Disusun oleh :
KRISTIANTI FADIELLA PUTRI
P1337424821328
A. LATAR BELAKANG
umur kehamilan lebih dari 20 minggu atau segera setelah persalinan dan gangguan
Pre eklamsia atau toksemia preeklantik (pre eclamtic toxaemia, PET) adalah
penyebab utama mortalitas dan morbiditas ibu dan janin. Pre eklamsia dapat timbul
pada masa antenatal, intrapartum, dan postnatal. Pre eklamsia dapat terjadi dengan
Eklamsia adalah suatu penyakit yang pada umumnya terjadi pada wanita
kelainan akut pada ibu hamil yang tidak dapat disebabkan oleh hal lain.
Sectio cesarea adalah pembedahan guna melahirkan anak lewat insisi pada
dilakukan di Amerika Serikat pada tahun 1827. Sebelum tahun 1800 sectio cesarea
jarang dikerjakan dan biasanya fatal. Di London dan Edinburg pada tahun 1877, dari
52 persen yang terutama disebabkan oleh infeksi dan perdarahan (Oxorn, dkk., 2010).
timbulnya hipertensi disertai dengan proteinuria pada umur kehamilan lebih dari 20
minggu dan dapat timbul pada masa antenatal, intrapartum, dan postnatal. Hasil
Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 menunjukkan bahwa secara
nasional Angka Kematian Ibu di Indonesia adalah 228/100.000 kelahiran hidup, yang
disebabkan oleh perdarahan 28%, eklampsia 12%, abortus 13%, sepsis 15%, partus
lama 18%, dan penyebab lainnya 2%.Angka ini masih jauh dari target tujuan
menyusun Laporan Praktik sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Pendidikan
Kegawatdaruratan Maternal Pada Ny. S.F, Usia 30 Tahun G2P1A0 UK 37+4 Minggu
Janin Tunggal Hidup Intrauterine Letak Membujur, Puki Presentasi Kepala Dengan
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan di atas, maka penulis
merumuskan masalah yaitu “Bagaimana Asuhan Kebidanan pasien Pada Ny. S.F,
Usia 30 Tahun G2P1A0 UK 37+4 Minggu Janin Tunggal Hidup Intrauterine Letak
Membujur, Puki Presentasi Kepala Dengan Pre Eklampsia Berat Dan Riwayat SC?’’
Kebidanan pasien Pada Ny. S.F, Usia 30 Tahun G2P1A0 UK 37+4 Minggu Janin
Tunggal Hidup Intrauterine Letak Membujur, Puki Presentasi Kepala Dengan Pre
2. Tujuan umum
dan obyektif), masalah kebidanan beserta etiologinya pada pasien post sectio
d. Mampu menyusun rencana tindakan asuhan kebidanan pada pasien post sectio
e. Mampu melakukan tindakan sesuai rencana kebidanan pada pasien post sectio
c. Etiologi
Menurut FK UNPAD (2017), penyebab pre eklamsia belum diketahui
pasti. Namun demikian, penyakit ini lebih sering ditemukan pada waktu
hamil yang:
1) Terpajan vili korialis pertama kali (primigravida atau primipaternitas
2) Terpajan vili korialis berlebihan (hiperplasentosis), misalnya pada
kehamilan kembar atau mola hidatidosa
3) Mempunyai dasar penyakit ginjal atau kardiovaskular
4) Mempunyai riwayat pre eklamsi/eklamsia dalam keluarga
Menurut (Cunningham FG, 2013) sejumlah besar mekanisme telah
diajukan untuk menjelaskan penyebab penyakit ini, yang merupakan hasil
akhir sebagai faktor meliputi faktor pada ibu, plasenta, dan janin. Faktor
faktor yang saat ini dianggap penting mencakup:
1) Implantasi plasenta disertai invasi trofoblatik abnormal pada pembuluh
darah uterus
2) Toleransi imunologis yang bersifat maladaptif diantara jaringan
maternal, paternal (plasental), dan fetal
3) Maladaptasi maternal terhadap perubahan kardiovaskular atau
inflamatorik yang terjadi pada kehamilan normal
4) Faktor-faktor genetik, termasuk gen predisposisi yang diwariskan,
serta pengaruh epigenetik.
Walaupun penyebab pre eklamsia berat belum diketahui, kelainan ini
cenderung terjadi pada kelompok tertentu, meliputi:
1) Primigravida
2) Peningkatan risiko sesuai dengan peningkatan usia
3) Riwayat keluarga dengan hipertensi atau pre eklamsia berat
4) Adanya hipertensi sebelumnya terutama penyakit ginjal atau penyakit
jaringan ikat
5) Kehamilan ganda
6) Diabetes gestasional
7) Mola hidatidosa
8) Sensitisasi rhesus yang parah
(Cunningham FG, 2013).
d. Patogenesis
Redman, dkk 2008) memperkenalkan teori 2 tahap (two-stage disorder)
untuk menjelaskan etiopatogenesis pre eklamsia :
1) Tahap 1- disebut juga tahap pre klinik, tahap ini disebabkan oleh
kegagalan invasi trofoblas sehingga terjadi gangguan remodelling
arteri piralisarteri uteria yang menyebabkan vasospasme dan hipoksia
2) Tahap 2- disebut juga tahap klinik, tahap ini disebabkan oleh stress
oksidatif dan pelepasan faktor plasenta ke dalam sirkulasi darah ibu
yang mencetuskan respons inflamasi sistemik dan aktivasi endotel
Disfungsi endotel akan ditandai oleh peningkatan zat
vasokonstriktor, penurunan zat vasodilator, peningkatan permeabilitas
kapiler dan gangguan sistem pembekuan darah yang merupakan
stadium klinik sindrom pre eklamsia.
Tahap 2 sangat dipengaruhi oleh faktor penyakit ibu, seperti
penyakit jantung atau ginjal, DM, kegemukan atau penyakit keturunan
Vasospasme
Stres Oksidatif
Pelepasan faktor
Tahap II plasenta
Sindrom preeklamsia
e. Prognosis
Prognosis bergantung kepada terjadinya eklamsia, jika eklamsia
terjadi, prognosis menjadi kurang baik. Prognosis sang anak juga turut
memburuk bergantung kepada saat pre eklamsia menjelma dan kepada
keparahan preeklamsia. Kematian perinatal sebesar 20% dan sangat
dipengaruhi oleh prematuritas.
Ada ahli yang berpendapat bahwa pre eklamsia dapat menyebabkan
hipertensi menetap, terutama bila pre eklmsia berlangsung lama atau, bila
gejala-gejala pre eklamsia timbul. Sebaliknya, ahli lain menganggap bahwa
penderita hipertensi menetap seusai persalinan sudah menderita hipertensi
sebelum hamil (hipertensi kronik) (FK UNPAD, 2017).
Pre eklamsia berat dan komplikasinya dapat mengalami perbaikan
setelah kehamilan diakhiri dengan syarat penderita tidak terlambat dalam
penanganan dan pemberian terapi. Diuresis terjadi 12 jam pasca persalinan
dan tekanan darah kembali normal merupakan prognosis yang baik.
Prognosis janin tergantung pada usia gestasi dan masalah yang
berhubungan dengan prematuritas (Saifuddin, 2010).
f. Tanda dan Gejala Pre eklamsia Berat
1) Tekanan darah ≥ 160/110 mmHg
2) Proteinuria ≥ 5 gram/liter setiap 24 jam atau ≥ +2 dipstik
3) Ada keterlibatan organ lain :
a) Hematologi: trombositopenia (<100.000/ul), hemolisis
mikroangiopati
b) Hepar: peningkatan SGOT dan SGPT, nyeri epigastrik atau kuadran
kanan atas
c) Neurologis: sakit kepala persisten, skotoma pengelihatan
d) Janin: pertumbuhan janin terhambat, oligohidramnion
e) Paru: edema paru dan/atau gagal jantung kongestif
f) Ginjal: oliguria (≤500 ml/24 jam), kreatinin 1,2 mg/dl
(POGI, 2016).
g. Komplikasi
Komplikasi preeklamsi menurut JMS 119 (2013) yaitu:
1) Komplikasi pada ibu
a) Atonia uteri
b) Sindrom HELLP (Hemolysis, elevated liver enzymes, low platelet
count) yaitu: mengalami hemolisis (H), peningkatan enzim hati
(EL), dan jumlah trombosit rendah (low platelet, LP)
c) Eklamsia
d) Ablasio retina
e) KID (Koagulasi intravaskuler diseminata)
f) Gagal ginjal perdarahan otak
g) Edema paru
h) Gagal jantung
i) Syok sampai kematian
j) Nyeri epigastrik, gejala-gejala serebral
2) Komplikasi pada janin
Menurut Anik Maryunani dan Yulianingsih (2012) komplikasi
ibu dengan preeklampsia meliputi: cerebral vascular accident,
kardiopulmonari edema, retardasi pertumbuhan, kematian janin intra
uterine yang disebabkan oleh hipoksia dan premature. Komplikasi
preeklampsia yang lain adalah: Ablatio retinae, gagal ginjal,
perdarahan otak, gagal jantung dan edema paru.
h. Patofisiologi
Gabungan kompleks antara abnormalitas genetik, faktor imunologis
dan faktor plasenta merupakan penyebab perubahan yang terjadi pada
preeklamsia berat. Perubahan awal implantasi plasenta di uterus merupakan
faktor predisposisi yang kuat terjadinya penyakit sistemik. Pada
preeklamsia berat, terjadi kelainan invasi sel trofoblas yaitu arteri spiralis
mempertahankan tonus dan berdilatasi hanya 40 % dari yang biasanya pada
kehamilan normal dan invasi ini terhenti pada minggu ke 14-15. Hal
tersebut mengakibatkan berkurangnya perfusi plasenta dan hipoksia janin.
Akibat implantasi plasenta yang buruk atau penurunan kondisi janin, terjadi
disfungsi endotelial secara menyeluruh, akibatnya terjadi gangguan multi-
organ dan gejala preeklamsia seperti kenaikan tekanan darah, proteinuria,
sakit kepala, gangguan penglihatan dan nyeri epigastrik (Bothamley dan
Boyle, 2012).
Billington dan Stevenson (2010) juga menjelaskan terjadinya pre
eklamsia berat disebabkan karena suatu kondisi iskemia relatif akibat
implantasi plasenta yang buruk, plasenta yang besar atau abnormal dan
faktor lain yang menurunkan perfusi plasenta. Respon sistemik maternal
dipengaruhi oleh faktor genetik, perilaku atau lingkungan juga memicu
terjadinya preeklamsia berat. Faktor plasenta dan maternal tersebut
mengakibatkan disfungsi endotel yang merupakan reaksi radang
intravaskular maternal. Disfungsi sel endotel umum dapat digunakan
sebagai dasar diagnosis preeklamsia antara lain hipertensi, proteinuria,
oedema, koagulopati, gangguan fungsi ginjal dan disfungsi hati.
Gangguan Plasenta Respon sistemik maternal
Implantasi plasenta yang Faktor genetic
buruk Faktor imunologis
Plasenta abnormal
Penurunan perfusi
plasenta
Iskemia relatif
Komplikasi Janin :
Hambatan
pertumbuhan, Disfungsi endotelial
penurunan cairan,
penurunan aliran darah
arteri umbilikalis
Vasokontriksi arteriola
pada organ tubuh mayor
Preeklamsi Berat
2) Paritas
Pre eklampsia sering disebut sebagai penyakit kehamilan pertama
karena banyaknya kasus pre eklampsia yang muncul pada kehamilan
pertama. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa nuliparitas
meningkatkan kemungkinan terjadinya pre eklampsia sebanyak 3 kali
lipat. Sedangkan ibu yang masuk ke dalam golongan multipara adalah
ibu yang sudah melahirkan lebih dari 1 kali dan tidak lebih dari 4 kali,
memiliki risiko sebesar 1% untuk mengalami pre eklampsia.
Hal ini sejalan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Asmara
(2103) bahwa pre eklampsia berat lebih didominasi oleh kelompok
paritas ≥1 yang bukan merupakan faktor risiko. Sama halnya dengan
faktor usia, karena terdapat perbedaan jumlah sampel pada kedua
kelompok paritas, maka perlu dilihat proporsi kejadian preeklampsia
berat pada kedua kelompok paritas. Namun, berdasarkan proporsi
yang didapatkan, proporsi preeklampsia berat tetap lebih tinggi pada
kelompok paritas ≥1, yakni dengan proporsi 8,68%.
3) Riwayat Preeklampsia sebelumnya
Ibu yang mengalami pre eklampsia pada kehamilan pertamanya,
akan memiliki risiko 7 kali lipat lebih besar untuk mengalami
preeklampsia pada kehamilan berikutnya.
4) Kehamilan multipel
Ketika seorang ibu mengandung lebih dari 1 janin dalam
kandungannya, maka risiko ibu tersebut mengalami preeklampsia
meningkat hampir 3 kali lipat. Pada kehamilan ganda penyebabnya
adalah pembesaran uterus dan akan memperlihatkan prognosis
neonatus yang lebih buruk daripada ibu hamil dengan janin tunggal
(Rahmadani et al, 2012). Menurut penelitian yang dilakukan di RS H
Soewondo Kendal disimpulkan bahwa ibu dengan kehamilan ganda
memiliki resiko terjadi preeklamsia berat 1,52 kali dibandingkan
dengan seorang ibu dengan kehamilan tunggal.
5) Penyakit terdahulu
Jika sebelum hamil ibu sudah terdiagnosis diabetes, kemungkinan
terkena preeklampsia meningkat 4 kali lipat. Sedangkan untuk kasus
hipertensi, Davies et al mengemukakan bahwa prevalensi
preeklampsia pada ibu dengan hipertensi kronik lebih tinggi dari pada
ibu yang tidak menderita hipertensi kronik. Mc Gowan et al
membandingkan luaran pada 129 ibu dengan hipertensi kronik yang
tidak mengalami preeklampsia superimpos dengan 26 ibu yang
mengalami preeklampsia superimpos. Data menunjukkan bahwa ibu
yang mengalami preeklampsia superimpos memiliki tingkat
morbiditas perinatal, bayi yang kecil untuk umur kehamilan tersebut,
dan persalinan sebelum umur kehamilan 32 minggu yang lebih tinggi.
Sedangkan untuk ibu yang sebelumnya didiagnosis dengan sindrom
antifosfolipid meningkatkan risiko terjadinya preeklampsia secara
signifikan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Nina Rahmawati2,
2016) hasil analisis dengan uji chi square didapati p.value 0,047
artinya ada hubungan yang signifikan antara riwayat penyakit dengan
kejadian preeklampsia berat. Dari analisis juga diketahui nilai odds
ratio (OR) 2,786 artinya ibu yang mempunyai riwayat penyakit
mempunyai peluang 2,786 kali untuk mengalami kehamilan dengan
preeklampsia berat dibandingkan dengan ibu yang tidak mempunyai
riwayat penyakit. Hasil penelitian ini sejalan dengan teori menurut
(Cunningham FG, 2013) yang menyatakan bahwa faktor predisposisi
terjadinya preeklampsia salah satunya dipengaruhi oleh riwayat
penyakit keluarga seperti adanya preeklampsia dan eklampsia,
diabetes mellitus, penyakit vaskuler atau ginjal kronik, hipertensi
kronik dan mola hidatidosa. Berdasarkan hasil penelitian terhadap ibu
hamil dengan preek-lampsia berat yang penulis temukan di RSD
Raden Mattaher Jambi, terdapat 20% ibu hamil dengan preeklampsia
berat yang memiliki riwayat penyakit seperti hipertensi, jantung dan
diabetes mellitus.
6) Jarak antara kehamilan
Hubungan antara risiko terjadinya pre eklampsia dengan interval
kehamilan lebih signifikan dibandingkan dengan risiko yang
ditimbulkan dari pergantian pasangan seksual. Risiko pada kehamilan
kedua atau ketiga secara langsung berhubungan dengan waktu
persalinan sebelumnya. Ketika intervalnya adalah lebih dari sama
dengan 10 tahun, maka risiko ibu tersebut mengalami preeklampsia
adalah sama dengan ibu yang belum pernah melahirkan sebelumnya.
7) Indeks masa tubuh
Penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan risiko
munculnya pre eklampsia pada setiap peningkatan indeks masa tubuh.
Sebuah studi kohort mengemukakan bahwa ibu dengan indeks masa
tubuh >35 memiliki risiko untuk mengalami preeklampsia sebanyak 2
kali lipat. Sebuah studi lain yang membandingkan risiko antara ibu
dengan indeks masa tubuh rendah dan normal menemukan bahwa
risiko terjadinya preeklampsia menurun drastis pada ibu dengan indeks
masa tubuh <20.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh (Nina
Rahmawati2, 2016) didapatkan hasil bahwa subjek penelitian yang
b) Suplementasi Kalsium
Hasil metaanalisis dari 13 uji klinis yang melibatkan 15.730
pasien didapatkan rerata risiko peningkatan tekanan darah
menurun dengan suplementasi kalsium (1,5-2 gr kalsium
elemental/hari) bila dibandingkan dengan plasebo. Terdapat
penurunan pada rerata risiko kejadian preeklampsia yang
berkaitan dengan suplementasi kalsium. Efek ini terlihat lebih
besar pada wanita dengan asupan kalsium yang rendah (<900
mg/hari) dan yang memiliki risiko tinggi. Risio rerata untuk
persalinan preterm juga turun pada kelompok perlakuan yang
mendapatkan kalsium dan pada wanita yang berisiko tinggi
mengalami preeclampsia. Hasil luaran terkait morbiditas dan
mortalitas ibu menunjukkan penurunan (Hofmeyr dkk, 2010).
c) Suplementasi Minyak Ikan
Asam lemak yang bersifat kardioprotektif ditemukan dalam
sejumlah ikan berlemak yang banyak ditemukan dalam diet orang
Skandinavia dan Eskimo Amerika. Sehingga muncul teori bahwa
asam lemak tersebut dapat mencegah preeklamsia (Cunningham
FG, 2013).
2) Obat-obatan kardiovaskular : diuretik, obat antihipertensi
(Cunningham FG, 2013).
3) Antioksidan
Terdapat data empiris bahwa ketidakseimbangan antara aktivitas
oksidan dan antioksidan mungkin memiliki peran penting dalam
patogenesis preeklamsia. Dua antioksidan alamaiah vitamin C dan E
dapat menurunkan oksidasi tersebut. Perempuan yang mengalami
preeklamsia ditemukan memiliki kadar plasma yang rendah untuk
kedua vitamin tersebut. Jadi, suplememntasi diet diajukan sebagai
metode untuk memperbaiki kemampuan oksidatif perempuan yang
beresiko mengalami preeklamsia (Cunningham FG, 2013).
4) Obat antitrombotik
a) Aspirin dosis rendah
Berbagai Randomized Controlled Trial (RCT) menyelidiki
efek penggunaan aspirin dosis rendah (60-80 mg) dalam
mencegah terjadinya preeklampsia. Berdasarkan data Cochrane
yang menganalisis 59 uji klinis (37.560 subyek), didapatkan
penurunan risiko preeklampsia sebanyak 17% pada kelompok
yang mendapat agen antiplatelet. Peningkatan yang nyata dijumpai
pada kelompok dengan risiko yang tinggi. Dibandingkan
penggunaan aspirin dosis 75 mg atau kurang, penggunaan agen
antiplatelet dosis yang lebih tinggi berhubungan dengan
penurunan yang nyata risiko preeclampsia Penggunaan aspirin
dosis rendah untuk pencegahan primer berhubungan dengan
penurunan risiko preeklampsia, persalinan preterm, kematian janin
atau neonatus danmbayi kecil masa kehamilan, sedangkan untuk
pencegahan sekunder berhubungan dengan penurunan risiko
preeklampsia, persalinan preterm < 37 minggu dan berat badan
lahir < 2500 g (L. Duley, 2010).
n. Penatalaksanaan
1) Pengobatan Medisinal
a) Obat anti kejang
Menurut (Kemenkes, 2013), tatalaksana umum pada
preeklamsi antara lain :
(1) Bila terjadi kejang, perhatikan jalan napas, pernapasan
(oksigen) dan sirkulasi (cairan intravena).
(2) MgSO4 diberikan secara intravena kepada ibu dengan
eklampsia (sebagai tata laksana kejang) dan preeklampsia
berat (sebagai pencegahan kejang). Syarat pemberian MgSO4
menurut JMS 119 (2013) :
(a) Tersedia Ca Gluconas 10%
(b) Ada reflek patella
(c) Jumlah urin minimal 30 ml/jam dalam 4 jam terakhit
(d) Ferkuensi pernapasan minimal 16x/menit
(3) Cara pemberian MgSO4 adalah:
Menurut Panduan Praktik Klinik RSUP Dr. Kariadi
(Observasi dan Manajemen inisial di UGD).
(a) Dosisi Awal (Loading dose) Magnesium sulfat 4 gram
selama 5-10 menit, dilanjutkan dosis pemeliharaan 1-2
g/jam.
(b) Perhatikan syarat-syarat pemberian MgSO4
(c) Pemberian antihipertensi awal bila tekanan darah
≥160/110 mmHg setengah jam setelah pemberian MgSO4.
(d) Pilihan pertama antihipertensi, adalah Nifedipin 10 mg
oral dapat diulang 15-30 menit dengan dosis maksimal 30
mg. Terapi oral yang lain adalah metildopa 500 mg tiap
6-8 mg .
(e) Jika terapi oral gagal maka dapat diberikan preparat lain
secara intravena yaitu Nicardipin. Nicardipin infus yaitu
5 mg/jam, dan dapat dititrasi 2.5 ml/jam tiap 5 menit
hingga maksimum 10 mg /jam jam atau hingga
penurunan tekanan arterial rata-rata sebesar 25 %
tercapai. Kemudian dosis dapat dikurangi dan
disesuaikan dengan respon.
(f) Jika dipertimbangkan akan dilakukan terapi konservatif,
dapat dimulai pemberian kortikosteroid di UGD
Menurut Buku saku Pelayananan Kesehatan Ibu di Fasilitas
Kesehatan Dasar dan Rujukan, (2013) :
Dosis Rumatan (Maintenance dose) : Berikan dosis awal 4
g MgSO4 sesuai prosedur untuk mencegah kejang atau
kejang berulang. Sambil menunggu rujukan, mulai dosis
rumatan 6 g MgSO4 dalam 6 jam sesuai prosedur.
Cara pemberian dosis awal : Ambil 4 g larutan MgSO4 (10
ml larutan 40%) dan larutkan dengan 10 ml aquadest.
Berikan larutan tersebut secara perlahan IV selama 20
menit.
Jika akses intravena sulit, berikan masing-masing 5 mg
MgSO4 (12,5 ml larutan MgSO4 40%) IM di bokong kiri
dan kanan.
Ambil 6 g MgSO4 (15 ml larutan MgSO4 40% ) dan
larutkan dalam 500 ml larutan Ringer laktat / Ringer
Asetat, lalu berikan secra IV dengan kecapatan 28 tetes
/menit selama 6 jam, dan diulang hingga 24 jam setelah
persalinan atau kejang berakhir).
(4) Lakukan pemeriksaan fisik tiap jam meliputi tekanan darah,
frekuensi nadi, frekuensi pernapasan, refleks patella dan
jumlah urin.
(5) Bila frekuensi pernapasan < 16x/menit dan atau tidak
didapatkan reflek tendon patella dan atau terdapat oliguria
(produksi urin < 0,5 ml/kgBB/jam), segera hentikan
pemberian MgSO4.
(6) Jika terjadi depresi napas berikan Ca Glukonas 1 g IV (10 ml
larutan 10%) bolus dalam 10 menit.
(7) Selama ibu dengan preeklamsia dan eklamsia dirujuk, pantau
dan nilai adanya perburukan preeklamsia. Apabila terjadi
eklamsia, kembali MgSO4 2 g IV perlahan (15-20 menit), bila
setelah pemberian MgSO4 ulangan masih terdapat kejang,
dapat dipertimbangkan pemberian diazepam 10mg IV selama
2 menit.
2) Obat Antihipertensi : ibu dengan hipertensi berat selama kehamilan
perlu mendapat terapi antihipertensi
3) Pilihan antihipertensi disasarkan pada pengalaman dokter dan
ketersedia obat. Beberapa jenis antihipertensi yang dapat digunakan
misalnya :
a) Nifedipin 4x10-30 mg peroral (short acting), 1x20-30 mg peroral
(long acting/Adalat OROS®)
b) Nikardipin 5 mg/jam, dapat dititrasi 2,5 mg/jam tiap 5 menit hingga
maksimum, 10 mg/jam
c) Metildopa 2x 250-500 mg per oral (dosis maksimum 2000mg/hari).
Diperkuat dengan penelitian Ulfah (2016) yang menyatakan
bahwa evaluasi penggunaan obat anti hipertensi pada pasien
preeklampsia berat rawat inap di RS PKU Muhammadiyah Bantul
periode Januari-Desember 2015 yang paling banyak diberikan yaitu
nifedipin, dengan tepat indikasi 100 %, tepat obat 100%, tepat
pasien 100 %, dan tepat dosis 100 %.
4) Pemeriksaan penunjang yang dilakukan yang berkaitan dengan ibu
hamil menurut (Kemenkes, 2013):
a) Hitung darah perifer lengkap (DPL)
b) Golongan darah ABO, Rh, dan uji pencocokan silang
c) Fungsi hati (LDH, SGOT, SGPT)
d) Fungsi ginjal (ureum, kreatin serum)
e) Profil koagulasi (PT, APTT, fibrinogen)
f) USG (terutama jika ada indikasi gawat janin/pertumbuhan janin
terhambat).
5. Tata laksana Preeklamsia
PRE EKLAMSIA
Berat Ringan
Konservatif
<36 Minggu >36 Minggu
Konservatif Aktif
Membaik Memburuk
Akhiri
Membaik Gagal (12-24 Tunggu Akhiri pada
Kehamilan
jam) Aterm >37 Minggu
Tunggu Aterm
Partus
Biasa
Akhiri Akhiri
Kehamilan Kehamilan
FAKTOR:
Genetik
Bahan Vasoaktif: Imunologi
-Prostalglandine Inflamasi
-Nitric Oxide
Cytokine
- Endoteli Perfusi Lipidperoksidadi
Uteroplasenta
AKTIVASI
ENDOTEL
Aktivasi
VASOSPASME Kebocoran Koagulasi
Kapiler
Edema Proteinuria
Hemokosentrasi
TROMBOSITOPENIA
Hipertensi
Kejang
Oliguria
Solusio Plasenta
Iskemia hepar
e) Personal hygiene
Dikaji untuk mengetahui berapa kali dalam sehari ibu menjaga
kebersihan diri. Mandi, gosok gigi, keramas, dan ganti pakaian.
(Sulistyawati, 2012).
f) Pola seksual
Dikaji untuk mengetahui berapa kali ibu melakukan hubungan
seksual selama seminggu terdapat keluhan atau tidak (Saifuddin,
2007).
11) Psikososial spiritual
Menanyakan kepada klien tentang psikososial spiritual yang terdiri
dari:
a) Tanggapan dan dukungan keluarga
Ditanyakan apakah pasien sudah menerima kondisinya saat ini
dan bagaimana harapan pasien terhadap kondisinya sekarang, hal
ini dikaji agar memudahkan tenaga kesehatan dalam memberikan
dukungan secara psikologis kepada pasien.
b) Pengambilan keputusan dalam keluarga.
Dikaji untuk mengetahui siapa pengambil keputusan pertama dan
kedua dalam keluarga ketika terjadi sesuatu kepada pasien.
c) Ketaatan beribadah
Dikaji untuk mengetahui bagaimana ketaatan pasien dalam
beribadah menurut kepercayaannya.
d) Lingkungan yang berpengaruh
Dikaji dengan siapa ibu tinggal, bagaimana dengan lingkungan
sekitar rumah ibu, dan apakah ibu mempunyai hewan peliharaan.
Hal ini dikaji untuk mengetahui apakah lingkungan rumah
mempunyai pengaruh terhadap kesehatan ibu.
b. (Data Objektif)
Yaitu data yang diperoleh dari hasil observasi yang jujur dari
pemeriksaan fisik pasien, pemeriksaan laboratorium/pemeriksaan
diagnostik lainnya. Catatan medik dan informasi dari keluarga atau
orang lain dapat dimasukan dalam data onjektif ini. Data obyektif
adalah data yang didapat dari pasien sebagai suatu pendapat terhadap
suatu situasi dan kejadian (Nursalam, 2008).
1) Pemeriksaan Umum
a) Keadaan umum: untuk mengetahui keadaan ibu dan tingkat
kesadaran pasien, sedang atau baik (Nursalam, 2008).
b) Kesadaran: untuk mengetahui tingkat kesadaran ibu apakah
composmentis, samnolen, dan koma (Nursalam, 2008).
c) Tanda vital
(1) Tensi : untuk mengetahui faktor resiko hipertensi
(Saifuddin, 2007). Batas normal 120/80< 140/90 mmHg
(Prawirohardjo, 200).
(2) Nadi: dalam keadaan santai denyut nadi ibu sekitar 60-
80x/menit. Denyut nadi 100x/menit atau lebih dalam
keadaan santai merupakan pertanda buruk.
(3) Pernafasan: untuk mengetahui fungsi system
pernafasan. Normalnya 16-24x/menit.
(4) Suhu tubuh: suhu tubuh yang normal adalah 36-37,50C.
Suhu tubuh lebih dari 370C perlu diwaspadai adanya
infeksi.
2) Pemeriksaan fisik/status present
a) Kepala
Untuk mengetahui rambut rontok atau tidak, bersih atau
kotor, dan berketombe atau tidak (Sulistyawati, 2012).
b) Muka
Apakah terdapat odema atau tidak, muka pucat atau tidak
(Hani, dkk, 2011)
c) Mata
Untuk mengetahui warna konjungtiva pucat atau tidak,
sklera putih/kuning (Varney, 2007).
d) Hidung
Untuk mengetahui adanya kelainan, cuping hidung,
benjolan, dan sekret (Hani,dkk, 2011)
e) Mulut, gigi, dan gusi
Untuk mengetahui adanya stomatitis, karies gisi, gusi
berdarah atau tidak (Sulistyawati and Nugraheni, 2010)
f) Telinga
Untuk mengetahui keadaan telinga, ada kotoran/serumen
atau tidak (Sulistyawati and Nugraheni, 2010)
g) Leher
Untuk mengetahui ada tidaknya pembengkakan kelenjar
limfe, kelenjar tyroid, dan pembesaran vena jugularis
(Hani,dkk, 2011)
h) Dada dan Axila menurut Ambarwati dalam buku Asuhan
Kebidanan pada ibu nifas, yaitu:
(1) Mamae: Untuk mengetahui adanya pembesaran pada
mamae, simetris atau tidak, puting susu menonjol atau
tidak, ada benjolan atau tidak, dan sudah ada
pengeluaran kolostrum atau belum
(2) Axila: Untuk mengetahui adanya nyeri tekan dan
adanya benjolan pada daerah axila.
i) Genetalia
Untuk mengetahui apakah ada varises pada vagina, dan
adakah pengeluaran pervaginam yaitu pengeluaran lokea
(warna, bau, banyaknya, konsistensi), serta adakah robekan
jalan lahir dan kontraksi uterus (Varney H, 2007).
j) Anus
Untuk mengetahui adakah Hemoroid, dan varises pada anus
(Sulistyawati, 2012).
k) Ekstermitas
Untuk mengetahui adakah varises, odema atau tidak, apakah
kuku jari pucat, suhu atau kehangatan, dan untuk
mengetahui reflek patella (Hani,dkk, 2011).
3) Pemeriksaan khusus obstetri
a) Inspeksi adalah proses pengamatan dilakukan untuk menilai
keadaan (Saifuddin, 2010)
(1) Muka
Terdapat cloasma gravidarum atau tidak,oedem atau
tidak
(2) Payudara
Simetris, ada retraksi dada atau tidak, puting menonjol
atau tidak
(3) Abdomen
Untuk mengetahui adanya luka bekas operasi obstetrik
(4) Genetalia: Pada genetalia dilakukan pemeriksaan
mengenai kebersihannya, ada tidaknya oedema, ada
tidaknya varises, ada tidaknya condyloma akuminata
dan condyloma lata (Romauli, 2011).
b) Palpasi adalah pemeriksaan dengan indera peraba yaitu
tangan dilakukan untuk menentukan keadaan payudara yaitu
terasa keras dan nyeri bila ditekan (Saifuddin, 2010)
(1) Payudara Untuk mengetahui adanya benjolan pada
payudara yang abnormal, kolostrum dan ASI yang
keluar
(2) Abdomen Pada pemeriksaan abdomen dapat dikaji
mengenai pembesaran abdomen, ada tidaknya luka
bekas operasi, strie dan linea, Tinggi Fundus Uteri
(TFU), palpasi Leopold, kontraksi uterus, Tafsiran Berat
Janin (TBJ), Denyut Jantung Janin (DJJ) (Sulistyawati,
2012).
4) Pemeriksaan penunjang
Mendukung diagnosa medis, kemungkinan komplikasi, kelainan
dan penyakit yang menyertai. Menurut (Kemenkes, 2013)
pemeriksaan penunjang tambahan untuk eklampsia adalah:
a) Darah Perifer Lengkap (DPL)
b) Golongan darah ABO, Rh, dan uji kecocokan silang
c) Fungsi hati (LDH, SGOT, SGPT)
d) Profil Koagulasi (PT, APTT, fibrinogen)
e) USG (terutama jika ada indikasi gawat janin / pertumbuhan
janin terhambat).
c. A (Assessment)
Yaitu kesimpulan yang dibuat dari data-data subjektid/objektif
tersebut
1) Diagnosa kebidanan
Diagnosa kebidanan adalah diagnosa yang ditegakkan dalam
lingkup praktik kebidanan (Varney H, 2007)
Ny. X umur Y tahun G...P...A... hamil ... minggu janin tunggal
hidup intrauterin punggung kanan/ kiri presentasi kepala sudah/
belum masuk pintu atas panggul (PAP) dengan ... (Saminem,
2008).
2) Masalah
Adalah hal-hal yang berkaitan dengan pengalaman klien yang
ditemukan dari hasil pengkajian yang menyertai diagnosa
(Varney H, 2007)
3) Kebutuhan
Dalam bagian ini bidan menentukan kebutuhan pasien
berdasarkan keadaan dan masalahnya (Sulistyawati, 2012).
d. P (Planning)
Yaitu membuat rencana asuhan saat ini dan yang akan datang.
Rencana asuhan disusun berdasarkan hasil analisis dan interpretasi
data.
LAPORAN KASUS
ASUHAN KEBIDANAN KEGAWATDARURATAN MATERNAL
DI RS PERMATA BUNDA PURWODADI
Disusun oleh :
KRISTIANTI FADIELLA PUTRI
P1337424821328
Mengetahui,
Pembimbing Institusi
A. PENGKAJIAN
B. IDENTITAS PASIEN
C. DATA SUBYEKTIF
1. ALASAN DATANG:
Ibu mengatakan datang kiriman dari poli dengan PEB. Tensi 185/112 mmHg.
2. KELUHAN UTAMA:
disertai sakit kepala yang hebat, nyeri ulu hati, pandangan tidak kabur, tidak
mual, tidak muntah, tidak ada riwayat batuk lama maupun melakukan kontak
3. Tanda-tanda Persalinan
4. Riwayat Kesehatan
darahnya tinggi sejak usia kehamilan 8 bulan, riwayat kehamilan kedua dengan
tensi tinggi. Ibu mengatakan tidak pernah atau tidak sedang menderita penyakit
menurun seperti kencing manis, batuk lama lebih dari 2 minggu, sakit kuning
dan HIV AIDS, ibu juga tidak pernah melakukan operasi kandungan.
dan tidak pernah atau tidak ada yang sedang menderita penyakit menurun
seperti kencing manis, maupun penyakit menular seperti batuk lama lebih dari 2
minggu, sakit kuning dan HIV AIDS, dan ibu juga mengatakan dalam
5. Riwayat obstetri:
a. Riwayat Haid:
Menarche : 14 tahun
3) Gerak janin
menjalani operasi
6) Imunisasi TT : 4 kali
KB IUD.
A. Nutrisi
1) Komposisi :
Buah : -
Camilan : -
B. Pola eliminasi:
a. Buang Air Kecil : ibu terpasang DC pukul 14.30 WIB urine 300 cc
C. Personal hygiene
hangat
Gosok Gigi √
7. Aktivitas fisik dan olahraga : ibu mengatakan setiap sabtu dan minggu pagi
selain yang diberikan dokter kandungan dan tidak pernah mengkonsumsi jamu
selama hamil.
9. Riwayat Psikososial-spiritual
a. Riwayat perkawinan :
Keluarga mendukung dan mengantar ibu ke bidan dan suami mengantar ibu
ke rumah sakit.
musyawarah
g. Adat istiadat yang dilakukan ibu berkaitan dengan persalinan : tidak ada
Ibu dapat menerima segala bentuk pelayanan kesehatan yang diberikan oleh
Hal-hal yang sudah diketahui ibu : ibu mengatakan sudah mengetahui bahaya
Hal-hal yang belum diketahui ibu : ibu mengatakan belum mengetahui tentang
Hal-hal yang ingin diketahui ibu : ibu mengatakan ingin tahu makanan yang
D. DATA OBYEKTIF
1. PEMERIKSAAN FISIK:
a. Pemeriksaan Umum:
4) LILA : 32 cm SPO2 : 98
5) BB : 75 kg RR: 20x/menit
6) IMT : 32,8
b. Status present
pandangan kabur
Refleks : + ./ + (positif)
patella
c. Status obstetric
1) Inspeksi :
Muka : Tidak oedema, tidak pucat, tidak ada chloasma
gravidarum
Mamae : Simetris, tidak ada benjolan, putting susu
menonjol, areola menghitam, ASI sudah keluar
Abdomen : Membesar, terdapat linea nigra
Vulva : Tidak ada oedema, tidak ada bartholinitis, tidak
ada varises, PPV tidak ada
2) Palpasi
Leopold I : TFU 3 jari di bawah Px
Teraba satu bagian besar, lunak dan tidak
melenting
Leopold II : kanan : teraba bagian kecil janin
Kiri : teraba satu bagian memanjang,
sedikit melengkung, dan ada tahanan
Leopold III : teraba satu bagian bulat, keras, dan tidak
dapat digoyangkan
Leopold IV : bagian terbawah janin sudah masuk
Panggul (divergen)
Penurunan kepala : 1/5
TFU : 29cm TBJ : 2790gram
3) Auskultasi :
DJJ : 146 x/menit
4) Pemeriksaan Dalam tgl/jam : 7-4-2022 jam 14.15 WIB
Vulva/vagina : tidak ada oedema, tidak ada varises, tidak ada
benjolan
Serviks :
Posisi : anterior / medial /posterior*)
Pembukaan : ∅ 2 cm
Efficement : 10%
Kulit ketuban : utuh
Presentasi : Belakang kepala
POD : Ubun-ubun kecil kanan depan
Penyusupan :0
Penurunan bag. Terbawah : Hodge I
2. Pemeriksaan penunjang : pemeriksaan laboratorium tanggal 7 April 2022
HB : 12,6 g/dl
Leukosit : 11.570 /ul
Tromb : 433.000 /uL
Hematokrit : 36 %
Protein Urin +1
Rapid Ag Negatif
D. ANALISA
E. PELAKSANAAN
CATATAN PERKEMBANGAN
CATATAN PERKEMBANGAN
CATATAN PERKEMBANGAN
P=
1. Memberitahu ibu dan keluarga hasil pemeriksaan
ibu dalam konsisi baik yaitu tekanan darah
lumayan turun, pengembalian rahim normal.
Hasil: ibu sudah mengetahui
2. Menganjurkan ibu untuk tarik nafas panjang dari
hidung hembuskan melalui mulut, berguna untuk
mengurangi nyeri luka operasi. Ulangi hal
tersebut sampai rasa nyeri berkurang dan atau
timbul lagi.
Hasil: ibu bersedia dan dapat mempraktekannya.
3. Melakukan asuhan bayi bau lahir lengkap
Hasil : Bayi sehat, sudah diberikan vit. K dan
salep mata.
4. Melakukan konsultasi dokter anak untuk
memeriksa bayi.
Hasil : dokter spesialis anak sudah memeriksa
bayi dengan advis pasang O2 1 Liter/menit dan
rawat ruang peristi dengan incubator.
5. Mendokumentasikan setiap tindakan.
Hasil : Dokumentasi selesai.
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada bab ini akan dibahas tentang kesenjangan antara tinjauan teori dan
hasil tinjauan kasus pada pelaksanaan asuhan kebidanan pada Ny. S.F usia 30
tahun G2P1A0 UK 37 minggu 4 hari dengan preeklamsi berat. Pembahasan ini di
buat berdasarkan asuhan yang nyata dengan pendekatan asuhan kebidanan dan
dapat memudahkan pembahasan, penulis akan membahas berdasarkan tahap
proses kebidanan sebagai berikut.
A. Pengkajian Data Subjektif
1. Teori
Data subjektif merupakan pendokumentasian manajemen kebidanan
menurut Helen Varney langkah pertama (pengkajian data), terutama data yang
diperoleh melalui anamnesis.
2. Praktek
Untuk memperoleh data subjektif penulis dengan melakukan
pemeriksaan, hasil wawancara yang diperoleh dari ibu datang dari poli karna
keluhan tensi tinggi, pusing dan bengkak pada kaki. Pengkajian data di peroleh
data pada Ny. S.F usia 30 tahun G2P2A0 UK 37 minggu 4 hari dengan
preeklamsi berat. Ny. S.F mengatakan persalinan yang lalu SC dengan Tensi
tinggi.
3. Pembahasan
Pengkajian data merupakan tahap awal untuk menentukan langkah
berikutnya, dari penilaian keadaan umum ibu secara menyeluruh baik yang
bersifat subjektif yang berasal dari keterangan pasien dan keluarga, serta yang
bersifat objektif yang dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan kebidanan dan
pemeriksaan penunjang lainnya, sehingga dapat menentukan diagnosa pada
langkah selanjutnya. Selama melakukan pengkajian penulis tidak menemukan
hambatan karena adanya kerja sama dan komunikasi yang baik antara penulis
dan pasien.
Pada pengkajian yang dilakukan tanggal 07 April 2022. Didapatkan
data identitas pasien Ny. S.F usia 30 tahun, Ny. S.F belum tergolong dalam usia
reproduksi tidak sehat atau sering disebut kehamilan dengan resiko, sesuai
dengan teori masa reproduksi klien beresiko tinggi atau tidak, < 16 tahun atau >
35 tahun (Marmi, 2012; h. 179). Pada pengkajian yang dilakukan ibu mengeluh
Ny. S.F mengatakan pusing yang berat, kedua kaki oedem, tidak bisa tidur
sejak kemarin, janin bergerak aktif.
Ny. S.F memiliki riwayat pendidikan terakhir Sarjana, sehingga dalam
proses asuhan kebidanan yang dilakukan dapat berlangsung dengan baik dan
lancar. Pendidikan menentukan pola fikir seorang ibu dalam menjalani
kehamilannya. Seperti yang dikemukakan oleh Purwatmoko (2011) bahwa
semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin besar peluang untuk
mencari pengobatan ke pelayanan kesehatan. Sebaliknya semakin rendahnya
pendidikan akan menyebabkan seseorang mengalami stres, dimana stres yang
terjadi disebabkan kurangnya informasi yang didapatkan orang tersebut.
Ny. S.F telah melakukan pemeriksaan kehamilan sebanyak 10x, yaitu
2x pada trimester pertama, 4x pada trimester kedua dan 4x trimester ketiga.
Frekuensi ANC ini telah sesuai dengan standar ANC yaitu minimal 4x, yaitu
satu kali pada trimester pertama, satu kali pada trimester kedua dan dua kali
pada trimester ketiga (Kementrian Kesehatan RI, 2019).
Pola penemuhan kebutuhan nutrisi pada Ny. S,F terdapat masalah
yaitu tidak bias makan karena jika makan akan membuatnya mual dan muntah.
Pada anamnesis riwayat psikologis Ny. S.F mengatakan saat ini ada masalah
internal keluarga sehingga membuatnya banyak pikiran, ibu bercerita dan
memusyawarahkan kepada suami. Ibu merasa cemas dengan keadaannya
sekarang karena saat kehamilannya yang pertama tidak seperti ini.
Dalam pengkajian diatas tidak terdapat kesenjangan antara teori dan
praktek dalam analisa dalam pengumpulan sebuah data.
C. Analisa
1. Teori
Pada langkah ini ditemukan sebuah identitas pasien yang akan
dipaparkan di dalam diagnosa kebidanan, masalah, kebutuhan segera dengan
sesuai dengan interpretasi yang benar atau data-data yang adekuat yang telah di
kumpulkan sebuah data dasar yang sudah di kumpulkan di data interpretasikan
sehingga dapat merumuskan sebuah diagnosa, masalah yang spesifik, dan
kebutuhan segera.
2. Praktik
Berdasarkan data yang telah diurai di atas dapat di simpulkan sebuah
diagnosa kebidanan sebagai berikut : Diagnosa : Ny. S.F, Usia 30 Tahun
G2PIA0 UK 37+4 Minggu Janin Tunggal Hidup Intrauterine Letak Membujur,
Puki Presentasi Kepala Dengan Pre Eklampsia Berat Dan Riwayat SC.
Diagnosa Potensial : Eklamsia, Fetal Distress, IUFD, Sindrom HELLP.
Masalah : Tekanan darah ibu tinggi, oedem pada ekstermitas bawah dan pusing.
Kebutuhan : Protap pemberian MGSO4, pemberian oksiden serta posisi miring
kiri, dukungan psikologi, pemenuhan kebutuhan cairan, pemantauan
kesejahteraan janin dan kolaborasi dengan dokter spesialis kandungan (SpOG).
3. Pembahasan
Dalam hal ini ada sebuah tidak ada kesenjangan dengan teori ataupun
praktek dengan data data yang sudah di temukan.
D. Penatalaksanaan
1. Teori
Pada langkah ini, direncanakan sebuah asuhan yang lebih leluasa atau
menyeluruh yang telah dipaparkan di langkah-langkah sebelumnya. Dengan
langkah ini merupakan langkah kelanjutan manjemen kebidanan terhadap
sebuah diagnosa atau masalah yang telah di dapatkan data-datanya.
2. Praktik
Penatalaksanaan yang dilakukan pada tanggal : 07 April 2022 pukul:
14.30 WIB.
a. Memberitahu kepada Ny. S.F hasil pemeriksaan yaitu : TD: 167/110 mmHg,
N: 97 kali/ menit, R: 20 kali/ menit, suhu: 36,6 0C, SpO2: 98 % dan ibu
mengalami pereklamsi atau keracunan kehamilan.
Hasil: ibu mengerti hasil pemeriksaan yang didapat dari pemeriksaan.
b. Memberikan O2 dengan 3 L/menit dan menganjurkan ibu untuk miring kiri
untuk melancarkan peredaran darah ke jantung maupun janin. Posisi terbaik
selama kehamilan adalah tidur miring. Bahkan lebih baik tidur di sisi kiri
karena meningkatkan jumlah darah dan nutrisi yang mencapai plasenta dan
janin.
Hasil : ibu mengertian dan bersedia miring kiri
c. Melakukan advis dokter spesialis kandungan (SpOg) yaitu protab MgSO4 dan
siapkan SC.
Hasil: siapkan MgSO4 dan SC.
d. Memasang kateter urine untuk membantu mengetahui cairan input dan output.
Hasil: sudah terpasang.
e. Memasang Infus RL ditangan sebalah kori ibu.
Hasil : infus sudah terpasang.
f. Memberikan MgSO4 dosis awal yaitu MgSO4 20% 4 gram dengan
memperhatikan syarat-syarat pemberian MgSO4.
Hasil : pernafasan 20x/m, reflek patella +/+, urine >100ml, tersedia antidotum
(Ca gluconas 10%) dan sudah diberikan MgSO4 dosis awal MgSO4 20 %
dengan dosis 4 gram atau 20 cc secara IV bolus selama 5 menit pada pukul
14.05 WIB.
g. Melanjutkan MgSo4 segera dilanjutkan dengan MgSo4 (20%) 6 gr dalam
larutan ringer asetat/ ringer laktat selama 6 jam.
Hasil: sudah dilanjutkan MgSo4 berikutnya.
h. Memberitahu ibu dan keluarga tentang keadaanya bahwa perlu dilakukan
tidakan segera agar ibu dan bayi selamat maka akan dilakukan sesar pukul
14.30 WIB ibu diharapkan untuk puasa. Meminta suami untuk persetujuan
tindakan.
Hasil: ibu dan keluarga sudah memahaminya dan suami sudah tanda tangan
informed consent.
i. Memberitahu kepada ibu dan keluarga bahwa Ny. S.F harus segera dilakukan
tindakan segera untuk menyelamatkan ibu dan bayi, maka dari itu ibu
dihharuskan untuk persiapan operasi sesar yaitu puasa.
Hasil: ibu dan keluarga setuju karena itu yang terbaik, ibu bersedia untuk
puasa.
j. Menyiapkan pasien yang akan dilakukan Caesar seperti : mengganti baju
oprasi dan mencukur rambut kemaluan.
Hasil : ibu sudah memakai baju oprasi.
k. Memantau DJJ dan gerakan janin.
Hasil: djj: 140x/menit dan ibu mengatakan janin bergerak aktif.
l. Memberikan dukungan kepada ibu dan keluarga untuk tidak cemas yang
berlebihan karena operasi akan dilakukan oleh tenaga ahli di bidangnya dan
selalu berdoa agar diberi kelancaran dan kesalamatan.
Hasil: ibu dan keluarga sudah bersedia.
m. Melakukan kolaborasi dengan dokter anastesi dan menghubungi via telfon.
Hasil : dokter anastesi bersedia.
n. Melakukan kolaborasi dengan dokter anak dan menghubungi via telfon.
Hasil : Dokter anak bersedia.
o. Mendokumentasikan setiap tindakan yang dilakukan.
Hasil : dokumentasi sudah tercatat.
.
3. Pembahasan
Dari tinjauan kasus, dengan diagnose preeklamsi berat dengan
masalah tekanan darah tinggi, oedem pada ekstermitas penulis telah melakukan
penatalaksanaan sesaui dengan teori menurut teori
Dilakukan penatalaksanaan dengan tirah baring miring kiri dan
pemberian oksigen nasal kanul. Ibu hamil dengan preeklampsia ringan dapat
dilakukan rawat inap maupun rawat jalan. Pada rawat jalan ibu hamil
dianjurkan banyak istirahat (tidur miring ke kiri). Pada umur kehamilan diatas
20 minggu tidur dengan posisi miring dapat menghilangkan tekanan rahim pada
vena kava inferior yang mengalirkan darah dari ibu ke janin, sehingga
meningkatkan aliran darah balik dan akan menambah curah jantung. Hal ini
berarti pula meningkatkan aliran darah ke organ-organ vital. Penambahan aliran
darah ke ginjal akan meningkatkan laju filtrasi glomerolus dan meningkatkan
diuresis sehingga akan meningkatkan ekskresi natrium, menurunkan reaktivitas
kardiovaskuler, sehingga mengurangi vasospasme. Peningkatan curah jantung
akan meningkatkan pula aliran darah ke rahim, menambah oksigenasi plasenta
dan memperbaiki kondisi janin dan Rahim (Prawirohardjo, 2014).
Melakukan kolaborasi dengan dokter spesialis kandungan (SpOg) dan
hasil dari kolaborasi dengan dokter yaitu pasang kateter urine, MgSO4, Ceftri,
ondasentron, persiapan SC pukul 14.30 WIB.
Preeklampsia berat dapat menjadi eklampsia apabila terjadi kejang
sebagai salah satu manifestasinya. Kejang pada preeklampsia dapat
berkomplikasi menimbulkan sindroma ibu dan sindroma bayi. Langkah
tatalaksana komprehensif dapat dilakukan dengan melakukan pencegahan
kejadian kejang pada preeklampsia agar tidak menjadi eklampsia. Magnesium
sulfat telah digunakan sebagai antikonvulsan sejak lama dan terbukti memiliki
efikasi yang lebih baik dari antikejang lainnya. Magnesium sulfat juga dapat
menurunkan penggunaan antihipertensi pada pasien preeklampsia, menurunkan
angka kematian dan berperan sebagai agen neuroprotektif pada bayi premature
(Amalia, 2020).
Pada penelitian Hariyanti (2011), melalui pendekatan kohort
retroprespektif di RSUP Fatmawati didapatkan hasil penurunan kasus
eklampsia pada pasien dengan pemberian MgSO4 lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien tanpa pemberian MgSO4. Dalam Sariati et al. (2017), dijelaskan
terdapat pengaruh signifikan dengan nilai p value = 0,008, sehingga dapat
disimpulkan bahwa riwayat pengunaan magnesium sulfat saat antenatal pada
bayi prematur memiliki pengaruh yang lebih baik daripada kelompok yang
tidak memiliki riwayat penggunaan magnesium sulfate saat antenatal.
Menganjurkan Ny. S.F untuk latihan miring kanan/kiri, duduk, berdiri
dan jalan pasca SC itu sangat perlu dilakukan. Menurut Pujirahayu (2016)
dalam Nadiya & Mutiara (2018), mobilisasi merupakan suatu kebutuhan dasar
manusia yang diperlukan oleh individu untuk melakukan aktivitas sehari-hari
yang berupa pergerakan sendi, sikap, gaya berjalan, latihan maupun
kemampuan aktifitas. Jika mobilisasi tidak dilakukan pada pasien pasca sectio
caesarea maka akan menyebabkan bahaya fisiologis dan psikologis. Bahaya
fisiologis mempengaruhi fungsi metabolisme normal, menurunkan laju
metabolisme, mengganggu metabolisme karbohidrat, lemak dan protein
menyebabkan kesetidak seimbangan cairan elektrolit dan kalsium dan dapat
menyebabkan gangguan gastrointestinal seperti nafsu makan dan penurunan
peristaltik dengan kontisipasi dan impaksi.
Lina (2017) dalam Nadiya & Mutiara (2018), mobilisasi juga dapat
mempercepat proses penyembuhan luka, dengan melakukan mobilisasi ibu
merasa lebih sehat, kuat dan dapat mengurangi rasa sakit dengan demikian ibu
memperoleh kekuatan, mempercepat kesembuhan, fungsi usus dan kandung
kemih lebih baik, merangsang peristaltik usus kembali normal dan mobilisasi
juga membantu mempercepat organ-organ tubuh bekerja seperti semula.
Kasanah dan Altika (2020) menggambarkan penelitian yang dilakukan
pada sekelompok ibu post partum yang melakukan mobilisasi dini dan
sekelompok lagi yang tidak melakukan mobilisasi dini, masing-masing
sejumlah 10 responden. Pada kelompok intervensi persentase responden yang
mengalami penurunan TFU lebih cepat sebanyak 90% sedangkan pada
kelompok kontrol persentase responden yang mengalami penurunan TFU cepat
sebanyak 20%. Dengan uji Mann-Whitney, diperoleh angka signikansi 0,004.
Karena nilai p < 0,05, dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan bermakna antara
melakukan mobilisasi dini dengan tidak melakukan mobilisasi dini terhadap
proses involusi uteri pada ibu post partum.
Menganjurkan ibu untuk mngomsumsi makanan yang tinggi protein
hewani, menurut hasil penelitian di dapatkan bahwa ibu nifas post SC yang
mengkonsumsi telur rebus semua responden mengalami penyembuhan luka
secara normal (100%) dan yang tidak mengkonsumsi telur rebus 4 responden
mengalami penyembuhan luka secara normal (36,4%) dan yang mengalami
keterlambatan penyembuhan luka sebanyak 7 responden (63,6%). Berdasarkan
uji statistic Mann Whitney menunjukan bahwa p value = 0,002 <0,05, sehingga
dapat di tarik kesimpulan bahwa ada perbedaan penuyembuhan luka post SC
pada ibu nifas yang mengkonsumsi telur rebus dan tidak mengkonsumsi telur
rebus. Ibu nifas post SC mengkonsumsi telur rebus sebanyak 4 butir perhari
selama 7 hari berturut-turut untuk mempercepat penyembuhan luka (Tyas,
2019).
Terdapat tidak ada kesenjangan antara teori dan praktik dimana
perencanaan yang dibuat berdasarkan diagnosa.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Setelah dilakukan Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan Maternal Pada Ny.
S.F, Usia 30 Tahun G2P1A0 UK 37+4 Minggu Janin Tunggal Hidup Intrauterine
Letak Membujur, Puki Presentasi Kepala Dengan Pre Eklampsia Berat Dan Riwayat
Sc hari pertama di ruang VK Rumah Sakit Permata Bunda Purwodadi Tanggal 7
April 2022 telah diterapkan asuhan kebidanan dengan menggunakan pendekatan
manajemen kebidanan 7 (tujuh) langkah varney yang meliputi pengkajian, analisa
masalah dan diagnose, antisipasi masalah potensial, tindakan segera, perencanaan,
pelaksanaan dan evaluasi.
B. SARAN
1. Bagi Penulis
Agar dapat mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang nyata
tentang asuhan kebidanan pada kasus Preeklampsia Berat.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Agar dapat dijadikan sebagai referensi untuk memberikan pendidikan mata
kuliah kegawatdaruratan maternal tentang asuhan kebidanan pada kasus
Preeklampsia Berat.
3. Bagi Profesi
Agar dapat memberikan tambahan ilmu pengetahuan dan sebagai bahan
pertimbangan dalam pembelajaran asuhan kebidanan serta meningkatkan
ketrampilan dalam memberikan dan melaksanakan asuhan kebidanan pada
kasus Preeklampsia Berat.
DAFTAR PUSTAKA
Anisa, P. (2012). Faktor - faktor yang berhubungan dengan kejadian Stunting pada
balita usia 25 – 60 bulan di kelurahan Kalibaru Depok Tahun 2012.
Universitas Indonesia
Cunningham FG,et all. 2013. Obstetri Williams Edisi 23. Jakarta: ECG.
Dr. Ernawati, dr. SpOG(K). 2021. The Role of Mean Arterial Pressure (MAP) Roll
Over Test (ROT) and Body Mass Index (BMI) in Preeclampsia Screening in
Indonesia http://repository.unair.ac.id/96679/
Evi Pratami (2016) Evidence Based Dalam Kebidanan Kehamilan, Persalinan dan
Nifas. Jakarta: EGC.
Fitri. (2012). Berat lahir sebagai faktor dominan terjadinya Stunting pada balita (12-
59 bulan) di Sumatera (Analisis Data Riskesdas 2010). Universitas Indonesia.
Mayna, N. P. 2019. Pengaruh Mobilisasi Dini Terhadap Peristaltik Usus Pasien Post
Pembedahan di RS PKU Muhammadyah Gamping. Journal Of Holistic
Nursing Science, 7(1), 21-31. Skripsi, Sekolah Pasca Sarjana. Yogyakarta.
Universitas Muhammadyah Yogyakarta.
Marni and Rahardjo, K. (2014) Asuhan Neonatus, Bayi, Balita, dan Anak Prasekolah.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muhadi. Nova. 2015. Pre-eklampsia Berat dan Kematian Ibu. Jurnal Kesehatan
Masyarakat Nasional Vol. 10, No. 2.
Nugraheni, Intan, & Kurniarum, Ari. (2016). Perbedaan Efektivitas Ekstrak Ikan
Gabus Dan Daun Binahong Terhadap Lama Penyembuhan Luka Operasi
Sectio Caesarea Pada Ibu Nifas. Interest: Jurnal Ilmu Kesehatan, 5(2), 157–
162.
Nur, Akbar. 2010. Buku Saku Keperawatan dan Kebidanan. Yogyakarta: Celebes
Media Perkasa.
Nina Rahmawati2, F. S. U. I. (2016) ‘Hubungan Riwayat Penyakit Dengan Kejadian
Preeklamsia Pada Ibu Hamil Di Rsud Panembahan Senopati Bantul
Yogyakarta’.
Nita Norma D (2013) Asuhan Patologi Teori dan Tinjauan Kasus dilengkapi contoh
askeb. Pertama. Yogyakarta: Nuha Medika.
POGI. 2016. Pedoman Nasional Pelayana Kedokteran diagnosis dan Tata Laksana
Pre Eklamsia. Jakarta: POGI.
Qoyimah, Ulfah Nurul. 2016. Evaluasi Penggunaan Obat Antihipertensi Pada Pasien
Preeklampsia Berat Rawat Inap Di Rs Pku Muhammadiyah Bantul Periode
Januari-Desember 2015. Journal Ilmiah Ibnu Sina, 1(2), 192-20.
Rustam mocthar (2015) Sinopsis Obsteteri. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Saifudin, Abdul Bari. 2008. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal
dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.