perwatan yang baik. Hal-hal lain perlu diperhatikan ialah : Pemberian
makanan yang dini dengan cairan dan kalori cukup dan iluminasi (penerangan)
kamar dan bangsal bayi yang baik.
5. Tindak lanjut
Sebagai akibat hiperbilirubinemia perlu dilakukan tindak lanjut sebagai berikut
ini :
a. Evaluasi berkala pertumbuhan dan perkembangan
b. Evaluasi berkala pendengaran
c. Fisioterapi dan rehabilitas bila terdapat gejala sisa
Alat yang digunakan
Lampu Fluoresensi sebanyak 10 buah @20 watt dengan gelombang sekitar
425-475 nm. Jarak antara sumber cahaya dan bayi sekitar 18 inci. Diantara
sumber cahaya dan bayi ditempatkan kaca pleksi 200-400 jam penyinaran,
kemudian harus diganti.
Lampu Fluoresensi yang dapat dipakai ialah :
a. “Cool White”
b. “day Light”
c. “Vita-Kite”

8
d. “Blue”
e. “Special Blue”

Berdasarkan pada penyebabnya, maka manejemen bayi dengan


Hiperbilirubinemia diarahkan untuk mencegah anemia dan membatasi efek dari
Hiperbilirubinemia. Pengobatan mempunyai tujuan :
1. Menghilangkan Anemia
2. Menghilangkan Antibodi Maternal dan Eritrosit Tersensitisasi
3. Meningkatkan Badan Serum Albumin
4. Menurunkan Serum Bilirubin
Metode therapi pada Hiperbilirubinemia meliputi : Fototerapi, Transfusi
Pengganti, Infus Albumin dan Therapi Obat.

Fototherapi
Fototherapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan Transfusi
Pengganti untuk menurunkan Bilirubin. Memaparkan neonatus pada cahaya
dengan intensitas yang tinggi ( a boun of fluorencent light bulbs or bulbs in the
blue-light spectrum) akan menurunkan Bilirubin dalam kulit. Fototherapi
menurunkan kadar Bilirubin dengan cara memfasilitasi eksresi Biliar Bilirubin tak
terkonjugasi. Hal ini terjadi jika cahaya yang diabsorsi jaringan mengubah
Bilirubin tak terkonjugasi menjadi dua isomer yang disebut Fotobilirubin.
Fotobilirubin bergerak dari jaringan ke pembuluh darah melalui mekanisme
difusi. Di dalam darah Fotobilirubin berikatan dengan Albumin dan dikirim ke
Hati. Fotobilirubin kemudian bergerak ke Empedu dan diekskresi ke dalam
Deodenum untuk dibuang bersama feses tanpa proses konjugasi oleh Hati (Avery
dan Taeusch 1984). Hasil Fotodegradasi terbentuk ketika sinar mengoksidasi
Bilirubin dapat dikeluarkan melalui urine.
Fototherapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar
Bilirubin, tetapi tidak dapat mengubah penyebab Kekuningan dan Hemolisis dapat
menyebabkan Anemia.
Secara umum Fototherapi harus diberikan pada kadar Bilirubin Indirek 4 -
5 mg / dl. Neonatus yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus di

9
Fototherapi dengan konsentrasi Bilirubun 5 mg / dl. Beberapa ilmuan
mengarahkan untuk memberikan Fototherapi Propilaksis pada 24 jam pertama
pada Bayi Resiko Tinggi dan Berat Badan Lahir Rendah.

Tranfusi Pengganti
Transfusi Pengganti atau Imediat diindikasikan adanya faktor-faktor :
1. Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu.
2. Penyakit Hemolisis berat pada bayi baru lahir.
3. Penyakit Hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam pertama.
4. Tes Coombs Positif
5. Kadar Bilirubin Direk lebih besar 3,5 mg / dl pada minggu pertama.
6. Serum Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg / dl pada 48 jam pertama.
7. Hemoglobin kurang dari 12 gr / dl.
8. Bayi dengan Hidrops saat lahir.
9. Bayi pada resiko terjadi Kern Ikterus.

Transfusi Pengganti digunakan untuk :


1. Mengatasi Anemia sel darah merah yang tidak Suseptible (rentan) terhadap sel
darah merah terhadap Antibodi Maternal.
2. Menghilangkan sel darah merah untuk yang Tersensitisasi (kepekaan)
3. Menghilangkan Serum Bilirubin
4. Meningkatkan Albumin bebas Bilirubin dan meningkatkan keterikatan dengan
Bilirubin
Pada Rh Inkomptabiliti diperlukan transfusi darah golongan O segera
(kurang dari 2 hari), Rh negatif whole blood. Darah yang dipilih tidak
mengandung antigen A dan antigen B yang pendek. setiap 4 - 8 jam kadar
Bilirubin harus dicek. Hemoglobin harus diperiksa setiap hari sampai stabil.

Therapi Obat
Phenobarbital dapat menstimulasi hati untuk menghasilkan enzim yang
meningkatkan konjugasi Bilirubin dan mengekresinya. Obat ini efektif baik
diberikan pada ibu hamil untuk beberapa hari sampai beberapa minggu sebelum

10
melahirkan. Penggunaan penobarbital pada post natal masih menjadi pertentangan
karena efek sampingnya (letargi).
Colistrisin dapat mengurangi Bilirubin dengan mengeluarkannya lewat urine
sehingga menurunkan siklus Enterohepatika.
Berdasarkan pada penyebabnya, maka manejemen bayi dengan
Hiperbilirubinemia diarahkan untuk mencegah anemia dan membatasi efek dari
Hiperbilirubinemia. Pengobatan mempunyai tujuan :
5. Menghilangkan Anemia
6. Menghilangkan Antibodi Maternal dan Eritrosit Tersensitisasi
7. Meningkatkan Badan Serum Albumin
8. Menurunkan Serum Bilirubin
Derajat pada neonatus menurut KRAMER
Zona Bagian tubuh yang kuning Rata-rata serum indirek (umol / l)
1 Kepala dan leher 100
2 Pusat dan leher 150
3 Pusat dan paha 200
4 Lengan + tungkai 250
5 Tangan + kaki >250

Tatalaksana ikterus pada neonatus sehat cukup bulan berdasarkan bilirubin indirek
(mg / dl)
Usia Pertimbangkan Terapi Tranfusi tukar bila Tranfusi tukar dan
(jam) terapi sinar sinar terapi sinar terapi sinar intesif
intensif gagal
<24 … … … …
25-48 >11,8 >15,3 >20 >25,3
49-72 >15,3 >18,2 >25,3 >30
>72 >17 >20 >25,3 >30

11
G. Batasan – batasan
1. Ikterus Fisiologis
Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis adalah Ikterus
yang memiliki karakteristik sebagai berikut (Hanifa, 1987):
· Timbul pada hari kedua-ketiga
· Kadar Biluirubin Indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg% pada
neonatus cukup bulan dan 10 mg % pada kurang bulan.
· Kecepatan peningkatan kadar Bilirubin tak melebihi 5 mg % per hari
· Kadar Bilirubin direk kurang dari 1 mg %
· Ikterus hilang pada 10 hari pertama
· Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadan patologis tertentu

2. Ikterus Patologis/Hiperbilirubinemia
Adalah suatu keadaan dimana kadar Bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai
yang mempunyai potensi untuk menimbulkan Kern Ikterus bila tidak
ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan keadaan yang
patologis. Brown menetapkan Hiperbilirubinemia bila kadar Bilirubin mencapai
12 mg% pada cukup bulan, dan 15 mg % pada bayi kurang bulan. Utelly
menetapkan 10 mg% dan 15 mg%.
3. Kern Ikterus
Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan Bilirubin Indirek pada otak
terutama pada Korpus Striatum, Talamus, Nukleus Subtalamus, Hipokampus,
Nukleus merah , dan Nukleus pada dasar Ventrikulus IV.

H. Patofisiologi Hiperbilirubinemia
Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan .
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban
Bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat
peningkatan penghancuran Eritrosit, Polisitemia.
Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan
peningkatan kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y
dan Z berkurang, atau pada bayi Hipoksia, Asidosis. Keadaan lain yang

12
memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah apabila ditemukan
gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi
misalnya sumbatan saluran empedu.
Pada derajat tertentu Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak
jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang
bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. sifat ini
memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila Bilirubin tadi
dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut
Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut
mungkin akan timbul apabila kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl.
Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata
tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah
melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan Berat Badan Lahir
Rendah , Hipoksia, dan Hipoglikemia ( AH, Markum,1991).
I. Etiologi
1. Peningkatan produksi :
· Hemolisis, misal pada Inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat
ketidaksesuaian golongan darah ibu dan anak pada penggolongan Rhesus
dan ABO.
· Pendarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran.
· Ikatan Bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolik yang
terdapat pada bayi Hipoksia atau Asidosis .
· Defisiensi G6PD/ Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase.
· Ikterus ASI yang disebabkan oleh dikeluarkannya pregnan 3 (alfa), 20 (beta)
, diol (steroid).
· Kurangnya Enzim Glukoronil Transeferase , sehingga kadar Bilirubin
Indirek meningkat misalnya pada berat lahir rendah.
· Kelainan kongenital (Rotor Sindrome) dan Dubin Hiperbilirubinemia.
2. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya
pada Hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya
Sulfadiasine.

13
3. Gangguan fungsi Hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau
toksion yang dapat langsung merusak sel hati dan darah merah seperti
Infeksi , Toksoplasmosis, Siphilis.
4. Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ekstra Hepatik. Peningkatan
sirkulasi Enterohepatik misalnya pada Ileus Obstruktif

14
BAB III
PENUTUP

Asuhan Kebidanan pada hiperbilirubinemia merupakan penatalaksanaan yang


memerlukan perhatian khusus sesuai dengan prosedur yang berlaku, apabila
penangannya tidak tepat akan menimbulkan keadaan yang lebih parah, yang dapat
menimbulkan kecacatan.
Prinsip penanganan pada bayi hiperbilirubinemia dilakukan dengan
mempercepat konjugasi, mempermudah konjugasi, melakukan dekompensasi
bilirubin, mengeluarkan bilirubin dengan transfusi tukar. Sebagai bidan dalam
memberikan asuhan kebidanan untuk mengatasi akibat dari prosedur di atas yang
dialami oleh klien.
Klien Ny. T yang dirawat di ruang Anggrek . RSUD . JOMBANG dengan
mendapatkan fototerapi mengalami beberapa masalah dan memerlukan kerja sama
yang baik dari tim kesehatan dengan keikutsertakan keluarga untuk mengatasi
masalah tersebut dengan harapan mempercepat proses penyembuhan.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Rachman. M & Dardjat, M. T. 1987. Buku saku Segi-segi Praktris Ilmu


Kesehatan Anak. Jakarta. Kelompok minat Penulisan ilmiah Kedokteran Fakultas
Kedokteran Salemba.

2. Abdoerrachman, H, dkk. 1981. Kegawatan Pada Anak. Jakarta. Bagian Ilmu


Kesehatan Anak Fakultas kedokteran. Universitas Indonesia.

3. Mansjoer, Arif M. 2005. Kapita Selekta Kedokteran jilid 2. Jakarta. Media


Aesculapius.

16

Anda mungkin juga menyukai