Anda di halaman 1dari 33

RESUME PBL

SKENARIO 3
“Nyeri Kepala Hebat Pasca Persalinan”

NAMA : Fathur Rachman


NPM : 117170022
KELOMPOK :8
BLOK : 6.1
SEMESTER :6
TUTOR : dr. Niklah Zaidah

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI

CIREBON

2020
Skenario 3

Nyeri Kepala Hebat Pasca Persalinan

Seorang perempuan berusia 30 tahun P2A0 diantar suaminya ke IGD RS dengan keluhan
nyeri kepala hebat. Keluhan disertai muntah-muntah dan sempat kejang 1x. pasien baru
melahirkan 1 hari yang lalu di bidan. Pada pemeriksaan tanda-tanda vital didapatkan TD
160/110 mmHg, denyut nadi 100x/menit, RR: 26x/menit dan suhu 37,4C. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan sianosis pada bibir, tinggi fundus uteri setinggi pusat, lochia tidak berbau.
Dokter melakukan beberapa pemeriksaan lanjutan untuk mengetahui penyebab keluhan pada
pasien tersebut.
STEP 1

1. Lochia : cairan atau secret yang berasal dari cavum uteri atau vagina yang terdapat
pada masa nifas.

STEP 2

1. apa saja etiologi dan faktor risiko serta patofisiologi dari keluhan tersebut?
2. bagaimana penegakan diagnosis pada kasus tersebut?
a. apa saja pemeriksaan lanjutan yang dapat dilakukan oleh dokter?
b. bagaimana interpretasi dari PF yang didapat?
3. bagaiamana perubahan ibu setelah persalinan?
4. bagaimana tatalaksana dari kasus?
5. apa saja komplikasi dan bagaimana patofisiologi terjadinya komplikasi dari kasus
tersebut?

STEP 3

1. Faktor risiko: usia jika hamil diatas 40 tahun, riwayat keluarga eklammsi, obesitas
etiologi : kelainan plasenta, iskemia plsaenta, genetic, stimulus inflamasi, tekanan
darah tinggi bias terjadi perdarahan dan meningkatnya intracranial, idiopatik atau
terjadinya dari berbagai faktor risiko yaitu riwayat hipertensi pada keluarga, obesitas
bias menyebabkan gangguan.
2. - pemeriksaan lanjutan : darah lengkap, pemeriksaan urin, pemeriksaan fungsi hepar,
pemeriksaan intravaginal
- anamnesis : sakit kepala berat, kejang, reflek hiperaktif,
- pf : td 160/110, bisa ditemukan sianosis, apakah ada penurunan kesadaran atau
tidak,
gejala :proteinuria, gangguan penglihatan, nyeri di kuadran atasnya.
kejang : stadium koma, stadium tonik,
3. - organ reproduksi ; vagina, uterus, segmen serviks, dan uterus bagian bawah, lochia,
payudara, laktasi, involusi uteri
- perubahan dari hormone, perubahan pada traktus urinarius, perubahan bb
- perubahan system kardiovaskular, system gastrointestinal, muskoloskletal,
intergumen, neurologis
tahapan periode : inmediate postpartum, early, late
periode : pueperium dini, perperium intermediet, remote perperium
generasi endometrium dan pembesaran kgb
perubahan kandung kemih menjadi normal
4. – cek abc
- medikamentosa : obat anti kejang dan ht
- obstetric
- edukasi pasien dan dirujuk
5. system saraf pusat : edem, perdarahan intrakaranial, kebutaan
ginjal: gagal ginjal akut
hematologic : trombositopenia, koagulasi terganggu

STEP 4

1. terjadi kelainan pada plasentanya: trofoblas tdk komplit, kemudian tidak terjadi
remodelling pada pembuluh darahnya, kemudian terjadi kecatatan, lalu akan
memunculkan mediaotor inflamasi terjadi cedera endotel : gangguan prostaglandin,
permebilitas vascular meningkat.
gangguan prostaglandin : menurun nya prostaglandin menyebbakan vasodilatasi
mengakibatkan edem dan terjadi proteinuria. endothelial meningkat akan terjadi
vasokontriksi dapat menimbulakn hipertensi dan dapat menyebabkan auroregulasi nya
terganggu dan terjadi kejang.
- eklampsi didahuli oleh preeklamspi, jika pada eklampsi terdapat kejang.
eklampsi : antepartum : terjadi sebelum persalinan, intrapartum: sewaktu
persalinan, postpartum: setelah persalinan.
- seharus nya trofoblas di invasi disiduanya
- invaso desidua : menginvasi arteri spriralis, dan terjadi kaku diganti fibrinoid
- miommetrium : menginvasi nya lebih dalam
- FR : adanya jarak antar kehamilan, memiliki risiko eklampsi
- patofisiologi : invasi trofoblas pada desidua dan endometrium akan mengganti
endotel dan menjadi maternal dari fibrinoid nya. tidak terrjadi nya remodelling
dari atteri spriralis dan terjadi hipoksia dan iskemi plasenta, menghasilakan
oskidan, terjadi disfungsi endotel.
- disfungsi endotel:
 gangguan prostaglandin akan menurunkan prostasiklin terjadi
vasokontriksi,
 agregasi trombosut pada sisi endotel, terajdi meningkatnya tromboksan
dan terjadi vasokontriksi akan
 perubahan sel endotel dan terjadi proteinuria
- kejang : edem serebri terjadi karena vasospasme dan diliatasi yang kuat akan
terjadi iskemi local akan mengakbatkan metabolisme dan terjadi edem sitotoksik.
kejang aura, tonik : seluruh otot kaku, klonik: antara 1-2 menit, terjadi kontraksi
otot berulang-ulag, mata menonjol.
- gangguan sel endotel : penurunan NO, peningkatan aktivitas vasopresor nya,
mengakibatkan penuruna trombosit, terjadi spasme pada aliran ke mata,
mengakibatkan kebutaan.
- kejang : ketidakseimbangan elektrolit, rangsangan baroresptor.
2. penegakan diagnosis
anamnesis : didahului oleh preeklamspi adayang ringan dan berat.
td >160/110
oliguria, edem, gagguan penglihatan, nyeri kepala di daerah frontal, kejang, diafragma
menjadi kaku, gagal nafas.
pp : darah lengkap: trombositopenia, anemia,
urin : proteinuria, peningkatan bilirubin, kreatin serum menurun
SGOT SGPT meningkat, kadar bilirubin meningkat,
pf : lochia: 1. rubra : merah, hita, berasal dari desidua, keluar dari hari 1 dan 2. 2.
lochia serosa : kuning hari ke 7-14, alba
hipertensi gestasional, sewaktu hamil dan tdk ada proteinuria.
eklampsi : kejang
hipertensi kronik : >140/90
3. peroide intermediate, eraly, late
- uterus : perubahan struktur, berat, ukuran, perubahan implantasi plasenta
perubahan servikss, perubhaan vagina
- kardio : kembali normal dalam 20 minggu, kala 3 : pengeluaran darah dari
plasenta, akan menurun., terdapat perubahan ttv
- urinarius : 2-3 bulan
- hormone : penurunan hormone plasenta mengakibatkan gula darah menurun dan
hcg menurin, prolactin menurun,
- bb menurun
- tinggi fundus berubah / tidak teraba
- ostium : hymen berupa potongan kecil. epitel akan
- uteri : pembuluh darah, berinvolusi, setelah melahirkan tfu tedapat di simpisis
pubis dan umbilicus,
- lochia : peluruhan dinding desidua, hari pertama warna merah, hari ke 3-4
berwarna pucat,
- payudara laktasi : menghasilkan colostrum, untuk perlindungan neonatus,
progesterone dan estrogen menurun, akan mengakibatkan efek inhibisi.
mengeluarkan prolactin.
- endometrium : 2-3 hari terjadi perubahan, lapisan basalis.
4. tatalaksana :
- mgso4 : dosis awal 4-6 gram nanti dilarutkan 100 ml melaui iv diberikan setiap
15-20 menit
dosis rumatan 2 gram dalm 100 ml
- kemudian dipantau dan reflex tendon.
- hipertensi : penghambat reseptor beta : labetalol 100 mg, metildopa 250 mg 2x1
diazepam : jika mgso4 tidak ada
- efeksamping mgso4: sakit maag, diare, hipotensi, nyeri kepala ringan
efek samping : hipotensi, mengantuk, gangguan pencernaan, diare, ruam-ruam
kulit
- syarat pemebrian mgso4 : tersedia ca glukonas 10 %, ada reflex patella, jumlah
urin minimal 0.5 ml
5. komplikasi :
- mata : gangguan endotel, terjadi spasme pada matanya terjadi kebutaan, ablasio
retina
- jantung dan paru : cardiac ouput meningkat, edem paru, kegagalan fungsi jantung
- neuroligis : gangguan permanen
- kerusakan hepar
- kematian pada ibu dan janin
- otak : kejang, perdarahan di otak
- ginjal : penuruna filtrasi diglomerulus, gagal ginjal

MIND MAP

KOMPLIKASI
ETIOLOGI DAN
FR

TATALAKSANA
MASA NIFAS
PATOFISIOLOGI

PERUBAHAN
PADA IBU PENEGAKAN
DIAGNOSIS

STEP 5
1. penatalaksaan komplikasi pasca persalinan
2. perubahan pada ibu pascapersalinan (organ, hormone)

Refleksi Diri
Alhamdulillah PBL pertemuan pertama berjalan dengan baik, semoga pertemuan selanjutnya
bisa lebih baik lagi.
STEP 6
Belajar Mandiri
STEP 7
1. Komplikasi
A. Subinvolusi uterus
Sesudah persaiinan uterus yang beratnya 1.000 gram akan mengecil
sampai menjadi 40 - 60 gram dalam 6 minggu. Proses ini dinamakan involusi
uterus, yang didahului oleh kontraksi uterus yang kuat, yang menyebabkan
berkurangnya peredaran darah dalam organ tersebut. Kontraksi itu dalam masa
nifas beriangsung terus walaupun tidak sekuat pada permulaan. Hal tersebut
serta hilangnya pengaruh estrogen dan progesteron menyebabkan autolisis
dengan akibat sel-sel otot pada dinding uterus menjadi lebih kecil dan lebih
pendek.
Pada sub-invoiusi proses mengecilnya uterus terganggu. Faktor-faktor
penyebab antara lain tertinggalnya sisa plasenta di dalam rongga uterus,
endometritis, adanya mioma uteri, dan sebagainya. Pada peristiwa ini lokhia
benambah banyak dan tidak jarang terdapat pula perdarahan.
Pada pemeriksaan bimanual ditemukan uterus lebih besar dan lebih
lembek dari pada yang seharusnya sesuai dengan masa nifas.
Terapi subinvolusi ialah pemberian ergometrin per-os atau suntikan
intramuskular" Pada subinvolusi karena tertinggalnya sisa plasenta, perlu
dilakukan kerokan rongga rahim (kuretase).

B. Servisitis
Definisi
Servisitis / Endoservisitis adalah inflamasi mukosa dan kelenjar serviks
yang dapat terjadi ketika organism mencapai akses ke kelenjar servikal setelah
berhubungan seksual, aborsi, manipulasi intrauterine, atau persalinan.
Jenis Jenis Servisitis
a) Servisitis spesifik
Servisitis spesifik merupakan radang pada serviks yang di sebabkan
oleh kuman yang tergolong penyakit akibat hubungan seksual,
beberapa kuman pathogen tersebut antara lain, Chlamydia trachomatis,
Ureaplasma urealytikum, Trichomonas vaginalis, Spesies Candida,
Neisseria gonorrhoeae, herpes simpleks II (genitalis), dan salah satu
tipe HPV, di antara pathogen tersebut Clamydia trachomatis adalah
yang tersering dan merupakan penyebab pada hamper 40% kasus
servisitis yang di temukan di klinik menular seksual sehingga jauh
lebih sering dari pada gonorrhea. Infeksi servik oleh Herpes perlu di
perhatikan karena organism ini dapat di tularkan pada bayi saat
persalinan melalui jalan lahir yang kadang-kadang menyebabkan
infeksi Herpes sistematik serius yang mungkin fatal.
b) Servisitis non-spesifik
Servisitis non-spesifik relative lebih banyak di jumpai karena kuman
yang ringan sering di temukan sampai derajat tertentu pada hampir
setiap multipara. Walaupun juga sering di ketahui bersamaan dengan
beberapa organism termasuk bentuk koli (coli-form), bakteroides,
streptokokus, dan stafilokokus, namun pathogenesis radang tersebut
masih belum di ketahui dengan jelas. Beberapa pengaruh predisposisi
servisitis non-spesifik antara lain : trauma pada waktu melahirkan,
pemakaian alat pada prosedur ginekologi, hiperestrinisme,
hipoestrinisme, sekresi berlebihan kelenjar endoserfiks, alkalinisasi
mucus serviks, eversi congenital mukosa endoserviks. Servisitis non-
spesifik dapat bersifat akut.
Etiologi
Servisitis sering disebabkan oleh infeksi melalui aktivitas seksual,
infeksi menular seksual yang dapat menyebabkan servisitis anatara lain :
a) Clamydia trachomatis Merupakan penyebab penyakit menular seksual
yang paling sering, terutama pada usia muda dan remaja. Pada tahun
2000 di Amerika, di laporkan sebanyak 702.093 penderita terinfeksi
clamydia.10) Clamydia trachomatis termasuk pathogen spesifik yang
telah menggantikan gonokokus sebagai penyebab utama radang
serviko-vaginal.
b) N. Gonorrhea lebih popular di masyarakat dengan sebutan kencing
nanah atau GO, yang di sebabkan oleh kuman Neisseria gonorrhea.
Kuman ini menyerang pada selaput lender antara lain vagina, saluran
kencing, dan daerah serviks.
c) Herpes simpleks II (genitalis) biasanya menginfeksi daerah di bawah
pinggang. Gejala awal yang muncul di dahului dengan hilangnya rasa
raba, di ikuti dengan pembentukan vesikel yang terdapat pada vulva,
vagina, dan serviks.
d) Human Papiloma Virus (HPV-kutil) merupakan infeksi yang terjadi
karena hubungan seksual, dengan pemeriksaan DNA hibridasinya
hanya 30 % yang menunjukkan manifestasi klinik, sedangkan 70 %
bersifat menahun tanpa gejala klinik. Predisposisi infeksi virus ini
antara lain : diabetes mellitus, kehamilan dan perlukaan khususnya
pada serviks. Gejalanya dapat bervariasi, dari kutil kecil sampai sangat
besar dan dengan tempat yang bervariasi pula, yaitu vulva, vagina,
perineum dan sekitar anus serta pada serviks. HPV ini juga dpat
menginfeksi serviks.
e) Trichomoniasis merupakan penyebab kasus servisitis yang lebih sering
di temukan di banding gonorrhea di klinik penyakit menular seksual.
Beberapa kasus servisitis di sebabkan oleh :
1) Penggunaan kondom wanita Kondom wanita merupakan alat
kontrasepsi yang terbentuk seperti balon atau kantong yang terbuat dari
lateks tipis atau polyurethane / nitril dan di pasang dengan
memasukannya kedalam vagina. Tujuan pemakaian kondom wanita
tidak terlepas dari dua hal yaitu mencegah sperma masuk ke vagina dan
melindungi dari penyakit menular seksual, selain manfaat tersebut alat
kontrasepsi ini memiliki efek samping yaitu menyebabkan iritasi
vagina, sehingga memudahkan terjadinya infeksi.
2) Penyangga uterus (pessarium) Penyangga uterus (pessarium) adalah
alat yang di gunakan untuk terapi pada kasus prolapsus uteri. Prinsip
pemakaian penyangga uterus (pessarium) ialah dengan mengadakan
tekanan pada dinding vagina bagian atas, sehingga bagian dari vagi 18
tersebut beserta uterus tidak dapat turun dan melewati vagina bagian
bawah. Penyangga uterus (pessarium) dapat dipakai selama beberapa
tahun, asal saja penderita diawasi secara teratur. Penyangga uterus
(pessarium) dibersihkan dan disucihamakan, kemudian dipasang
kembali. Periksa ulang sebaiknya dilakukan 2-3 bulan sekali, vagina
diperiksa dengan speculum untuk mengetahui dan mencegah perlukaan
akibat pemakaian pessarium.
3) Alergi spermatisid pada kondom pria Spermatisid adalah alat
kontrasepsi berupa zat pembunuh sperma sebelum sperma masuk
kedalam uterus dan membuahi sel telur, spermatisid biasanya
digunakan oleh wanita, namun paling sering dikombinasikan dengan
metode lain misalnya cup atau kondom pria. Beberapa wanita biasanya
timbul efek samping berupa alergi pada pemakaian spermatisid, alergi
ini dalam bentuk iritasi atau bias berkembang menjadi infeksi saluran
kencing. Perpaduan spermatisid dan pelumas yang sering digunakan
dengan kondom dapat memicu beberapa alergi intim, gejalanya
termasuk reaksi 19 local, yaitu gatal, rasa sakit, bengkak, dan rasa
terbakar.
4) Paparan terhadap bahan kimia Ekosistem vagina adalah lingkaran
kehidupan yang da di vagina, ekosistem ini di pengaruhi oleh dua
factor utama yaitu estrogen dan laktobasilus, jika keseimbangan ini
terganggu, bakteri laktobasilus akan mati dan bakteri pathogen akan
tumbuh sehingga tubuh akan rentan terhadap infeksi. Banyak factor
yang menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem vagina antara lain :
kontrasepsi oral, diabetes mellitus, pemakaian antibiotic, darah haid,
cairan sperma, pembersihan dan pencucian vagina (vaginal douching),
dan gangguan hormone yaitu pada masa pubertas, menapouse, dan
kehamilan. Servisitis sering terjadi dan mengenai hampir 50% wanita
dewasa dengan faktor resiko : perilaku seksual bebas resiko tinggi,
riwayat IMS, memiliki pasangan seksual lebih dari satu, aktivitas
seksual pada usia dini, serta pasangan seksual dengan kemungkinan
menderita IMS.
Patofisiologi
Peradangan terjadi pada serviks akibat kuman patogen aerob dan
anaerob, peradangan ini terjadi karena luka bekas persalinan yang tidak di
rawat serta infeksi karena hubungan seksual. Proses peradangan melibatkan
epitel serviks dan stoma yang mendasarinya. Inflamasi serviks ini bisa menjadi
akut atau kronik. Masuknya infeksi dapat terjadi melalui perlukaan yang
menjadi pintu masuk saluran genetalia, yng terjadi pada waktu persalinan atau
tindakan medis yang menimbulkan perlukaan, atau terjadi karena hubungan
seksual. Selama perkembanganya, epitel silindris penghasil mucus di
endoserviks bertemu dengan epitel gepeng yang melapisi ektoserviks os
eksternal, oleh karena itu keseluruhan serviks yang terpajan dilapisi oleh epitel
gepeng. Epitel silindris tidak tampak dengan mata telanjang atau secara
koloposkopis.
Seiring dengan waktu, pada sebagian besar wanita terjadi pertumbuhan
ke bawah, epitel silindris mengalami ektropion, sehingga tautan
skuamokolumnar menjadi terletak dibawah eksoserviks dan mungkin epitel
yang terpajan ini mengalami “Erosi” meskipun pada kenyataannya hal ini bias
terjadi secara normal pada wanita dewasa. Remodeling ini bisa terus berlanjut
dengan regenerasi epitel gepeng dan silindirs sehingga membentuk zona
transformasi. Pertumbuhan berlebihan epitel gepeng sering menyumbat
orifisium kelenjar endoserviks di zona transformasi dan menyebabkan
terbentuknya kista nabothian kecil yang dilapisi epitel silindirs penghasil
mucus. Di zona transformasi mungkin terjadi infiltrasi akibat peradangan
banal ringan yang mungkin terjadi akibat perubahan pH vagina atau adanya
mikroflora vagina.
Penegakan Diagnosis
Manifestasi Klinis
a) Keluarnya bercak darah/ perdarahan, perdarahan pascakoitus.
b) Leukorea (keputihan)
c) Sakit pinggang bagian sacral.
d) Nyeri abdomen bawah.
e) Gatal pada area kemaluan.
f) Sering terjadi pada usia muda dan seseorang yang aktif dalam
berhubungan seksual.
g) Gangguan perkemihan (disuria) dan gangguan menstruasi.
h) Pada servisitis kronik biasanya akan terjadi erosi, suatu keadaan yang
ditandai oleh hilangnya lapisan superficial epitel skuamosa dan
pertumbuhan berlebihan jaringan endoserviks.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan dengan speculum
 Pada pemeriksaan inspekulo kadang-kadang dapat dilihat keputihan
yang purulen keluar dari kanalis servikalis. Kalau portio normal tidak
ada ektropion, maka harus diingat kemungkinan gonorroe.
 Sering menimbulkan erusio (Erythroplaki) pada portio yang tampak
seperti daerah merah menyala.
 Pada servisitis kronik kadang dapat dilihat bintik putih dalam daerah
selaput lender yang merah karena infeksi. Bintik-bintik ini disebabkan
oleh ovulonobothi dan akibat retensi kelenjar-kelenjar serviks karena
saluran keluarga tertutup oleh pengisutan dari luka serviks atau kerena
peradangan.
Pemeriksaan Penunjang
 Sediaan hapus untuk biakan dan tes kepekaan.
 Pap smear
 Biakan clamydia
 Biopsy
Penatalaksanaan
Pemberian antibiotik terutama bila ditemukan gonococcus dalam secret. jika
servisitis tidak segera sembuh dilakukan tindakan opertif dengan melakukan
konisasi. servisitis kronik pengobatanya lebih baik dilakukan dengan jalan
kauterisasi-radial dengan termokauter atau dengan krioterpi.

C. Endometritis
Definisi
Endomteritis adalah suatu peradangan yang terjadi pada
endometrium., ada endometritis post partum, endometritis sinsitia (akibat
tumor jinak disertai sel sinsitial dan trofoblas yang banyak), serta endometritis
tuberkulosa (peradangan pada dinding rahim endometrium dan tuba fallopi
yang biasanya akibat Mycobacterium tuberculosis).
Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri patogen meliputi Chlamidiya
trachomatis, Neisseria gonorrhoeae , Streptococcus agalactiae,
cytomegalovirus.

Patofisiologi
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri patogen yang naik dari serviks ke
endometrium.Uterus merupakan organ yang steril sedangkan di vagina
terdapat banyak mikroorganisme oportunistik. Mikroskop dari vagina ini dapat
secara ascendens masuk ke uterus terutama pada saat hubungan seksual atau
melahirkan. Bila jumlah mikroorganisme terlalu banyak dan kondisi uterus
mengalami gangguan maka dapat terjadi endometritis.
Organisme yang menyebabkan vaginosis bacterial dapat juga
menyebabkan endometritis histologik meskipun pada perempuan tanpa
keluhan.Endometritis merupakan komponen penting penyakit radang panggul
(PID) dan mungkin menjadi tahapan antara dalam penyebaran infeksi ke tuba
fallopi.
Dari perspektif patologis, endometritis dapat diklasifikasikan sebagai akut
dan kronis.Endometritis akut ditandai dengan adanya neutrofil dalam kelenjar
endometrium. Endometritis kronis ditandai dengan kehadiran sel plasma dan
limfosit dalam stroma endometrium.Dalam populasi nonobstetric, PID dan
prosedur ginekologi invasive adalah perkursor-prekursor yang paling umum
untuk endometritis akut. Dalam populasi obstetric, infeksi setelah bersalin
adalah yang paling umum.
Endometritis kronis dalam populasi obstetric biasanya berhubungan
dengan produk-produk yang tetap dari konsepsi setelah persalinan atau elektif
aborsi. Dalam populasi non obstetric, endometritis kronis sering terlihat
adanya infeksi (misalnya klamidia, tuberculosis, bakteri vaginosis) dan adanya
alat intrauterine.

GejalaKlinis

Gejala klinis yang biasanya ditemukan seperti demam, sakit perut bagian
bawah, lochia berbau busuk, perdarahan abnormal vagina, dyspareunia,
dysuria, dan malaise.

 Endometritis kronik
Banyak perempuan dengan endometritis kronik tidak
mempunyai keluhan. Keluhan klasik endometritis kronik adalah
perdarahan vaginal intermenstrual.Dapat juga terjadi perdarahan pasca
senggama dan menoragia. Perempuan lain mungkin mengeluh nyeri
tumpul pada perut bagian bawah terus-menerus. Endometritis menjadi
penyebab infertilitas yang jarang.
 Endometritis akut
Jika endometritis terjadi bersama PID akut maka biasa terjadi
nyeri tekan uterus. Sulit untuk menentukan apakah radang tuba atau
endometrium yang menyebabkan rasa tidak enak pada panggul.

Diagnosis
Diagnosis endometritis kronik ditegakkan dengan biopsy dan biakan
endometrium.Gambaran histologik klasik endometritis kronik berupa reaksi
radang monosit dan sel-sel plasma di dalam stroma endometrium (lima sel
plasma per lapang pandang kuat). Tidak ada korelasi antara adanya sejumlah
kecil sel lekosit polimorfonuklear dengan endometritis kronik. Pola infiltrat
radang limfosit dan sel-sel plasma yang tersebar di seluruh stroma
endometrium terdapat pada kasus endometritis berat. Kadang-kadang bahkan
terjadi nekrosis stroma.
Terapi
Terapi pilihan untuk endometritis adalah doksisiklin 100 mg per oral 2x sehari
selama 10 hari. Dapat pula dipertimbangkan cakupan yang lebih luas untuk
organisme anaerobik terutama kalau ada vaginosis bacterial. Jika terkait
dengan PID akut terapi harus fokus pada organisme penyebab utama termasuk
N.gonorrhoeaedan dan C.trachomatis. Demikian pula cakupan polimikrobial
yang lebih luas.

D. Vaginitis
keadaan abnormal pada ekosistem vagina yang ditandai dengan
perubahan konsentrasi hirogen peroksida (H2O2) hasil produksi flora normal
Lactobacillus di vagina. Penurunan konsentrasi H2O2 digantikan oleh
peningkatan konsentrasi bakteri anaerob (Mobiluncus, Provetella,
Peptostreptococcus, Bacteroides, dan Eubacterium) dan bakteri fakultatif
(Gardnella vaginalis, Mycoplasma hominis, Enterococcus dan grup β
Streptococcus). Perubahan ini umumnya ditandai dengan produksi sekret
vagina yang banyak, berwarna abu-abu, tipis, homogen, berbau amis, dan
terdapat peningkatan pH dari nilai < 4,5 sampai 7,0. (Anggraini, Maryuni, et
al., 2012). Hal ini bisa timbul dan remisi secara spontan pada wanita dengan
seksual aktif dan wanita yang buka seksual aktif.

Etiologi
1) Gardnella vaginalis
Meskipun demikian dengan media kultur yang sensitif
Gardnella vaginalis dapat diisolasi dengan konsentrasi yang tinggi
pada wanita tanpa tanda-tanda infeksi vagina. Gardnella vaginalis
dapat diisolasi pada sekitar 95% wanita dengan vaginosis dan 40-50%
pada wanita asimtomatis atau tanpa penyebab vaginitis lainnya.
Gardnella vaginalis diperkirakan berinteraksi melalui cara tertentu
dengan bakteri anaerob dan mycoplasma genital menyebabkan
Vaginosis.
2) Bakteri anaerob
Bacteroides sp diisolasi sebanyak 76% dan Peptostreptococcus
sebanyak 36% pada wanita dengan Vaginosis. Pada wanita normal,
kedua tipe anaerob ini jarang ditemukan. Penemuan spesies anaerob
dihubungkan dengan penurunan laktat dan peningkatan suksinat dan
asetat pada sekret vagina. Mikroorganisme anaerob lain yaitu
Mobiluncus sp. Merupakan batang anaerob lengkung yang juga
ditemukan bersama-sama dengan organisme lain yang dihubungkan
dengan VB. Mobiluncus Sp. hampir tidak pernah ditemukan pada
wanita normal, 85% wanita dengan VB mengandung organisme ini.
3) Mycoplasma hominis
Mycoplasma hominis juga harus dipertimbangkan sebagai agen
etiologi untuk Vaginosis, bersama-sama dengan Gardnella vaginalis
dan bakteri anaerob. Mikroorganisme ini terdapat dengan konsentrasi
10-100 kali lebih besar pada wanita dengan VB daripada wanita
normal.
Faktor resiko
 Oral seks
 Pemakaian pencuci vagina
 Kehamilan dan persalinan
 Merokok
 Berhubungan seksual pada saat menstruasi
 Pemasangan IUD (Intra Uterine Device)
 Berhubungan seksual pada usia dini
 Bergonta-ganti partner seksual
Patogenesis saat kehamilan
Ada kehamilan normal, cairan vagina bersifat asam (pH 4-5), karena
adanya peningkatan kolonisasi Lactobacillus (flora normal vagina) yang
memproduksi asam laktat. Keadaan asam yang berlebih ini membuat
Lactobacillus tumbuh subur, sehingga mencegah terjadinya pertumbuhan
berlebihan bakteri patogen. Lactobacillus diketahui sebagai mikroorganisme
yang mempertahankan homeostasis vagina dengan menghasilkan asam laktat
dan memproduksi H2O2 yang akan menghambat pertumbuhan sebagian besar
mikroorganisme lainnya, sehingga menurunkan risiko persalinan preterm.
Keadaan ini tidak selalu dapat dipertahankan. Apabila jumlah bakteri
Lactobacillus menurun, maka keasaman cairan vagina berkurang dan
mengakibatkan bertambahnya bakteri lain, seperti antara lain Gardnerella
vaginalis, Mycoplasma hominis, dan Bacteroides sp. Adanya perubahan flora
vagina menyebabkan terjadinya vaginosis.
Diagnosis
Dalam menegakkan diagnosis terhadap Vaginosis terdapat beberapa
kriteria, skor, dan pemeriksaan laboratorium mikrobiologi, yaitu :
1) Kriteria Amsel Dikatakan positif jika ditemukan 3 dari temuan
 pH vagina > 4,5
 Menunjukkan >20% per HPF “clue cells” pada eksaminasi wet
mount.
 Positif amin atau tes whiff.
 Homogen, tidak kental, cairan putih seperti susu pada dinding
vagina.
2) pH
3) KOH 10%
4) Pewarnaan gram (pemeriksaan baku emas)
Tatalaksana
 Metronidazole 500 mg secara oral dua kali sehari selama 7 hari, atau
 clindamycin krim 2% 5 gr secara intravaginal selama 7 hari.

E. Perdarahan post partum


Perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan atau hilangnya darah
500 cc atau lebih yang terjadi setelah anak lahir. Perdarahan dapat terjadi
sebelum, selama, atau sesudah lahirnya plasenta.

Menurut waktu terjadinya dibagi atas dua bagian :


 Perdarahan postpartum primer (early postpartum hemorrhage) yang
terjadi dalam 24 jam setelah anak lahir.
 Perdarahan postpartum sekunder (late postpartum hemorrhage) yang
terjadi antara 24 jam dan 6 minggu setelah anak lahir.
Etiologi dan Patogenesis
1) Tone Dimished : Atonia uteri
Atonia uteri adalah suatu keadaan dimana uterus gagal untuk
berkontraksi dan mengecil sesudah janin keluar dari rahim.
Perdarahan postpartum secara fisiologis di control oleh kontraksi
serat-serat myometrium terutama yang berada disekitar pembuluh
darah yang mensuplai darah pada tempat perlengketan plasenta.
Atonia uteri terjadi ketika myometrium tidak dapat berkontraksi.
Pada perdarahan karena atonia uteri, uterus membesar dan
lembek pada palpusi. Atonia uteri juga dapat timbul karena salah
penanganan kala III persalinan, dengan memijat uterus dan
mendorongnya kebawah dalam usaha melahirkan plasenta, sedang
sebenarnya bukan terlepas dari uterus. Atonia uteri merupakan
penyebab utama perdarahan postpartum. Disamping menyebabkan
kematian, perdarahan postpartum memperbesar kemungkinan infeksi
puerperal karena daya tahan penderita berkurang. Perdarahan yang
banyak bisa menyebabkan “ Sindroma Sheehan “ sebagai akibat
nekrosis pada hipofisis pars anterior sehingga terjadi insufiensi bagian
tersebut dengan gejala : astenia, hipotensi, dengan anemia, turunnya
berat badan sampai menimbulkan kakeksia, penurunan fungsi seksual
dengan atrofi alat-alat genital, kehilangan rambut pubis dan ketiak,
penurunan metabolisme dengan hipotensi, amenorea dan kehilangan
fungsi laktasi. Beberapa hal yang dapat mencetuskan terjadinya atonia
meliputi :
 Manipulasi uterus yang berlebihan,
 General anestesi (pada persalinan dengan operasi ),
 Uterus yang teregang berlebihan : Kehamilan kembar, Fetal
macrosomia ( berat janin antara 4500 – 5000 gram ),
polyhydramnion
 Kehamilan lewat waktu,
 Portus lama
 Grande multipara ( fibrosis otot-otot uterus ),
 Anestesi yang dalam
 Infeksi uterus ( chorioamnionitis, endomyometritis, septicemia
 Plasenta previa
 Solutio plasenta,
 Retensio plasenta
 Sisa plasenta
 Plasenta acreta dan variasinya.
2) Apabila plasenta belum lahir setengah jam setelah janin lahir, hal itu
dinamakan retensio plasenta. Hal ini bisa disebabkan karena : plasenta
belum lepas dari dinding uterus atau plasenta sudah lepas akan tetapi
belum dilahirkan. Jika plasenta belum lepas sama sekali, tidak terjadi
perarahan, tapi apabila terlepas sebagian maka akan terjadi perdarahan
yang merupakan indikasi untuk mengeluarkannya. Plasenta belum
lepas dari dinding uterus karena :
 kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta
(plasenta adhesiva )
 Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab vilis
komalis menembus desidua sampai miometrium sampai
dibawah peritoneum ( plasenta akreta – perkreta ) Plasenta
yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar
disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau
karena salah penanganan kala III. Sehingga terjadi lingkaran
konstriksi pada bagian bawah uterus yang menghalangi
keluarnya plasenta ( inkarserasio plasenta ). Sisa plasenta yang
tertinggal merupakan penyebab 20-25 % dari kasus perdarahan
postpartum. Penemuan Ultrasonografi adanya masa uterus
yang echogenic mendukung diagnosa retensio sisa plasenta.
Hal ini bisa digunakan jika perdarahan beberapa jam setelah
persalinan ataupun pada late postpartum hemorraghe. Apabila
didapatkan cavum uteri kosong tidak perlu dilakukan dilatasi
dan curettage.
3) Trauma Sekitar 20% kasus hemorraghe postpartum disebabkan oleh
trauma jalan lahir a. Ruptur uterus b. Inversi uterus c. Perlukaan jalan
lahir d. Vaginal hematom Ruptur spontan uterus jarang terjadi, faktor
resiko yang bisa menyebabkan antara lain grande multipara,
malpresentasi, riwayat operasi uterus sebelumnya, dan persalinan
dengan induksi oxytosin. Repture uterus sering terjadi akibat jaringan
parut section secarea sebelumnya. Laserasi dapat mengenai uterus,
cervix, vagina, atau vulva, dan biasanya terjadi karena persalinan
secara operasi ataupun persalinan pervaginam dengan bayi besar,
terminasi kehamilan dengan vacuum atau forcep, walau begitu laserasi
bisa terjadi pada sembarang persalinan. Laserasi pembuluh 6 darah
dibawah mukosa vagina dan vulva akan menyebabkan hematom,
perdarahan akan tersamarkan dan dapat menjadi berbahaya karena
tidak akan terdeteksi selama beberapa jam dan bisa menyebabkan
terjadinya syok.
Diagnosis
Berikut langkah-langkah sistematik untuk mendiagnosa perdarahan
postpartum :
a) Palpasi uterus : bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri
b) Memeriksa plasenta dan ketuban : apakah lengkap atau tidak
c) Lakukan ekplorasi kavum uteri untuk mencari :
 Sisa plasenta dan ketuban
 Robekan Rahim
 Plasenta succenturiata
d) Inspekulo : untuk melihat robekan pada cervix, vagina, dan varises
yang pecah.
e) Pemeriksaan laboratorium : bleeding time, Hb, Clot Observation test
dan lain-lain.
Tatalaksana
Tujuan utama pertrolongan pada pasien dengan perdarahan postpartum
adalah menemukan dan menghentikan penyebab dari perdarahan secepat
mungkin. Terapi pada pasien dengan hemorraghe postpartum mempunyai 2
bagian pokok :
a) Resusitasi dan manajemen yang baik terhadap perdarahan Pasien
dengan hemorraghe postpartum memerlukan penggantian cairan dan
pemeliharaan volume sirkulasi darah ke organ – organ penting. Pantau
terus perdarahan, kesadaran dan tanda-tanda vital pasien. Pastikan dua
kateler intravena ukuran besar untuk memudahkan pemberian cairan
dan darah secara bersamaan apabila diperlukan resusitasi cairan cepat.
 Pemberian cairan : berikan normal saline atau ringer lactate
 Transfusi darah : bisa berupa whole blood ataupun packed red
cell
 Evaluasi pemberian cairan dengan memantau produksi urine
(dikatakan perfusi cairan ke ginjal adekuat bila produksi urin
dalam 1jam 30 cc atau lebih).
b) Manajemen penyebab
 Atonia uteri
Lakukan kompres bimanual apabila perdarahan masih
berlanjut, letakkan satu tangan di belakang fundus uteri dan
tangan yang satunya dimasukkan lewat jalan lahir dan
ditekankan pada fornix anterior.
 Sisa plasenta
Apabila kontraksi uterus jelek atau kembali lembek
setelah kompresi bimanual ataupun massase dihentikan,
bersamaan pemberian uterotonica ( ergonovin 0,2 mg setiap 3-4
jam selama 24-48 jam) dan lakukan eksplorasi. Beberapa ahli
menganjurkan eksplorasi secepatnya, akan tetapi hal ini sulit
dilakukan tanpa general anestesi kecuali pasien jatuh dalam
syok. Jangan hentikan pemberian uterotonica selama dilakukan
eksplorasi.

F. Adneksitis
Definisi
Radang tuba falloppi dan radang ovarium biasanya terjadi bersamaan.
Oleh sebab itu tepatlah nama salfingo-ooritis atau adneksitis untuk radang
tersebut. Radang itu kebanyakan akibat infeksi yang menjalar ke atas dari
uterus, walaupun infeksi ini juga bisa datang dari tempat ekstra vaginal lewat
jalan darah atau menjalar dari jaringan-jaringan di sekitarnya.

Etiologi
Di antara sebab- sebab yang paling banyak terdapat ialah infeksi
gonorrhea dan infeksi puerperal dan postabortum. Kira-kira 10 % infeksi
disebabkan oleh tuberculosis. Selanjutnya bisa timbul radang adneksa sebagai
akibat tindakan ( kerokan, laparotomi, pemasangan IUD dan sebagainya ) dan
perluasan radang dari alat yang letaknya tidak jauh seperti appendiks.

Klasifikasi
1. Salpingo-ooritis akut
Salpingo-ooritis akut yang disebabkan oleh gonorrhea sampai
ke tuba sampai uterus melalui mukosa . Pada endosalping tampak
oedema serta hyperemia dan infiltrasi leukosit, pada infeksi yang
ringan, epitel masih utuh., tapi pada infeksi yang lebih beratkelihatan
degenerasi epitel yang kemudian menghilang pada daerah yang agak
luas, dan ikut juga terlihat lapisan otot dan serosa. Dalam hal yang
akhir ini dijumpai eksudat purulen yang dapat keluar melalui ostium
tuba abdominalis dan menyebabkan peradangan di sekitarnya
( peritonitis pelvika )
Salpingitis akuta piogenik banyak ditemukan pada infeksi
puerperal atau pada abortus septic, akan tetapi dapat disebabkan pula
sebagai akibat berbagai tindakan, seperti Streptococcus ( aerobic dan
anaerobic ), stafilococcus, E.coli, Klostridium welchii, dan lain-lain.
Infeksi ini menjalar dari serviks uteri atau kavum uteri dengan jalan
darah atau limfe ke parametrium terus ke tuba, dan dapat pula ke
peritoneum pelvic. Di sini timbul salpingitis interstisialis akuta,
mesosalping dan dinding tuba menebal dan menunjukkan infiltrasi
leukosit tetapi mukosa seringkali normal. Hali ini merupakan
perbedaan yang nyata dengan salpingitis gonoroika, di mana radang
terdapat terutama pada mukosa dengan dengan sering terjadi
penyumbatan lumen tuba. Dalam hubungan ini, dalam salpingitis
piogenik kemungkinan lebih besar bahwa tuba terbuka setelah
penyakitnya sembuh.
Ovarium biasanya ikut dalam salpingitis. Kadang-kadang
ovarium tidak ikut meradang, sebaliknya biarpun jarang bisa terjadi
radang terbatas pada ovarium, bahlan bisa terjadi abses ovarium.
2. Salpingo-ooforitis kronika
Dapat didadakan pembagian antara :
a) Hidrosalping, terdapat penutupan ostium tuba abdominalis.
Sebagian dari epitel mukosa tuba masih berfungsi dan
mengeluarkan cairan dengan akibat retensi cairan tersebut dalam
tuba. Hidrosalping dapat berupa hidrosalping simpleks dan
hidrosalping folikularis. Pada hidrosalping simpleks terdapat satu
ruangan berdinding tipis, sedang hidrosalping folikularis terbagi
dalam ruangan-ruangan kecil.
b) Piosalping, dalam stadium menahun merupakan kantong dengan
dinding tebal yang berisi nanah. Pada piosalping biasanya
terdapat perlekatan dengan jaringan di sekitarnya.
c) Salpingitis interstisial kronika, pada salpingitis interstisial
kronika dinding tuba menebal dan tampak fibrosis dan dapat pula
ditemukan pengumpulan nanah sedikit-sedikit di tengah-tengah
jaringan otot. Terdapat pula perlekatan dengan jaringan-jaringan
di sekitarnya, seperti ovarium, uterus dan usus.
d) Kista tubo-ovarial, pada kista tubo ovarial, hidrosalping bersatu
dengan kista folikel ovarium, sedang pada abses tuboovarial
piosalping bersatu dengan abses ovarium. Abses ovarium yang
jarang terdapat sendiri, daru stadium akut dapat memasuki
stadium menahun.
e) Abses ovarial
f) Salpingitis tuberculosis

Gejala

Gambaran klinis salpingo-ooforitis akuta ialah demam, leukositosis


dan rasa nyeri di sebelah kanan atau kiri uterus, penyakit tersebut tidak jarang
terdapat pada kedua adneksa. Setelah lewat beberapa hari dijumpai pula tumor
dengan batas yang tidak jelas dan yang nyeri tekan.Pada torsi adneksa timbul
rasa nyeri mendadak dan apabila defence musculiare tidak teralu keras, dapat
diraba tumor nyeri tekan dengan batas nyeri tekan yang nyata. Suhu dan
leukositosis juga tidak seberapa tinggi. Ruptura tuba pada kehamian ektopik
terganggu disertai dengan gejala-gejala yangmendadak, sangat nyeri, dan
anemi. Umumnya peristiwa ini tidak menimbulkan banyak kesukaran dalam
diagnosis dferensial. Yang lebih sulit ialah diagnosis abortus tuba. Umumnya
pada abortus tuba suhu tidak naik atau hanya naik sedikit, dan leukositosi juga
tidak seberapa tinggi.

Gejala-gejala salpingo-ooforitis kronika tidak selalu jelas, penyakit


bisa didahului oleh penyakit-penyakit akut dengan panas, rasa nyeri yang
cukup kuat di perut bagian bawah, akan tetapi bisa pula dari permulaan sudah
subakut atau menahun. Umumnya penderita merasa nyeri di perut bagian
bawah sebelah kiri atau kanan, yang bertambah keras pada pekerjaan berat,
disertai dengan penyakit pinggang. Leukorea sering terdapat disebabkan oleh
servisitis kronika. Haid umumnya lebih banyak dari biasa dengan siklus yang
seringkali tidak teratur. Penderita sering mengeluh tentang dispareunia dan
infertilitas, disminore dapat ditemukan juga pada kasus ini.
Terapi

Terapi pada salpingo-ooforitis akuta terdiri atas istirahat baring,


perawatan umum, pemberian antibiotika dan analgetika. Dengan terapi
tersebut, penyakit dapat menjadi sembuh atau mennjadi menahun. Jarang
sekali terpai salpingo-ooforitis akuta memerlukan pembedahan. Pembedahan
perlu dilakukan :

a) Jika terjadi rupture piosalping atau abses ovarium


b) Jika terdapat gejala-gejala ileus karena perlekatan
c) Jika terdapat kesukaran untuk membedakan antara apendisitis akuta
dan salpingo-ooforitis akuta

Pada salpingo-ooforitis kronika, jika penyakitnya msaih dalam keadaan


subakut, penderita harus diberi terapi dengan antibiotika dengan spectrum
luas. Jika keadaan sudah tenang, dapat diberi terapi diatermi dalam beberapa
seri dan penderita dinasehatkan supaya penderita jangan melakukan pekrjaan
yang berat-berat. Dengan terapi ini, biarpun sisa- sisa peradangan masih ada,
keluhan – keluhan penderita seringkali hilang atau sangat berkurang.

Terapi operatif mempunyai tempat pada salpingo-ooforitis kronika.


Indikasi untuk terapi ini adalah ;

 Apabila setelah berulang kali dilakukan terapi diatermi, keluhan tetap


ada dan mengganggu kehidupan sehari-hari
 Apabila tiap kali timbul reaktivisasi dari proses radang
 Apabila ada tumor di sebelah uterus, dan setelah dilakukan beberapa
terapi diatermis tumor tidak mengecil, sehingga timbul adanya dugaan
hidrosalping, piosalping, kista tuba ovarial dan sebagainya.
 Apabila ada infertiitas yang sebabnya terletak pada tuba, dalam hal ini
sebaiknya dilakukan laparoskopi dahulu apakah ada harapan yang
cukup besar bahwa dengan pembedahan tuba dapat dibuka dengan
sempurna dan perlekatan dapat dilepaskan.

G. Salphingitis
Salpingitis adalah infeksi dan peradangan di saluran tuba. Hal ini
sering digunakan secara sinonim dengan penyakit radang panggul (PID),
meskipun PID tidak memiliki definisi yang akurat dan dapat merujuk pada
beberapa penyakit pada saluran kelamin bagian atas perempuan, seperti
endometritis, ooforitis, myometritis, parametritis dan infeksi pada panggul
peritoneum. Sebaliknya, salpingitis hanya merujuk infeksi dan peradangan di
saluran tuba.
Ketika peradangan terjadi, ekstra cairan sekresi atau nanah terkumpul
di dalam tabung tuba. Infeksi dari salah satu tabung tuba biasanya
menyebabkan infeksi lain. Hal ini terjadi karena bakteri bermigrasi melalui
pembuluh getah bening di dekatnya.
Salpingitis adalah salah satu penyebab paling umum infertilitas wanita.
Jika salpingitis tidak segera diobati, infeksi dapat menyebabkan kerusakan
permanen pada tuba falopi sehingga telur dilepaskan setiap siklus mestruasi
tidak bisa bertemu dengan sperma.
Etiologi
Salpingitis merupakan sinonim dari penyakit radang panggul (PID).
PID terjadi karena infeksi polimikrobakterial pada sistem genitalia wanita
( uterus, tuba fallopi dan ovarium ) yang menyebabkan peningkatan infeksi
pada daerah vagina atau servikx.
Infeksi ini jarang terjadi sebelum siklus menstruasi pertama, setelah
menopause maupun selama kehamilan. Penularan yang utama terjadi melalui
hubungan seksual, tetapi bakteri juga bisa masuk ke dalam tubuh setelah
prosedur kebidanan/kandungan (misalnya pemasangan IUD, persalinan,
keguguran, aborsi dan biopsi endometrium).
Penyebab lainnya yang lebih jarang terjadi adalah:
 Aktinomikosis (infeksi bakteri)
 Skistosomiasis (infeksi parasit)
 Tuberkulosis.
 Penyuntikan zat warna pada pemeriksaan rontgen khusus.
(medicastore)
Beberapa bakteri yang paling umum bertanggung jawab untuk salpingitis
meliputi:
 Klamidia
 Gonococcus (yang menyebabkan gonore)
 Mycoplasma
 Staphylococcus
 Streptococcus
Patofisiologi
Kebanyakan kasus salpingitis terjadi dalam 2 tahap. Pertama
melibatkan akuisisi infeksi vagina atau leher rahim. Yang kedua melibatkan
peningkatan saluran kelamin bagian atas. Meskipun mekanisme yang tepat
untuk peningkatan tidak diketahui, siklus menstruasi mundur dan pembukaan
leher rahim selama menstruasi tapi hal tersebut merupakan faktor yang dapat
meningkatkan infeksi.
Proses membedahan seperti biopsi endometrium, kuret dan hysteroscopies,
merupakan predisposisi wanita untukinfeksi ini. Perubahan dalam lingkungan
mikro cervicovaginal dihasilkan dari terapi antibiotik, ovulasi, menstruasi atau
penyakit menular seksual (PMS) dapat mengganggu keseimbangan flora
endogen, nonpatogenik biasanya menyebabkan organisme untuk berkembang
biak sangat cepat dan akan naik ke saluran bagian atas.
Faktor – faktor ini juga dapat memfasilitasi peningkatan bakteri
patogen, seperti neisseria gonorrhoeae atau chlamdia trachomatis. Intercourse
juga dapat berkontribusi untuk peningkatan infeksi dengan kontraksi rahim
secara mekanis membujuk organisme untuk meningkat. Selainitu sperma
dapat membawa organisme ke saluran kelamin bagin atas pada saat hubungan
seksual
Diagnosis
Gambaran klinis
 Salpingitis akut
Salpingitis akut, saluran tuba menjadi merah dan bengkak, dan
mengeluarkan cairan tambahan sehingga dinding-dinding bagian dalam
tabung sering tetap bersatu. Tabung mungkin juga tetap berpegang
pada struktur terdekat seperti usus. Kadang-kadang, sebuah tabung
tuba bisa mengisi dan mengasapi dengan nanah. Dalam kasus yang
jarang terjadi, tabung pecah dan menyebabkan infeksi yang berbahaya
dalam rongga perut (peritonitis).
 Salpingitis kronis
Salpingitis kronis biasanya mengikuti suatu serangan akut.
Infeksi ini lebih ringan, lebih tahan lama dan mungkin tidak
menghasilkan banyak terlihat gejala.
Dalam kasus ringan, salpingitis mungkin tidak memiliki gejala. Ini
berarti saluran tuba bisa menjadi rusak tanpa wanita bahkan menyadari bahwa
ia memiliki infeksi. Gejala salpingitis dapat mencakup:
 Vagina abnormal, seperti warna atau bau yang tidak biasa
 Bercak antara periode
 Dismenorea (menyakitkan periode)
 Sakit saat ovulasi
 Tidak nyaman atau sakit saat hubungan seksual
 Demam
 Sakit perut di kedua sisi
 Nyeri punggung bawah
 Sering buang air kecil
 Mual dan muntah
 Gejalanya biasanya muncul setelah periode menstruasi.
Gambaran Radiologis
1. USG
Meskipun ultrasonografi (USG) adalah tidak diindikasikan
untuk diagnosa penyakit ini, ini adalah tes diagnostik pilihan untuk
evaluasi kemungkinan TOA. ultrasonografi juga mungkin dapat
membantu dalam mengatur keluar beberapa etiologi dalam diferensial,
seperti kista ovarium, ovarium torsi, dan, mungkin, apendisitis atau
endometriosis.
USG Transabdominal tidak mampu membedakan antara
pyosalpinx, hydrosalpinx, akut salpingitis, tuboovarian kompleks, atau
TOA, dan diferensiasi ini ditingkatkan dengan USG transvaginal
2. HSG
Salpingitis isthmica nodosa dapat di diagnosis menggunakan
pemeriksaan radiograpi. Histerosalpingogram atau HSG menunjukkan
banyaknya diverticuli atau kantong luar yang menonjol dari lumen
tuba sampai ke dinding dari isthmic yang melewati porsi dari tuba
fallopian. Karena itu dengan pemeriksaan HSG gambaran radiologis
dari tuba diverticulosis kelihatan.
3. Pemeriksaan lainnya yang biasa dilakukan:
 Pemeriksaan darah lengkap
 Pemeriksan cairan dari serviks
 Kuldosentesis
 Laparoskopi
Penatalaksanaan
Tujuan pengelolaan secara efisien salpingitis adalah untuk mengobati
infeksi akut, sehingga menjaga kesuburan dan mencegah kehamilan ektopik,
serta mengurangi risiko jangka panjang inflamasi sequelae.
Wanita dengan PID atau salpingitis dapat berobat jalan maupun di
rawat inap. Menurut Pelvic Inflammatory Disease Evaluation and Clinical
Health (PEACH) trial, 831 wanita dengan gejala PID ringan biasanya
menerima pasien rawat inap dengan pengobatan melalui intravena (IV) :
cefoxitin dan doxycycline, sedangkan untuk pesien rawat jalan diberi
intramuskular (IM) cefoxitin dan pemberian peroral untuk doxycycline Jika
tidak ada respon terhadap pemberian antibiotik, mungkin perlu dilakukan
pembedahan.
Pasangan seksual penderita sebaiknya juga menjalani pengobatan
secara bersamaan dan selama menjalani pengobatan jika melakukan hubungan
seksual, pasangan penderita sebaiknya menggunakan kondom.

2. Periode pascapersalinan dibagi menjadi tiga periode puerperium yaitu sebagai berikut.
 “immediate puerperium” yaitu 24 jam pertama setelah melahirkan. Masa ini
dimulai segera setelah plasenta lahir sampai dengan 24 jam. Pada masa ini
sering terdapat banyak masalah, misalnya pendarahan karena atonia uteri.
Oleh karena itu, harus dipantau kontraksi uterus, pengeluaran lokia, tekanan
darah, dan suhu.
 “early puerperium” yaitu setelah 24 jam hingga 1 minggu. Pada fase ini harus
dipastikan involusi uteri dalam keadaan normal, tidak ada perdarahan, lokia
tidak berbau busuk, tidak demam, ibu cukup mendapatkan makanan dan
cairan, serta ibu dapat menyusui dengan baik.
 “late puerperium” yaitu setelah 1 minggu sampai dengan 6 minggu
pascapersalinan. Pada periode ini perawatan tetap dilakukan dan pemeriksaan
sehari-hari serta konseling KB.

A. Perubahan pada Sistem Reproduksi


a. Uterus Proses kembalinya uterus ke keadaan sebelum hamil setelah
melahirkan disebut involusi. Involusi uterus terdiri atas:
- Struktur
Perubahan struktur yang terjadi dalam proses involusi
uterus terjadi melalu tiga proses, yaitu: (I) autolisis dari serat otot
yang berlebihan, (II) pembuluh darah yang mengalami obliterasi
oleh trombosis dan menjadi degenerasi sementara sisanya
bertransformasi menjadi jaringan elastik, dan (III) desidua, kecuali
basal layer, mengalami pemisahan. Involusi uterus dimulai segera
setelah plasenta keluar akibat kontraksi otot-otot polos uterus dan
berlangsung sangat cepat.
- Berat
Berat uterus sesaat setelah melahirkan, termasuk janin,
plasenta, membran, dan cairan amnion adalah sejumlah 1000
gram. Dalam 1 minggu, berat uterus menurun hingga 500 gram,
dan dalam 6 minggu, berat uterus menjadi 50 gram, yaitu berat
uterus pada keadaan tidak hamil. Uterus pada seorang wanita
multipara biasanya lebih berat dan tidak ada akan pernah
kembali ke proporsi nulipara. Dalam 6 minggu setelah
persalinan, uterus mulai menyusut hingga 50-100 gram.
- Ukuran
Lokasi dari fundus uteri membantu untuk menentukan
bahwa involusi uterus berlangsung secara normal. Fundus dapat
dipalpasi pada pertengahan antara simfisis os pubis dan
umbilikus. Dalam 12 jam, ukuran fundus meningkat setinggi
umbilikus atau di atas maupun di bawah umbilikus.
b. Tempat Implantasi
Plasenta Terjadi kontraksi uterus yang meningkat setelah bayi
keluar. Hal ini menyebabkan iskemia pada lokasi perlekatan plasenta
(plasenta site) sehingga jaringan perlekatan antara plasenta dan dinding
uterus mengalami nekrosis dan lepas. Diameter rata-rata dari plasenta
18 cm, dengan cepat uterus menurun diameternya menjadi 9 cm dari
tempat melekatnya plasenta.
c. Lokia
Discharge vagina yang dikenal dengan lokia pada masa
puerperium berasal dari plasental site. Lokia rubra/kruenta (merah
kecoklatan) merupakan cairan bercampur darah segar, dengan partikel-
partikel kecil dari sisa-sisa penebalan dinding rahim (desidua) dan sisa-
sisa trofoblas/penanaman plasenta (selaput ketuban) serta mukus.
Biasanya berbau amis dan keluar sampai hari ke-3 atau ke-4
pascapersalinan. Lokia sanguinoleta berwarna merah kekuningan berisi
darah dan lendir. Ini terjadi pada hari ke 3-7 pascapersalinan.

d. Serviks
Selama kehamilan, serviks kehilangan elastisitasnya. Epitel
serviks meningkat dalam ketebalan dan kelenjar serviks menunjukkan
hyperplasia dan hipertofi. Dalam stroma, reaksi desidua tampak jelas.
Perubahan ini diikuti dengan peningkatan substansi dalam
vaskularisasi serviks. Pemeriksaan kolposkopik dapat dilakukan
setelah persalinan untuk melihat ulserasi, laserasi atau ekimosis dari
serviks. Serviks bengangsur-angsur melunak selama masa puerperium.
Regresi epitel serviks berlangsung dalam 4 hari setelah persalinan dan
pada akhir minggu pertama, edema dan perdarahan pada serviks mulai
berkurang. Hipertrofi dan hiperplasia vaskuler menetap pada minggu
pertama. Seminggu setelah persalinan, serviks memendek dan
konsistensinya menjadi lebih padat. Serviks tidak pernah kembali ke
keadaan awal meskipun telah mengalami penyembuhan karena akan
meninggalkan dilatasi dari 10 cm menjadi 2-3 cm.
e. Vulva dan Vagina
Segera setelah melahirkan dinding vagina tampak edema,
memar serta rugae atau lipatan-lipatan halus tidak ada lagi. Vagina dan
vulva tampak meregang selama persalinan. Pada minggu ketiga, vagina
akan mengecil dan timbul rugae (lipatan-lipatan atau kerutan-kerutan)
kembali. Rugae tampak pada vagina, dan labium kembali normal
namun lebih besar dibanding pada kondisi nulipara.
f. Payudara
Payudara disiapkan untuk proses laktasi selama kehamilan.
Payudara dapat membengkak karena sistem vaskularisasi dan limfatik
disekitar payudara dan mengakibatkan perasaan tegang dan sakit
B. Perubahan Pada Sistem Kardiovaskular
Sistem kardiovaskular akan kembali pada keadaan sebelum kehamilan
dalam kurun waktu 2 minggu pascapersalinan.
C. Perubahan Pada Sistem Urinarius
Ginjal kembali ke keadaan normal dalam waktu 2-3 bulan setelah
persalinan. Dilatasi dari renal pelvis, calyx, dan ureter berakhir pada minggu
keenam dan kedelapan untuk sebagian besar wanita meskipun itu dapat
berlanjut sampai 16 minggu untuk beberapa wanita.
D. Perubahan pada Sistem Gastrointestinal
Banyak hal yang terjadi setelah pascapersalinan. Perubahan yang
terjadi pada sistem gastrointestinal adalah atoni dari intestin, kelemahan pada
abdomen dan perineum, anorexia, dan kehilangan cairan tubuh. Segera setelah
melahirkan, sistem pencernaan menjadi sangat aktif. Ibu akan segera merasa
lapar karena kehilangan energi selama persalinan. Ibu akan merasa haus
karena kurangnya intake oral selama persalinan dan kehilangan cairan dari
usaha ibu saat persalinan, pernapasan mulut, dan diaforesis dini. Jadi
sebaiknya segera diberikan makan dan minum setelah ibu melahirkan.
E. Perubahan pada Sistem Muskuloskeletal
a. Otot dan Sendi
Selama beberapa hari pertama, kadar hormon relaksasi
berangsurangsur berkurang, ligamen dan kartilago dari pelvis kembali
pada posisi sebelum kehamilan. Perubahan ini dapat menyebabkan
banyak wanita mengalami kelemahan dan nyeri otot, terutama pada
bahu, leher, dan lengan. Hal ini terjadi akibat penggunaan tenaga
selama proses persalinan.
b. Dinding Abdomen
Selama hamil, dinding abdomen meregang untuk menyediakan tempat
pertumbuhan janin, tonus otot juga menurun. Banyak wanita
mengharapkan otot-otot abdomen kembali ke keadaan sebelum
kehamilan segera setelah bayi lahir. Hal yang ditakutkan adalah
menemukan dinding abdomen lemah, halus, dan kendur. Dinding
abdomen menjadi kendur karena distensi yang berlangsung lama akibat
pembesaran uterus selama hamil dan ruptur serat-serat elastis kulit.
F. Perubahan Pada Sistem Endokrin
Sistem endrokrin mengalami perubahan secara tiba-tiba selama kala IV
persalinan dan mengikuti lahirnya plasenta. Setelah pengeluaran plasenta,
kadar hormon plasenta dan hormon-hormon lainnya mengalami perubahan.
 Estrogen dan Progesteron
 Hpl
 Hcg
 HPr
 Oksitosin
 tiroksin dan tiroid
G. Perubahan pada Sistem Intergumentari
Terdapat banyak perubahan pada kulit yang muncul selama kehamilan.
Hal ini disebabkan karena peningkatan kadar hormon. Ketika kadar hormon
menurun setelah persalinan, kulit berangsung-angsur kembali pada keadaan
sebelum hamil.
H. Perubahan lainnya
a. Weight Loss
b. Perubahan tanda vital
c. Hair Loss
Daftar Pustaka

1. Gabbe SG, Niebyl JR, Simpson JL. Postpartum Care. In: Obstetrics Normal and
Problem Pregnancies. Fifth Edition. Philadelphia: Mosby Elsevier. 2015
2. Hamilton D, Fairley. Lecture Notes Obstetrics and Gynaecology. 2nd Edition.
London: Blackwell Publishing 2016.
3. Prawirohardjo Sarwono. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka. 2010
4. Evans AT. Obstetric Care, Puerperium. In: Manual of Obstetrics. Seventh Edition.
Texas 2011
5. Hanretty, Kevin P. Puerperium Normal and Abnormal. In: Obstetrics Illustrated. Sixth
Edition. China. 2016

Anda mungkin juga menyukai