Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEBIDANAN KOLABORASI PADA NIFAS PATOLOGI


DI PUSKESMAS KEDUNGBANTENG

Untuk memenuhi persyaratan Stage Kolaborasi


Pada Kasus Patologi Dan Komplikasi

Oleh :
ENY SULISTYOWATI
P1337424821110

PRODI PROFESI BIDAN JURUSAN KEBIDANAN SEMARANG


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SEMARANG
2021/2022
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus di Puskesmas Kedungbanteng, telah disahkan oleh pembimbing


pada:
Hari :
Tanggal :
Dalam Rangka Praktik Klinik Kebidanan Kolaborasi Pada Kasus Patologi Dan
Komplikasi yang telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing klinik dan
pembimbing institusi Prodi Profesi Kebidanan Jurusan Kebidanan Politeknik
Kesehatan Kementerian Kesehatan Semarang.

Banyumas, April 202

Pembimbing Klinik Praktikan

Endarwati,Amd.Keb Eny Sulistyowati


NIP: 19651123 199203 2 004 NIM: P1337424821110

Mengetahui,
Pembimbing Institusi

Dewi Andang Prastika,S.ST.M.Kes


NIP. 19910225 201801 2 001
TINJAUAN TEORI

A. Tinjauan Teori Medis


1. Pengertian Nifas
a. Masa nifas adalah masa pemulihan kembali, mulai dari persalinan selesai
sampai alat-alat kandungan kembali seperti sebelum hamil, lama masa
nifas yaitu 6-8 minggu (Purwoastuti and Walyani 2015).
b. Masa nifas adalah masa segera setelah kelahiran sampai 6 minggu.
selama masa ini, fisiologi saluran reproduktif kembali pada keadaan
yang normal (Cunningham, 2013).
c. Masa perperium atau masa nifas dimulai setelah partus selesai dan
berakhir kira-kira 6 minggu. Akan tetapi seluruh alat genital baru pulih
kembali seperti sebelum kehamilan dalam waktu 3 bulan (Prawirohardjo
2012).
d. Masa nifas (puerperium) adalah masa pulih kembali, mulai dari
persalinan selesai sampai alat-alat kandungan kembali seperti prahamil.
Lama masa nifas 6-8 minggu (Mochtar, 2012).
2. Tahapan Masa Nifas
Menurut (Wahyuni, 2018) tahapan masa nifas terbagi menjadi :
a. Periode Immediate postpartum. Masa segera setelah plasenta lahir
sampai dengan 24 jam.
b. Periode early postpartum (>24 jam-1 minggu)
c. Periode late postpartum (>1 minggu-6 minggu)
d. Remote puerperium adalah waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat
terutama bila selama hamil atau bersalin memiliki penyulit atau
komplikasi(Wahyuni, 2018).
Sedangkan menurut Sukma, Hidayati and Jamil (2017) tahapan nifas
normal meliputi :
a. Puerperium dini
Puerperium dini merupakan masa kepulihan, yaitu kepulihan ketika
ibu telah diperbolehkan berdiri dan berjalan. Dalam agama islam
dianggap telah bersih dan boleh bekerja setelah 40 hari
b. Puerperium intermedial
Puerperium intermedial merupakan masa kepulihan menyeluruh
alat-alat genetalia lamanya 6 sampai 8 minggu
c. Remote puerperium
Remote puerperium merupakan masa yang diperlukan untuk pulih
dan sehat sempurna, waktu untuk sehat sempurna dapat berlangsung
selama berminggu-minggu, bulanan, bahkan tahunan.
3. Perubahan Fisiologis Masa Nifas
Menurut (Sulistyawati, 2010), pada masa nifas terjadi perubahan-
perubahan anatomi dan fisiologi pada ibu, yaitu:
a. Perubahan Sistem Reproduksi
1) Uterus
a) Pengerutan rahim (involusi)
Involusi merupakan suatu proses kembalinya uterus pada
kondisi sebelum hamil. Pada 6 minggu post partum, fundus uteri
mengecil (tak teraba) dengan berat 50 gram.
Setelah placenta lahir, uterus merupakan alat yang keras
karena kontraksi dan retraksi otot – ototnya. Fundus uteri ± 3 jari
bawah pusat. Selama 2 hari berikutnya, besarnya tidak seberapa
berkurang tetapi sesudah 2 hari, uterus akan mengecil dengan
cepat, pada hari ke – 10 tidak teraba lagi dari luar. Setelah 6
minggu ukurannya kembali ke keadaan sebelum hamil. Pada ibu
yang telah mempunyai anak biasanya uterusnya sedikit lebih
besar daripada ibu yang belum pernah mempunyai anak.
Involusi terjadi karena masing – masing sel menjadi lebih
kecil, karena sitoplasma nya yang berlebihan dibuang, involusi
disebabkan oleh proses autolysis, dimana zat protein dinding
rahim dipecah, diabsorbsi dan kemudian dibuang melalui air
kencing, sehingga kadar nitrogen dalam air kencing sangat
tinggi.
b) Perubahan pembuluh darah rahim
Dalam kehamilan, uterus mempunyai banyak pembuluh-
pembuluh darah yang besar, tetapi karena setelah persalinan
tidak diperlukan lagi peredaran darah yang banyak, maka arteri
harus mengecil lagi dalam nifas(Sukma, Hidayati and Jamil,
2017)
c) Lokhea
Lokhea adalah ekskresi cairan rahim selama masa
nifas.Lokhea yang berbau dan tidak sedap menandakan adanya
infeksi. Lokhea mempunyai perubahan warna dan volume
karena adanya proses involusi.
Lokhea dibedakan menjadi 3 jenis berdasarkan warna dan waktu
keluarnya:
(1) Lokhea rubra
Lokhea ini keluar pada hari pertama sampai hari ke-4 masa
post partum. Cairan berwarna merah karena terisi darah
segar, jaringan sisa-sisa plasenta, dinding rahim, lemak bayi,
lanugo (rambut bayi), dan mekonium.
(2) Lokhea sanguinolenta
Lokhea ini berwarna merah kecokelatan dan berlendir,
berlangsung dari hari ke-4 sampai hari ke-7 post partum.
(3) Lokhea serosa
Lokhea ini berwarna kuning kecokelatan karena
mengandung serum, leukosit, dan robekan atau laserasi
plasenta. Keluar pada hari ke-7 sampai hari ke-14
(4) Lokhea alba
Lokhea ini mengandung leukosit, sel desidua, sel epitel,
selaput lendir serviks, dan serabut jaringan yang mati.
Lokhea alba ini dapat berlangsung selama 2-6 minggu post
partum.
2) Perubahan pada serviks
Perubahan yang terjadi pada serviks ialah bentuk serviks agak
menganga seperti corong, segera setelah bayi lahir. Pada minggu ke-
6 post partum, serviks sudah menutup kembali.
3) Vulva dan vagina
Vulva dan vagina mengalami peregangan yang sangat besar, pada
minggu ke-3 post partumvulva dan vagina dapat kembali seperti
keadaan tidak hamil.
4) Perineum
Padahari ke-5 sebagian tonus perineum sudah kembali, meskipun
tetap lebih kendur daripada keadaan sebelum hamil.
Berdasarkan penelitian (Ernawati and Rejeki, 2010) bahwa
penyembuhan luka perineum tidak dipengaruhi oleh faktor umur,
penyakit yang diderita, status obstetri, kondisi luka jahitan, lingkar
lengan atas, besar luka, jenis luka dan lama hari rawat. Namun, nilai
kadar Hb ibu pasca persalinan berpengaruh terhadap penyembuhan
luka perineum.
b. Perubahan sistem pencernaan
Biasanya ibu akan mengalami konstipasi setelah persalinan, dapat
diatasi dengan diet tinggi serat, peningkatan asupan cairan, dan ambulasi
awal.
c. Perubahan sistem perkemihan
Setelah proses persalinan berlangsung, biasanya ibu akan sulit untuk
buang air kecil dalam 24 jam pertama. Urine dalam jumlah besar akan
dihasilkan dalam 12-36 jam post partum. Ureter yang berdilatasi akan
kembali normal dalam 6 minggu.
d. Perubahan sistem muskuloskeletal
Otot-otot uterus berkontraksi segera setelah partus.Pembuluh-pembuluh
darah yang berada di antara anyaman otot-otot uterus akan terjepit.
Proses ini akan menghentikan perdarahan setelah plasenta dilahirkan.
e. Perubahan sistem endokrin
Saat plasenta terlepas dari dinding uterus, kadar HCG dan HPL secara
berangsur turun dan normal kembali setelah 7 hari post partum.
f. Perubahan sistem kardiovaskuler
Curah jantung meningkat selama persalinan dan berlangsung sampai
kala III ketika volume darah terus dikeluarkan. Penurunan terjadi pada
beberapa hari pertama postpartum dan akan kembali normal akhir
minggu ke-3 postpartum.
g. Perubahan sistem hematologi
Pada masa nifas terjadi perubahan komponen darah, namun dalam 1
minggu pasca persalinan biasanya semuanya akan kembali pada
keadaan semula.
h. Perubahan tanda vital
Tekanan darah harus dalam keadaan stabil.Suhu turun secara perlahan
dan stabil pada 24 jam postpartum.Nadi biasanya akan lebih cepat dan
keadaan pernafasan selalu berhubungan dengan suhu dan nadi.
4. Perubahan dan Adaptasi Psikologis Masa Nifas
a. Perubahan Emosi Masa Nifas
1) Perasaan yang kontradiktif dan bertentangan mulai dari kepuasan,
kegembiraan, kebahagiaan hingga kelelahan, ketidakberdayaan dan
kekecewaan karena pada beberapa minggu pertama tampak
didominasi oleh hal yang baru dan asing yang tidak terduga.
2) Kelegaan, ‘syukurlah semua telah berakhir’, mungkin diungkapkan
oleh kebanyakan.
3) Ibu segera setelah kelahiran, kadang-kadang ibu menanggapi secara
dingin terhadap peristiwa yang baru terjadi, terutama bila ibu
mengalami persalinan lama dengan komplikasi yang sulit.
4) Ketidaknyamanan karena nyeri (misalnya nyeri perineum, nyeri
puting susu, dll)
5) Peningkatan kerentanan, tidak mampu memutuskan (misalnya
menyusui), rasa kehilangan, libido, gangguan tidur, kecemasan dll.
6) Beberapa ibu mungkin merasa dekat dengan pasangan dan bayi,
beberapa ibu ingin segera merasakan adanya kontak kulit-ke-kulit
(skin to skin contact) dan segera menyusui.
7) Tidak tertarik atau sangat perhatian terhadap bayi.
8) Takut terhadap hal yang tidak diketahui dan terhadap
tanggungjawab yang sangat berat dan mendadak.
9) Kelelahan dan peningkatan emosi.
10) Postnatal blues atau Postpartum blues
Postnatal blues atau istilah lain postpartum blues merupakan suatu
fenomena.Perubahan psikologis yang dialami oleh ibu. Postpartum
blues biasanya terjadi pada hari ke-3 sampai ke-5 post partum,
tetapi kadang dapat juga berlangsung seminggu atau lebih,
meskipun jarang. Gambaran kondisi ini bersifat ringan dan
sementara. Kesedihan atau kemurungan setelah melahirkan ditandai
dengan gejala-gejala sedih, cemas tanpa sebab, mudah menangis
tanpa sebab, euforia, kadang tertawa, tidak sabar, tidak percaya diri,
sensitive, mudah tersinggung, merasa kurang menyayangi bayinya
(Wahyuni, 2018).
b. Penyimpangan dari kondisi psikologis yang normal (Psikopatologi).
1) Depresi postpartum ringan hingga sedang.
Lebih kurang 10-15% ibu akan mengalami depresi postpartum
ringan hingga sedang untuk pertama kalinya (Cox et al., 1993 dalam
(Wahyuni, 2018).Depresi postpartum dapat terjadi pada bulan
pertama postpartum, biasanya pada saat bidan sudah mulai
menghentikan asuhan, dan dapat berlangsung hingga setahun (Fraser
& Cooper, 2009 dalam (Wahyuni, 2018). Tanda-tanda awal depresi
postpartum meliputi kecemasan dan kekhawatiran terhadap
bayi.perasaan tidak mampu melakukan koping dan perasaan tertekan
dengan tuntutan menjadi ibu dan memiliki bayi baru lahir, hal ini
dapat menyebabkan gangguan tidur. Biasanya muncul perasaan
sedih, tidak mampu, tidak berharga, kehilangan nafsu makan, harga
diri rendah, serta menurunnya suasana hati secara terus-menerus,
serta hilangnya kegembiraan dan spontanitas. Gambaran tersebut
tidak sulit untuk dideteksi, tetapi mungkin terabaikan oleh para
bidan atau tenaga kesehatan yang lain yang menangani ibu
postpartum. Ada masalah lain yang menyebabkan depresi masih
menjadi hal yang tabu untuk dibicarakan di kalangan masyarakat,
yang membuat banyak ibu memilih untuk diam. Ibu mungkin
merasa bersalah, terisolasi, dan merasa gagal ketika seharusnya
mereka merasakan kemenangan dan puas memperoleh peran ibu
yang kuat. Beberapa ibu dan pasangannya mungkin tidak tahu secara
jelas mengenai tanda dan gejala depresi postpartum.Bidan harus
cermat dalam melakukan pengkajian, sehingga dapat
mengidentifikasi adanya tanda dan gejala depresi postpartum.
2) Gangguan depresi berat dapat terjadi pada periode postpartum awal
atau lanjut. Ibu yang mengalami depresi berat tampak mengalami
kesedihan yang mendalam dan sakit. Etiologi yang sesungguhnya
belum jelas, namun dugaan yang paling kuat adalah riwayat
gangguan depresi, baik pada postpartum maupun waktu lainnya
3) Distress emosi akibat pengalaman persalinan yang traumatic
4) Duka cita dan kehilangan
Hal ini terkait.bentuk kehilangan ini adalah kematian bayi lahir,
abortus, kematian janin dalam kandungan, kematian
perinatal/neonatal dan kematian anak. Kehilangan janin dapat
menSbulkan duka cita dan kehilangan yang mendalam bagi
ibu.Kehilangan ini berarti juga kehilangan hubungan istimewa ibu
dengan janinnya atau bayinya, atau kehilangan harapan atas
kehadiran seorang bayi yang sempurna.
5) Psikosis Post Partum
Gejala psikosis bervariasi, muncul secara dramatis dan sangat
dini, serta berubah dengan cepat, yang berubah dari hari ke hari
selama fase akut penyakit.(Wahyuni, 2018). Gejala ini dari biasanya
meliputi perubahan suasana hati, perilaku yang tidak rasional dan
gangguan agitasi, ketakutan dan kebingungan, karena ibu kehilangan
kontak dengan realitas secara cepat. Biasanya terjadi dalam minggu
pertama postpartum dan jarang terjadi sebelum 3 hari postpartum,
dengan mayoritas kejadian terjadi sebelum 16 hari postpartum.
c. Adaptasi Psikologi Masa Nifas
Menurut Reva Rubin (1991) dalam terdapat tiga fase dalam masa
adaptasi peran pada masa nifas, yaitu:
1) Fase Taking In ( Periode tingkah laku ketergantungan )
Perhatian klien terutama terhadap kebutuhan dirinya, mungkin pasif
dan tergantung berlangsung selama 1-2 hari.Klien tidak
menginginkan kontak dengan bayinya tetapi bukan berarti tidak
memperhatikan. Dalam fase ini yg diperlukan klien adalah informasi
tentang bayinya, bukan cara merawat bayi.
2) Fase Taking Hold (Periode antara tingkah laku mandiri dan
ketergantungan)
Klien berusaha mandiri dan berinisiatif, perhatian lebih kepada
kemampuan mengtasi fungsi tubuhnya, misalnya kelancaran BAK,
BAB, melakukan berbagai aktifitas ; duduk, jalan, dan keinginan
untuk belajar tentang perawatan dirinya sendiri dan bayinya
3) Fase Letting Go
Pada fase ini klien sudah mampu merawat dirinya sendiri dan mulai
disibukkan tanggung jawabnya sebagai ibu.Secara umum fase ini
terjadi ketika ibu kembali kerumah.
5. Kebutuhan dasar ibu nifas
a. Kebutuhan nutrisi
Kebutuhan nutrisi pada masa postpartum dan menyusui
meningkat 25%, karena berguna untuk proses penyembuhan setelah
melahirkan dan untuk produksi ASI untuk pemenuhan kebutuhan bayi.
Kebutuhan nutrisi akan meningkat tiga kali dari kebutuhan biasa
menjadi sekitar 3000-3800 kalori. Nutrisi yang dikonsumsi berguna
untuk melakukan aktifitas, metabolisme, cadangan dalam tubuh, proses
memproduksi ASI yang diperlukan untuk pertumbuhan dan
perkembangan bayi. Ibu nifas dan menyusui memerlukan makan
makanan yang beraneka ragam yang mengandung karbohidrat, protein
hewani, protein nabati, sayur, dan buah-buahan. Menu makanan
seimbang yang harus dikonsumsi adalah porsi cukup dan teratur, tidak
terlalu asin, pedas atau berlemak, tidak mengandung alkohol, nikotin
serta bahan pengawet atau pewarna (Wahyuni, 2018).
Jenis–jenis vitamin yang dibutuhkan oleh ibu nifas dan
menyusui adalah:
1) Vitamin A, digunakan untuk pertumbuhan sel, jaringan, gigi dan
tulang, perkembangan saraf penglihatan, meningkatkan daya tahan
tubuh terhadap infeksi. Sumber vitamin A adalah kuning telur, hati,
mentega, sayuran berwarna hijau, dan kuning. Selain sumber-
sumber tersebut ibu menyusui juga mendapat tambahan kapsul
vitamin A (200.000 IU).
2) Vitamin B1 (Thiamin)
3) Vitamin B2 juga diperlukan untuk metabolisme dan kerja syaraf
(Wahyuni, 2018).
Jenis–jenis mineral penting dan dibutuhkan pada ibu nifas dan
menyusui adalah :
1) Zat kapur atau calcium berfungsi untuk pembentukan tulang dan gigi
anak
2) Fosfor diperlukan untuk pembentukan kerangka tubuh, sumber
makananya adalah susu, keju dan daging
3) Zat besi, tambahan zat besi sangat penting dalam masa menyusui
karena dibutuhkan untuk kenaikan sirkulasi darah dan sel, serta
penambahan sel darah merah sehingga daya angkut oksigen
mencukupi kebutuhan. Sumber zat besi adalah kuning telur, hati,
daging, kerang, ikan, kacang-kacangan dan sayuran hijau.
4) Yodium, sangat penting untuk mencegah timbulnya kelemahan
mental dan kekerdilan fisik, sumber makanannya adalah minyak
ikan, ikan laut, dan garam beryodium (Wahyuni, 2018).
Sedangkan kebutuhan cairan ibu menyusui sedikitnya minum 3-
4 liter setiap hari (anjurkan ibu minum setiap kali selesai menyusui).
Kebutuhan air minum pada ibu menyusui pada 6 bulan pertama minimal
adalah 14 gelas (setara 3-4 liter) perhari, dan pada 6 bulan kedua adalah
minimal 12 gelas (setara 3 liter) (Wahyuni, 2018).
b. Kebutuhan Eliminasi
1) Miksi
Seorang ibu nifas dalam keadaan normal dapat buang air kecil
spontan setiap 3-4 jam. Ibu diusahakan buang air kecil sendiri, bila
tidak dapat dilakukan tindakan: dirangsang dengan mengalirkan air
kran di dekat klien, mengompres air hangat di atas kelima. Apabila
tindakan di atas tidak berhasil, yaitu selama selang waktu 6 jam
tidak berhasil, maka dilakukan kateterisasi. Namun dari tindakan ini
perlu diperhatikan risiko infeksi saluran kencing (Wahyuni, 2018).
2) Defekasi
Agar buang air besar dapat dilakukan secara teratur dapat dilakukan
dengan diit teratur, pemberian cairan banyak, makanan yang cukup
serat dan olah raga. Jika sampai hari ke 3 post partum ibu belum bisa
buang air besar, maka perlu diberikan supositoria dan minum air
hangat (Wahyuni, 2018).
c. Kebutuhan Ambulasi, Istirahat, Dan Exercise Atau Senam Nifas
Mobilisasi dini pada ibu postpartum disebut juga early
ambulation, yaitu upaya sesegera mungkin membimbing klien keluar
dari tempat tidurnya dan membimbing berjalan. Klien diperbolehkan
bangun dari tempat tidur dalam 24-48 jam postpartum (Wahyuni, 2018).
Senam nifas menurut (Runjati dkk, 2017) terdiri dari latihan
sirkulasi, latihan dasar pelvis, latihan abdomen dan latihan fisik paska
operasi sesar.
d. Kebutuhan Seksual
Hubungan seksual dapat dilakukan apabila darah sudah berhenti
dan luka episiotomy sudah sembuh. Koitus bisa dilakukan pada 3-4
minggu post partum. Libido menurun pada bulan pertama postpartum,
dalam hal kecepatan maupun lamanya, begitu pula orgasmenya.Ibu
perlu melakukan fase pemanasan (exittement) yang membutuhkan
waktu yang lebih lama, hal ini harus diinformasikan pada pasangan
suami isteri.Secara fisik aman untuk melakukan hubungan suami istri
begitu darah merah berhenti dan ibu dapat melakukan sSulasi dengan
memasukkan satu atau dua jari ke dalam vagina, apabila sudah tidak
terdapat rasa nyeri, maka aman untuk melakukan hubungan suami
istri.Meskipun secara psikologis ibu perlu beradaptasi terhadap berbagai
perubahan postpartum, mungkin ada rasa ragu, takut dan
ketidaknyamanan yang perlu difasilitasi pada ibu. Bidan bisa
memfasilitasi proses konseling yang efektif, terjaga privasi ibu dan
nyaman tentang seksual sesuai kebutuhan dan kekhawatiran ibu.
6. Deteksi Dini Komplikasi Masa Nifas
Menurut (Runjati dkk, 2017) deteksi dini komplikasi ibu nifas meliputi :
a. Perdarahan Pasca Persalinan
Perdarahan pascapersalinan atau perdarahan popstpartum adalah
perdarahan yang terjadi setelah bayi lahir dengan jumlah perdarahan 500
ml atau jumlah perdarahan yang keluar melebihi normal berpotensi
memengaruhi perubahan tanda-tanda vital (sistolik <90 mmHg, nadi
>100 denyutl mcnit), pasien lemah, kesadaran menurun, berkeringat
dingin, menggigil, hiperkapnia dan kadar Hb <8 g%. Perdarahan
posrpartum dibagi menjadi 2 yaitu perdarahan primer yang terjadi pada
24 jam pertama postpartum dan perdarahan sekunder yang terjadi
setelah 24 jam postpartum (Saifuddin, 2009).
b. Infeksi Masa Nifas
Infeksi nifas adalah infeksi bakteri pada traktus genitalia yang
terjadi setelah persalinan ditandai dengan adanya kenaikan suhu sampai
38°C atau lebih yang terjadi antara hari kedua sampai kesepuluh
postpartum, suhu diukur peroral scdildtnya 4 kali sehari (Saifuddin,
2009).
c. Keadaan Abnormal Pada Payudara
Pada masa nifas dapat terjadi keaadaan abnormal payudara karena
beberapa sebab : putting susu lecet atau luka, payudara bengkak dan
putting susu datar atau terbenam.
d. Eklampsia dan Preeklampsia
Eklampsia merupakan keadaan serangan kejang tiba-tiba pada
pada wanita hamil, bersalin, atau masa nifas yang telah menunjukkan
gejala preeklampsia sebelumnya.Eklampsia dibedakan menjadi 3
berdasarkan timbulnya serangan yaitu eklampsia gravidarum
(antepartum) eklampsia partuirentum (intrapartum), dan eklampsia
puerperale (postpartum).Eklampsia postpartum adalah kondisi serangan
kejang tiba-tiba pada ibu postpartum.LSa puluh persen serangan ini
terjadi pada hari kedua postpartum dan dapat timbul setelah 6 minggu
postpartum. Preeklampsia berat adalah kondisi dengan tekanan darah
>160 mmHg, proteinuria ..>2+, dan edema pada daerah ekstremitas
(Prawirohardjo, 2012) dan (Cunningham, 2013).
e. Diastasis rekti diastasis rectus abdominis
Diastasis rekti diastasis rectus abdominis adalah pemisahan otot
rectus abdominis lebih dari 2,5 cm pada tepat setinggi umbilikus sebagai
akibat pengaruh hormon terhadap linea alba serta akibat perenggangan
mekanis dinding abdomen. Kasus ini sering terjadi pada multi-paritas,
bayi besar, polihidramnion, kelemahan otot abdomen dan postur yang
salah.
f. Nyeri Perineum
Setiap ibu yang telah menjalani proses persalinan dengan
mendapatkan luka perineum akan merasakan nyeri. Nyeri yang
dirasakan pada setiap ibu dengan luka perineum menimbulkan dampak
yang tidak menyenangkan seperti kesakitan dan rasa takut untuk
bergerak sehingga banyak ibu dengan luka perineum jarang mau
bergerak pasca-persalinan sehingga dapat mengakibatkan banyak
masalah di antaranya subinvolusi uterus, pengeluaran lokea yang tidak
lancar, dan perdarahan pascapartum.
Timbulnya nyeri berkaitan erat dengan reseptor dan adanya
rangsangan.Reseptor nyeri yang dimaksud adalah nociceptor.Reseptor
nyeri dapat memberi respons akibat adanya rangsangan.Rangsangan
tersebut dapat berupa kiawi, termal, atau mekanis.Stimulasi oleh zat
kiiawi misalnya histamin dan prostaglandin, atau stimulasi yang dilepas
apabila terdapat kerusakan pada jaringan.
Penanganan nyeri perineum dapat dilakukan secara farmakologi
maupun non-farmakologi (Olivierra Sonia, 2012). Penanganan nyeri
secara farmakologi yaitu dengan memberikan analgesik oral
(parasetamol 500 mg tiap 4 jam atau jika perlu), sedangkan penanganan
secara non-farmakologi antara lain: mandi dengan air es, teknik
acupressure dan cold therapy dengan kompres dingin dengan ice pack
atau cooling gel pads dan pijat es dan aromaterapi. Menurut penelitian
(Rahmawati, 2013) pemberian kompres dingin merupakan alternatif
lain mengurangi nyeri selain dengan memakai obat-obatan karena
menimbulkan efek analgetik dengan memperlambat kecepatan hantaran
saraf sehingga impuls nyeri yang mencapai otak lebih sedikit.
g. Inkontinensia Urine Inkontinensia urine (IU)
Inkontinensia Urine Inkontinensia urine (IU) oleh International
Continence Society (ICS) didefinisikan sebagai keluarnya urine yang
tidak dapat dikendalikan atau dikontrol, secara objektif dapat
diperlihatkan dan merupakan suatu masalah sosial atau higienis.
h. Nyeri Punggung
Nyeri punggung (Vamey dan Jan, 2010) merupakan gejala
pascapartum jangka panjang yang sering terjadi.Hal ini disebabkan
adanya ketegangan postural pada sistem muskuloskeletal akibat posisi
saat persalinan
7. Perdarahan Post Partum
a. Pengertian
Perdarahan post partum adalah perdarahan lebih dari 500cc yang terjadi
setelah bayi lahir per vaginam atau lebih dari 1000 ml setelah persalinan
abdominal. Kondisi dalam persalinan menyebabkan kesulitan untuk
menentukan jumlah perdarahan yang terjadi, maka batasan jumlah
perdarahan disebutkan sebagai perdarahan yang lebih dari normal yang
telah menyebabkan perubahan tanda vital, antara lain pasien mengeluh
lemah, limbung, berkeringat dingin, menggigil, hiperapnea, tekanan
darah sistolik < 90 mmHg, denyut nadi > 100x/ menit, kadar Hb < 8
g/dL(Saifuddin, 2014)
Perdarahan postpartum dibagi menjadi :
1) Perdarahan Post Partum primer (Early postpartum hemorrhage )
Perdarahan Post Partum primer adalah Perdarahan yang terjadi
dalam 24 jam pertama dengan jumlah 500 cc atau lebih setelah
kala III.
2) Perdarahan postpartum sekunder (Late postpartum hemorrhage)
Perdarahan yang terjadi sesudah 24 jam pertama dengan jumlah
500 cc atau lebih
b. Tanda dan gejala klinis
Penyebab terjadinya perdarahan post partum dapat dibagi menjadi 4-T:
(Simanjuntak, 2020)
1) Tonus : atonia uteri, kandung kemih yang over distensi
2) Tissue : retensi plasenta (sisa plasenta) dan bekuan darah
3) Trauma : perlukaan pada vagina, serviks atau uterus
4) Trombin : gangguan pembekuan darah (bawaan atau didapat)
Kriteria Diagnosis pada perdarahan post pastum : (Joseph and Nugroho,
2010)
1) Pemeriksaan fisik: pucat, dapat disertai dengan tanda-tanda syok,
tekanan darah rendah, denyut nadi cepat, ekstermitas dingin serta
nampak darah keluar dari vagina terus menerus.
2) Pemeriksaan obstetri: mungkin kontraksi usus lembek, uterus
membesar bila ada atonia uteri. Bila kontraksi uterus baik,
perdarahan mungkin disebabkan karena laserasi jalan lahir
3) Pemeriksaan ginekologi: dilakukan dalam keadaan baik atau telah
diperbaiki, dapat diketahui kontraksi uterus, luka jalan lahir, dan
retensi sisa plasenta
4) Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap, golonan darah, tes antibody,
pemeriksaan fakor koagulasi waktu perdarahan
No. Gejala dan Tanda Tanda dan Gejala Lain Diagnosis Kerja
1.  Uterus tidak  Syok Atonia uteri
berkontraksi dan  Bekukan darah pada
lembek serviks / posisi terlen-
 Perdarahan tang akan menghambat
segera setela anak aliran darah keluar
lahir
2.  Uterus kontraksi 8. Pucat Robekan jalan lahir
dan keras 9. Lemah
 Plasenta lengkap 10. Menggigil
 Darah segar yang
meng-alir segera
setelah bayi lahir
3.  Plasenta belum  Tali pusat putus akibat Retensio plasenta
lahir setelah 30 traksi berlebihan
menit  Inversio uteri akibat
 Perdarahan tarikan
segera (P3)  Perdarahan lanjutan
 Uterus
berkontraksi dan
keras
4.  Plasenta / Uterus berkontraksi Tertinggalnya
sebagian selaput tetapi tinggi fundus tidak sebagian plasenta
(mengandung berkurang atau ketuban (rest
pembuluh darah) plasenta)
tidak lengkap
 Perdarahan
segera (P3)
5.  Uterus tidak  Neurogenik syok Inversio uteri
teraba  Pucat dan limbung
 Lumen vagina
terisi masa
 Tampak tali pusat
(bila plasenta
belum lahir)
6.  Sub-involusi  Anemia Endometritis atau
uterus  Demam sisa fragmen
 Nyeri tekan perut plasenta (Late
bawah dan uterus postpartum
 Perdarahan hemorrhage)
 Lokhia
mukopurulen dan
berbau
Sumber : Divisi Obstetri Ginekologi Sosial FK. UNUD RSUP Sanglah
c. Etiologi
1) Atonia Uteri
Atoni uteri adalah keadaan lemahnya tonus/kontraksi rahim yang
menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari
tempat implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir.
Perdarahan postpartum bisa dikendalikan melalui kontraksi dan
retraksi serat-serat myometrium. Kontraksi dan retraksi ini
menyebabkan terlipatnya pembuluh-pembuluh darah sehingga
aliran darah ke tempat plasenta menjadi terhenti. Kegagalan
mekanisme akibat gangguan fungsi myometrium dinamakan atonia
uteri dan keadaan ini menjadi penyebab utama perdarahan
postpartum (Prawirohardjo, 2016)
Faktor predisposisinya adalah sebagai berikut:
a) Regangan rahim berlebih karena kehamilan gemelli,
polihidramnion, atau anak terlalu besar
b) Kelelahan karena persalinan lama atau persalinan kasep
c) Kehamilan grade-multipara
d) Ibu dengan keadaan umum yang jelek, anemis, atau menderita
penyakit menahun
e) Mioma uteri yang mengganggu kontraksi rahim
f) Infeksi intrauterine (korioamnionitis)
g) Ada riwayat pernah atonia uteri sebelumnya.
2) Robekan Jalan Lahir
Robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan trauma.
Pertolongan persalinan yang semakin manipulatif dan traumatik
akan memudahkan robekan jalan lahir dan karena itu dihindarkan
memimpin persalinan saat pembukaan serviks belum lengkap.
Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomi, robekan spontan
perineum, trauma forceps atau vakum ekstraksi, atau karena versi
ekstraksi. Robekan yang terjadi bisa ringan (lecet, laserasi), luka
episiotomi, robekan perineum spontan derajat ringan sampai rupture
perineum totalis (sfingter ani terputus), robekan pada dinding
vagina, ferniks uteri, serviks, daerah sekitar klitoris, uretra dan
bahkan yang terberat rupture uteri.
Tanda-tanda perdarahan karena robekan jalan lahir adalah
perdarahan yang terjadi segera setelah bayi lahir, pengeluaran
berupa darah segar, uterus berkontraksi baik, dan plaenta lengkap.
Perdarahan yang terjadi saat kontraksi uterus baik biasanya
karena ada robekan atau sisa plasenta. Pemeriksaan dapat dilakukan
dengan cara melakukan inspeksi pada vulva, vagina dan serviks
dengan memakai speculum untuk mencari sumber perdarahan
dengan ciri warna darah yang segar dan pulsatif sesuai dengan
denyut nadi.
Ruptur perineum dan robekan dinding vagina:
a) Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi sumber perdarahan
b) Lakukan irigrasi pada tempat luka dan bersihkan dengan
antiseptik
c) Hentikan sumber perdarahan dengan klem kemudian ikat dengan
benang yang dapat diserap
d) Lakukan penjahitan
Bila perdarahan masih berlanjut, berikan 1 gram asam
traneksamat IV (bolus selama 1 menit, dapat diulang setelah 30
menit), lalu rujuk pasien.
Robekan serviks:
a) Paling sering terjadi pada bagian lateral bawah kiri dan kanan
dari porsio
b) Jepitkan klem ovum pada lokasi perdarahan
c) Jahitan dilakukan secara kontinu dimulai dari ujung atas robekan
kemudian ke arah luar sehingga semua robekan dapat dijahit
d) Bila perdarahan masih berlanjut, berikan 1 gram traneksamat IV
(bolus selama 1 menit, dapat diulang setelah 30 menit) lalu rujuk
pasien.
Laserasi serviks, jalan lahir atau perineum juga dapat
menyebabkan perdarahan postpartum. Laserasi serviks dapat
mengakibatkan perdarahan yang sangat banyak jika pembuluh
arterinya robek. Biasanya keadaan ini terjadi segera setelah plasenta
lahir. Laserasi serviks yang merupakan salah satu terjadinya
perdarahan post partum hingga sekitar 20% kasus. Laserasi serviks
juga dapat menyebabkan perdarahan post partum lanjut pada tempat
ruptur yang tidak berhasil membentuk bekuan darah dan dengan
demikian tidak dapat menyekat lokasi perdarahan (Anita and
Lyndon, 2014).
3) Retensio Plasenta
Retensio plasenta adalah tertinggalnya plasenta di dalam
uterus setelah setengah jam bayi lahir. Plasenta sukar dilepas
dengan pertolongan aktif kala tiga, bisa disebabkan oleh adhesi
yang kuat antara plasenta dan uterus disebut sebagai:
a) Plasenta akreta bila implantasi menebus desidua basalis dan
nitabuch layer.
b) Plasenta inkreta bila sampai menembus myometrium.
c) Plasenta prekreta bila vili korialis sampai menembus
perimetrium.
Faktor predisposisi terjadinya plasenta akreta adalah plasenta
previa, bekas seksio sesaria, pernah kuret berulang, dan
multiparitas. Bila sebagian kecil dari plasenta dari plasenta masih
tertinggal dalam uterus disebut rest placenta dan dapat
menimbulkan perdarahan postpartum primer atau sekuder. Proses
kala tiga didahului dengan tahap pelepasan plasenta akan ditandai
dengan perdarahan pervaginam atau sebagian plasenta sudah lepas
tapi tidak keluar pervaginam, sampai akhirnya ekspulsi dan plasenta
lahir. Pada retensio plasenta sepanjang plasenta belum terlepas
maka tidak akan menimbulkan perdarahan. Sebagian plasenta
belum terlepas maka menimbulkan perdarahan. Sebagian plasenta
yang lepas dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak dan
harus diantisipasi dengan segera melakukan manual plasenta,
meskipun kala uri belum lewat setengah jam.
Sisa plasenta bisa diduga bila kala uri berlangsung tidak
lancar, atau setelah melakukan manual plasenta atau menemukan
adanya kotiledon yang tidak lengkap pada saat melakukan
pemeriksaan plasenta dan masih ada perdarahan dari ostium uteri
eksternum pada konstraksi rahim sudah baik dan robekan jalan lahir
sudah terjahit. Untuk itu harus dilakukan eksplorasi ke dalam rahim
dengan cara manual atau digital atau kuret dan pemberian
uterotonika.
4) Rest Plasenta
Bila sebagian kecil dari plasenta masih tertinggal dalam uterus di
sebut rest plasenta dan dapat menimbulkan perdarahanpost partum
primer atau lebih sering perdarahan post partum sekunder. Rest
plasenta dapat disebabkan oleh pengeluaran plasenta yang tidak
hati-hati dan salah pimpin kala III sehingga terlalu terburu-buru
untuk mempercepat lahirnya plasenta.
Tanda dan gelaja rest plasenta adalah adanya sisa plasenta atau
sebagian elaput (mengandung pembuluh darah) yang tidak lengkap
dan menyebabkan perdarahan (uterus ber kontraksi tetapi tingi
fundus tidak berkurang)(Saifuddin, 2014).

Penanganan rest plasenta yaitu:


a) penemuan secara dini, hanya dimungkinkan dengan melakukan
pemeriksaan kelengkapan plasenta setelah dilahirkan. Pada
kasus sisa plasenta dengan perdarahan pasca-persalinan lanjut,
sebagian besar pasien-pasien akan kembali lagi ke tempat
bersalin dengan keluhan perdarahan setelah 6-10 hari pulang ke
rumah dan sub-involusi.
b) Lakukan eksplorasi digital (bila serviks terbuka) dan
mengeluarkan bekuan darah atau jaringan. Bila serviks hanya
dapat dilalui oleh instrumen, lakukan evakuasi sisa plasenta
dengan dilatasi dan kuretase.
5) Inversi Uterus
Inversi disebabkan oleh kesalahan penatalaksanaan kala tiga
persalinan, yang meliputi:
(a) Traksi tali pusat yang dikontrol terlalu dini dan berlebihan
sebelum tanda pelepasan plasenta
(b) Traksi tali pusat yang dikontrol saat uterus relaksasi
(c) Penggunaan tekanan fundus dengan atau tanpa traksi tali pusat
Inversi uterus juga dapat terjadi secara spontan setelah
dekompresasi uterus mendadak, seperti pada pelahiran bayi
makrosomia atau kembar, atau yang jarang terjadi, setelah
peningkatan tekanan intra abdomen saat uterus dapat terdorong dan
keluar akibat batuk dan muntah
Inversio uteri ditandai dengan syok karena kesakitan (syok
neurogenik), perdarahan banyak bergumpal, di vulva tampak
endometrium terbalik dengan atau tanpa plasenta yang masih
melekat, bila baru terjadi maka prognosis cukup baik akan tetapi
bila kejadiannya cukup lama, maka jepitan serviks yang mengecil
akan membuat uterus mengalami iskemia, nekrosis dan infeksi.
Penanganan inversion uteri antara lain: (Muhlisin, 2019)
(a) Memasang infus untuk cairan/darah pengganti dan pemberian
obat-obatan.
(b) Beberapa serter memberikan tokolitik /MgSO4 untuk
melemaskan uterus yang terbalik sebelum dilakukan reposisi
manual yaitu mendorong endometrium ke atas masuk ke dalam
vagina dan terus melewati serviks sampai tangan masuk
kedalam uterus pada posisi normalnya. Hal ini dapat dilakukan
sewaktu plasenta sudah terlepas atau belum terlepas
(c) Di dalam uterus plasenta dilepaskan secara manual dan bila
berhasil dikeluarkan dari rahim dan sambil memberikan
uterotonika lewat infus atau IM (intra muskular), tangan tetap
dipertahankan untuk konfigurasi uterus kembali normal dan
tangan operator baru dilepaskan
(d) Pemberian oksitosin ditunda dan usaha reposisi uterus melalui
vagina harus segera dilakukan, melakukan reposisi uterus
secara manual terlebih dahulu sebelum dilakukan usaha untuk
melepaskan plasenta dan reposisi secara operatifuntuk
menghindari kehilangan darah yang banyak dan syok
(e) Pemberian antibiotika dan transfusi darah sesuai dengan
kebutuhannya
(f) Intervensi bedah dilakukan bila karena jepitan serviks yang
keras menyebabkan manuver diatas tidak bisa dikerjakan, maka
dilakukan laparotomi untuk reposisi dan kalau terpaksa
dilakukan histerektomi bila uterus sudah mengalami infeksi dan
nekrosis.
6) Perdarahan karena Gangguan Pembekuan Darah
Kejadian gangguan koagulasi ini dapat menyebabkan
perdarahan post partum, keadaan ini lebih sering ditemukan pada
solusio plasenta, missed abortion atau kematian janinintra uteri.
Koagulopati merupakan salah satu etiologi dengan insiden
perkiraan sekitar 1% kasus (Musa, 2019).
Setiap penyakit hemorrargik (blood dyscresias) dapat diderita
oleh wanita hamil dan kadang-kadang menyebabkan perdarahan
postpartum. Perdarahan postpartum karena gangguan pembekuan
darah baru dicurigai bila penyebab yang lain dapat disingkirkan
apalagi disertai ada riwayat pernah mengalami hal yang sama pada
persalinan sebelumnya. Akan ada tendensi mudah terjadi
perdarahan setiap dilakukan penjahitan dan perdarahan akan
merembes atau timbul hematoma pada bekas jahitan, suntikan,
perdarahan dari gusi, rongga hidung dan lain-lain.
Afibriogenemia atau hypofibrinogenemia dapat terjadi setelah
abruptio placenta, retention janin-mati yang lama di dalam rahim
dan pada emboli cairan ketuban. Thromboblastik yang timbul dari
degenerasi dan autolisis decidua serta plasenta dapat memasuki
sirkulasi maternal dan menimbulkan koagulasi intravaskuker serta
penurunan fibrinogen yang beredar. Keadaan tersebut yaitu suatu
kegagalan pada mekanisme pembekuaan, menyebabkan perdarahan
yang tidak dapat dihentikan dengan yang biasanya dipakai untuk
mengendalikan perdarahan
d. Pengelolaan dan Penatalaksanaan
Tujuan utama penanganan perdarahan pascasalin ada 3 yakni
pencegahan, penghentian perdarahan dan mengatasi syok hipovolemik.
Perdarahan postpartum yang tidak ditangani dapat mengakibatkan syok
dan menurunnya kesadaran akibat banyaknya darah yang keluar. Hal ini
menyebabkan gangguan sirkulasi darah ke seluruh tubuh dan dapat
menyebabkan hipovolemia berat. Bila hal ini terus terjadi maka akan
menyebabkan ibu tidak terselamatkan.
Syok hemoragik merupakan hilangnya darah secara akut dalam
jumlah yang signifikan sehingga volume sirkulasi menjadi tidak
adekuat. Syok adalah suatu sindroma akut yang timbul karena disfungsi
kardiovaskular dan ketidakmampuan sistem sirkulasi memberi oksigen
dan nutrien untuk memenuhi kebutuhan metabolisme organ vital,
ketidakseimbangan antara jumlah pengiriman dan kebutuhan oksigen
atau substrat yang dibutuhkanmemicu terjadinya disfungsi
selular(Rodiani, Susianti and Gemayangsura, 2017).
Klasifika Perkiraan Persentase Tanda dan Tindakan
si Perdarahan (ml) perdarahan Gejala
(%) Klinis
0 < 500 <10 Tidak ada
(normal)
Garis Waspada
1 500-1000 <15 Minimal Perlu
Pengawasan
ketat dan terapi
cairan infus
Garis Bertindak
2 1200-1500 20-25  Frekuans Terapi cairan
i nadi dan uterotonika
halus
 Hipotensi
Postural
3 1800-2100 30-35  Takikardi Manajemen
a aktif agresif
 Akral
dingin
 Takipnu
4 >2400 >50 Syok Manajemen
aktif kritikal
(risiko 50%
mortalitas
bila tidak
ditatalaksana
aktif)
Manajemen aktif persalinan kala tiga terbukti mencegah terjadinya
perdarahan postpartum. Manajemen aktif persalinan kala tiga terdiri
dari tiga tindakan yaitu injeksi oksitosin segera setelah bayi lahir,
penegangan tali pusat terkendali,dan masase uterus pasca kelahiran
plasenta.
Pasien dengan perdarahan post partum harus ditangani dalam 2
komponen yaitu:
(1) Resusitasi dan penanganan perdarahan obstetri serta kemungkinan
syok hipovolemik, resusitasi cairan akan menambah volume cairan
intravaskuler untuk memperbaiki perfusi jaringan sehingga
penyebab syok dapat teratasi, melalui:
(a) Pengangkatan kaki dapat meningkatkan aliran darah balik vena
sehingga dapat memberi waktu untuk menegakan diagnosa dan
menangani penyebab perdarahan.
(b) pemberian oksigen dan akses intravena. Selama persalinan
perlu dipasang paling tidak 1 jalur intravena pada wanita
dengan resiko perdarahan post partum dan dipertimbangkan
jalur kedua pada pasien dengan resiko sangat tinggi.
(c) Berikan resusitasi dengan cairan kristaloid dalam volume yang
besar, baik normal salin (NS/NaCl) atau cairan Ringer Laktat
melalui akses intravena periver. NS merupakan cairan yang
cocok pada saat persalinan karena biaya yang ringan dan
kompatibilitasnya dengan sebagian besar obat dan transfusi
darah. Resiko terjadinya asidosis hiperkloremik sangat rendah
dalam hubungan dengan perdarahan post partum.
(d) Larutan kristaloid (saline normal atau ringer laktat) lebih
diutamakan dibanding koloid dan harus segera diberikan
dengan jumlah 3 kali perkiaran darah yang hilang. Dextran
tidak boleh diberikan karena mengganggu agregasi platelet.
Dosis maksimal untuk larutan koloid adalah 1500 ml per 24
jam(Siswosudarmo, 2016).

(2) Identifikasi dan penanganan penyebab terjadinya perdarahan post


partum
Prosedur penanganan perdarahan postpartum dapat disingkat
dengan HAEMOSTASIS. Tatalaksana ini terdiri dari tatalaksana awal
diantaranya meminta bantuan, memasang jalur intravena dengan
kateter ukuran besar, mencari etiologi dan melakukan masase uterus.
Langkah selanjutnya yaitu memberikan obat-obatan berupa preparat
uterotonika, diantaranya oksitosin, metilergometrin, dan misoprostol.
Oksitosin diberikan 10-20 unit dalam 500 mL NaCl 0,9% atau 10
unit intramuskular. Misoprostol merupakan analog prostaglandin
E1diberikan dengan dosis 600-1000 mcg dengan rute pemberian per
oral, rektal atau vaginal.
Setelah memberikan obat-obatan, langkah selanjutnya adalah
memberikan tatalaksana konservatif non bedah, seperti menyingkirkan
faktor sisaplasentaatau robekan jalan lahir, melakukan kompresi
bimanual atau kompresi aorta abdominal,serta memasang tampon
uterus vagina dan kondom kateter. Langkah selanjutnya dari tatalaksana
perdarahan postpartum adalah melakukan tatalaksana konservatif
bedah, yakni metode kompresi uterus dengan teknik B-Lynch,
devaskularisasi system perdarahan pelvis, atau embolisasi arteri uterina
dengan radiologi intervensi. Langkah terakhir adalah melakukan
histerektomi subtotal atau total.
WHO membuat rekomendasi penanganan perdarahan
postpartum yang kurang lebih sama dengan langkah
HAEMOSTASIS. Berikut penjabaran praktis upaya tatalaksana
perdarahan postpartum dan persiapan rujukan pada berbagai kondisi
(Simanjuntak, 2020):

H Meminta pertolongan Langkah awal


A Akses vena dengan kateter ukuran besar (18G)
dan infus kristaloid (NaCl 0,9% atau Ringer
Laktat) serta transfusi
E Etiologi dan preparat uterotonik
M Masase uterus
O Preparat uterotonik dan misoprostol Obat-obatan
S Persiapan kamar operasi. Konservatif non-
Singkirkan faktor sisa plasenta, robekan jalan bedah
lahir, kompresi bimanual, dan kompresi aorta
abdominal
T Tampon uterus vagina, kondom kateter
A Kompresi uterus (bedah), teknik B-Lynch Konservatif bedah
S Devaskularisasi sistem perdarahan
pelvis :Lasobudiman, a. Uterina, a. Ovarika, a.
Hipogastrika
I Embolisasi a.Uteri dengan radiologi intervensi
S Histerektomi subtotal/total Last effort/langkah
akhir
Penilaian klinik untuk menetukan derajat syok (Wahyuningsih, 2019):

Kehilangan Darah Tekanan Darah Gejalan dan Derajat Syok


(sistolik) Tanda
500-1000 ml Normal Palpitasi, Terkompensasi
(10-15%) takikardia,
pusing
1000-1500 ml Penurunan ringan Lemah, Ringan
(15-25 %) (80-100 mmHg) takikardia,
berkeringat
1500-2000 ml Penurunan Gelisah, pucat, Sedang
(25-35 %) Sedang oliguria
(70-80 mmHg)
2000-3000 ml Penurunan Tajam Pingsan, Berat
(35-50 %) (50-70 mmHg) hipoksia, anuria

e. Komplikasi
Disseminated intravascular coagulation (DIC)merupakan
komplikasi perdarahan obstetric seperti PPH. Di awali dengan
masuknya tromboplastin jaringan atau endotoksin ke sirkulasi,
menginduksi aktifnya trombin. Hal ini berakibat agregasi trombosit dan
pembentukan monomer fibrin yang kemudian berpolimerase menjadi
fibrin intravaskular. Pembentukan mikrotrombus pada pembuluh darah
kecil akan merangsang pelepasan aktivator plasminogen. Kemudian
lisisnya mikrotrombus dan fibrin intravascular akan melepaskan
fibrinogen degradation products ke dalam sirkulasi, dan terjadilah
consumption coagulopathy dengan akibat berkurangnya fibrinogen,
factor pembekuan,dan trombosit dalam sirkulasi. Hal ini akan berakibat
pada kegagalan hemostasis dengan perdarahan mikrovaskular dan
meningkatnya kehilangan darah dari berbagai daerah yang mengalami
trauma vascular tersebut(Pardede et al., 2017)
Kematian terjadi karena kegagalan multiorgan. Perdarahan hebat
menyebabkan penurunan volume sirkulasi sehingga terjadi respons
simpatis. Terjadi takikardia, kontraktilitas otot jantung meningkat dan
vasokonstriksi perifer. Sementara volume darah beredar menurun,
kemampuan sel darah merah untuk mengangkut oksigen juga menurun
sehingga memacu terjadinya kegagalan miokardium. Vasokonstriksi
perifer ditambah dengan menurunnya kemampuan darah membawa
oksigen menyebabkan terjadinya hipoperfusi dan hipoksia jaringan.
Hipoksia jaringan memacu metabolisme anaerob dan terjadilah asidosis.
Asidosis inilah yang memacu terlepasnya berbagai mediator kimiawi
dan memacu respons inflamasi sistemik. Keadaan ini menyebabkan
terlepasnya radikal oksigen yang berakibat kematian sel. Kematian sel
menyebabkan lemahnya sistem barier mukosa sehingga mikroorganisme
dan endotoksin mudah tersebar ke seluruh jaringan dan organ. Keadaan
inilah yang mengakibatkan terjadinya Systemic Inflammatory Response
Syndrome (SIRS) dan kegagalan multiorgan yang berakhir dengan
kematian(Siswosudarmo, 2016)
f. Faktor risiko perdarahan post partum
a) Paritas
Paritas1danparitastinggi(lebihdari3) mempunyai angka
kejadian perdarahan postpartum lebih tinggi. Pada paritas yang
rendah (paritas satu), ketidaksiapan ibu dalam menghadapi
persalinan yang pertama merupakan faktor penyebab
ketidakmampuan ibu hamil dalam menangani komplikasi yang
terjadi selama kehamilan, persalinan dan nifas. Sedangkan pada
paritas tinggi (lebih dari 3), fungsi reproduksi mengalami
penurunan sehingga kemungkinan terjadi perdarahan
pascapersalinan menjadi lebih besar.
Paritas yang tinggi akan berdampak pada timbulnya
berbagai masalahkesehatan baik bagi ibu maupun bayi yang
dilahirkan. Kehamilan dan persalinanyang berulang-ulang
menyebabkan kerusakan pembuluh darah di dinding Rahim dan
kemunduran daya lentur (elastisitas) jaringan yang sudah
berulang kali diregangkan kehamilan sehingga cenderung timbul
kelainan letakataupunkelainan pertumbuhan plasenta dan
pertumbuhan janin sehingga melahirkan bayi berat badan lahir
rendah (Nur, Rahman and Kurniawan, 2019).
b) Umur
Umur reproduksi yang ideal bagi wanita untuk hamil dan
melahirkan adalah 20-35 tahun,keadaan ini disebabkan karena pada
umur kurang dari 20 tahun rahim dan panggul ibu belum
berkembang denganbaik dan belumcukup dewasa untuk menjadi
ibu, sedangkan pada umur 35 tahun keatas elastisitas otot-otot
pangguldansekitarnyaserta alat-alat reproduksi pada umumnya telah
mengalami kemunduran sehingga dapat mempersulit persalinan dan
selanjutnya dapat menyebabkan kematian pada ibu.
c) Jarak persalinan
Ibu bersalin dengan jarak kelahiran beresiko mempunyai
peluang 2.074 kali untuk mengalami perdarahan postpartum
dibandingkan dengan ibu bersalin yang tidak mengalami jarak
kelahiran beresiko. jarak kelahiran beresiko dapat menyebabkan
perdarahan postpartum dikarnakan seorang wanita setelahbersalin
membutuhkan waktu 2 sampai 3 tahun untuk memulihkan
tubuhnya dan mempersiapkandiri untuk kehamilan dan persalinan
berikutnya. Jarak kehamilan terlaludekat dengan
kehamilansebelumnya, akan banyak resiko yangmenimpa ibu.
Rahim yang masih belum pulih benar akibat persalinan
sebelumnya belum bisa memaksimalkan pembentukan cadangan
makanan bagi janin dan untuk tenaga ibu sendiri. Akibatnya
rahim belum siap untuk menghadapi proses kehamilan dan
persalinan lagi karena tenaga ibu (his) melemah. Selainitu ibu
juga beresiko mengalami perdarahan pada kala IV
karenakontraksi uterus yang melemah sehingga luka bekas
implantasi plasentatetap terbuka dan menimbulkan perdarahan
aktif (Maesaroh and Iwana, 2018).
d) Peregangan uterus berlebih (macrosomia, gamelli dan
polihidramnion)
Peregangan uterus yang berlebihan antara lain kehamilan ganda,
polihidramnion, dan makrosomia. Peregangan uterus yang
berlebihan karena sebab-sebab tersebut akan mengakibatkan uterus
tidak mampu berkontraksi segera setelah plasenta lahir sehingga
sering menyebabkan perdarahan postpartum pada ibu bersalin. Pada
kondisi ini miometrium renggang dengan hebat sehingga kontraksi
setelah kelahiran bayi menjaditidak kuat (Prawirohardjo, 2016)
e) Partus presipitatus
Partus presipitatus dapat menyebabkan robekan serviks yang
dapat mengakibatkan perdarahan pasca persalinan. Persalinan yang
terlalu cepat menyebabkan ibu mengejan kuat dan tidak
terkontrol.
Lama persalinan dapat mempengaruhi terjadinya rupture
perineum. Hal ini dikarenakan lama persalinan yang terlalu
cepatatau terlalu lama, seperti pada kasus partus presipitatus dapat
menyebabkan ruptur perineum bahkan robekan serviks yang
dapat mengakibatkan perdarahan pasca persalinan (Saifuddin, 2014)
f) Induksi oksitosin
Stimulasi dengan oksitosin drip dapat merangsang timbulnya
kontraksi uterus yang belum berkontraksi dan meningkatkan
kekuatan serta frekuensi kontraksi pada uterus yang sudah
berkontraksi. Stimulasi oksitosin drip dengan tujuan akselerasi pada
dosis rendah dapat meningkatkan kekuatan serta frekuensi
kontraksi, tetapipadapemberian dengan dosis tinggi dapat
menyebabkan tetania uteri terjadi trauma jalan lahir ibu yang luas
dan menimbulkan perdarahan serta inversio uteri. Sedangkan
stimulasi oksitosin drip dengan tujuan induksi oksitosin drip
menyebabkan terjadinya stimulasi berlebihan kepada uterus
sehingga uterus secara berlebihan) dan menyebabkan terjadinya
hipotonia setelah persalinan.
g) Anemia
Anemia merupakan suatu keadaan yang dimana kadar
hemoglobin lebih rendah dari batas normal 11 g/dl untuk kelompok
ibu hamil dan ibu bersalin. Ibu hamil yang mengalami anemia dapat
mengurangi daya tahan tubuh ibu dan meninggikan
frekuensi komplikasi kehamilan serta persalinan. Selain itu,
juga menyebabkan peningkatan risiko perdarahan pasca
persalinan.
Risiko perdarahan postpartum meningkat pada ibu
bersalin dengan anemia berat, hal ini disebabkan
karena uterus kekurangan oksigen, glukosa, nutrisi essensial
dan tidak bekerja efesien pada saat persalinan. Akibat
kurangnya jumlah oksigen yang diikat dalam darah
menyebabkan otot-otot uterus tidak berkontraksi secara adekuat
sehingga timbul atonia uteri yang mengakibatkan perdarahan
postpartum (Cunningham, 2013).
Penelitian Oktaviani (2017)menyatakan bahwa ibu hamil
dengan anemia merupakan salah satu faktor risiko ibu bersalin
mengalami perdarahan postpartum, bahwa ibu yang mengalami
anemia akan berisiko mengalami perdarahan postpartum 1,8 kali
lebih tinggi dibandingkan ibu yang tidak mengalami anemia.
Wanita yang mengalami anemia dalam persalinan dengan kadar
hemoglobin <11gr/dl akan dengan cepat terganggu kondisinya bila
terjadi kehilangan darah meskipun hanya sedikit. Anemia
dihubungkan dengan kelemahan yang dapat dianggap sebagai
penyebab langsung perdarahan postpartum.(Satriyandari and
Hariyati, 2017)
Pencegahan dan pengobatan anemia dapat ditentukan
dengan memperhatikan faktor-faktor penyebabnya, jika
penyebabnya adalah masalah nutrisi, penilaian status gizi
dibutuhkan untuk mengidentifikasi nutrient yang berperan
dalam kasus anemia. Anemia gizi dapat disebabkan oleh
berbagai macam nutrient penting pada pembentukan
hemoglobin. Defisiensi Fe yang umum terjadi di dunia
merupakan penyebab utama terjadinya anemia gizi. Pemenuhan
keberuhan Zat besi pada ibu hamil trimester III dapat dicukupi
dengan pemberian suplemen Fe, selain itu juga dengan pemenuhan
gizi yang seimbang serta dapat mengkonsumsi bahan makanan
alami yang dapat meningkatkan kadar Hemoglobin yang salah
satu nya adalah ubi jalar ungu (Ulfiana et al., 2019).
h) Pre eklamsia
Ibu hamil dapat mengalami preeklampsia beresiko 1.5 kali lipat
terkena perdarahan postpartum hal ini kemungkinan karena
patogenesis yang multifaktorial, diantaranya faktor angiogenik,
disfungsi endothelial, dan gangguan darah uteroplasental yang
dapat menyebabkan hipertensi dan abnormalitas koagulasi. Pada ibu
yang terkena preeklampsia terjadi berbagai perubahan pada
tubuhnya seperti perubahan keseimbangan prostaglandin yang
menyebabkan peningkatan tromboksan sehingga dapat
menyebabkan kerusakan pembuluh darah danmemudahkan
trombosit untuk mengadakan suatu agrasi dan adhesi yang
akhirnya mempersempit lumen yang menyebabkan gangguan
pada aliran darah. Upaya mengatasi timbunan trombosit ini terjadi
lisis yang mengakibatkan turunnya trombosit darah serta dengan
mudah menyebabkan perdarahan(Rosidah, Shintami and
Puspandhani, 2020).
Terdapat hubungan yang signifikan antara riwayat
preeklampsiadengan kejadian perdarahan postpartum, hal ini karena
preeklamsia dapat terjadi pada masa antenatal, intranatal dan
postnatal. Peningkatan kejadian preeklamsia yang mengalami
perdarahan postpartum dikarenakan pada ibu dengan preeklamsia
mengalami penurunan volume plasma yang mengakibatkan
hemokonsentrasi dan peningkatan hematokrit maternal(Yuliana,
2019)
i) Riwayat perdarahan post partum sebelumnya
Persalinan buruk pada persalinan sebelumnya merupakan
keadaan yang perlu untuk diwaspadai. Riwayat persalinan
denganperdarahan postpartum sebelumnya memberikan trauma
buruk pada organ reproduksi seorangperempuan. Oleh karena itu
kewaspadaan harus dilakukan jika setelahterdapat riwayat
persalinan buruk pada masa sebelumnya Hasil penelitian yang
dilakukan di Rumah Sakit Umum Anutapura Palu didapatkan
bahwa ibu yang memilki riwayat perdarahan berisiko 6,025 kali
lebih besar untuk mengalami perdarahan postpartum
dibandingkan ibu yang tidak memiliki riwayat peradarahan (Nur,
Rahman and Kurniawan, 2019)
j) Partus lama
Partus lama adalah persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam
pada primi dan lebih dari 18 jam pada multi. Partus lama baik fase
aktif memanjang maupun kala II memanjang menimbulkan efek
terhadap ibu maupun janin. Terdapat kenaikan terhadap insidensi
atonia uteri, laserasi, perdarahan, infeksi, kelelahan ibu dan syok.
Partus lama dapat menyebabkan terjadinya inersia uteri karena
kelelahan pada otot - otot uterussehingga rahim berkontraksi lemah
setelah bayi lahir dan dapat menyebabkan terjadinya perdarahan
postpartum. Ibu yang mengalami partus lama mempunya peluang
1,1 kali untuk perdarahan postpartum dibanding dengan ibu yang
tidak mengalami partus lama (Satriyandari and Hariyati, 2017).

B. Tinjauan Teori Asuhan Kebidanan


Asuhan kebidanan merupakan suatu penerapan fungsi dan kegiatan yang
menjadi tangung jawab bidan dalam memberika pelayanan kebidanan pada
pasien yang menpunyai kebutuhan atau masalah pada nmasa hamil, bersalin,
nifas, bayi baru lahir dan keluarga berencana(Handayani and Mulyati, 2017).
Pendokumentasian asuhan kebidanan menggunakan alur piker 7 langkah
Varney yang dalam penulisannya menggunakan SOAP. SOAP adalah catatan
yang bersifat sederhana, jelas, logis dan tertulis yaitu subjektif, objektif, analisis
dan penatalaksanaan

1. Data Subyektif
a. Identitas Pasien dan Penanggungjawab/Suami
1) Nama
Ditanyakan nama denga tujuan agar dapat mengenal ibu dan
suami
2) Umur
Semakin tua usia seseorang berpengaruh terhadap semua fase
penyembuhan luka sehubungan dengan adanya gangguan sirkulasi
dan koagulasi, respon inflamasi yang lebih lambat dan penurunan
aktivitas fibroblast (Johnson dan Taylor, 2005)
3) Agama
Untuk mengetahui keyakinan ibu sehingga dapat
membimbing dan mengarahkan ibu untuk berdoa sesuai dengan
keyakinannya(Handayani and Mulyati, 2017)
4) Pendidikan
Untuk mengetahui tingkat intelektual ibu sehingga tenaga
kesehatan dapat melalukan komunikasi dengan istilah bahasa yang
sesuai dengan pendidikan terakhirnya, termasuk dalam hal
pemberian konseling(Handayani and Mulyati, 2017)
5) Pekerjaan
Perlu dikaji apakah pekerjaan ibu termasuk pekerjaan yang
membutuhakan aktivitas fisik berat, berdiri dalam jangka waktu
yang lama, pekerjaan dalam industri mesin, atau pekerjaan yang
memiliki efek samping lingkungan, contoh : limbah, sehingga harus
disesuaikan dengan kondisi ibu nifas. (Sulistyawati, 2011).
Pekerjaan juga berhubungan dengan tingkat sosial ekonomi.
Pada ibu nifas dengan tingkat sosial ekonomi yang baik, otomatis
akan mendapatkan kesejahteraan fisik dan psikologis yang baik
pula. Status gizipun akan meningkatkan karena nutrisi yang
didapatkan berkualitas, selain itu ibu tidak akan terbebani secara
psikologis mengenai biaya persalinan dan pemenuhan kebutuhan
sehari-hari setelah bayinya lahir. (Sulistyawati, 2011).
6) Suku Bangsa
Asal daerah atau bangsa seorang wanita berpengaruh terhadap
pola pikir mengenai tenaga kesehatan, pola kebiasaan sehari-hari
(Pola nutrisi, pola eliminasi, personal hygiene, pola istirahat dan
aktivitas) dan adat istiadat yang dianut.
b. Keluhan Utama
Persoalan yang dirasakan pada ibu nifas adalah rasa nyeri pada
jalan lahir, nyeri ulu hati, kelelahan, pusing, konstipasi, kaki bengkak,
nyeri perut setelah lahir, payudara membesar, nyeri tekan pada payudara
dan puting susu, puting susu pecah-pecah, keringat berlebih serta rasa
nyeri(Handayani and Mulyati, 2017).
c. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat kesehatan lalu
Data ini diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya
riwayat atau penyakit akut, kronis seperti : jantung, Diabetes
Militus, hipertensi, asma yang dapat mempengaruhi pada masa
nifas (Aritonang and Simanjuntak, 2020)
2) Riwayat kesehatan sekarang
Untuk mengetahui kemungkinan adanya penyakit yang
diderita pada aat ini yang ada hubungannya dengan masa nifas dan
bayinya.
3) Riwayat kesehatan keluarga
Dikaji untuk mengetahui kemungkinan adanya pengaruh
penyakit keluarga terhadap gangguan kesehatan ibu dan bayinya.

d. Riwayat Obstetri
1) Riwayat Kehamilan, Persalinan, Nifas Yang Lalu
Dikaji berapa kali ibu hamil, apakah penah abortus, jumlah
anak, cara persalinan yang lalu, penolong persalinan dan keadaaan
nifas yang lalu.
2) Riwayat Kehamilan dan Persalinan Sekarang
Riwayat kehamilan sekarang dikaji untuk menentukan
umurkehamilan dengan tepat. Keluhan yang dilami selama
kehamilan dan komplikasi selama kehamilan. Riwayat kehamilan
dikaji tangal dan jam persalinan, jenis persalinan , jenis kelamin
anak, keadaan bayi meliputi PB, BB penolong persalinan untuk
mengetahui apakah proses persalinan mengalami kelainan atau
tidak yang bisa berpengaruh pada masa nifas (Aritonang and
Simanjuntak, 2020).
e. Riwayat KB
Untuk mengetahui apakah pasien pernah ikut KB dengan
kontrasepsi jenis apa, berapa lama, adakah kelihan selama menggunakan
kontrasepsi serta rencana KB setelah masa nifas ini.
f. Riwayat Perkawinan
Yang perlu dikaji adalah berapa kali menikah, status menikah syah
atau tidak, karena bila melahirkan tanpa status yang jelas akan berkaitan
dengan psikologisnya sehingga akan mempengaruhi proses nifas.
g. Pola Pemenuhan Kebutuhan Sehari-hari
1) Nutrisi : Ibu nifas harus mengkonsumsi makanan yang bermutu
tinggi, bergizi dan cukup kalori untuk mendapat protein, mineral,
vitamin yang cukup dan minum sedikitnya 2-3 liter/hari. Selain itu,
ibu nifas juga harus minum tablet tambah darah minimal selama 40
hari dan vitamin A
2) Pola eliminasi: Ibu nifas harus berkemih dalam 4-8 jam pertama
dan minimal sebanyak 200 cc (Bahiyatun, 2009). Sedangkan untuk
buang air besar, diharapkan sekitar 3-4 hari setelah melahirkan
3) Personal Hygiene: Bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi
yang dilakukan dengan menjaga kebersihan tubuh, termasuk pada
daerah kewanitaannya dan payudara, pakaian, tempat tidur dan
lingkungan
4) Istirahat: Ibu nifas harus memperoleh istirahat yang cukup untuk
pemulihan kondisi fisik, psikologis dan kebutuhan menyusui
bayinya dengan cara menyesuaikan jadwal istirahat bayinya
5) Aktivitas: Mobilisasi dapat dilakukan sedini mungkin jika tidak ada
kontraindikasi, dimulai dengan latihan tungkai di tempat tidur,
miring di tempat tidur, duduk dan berjalan. Selain itu, ibu nifas juga
dianjurkan untuk senam nifas dengan gerakan sederhana dan
bertahap sesuai dengan kondisi ibu.
Pola aktivitas dikaji untuk memberikan gambaran tentang seberapa
berat aktivitas yang biasa dilakukan pasien di rumah. Jika kegiatan
pasien terlalu berat dikhawatirkan dapat menimbulkan penyulit,
maka perlu diberitahukan agar ibu membatasi kegiatan sampai ia
sehat dan pulih kembali.
6) Hidup Sehat
Dikaji apakah ibu merokok atau alkoholik apa tidak dan kebiasaan
lain yang merugikan kesehatan.
h. Data Psikososial Dan Spiritual
1) Respon orangtua terhadap kehadiran bayi dan peran baru sebagai
orangtua: Respon setiap ibu dan ayah terhadap bayinya dan
terhadap pengalaman dalam membesarkan anak berbeda-beda dan
mencakup seluruh spectrum reaksi dan emosi, mulai dari tingginya
kesenangan yang tidak terbatas hingga dalamnya keputusasaan dan
duka (Varney, dkk, 2007). Ini disesuaikan dengan periode
psikologis ibu nifas yaitu taking in, taking hold atau letting go.
2) Respon anggota keluarga terhadap kehadiran bayi: Bertujuan untuk
mengkaji muncul tidaknya sibling rivalry.
3) Dukungan Keluarga: Bertujuan untuk mengkaji kerja sama dalam
keluarga sehubungan dengan pengasuhan dan penyelesaian tugas
rumah tangga.
4) Budaya
Budaya dikaji untuk mengetahui adanya pantangan makanan ibu
yang berkaitan dengan status gizi ibu dan adat istiadat yang dapat
berisiko terhadap masa nifasnya.
2. Data Obyektif
a. Pemeriksaan Umum
1) Keadaan Umum
Diketahui dengan mengamati keadaan pasien secara keseluruhan.
Pada kasus pre-eklampsia berat keadaan umum klien bisa dikatakan
baik maupun lemah tergantung terhadap kondisi klien (Manuaba,
2007).
a) Baik
Jika pasien memperlihatkan respon yang baik terhadap
lingkungan dan orang lain, serta secara fisik pasein tidak
mengalami ketergantungan dalam berjalan.
b) Lemah
Jika pasien kurang atau tidak memberikan respon yang baik
terhadap lingkungan dan orang lain, dan pasien sudah tidak
mampu lagi untuk berjalan sendiri. (Sulistyawati, 2011)
2) Kesadaran
Dikaji untuk mengetahui tingkat kesadaran mulai dari
composmentis (kesadaran maksimal) sampai dengan koma (pasien
tidak dalam keadaan sadar) (Sulistyawati, 2011).
3) Berat Badan
Perlu dipertimbangkan faktor resiko timbulnya hipertensi dalam
kehamilan, bila didapatkan kenaikan berat badan > 0,57 kg/minggu.
(Prawirohardjo, 2010)
4) Tanda-tanda vital :
Segera setelah melahirkan, banyak wanita mengalami peningkatan
sementara tekanan darah sistolik dan diastolik kemudian kembali
secara spontan setelah beberapa hari. Pada saat bersalin, ibu
mengalami kenaikan suhu tubuh dan akan kembali stabil dalam 24
jam pertama pasca partum. Denyut nadi yang meningkat selama
persalinan akhir, kembali normal setelah beberapa jam pertama
pasca partum. Sedangkan fungsi pernapasan kembali pada keadaan
normal selama jam pertama pasca partum.
a) Tekanan Darah
Tekanan darah pada ibu nifas tidak boleh mencapai 140 mmHg
sistolik atau 90 mmHg diastolik. Pada beberapa kasus data
ditemukan keadaan hipertensi post partum dan pada ibu yang
mengalami syok akan ditemukan keadaan hipotensi.
b) Nadi
Nilai denyut nadi digunakan untuk menilai sistem
kardiovaskular. Nadi harus dihitung 1 menit penuh. Tiga
komponen yang harus diperhatikan dalam mengukur nadi
adalah frekuensi, teratur tidaknya, dan isi. Frekuensi normal
orang dewasa adalah 60-90 kali permenit
c) Suhu
Mengukur suhu bertujuan untuk mengetahui keadaan pasien
apakah suhu tubuhnya dalam keadaan normal (36,5 C – 37,5 C)
atau tidak. Pasien dikatakan hipotermi apabila suhu badan <
36,5 C dan pasan bila suhu badan > 37,5 C (Kusmiyati, 2009).
d) Pernafasan
Tujuan pengukuran pernapasan adalah mempertahankan
penukaran oksigen dan karbondioksida dalam paru-paru dan
pengaturan asam basa. Pernapasan normal orang dewasa adalah
16-20 kali permenit.
5) LILA
Standar minimal untuk ukuran lingkar lengan atas pada wanita
dewasa atau usia reproduksi adalah 23,5 cm. jika ukuran LILA
kurang dari 23,5 cm maka interpretasinya adalah kurang energy
kronis (KEK). Keadaan ibu yang KEK dapat mempengaruhi proses
penyembuhan masa nifas dan juga proses laktasi.
b. Status Present
1) Kepala : warna rambut, kebersihan, rambut mudah rontok atau tidak
2) Mata : konjungtiva, sklera, kebersihan, kelainan, gangguan
penglihatan (rabun jauh/dekat),
3) Hidung : kebersihan, polip, nafas cuping hidung, kebersihan
4) Mulut : karies gigi, kebersihan mulut dan lidah, kelembapan bibir,
stomatitis, perdarahan gusi.
5) Telinga : kebersihan, gangguan pendengaran, terlihat massa
6) Leher : pembesaran kelenjar limfe, tiroid, vena jugularis
7) Dada : bentuk, retraksi dada, denyut jantung, gangguan pernapasan
(auskultasi),
8) Perut : bentuk, bekas luka operasi,
9) Vulva : pengeluaran pervaginam, keputihan, kebersihan.
10) Ekstremitas : bentuk, kelainan, pucat di ujung jari, ada tidaknya
oedem, varises, reflek patella,
11) Anus : hemoroid, kebersihan (Sulistyawati, 2011)
c. Status Obstetrik
1) Inspeksi
a) Muka : dilihata adanya cloasma dan edema muka
b) Mammae : bentuk, hiperpigmentasi areola, teraba massa, nyeri
atau tidak, kolostrum, keadaan putting (menonjol, datar, masuk
ke dalam), kebersihan dan ASI sudah keluar atau belum.
c) Abdomen : striae, linea nigra.
d) Vulva : varises, hematoma, keadaan perineum dan pengeluaran
darah/lochea.
2) Palpasi
Dilakukan pemeriksaan palpasi untuk mengetahui tinggi fundus
uteri dan keadaan kontraksi uteri.
d. Pemeriksaan Penunjang
1) Darah : pemeriksaan darah rutin, pemeriksaan golongan darah jika
diperlukan tranfusi darah dan pemeriksaan hemoglobin karena pada
awal masa nifas jumlah hemoglobin sangat bervariasi akibat
fluktuasi volume darah, volume plasma dan kadar volume sel darah
merah (Varney, dkk, 2007).
2) Protein Urine dan glukosa urine: Urine negative untuk protein dan
glukosa (Varney, dkk, 2006)
3. Assessment
Merupakan kesimpulan yang dibuat berdasarkan data subjektif dan data
objektif yang didapatkan, meliputi :
a. Diagnosa kebidanan
Diagnosis kebidanan adalah diagnosis yang ditegakkan bidan dalam
lingkup praktik kebidanan dan memenuhi standar nomenklatur diagnosis
kebidanan.
b. Masalah
Masalah adalah hal-hal yang berkaitan dengan pengalaman klien yang
ditemukan dari hasil pengkajian atau yang menyertai diagnosis (Hani
dkk, 2011).
c. Diagnosa Potensial
Pada langkah ini mengidentifikasi masalah atau diagnosis potensial lain
berdasarkan rangkaian masalah yang lain juga. Pada kasus perdarahan
postpartum potensial terjadi syok haemorrage bila tidak segera ditangani
(Sulistyawati, 2011).
d. Identifikasi Perlunya Tindakan Segera, Konsultasi, Kolaborasi
Berdasarkan diagnosa potensial yang telah dirumuskan, bidan
secepatnya melakukan tindakan antisipasi agar diagnosis potensial tidak
benar – benar terjadi (Sulistyawati, 2011).
4. Pelaksanaan
a. Resusitasi cairan untuk menambah volume cairan intravaskuler sehingga
memperbaiki perfusi jaringan sehingga penyebab syok dapat teratasi
b. Penilaian kegawatdaruratan, tanda-tanda syok, dan pemberian oksigen
c. Melakukan identifikasi dan penanganan penyebab terjadinya perdarahan
post partum
d. Monitoring tanda vital dan memasang kateter tinggal untuk memonitor
jumlah urin yang keluar
e. Pemberian obat-obatan berupa preparat uterotonika seperti oksitosin,
metilergometrin, dan misoprostol
Estimasi waktu menuju kematian pada perdarahan pospartum diperkirakan
hanya berlangsung selama 2 jam, sementara itu perdarahan antepartum
membutuhkan waktu kira-kira 12 jam, oleh sebab itu sangat penting untuk
mengenali lebih dini dan memberikan penanganan segera. Terdapat
kecenderungan penurunan kematian maternal oleh karena perdarahan hal ini
disebabkan antara lain penanganan yang semakin baik tetapi angka ini
seharusnya masih bisa diturunkan lebih rendah lagi (Simanjuntak, 2020)
DAFTAR PUSTAKA

Anita, L. and Lyndon, S. (2014) Asuhan Kebidanan Fisiologis Dan Patologis.


Jakarta: Binarupa Aksara.

Aritonang, J. and Simanjuntak, Y. T. O. (2020) Buku Ajar Asuhan Kebidanan Pada


Masa Nifas. Yogyakarta: Deepublish.

Cunningham, F. G. (2013) Obstetri Williams. Jakarata: EGC.

Ernawati and Rejeki, S. (2010) ‘Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Pada


Penyembuhan Luka Perineum Ibu Pasca Persalinan Di Puskesmas Brangsong
Dan Kaliwungu Kabupaten Kendal’, Jurnal Unimus, pp. 1–8

Handayani, S. R. and Mulyati, T. S. (2017) Bahan Ajar Kebidanan Dokumentasi


kebidanan. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia

Joseph and Nugroho (2010) Catatan Kuliah Ginekologi dan Obstetri (Obsgyn):Untuk
Keperawatan dan Kebidanan. Cet. 1. Yogyakarta: Nuha Medika

Kusmiyati, Y. (2009) Perawatan Ibu Hamil. I. Yogyakarta: Fitramaya

Maesaroh, S. and Iwana, I. P. (2018) ‘Hubungan Riwayat Anemia Dan Jarak


Kelahiran Dengan Kejadian Perdarahan Postpartum Di Rsud Dr. H. Abdul
Moeloek’, Midwifery Journal: Jurnal Kebidanan UM. Mataram, 3(1), p. 21.
doi: 10.31764/mj.v3i1.120

Mochtar, R. (2012) Sinopsis Obstetri: Obstetri Fisiologi Obstetri Patologi. Jakarta:


EGC

Muhlisin, A. (2019) Inversio Uteri : Gejala, Penyebab, Pengobatan, Honestdocs


Editorial Team

Musa, S. M. (2019) ‘Insiden Dan Faktor Risiko Perdarahan Postpartum Pada


Persalinan Pervaginam: Studi Literatur’, Jurnal Universitas Muhammadiyah
Tanggerang, 4(2), pp. 28–35

Nur, F., Rahman, A. and Kurniawan, H. (2019) ‘Faktor Risiko Kejadian Perdarahan
Postpartum Di Rumah Sakit Umum (Rsu) Anutapura Palu’, Jurnal Kesehatan
Tadulako, 5(1), pp. 26–31

Oktaviani, O. (2017) ‘Anemia Pada Kehamilan Sebagai Faktor Risiko Perdarahan


Postpartum Di Rumah Sakit’, Jurnal Medikes (Media Informasi Kesehatan),
4(2), pp. 121–128. doi: 10.36743/medikes.v4i2.78
Pardede, S. O. et al. (2017) Prosiding Seminar Nasional Penatalaksanaan
Kegawatdaruratan Berbagai Disiplin Ilmu Kedokteran. Jakarta: Continuing
Medical Education FK UKI. Available at:
http://repository.uki.ac.id/64/1/Prosiding
PENANGANAN PERDARAHAN POSTPARTUM.pdf

Prawirohardjo, S. (2016) Ilmu Kebidanan. 4th edn. Edited by abdul B. Saifuddin, T.


Rachimhadhi, and G. H. Wiknjosastro. PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo

Rahmawati, E. S. (2013) ‘Pengaruh Kompres Dingin Terhadap Pengurangan Nyeri


Luka Perineum Pada Ibu Nifas di BPS Siti Alfirdaus Kingking Kabupaten
Tuban ( The Influence of Cold Compress Towards Perineum Injury of Post-
Partum’, Jurnal Sain Med, 3(2), pp. 43–46. doi: 10.1016/0030-4220(71)90238-
6

Rodiani, Susianti and Gemayangsura (2017) ‘P 2 A 0 Post Partum Hemorrhagic Post


Partum Et Causa Inversio Uteri , Syok Hemoragik dan Anemia Berat’, Jurnal
Kesehatan dan Agromedicine, 4, pp. 97–102

Rosidah, Shintami, R. A. and Puspandhani, M. E. (2020) ‘Faktor-Faktor Yang


Berhubungan Dengan Kejadian Perdarahan Post Partum Di RSUD Indramayu’,
Syntax Fusion, 1(1), pp. 1–9

Runjati dkk (2017) Kebidanan Teori dan Asuhan. 1st edn. Edited by Runjati and S.
Umar. Jakarta: EGC

Saifuddin, A. B. (2009) Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan


Neonatal. Jakarta: EGC

Saifuddin, A. B. (2014) Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan


Neonatal. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo

Satriyandari, Y. and Hariyati, N. R. (2017) ‘Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi


Kejadian Perdarahan Postpartum’, Journal of Health Studies, 1(2), pp. 49–64.
doi: 10.31101/jhes.185

Simanjuntak, L. (2020) ‘Perdarahan Postpartum (Perdarahan Paskasalin)’, Jurnal Visi


Eksakta, 1(1), pp. 1–10. doi: 10.51622/eksakta.v1i1.51

Siswosudarmo, R. (2016) ‘Penanganan Perdarahan Pascasalin Terkini dalam Upaya


Menurunkan Angka Kematian Ibu’, FK UGM Yogyakarta, p. 20. Available at:
obgin-ugm.com

Sukma, F., Hidayati, E. and Jamil, S. N. (2017) Buku Ajar Asuhan Kebidanan Pada
Masa Nifas. Jakarta: Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Jakarta

Sulistyawati, A. (2010) Buku Ajar Asuhan Kebidanan Pada Ibu Nifas. Yogyakarta:
Andi Offset

Ulfiana, E. et al. (2019) ‘Pengaruh Pemberian Ubi Jalar Ungu terhadap Peningkatan
Kadar Haemoglobin Pada Ibu Hamil Trimester III’, Jurnal Kebidanan, 9(1),
pp. 90–96. doi: 10.31983/jkb.v9i1.4027

Wahyuni, E. D. (2018) Asuhan Kebidanan Nifas dan Menyusui. 1st edn. Jakarta:
Kemenkes RI Pusdik SDMK BPPSDMK

Wahyuningsih, S. (2019) Asuhan Keperawatan Post Partum. Yogyakarta:


Deepublish

Yuliana, D. (2019) ‘Hubungan Riwayat Preeklamsia Dengan Kejadian Perdarahan


Postpartum Pada Ibu Bersalin Di RSD Mayjend HM. Ryacudu Kotabumi
Lampung Utara’, Malahayati Nursing Journal, 1(2), pp. 1689–1699

Anda mungkin juga menyukai