Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PBL MODUL IV

SISTEM TUMBUH KEMBANG DAN GERIATRI


INKONTINENSIA URIN

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 4
TUTOR
dr. Syamsu Rijal, M.Kes, Sp.PA
ANGGOTA:

Muhammad Ridwan Musa 11020140010


Nuari Aqriana Darwis 11020140047
Putri Nur Indah Sari 11020140080
Ade Novita Sam 11020140093
Muhammad Fiqri Fadillah 11020140111
Arni Pahlawani Amir 11020140132
Vina Alfiani 11020140145
Puput Wirayanti Pratiwi 11020140154
Dewi Arfina Sari 11020140160

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2017
A. SKENARIO
Anamnesis: Perempuan 68 tahun dibawa ke rumah sakit oleh keluarganya dengan keluhan
selalu mengompol. Keadaan ini dialami sudah sejak 8 bulan lalu dimana penderita sama
sekali tidak dapat menahan bila ingin buang air kecil, sehingga kadanag air seninya
berceceran di lantai. Tidak ada keluhan sakit saat berkemih.
Menurut keluarganya sejak seminggu yang lalu penderita terdengar batuk-batuk, banyak
lendir kental dan agak sesak nafas, serta nafsu makannya berkurang, tetapi tidak demam.
Penderita mempunyai 8 orang anak yang terdiri dari 5 laki-laki dan 3 perempuan. Riwayat
penyakit selama ini, sejak 15 tahun penderita mengidap dan berobat teratur dengan obat
Glibenklamide 5 mg, tekanan darah tinggi dengan obat captopril 25 mg dan kedua lutut
sering bengkak dan sakit.
Pemeriksaan fisik: pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah baring 180/70 mmHg
dan duduk 160/70 mmHg, nadi 92 x/menit, suhu aksiler 37C, pernapasan 24x/ menit. Pada
auskultasi paru-paru ditemukan adanya ronkhi basah kasar pada bagian medial paru kanan
dan kiri. Jantung, hati dan limpa kesan dalam batas normal. Berat badan 72 kg dan tinggi
badan 155 cm.
Pemeriksaan Penunjang: Pem. Laboratorium kadar HB 12,3 gr%, Leukosit 13.400/mm3,
GDS 279 mg/dl, kreatinin 1,5 mg/dl, asam urat 9,2 mg/dl/
Analisa urin: sedimen leukosit: 1-3/lpb. Pemeriksaan toraks foto ditemukan adanya
perselubungan homogen di daerah kedua medial paru. USG abdomen tidak ditemukan
kelainan.
B. KATA SULIT
-
C. KALIMAT KUNCI
- Perempuan 68 tahun keluhan selalu mengompol
- sejak 8 bulan dan tidak sakit saat berkemih
- seminggu lalu terdengar batuk-batuk, lendir kental dan sesak nafas, nafsu makannya
berkurang, tidak demam
- sejak 15 tahun minum oabt Glibenklamide 5 mg, captopril 25 mg
- kedua lutut sering bengkak dan sakit
- Pemeriksaan fisik: pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah baring 180/70
mmHg dan duduk 160/70 mmHg, nadi 92 x/menit, suhu aksiler 37C, pernapasan 24x/
menit. Pada auskultasi paru-paru ditemukan adanya ronkhi basah kasar pada bagian
medial paru kanan dan kiri. Jantung, hati dan limpa kesan dalam batas normal. Berat
bada 72 kg dan tinggi badan 155 cm.
- Pemeriksaan fisik: TD baring 180/70 mmHg, duduk 160/70 mmHg, nadi 92 x/menit,
suhu aksiler 37C, pernapasan 24x/ menit. Auskultasi paru-paru: ronkhi basah kasar
medial paru kanan dan kiri. Jantung, hati dan limpa kesan dalam batas normal. Berat
badan 72 kg dan tinggi badan 155 cm.
- Pemeriksaan Penunjang: HB 12,3 gr%, Leukosit 13.400/mm3, GDS 279 mg/dl,
kreatinin 1,5 mg/dl, asam urat 9,2 mg/dl/
- Analisa urin: sedimen leukosit: 1-3/lpb. Pemeriksaan toraks foto: perselubungan
homogen di daerah kedua medial paru. USG abdomen tidak ditemukan kelainan.

D. PERTANYAAN PENTING
1. Faktor apa yang menyebabkan pasien mengalami inkontinensia?
2. Jenis inkontinensia apa yang kemungkinan dialami pasien?
3. Bagaimana penanganan pasien berdasarkan skala prioritas?
4. Komplikasi apa yang dapat terjadi pada pasien tersebut?
5. Bagaimana langkah diagnosis pada pasien?
6. Perspektif islam mengenai pasien inkontinensia?

E. JAWABAN PERTANYAAN
1. Faktor apa yang menyebabkan pasien mengalami inkontinensia?
Berdasarkan kasus tersebut, inkontinensia yang dialami pasien tersebut dipengaruhi
oleh beberapa faktor, di antaranya:
a. Penuaan (menopause)
International Continence Society mendefinisikan inkontinensia urin sebagai
pengeluaran urin yang tidak disadari. Pada pria dan wanita, usia dilaporkan sebagai
faktor resiko untuk inkontinensia urin. Kejadian inkontinensia urin 2-3 kali lebih sering
pada wanita dibandingkan pria sampai usia 80 tahun.
Inkontinensia urin bukan merupakan konsekuensi normal dari bertambahnya
usia. Usia yang lanjut tidak menyebabkan inkontinensia. Walaupun begitu, beberapa
perubahan-perubahan berkaitan dengan bertambahnya usia, dan faktor-faktor yang
berkaitan dengan bertambahnya usia, antara lain:in
- Mobilitas yang lebih terbatas karena menurunnnya panca indera,
kemunduran system lokomosi
- Kondisi-kondisi medic yang patologik dan berhubungan dengan
pengaturan urin misalnya diabetes mellitus, gagal jantung kongestif.
Pada individu yang memiliki fungsi saluran kemih normal, aktivasi dari saraf
simpatis membantu dalam penutupan neck of bladder. Ketika buli-buli terisi dan
tekanannya meningkat, kerja dari saraf parasimpatis juga akan meningkat yang
menyebabkan kontraksi dari otot detrusor dan buli-buli menjadi kosong.

Secara umum, dengan bertambahnya usia, kapasitas kandung kemih menurun.


Sisa urin dalam kandung kemih, setiap selesai berkemih, cenderung meningkat dan
kontraksi otot-otot kandung kemih yang tidak teratur makin sering terjadi. Pada wanita,
menjadi lanjut usia juga berakibat menurunnya tahanan pada uretra dan muara kandung
kemih. Ini berkenaan dengan kadar estrogen dan melemahnya jaringan/otot-plot
panggul karena proses melahirkan.

b. Diabetes mellitus

Salah satu penyebab inkontinensia adalah poliuria. Poliuria pada penderita DM


merupakan akibat akibat glukosuria yang mengakibatkan diuresis osmotic yang
meningkatkan pengeluaran kemih (poliuria) yang juga akan menimbulkan rasa haus
(polidipsi) dan rasa lapar (polifagia). Konsumsi glukosa hilang bersama kemih sehingga
terjadi keseimbangan kalori yang negative dan berat badan berkurang.
Diabetes melitus

Hiperglikemia

Blood glucose exceed renal threshold

Glukosuria

Osmotic diuresis

Poliuria

Inkontinence
Dalam scenario dikatakan bahwa pasien sudah mengonsumsi obat-obatan diabetes
melitis selama 15 tahun, sehingga kemungkinan pasien sudah mendapatkan komplikasi
vascular kronik (jangka panjang) baik itu mikroangiopati maupun makroangiopati.
Mikroangiopati merupakan lesi spesifik diabetes yang menyerang kapiler dan arteriola
retina ( retinopati diabetic), glomerulus ginjal ( nephropati diabetic), otot-otot dan
kulit.Neuropatik diabetic merupakan komplikasi vaskeler di sumsum saraf perifer.
Neuropati timbul akibat gangguan jalur poliol (glukosa-sosbitol-fruktosa) akibat
menurunnya insulin. Terdapat penimbunan sorbitol dalam lensa sehingga menimbulkan
katarak, sedangkan pada jaringan saraf terjadi penimbunan sorbitol dan fruktosa dan
penurunan kadar mioinositol yang menimbulkan neuropati. Perubahan biokimia pada
jaringan saraf akan mengganggn kegiatan metabolic sel-sel schwann dan menyebabkan
kehilangan akson. Kecepatan konduksi motorik akan berkurang pada tahap dini
perjalanan neuropati. Neuropati dapat menyerang saraf-saraf perifer (mononeuropati
dan polineuropati), saraf-saraf cranial atau system saraf otonom.
Diabetik neuropati dapat menimbulkan efek negative terhadap traktus
genitourinarius, traktus intestinal, dan serebrovaskuler. Khususnya traktus urinarius
efek dari neuropati diabetic yaitu hilangnya sensasi pada buli-buli yang akan
menurunkan aksi/kontraksi dari muskulus dertrusor sehingga terjadi kesulitan untuk
mengosongkan buli-buli (neurogenic bladder) karena hilangnya tonus akibat gangguan
pada saraf perifernya sehingga mengakibatkan terjadinya overflow inkontinensia.
Poliuri yang dialami penderita DM menyebabkan kandung kemih pasien
memerlukan perhatian khusu, karena penderita ini sering mengalami infeksi saluran
kemih (ISK) yang berulang. Selain itu, urat saraf yang memelihara kandung kemih
sering rusak, sehingga dinding kandung kemih menjadi lemah. Kandung kemih akan
menggelembung dan kadang-kadang penderita tidak dapat buang air kecil (kencing)
dengan spontan, urin tertimbun dan tertahan di kandung kemih. Keadaan ini disebut
retensi urin. Apabila sifat control urat sarafnya terganggu, penderita sering ngompol
atau kencing sendiri tak tertahankan atau disebut inkontinensia urin.

DM diabetic neuropati autonomy neuropaty hilanganya sensasi berkemih


menurunnya kontraksi otot detrusor sulit mengosongkan vesica urinaria
inkontinensia.
c. Riwayat multipara (8 anak)
Sebagian besar wanita mengalami inkontinensia selama kehamilan, tetapi
umumnya dari mereka hanya sementara saja. Banyak penelitian mengungkapkan
tingginya prevalensi inkontinensia pada wanita hamil dibandingkan wanita
nulipara. Suatu penelitian pada 305 multipara, 4% mengalami stress inkontinensia
sebelum kehamilan, 32% selama kehamilan.
Dan 7% pada masa post partum. Kehamilan dan obesitas menambah beban struktur
dasar panggul dan dapat menyebabkan panggul pada akhirnya menyebabkan
inkontinensia urin.

Persalinan menyebabkan kerusakan sistem pendukung uretra, kelemahan dasa


r panggulakibat melemah dan mereganggnya otot dan jaringan ikat selama proses p
ersalinan, kerusakan akibat laserasi saat proses persalinan penyangga org
an dasar panggul, dan peregangan jaringan dasar panggul selama proses p
ersalinan melalui vagina dapat merusak saraf pudendus dan dasar panggul sesuai k
erusakan otot dan jaringan ikat dasar panggul, serta dapat mengganggu kemam
puan sfingter uretra untuk kontraksi dan respon peningkatan tekanan intraabdomen
atau kontraksi detrusor. Jika kolagen rusak, maka origo maupun insersio otot
menjadi kendur sehingga mengganggu kontraksi isometrik. Hal ini menyebabkan
mekanisme fungsi yang tidak efisien dan hipermobilitas uretra. Pemakainan forsep
s se-lama persalinan dapat memicu IU. Tingginya usia, paritas, dan berat badan ba
yi tampaknya berhubungan dengan IU. Beberapa penelitian epidemiologik telah m
enunjukkan bahwa peningkatan Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan faktor risi
ko yang signifikan dan independen untuk inkontinensia urin semua tipe. Fakta men
unjukkan bahwa prevalensi inkontinensia urge maupun stres meningkat sebanding
dengan IMT.
Secara teori, peningkatan tekanan intra-abdominal serupa dengan peningkatan
IMT sebanding dengan tekanan intravesikal yang lebih tinggi. Tekanan yang tin
ggi ini mempengaruhi tekanan penutupan uretra dan menyebabkan terjadinya inko
ntinensia.

d. Osteoarthritis

Nyeri dan bengkak pada lutut merupakan keluhan utama pasien datang ke
dokter, selain itu perubahan gaya berjalan seperti jalan tidak stabil juga dikeluhkan
oleh pasien dan menyusahkan pasien. Gangguan berjalan dan gangguan fungsi
sendi yang lain merupakan ancaman yang besar untuk kemandirian pasien yang
umumnya tua.

Riwayat rematik pada pasien dapat didiagnosis sebagai Osteoarthritis Genu


atau yang bermanifestasi pada lutut. Hal ini dapat dikaitkan dengan inkontinensia
urin pada pasien dimana bisa terjadi inkontinensia urin tipe fungsional, terjadi
akibat penurunan berat fungsi fisik dan kognitif sehingga pasien tidak dapat
mencapai toilet pada saat yang tepat. Hal ini ditandai dengan kemungkinan terjadi
kesulitan pada pasien untuk ke kamar mandi karena nyeri lututnya, sehingga
umumnya penderita menunda keinginannya untuk miksi yang pada akhirnya dapat
menyebabkan penderita mengalami inkontinensia urin.
e. Hipertensi

Hipertensi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi inkontinensia urin


pada seseorang. Salah satunya akibat mengkonsumsi obat-obatan anti hipertensi
yang berlebihan. Antara lain:

1. Alpha-Bloker

Orang yang memiliki tekanan darah tinggi dan mengkonsumsi obat hipertensi
jenis ini seperti doxazosin mesylate, prazon hidroklorida, terazosin
hydrochloride, mungkin berisiko mengalami inkontinensia. Hal ini disebabkan
alpha-bloker bekerja untuk menurunkan tekanan darah dengan mengendurkan
kandung kemih bersamaan dengan pembuluh darah. Hal ini membuat penderita
rentan terhadap stress inkontinensia yang memungkinkan urin keluar tanpa
sengaja ketika ia bersin, batuk, tertawa, berlari atau melompat. Obat golongan
ini dapat menurunkan kemampuan penutupan uretra dan menyebabkan stress
inkontinensia.

2. Diuretik
Berbagai macam obat diruetik dengan nama merek Bumex, Lasix, Aldactone
atau jenis generik seperti furosemid, teofilin dan sebagainya, adalah obat lini
pertama yang paling sering diresepkan untuk hipertensi. Namun, obat ini
diketahui juga dapat memicu inkontinensia. Obat-obatan diuretik dapat
merangsang ginjal untuk membuang kelebihan air dan garam dari dalam tubuh.
Karena tubuh memproduksi lebih banyak urin, hal ini membuat adanya
peningkatan tekanan pada kandung kemih.

3. Calsium Channel Blockers


Calsium Channel Blockers untuk hipertensi dapat menyebabkan berkurangnya
tonus sfingter uretra eksternal dan gangguan kontraktilitas otot polos kandung
kemih sehingga menstimulasi timbulnya stress inkontinensia. Obat ini juga
dapat menyebabkan edema perifer yang menimbulkan nokturia.

f. Obesitas
Berdasarkan penelitian, setiap peningkatan 5 unit BMI disertai dengan sekitar
20%-70% peningkatan resiko inkontenensia urin. Kemungkinan lebih besar kaitan
dari peningkatan BB dengan prevalensi inkontenensia tipe tress,termasuk campuran
dari pada tipe urgensi dan KKH (kandung kemih hiperaktif).
Mekanisme hubungan antara obesitas dan UI belum diketahui secara jelas,
secara teori bahwa BB yang berlebih meningkatkan tekanan intraabdomen, yang
meningkatkan tekanan kandung kemih dan mobilitas uretra, menyebabkan UI tipe
stress dan juga mengeksaserbasi instabilitasi otot detrusor dan buli-buli overaktif.
Seperti halnya kehamilan, obesitas dapat menyebabkan tegangan, regangan, dan
kelemahan otot, saraf, dan struktur dasar panggul lainnya.

2. Jenis inkontinensia apa yang kemungkinan dialami pasien?

Inkontinensia Urin

Inkontinensia urin (IU) oleh International Continence Society (ICS) didefinisikan


sebagai keluarnya urin yang tidak dapat dikendalikan atau dikontrol; secara objektif dapat
diperlihatkan dan merupakan suatu masalah sosial atau higienis. Hal ini memberikan perasaan
tidak nyaman yang menimbulkan dampak terhadap kehidupan sosial, psikologi, aktivitas
seksual dan pekerjaan. Juga menurunkan hubungan interaksi sosial dan interpersonal.9
Inkontinensia urin dapat bersifat akut atau persisten. Inkontinensia urin yang bersifat akut dapat
diobati bila penyakit atau masalah yang mendasarinya diatasi seperti infeksi saluran kemih,
gangguan kesadaran, vaginitis atrofik, rangsangan obatobatan dan masalah psikologik.9 .
Gambar 1. Anatomi Urogenital Wanita(Dikutip dari 26)

Kelainan Inkontinensia urin sendiri tidak mengancam jiwa penderita, tetapi


berpengaruh pada kualitas hidup yang disebabkan oleh faktor gangguan psikologis dan faktor
sosial yang sulit diatasi. Penderita merasa rendah diri karena selalu basah akibat urin yang
keluar,pada saat batuk, bersin, mengangkat barang berat, bersanggama, bahkan kadang pada
saat beristirahat dan setiap saat harus memakai kain pembalut

2.1.1. Jenis jenis Inkontinensia Urin

Berdasarkan sifat reversibilitasnya inkontinensia urin dapat dikelompokkan menjadi 2


yaitu :

1. Inkontinensia urin akut ( Transient incontinence ) : Inkontinensia urin ini terjadi


secara mendadak, terjadi kurang dari 6 bulan dan biasanya berkaitan dengan kondisi
sakit akut atau problem iatrogenic dimana menghilang jika kondisi akut teratasi.
Penyebabnya dikenal dengan akronim DIAPPERS yaitu : delirium, infeksi dan
inflamasi, atrophic vaginitis, psikologi dan pharmacology, excessive urin production
(produksi urin yang berlebihan), restriksi mobilitas dan stool impaction (impaksi feses).
2. Inkontinensia urin kronik ( Persisten ) : Inkontinensia urin ini tidak berkaitan dengan
kondisi akut dan berlangsung lama ( lebih dari 6 bulan ). Ada 2 penyebab kelainan
mendasar yang melatar belakangi Inkontinensia urin kronik (persisten) yaitu :
menurunnya kapasitas kandung kemih akibat hiperaktif dan
karena kegagalan pengosongan kandung kemih akibat lemahnya kontraksi otot
detrusor. Inkontinensia urin kronik ini dikelompokkan lagi menjadi beberapa tipe
(stress, urge, overflow, mixed). Berikut ini adalah penjelasan dari masing-masing tipe
Inkontinensia urin kronik atau persisten :
a) Inkontinensia urin tipe stress : Inkontinensia urin ini terjadi apabila urin secara
tidak terkontrol keluar akibat peningkatan tekanan di dalam perut, melemahnya
otot dasar panggul, operasi dan penurunan estrogen. Gejalanya antara lain kencing
sewaktu batuk, mengedan, tertawa, bersin, berlari, atau hal lain yang meningkatkan
tekanan pada rongga perut.

Gambar 2. Perbandingan Normal Stress dan Stress Inkontinensia

Inkontinesia urin tipe stress dapat dibedakan dalam 4 jenis yaitu14:

1. Tipe 0 :pasien mengeluh kebocoran urin tetapi tidak dapat dibuktikan


2. melalui pemeriksaan
3. Tipe 1 :IU terjadi pada pemeriksaan dengan manuver stress dan adanya
4. sedikit penurunan uretra pada leher vesika urinaria
5. Tipe 2 :IU terjadi pada pemeriksaan dengan penurunan uretra pada leher
6. vesika urinaria 2 cm atau lebih
7. Tipe 3 :uretra terbuka dan area leher kandung kemih tanpa kontraksi kandung
kemih. Leher uretra dapat menjadi fibrotik (riwayat trauma atau bedah
sebelumnya) dengan gangguan neurologic atau keduanya. Tipe ini disebut juga
defisiensi sfingter intrinsik
b) Inkontinensia urin tipe urge : timbul pada keadaan otot detrusor kandung kemih
yang tidak stabil, yang mana otot ini bereaksi secara berlebihan. Inkontinensia urin
ini ditandai dengan ketidak mampuan menunda berkemih setelah sensasi berkemih
muncul. Manifestasinya dapat berupa perasaan ingin kencing yang mendadak (
urge ), kencing berulang kali ( frekuensi ) dan kencing di malam hari ( nokturia ).
c) Inkontinensia urin tipe overflow : pada keadaan ini urin mengalir keluar akibat
isinya yang sudah terlalu banyak di dalam kandung kemih, umumnya akibat otot
detrusor kandung kemih yang lemah. Biasanya hal ini dijumpai pada gangguan
saraf akibat penyakit diabetes, cedera pada sumsum tulang belakang, atau saluran
kencing yang tersumbat. Gejalanya berupa rasa tidak puas setelah kencing ( merasa
urin masih tersisa di dalam kandung kemih ), urin yang keluar sedikit dan
pancarannya lemah. Inkontinensia tipe overflow ini paling banyak terjadi pada pria
dan jarang terjadi pada wanita.
d) Inkontinensia tipe campuran (Mixed) : merupakan kombinasi dari setiap jenis
inkontinensia urin di atas. Kombinasi yangpaling umum adalah tipe campuran
inkontinensia tipe stress dan tipe urgensi atau tipe stress dan tipe fungsional.

Gambar 3. Tipe Inkontinensia Urin

3. Bagaimana penanganan pasien berdasarkan skala prioritas?


a. Inkontinensia
Pengelolaan inkontinensia akan cukup baik hasilnya bila semua faktor
yang berpengaruh diperhatikan. Metode pengobatan inkontinensia urin
ada tiga:
1. Teknik latihan perilaku (behavioral treatments)
Teknik latihan ini membutuhkan instruksi yang cermat pada
penderita. Edukasi pada penderita meliputi latihan kandung kemih,
latihan menahan dorongan untuk berkemih, dan latihan otot dasar
panggul.
Latihan kandung kemih (bladder training)
Bladder training mengikuti suatu jadwal yang ketat untuk ke
kamar kecil/berkemih. Jadwal dimulai dengan ke kamar kecil
tiap dua jam, dan waktunya makin ditingkatkan. Makin lama
waktu yang dicapai untuk berkemih, makin memberikan
peningkatan control terhadap kandung kemih. Latihan kandung
kemih terbukti efektif baik untuk inkontinensia tipe stress
maupun urgensi.

Latihan menahan dorongan untuk berkemih


Untuk mendapatkan control atas kandung kemih, cara berikut
dapat dipakai saat datang dorongan berkemih.

1. Berdiri tenang atau duduk diam, lebih baik jika kaki


disilangkan. Tindakan ini mencegah rangsang berlebihan
dari kandung kemih.
2. Tarik napas teratur dan relaks.
3. Kontraksikan otot-otot dasar panggul beberapa kali. Ini akan
membantu menutup uretra dan menenangkan kandung
kemih.
4. Alihkan pikiran ke hal lain, untuk menjauhkan perhatian dari
dorongan berkemih.
5. Bila rangsang berkemih sudah menurun, jangan ke toilet
sebelum jadwal berkemih.
Latihan otot dasar panggul
Latihan otot-otot pelvis memperkuat otot-otot yang lemah
sekitar kandung kemih. Untuk identifikasi otot yang tepat,
bayangkan kita sedang menahan untuk tidak flatus. Otot
yang dipakai untuk menahan flaturs adalah otot yang ingin
kita latih.
1. Lakukan latihan otot dasar panggul beberapa kali sehari
sekitar 10 menit.
2. Praktekkan setiap waktu dan tempat. Setelah menguasai
metodenya, lakukan juga saat duduk dan berdiri.
3. Jangan memaki otot-otot perut, paha, dan betis saat
latihan dan bernapaslah biasa saja.
Setelah 4-6 minggu melakukan latihan ini dengan teratur,
akan terasa berkurang kebocoran urin.

2. Obat
Terapi dengan menggunakan obat-obatan diberikan apabila masalah
akut sebagai pemicu timbulnya inkontinensia urin telah diatasi dan
berbagai upaya bersifat nonfarmakologis telah dilakukan tetapi tetap
tidak berhasil mengatasi masalah inkontinensia tersebut. Pada pasien
dengan stress inkontinensia dapat diberikan alfa-agonist untuk
kontraksi dari sphinter uretra interna. Pemberian anticholinergics
bisa juga diberikan untuk mengatur overactive otot detrusor melalui
hambatan M2 dan M3 reseptor muskarinik pada buli-buli/

3. Pembedahan
Pembedahan merupakan pilihan terakhir untuk masalah
inkontinensia yang tidak berhasil diatasi dengan teknik latihan
perilaku, obat-obatan atau pun dengan memanfaatkan alat-alat bantu
untuk meminimalkan problem inkontinensia. Beberapa tindakan
pembedahan antara lain spincterectomi, operasi prostat, atau operasi
pada prolapse rahim.

- Tipe stress : Pengobatan dapat dilakukan tanpa operasi (misalnya dengan


Kegel exercises, dan beberapa jenis obat-obatan), maupun dengan operasi.
Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu
pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra.
- Tipe urge : relaksan kandung kemih, estrogen dan bladder training
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah
antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate,
Imipramine.
- Tipe overflow : operasi untuk menghilangkan sumbatan, bladder training,
Kateterisasi intermitten, kateterisasi menetap
b. Diabetes
Mengubah penggunaan obat glibenklamid dengan menggunakan Metformin
c. Osteoarthritis
Terapi OA dapat ditangani dengan terapi non farmakologis (edukasi dan
penerangan), terapi fisik, dan rehabilitasi. Terapi bedah juga dapat dilakukan.
Terapi farmakologik berupa
- Analgesik oral non opiate
- Analgesic topical
- OAINS
- Chondroprotective
d. Hipertensi
Disarankan menggunakan obat alfa-blocker untuk penderita hipertensi dengan
diabetes
e. Lingkungan geriatric

Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang


menyebabkan inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi
lansia yang mengalami inkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter,
dan alat bantu toilet seperti urinal, komod dan bedpan.
- Pampers
Dapat digunakan pada kondisi akut maupun pada kondisi dimana pengobatan
sudah tidak berhasil mengatasi inkontinensia urin. Namun pemasangan pampers
juga dapat menimbulkan masalah seperti luka lecet bila jumlah air seni melebihi
daya tamping pampers sehingga air seni keluar dan akibatnya kulit menjadi
lembab, selain itu dapat menyebabkan kemerahan pada kulit, gatal, dan alergi.
- Kateter
Kateter menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin karena
dapat menyebabkan infeksi saluran kemih, dan juga terjadi pembentukan batu.
Selainkateter menetap, terdapat kateter sementara yang merupakan alat yang
secara rutin digunakan untuk mengosongkan kandung kemih. Teknik ini
digunakan pada pasien yang tidak dapat mengosongkan kandung kemih.
Namun teknik ini juga beresiko menimbulkan infeksi pada saluran kemih.
- Alat bantu toilet
Seperti urinal, komod dan bedpan yang digunakan oleh orang usia lanjut yang
tidak mampu bergerak dan menjalani tirah baring. Alat bantu tersebut
akan menolong lansia terhindar dari jatuh serta membantu memberikan
kemandirian pada lansia dalam menggunakan toilet.

4. Komplikasi apa yang dapat terjadi pada pasien tersebut?

Komplikasi yang bisa terjadi bisa di bagi menjadi 3 aspek :

a. Medis : Ulkus Dekubitus


ISK
Sepsis
Gagal Ginjal
Gangguan Tidur
Jatuh
b. Psikososial : Hilang rasa percaya diri
Aktivitas social menurun
Depresi
Ketergantungan pramurawat
c. Ekonomi : Biaya Meningkat
5. Bagaimana langkah diagnosis pada pasien?

Wanita 68 tahun
Anamnesa riwayat penyakit (mengompol)
Anamnesa dibuat baik terhadap penderita maupun saksi mata jatuh atau keluarganya,
anamnesa ini mluputi
Seputar mengompol : mencari penyebab tidak bisa menahan BAK, sejak kapan
Pada skenario di didapat keadaan ini dialami sudah sejak 8 bulan lalu.
Gejala yang menyertai : seperti nyeri dada, berdebar-debar, nyeri kepala tiba-
tiba, vertigo, batuk, pingsan, lemas, konfusio, inkontinens, sesak nafas.
Pada skenario didapatkan seminggu yang lalu pasien menderita batuk-batuk
tetapi tidak demam dan sulit sekali mengeluarkan lendir, agak sesak nafas serta
nafsu makannya sangat berkurang
Kondisi komorbid yang relevan : pernah menderita hipertensi, diabetes melitus,
stroke, parkinsonisme, osteoporosi, sering kejang, penyait jantung, rematik,
depresi dll.
Pada skenario didapatkan riwayat penyakit penderita selama 15 tahun menderita
kecing manis dan tekanan darah tinggi
Reveiw obat-obatan yang pernah diminum
Pada skenario didapatkan pasien sering mengkonsumsi obat glibenklamid 5 mg
dan Captopril 25 mg.
1. Pemeriksaan Fisik
Kesadaran pasien (bisa dengan GCS)
Tidak dijelaskan pada skenario
Status gizi pasien (Indeks Masa Tubuh)
Pada skenario didapat BB : 72 kg dan TB : 155 cm jadi IMT pasien masuk dalam
kategori Obesitas 1 dengan hasil 29,9 kg/m2
Tanda vital
Tekanan darah baring 180/70 mmHg dan duduk 160/70 mmHg, pasien masuk
ke dalam kategori hipertensi grade II.
Nadi 92x/menit, masih dalam batas normal
Pernapasan 24x/menit, pernapasan dalam batas normal
Suhu 370 C, yang berarti normal
INSPEKSI
Tanda nyeri dan fraktur serta pemeriksaan ektremitas
PALPASI
Pemeriksaan organ dalam batas normal atau tidak
Pada skenario didapatkan bahwa jantung dalam batas normal dan tidak ada
pembesaran hepar dan limpa tetapi didapatkan kedua lutut sering bengkak dan
sakit.
AUSKULTASI
Menilai ada tidaknya bunyi abnormal yang terdapat pada organ seperti jantung,
paru-paru dan usus
Pada skenario bunyi abnormal yang didapatkan yaitu pada pada paru-paru
didapatkan bunyi ronkhi basah kasar diseluruh lapangan kedua paru, yang
dicurigai dari akibat sulitnya keluar lendir yang dikeluhkan pasien.
Pemeriksaan neurologis untuk menentukan lesi pada otak atau juga sensorik dan
motorik
Pada skenario tidak dijelaskan tentang pemeriksaan neurologis pasien
Pemeriksaan status fungsional dan kognitif, memperhatikan apakah pasien
menderita dimensia terutama dimensia vascular
Pada skenario tidak dapat dinilai status kognitifnya karena tidak terdapat hasil
pemeriksaan atau kata kunci tentang pemeriksaan mini mental state exam
(MMSE). Sedangkan untuk penilaian status fungsional pada skenario
didapatkan pasien mengalami nyeri pada pangkal paha kanan akibat jatuh
terpeleset di lantai rumah dan hal ini tentunya berdampak pada aktifitas gerak
pasien, seperti yang dijelaskan pada skenario bahwa pasien sulit untuk berjalan
sendiri dan membutuhkan bantuan orang lain untuk bergerak, oleh karena itu
dapat ditarik kesimpulan bahwa telah terjadi penurunan status fungsional pada
pasien tersebut. Namun pada penilaian status fungsional harus dinilai
menggunakan metode Indeks Katz-Barthel, tetapi pada skenario tidak
didapatkan kata kunci dan/atau hasil pemeriksaan tersebut sehingga penilaian
status fungsional tidak dapat dinilai secara akurat.
Pada skenario tidak disebutkan bahwa pasien menderita dimensia.
Pemeriksaan status mobilitas pasien : status fungsional cara berjalan
Pada scenario tidak didapatkan kelainan dalam berjalan.
2. Pemeriksaan Penunjang
Hemoglobin
Hemoglobin adalah protein yang kaya akan zat besi. Memiliki afinitas (daya
gabung) terhadap oksigen dan dengan oksigen itu membentuk oxihemoglobin
di dalam sel darah merah. Dengan melalui fungsi ini maka oksigen dibawa dari
paru-paru ke jaringan. Jumlah hemoglobin dalam darah normal adalah kira-kira
15 gram setiap 100 ml darah dan jumlah ini biasanya disebut 100 persen.
Batas normal nilai hemoglobin untuk seseorang sukar ditentukan karena kadar
hemoglobin bervariasi diantara setiap suku bangsa. Namun WHO telah
menetapkan batas kadar hemoglobin normal berdasarkan umur dan jenis
kelamin.

Batas kadar hemoglobin

Kelompok umur Batas nilai hemoglobin (gr/dl)


Anak 6 bulan-6 tahun 11,0
Anak 6 tahun 14 tahun 12,0
Pria dewasa 13,0
Wanita dewasa 12,0
Ibu hamil 11,0

Catatan : dari hasil pemeriksaan kadar Hb pasien sesuai skenario di dapatkan


12,3 gr/dl yang berarti kadar Hb pasien dalam batas normal.

Leukosit
Leukosit adalah sel darah yang mengandung inti, disebut juga sel darah putih.
Rata-rata jumlah sel leukosit dalam jumlah sel darah manusia normal adalah
5000-9000 /mm3, bila jumlahnya lebih dari 10.000 mm3 keadaan ini disebut
leukositosis dan apabila kurang dari 5000 keadaan ini disebut leukopenia.
Catatan : dari hasil pemeriksaan jumlah leukosit berdasarkan skenario di
dapatkan 13.400 mm3 yang berarti pasien leukositosis.

Glukosa
Gula darah sewaktu merupakan salah satu cara pengukuran kadar gula darah di
dalam tubuh. Pengukuran kadar gula darah sewaktu ini merupakan pengukuran
kadar gula darah yang yang diambil dari pengukuran kadar gula darah selain
pada saat puasa ataupun setelah 2 jam makan. Gula darah sewaktu ini memiliki
nilai kadar yang normal yaitu berkisar antara 70 sampai dengan 200 mg/dl.
Waktu pengambilannya dapat dilakukan kapan saja diluar dari pada saat puasa
ataupun 2 jam setelah makan.
Catatan : dari hasil pemeriksaan sesuai skenario di dapatkan GDS 279 mg/dL
dan pasien mempunyai riwayat kecing manis selama 15 tahun, jadi pasien
dicurigai DM.
Ureum
Ureum adalah suatu molekul kecil yang mudah mendifusi kedalam cairan
ekstrasel, tetapi pada akhirnya dipekatkan dalam urin dan dieksresi. Jika
keseimbangan nitrogen dalam keadaan mantap eksresi ureum kira-kira
25mg/hari, ureum merupakan produk akhir dari metabolisme nitrogen yang
penting pada manusia, yang disintesia dari amonia, karbon dioksida dan
nitrogen amida aspatat.
Nilai normal : sampel serum/plasma kadar urea = 10-50 mg/dl
Sampell urine kadar urea = 20 35g/24 jam

Catatan : dari hasil pemeriksaan sesuai skenario didapatkan ureum sebanyak 63


mg/dl yang berarti kadar ureum meningkat.

Asam urat
Asam urat dibeentuk dari pemecahan purin dan dengan sintesis langsung dari 5-
fosforibosil pirofosfat (5-PRPP) dan glutamin. Kadar asam urat darah normal
pada manusia adalah sekitar 4 mg/dl. Pada manusia asam urat diekskresi melalui
urin, tetapi pada mamalia yang lain asam urat dioksidasi menjadi allantoin
sebelum dieksresiakan. Eksresi asam urat melalui urin dipengaruhi jumlahnya
oleh intake makanan. Dalam urin asam urat dapat membentuk kristal asam urat
yang mengendap dann menyebabkan batu ginjal. Peningkatan asam urat dalam
darah (hiperurisemia) dan urin terjadi pada peningkatan intake akanan kaya
purin yang menigkat pada penderita anemia hemolitik, kanker dan penderita
penyakit sendi. Hiperurisemia juga terjadi pada penderita gagal ginjal.
Nilai normal :
Asam urat serum = laki-laki 3,4 7 mg/dl
Perempuan 2,4 5,7 mg/dl
Asam urat urin = 250 750 mg/24 jam
Catatan : pada skenario di dapatkan hasil pemeriksaan kadar asam urat pada
pasien adalah 9,2 mg/dl yang berarti pasien hiperurisemia.

Kreatinin
Kreatinin di sintesis di dalam hati dari asam amino methionin, glisin, dan
arginin. Dalam otot rabfka kreatinin di fosforlasi menjadi fosforil kreatinin yang
merupakan simpanan energi penting untuk sintesis ATP. Kreatinin di dalam
urine dibentuk oleh fosforil kreatinin. Kreatinin tidak dikonversi secara
langsung menjadi kreatinin. Jumlah kreatinin tidak dipengaruhi oleh intake
makanan dan tidak direabsorbsi oleh ginjal. Hal ini memugkinkan eksresi
kreatinin menunjukan kemampuan laju filtrasi glomerulus yang dinyatakan
sebagai kreatinin klirens.
Nilai normal :
Serum = laki-laki (<50 tahun) = <1,3 mg/dl (>50 tahun)
= < 1,4 mg/dl
Perempuan = <1,1 mg/dl
Urin = laki-laki = 20-26 mg/kg BB/24 jam
Perempuan = 14- 22 mg/kg BB/24jam

Catatan : dari hasil pemeriksaan sesuai skenario didapatkan kadar kreatinin


pasien sebanyak 1,85 mg/dl yang berarti kretinin meningkat. Dicurigai terdapat
penurunan fungsi ginjal pada pasien, yang bisa dilihat dari riwayat hipertensi..
Pemeriksaan toraks foto
Pada skenario didapat bahwa terlihat perselubngan homogen pada medial kedua
paru, dicurigai pasien menderita pneumonia akibat imobilitas yang cukup lama
dan riwayat batuk-batuk serta sulit sekali mengeluarkan lendir.

Interpretasi pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang:

1. Tekanan Darah

Tekanan darah pasien adalah 180/70 mmgHg pada saat berbaring dan 160/70 saat
duduk, Diduga pasien tersebut didiagnosis hipotensi ortostatik.

2. Pernapasan : 16-24x/menit pada skenario pasien dengan frekuensi 24x/menit (normal)


3. Denyut Nadi: 60-100x/menit pada skenario pasien dengan frekuensi 92x/menit
(normal)
4. Suhu : 36.5-37.2 C, pada skenario, ditemukan suhu tubuh pasien adalah 37 Celcius
(normal)
5. Jantung : normal
6. Hepar : tidak teraba
7. Spleen: tida teraba
8. Auskultasi paru: ditemukan ronki basah kasar diseluruh lapangan kedua paru.
9. IMT:
70
BB: 70 kg, TB: 155 cm : ()2 = (1.55)2 = 31.2 kg/m2 (obesitas 2)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Hemoglobin
- Waniita : 12-16 g/dl
- Pria : 13-18 g/dl

Pada skenarion, seorang wanita yang telah melakukan pemeriksan hemoglobin dengan
hasil 12.3 g/dl yang menunjukkan bahwa pasien tersebut masih dalam batas normal.

2. Leukosit : 3.200-10.000 / mm2


Pada skenarion, pasien telah memeriksakan kadar leukosit yaitu 13.400/m2 yang
menunjukkan bahwa pasien tersebut mengalami peningkatan kadar leukosit.
3. GDS (Gula Darah Sewaktu)

Bukan Belum DM
DM pasti DM
Kadar glukosa darah Plasma vena <110 111-200 200
sewaktu(mg/dL)

Berdasarkan skenario, pasien telah memeriksa gula darah sewaktu pasien adalah 275
mg/dl yang menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kadar glukosa darah sewaktu. Dari
hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa pasien tengah menderita Diabetes Melitus.

4. Kreatinin : 0.6-1.3 mg/dl


Kreatinin Klirens menggunakan rumus Cockcroft and Gault
(140 ) ()
GFR mL/min = (0.85 )
72
(140 68) 72
GFR mL/min = (0.85 ) = 38.9 /
72 1.85
Berdasarkan skenario, pasien telah memeriksa kadar kreatinin (1.85 mg/dl) yang
menunjukkan bahwa kadar kreatinin pasien mengalami peningkatan, dan saat
menghitung kreatinin klirens untuk mengetahui laju filtrasi glomerulus pasien
tersebut, didapatkan hasil 38.9 mL/min yang menunjukkan bahwa pasien
mengalami penurunan laju filtrasi glomerulus yang dapat diklasifikasikan dengan
penyakit ginjal kronik stadium menengah atau kerusakan ginjal dengan GFR
menurun tingkat sedang.
5. Ureum : 10-50 mg/Dl
Berdasarkan pemeriksaan pasien, ditemukan bahwa kadar ureum serum pasien
adalah 63 mg/Dl yang menunjukkan bahwa kadar ureum serum pasien meningkat.
6. Asam Urat
- Wanita : 2.3-6.6 gr/dl
- Pria : 3.6-8.5 gr/dl

Berdasarkan skenario, pasien telah memeriksa kadar asam urat dengan hasil 9.2
gr/dl. Dari hasil yang didapatkan dari pemeriksaan penunjang tersebut
menunjukkan bahwa kadar asam urat serum pasien meningkat.

7. Analisa sedimen urin: Leukosit wanita: < 15 LPB; laki-laki: ,5/LPB


Berdasarkan skenario, pasien telah memeriksa sedimen urin dan ddidapatkam 1-
3 leukosit/LPB dimana menunjukkan bahwa hasil dari analisa sedimen urin
pasien normal.
8. Pemeriksaan toraks foto: ditemukan perselubungan homogen pada kedua medial
paru.

6. Perspektif islam mengenai pasien inkontinensia?


Maka bertakwalah kepada Allah semampu kalian [At-Taghabun : 16]

Hendaklah ia berwudhu setiap kali tiba waktu shalat lalu mengerjakan shalat dengan
wudhu tersebut hingga tiba waktu shalat berikutnya. Wudhunya tidak batal karena kencing
atau angin yang keluar, meskipun keluar pada waktu shalat, sebab ia tidak mampu
menahannya dan tidak ada jalan untuk menghentikannya. Umar bin Khathab Radhiyallahu
anhu terus mengerjakan shalat sementara darah mengalir dari lukanya. Sebab darah itu
terus mengucur dalam jangka waktu yang tidak bisa ditentukan. Demikian juga kencing
tersebut barangkali terus menerus keluar. Imam Al-Bukhari meriwayatkan bahwa
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan wanita yang mengalami istihadhah
agar berwudhu setiap kali hendak shalat. Demikian pula hukumnya atas orang yang
hadasnya terus menerus keluar. Misalnya nanah, salisul baul, buang angin terus menerus
dan lain sebagainya

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syariyyah Fil Masaailil Thibbiyah, Pensyarah Syaikh
Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Seputar Pengobatan
dan Kesehatan, Penerjemah Abu Ihsan Al-Atsari, Penerbit At-Tibyan Solo]

Adapun orang yang terus-menerus keluar hadats darinya seperti penderita penyakit
beser (kencing terus-menerus) (al-Fatawa al-Kubra, Ibnu Taimiyah rahimahullah,
1/282) atau orang yang buang angin terus-menerus atau buang air besar terus-menerus,
maka ia diberi uzur di mana thaharahnya tidaklah dianggap batal dengan keluarnya
hadats tersebut. (asy-Syarhul Mumti, 1/221).
REFERENSI

Buku Ajar Boedhi-Darmojo Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut) Edisi ke-5. Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2014.

George A. DeaMaagd. Urinary Incontinence Treatments and Drugs.

Kristen Cook. Urinary Incontinence In The Older Adult. PSAP 2013.

Buku Ajar Boedhi-Darmojo Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut) Edisi ke-5. Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2014.

Hadi Martono, Kris Pranaka. Buku ajar Boedhi-Darmojo GERIATRI (Ilmu kesehatan Usia
Lanjut) 2009. Jakarta : Balai Penerbitan FKUI

Winkjosastro, H. (editor ketua). Beberapa aspek urologi pada wanita dalam ilmu kandungan.
Ed.2. Cetakan 7. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2009. Hal: 460-5

Rajan, SS and Kohli N. Incontinence and pelvic floor dysfunction in primary care: epidemiolo
gy and risk factors in urogynecology in primary care. London: Springer-Verlag London
Ltd, 2007. p. 1-4

Setiadi S, Pramantara IDP. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I ed V. Jakarta: interna publi
shing.

Boedhi-Darmojo dan Hadi Martono. Aspek Fisiologik dan Patologik akibat Proses Menua. Da
lam: Buku Ajar Geriatri Ilmu Kesehatan Usia Lanjut. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 201
1. Hal. 24, 71-72, 146, 153, 206, 226, 229.

Setiabudi R. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: UI. 2007.

Boedhi-Darmojo dan Hadi Martono. Inkontinensia Urin. Dalam: Buku ajar Geriatri kesehatan
usia lanjut Ed. 2 Edit R. Balai Penerbit FKUI. Jakarta 2011. Hal:174-180

Setiadi S, Pramantara IDP. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I ed. V. Jakarta: Interna Pub
lishing

Wiratmoko,A.tesis:pola inkontinensia urin pada wanita usia diatas lima puluh tahun. Fakultas
kedokteran universitas diponegoro, 2003
Santoso,BI. Inkontenensia urin pada perempuan. Majalah kedokteran indonesia,vol:58,no7,jul
i 2008

Setiati S. dan Pramantara I.D.P. Inkontinensia Urin dan Kandung Kemih Hiperaktif. Dalam :
Aru W. Sudoyo, Bambang S., Idrus Alwi, Marcellus S.K., Siti setiati. Ilmu Penyakit Da
lam FKUI. Edisi IV. Jakarta :FK UI. 2007;pp: 1392-95

Martin P.F dan Frey R.J. 2005, Urinary Incontinence, Available at : http://www.healthline.com

Setiati S. dan Pramantara I.D.P. Inkontinensia Urin dan Kandung Kemih Hiperaktif. Dalam :
Aru W. Sudoyo, Bambang S., Idrus Alwi, Marcellus S.K., Siti setiati. Ilmu Penyakit Da
lam FKUI. Edisi IV. Jakarta :FK UI. 2007;pp: 1392-95

Suryono, Slamet. 2013. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Jakarta: FKUI

PERKENI, 2006. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe-2 di Indone
sia. Jakarta: Penerbit PERKENI, 4-8

Ginsberg. Lionel. 2007. Lecture Notes Neurologi. Jakarta. Erlangga.

Vardiansah. 2016. Pemeriksaan Fungsi Ginjal. Bandung. Rumah sakit Hasan Sadikin: CDK. V
ol 4 no.2 hal 149

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Pedoman Interpretasi data klinik. Jakarta. K
emenkes RI 2011

Anda mungkin juga menyukai