Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN KELOMPOK

MODUL 2 INKONTINENSIA URIN

BLOK GERIATRI

Kelompok 5

19 777 029 Siti Magfirah Dako


19 777 031 Rafita Aldatami
19 777 034 Sri Rahayu Oktafiana ST
19 777 037 Syatiara Fatmawati R Junus
19 777 043 Adinda Andansari
19 777 044 Dea Alfahira
19 777 045 Monica Chandra
19 777 047 A.Muh Fauzi Islami
19 777 049 Nurul Ishlaah Mardatillah
19777036 Nadia Julia Paranto

Tutor : dr. Andi Makhury

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ALKHAIRAAT PALU

TAHUN AKADEMIK 2020/2021


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Skenario
Seorang laki-laki umur 79 tahun dibawa ke Puskesmas dengan keluhan selalu buang air
kecil sediakit-sedikt. Namun walaupun buang air kecilnya berlangsung lama, tetapi
selesai buang air kecil ia merasa tidak puas. Keadaan ini sudah dialamnya sejak 5 hari
yang lalu.
Anamnesis : Selama ini penderita berjalan tidak stabil, karena keluhan pada lututnya
yang sering sakit dan bengkak. Menurut keluarganya, setahun terakhir ini, pembawaan
pasien selalu marah dan sering lupa setelah mengerjakan sesuatu yang baru saja
dilakukannya. RPS Sejak 7 tahun mengkonsumsi obat-obat kencing manis, tekanan
darah tinggi dan jantung, Penyakit rematik sejak tiga tahun yang lalu.

Pemeriksaan fisik : Hasil pemeriksaan fisik ; tekanan darah 170/90 mmHg, nadi 92
x/menit, pernapasan 20 x/menit dan suhu 37,10C, berat badan 53 kg dan tinggi badan
160 cm, kardiomegali dan ekstremitas inferior: Valgus.

Pemeriksaan penunjang : Pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar Hb 9,2 gr%,


Leukosit 16.300 /mm3 , GD puasa 167 mg/dl, GD2jamPP 248 mg/dl, ureum 48 mg/dL,
kreatinin 1 mg/dL, protein total 7,1 gr/dL, albumin 4,7 gr/dL.
Pemeriksaan toraks foto : kardiomegali dan aterosklerosis pada aorta.
ANALISA KASUS

SKENARIO KETERANGAN

Usia 79 tahun 64-79 (Lanjut Usia)

buang air kecil sediakit- Neuropati Diabetic


sedikt. Walau lama, tetapi BPH
selesai buang air kecil ia
merasa tidak puas.

berjalan tidak stabil, karena Rematik


keluhan pada lututnya yang
sering sakit dan bengkak

pembawaan pasien selalu Lupa : (Demensia)


marah dan sering lupa setelah Marah : ( emosional )
mengerjakan sesuatu yang
baru saja dilakukannya.

PEMFIS

kardiomegali dan ekstremitas


inferior: Valgus

ANALISIS KASUS PEMERIKSAAN

KELUHAN Scenario Normal Interpretasi

Tekanan darah tekanan darah 140/90 mmHg Hipertensi grade II


170/90 mmHg (JNCVIII))

Nadi 92x/menit 60-70x/menit Taki kardi

Pernapasan 20x/menit 14-16x/menit Takipneu

Suhu 37,1oC 36,5-37,5 Normal

IMT 20,7 18,5-24,9 normal

Hb 9,2 12,0-15,0 Anemia

Leukosit 16.300 /mm3 5.000-10.000/mm3 Tinggi


GDP 167 mg/dl <100mg/dl Tinggi

GD2jamPP 248 mg/dl <140mg/dl Tinggi

Ureum 48 mg/dL 15-40mg/dl Uresemia

Kreatinin 1,3 mg/dL 0,8-1,3mg/dl Normal

Protein total 7,1 gr/dL 6,0-8,3g/dl normal

Albumin 4,7 gr/dL 3,5-5,0 g/dl (ncbi) NORMAL

1.2 Kata Sulit

1. Valgus : adalah gerakan ke sisi luar/samping (lateral)


2. RPS : adalah kepanjangan dari (Riwayat Penyakit Sebelumnya)

1.3 Kata Kunci

1. Laki-laki 79 tahun
2. Berjaln tidak stabil, lutut sakit dan bengkak
3. Selalu saat buang air kecil ia merasa tidak puas
4. Sering marah dan pelupa setahun terakhir
5. RPS Sejak 7 tahun mengkonsumsi obat-obat kencing manis, tekanan darah tinggi dan
jantung, Penyakit rematik sejak tiga tahun yang lalu.
6. Pemeriksaan fisik didapatkan ; tekanan darah 170/90 mmHg, nadi 92 x/menit,
pernapasan 20 x/menit dan suhu 37,10C, berat badan 53 kg dan tinggi badan 160 cm,
kardiomegali dan ekstremitas inferior: Valgus.
7. Pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar Hb 9,2 gr%, Leukosit 16.300 /mm3 ,
GD puasa 167 mg/dl, GD2jamPP 248 mg/dl, ureum 48 mg/dL, kreatinin 1 mg/dL,
protein total 7,1 gr/dL, albumin 4,7 gr/dL.
Pemeriksaan toraks foto : kardiomegali dan aterosklerosis pada aorta.

1.4 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Fisiologi berkemih
2. Jelaskan perubahan fisiologi sistem berkemih pada geriatri
3. Apa definisi, penyebab dan klasifikasi dari inkontinensia urin
4. Apa patofisiologi dan faktor resiko dari inkontinensia urin
5. Bagaimana langkah diagnosis dari skenario?
6. Bagaimana hubungan penyakit yang diderita oleh pasien dengan inkotinensia urin
7. Bagaimana pencegahan dan tatalaksana dari inkontinensia urin

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Bagaimana Fisiologi berkemih

Setelah melalui berbagai proses, urin disalurkan melalui ureter yang dilapisi otot
polos ke kandung kemih. Kontraksi peristaltic mendorong maju otot polos di dalam
dinding ureter dari ginjal ke kandung kemih. Ureter menembus dinding kandung
kemih secara oblik, berjalan di sepanjang kandung kemih beberapa sentimeter
sebelum membuka ke dalam rongga kandung kemih. Susunan anatomik ini mencegah
aliran balik urin dari kandung kemih ke ginjal ketika tekanan di kandung kemih
meningkat. Sewaktu kandung kemih terisi, ujung ureter di dalam dinding kandung
kemih terterkan hingga menutup. Namun urin masih tetap dapat masuk karena
kontraksi ureter menghasilkan tekanan yang cukup untuk melawan resistensi dan
mendorong urin melewati ujung yang tertutup. Pintu keluar dari kandung kemih
dijaga oleh sfingter uretra internus (ketika kandung kemih relaksasi dan akan
menutup jalan keluar kandung kemih) dan sfingter uretra eksternus (berkontraksi
untuk mencegah keluarnya urin dari uretra). Pengosongan kandung kemih diatur oleh
reflex miksi yang pada orang dewasa dapat menampung 250-400 mL urin. Semakin
tinggi tegangan dinding kandung kemih yang melebihi ukuran maka semakin besar
tingkat pengaktifan reseptor. Serat-serat aferen dari reseptor meregang membawa
impuls ke medulla spinalis yang akhirnya melalui interneuron menstimulasi jaras
saraf parasimpatis kandung kemih menyebabkan organ ini berkontraksi. Perubahan
bentuk kandung kemih akibat kontraksi akan menarik sfingter internus dan sfingter
externus untuk terbuka dan urin akan keluar melalui uretra.

2.2 Jelaskan perubahan fisiologi sistem berkemih pada geriatri

Sepanjang hidup, kontraksi sporadis otot dinding kandung kemih terjadi secara terpisah
dari setiap kebutuhan atau kesempatan yang tepat untuk buang air kecil. Pada orang yang
lebih muda, sebagian besar kontraksi ini terhalang oleh sumsum tulang belakang dan
kontrol otak, tetapi jumlah kontraksi sporadis yang tidak diblokir meningkat seiring
bertambahnya usia, yang kadang-kadang terjadi pada episode inkontinensia urin. Jumlah
urin yang tersisa di kandung kemih setelah buang air kecil selesai (sisa urin) meningkat .
Akibatnya, orang mungkin harus buang air kecil lebih sering dan memiliki risiko infeksi
saluran kemih yang lebih tinggi.

Perubahan tertentu pada saluran kemih dapat membuat kontrol buang air kecil lebih sulit:
1. Volume maksimum urin yang dapat ditahan oleh kandung kemih menurun pada lansia
sehingga buang air kecil lebih sering.
2. Otot kandung kemih dapat berkontraksi secara tidak terduga (menjadi terlalu aktif),
terlepas dari apakah orang perlu buang air kecil.
3. Otot kandung kemih melemah. Akibatnya, lansia tidak dapat mengosongkan kandung
kemih juga, dan lebih banyak urin tertinggal di kandung kemih setelah buang air kecil.
4. Otot yang mengontrol keluarnya urin keluar dari tubuh (sfingter urin) kurang mampu
menutup rapat dan mencegah kebocoran. Sehingga lansia lebih sulit menunda buang
air kecil.

Perubahan ini adalah salah satu alasan bahwa inkontinensia urin (kehilangan urin
yang tidak dapat dikendalikan) menjadi lebih umum seiring bertambahnya usia. Pada
wanita, uretra (saluran melalui mana urin meninggalkan tubuh) lebih pendek, dan
lapisannya menjadi lebih tipis. Penurunan tingkat estrogen yang terjadi dengan
menopause dapat berkontribusi pada perubahan ini di saluran kemih.
Pada pria,dengan hipertropi kelenjar prostat yang cenderung menjadi besar. Pada
banyak pria cukup mengganggu aliran urin. Akibatnya, pria yang lebih tua cenderung
buang air kecil dengan lebih tenaga dan lebih lama memulai untuk mengalirkan air
kencing dan buang air kecil yang lebih sering. Pria yang lebih tua juga lebih mungkin
tidak dapat buang air kecil meskipun memiliki kandung kemih yang sudah penuh (disebut
retensi urin).

2.3 Apa definisi, penyebab dan klasifikasi dari inkontinensia urin


 Inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak terkendali pada
waktu yang tidak dikehendak itanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya, yang
mengakibatkan masalah sosial dan higeinis penderitanya. Terdapat 4 penyebab
pokok yaitu:
gangguan urologik, neurologis, fungsional/psikologis dan iatrogenik/lingkungan.
Dibedakan pula antara inkontinensi aurin akut dan kronik (persisten).Inkontinensia
akut terjadi secara mendadak, biasanya berkaitan dengan kondisi sakit akut atau
problem iatrogenic yang menghilang jika bila kondisi akut teratasi atau problem
medikasi dihentikan. Inkontinensiapersistenmerujuk pada kondisi urikontinensia
yang tidak berkaitan dengan kondisiakut/iatrogenic dan berlangsung lama. Penyebab
inkontinensia urin akut adalah delirium; restriced mobility, retention; infection,
inflammation, impaction; polyuria, pharmaceuticals.
 Secara klinis dibagi 4 tipe. Ada 2 kelainan mendasar pada fungsi saluran kemih
bawah yang melatar belakangi inkontinensia persisten yaitu:
a. Kegagalan menyimpan urin pada kandung kemih akibat hiperaktif atau
menurunnya kapasitas kandung kemih atau lemahnya tahanan saluran keluar
b. Kegagalan pengosongan kandung kemih akibat lemahnya kontraksi otot detrusor
atau meningkatnya tahanan aliran keluar.

Inkontinensi urin tipe urgensi ditandai dengan ketidakmampuan menunda berkemih


setelah sensasi berkermih muncul. Manifestasinya berupa urgensi, frekuensi dan
nocturia. Kelainan ini dibagi 2 subtipe yaitu motorik dan sensorik. Subtipe motorik
disebabkan oleh lesi pada system saraf pusats eperti stroke, parkinsonism, tumorotak
dan sklerosis multiple atau adanya lesi pada medulla spinalis suprasakral. Subtipe
sensorik disebabkan oleh hipersensitivitas kandung kemih akibat sistitis, uretritis dan
diverticulitis. Inkontinensiaurintipe stress terjadi akibat tekanan intraabdominal yang
meningkat seperti batuk, bersin atau mengejan, terutama terjadi pada perempuan usia
lanjut yang mengalami hipermobilitas uretra dan lemahnya otot dasar panggul akibat
seringnya melahirkan, operasi dan penurunan estrogen.Inkontinensiaurintipe
overflow disebabkan meningkatnya tegangan kandung kemih akibat obstruksi prostat
hipertrofi pada laki-laki atau lemahnya otot detrusor akibat diabetes melitus, trauma
medulla spinalis dan obat-obatan. Inkontinensia urin tipe fungsional terjadi

Akibat penurunan berat fungsifisik dan kognitifsehinggapasientidakdapatmencapai


toilet pada saat yang tepat. Terjadi biasanya pada demensia berat, gangguan mobilitas
(artritis genu, kontraktur), gangguan neurologic dan psikologik.

Inkontinensia urin terbagi atas 2, yaitu akut dan kronik


1. Inkontinensia urine akut (Transient incontinence):
Inkontinensia akut terjadi secara mendadak, terjadi kurang dari 6 bulan dan
berkaitan dengan kondisi sakit yang akut. Inkontinensia akut akan menghilang jika
kondisi akut teratasi
2. Inkontinensia urin kronik (persisten)
Berlangsung dengan lama (lebih dari 6 bulan). ada 2 penyebab Inkontinensia urin
kronik (persisten) yaitu: menurunnya kapasitas kandung kemih akibat hiperaktif dan
karena kegagalan pengosongan kandung kemih akibat lemahnya kontraksi otot
detrusor. Inkontinensia urin kronik ini dikelompokkan lagi menjadi 4 tipe (stress,
urge, overflow , fungsional).
a. Inkontinensia urin tipe stress:
Hilangnya atau keluarnya urin yang sangat erat hubungannya dengan suatu
peningkatan tekanan intra abdominal. Pasien mengeluh sering keluar air kecil saat
dia bersin, batuk, tertawa, melompat atau gerakan lainnya
b. Inkontinensia urin tipe urgensi:
Keadaan di mana ada dorongan kuat untuk berkemih tanpa adanya alasan, yang
tidak dapat ditahan. Pasien mengeluh ingin buang air kecil secara tiba-tiba yang
tidak dapat ditahan. Bila dia menahannya, maka urin akan keluar
dengansendirinya. Kelainan ini sering akibat kontraksiyang tidak dapat dihindari
karena otot-otot vesika sangat aktif berkontraksi. Pada Urge Inkon-tinensia, urin
yang keluar lebih banyak, seringbuang air kecil pada malam hari dan pada
waktutidurpun dapat keluar, karena otot-otot vesikaberkontraksi tergantung dari
jumlah urin didalam vesika urinaria
c. Inkontinensia urin tipe overflow :
Pada keadaan ini urin mengalir keluar dengan akibat isinya yang sudah terlalu
banyak di dalam kandung kemih, pada umumnya akibat otot detrusor kandung
kemih yang lemah. Biasanya hal ini bisa dijumpai pada gangguan saraf akibat dari
penyakit diabetes. Gejalanya berupa rasanya tidak puas setelah kencing (merasa
urin masih tersisa di dalam kandung kemih), urin yang keluar sedikit dan
pancarannya lemah.
d. Inkontinensia urin tipe fungsional:
Terjadi akibat penurunan yang berat dari fungsi fisik dan kognitif sehingga pasien
tidak dapat mencapai ketoilet pada saat yang tepat. Hal ini terjadi pada demensia
berat, gangguan neurologic, gangguan mobilitas dan psikologi

2.4 Apa patofisiologi dan faktor resiko dari inkontinensia urin


 Patofisiologi
a. Perubahan terkait usia pada sistem perkemihan
Menurut Stanley M & Beare G Patricia, (2006) dalam Aspiani, (2014) kapasitas
kandung kemih (vesiko urinaria) yang normal sekitar 300-600 ml. Dengan sensasi atau
keinginan berkemih di antara 150-350 ml. Berkemih dapat ditunda 1-2 jam sejak
keinginan berkemih dirasakan. Keinginan berkemih terjadi pada otot detrusor yang
kontraksi dan sfingter internal serta sfingter eksternal relaksasi, yang membuka uretra.
Pada orang dewasa muda hampir semua urin dikeluarkan saat berkemih, sedangkan
pada lansia tidak semua urin dikeluarkan. Pada lansia terdpat residu urin 50 ml atau
kurang dianggap adekuat. Jumlah residu lebih dari 100 ml mengindikasikan retensi
urin. Perubahan lain pada proses penuaan adalah terjadinya kontraksi kandung kemih
tanpa disadari. Pada seorang wanita lanjut usia terjadinya penurunan hormon estrogen
mengakibatkan atropi pada jaringan uretra dan efek dari melahirkan menyebabkan
lemahnya otot-otot dasar panggul.
b. Fungsi otak besar yang terganggu dan mengakibatkan kontraksi kandung kemih
Menurut Aspiani, (2014) adanya hambatan pengeluaran urin karena pelebaran
kandung kemih, urin terlalu banyak dalam kandung kemih sehingga melebihi kapasitas
normal kandung kemih. Fungsi sfingter yang terganggu mengakibatkan kandung
kemih mengalami kebocoran ketika bersin atau batuk.

 Factor resiko

Secara umum dengan penyebab inkontinensia urin merupakan kelainan urologis,


neurologis dan fungsional. Kalainan urologis pada inkontinensia urin dapat disebabkan
karena adanya tumor, batu, atau radang. Kelainan neurologis sebagai kerusakan pada
pusat miksi di pons, antara pons atau sakral medula spinalis, serta radiks S2-S4 akan
terjadi menimbulkan gangguan dari fungsi kandung kemih dan hilang sensibilitas
kandung kemih. Sering dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi
atau fungsi organ kemih, antara lain disebabkan oleh melemahnya otot dasar panggul,
kebiasaan mengejan yang salah atau karena penurunan estrogen. Kelemahan otot dasar
panggul yang dapat terjadi karena kehamilan, setelah melahirkan, kegemukan,
menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina. Dengan penambahan berat
badan dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot dasar
panggul karena ditekan dengan lamanya sembilan bulan.

Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul menjadikan rusak
akibat regangan otot atau jaringan penunjang serta robekan pada jalan lahir, sehingga
dapat meningkatkan risiko terjadinya Inkontinensi urin. Pada menurunnya kadar hormon
estrogen dalam wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan
tonus otot vagina atau otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan
terjadinya Inkontinensia urin. Faktor risiko yang lain sebagai obesitas atau kegemukan,
riwayat operasi kandungan dan lainnya juga dapat berisiko mengakibatkan Inkontinensia
urin. Semakin lanjut usia seseorang semakin besar kemungkinan dapat mengalami
Inkontinensia urin, karena terjadi pada perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar
panggul ini mengakibatkan seseorang yang tidak dapat menahan air seni. Selain itu
adalah kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun
kandung kemih yang baru terisi sedikit sudah menimbulkan rasa ingin berkemih. Resiko
Inkontinensia urin sangat meningkat pada wanita dengan nilai indeks massa tubuh yang
lebih besar.

Dengan pembesaran kelenjar prostat pada pria merupakan penyabab yang paling
umum yang terjadinya obstruksi aliran urine dari kandung kemih. Kondisi ini
menyebabkan kejadian inkontinensia urin karena adanya mekanisme overflow. Namun,
inkontinensia ini dapat juga disebabkan oleh karena obstruksi yang berakibat konstipasi
dan juga adanya massa maligna (cancer) dalam pelvis dialami oleh pria atau wanita.
Akibat dari obstruksi, tonus kandung kemih akan menghilang sehingga disebutkan
kandung kemih atonik. Kandung kemih yang kondisinya penuh gagal berkontraksi, akan
tetapi kemudian menyebabkan overflow, sehingga dapat terjadi inkontinensia. Baik secara
langsung maupun secara tidak langsung, merokok juga sebagai akibat pada terjadinya
inkontinensia urin, Merokok dapat meningkatkan risiko terkena inkontinensia urin
disebab karena merokok itu dapat menyebabkan kandung kemih terlalu aktif karena efek
nikotin pada dinding kandung kemih, Konsumsi kafein dan alcohol juga terjadi
meningkatkan risiko inkontinensia urin karena keduanya bersifat diuretik, yang
menyebabkan kandung kemih terisi dengan memicu dan cepat keinginan untuk sering
buang air kecil.

2.5 Bagaimana langkah diagnosis dari skenario?

Diagnosis inkontinensia urine pada umumnya dapat ditegakkan berdasarkan keluhan pasien
berupa pengeluaran urine secara involunter. Pemeriksaan penunjang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi etiologi dan memilih tata laksana.

 Anamnesis

Anamnesis merupakan komponen paling penting dalam diagnosis inkontinensia urine.


Beberapa hal yang penting dalam anamnesis adalah:
 Menentukan inkontinensia terjadi secara transien ataupun terus menerus
 Menentukan jenis inkontinensia yang di alami pasien
 Menentukan derajat keparahan inkontinensia
 Menentukan etiologi inkontinensia
 Mencari tanda bahaya (red flag)
Tanda Bahaya / Red Flags : Jika ditemukan adanya tanda bahaya atau jika penyebab
inkontinensia tidak dapat dijelaskan, maka diperlukan rujukan kedokter spesialis urologi.
Beberapa tanda bahaya yang harus diwaspadai:
 Inkontinensia dengan infeksi saluran kemih berulang
 Inkontinensia dengan gejala neurologi onset baru
 Inkontinensia dengan nyeri abdomen
 Inkontinensia dengan nyeri panggul
 Inkontinensia yang membutuhkan tindakan pembedahan
 Adanya pembesaran prostat
 Prolaps organ pelvis melewati introitus vagina
 Hematuria tanpa adanya infeksi saluran kemih
 Proteinuria persisten
 Volume residu pasca kemih> 200 ml
 Riwayat pembedahan atau radiasi pelvis
 Kelainan neurologi berat: hidrosefalus, trauma medulla spinalis, penyakit Parkinson
 Usiatua> 60 tahun.
 PemeriksaanFisik
Pemeriksaan fisik pada pasien dengan inkontinensia urine meliputi pemeriksaan umum,
neurologi, urologi, dan pemeriksaan pelvis. Beberapa pemeriksaan khusus, seperti tes batuk
(cough stress test), tespopok (pad test), atau testisu (toilet paper test) juga dapat dilakukan.
a. Pemeriksaan Umum
Pemeriksaan umum meliputi pemeriksaan torak suntuk menilai fungsi paru dan
jantung, dilakukan untuk menilai ada atau tidaknya overload cairan. Adanya penyakit
arterio vascular atau pungagal jantung kongestif dapat menyebabkan inkontinensia
urgensi.
Pemeriksaan abdomen secara umum dapat dilakukan untuk mendeteksi adanya
massa, nyeri, distensi kandung kemih, dan nyeri ketok sudut kostovertebra. Tes Ballo
tement dapat menilai ada atau tidaknya pembesaran ginjal. Adanya massa abdomen sering
kali mengganggu otot detrusor dan menyebabkan inkontinensia luapan.
b. Pemeriksaan Neurologi
Kelainan neurologi seperti gangguan sistem saraf pusat dapat mengganggu fungsi
pengaturan miksi ataupun otot detrusor, sehingga pemeriksaan neurologi terarah penting
dilakukan pada pasien inkontinensia. Pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain :
 Status mental
 Pemeriksaan gait : kelainan gait dapat menandakan kelainan medulla spinalis atau
neuropati perifer
 Pemeriksaan sensorik dan motorik : dapat mendeteksi adanya kelainan
serebrovaskular
 Pemeriksaan refleks tendon dalam ekstremitas bawah
 Refleks perineum, perianal, bulbo kavernosus : dapat mendeteksi adanya neuropati
pudendal atau kelainan saraf sakral (S2-4)
 Pemeriksaan pergerakan leher (kaku kuduk), serta refleks babinski juga dapat
dilakukan untuk mendeteksi spondilosis atau stenosis yang berpotensi mengganggu
fungsi otot detrusor.
 Jika terdapat kecurigaan kuat terhadap kelainan neurologi, pasien geriatri,
inkontinensia urgensi onset mendadak, gejala neurologi onset baru, dan riwayat
penyakit saraf, sebaiknya dilakukan pemeriksaan neurologi lebih lengkap.
c. Pemeriksaan Urogenital
Pemeriksaan urogenital meliputi inspeksi bagian luar untuk menilai adanya atrofi
mukosa vagina, penyempitan introitus, stenosis, inflamasi, tanda-tanda prolaps organ, dan
kekuatan otot pelvis. Pemeriksaan bimanual juga dilakukan untuk mendeteksi adanya
massa atau nyeri pada organ reproduksi. Pada pasien laki-laki dilakukan pemeriksaan
genitalia eksternal untuk menilai posisi meatus uretra, infeksi, kista, dan region inguinalis
untuk menilai hernia. Pada pasien yang belum sirkumsisi, kulit skrotum harus diperiksa
untuk mendeteksi adanya fimosis, parafimosis, hipospadia, dan balanitis.
d. Pemeriksaan Pelvis
Pemeriksaan pelvis sangat penting untuk dilakukan pada wanita dengan
inkontinensia. Pemeriksaan pelvis dilakukan dengan pemeriksaan speculum untuk
pemeriksaan dalam. Minta pasien batuk saat pemeriksaan dalam untuk menilai adanya
hipermobilitas uretra. Pemeriksaan dalam juga dapat menilai ring himen, defek dinding
anterior dan posterior, lesi uretra, tanda-tanda prolaps organ dalam pelvis, dan tanda
defisiensi estrogen.
Pada pasien pria dilakukan pemeriksaan colok dubur/rectal toucher  untuk menilai tonus
levator ani, kelainan prostat, massa rektum, dan adanya impaksi feses.
 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan di awal adalah urinalisis dan voiding
diary  selama 3 hari. Pada keadaan klinis yang spesifik, pemeriksaan lanjutan dapat diperlukan,
misalnya pemeriksaan kadar kreatinin serum, uroflowmetry, post void residual volume (PVR),
sitoskopi, dan studi urodinamik.
 Uroflowmetry  dan PVR direkomendasikan jika ada gejala inkontinensia yang signifikan,
prolaps organ panggul simptomatik, atau over distensivesika
urinaria. Cystourethroscopy  sebaiknya dilakukan jika pemeriksaan awal mengindikasikan
adanya kelainan lain, misalnya fistula atau keganasan.
 Urinalisis dilakukan untuk mendeteksi adanya infeksi saluran kemih (ISK). ISK dapat
menimbulkan gejala berkemih iritatif dan inkontinensia urgensi. Inflamasi local akibat ISK
menyebabkan iritasi vesikaurinaria, sehingga terjadi kontraksi yang tidak diimbangi inhibisi.
Beberapa bakteri penyebab ISK juga dapat memiliki efek penghambat alfa pada sfingter
uretra. Hal ini akan menurunkan tekanan intrauretra.
 Postvoid Residual Volume (PRV)
Pemeriksaan PRV merupakan salah satu komponen pemeriksaan urodinamik yang dapat
dilakukan dengan mudah menggunakan kateterisasi atau ultrasonografi. Pemeriksaan ini
bertujuan untuk mengetahui volume urine yang tersisa di dalam kandung kemih pasca
miksi. Volume PRV tinggi pada umumnya menunjukkan kelemahan otot dinding kandung
kemih atau obstruksi outlet kandung kemih. Pada inkontinensia luapan PRV umumnya>
200 mL, sedangkan pada jenis inkontinensia lain PRV umumnya normal (< 50 mL). Perlu
diingat bahwa hasil pemeriksaan PRV tidak mengubah tatalaksana inkontinensia.
 Tes Urodinamik
Pemeriksaan urodinamik lengkap merupakan pemeriksaan baku emas inkontinensia urine.
Komponen pemeriksaan urodinamik lengkap adalah:
- Sistometri: mendeteksi propriosepsi kandung kemih, kapasitas kandung kemih, dan
adanya over aktivitas kandung kemih. Umumnya dilakukan dengan cairan (fluid
cystometry). Pemeriksaan sistometri dapat dilakukan bersamaan dengan pengukuran
tekanan intra abdomen.
- Uroflowmetry: menilai volume urine yang dikeluarkan per menit atau
detik. Uroflowmetry normal menandakan kontraksi detrusor adekuat dan resistensi
uretra normal.
- PRV: pengukuran volume kandung kemih pasca miksi
- Profilometri: pengukuran tekanan uretra
- Leak-point pressure: mengukur ambang batas tekanan intravesika yang menyebabkan
urine keluar tanpa adanya kontraksi detrusor
Perlu diingat bahwa pemeriksaan ini bersifat invasif dan memerlukan biaya medis yang
tinggi, sehingga tidak direkomendasikan secara rutin. Pemeriksaan urodinamik lengkap
umumnya dibutuhkan sebelum melakukan tindakan bedah untuk inkontinensia. Pasien
harus melakukan pemeriksaan ini dalam kondisi kandung kemih penuh.

2.6 Bagaimana hubungan penyakit yang diderita oleh pasien dengan inkotinensia
urin
A. Hubungan DM dengan Inkontinensia Urin
DM yang dialami pasien berdasarkan umur diduga adalah DM tipe 2, pada
skenario didapatkan riwayat mengkonsumsi obat selama 7 tahun terakhir, hal
ini menandakan telah terjadi DM yang cukup lama (berlangsung kronis),
gejala DM yang berhubungan dengan inkontinensia pada skenario adalah
Neuropati Diabetic.
Tingginya kadar gula dalam darah yang terjadi dalam waktu yang lama
bisa melukai dan melemahkan dinding pembuluh darah sebagai pemasok
nutrisi dan oksigen yang cukup ke saraf tubuh
Setelah bertahun-tahun kekurangan masukan nutrisi dan oksigen
menyebabkan gangguan pada fungsi saraf (mengganggu kemampuan saraf
untuk mengirim sinyal), (neurogenic Bladder) terjadi penurunan kontraksi otot
detrusor, menyebabkan retensi urin : inkontinensia urin
Berikut gejala neurogenic bladder

 Buang air kecil dalam jumlah sedikit, tetapi sering (delapan kali atau lebih per
hari)
 Masalah buang air kecil dan pengosongan kandung kemih sepenuhnya
 Urgensi untuk buang air kecil
 Hilangnya kontrol kandung kemih

B. Hubungan Rematik dengan Inkontinensia Urin


Rheumatoid Arthritis adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian
(biasanya tangan dan kaki) mengalami peradangan, sehingga terjadi
pembengkakan, nyeri dan sering kali menyebabkan kerusakan pada bagian
dalam sendi
Nyeri dan bengkak pada lutut merupakan keluhan utama pasien datang ke
dokter, selain itu perubahan gaya berjalan seperti jalan tidak stabil juga
dikeluhkan oleh pasien dan menyusahkan pasien. Gangguan berjalan dan
gangguan fungsi sendi yang lain merupakan ancaman yang besar untuk
kemandirian pasien yang umumnya tua.

Riwayat rematik pada pasien dapat didiagnosis sebagai Osteoarthritis Genu


atau yang bermanifestasi pada lutut. Hal ini dapat dikaitkan dengan inkontinensia
urin pada pasien, terjadi akibat penurunan berat fungsi fisik dan kognitif
sehingga pasien kesulitan untuk mencapai toilet pada saat yang tepat. Hal ini
ditandai dengan kemungkinan terjadi kesulitan pada pasien untuk ke kamar
mandi karena nyeri lututnya, sehingga umumnya penderita menunda
keinginannya untuk miksi yang pada akhirnya dapat menyebabkan penderita
memperburuk inkontinensia urin.

C. Hubungan Demensia dan Inkontinnensia Urin


Demensia adalah suatu sindroma klinik yang meliputi hilangnya fungsi
intelektual dan ingatan/memori sedemikian berat sehingga menyebabkan
disfungsi hidup sehari-hari, dimana perjalanan penyakit bertahap dan tidak
terdapat gangguan kesadaran. Gangguan pada susunan saraf pusat dapat
mengakibatkan terjadinya inkontinensia urin. Pada penderita demensia tahap
lanjut, apabila terjadi kerusakan lobus frontal, membuat penderita tidak sadar
terhadap sensasi maupun keperluan untuk buang air kecil. Kerusakan pada lobus
parietal dan occipital akan menurunkan kemampuan penderita untuk mengenali
pasti persekitaran kamar mandi. Demensia inilah yang semakin memperparah
keadaan inkontinensia urin pada pasien di atas.

D. BPH pada inkontinensia urin


Benigna Prostat Hiperplasia (BPH), merupakan penyakit tumor jinak yang
sering terjadi pada laki-laki usia lanjut yang ditandai dengan terjadinya
peningkatan jumlah sel-sel epitel dan sel-sel stroma pada daerah prostat.
Laki-laki dengan usia 79 tahun akan mengalami berbagai perubahan pada
tubuhnya baik secara anatomis maupun fisiologis. Terjadinya penurunan kadar
hormon testosteron karena penuaan bisa menjadi faktor resiko terjadinya BPH. Bila
hormon testosteron dalam tubuh tidak ada atau berkurang, maka hal ini akan
menyebabkan terjadinya perubahan hormon testosteron menjadi androgen yaitu
Dihidrotestosteron (DHT) oleh enzim 5-alfa reduktase.Tingginnya DHT inilah yang
mendorong sel-sel prostat untuk terus tumbuh kemudian secara kronis menyebabkan
prostat membesar.
Menifestasi klinik dari BPH yaitu LUTS (Lower Urinary Tract Symptoms). LUTS
adalah istilah umum untuk menjelaskan berbagai gejala berkemih yang dikaitkan
dengan BPH. Keluhan yang dirasakan oleh pasien BPH dengan adanya LUTS yakni
gejala obstruksi (voiding symptoms) maupun gejala iritasi (storage symptoms). Gejala
obstruksi meliputi lemahnya aliran urin, terputus-putusnya aliran urin, keraguan pada
saat berkemih, kesulitan pada saat miksi dan harus mengejan, kandung kemih masih
terasa penuh bahkan setelah berkemih. Sedangkan gejala iritasi meliputi nyeri saat
berkemih, sering merasa ingin berkemih, nokturia

E. Hipertensi
Tekanan darah adalah kekuatan yang bekerja dengan mengalirkan darah ke dinding
arteri tubuh, pembuluh darah utama dalam tubuh. Hipertensi terjadi ketika tekanan
darah terlalu tinggi. Hipertensi didiagnosis apabila seseorang dengan TDS 140
mmHg dan/atau TDD 90 mmHg pada pemeriksaan berulang. Secara global penyakit
kardiovaskular menyebabkan sekitar 17 juta kematian setahun. Dari jumlah tersebut,
komplikasi hipertensi mencapai 9,4 juta kematian di seluruh dunia setiap tahun.
Hipertensi bertanggung jawab atas setidaknya 45% kematian akibat penyakit dan
51% kematian karena stroke.

Kategori Sistol (mmHg) Diastol (mmHg)


Optimal <120 dan <80
Normal 120-129 dan/atau 80-84
Normal Tinggi 130-139 dan/atau 85-89
Hipertensi Grade 1 140-159 dan/atau 90-99
Hipertensi Grade 2 160-179 dan/atau 100-109
Hipertensi Grade 3 ≥180 dan/atau ≥110
Hipertensi sistolik ≥140 dan <90
terisolasi

Kerusakan organ akibat hipertensi


a. Ginjal
Diagnosis kerusakan ginjal akibat hipertensi didasarkan pada penemuan fungsi
ginjal yang berkurang atau deteksi peningkatan ekskresi albumin melalui urin.
Setelah terdeteksi, CKD diklasifikasikan menurut estimated glomerular
filtration rate (eGFR), dikenal dengan singkatan modification of diet in renal
disease (MDRD), rumus Cockcroft-Gault dan juga baru-baru ini, melalui
perhitungan Chronic Kidney Disease EPIdemiology Collaboration (CKD-EPI),
yang membutuhkan usia, jenis kelamin, etnis dan kreatinin serum. Saat eGFR di
bawah 60 mL / menit / 1,73 m2, ada tiga tahapan CKD yang berbeda: tahap 3
dengan nilai antara 30-60 mL /menit/1,73 m2; dan tahap 4 dan 5 dengan nilai di
bawah 30 dan 15 mL / menit / 1,73 m2. Formula ini membantu mendeteksi
gangguan ringan fungsi ginjal ketika nilai kreatinin serum masih dalam batas
normal. Penurunan fungsi ginjal dan peningkatan risiko gagal ginjal dapat
dilihat dari peningkatan kadar serum cystatin C. Peningkatan (sampai 20%)
pada kreatinin serum kadang-kadang dapat terjadi ketika terapi antihipertensi
terutama dengan penghambat sistem renin-angiotensin (RAS) diintensifkan,
tetapi ini tidak dapat dianggap sebagai tanda progresif dari kerusakan ginjal.
Hiperurisemia sering terlihat pada pasien hipertensi yang tidak diobati (terutama
pada preeklamsia) dan menderita hipertensi telah terbukti berhubungani dengan
aliran darah ginjal yang berkurang dan nefrosklerosis.

Sedangkan konsentrasi kreatinin serum meningkat atau eGFR rendah merujuk


ke fungsi ginjal yang berkurang, temuan peningkatan kecepatan albumin urin
atau titik ekskresi protein, secara umum menyebabkan gangguan pada
penghalang filtrasi glomerulus. Mikroalbuminuria terbukti menandakan
perkembangan nefropati diabetik pada pasien diabetes tipe-1 dan tipe-2,
sedangkan keberadaan proteinuria pada penyakit parenkim ginjal kronik. Pada
penderita diabetes dan pasien hipertensi non-diabetes, mikroalbuminuria,
bahkan dibawah nilai ambang biasanya telah terbukti memprediksi peristiwa
CV, dan hubungan berkelanjutan antara CV, serta kematian non-CV dan
albumin/kreatinin urin rasio 3,9 mg g pada pria dan 7,5 mg/g pada wanita telah
dikonfirmasi pada beberapa penelitian. Baik pada populasi umum dan pada
pasien diabetes, bersamaan dengan peningkatan urin ekskresi protein dan eGFR
yang berkurang menunjukkan risiko yang lebih besar pada penyakit
kardiovaskular dan penyakit ginjal daripada satu kelainan saja, yang
menyebabkan kejadian ini menjadi faktor risiko independen dan kumulatif.
Ambang batas untuk mikroalbuminuria telah ditetapkan sebagai 30 mg/g
kreatinin.

Kesimpulannya, ditemukannya gangguan fungsi ginjal dipasien hipertensi,


dinyatakan sebagai salah satu kelainan yang telah dijelaskan di atas, merupakan
prediktor yang sangat kuat dan sering dari kejadian CV dimasa depan dan
kematian. Karena itu dianjurkan, pada semua pasien hipertensi, melakukan
permeriksaan eGFR dan tes mikroalbuminuria dilakukan.

Terapi Tekanan Darah


- Hipertensi pada Geriatri
Sejumlah besar uji coba acak pengobatan antihipertensi pada lansia (termasuk
satu pada pasien hipertensi berusia 80 tahun atau lebih) semua menunjukkan
penurunan kejadian CV melalui penurunan BP, rata-rata yang dicapai TDS
tidak pernah mencapai nilai 140 mmHg. Sebaliknya, dua uji coba Jepang baru-
baru ini tentang penurunan BP yang lebih intensif tidak dapat mengamati
manfaat dengan menurunkan TDS rata-rata menjadi 136 dan 137 mmHg, bukan
145 dan 142 mmHg. Di sisi lain tangan, analisis subkelompok pasien lanjut usia
dalam studi FEVER menunjukkan pengurangan kejadian CV dengan
menurunkan TDS tepat di bawah 140 mmHg (dibandingkan dengan 145
mmHg).

F. Jantung
Gagal jantung atau Heart Failure (HF) adalah sindrom klinis kompleks
yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan jantung untuk memompa dan /
atau mengisi dengan darah. Gagal jantung ditandai dengan episode eksaserbasi
berulang yang sering didahului dengan status cairan yang secara bertahap
memburuk. Inkontinensia urin atau urine incontinence (UI) didefinisikan oleh
International Continence Society sebagai kebocoran urin yang tidak disengaja.
Pengendapan langsung masalah kemih di HF mungkin karena sekresi
kompensasi dari peptida natriuretik. Peptida natriuretik memainkan peran
penting dalam regulasi volume intravaskular tubuh dengan mempromosikan
ekskresi natrium dan pembuangan cairan tubuh. Tingkat BNP yang tinggi telah
dikaitkan secara independen dengan kehadiran dan keparahan berkemih di
malam hari, serta poliuria nokturnal pada pasien usia lanjut.
Terapi obat pada gagal jantung penting untuk memperlambat
perkembangan penyakit dan untuk perbaikan gejala dan kelangsungan hidup.
Namun, sebagai bagian dari cara kerjanya atau sebagai efek samping, banyak
dari obat ini dapat berkontribusi secara iatrogenik pada frekuensi kencing,
urgensi, nokturia, atau inkontinensia
Diuretik adalah bagian dari pengobatan lini pertama untuk meredakan
gejala gagal jantung. Obat ini meningkatkan ekskresi natrium urin dan
menurunkan tanda fisik retensi cairan. Meskipun demikian, dengan
menyebabkan diuresis atau peningkatan pembentukan urin oleh ginjal, diuretik
meningkatkan frekuensi kencing dan dapat menyebabkan urgensi dan
inkontinensia urin
ACE inhibitor adalah terapi standar untuk pasien gagal jantung dengan
gejala disfungsi sistolik ventrikel kiri. Meskipun ACE inhibitor secara umum
dapat ditoleransi dengan baik, mereka berhubungan dengan batuk terus-menerus
yang mungkin disebabkan oleh peningkatan kadar bradikinin dan tachykinin.
Batuk yang diinduksi ACE inhibitor ditandai dengan menjadi kering, tidak
produktif, dan lebih buruk pada malam hari. Batuk ini dapat menyebabkan atau
memperburuk inkontinensia stres dengan meningkatkan tekanan uretra
Beta-blocker telah dipelajari secara ekstensif dalam pengobatan gagal
jantung, dan merupakan pengobatan standar untuk peningkatan hasil klinis pada
pasien dengan gagal jantung. Ada aktivasi kronis dari sistem saraf simpatis di
gagal jantung dalam upaya untuk mengembalikan curah jantung. Ini adalah
mekanisme kompensasi yang memberikan dukungan inotropik ke jantung yang
gagal dengan meningkatkan volume stroke dan vasokonstriksi perifer. Dalam
konteks inkontinensia, bukti yang muncul menunjukkan bahwa β-blocker dapat
meningkatkan kontraktilitas kandung kemih dan memicu gejala urgensi kemih.

2.7 Bagaimana pencegahan dan tatalaksana dari inkontinensia urin


Secara umum strategi meliputi edukasi pada pasien atau pengasuh pasien
(caregiver). Intervensi perilaku meliputi bladder training, habit training, prompted
voiding dan latihan otot dasar panggul. Teknik-teknik canggih yang dapat melengkapi
teknik behavioral ini antara lain stimulasi elektrik, biofeedback dan neuromodulasi.
Bladder training bertujuan memperpanjang interval berkemih yang normal dengan
teknik distraksi atau teknik relaksasi sehingga frekuensi berkemih hanya 6-7 kali per
hari atau 3-4 jam sekali. Pasien diharapkan dapat menahan sensasi untuk berkemih.
Pasien diinstruksikan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap
jam, selanjutnya interval berkemih diperpanjang secara bertahap sampai pasien ingin
berkemih setiap 2-3 jam.
Latihan otot dasar panggul merupakan terapi yang efektif untuk inkontinensia urin
tipe stress atau campuran dan tipe urgensi. Latihan dilakukan 3-5x sehari dengan 15
kontraksi dan menahan hingga 10 detik. Penelitian uji klinik menunjukan bahwa 56-
77% pasien mengalami perbaikan dalam jangka pendek dengan latihan tersebut.
Habit training memerlukan penjadwalan waktu berkemih. Diupayakan agar jadwal
berkemih sesuai dengan pola berkemih pasien sendiri. Teknik ini sebaiknya digunakan
pada inkontinensia urin tipe fungsional dan membutuhkan keterlibatan petugas
kesehatan atau pengasuh pasien. Prompted voiding dilakukan dengan cara mengajari
pasien mengenali kondisi atau status kontinensia mereka serta dapat memberitahukan
petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini digunakan pada pasien
dengan gangguan kognitif.
Terapi biofeedback bertujuan agar pasien mampu mengontrol/menahan kontraksi
involunter otot detrusor kandung kemihnya. Cara ini mempunyai kendala karena
penderita perlu mempunyai intelegensia yang cukup untuk dapat mengikuti petunjuk
pelatihnya, sementara pelatihnya sendiri harus mempunyai kesadaran dan motivasi yang
tinggi karena waktu yang diperlukan untuk dapat mendidik satu orang pasien dengan
cara ini cukup lama.
Stimulasi elektrik merupakan terapi yang menggunakan dasar kejutan kontraksi
otot pelvis dengan menggunakan alat-alat bantu pada vagina atau rectum.
Neuromodulasi merupakan terapi dengan menggunakan stimulasi saraf sakral.
Penggunaan kateter menetap (indwelling catheter) sebaiknya tidak digunakan secara
rutin dalam pengelolaan inkontinensia urin karena dapat terjadi infeksi saluran kemih
bahkan sampai sepsis, pembentukan batu, abses dan bocor.
Untuk terapi farmakologis/medikamentosa dapat digolongkan menjadi:
antikolinergik-antispasmodik, agonis adregenik α, estrogen topical dan antagonis
adrenergik α. Pada semua obat memiliki efek samping seperti mulut kering, mata kabur,
peningkatkan tekanan bola mata, konstipasi dan delirium.

DAFTAR PUSTAKA
1. Setiati S, Pramantara IDP. Inkontinensi urin dan kandung kemih hiperaktif. In: Setiati S,
Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyonadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu penyait
dalam jilid III edisi VI. Jakarta: Interna Publishing. P. 865-70
2. Perhimpunan gerontologi medik indonesia cabang bali. (2018). Geriatric opinion
2018. Denpasar, Bali: udayana university press
3. Benjamin O, Lappin SL. Kwashiorkor. [cited: Januari 27 2021] Available form:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK507876/

4. Fikriana, E. (2020). BAB II TINJAUAN PUSTAKA. eprints.poltekesjogja.

5. Vasavada S, Carmel M, Rackley R, Kim E. Urinary Incontinence. Medscape. 2019. Diakses dari:
https://emedicine.medscape.com/article/452289-overview
6. the global diabetes community. 2019 January 15th. Neurogenic Bladder.
https://www.diabetes.co.uk/diabetes-complications/neurogenic-bladder.html
7. Son, Y., & Kwon, B. (2018, June). Overactive bladder is a DISTRESS symptom in heart
failure. Retrieved March 14, 2021, from
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6059908/
8. Setyawati R. Efek kombinasi kegel’s exercise dan bladder training dalam menurunkan
episode inkontinensia urin pada lansia di Panti Wredha wilayah Semarang. 2008. Depok:
FIK UI. P. 35-7
9. Tran LN,Puckett Y.urinary incontinence,july 2,2021.statpearls publishing LLC.ncbi
10. Benjamin O, Lappin SL. Kwashiorkor. [cited: Januari 27 2021] Available form:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK507876/
Ng M, Baradhi KM. Benign Prostatic Hyperplasia. [Updated 2020 Aug 10]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK558920/

11.

Anda mungkin juga menyukai