Oleh:
Aldita Ratna G99181006
Pembimbing
dr. Amiroh Kurniati, M.Kes, Sp.PK
I. ANAMNESIS
A. Identitas Penderita
Nama : Tn. S
Umur : 72 tahun
Jenis Kelamin : Laki Laki
Agama : Islam
Alamat : Colomadu, Karanganyar
No RM : 087xxx
Suku : Jawa
Pekerjaan : Pekerja bangunan
Status : Menikah
Tanggal Masuk : 7 Maret 2020
B. Data Dasar
Keluhan Utama:
Lemas sejak 3 hari SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang:
Keluhan Utama : Lemas sejak 3 hari yang lalu
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RS UNS dengan keluhan lemas sejak 3 hari yang
lalu. Lemas dirasakan seluruh tubuh hingga mengganggu aktivitas. Lemas
tidak membaik dengan istirahat. Pasien juga mengeluh nyeri pada perut kanan
atas, nyeri dirasakan menjalar sampai ke ulu hati dan dirasakan pasien tembus
belakang, mual (+), muntah 1 kali sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga
mengeluh sejak sakit nafsu makan menurun. BAK 3-4x sebanyak ½ gelas
belimbing warna kuning pekat, nyeri BAK disangkal, BAK berpasir disangkal.
BAB rutin, tidak ada keluhan.
Keluarga pasien mengatakan pasien sudah berobat di RSUD
Dr.Moewardi sejak 6 bulan terakhir. Awalnya pasien mengeluh nyeri ulu hati,
kemudian berobat ke puskesmas, namun keluhan tidak membaik, sehingga
dokter puskesmas merujuk pasien ke RSUD Dr. Moewardi. Keluarga pasien
mengaku tidak tahu diagnosis pasti pasien karena pasien selalu berobat sendiri.
Keluarga pasien mengatakan kulit pasien menjadi kuning sejak 3 bulan
terakhir.
Riwayat Kebiasaan :
Riwayat Merokok : selama ±10 tahun, sehari ±10 batang
Riwayat Alkohol : diakui
Riwayat Olahraga : jarang
Riwayat Gizi
Sebelum sakit pasien makan 3 kali sehari dengan nasi, dan lauk pauk.
USG Abdomen:
Hepar: lobus kanan baik, lobus kiri tampak membesar, karena tampak nodul
slight hyperechoic dengan bentuk hampir bulat, batas tepi tak tegas,
permukaan berbenjol-benjol kurang 6,8 x 5,8 cm
Kandung empedu tampak batu di daerah cervical, pancreas dan lien tak
tampak kelainan. Ginjal bilateral baik. Aorta normal. Buli-buli baik, prostat
tampak sedikit membesar dengan ukuran 5 x 4 x4,9 cm.
Kesan:
Sesuai gambaran massa hepar kiri Hepatoma? Berukuran 6,6 x 5,8 cm.
Tampak juga gambaran cholelithiasis dan BPH (ukuran prostat 5 x 4 x 4,9
cm)
B. Laboratorium Darah
Pemeriksaan laboratorium darah dilakukan tanggal 7 Maret 2020 di RS UNS
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hematologi Rutin
Hemoglobin 7.5 g/dL 13.5 – 17.5
Hematokrit 19.8 % 33 – 45
Leukosit 11.15 ribu/µl 4.5 – 11.0
Trombosit 215 ribu/µl 150 – 450
Eritrosit 2.60 juta/µl 4.50 – 5.90
Indeks Eritrosit
MCV 76.2 /um 80.0 – 96.0
MCH 28.8 Pg 28.0 – 33.0
MCHC 37.9 g/dl 33.0 – 36.0
RDW-CV 11.5 % 11.6 – 14.6
MPV 9.1 Fl 7.2 – 11.1
PDW 9.1 % 25 – 65
Hitung Jenis
Eosinofil 0.10 % 0.00 – 4.00
Basofil 0.10 % 0.00 – 2.00
Neutrofil 87.7 % 55.00 – 80.00
Limfosit 5.9 % 22.00 – 44.00
Monosit 6.2 % 0.00 – 7.00
Kimia Klinik
SGOT 131.0 u/l <35
SGPT 39.0 u/l <45
Creatinin 0.97 mg/dl 0.8-1.3
Ureum 42.0 mg/dl <50
Bilirubin total 6.10 mg/dL 0.1-1
Gula Darah 124 Mg/dl 60-140
Sewaktu
Golongan darah A-
Elektrolit
Natrium darah 109.05 mmol/L 135– 145
Kalium darah 2.93 mmol/L 3.5 – 5.5
Clorida 76.64 96-106
Calsium ion 1.16 mmol/L 1.1 – 1.35
Serologi
HBsAg Nonreactive Nonreactive
IV. DIAGNOSIS
1. Hepatoma
2. Kolelithiasis
V. TERAPI
1. Inf RL 20 tpm
2. Aminofluid 1 flash/24 jam
3. Inj. Omeprazole 40 mg/12 jam
4. Inj. Ondansetron 4 mg/8 jam
5. Inj. Ceftriaxon 2 gr/24 jam
6. PRC 2 kolf premed dexamethasone 1 amp/kolf
7. Tramadol tab 3x1
8. KSR 3x1
9. Ursodeoxycholic acid 3x1
10. Curcuma 3x1
HEPATOMA
a. Definisi
Hepatoma merupakan pertumbuhan sel hati yang tidak normal yang di
tandai dengan bertambahnya jumlah sel dalam hati yang memiliki kemampuan
membelah/mitosis disertai dengan perubahan sel hati yang menjadi ganas.
b. Etiologi dan Faktor Risiko
Sirosis hati
Lebih dari 80% penderita karsinoma hepatoselular menderita sirosis hati.
Peningkatan pergantian sel pada nodul regeneratif sirosis di hubungkan dengan
kelainan sitologi yang dinilai sebagai perubahan displasia praganas. Semua tipe
sirosis dapat menimbulkan komplikasi karsinoma, tetapi hubungan ini paling
besar pada hemokromatosis, sirosis terinduksi virus dan sirosis alkoholik
Hepatitis B
Hubungan antara infeksi kronik HBV dengan timbulnya hepatoma
terbukti kuat, baik secara epidemiologis klinis maupun eksperimental.
Karsinogenisitas HBV terhadap hati mungkin terjadi melalui proses inflamasi
kronik, peningkatan proliferasi hepatosit, integrasi HBV DNA ke dalam DNA
sel pejamu, dan aktivitas protein spesifik HBV berinteraksi dengan gen hati.
Pada dasarnya perubahan hepatosit dari kondisi inaktif (quiescent) menjadi sel
yang aktif bereplikasi menentukan tingkat karsinogenesis hati. Siklus sel dapat
diaktifkan secara tidak langsung oleh kompensasi proliferatif merespons
nekroinflamasi sel hati, atau akibat dipicu oleh ekspresi berlebihan suatu atau
bebe rapa gen yang berubah akibat HBV.
Koinsidensi infeksi HBV dengan pajanan agen onkogenik lain seperti
aflatoksin dapat menyebabkan terjadinya hepatoma tanpa melalui sirosis hati
(hepatoma pada hati non sirotik). Transaktifasi beberapa promoter selular atau
viral tertentu oleh genx HBV (HBx) dapat mengakibatkan terjadinya hepatoma,
mungkin karena akumulasi protein yang disandi HBx mampu menyebabkan
proliferasi hepatosit. Dalam hal ini proliferasi berlebihan hepatosit oleh HBx
melampaui mekanisme protektif dari apoptosis sel.
Hepatitis C
Alkohol
Meskipun alkohol tidak memiliki kemampuan mutagenik, peminum berat
alkohol (>50-70g/hari dan berlangsung lama) berisiko untuk menderita
hepatoma melalui sirosis hati alkoholik. Hanya sedikit bukti adanya efek
karsinogenik langsung dari alkohol. Alkoholisme juga meningkatkan risiko
terjadinya sirosis hati dan hepatoma pada pengidap infeksi HBV atau HCV.
Obesitas dan perlemakan hati
Aflatoksin
Aflaktosin B1 (AFB1) merupakan mikotoksin yang di produksi oleh
jamur Aspergillus. Dari percobaan binatang diketahui bahwa AFB1 bersifat
karsinogen. Metabolit AFB1 yaitu AFB 1-2-3-epoksid merupakan karsinogen
utama dari kelompok aflatoksin yang mampu membentuk ikatan dengan DNA
maupun RNA.
c. Karakteristik Klinis
Di Indonesia (khususnya di Jakarta) hepatoma di temukan tersering pada
median umur antara 50 60 tahun dengan predominasi pada laki -laki. Rasio
antara kasus laki -laki dan perempuan berkisar antara 2 -6 : 1. Manifestasi
klinisnya sangat bervariasi dari asimtomatik hingga dengan gejala dan
tandanya yang sangat jelas disertai gagal hati. Gejala yang paling sering
dikeluhkan adalah nyeri atau perasaan tak nyaman di kuadran kanan-atas
abdomen.
Temuan fisis tersering pada hepatoma adalah hepatomegali dengan atau
tanpa ‘bruit’ hepatik, splenomegali, asites, ikterus, demam dan atrofi otot.
Sebagian dari pasien yang di rujuk kerumah sakit karena perdarahan varises
esofagus atau peritonitis bakterial spontan (SBP) ternyata sudah menderita
hepatoma. Pada suatu laporan serial nekropsi didapatkan bahwa 50% dari
pasien hepatoma telah menderita asites hemoragik yang jarang ditemukan pada
pasien sirosis hati saja. Pada 10% hingga 40% pasien dapat ditemukan
hiperkolesterolemia akibat dari berkurangnya produksi enzim beta-
hidroksimetilglutaril koenzim-A reduktase, karena tiadanya kontrol umpan
balik yang normal pada sel hepatoma.
d. Kriteria diagnosis hepatoma
Melakukan pemeriksaan berkala bagi kelompok risiko tinggi antara lain
pengidap virus Hepatitis B dan C, dokter, dan bagi orang yang mempunyai
anggota keluarga penderita kanker hati. Pemeriksaan dilakukan setiap 3 bulan
sekali pada penderita sirosis hati dengan HBsAg positif dan pada penderita
hepatitis kronis dengan HBsAg negatif atau penderita penyakit hati kronis atau
dengan sirosis dengan HBsAg negatif pernah mendapat transfusi atau
hemodialisa diperiksa 6 bulan sekali. Diagnosis dilakukan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
e. Anamnesis
Sebagian besar penderita yang datang berobat sudah dalam fase lanjut
dengan keluhan nyeri perut kanan atas. Sifat nyeri ialah nyeri tumpul, terus-
menerus, kadang- kadang terasa hebat apabila bergerak. Di samping keluhan
nyeri perut ada pula keluhan seperti benjolan di perut kanan atas tanpa atau
dengan nyeri, perut membuncit karena adanya asites dan keluhan yang paling
umum yaitu merasa badan semakin lemah, anoreksia, perasaan lekas kenyang,
feses hitam, demam, bengkak kaki, perdarahan dari dubur.
f. Pemeriksaan fisik
Biasanya hati terasa besar dan berbenjol -benjol, tepi tidak rata, tumpul,
kadang-kadang terasa nyeri bila ditekan. Bila letak tumor di lobus kiri maka
pembesaran hati terlihat di epigastrium, tapi bila tumor tersebut terletak di
lobus kanan maka pembesaran hati terlihat di hipokhondrium kanan.
Hepatomegali dengan atau tanpa ‘bruit’ hepatik, splenomegali, asites,
ikterus, demam dan atrofi otot. Sebagian dari pasien yang di rujuk kerumah
sakit karena perdarahan varises esofagus atau peritonitis bakterial spontan
(SBP) ternyata sudah menderita hepatoma. Pada suatu laporan didapatkan
bahwa 50% dari pasien hepatoma telah menderita asites hemoragik yang jarang
ditemukan pada pasien sirosis hati saja.
g. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan Alfa -
fetoprotein (AFP) yaitu protein serum normal yang disintesis oleh sel hati
fetal, , kadar puncak AFP adalah usia janin 12-16 minggu dan menurun
segera setelah bayi lahir. Rentang normal AFP serum adalah 0 -20 ng/ml,
kadar AFP meningkat pada 60%-70% pada penderita kanker hati.
Peningkatan AFP yang sangat tinggi mengarah pada keganasan sel hati,
tumor embriogenik ovarium, tumor embriogenik testis, hepatoblastoma
embriogenik, dan kanker gastrointestinal.Peningkatan ringan AFP dapat
disebabkan oleh beberapa keadaan seperti hepatitis akut dan kronis, serta
kehamilan.
Ultrasonografi (USG) Abdomen
Untuk meminimalkan kesalahan hasil pemeriksaan AFP, pasien sirosis hati
dianjurkan menjalani pemeriksaan USG setiap tiga bulan. Untuk tumor kecil
pada pasien dengan risiko tinggi USG lebih sensitif dari pada AFP serum
berulang. Sensitivitas USG untuk neoplasma hati bekisar anatara 70%-80%.
Tampilan USG yang khas untuk hepatoma kecil adalah gambaran mosaik,
formasi septum, bagian perifer sonolusen (ber -halo), bayangan lateral yang
dibentuk oleh pseudokapsul fibrotik, serta penyangatan eko posterior.
Berbeda dari metastasis, hepatoma dengan diameter kurang dari dua
sentimeter mempunyai gambaran bentuk cincin yang khas. USG color
Doppler sangat berguna untuk membedakan hepatoma dari tumor hepatik
lain. Tumor yang berada di bagian atas -belakang lobus kanan mungkin
tidak dapat terdeteksi oleh USG. Demikian juga yang berukuran terlalu kecil
dan isoekoik. Modalitas imaging lain seperti CT-scan, MRI dan angiografi
kadang diperlukan untuk mendeteksi hepatoma, namun karena beberapa
kelebihannya, USG masih tetap merupakan alat diagnostik yang paling
populer dan bermanfaat.
Enzim Transaminase
Enzim transaminase meliputi enzim alanine transaminase (ALT)
atau serum glutamate piruvat transferase (SGPT) dan aspartate
transaminase (AST) atau serum glutamate oxaloacetate transferase
(SGOT). Pengukuran aktivitas SGPT dan SGOT serum dapat
menunjukkan adanya kelainan sel hati tertentu, meskipun bukan
merupakan uji fungsi hati sebenarnya pengukuran aktivitas enzim ini
tetap diakui sebagi uji fungsi hati.
Enzim ALT/SGPT terdapat pada sel hati, jantung, otot dan
ginjal.Porsi terbesar ditemukan pada sel hati yang terletak di
sitoplasma sel hati.AST/SGOT terdapat di dalam sel jantung, hati, otot
rangka, ginjal, otak, pankreas, limpa dan paru. Kadar tertinggi terdapat
didalam sel jantung. AST 30% terdapat di dalam sitoplasma sel hati
dan 70% terdapat di dalam mitokondria sel hati. Tingginya kadar
AST/SGOT berhubungan langsung dengan jumlah kerusakan sel.
Kerusakan sel akan diikuti peningkatan kadar AST/SGOT dalam
waktu 12 jam dan tetap bertahan dalam darah selama 5 hari.
Peningkatan SGPT atau SGOT disebabkan perubahan
permeabilitas atau kerusakan dinding sel hati sehingga digunakan
sebagai penanda gangguan integritas sel hati (hepatoseluler).
Peningkatan enzim ALT dan AST sampai 300 U/L tidak spesifik untuk
kelainan hati saja, tetapi jika didapatkan peningkatan lebih dari 1000
U/L dapat dijumpai pada penyakit hati akibat virus, iskemik hati yang
disebabkan hipotensi lama atau gagal jantung akut, dan kerusakan hati
akibat obat atau zat toksin. Rasio De Ritis AST/ALT dapat digunakan
untuk membantu melihat beratnya kerusakan sel hati.
Pada peradangan dan kerusakan awal (akut) hepatoseluler akan
terjadi kebocoran membran sel sehingga isi sitoplasma keluar
menyebabkan ALT meningkat lebih tinggi dibandingkan AST dengan
rasio AST/ALT <0,8 yang menandakan kerusakan ringan. Pada
peradangan dan kerusakan kronis atau berat maka kerusakan sel hati
mencapai mitokondria menyebabkan peningkatan kadar AST lebih
tinggi dibandingkan ALT sehingga rasio AST/ALT > 0,8 yang
menandakan kerusakan hati berat atau kronis.
Alkaline Phosfatase (ALP) dan Gamma Glutamyl Transferase (GGT)
Aktivitas enzim ALP digunakan untuk menilai fungsi kolestasis.
Enzim ini terdapat di tulang, hati, dan plasenta. ALP di sel hati
terdapat di sinusoid dan membran saluran empedu yang
penglepasannya difasilitasi garam empedu, selain itu ALP banyak
dijumpai pada osteoblast. Kadar ALP tergantung umur dan jenis
kelamin. Aktivitas ALP lebih dari 4 kali batas atas nilai rujukan
mengarah kelainan ke arah hepatobilier dibandingkan hepatoseluler.
Enzim gamma GT terdapat di sel hati, ginjal, dan pankreas. Pada
sel hati gamma GT terdapat di retikulum endoplasmik sedangkan di
empedu terdapat di sel epitel. Peningkatan aktivitas GGT dapat
dijumpai pada icterus obstruktif, kolangitis, dan kolestasis. Kolestasis
adalah kegagalan aliran empedu mencapai duodenum.
Pemeriksaan Gamma GT merupakan pemeriksaan yang sensitive
untuk mendeteksi penyakit hepatobiliar karena keberadaan enzim
tersebut di dalam serum terutama berasal dari hati dan saluran
empedu. Kadar Gamma GT akan meningkat lebih awal dan tetap
meningkat selama terjadi kerusakan
- Anemia
Anemia pada penyakit kronik adalah penurunan kadar Hb
sekunder akibat penyakit kronik (inflamasi kronik, infeksi atau
keganasan) dan merupakan komorbiditas yang paling sering terjadi
pada penyakit kronik.
Patogenesis anemia pada penyakit kronik melibatkan sistem
imun yaitu sitokin dan sistem retikuloendotelial, yang memicu
perubahan dalam homeostasis besi, penghambatan proliferasi sel
progenitor eritroid dan produksi eritropoietin. Pada anemia penyakit
kronik, pengambilan dan retensi besi dalam sel retikuloendotelial
meningkat keadaan ini menyebabkan besi yang tersedia terbatas untuk
digunakan oleh sel progenitor dan proses eritropoiesis. Makrofag akan
melakukan eritrofagositosis serta mengambil besi serum melalui
divalent metal transporter 1 (DTM1). Sitokin yaitu IL-1 dan IL-6
mengaktifkan sintesis feritin sehingga terbentuk banyak feritin yang
memiliki kapasitas penyimpanan besi. Hal ini mengakibatkan besi
dengan mudah akan tersimpan dalam sel dan tidak beredar bebas
dalam sirkulasi. Hepsidin suatu protein fase akut yang dihasilkan oleh
hepar turut berperan yaitu dengan menghambat absorpsi besi di
duodenum serta menahan pelepasan besi oleh makrofag dengan cara
menghambat ferroportin.
Profil darah tepi pada anemia penyakit kronik adalah anemia
ringan sampai sedang (kadar Hb 8-11 g/dl). Gambaran eritrosit
umumnya normositik normokrom namun pada keadaan yang berat
menjadi mikrositik hipokrom. Pada anemia penyakit kronik,
retikulosit rendah yang menunjukkan kegagalan produksi retikulosit
untuk mengkompensasi jumlah eritrosit yang menurun. Jumlah
leukosit dan trombosit mengikuti perjalanan penyakit yang
mendasarinya. Anemia pada penyakit kronik sulit dibedakan dengan
anemia defisiensi besi. Pemeriksaan laboratorium dengan memeriksa
profil besi dalam tubuh dapat membantu membedakan keduanya.
Profil besi pada APK menunjukkan kadar besi serum dan saturasi
transferin menurun serta kadar feritin meningkat. Cadangan besi yang
cukup tetap tersimpan dalam makrofag sehingga tidak dapat digunakan
untuk sintesis sel darah merah. Hal yang paling membedakan APK dari
ADB adalah ferritin yang meningkat. Bila terdapat kadar ferritin yang
rendah pada APK, maka ADB telah terjadi. Kadar besi serum mungkin
rendah pada kedua jenis anemia tersebut, namun TIBC akan meningkat
pada ADB dan menurun pada APK. Saat kedua jenis anemia terjadi
bersamaan, saturasi transferin mungkin akan turun. Reseptor transferin
adalah parameter terbaru untuk membedakan APK dari ADB.
Pemeriksaan reseptor transferin yang dilakukan adalah pemeriksaan
kadar soluble transferin receptor (sTR) yang diproduksi dari
pengelupasan membran reseptor transferin saat maturasi eritrosit, kadar
sTR normal atau menurun pada APK dan meningkat pada ADB.
Tata laksana anemia penyakit kronik yang paling baik adalah
mengobati penyakit yang mendasarinya, hal ini sesuai dengan
patogenesis APK. Penggunaan eritropoietin rekombinan telah dicoba
untuk menstimulasi produksi eritrosit terutama pada pasien dalam
pengobatan kemoterapi, pasien dengan gagal ginjal kronik dan pasien
imunokompremais. Terapi ini telah berhasil mengurangi kebutuhan
transfusi namun efek sampingnya perlu diperhatikan yaitu dapat
mencetuskan terbentuknya sitokin yang akan memperparah penyakit.
Pemberian transfusi darah harus dipertimbangkan dengan cermat
mengingat transfuse memiliki efek samping yang tidak menguntungkan.
Transfusi diindikasikan untuk anemia yang berat dan telah
membahayakan pasien juga bila terjadi komplikasi pada pasien seperti
perdarahan. Pemberian suplemen besi secara oral tidak akan memberikan
perbaikan pada APK.
h. Penatalaksanaan
Reseksi hepar
Transplantasi hati
Bagi pasien hepatoma dan sirosis hati, transplantasi hati memberikan
kemungkinan untuk menyingkirkan tumor dan menggantikan
parenkim hati yang mengalami disfungsi. Dilaporkan survival
analisis 3 tahun mencapai 80% bahkan dengan perbaikan seleksi
pasien dan terapi perioperatif dengan obat antiviral seperti
lamivudin, ribavirin dan interferon dapat dicapai survival analisis 5
tahun 92%. Kematian pasca transplantasi tersering disebabkan oleh
rekurensi tumor bahkan mungkin diperkuat oleh obat anti rejeksi
yang harus diberikan. Tumor yang berdiameter kurang dari 3cm
lebih jarang kambuh dibandingkan dengan tumor yang diameternya
lebih dari 5cm.
Ablasi tumor perkutan
Terapi paliatif
Sebagian besar pasien hepatoma di diagnosis pada stadium
menengah -lanjut (intermediate-advanced stage) yang tidak ada
terapi standarnya. Berdasarkan metaanalisis, pada stadium ini hanya
TAE/TACE (transarterial embolization/chemoembolization) saja
yang menunjukkan penurunan pertumbuhan tumor serta dapat
meningkatkan harapan hidup pasien dengan hepatoma yang tidak
resektabel. TACE dengan frekuensi 3 hingga 4 kali setahun
dianjurkan pada pasien yang fungsi hatinya cukup baik (Child-Pugh)
serta tumor multinodular asimtomatik tanpa invasi vascular atau
penyebaran ekstrahepatik, yang tidak dapat diterapi secara radikal.
Sebaliknya bagi pasien yang dalam keadaan gagal hati (Child-Pugh
B-C), serangan iskemik akibat terapi ini dapat mengakibatkan efek
samping yang berat.