Anda di halaman 1dari 35

CASE BASED DISCUSSION

CHOLELITHIASIS

Diajukan sebagai salah satu syarat dalam menjalani Kepaniteraan Klinik


di Bagian/ SMF Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya

Disusun oleh :
Sri Safariawati MAA 6120018039

Pembimbing:
dr. Dayu Satria Wibawa, Sp.B

SMF/ BAGIAN BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA
SURABAYA
RS ISLAM JEMURSARI SURABAYA
2020
BAB I
PENDAHULUAN

Kolelitiasis (kalkuli/kalkulus, batu empedu) merupakan suatu keadaan


dimana terdapat batu empedu di dalam kandung empedu (vesica fellea) yang
memiliki ukuran, bentuk dan komposisi yang bervariasi. Kolelitiasis lebih
sering dijumpai pada individu berusia diatas 40 tahun terutama pada wanita
dikarenakan memiliki faktor resiko, yaitu: obesitas, usia lanjut, diet tinggi
lemak dan genetik. Angka prevalensi orang dewasa lebih tinggi di negara
Amerika Latin (20% hingga 40%) daripada di negara Asia (3% hingga 4%).
Di Indonesia, kolelitiasis baru mendapatkan perhatian di klinis, sementara
publikasi penelitian batu empedu masih terbatas1.

Penderita batu kandung empedu baru memberi keluhan bila batu


tersebut bermigrasi menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus,
sehingga gambaran klinisnya bervariasi dari yang tanpa gejala (asimptomatik),
ringan sampai berat karena adanya komplikasi. Gejala yang sering dijumpai
yaitu nyeri di daerah hipokondrium kanan, yang kadang-kadang disertai kolik
bilier yang timbul menetap/konstan. Rasa nyeri kadang-kadang dijalarkan
sampai di daerah subskapula disertai nausea, vomitus dan dyspepsia, buang air
besar berwarna putih seperti dempul dan lain-lain2.

Penanganan kolelitiasis dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan


non bedah dan bedah. Pada orang dewasa alternatif terapi non bedah meliputi
penghancuran batu dengan obat-obatan seperti chenodeoxycholic atau
ursodeoxycholic acid. Sedangkan untuk terapi bedah bisa dilakukan dengan
kolesistektomi terbuka atau kolesistektomi laparoskopi3.
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny U
Umur : 62 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Status perkawinan : Menikah
Pendidikan terakhir : SMA
Pekerjaan : Wiraswasta
No. RM : 516016
Alamat : Tambakoso, Sidoarjo
Tanggal masuk RS : 24 Februari 2020
Tanggal pemeriksaan : 24 Februari 2020

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Nyeri perut kanan atas
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang ke RSI Jemurrsari dengan keluhan nyeri pada perut kanan
atas. Pasien telah merasakan nyeri pada perut kanan atas kurang lebih selama
2 bulan. Nyeri seperti diremas-remas dirasakan hilang timbul dan biasanya
berlangsung kurang lebih 30 menit, nyeri menjalar hingga kebagian ulu hati
dan bertambah parah ketika pasien makan-makanan berlemak. Keluhan nyeri
yang dirasakan pasien sampai mengganggu aktivitas. Pasien mengaku nyeri
semakin bertambah parah dalam 1 minggu ini. Sebelumnya pasien pernah
berobat di RSIJ kemudian disarankan untuk di lakukan USG dan didapatkan
hasil terdapat batu pada kantung empedu. Pasien sempat meminum obat
antinyeri tapi keluhan tidak membaik.

1
Selain itu pasien juga mengeluh batuk berdahak kental kehijauan (darah
(-)) sejak 1 bulan yang lalu disertai dengan demam, sering berkeringat saat
malam, dan berat badan semakin menurun, dan badan terasa sumer-sumer.
Pasien tidak merasa ada perubahan warna kulit menjadi lebih kekuningan,
keluhan lain seperti mual, muntah, dan BAB berwarna putih seperti dempul
disangkal. buang air kecil dan buang air besar normal, nafsu makan minum
baik.
Riwayat penyakit terdahulu :
Alergi obat ‘‘ranitidin’’ (+). Riwayat kuning (-), hipertensi (+), kolelitiasis
(-), penyakit jantung (-), DM (-), dan riwayat kolesterol tinggi (-), sakit
lambung (-), katarak (-)
Riwayat Penggunaan Obat
- Amlodipine 5 mg
Riwayat keluarga
Keluarga menderita kolelitiasis (-), sakit kuning (-), hipertensi (-), penyakit
jantung (-), DM (-)

Riwayat kebiasaan
Pasien suka makan makanan yang bersantan

III. PEMERIKSAAN PASIEN


Status Generalis : Tampak Baik
Kesadaran : Compos mentis (GCS 456)
Tanda vital : TD 142/72 mmHg, RR 20 x/menit, N 83 x/menit, S 36◦C
Berat badan : 45kg
Kepala/ leher :
Konjungtiva : Tidak anemis
Sklera : Ikterik
Bibir : Tidak sianosis
Leher : JVP tidak meningkat, KGB tidak teraba

2
Thorak :
Cor : Ictus kordis tak terlihat, ictus cordis tak teraba,
thrill (-), batas jantung normal, BJ I-II reguler,
murmur (-), Gallop (-)
Pulmo : Simetris +/+, fremitus normal +/+, vesikuler +/+ N,
rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen : Datar, darm countour (-),caput medusa (-), cullen’s
sign (-), Supel, bisisng usus (+) normal, Nyeri tekan
abdomen (-), Hepar dan Lien tidak teraba membesar,
Murphy sign (-)
Ekstremitas : akral kering hangat merah +/+, CRT <2” , turgor
baik, edema -/-

IV. DIAGNOSIS BANDING


Kolelitiasis
Kolesistitis
Ulkus peptikum
Pankreatitis akut
Appendicitis retrosekal letak tinggi

V. SARAN PEMERIKSAAN
Darah lengkap
Faal Hepar
Serum Alkali Fosfatase dan Serum Amilase
Kolesistografi dengan kontras
CT-Scan

3
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Darah rutin (24/02/2020)
Kesan: normal.
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Darah lengkap
Leukosit 7.47 Ribu/uL 3,80 – 10,6
Basophil 0.92 % 0–1
Neutrophil 67,17 % 39,3 – 73,7
Limfosit 23.91 % 25 – 40
Eosinophil 0.85 % 2–4
Monosit 6,05 % 2–8
Eritrosit 5,22 Juta/ uL 4,40 – 5,90
Haemoglobin 13.45 g/dL 13,2 – 17,3
Hematokrit 42.6 % 40 – 52
Indeks eritrosit
MCV 82.7 fL 80 – 100
MCH 25.8 Pg 26,0 – 34,0
MCHC 31.5 % 32 – 36
RDW-CV 13,0 % 11,5 – 14,5
Trombosit 216 Ribu/uL 150 – 440
MPV 6.104 fL 7,2 – 11,1
HEMOSTASIS
PPT 14.1 Detik 11,8 – 15,1
APTT 27,5 Detik 25,0 – 28,4
IMUNOSEROLOGI
HBsAg rapid Non reaktif
Anti HIV rapid pre OP Non reaktif

b. Sputum BTA(25/02/2020)
Jenis pemeriksaan Hasil
Mikrobiologi Tidak ditemukan bakteri tahan
Preparat BTA pagi asam

c. Rontgen thorax (24/02/2020)

- Paru: tampak fibroinfiltrat suprahilar


kanan kiri, dengan multipel cavitas di
suprahilar kanan kiri, fibrosis di parahilar
kanan
- Jantung: bentuk dan ukuran normal
- Diafragma: sudut costofrenikus tajam
- Kesan: normal

4
d. EKG : irama sinus 85 x/menit, axis
frontal normal, axis horizontal
counterclockwise, normal.

e. USG (20/02/2020)

Kesimpulan :

5
- Didapatkan batu multiple di neck dan corpus gallbladder
- Organ lain tidak didapatkan kelainan

VII. DIAGNOSA KERJA


Cholelithiasis dengan cholesistitis
Hipertensi
Suspek Tb paru
VIII. TERAPI
Pro Laparoskopi Kolesistektomi
Tab diltiazem 1x100mg
Inf RL 21 tpm
Inj. Hyoscine-N-Bromide 3 x 20 mg
Puasa 8 jam Pre Operasi

Profilaksis antibiotic cefazolin 2 gram di ok, 30 menit sebelum operasi

IX. LAPORAN OPERASI


Diagnosis Pra Cholelithiasis dengan
: Tgl Operasi : 25-02-2020
Bedah cholesistitis
Diagnosis Pasca Cholelithiasis dengan Mulai Jam 08.00
:
Bedah cholesistitis Selesai Jam 08.50
Jenis Tindakan : Laparoscopy Asisten I : Yusna, A.Md Kep
Dayu Satria Wibawa,
Nama Operator : Asisten II : Tidak Ada
dr. Sp. B
Jenis
Mulai Jam 07.50
Nama Instrumentor : Majid Anestesi :
Selesai Jam 08.50
GA
Urgensi No. K. Operasi :
Ardian medianto, dr.
Nama Anestesist Operasi : 5
Sp.An., KIC
Elektif Ronde Ke : 1
Macam operasi: bersih terkontaminasi
Isi Laporan : Penjelasan Teknik Operasi Secara Kronologi
Informed Consent
Persiapan Operasi :
Antibiotic Profilaksis Cefazoline 2 g
Posisi Pasien : Supine dengan GA
Desinfeksi : Povidone Iodine 10%
Insisi Kulit Dan Pembukaan
: Insisi trochar 3 titik
Lapangan Op

6
Pendapatan Pada Explorasi : Batu gallbladder 4 buah ukuran 2 cm
Apa Yang Dikerjakan : Cholecystectomy
Penutupan Lapangan Op & Kulit : Jahit lapis demi lapis
Komplikasi Op : -
Pendarahan Durante Op : ± 10 Cc minimal
Deskripsi Jaringan/Organ Yang Di
: -
Eksisi & Diapakan Jar/Organ Itu
Lain2 Yang Perlu : -
Kesimpulan : Operasi selesai

X. HASIL OPERASI

XI. PROGNOSA
1. Quo ad vitam : ad bonam
2. Quo ad functionam : ad bonam
3. Quo ad sanationam : ad bonam

FOLLOW UP
Tanggal Subject Object Assesment Planning
 Cholelithiasis
dengan - Cek sputum BTA
cholesistitis - Infus RL 21 tpm / 24 jam
KU : sakit sedang - Inj. Metamizole Sodium 3 x
- Nyeri pada lokasi GCS 456 Post 500 mg
25 operasi TD 125/80 Laparoskopi - Inj. Hyoscine-N-Bromide 3
Februari - Batuk mmHg x 20 mg
2020 - Mual (+) Nadi 79x/menit Kolesistektomi
- Inj. Ondancentron 3x8mg
- Muntah (–) RR 20x/menit H1
- Tab Cefixime 2x100mg
T 36,50C
 Hipertensi - Tab diltiazem 1x100mg

 Suspek Tb paru

26 - Nyeri pada lokasi  Cholelithiasis - Infus RL 21 tpm / 24 jam

7
dengan
cholesistitis
KU : baik - Inj. Tramadol 3 x 100 mg
operasi berkurang GCS 456 Post - Inj. Hyoscine-N-Bromide 3
- Kembung TD 120/70 Laparoskopi x 20 mg
Februari - Batuk mmHg
Kolesistektomi - Inj. Ondancentron 3x8mg
2020 - Nadi 84x/menit - Tab Cefixime 2x100mg
- Mual (+) RR 20x/menit H1 - Tab diltiazem 1x100mg
- Muntah (–) T 36,30C
 Hipertensi

 Suspek Tb paru

 Cholelithiasis
dengan - Infus RL 21 tpm / 24 jam
- Inj. Metamizole Sodium 3 x
cholesistitis
KU : baik 500 mg
27 GCS 456 Post - Inj. Ondancentron 3x8mg
Februari TD 120/80 - Tab Cefixime 2x100mg
- Batuk Laparoskopi
2020 mmHg - Tab diltiazem 1x100mg
KRS Nadi 80x/mnt Kolesistektomi
Terapi KRS
RR 20x/menit H1 - Tab. Cefixime 2 x 100 mg
T 36,20C - Tab. Dexketoprofen 3 x 25
 Hipertensi
mg prn nyeri
 Suspek Tb paru

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Traktus Bilier dan Kandung Empedu


Traktus bilier ekstra hepatik terdiri dari percabangan duktus
hepatik kanan dan kiri, common hepatic duct, common bile duct, duktus
cystikus, dan kandung empedu. Percabangan duktus hepatik biasanya
terletak diluar hati dan terletak di anterior dari percabangan vena porta.
Duktus sistikus bervariasi panjangnya dari 1 sampai 5 cm dan
diameter dari 3 sampai 7 mm; biasanya bergabung dengan duktus
hepatikus komunis pada akut angel. Duktus hepatikus komunis bergabung
dengan duktus cysticus membentuk duktus koledokus. Duktus koledokus
berjalan kebawah menuju ke ampula vatteri, yang akan menuju ke
duodenum. Duktus koledokus terbagi menjadi 3 segmen : supraduodenal,
retroduodenal, dan intrapancreatic. Bagian distal dari common bile duct
dan pancreatic duct bergabung diluar dinding duodenum membentuk suatu
saluran yang panjang.
Kandung empedu merupakan suatu reservoir berbentuk buah pir
yang terletak di fosa kandung empedu pada permukaan visceral dari liver.
Secara anatomis kandung empedu ini dibagi ke dalam : fundus, corpus,
infundibulum, dan leher, yang bermuara di duktus sistikus. Panjangnya 7
sampai 10 cm, dan diameternya antara 3 sampai 5 cm, dan memiliki
kapasitas 30 sampai 60 mL. Peritoneum membungkus fundus dari
kandung empedu dan menyatukan badan serta lehernya ke liver. Fundus
berada 1-2 cm dibawah tepi hati dan dapat teraba apabila duktus cystikus
dan duktus koledokus terbuntu. Kedua leher kandung empedu dan duktus
sistikus mengandung lipatan mukosa spiral yang dikenal sebagai katup
dari Heister. Katup ini mencegah perjalanan batu empedu dan distensi
berlebihan atau runtuhnya duktus sistikus, meskipun terdapat variasi
tekanan duktal.
Traktus bilier mendapatkan inervasi simpatis dan parasimpatis.
Yang pertama mengandung serat motorik pada kandung empedu dan serat

9
sekretoris pada epitel duktus. Serat afferent pada nervus simpatis
memediasi nyeri pada kolik bilier.
Pembuluh darah kecil dan tentu saja limfatik antara fosa kandung
empedu dan dinding kandung empedu, menghubungkan limfatik dan
drainase vena pada hati dan kandung empedu. Koneksi ini adalah
penyebab penyebaran inflamasi dan carcinomatous langsung dari kandung
empedu ke dalam hati.

Gambar 2.1 : Anatomi Sistem Biliaris

Pasokan darah ke saluran empedu berasal dari arteri


gastroduodenal dan arteri posterosuperior pancreatoduodenal (bagian
retroduodenal dari saluran empedu) ; arteri cysticus (bagian proximal
saluran empedu) ; arteri hepatica dekstra (bagian tengah saluran empedu).
Vena dari bagian proximal saluran empedu pada umumnya langsung
memasuki liver. Vena posterosuperior pancreaticoduodenal membawa
darah dari bagian distal saluran empedu menuju vena porta. Pembuluh
limfatik dari saluran empedu melewati cystic lymph node dekat leher
kandung empedu, omental foramen node, dan hepatic lymph nodes.
Duktus hepatika, hepar, dan duktus sistikus menentukan batas-
batas segitiga Calot ini. Terletak di dalam segitiga ini adalah struktur
penting: arteri cysticus, arteri hepatik kanan, dan kelenjar getah bening
duktus cystikus. Simpul Calot adalah rute utama drainase limfatik kandung
empedu dan karena itu sering terlibat dalam penyakit inflamasi atau

10
neoplastik dari kandung empedu.

Gambar 2.2 : Segitiga calot dibatasi oleh duktus cystikus, duktus hepatikus
komunis dan tepi bawah dari hati.

Kandung empedu menyimpan empedu selama puasa dan


memberikan empedu ke duodenum sebagai respon terhadap makan.
Karena kapasitas kandung empedu umumnya hanya sekitar 30 sampai 60
ml, kapasitas serap yang luar biasa dari kandung empedu karena
kemampuannya untuk menyimpan sekitar 600 mL empedu yang
diproduksi setiap hari. Konsentrasi empedu dapat mempengaruhi kelarutan
dua komponen penting dari batu empedu : kalsium dan kolesterol.
Sel epitel kandung empedu mengeluarkan setidaknya dua produk
penting ke dalam lumen kandung empedu : glikoprotein dan ion hidrogen.
Sekresi mukus glikoprotein terjadi terutama dari kelenjar leher kandung
empedu dan duktus sistikus. Gel glikoprotein musin diyakini merupakan
bagian penting dari lapisan unstirred (difusi-ressistant barrier) yang
memisahkan membran sel dari kandung empedu dari empedu luminal.
Penghalang mukus ini mungkin sangat penting dalam melindungi epitel
kandung empedu dari efek deterjen yang kuat dari garam empedu yang
banyak terkonsentrasi dalam kandung empedu. Namun, bukti yang cukup
juga menunjukkan bahwa glikoprotein musin memainkan peran sebagai
agen pronucleating untuk kristalisasi kolesterol. Pengangkutan ion
hidrogen oleh epitel kandung empedu menyebabkan penurunan pH
empedu kandung empedu melalui mekanisme pertukaran natrium.
Pengasaman empedu akan meningkatkan kelarutan kalsium, sehingga

11
mencegah pengendapan sebagai garam kalsium. Proses pengasaman
kandung empedu yang normal, akan menurunkan pH empedu hepatik dari
7,5-7,8 ke 7,1-7,3.
Pengisian kandung empedu berasal dari produksi terus menerus
empedu oleh hati melawan kekuatan kontraksi sebuah sfingter Oddi. Jika
tekanan di dalam common bile duct melebihi tekanan di dalam lumen
kandung empedu, empedu hati memasuki kandung empedu oleh aliran
retrograde melalui duktus sistikus, dan akan dengan cepat terkonsentrasi.
Setelah makan, kontraksi kandung empedu yang merupakan respon
dari fase cephalic vagally dimediasi aktivitas dan pelepasan CCK,
regulator utama dari fungsi kandung empedu. Pada 60 sampai 120 menit
berikutnya, sekitar 50% sampai 70% dari empedu kandung empedu terus
dialirkan ke dalam saluran usus. CCK terlokalisir ke usus halus proksimal,
terutama sel-sel epitel duodenum, dimana rilis dari CCK tersebut
dirangsang oleh lemak intraluminal, asam amino, dan asam lambung dan
dihambat oleh empedu. Selain menstimulasi kontraksi kandung empedu,
CCK juga bertindak untuk menghambat aktivitas motorik normal phasic
dari sfingter Oddi. Pengisian ulang kandung empedu terjadi secara
bertahap selama 60 sampai 90 menit berikutnya.

2.2. Definisi Cholelithiasis


Cholelithiasis merupakan adanya atau pembentukan batu empedu;
batu ini mungkin terdapat dalam kandung empedu (cholecystolithiasis)
atau dalam ductus choledochus (choledocholithiasis).
Kolelitiasis (kalkuli/kalkulus, batu empedu) merupakan suatu
keadaan dimana terdapatnya batu empedu di dalam kandung empedu
(vesica fellea) yang memiliki ukuran, bentuk dan komposisi yang
bervariasi. Kolelitiasis lebih sering dijumpai pada individu berusia diatas
40 tahun terutama pada wanita dikarenakan memiliki faktor resiko, yaitu:
obesitas, usia lanjut, diet tinggi lemak dan genetik.
Sinonimnya adalah batu empedu, gallstones, biliary calculus.
Istilah kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam

12
kandung empedu. Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa
unsur yang membentuk suatu material mirip batu yang terbentuk di dalam
kandung empedu.
Kandung empedu adalah sebuah kantung terletak di bawah hati
yang mengonsentrasikan dan menyimpan empedu sampai ia dilepaskan ke
dalam usus. Kebanyakan batu duktus koledokus berasal dari batu kandung
empedu, tetapi ada juga yang terbentuk primer di dalam saluran empedu.
Batu empedu bisa terbentuk di dalam saluran empedu jika empedu
mengalami aliran balik karena adanya penyempitan saluran. Batu empedu
di dalam saluran empedu bisa mengakibatkan infeksi hebat saluran
empedu (kolangitis). Jika saluran empedu tersumbat, maka bakteri akan
tumbuh dan dengan segera menimbulkan infeksi di dalam saluran. Bakteri
bisa menyebar melalui aliran darah dan menyebabkan infeksi di bagian
tubuh lainnya.

2.3. Epidemiologi
Angka prevalensi orang dewasa lebih tinggi di negara Amerika
Latin (20% hingga 40%) daripada di negara Asia (3% hingga 4%).
Pada pemeriksaan autopsy di Amerika, batu kandung empedu
ditemukan pada 20% wanita dan 8% pria. Pada pemeriksaan autopsy di
Chicago, ditemukan 6,3% yang menderita kolelitiasis. Sekitar 20% dari
penduduk negeri Belanda mengidap penyakit batu empedu yang bergejala
atau yang tidak. Persentase penduduk yang mengidap penyakit batu
empedu pada penduduk Negro Masai ialah 15-50 %. Pada orang-orang
Indian Pima di Amerika Utara, frekuensi batu empedu adalah 80%.
Di Indonesia, kolelitiasis baru mendapatkan perhatian di klinis,
sementara publikasi penelitian batu empedu masih terbatas. Sebagian besar
pasien dengan batu empedu tidak mempunyai keluhan.

2.4. Faktor Risiko Untuk Kolelitiasis

a. Usia : Risiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan


bertambahnya usia. Orang dengan usia > 40 tahun lebih cenderung untuk

13
terkena kolelitiasis dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih
muda. Di Amerika Serikat, 20 % wanita lebih dari 40 tahun mengidap
batu empedu. Semakin meningkat usia, prevalensi batu empedu semakin
tinggi. Hal ini disebabkan:

 Batu empedu sangat jarang mengalami disolusi spontan.

 Meningkatnya sekresi kolesterol ke dalam empedu sesuai dengan


bertambahnya usia.

 Empedu menjadi semakin litogenik bila usia semakin bertambah.

b. Jenis Kelamin : Wanita mempunyai risiko dua kali lipat untuk terkena
kolelitiasis dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon
esterogen berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh
kandung empedu. Hingga dekade ke-6, 20 % wanita dan 10 % pria
menderita batu empedu dan prevalensinya meningkat dengan
bertambahnya usia, walaupun umumnya selalu pada wanita.

c. Berat Badan (BMI) : Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi,
mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan
dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol dalam kandung empedu
pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu serta mengurangi
kontraksi/ pengosongan kandung empedu.

d. Makanan : Konsumsi makanan yang mengandung lemak terutama lemak


hewani berisiko untuk menderita kolelitiasis. Kolesterol merupakan
komponen dari lemak. Jika kadar kolesterol yang terdapat dalam cairan
empedu melebihi batas normal, cairan empedu dapat mengendap dan
lama kelamaan menjadi batu. Intake rendah klorida, kehilangan berat
badan yang cepat mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari
empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.

14
2.5. Patofisiologi
Batu empedu yang ditemukan pada kandung empedu di
klasifikasikan berdasarkan bahan pembentuknya sebagai batu kolesterol,
batu pigment dan batu campuran. Lebih dari 90% batu empedu adalah
kolesterol (batu yang mengandung > 50% kolesterol) atau batu campuran
(batu yang mengandung 20-50% kolesterol). Angka 10% sisanya adalah
batu jenis pigmen, yang mana mengandung < 20% kolesterol. Faktor yang
mempengaruhi pembentukan batu antara lain adalah keadaan statis
kandung empedu, pengosongan kandung empedu yang tidak sempurna dan
konsentrasi kalsium dalam kandung empedu.
Batu kandung empedu merupakan gabungan material mirip batu
yang terbentuk di dalam kandung empedu. Pada keadaan normal, asam
empedu, lesitin dan fosfolipid membantu dalam menjaga solubilitas
empedu. Bila empedu menjadi bersaturasi tinggi (supersaturated) oleh
substansi berpengaruh (kolesterol, kalsium, bilirubin), akan berkristalisasi
dan membentuk nidus untuk pembentukan batu. Kristal yang yang
terbentuk terbak dalam kandung empedu, kemuadian lama-kelamaan
kristal tersubut bertambah ukuran,beragregasi, melebur dan membetuk
batu. Faktor motilitas kandung empedu, biliary stasis, dan kandungan
empedu merupakan predisposisi pembentukan batu empedu empedu.

15
Gambar 2.3: Patofisiologi kolelitiasis

2.6. Patogenesis
Batu empedu merepresentasikan ketidakmampuan untuk
mempertahankan zat terlarut empedu tertentu, terutama kolesterol dan
garam kalsium. Batu empedu diklasifikasikan berdasarkan kandungan
kolesterol mereka baik sebagai kolesterol atau batu pigmen. Batu pigmen
yang lebih diklasifikasikan sebagai hitam atau coklat. Batu empedu
kolesterol murni jarang terjadi (10%), dengan batu kolesterol yang paling
mengandung garam kalsium di tengah mereka, atau nidus. Di Amerika
Serikat, 70% sampai 80% dari batu empedu adalah kolesterol, dan batu
pigmen hitam terjadi sebagian besar sisanya 20% sampai 30%.
Biliary sludge merupakan campuran kristal kolesterol, butiran
kalsium bilirubinate, dan mucin gel matriks. Hal ini paling sering
ditemukan pada kondisi puasa yang lama atau dengan penggunaan nutrisi
parenteral. Temuan kompleks makromolekul dari musin dan bilirubin
menunjukkan bahwa lumpur sebagai penyedia nidus untuk patogenesis
batu empedu.

Batu Campuran

16
 Komposisi : (75-90% dari semua batu) Kolesterol merupakan
komponen predominan dari campuran heterogen dari kolesterol,
pigmen empedu dan garam kalsium dalam struktur yang berlapis
lapis mengelilingi “inti”
 Patogenesis : kombinasi dari abnormalitas konstituen empedu,
statis bilier, infeksi
 Karakteristik : batu multipel dari beberapa generasi dengan
ukuran yang berbeda yang ditemukan bersamaan. Batu keras dan
tepi persegi atau ireguler, bentuk ‘mulbery’ dengan warna lembut
yang bervariasi dari agak putih sampai kuning dan hijau sampai
hitam. Sebagian besar radiolusen, tapi 10 % radioopak.
Batu kolesterol
 Hampir 10 % dari semua batu empedu
 Patogenesis : sama seperti batu campuran
 Karakteristik : besar, halus, berbentuk tabung/telur, dan biasanya
soliter berwarna kuning. Diameter mencapai 4 cm & mengisi
kandung empedu. Radiolusen.
Batu pigmen
 Kalsium bilirubinat, jarang pada negara berkembang
 Patogenesis : Ekskresi bilirubin yang berlebihan akibat kelainan
hemolitik (anemia hemolitik, malaria, leukimia)
 Karakteristik : Multipel, hitam gelap, shin“jack”stone, diameter
0,5-1cm. Biasanya ukuran seragam dan seringkali rapuh/ gembur.

Batu kalsium karbonat


 Jarang
 Patogenesis : ekskresi kalsium dalam empedu yang berlebihan
 Karakteristik : batu persegi, abu-abu, radioopak.
Batu Kolesterol
Patogenesis batu kolesterol meliputi 3 stadium: 1. Supersaturasi
kolesterol pada empedu, 2. Nukleasi kristal, 3. Pertumbuhan batu. Prinsip

17
untuk menjaga kelarutan kolesterol adalah pembentukan misel, suatu
garam empedu fosfolipid kolesterol kompleks, dan kolesterol-fosfolipid
vesikel. Kondisi dimana produksi kolesterol berlebihan, vesikel besar juga
melebihi kemampuannya untuk mengangkut kolesterol, dan pengendapan
kristal dapat terjadi. Sepertiga dari kolesterol empedu diangkut dalam
misel, tapi kolesterol-fosfolipid vesikel membawa sebagian besar
kolesterol empedu.

Gambar 2.4 : Triangular-Phase Diagram


Batu Pigmen
Batu pigmen mengandung kurang dari 20% kolesterol dan bewarna
gelap karena adanya bilirubinate kalsium. Batu pigmen hitam kecil dan
bahan residu, dan ini sering berhubungan dengan kondisi hemolitik seperti
sferositosis herediter dan penyakit sel sabit atau sirosis. pada kondisi
hemolitik, beban bilirubin dan konsentrasi bilirubin tak terkonjugasi
meningkat. Sirosis dapat menyebabkan peningkatan sekresi bilirubin tak
terkonjugasi. Batu-batu ini biasanya tidak dihubungkan dengan empedu
yang terinfeksi dan terletak hampir secara eksklusif di kandung empedu.
Batu pigmen hitam memiliki persentase yang tinggi di negara-negara Asia
seperti Jepang dibandingkan dengan belahan bumi Barat.
Batu pigmen coklat bertekstur lembut dan bau tanah biasanya
ditemukan di saluran empedu, terutama pada populasi Asia. Batu coklat
sering mengandung lebih banyak kolesterol dan kalsium palmitat dan
merupakan batu saluran empedu yang paling banyak,utamanya pada
pasien di negara barat dengan gangguan motilitas empedu dan terkait

18
infeksi bakteri. Bakteri (E. Coli) pemproduksi lendir mensekresikan β-
glukuronidase yang menyebabkan hidrolisis enzimatik glukuronat
bilirubin terkonjugasi larut untuk menghasilkan larut bebas bilirubin, yang
kemudian mengendap dengan kalsium.

2.7. Manifestasi Klinis


Penderita batu kandung empedu baru memberi keluhan bila batu
tersebut bermigrasi menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus,
sehingga gambaran klinisnya bervariasi dari yang tanpa gejala
(asimptomatik), ringan sampai berat karena adanya komplikasi.
Dijumpai nyeri di daerah hipokondrium kanan, yang kadang-
kadang disertai kolik bilier yang timbul menetap/konstan. Rasa nyeri
kadang-kadang dijalarkan sampai di daerah subkapula disertai nausea,
vomitus dan dyspepsia, flatulen dan lain-lain. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan nyeri tekan hipokondrium kanan, dapat teraba pembesaran
kandung empedu dan tanda Murphy positif. Dapat juga timbul ikterus.
Ikterus dijumpai pada 20 % kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin <
4,0 mg/dl). Apabila kadar bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di
saluran empedu ekstra hepatic.
Kolik bilier merupakan keluhan utama pada sebagian besar pasien.
Nyeri viseral ini berasal dari spasmetonik akibat obstruksi transient duktus
sistikus oleh batu. Dengan istilah kolik bilier tersirat pengertian bahwa
mukosa kandung empedu tidak memperlihatkan inflamasi akut.
Kolik bilier biasanya timbul malam hari atau dini hari, berlangsung
lama antara 30– 60 menit, menetap, dan nyeri terutama timbul di daerah
epigastrium. Nyeri dapat menjalar ke abdomen kanan, ke pundak,
punggung, jarang ke abdomen kiri dan dapat menyerupai angina pektoris.
Kolik bilier harus dibedakan dengan gejala dispepsia yang merupakan
gejala umum pada banyak pasien dengan atau tanpa kolelitiasis.
Diagnosis dan pengelolaan yang baik dan tepat dapat mencegah
terjadinya komplikasi yang berat. Komplikasi dari batu kandung empedu
antara lain kolesistitis akut, kolesistitis kronis, koledokolitiasis,

19
pankreatitis, kolangitis, sirosis bilier sekunder, ileus batu empedu, abses
hepatik dan peritonitis karena perforasi kandung empedu. Komplikasi
tersebut akan mempersulit penanganannya dan dapat berakibat fatal.
Sebagian besar (90 – 95 %) kasus kolesititis akut disertai
kolelitiasis dan keadaan ini timbul akibat obstruksi duktus sistikus yang
menyebabkan peradangan organ tersebut.
Pasien dengan kolesistitis kronik biasanya mempunyai kolelitiasis
dan telah sering mengalami serangan kolik bilier atau kolesistitis akut.
Keadaan ini menyebabkan penebalan dan fibrosis kandung empedu dan
pada 15 % pasien disertai penyakit lain seperti koledo kolitiasis,
panleneatitis dan kolongitis.
Batu kandung empedu dapat migrasi masuk ke duktus koledokus
melalui duktus sistikus (koledokolitiasis sekunder) atau batu empedu dapat
juga terbentuk di dalam saluran empedu (koledokolitiasis primer).
Perjalanan penyakit koledokolitiasis sangat bervariasi dan sulit diramalkan
yaitu mulai dari tanpa gejala sampai dengan timbulnya ikterus obstruktif
yang nyata.
Batu saluran empedu (BSE) kecil dapat masuk ke duodenum
spontan tanpa menimbulkan gejala atau menyebabkan obstruksi temporer
di ampula vateri sehingga timbul pankreatitis akut dan lalu masuk ke
duodenum (gallstone pancreatitis). BSE yang tidak keluar spontan akan
tetap berada dalam saluran empedu dan dapat membesar. Gambaran klinis
koledokolitiasis didominasi penyulitnya seperti ikterus obstruktif,
kolangitis dan pankreatitis.

20
Gambar 2.4 Manifestasi kolelitiasis

21
2.8. Diagnosis

Gambar 2.5 diagnosis kerja kolelitiais


Anamnesis
Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah
asintomatis. Keluhan yang mungkin timbul adalah dispepdia yang kadang
disertai intoleran terhadap makanan berlemak. Pada yang simtomatis,
keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas
atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang mungkin
berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa
jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada

22
30% kasus timbul tiba-tiba.
Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke
puncak bahu, disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat
penderita melaporkan bahwa nyeri berkurang setelah menggunakan
antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan bertambah
pada waktu menarik nafas dalam.

Pemeriksaan Fisik

 Batu kandung empedu : Apabila ditemukan kelainan, biasanya


berhubungan dengan komplikasi, seperti kolesistitis akut dengan
peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung empedu, empiema
kandung empedu, atau pangkretitis. Pada pemeriksaan ditemukan
nyeri tekan dengan punktum maksimum didaerah letak anatomis
kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan
bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena
kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan
pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas.

 Batu saluran empedu : Batu saluran empedu tidak menimbulkan


gejala dalam fase tenang. Kadang teraba hatidan sklera ikterik.
Perlu diktahui bahwa bila kadar bilirubin darah kurang dari 3
mg/dl, gejal ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu
bertambah berat, akan timbul ikterus klinis.

Pemeriksaan Penunjang

 Pemeriksaan laboratorium

Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak


menunjukkan kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila
terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi
sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin
serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar
bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di

23
dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan
mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang
setiap kali terjadi serangan akut.

 Pemeriksaan radiologis

a. Foto polos Abdomen


Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran
yang khas karena hanya sekitar 10-15% batu kandung
empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung empedu
yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi
dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan
kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung
empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di
kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam
usus besar, di fleksura hepatica.

Gambar 2.6: Foto polos abdomen pada kolelitiasis


b. USG
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas
yang tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu dan
pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun ekstra
hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung
empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang
diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang
terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi

24
karena terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan USG
punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu
yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa.

Gambar 2.7: Hasil USG pada kolelitiasis

c. Kolesistografi
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup
baik karena relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk
melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan
ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan
ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl,
okstruksi pilorus, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan
tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan
kolesitografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi
kandung empedu.

Gambar 2.8: Hasil kolesistografi pada kolelitiasis

25
d. ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography)
Yaitu sebuah kanul yang dimasukan ke dalam duktus
koledukus dan duktus pancreatikus, kemudian bahan kontras
disuntikkan ke dalam duktus tersebut. Fungsi ERCP ini
memudahkan visualisasi langsung stuktur bilier dan
memudahkan akses ke dalam duktus koledukus bagian distal
untuk mengambil batu empedu, selain itu ERCP berfungsi
untuk membedakan ikterus yang disebabkan oleh penyakit
hati (ikterus hepatoseluler dengan ikterus yang disebabkan
oleh obstuksi bilier dan juga dapat digunakan untuk
menyelidiki gejala gastrointestinal pada pasien-pasien yang
kandung empedunya sudah diangkat. ERCP ini berisiko
terjadinya tanda-tanda perforasi/ infeksi.9

Gambar 2.9 Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography

2.9. Diagnosis banding


Diagnosis banding nyeri karena kolelitiasis adalah ulkus peptikum,
refluks gastroesofagus, dispepsia non ulkus, dismotilitas esofagus, irritable
bowel syndrome, kolik ginjal. Nyeri ulkus peptikum biasanya lebih sering,
hampir setiap hari dan berkurang sehabis makan. Nyeri yang timbul
biasanya menetap di perut kanan atas, pada kolelitiasis frekuensinya lebih
jarang.6

26
Nyeri karena refluks gastroesofagus dapat dibedakan dengan nyeri
kolelitiasis dilihat dari adanya rasa terbakar, lokasi nyeri di substernal, dan
sering dipengaruhi oleh posisi, dimana pada posisi supine rasa nyeri akan
memberat. Nyeri epigastrium karena kolelitiasis dan dispepsia nonulkus
sukar dibedakan. Namun demikian nyeri karena kolik bilier biasanya lebih
hebat, frekuensinya sporadik, dan penyebaran nyeri sampai perut kanan
atas dan skapula.10
Diagnosis banding untuk kolesistitis akut adalah apendisitis akut,
pankreatitis akut, hepatitis akut, perforasi ulkus, perforasi ulkus peptikum
dan penyakit intestinal akut lainnya. Untuk membedakan dengan
pankreatitis akut, biasanya nyeri pada pankreatitis akut lebih terlokalisir
dan jarang disertai tanda peritoneal akut. Nyeri sampai ke punggung,
menghilang saat posisi duduk adalah khas untuk pankreatitis akut. Gejala
demam dan leukositosis mungkin sama pada kedua kasus, tetapi
peningkatan kadar serum amilase jauh lebih tinggi pada keadaan
pankreatitis akut. Pada keadaan pankreatitis yang berat, penderita tampak
sangat toksik. Namun pada penderita dengan kolesistitis akut dengan
komplikasi pankreatitis akut USG diperlukan untuk segera membedakan
keadaan tersebut.8
Untuk membedakan dengan kolesistitis, pada keadaan hepatitis
biasanya pada pemeriksaan laboratorium menunjukkan kadar serum enzim
hepar akan jauh lebih tinggi dibanding dengan kolesistitis akut. Pada
keadaan apendisitis akut, ditandai oleh nyeri khas pada perut kanan bawah,
diawali dari sekitar daerah umbilikal yang kemudian menetap di perut
kanan bawah. Pada keadaan perforasi usus, pada pemeriksaan radiologis
sering dijumpai adanya udara bebas pada foto polos abdomen.4

2.10. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita kolelitiasis:

27
Gambar 2.10 : komplikasi kolelitiasis
Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya
makanan mengakibatkan/ menghasilkan kontraksi kandung empedu,
sehingga batu yang tadi ada dalam kandung empedu terdorong dan dapat
menutupi duktus sistikus, batu dapat menetap ataupun dapat terlepas lagi.
Apabila batu menutupi duktus sitikus secara menetap maka mungkin akan
dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka mukokel dapat menjadi
suatu empiema, biasanya kandung empedu dikelilingi dan ditutupi oleh
alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu fistel
kolesistoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat
terjadinya kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat mengakibatkan
nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat sekiatrnya) dan dapat
membentuk suatu fistel kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi
kandung empedu yang berakibat terjadinya peritonitis generalisata.
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus
pada saat kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju
sampai duktus koledokus kemudian menetap asimtomatis atau kadang
dapat menyebabkan kolik. Batu yang menyumbat di duktus koledokus
juga berakibat terjadinya ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan
pankretitis.9
Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui
terbentuknya fistel kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar
dapat menyumbat pad bagian tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan
menimbulkan ileus obstruksi.4

2.11. Terapi

28
Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan
pengobatan. Nyeri yang hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi
dengan menghindari atau mengurangi makanan berlemak. Penanganan
kolelitiasis dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan non bedah dan
bedah. Kriteria terapi non operatif diantaranya batu kolesterol diameternya
<2cm , yaitu penatalaksanaan pada kolelitiasis simptomatik dan
kolelitiasis yang asimptomatik.2

Penatalaksanaan Non-Bedah
Pada orang dewasa alternatif terapi non bedah meliputi
penghancuran batu dengan obat-obatan seperti chenodeoxycholic atau
ursodeoxycholic acid. Oral Dissolution Therapy adalah cara penghancuran
batu dengan pemberian obat- obatan oral. Ursodeoxycholic acid lebih
dipilih dalam pengobatan daripada chenodeoxycholic karena efek samping
yang lebih banyak pada penggunaan chenodeoxycholic seperti terjadinya
diare, peningkatan aminotransfrase dan hiperkolesterolemia sedang.
Pemberian obat-obatan ini dapat menghancurkan batu pada 60% pasien
dengan kolelitiasis, terutama batu yang kecil. Angka kekambuhan
mencapai lebih kurang 10%, terjadi dalam 3-5 tahun setelah terapi. Pada
anak-anak terapi ini tidak dianjurkan, kecuali pada anak-anak dengan
risiko tinggi untuk menjalani operasi.9

Penatalaksanaan Bedah
a) Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien
denga kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna
yang dapat terjadi adalah cedera duktus biliaris yang terjadi pada
0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini

29
kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi
adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.4
b) Kolesistektomi laparaskopi
Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa
adanya kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya
pengalaman, banyak ahli bedah mulai melakukan prosedur ini pada
pasien dengan kolesistitis akut dan pasien dengan batu duktus
koledokus. Secara teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan
prosedur konvensional adalah dapat mengurangi perawatan di
rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat
kembali bekerja, nyeri menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah
yang belum terpecahkan adalah kemanan dari prosedur ini,
berhubungan dengan insiden komplikasi seperti cedera duktus
biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih sering selama
kolesistektomi laparaskopi.4

Gambar 2.11: Tindakan kolesistektomi terbuka dan kolesistektomi


laparaskopy
.

c) Disolusi kontak
Terapi contact dissolution adalah suatu cara untuk menghancurkan
batu kolesterol dengan memasukan suatu cairan pelarut ke dalam
kandung empedu melalui kateter perkutaneus melalui hepar atau
alternatif lain melalui kateter nasobilier. Larutan yang dipakai
adalah methyl terbutyl eter. Larutan ini dimasukkan dengan suatu

30
alat khusus ke dalam kandung empedu dan biasanya mampu
menghancurkan batu kandung empedu dalam 24 jam. Kelemahan
teknik ini hanya mampu digunakan untuk kasus dengan batu yang
kolesterol yang radiolusen. Larutan yang digunakan dapat
menyebabkan iritasi mukosa, sedasi ringan dan adanya
kekambuhan terbentuknya kembali batu kandung empedu.8

Gambar 2.12 disolusi kontak

d) Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)


Extracorporeal Shock-Wave Lithotripsy (ESWL) menggunakan
gelombang suara dengan amplitudo tinggi untuk menghancurkan
batu pada kandung empedu. Pasien dengan batu yang soliter
merupakan indikasi terbaik untuk dilaskukan metode ini. Namun
pada anak-anak penggunaan metode ini tidak direkomendasikan,
mungkin karena angka kekambuhan yang tinggi.6

31
Gambar 2.13 extracorporeal shock wave lithotripsy

Penatalaksanaan Diet
Pada kasus kolelitiasis jumlah kolesterol dalam empedu ditentukan
oleh jumlah lemak yang dimakan karena sel-sel hepatik mensintesis
kolesterol dari metabolisme lemak, sehingga klien dianjurkan dengan
makanan cair rendah lemak. Menghindari kolesterol yang tinggi terutama
yang berasal dari lemak hewani. Suplemen bubuk tinggi protein dan
karbohidrat dapat diaduk ke dalam susu skim dan adapun makanan
tambahan seperti: buah yang dimasak, nasi ketela, daging tanpa lemak,
sayuran yang tidak membentuk gas, roti, kopi/teh.10

2.12. Prognosis
Untuk penderita dengan ukuran batu yang kecil, pemeriksaan serial
USG diperlukan untuk mengetahui perkembangan dari batu tersebut. Batu
bisa menghilang secara spontan. Untuk batu besar masih merupakan
masalah, karena merupakan risiko terbentuknya karsinoma kandung
empedu (ukuran lebih dari 2 cm). Karena risiko tersebut, dianjurkan untuk
mengambil batu tersebut. Pada anak yang menderita penyakit hemolitik,
pembentukan batu pigmen akan semakin memburuk dengan bertambahnya
umur penderita, dianjurkan untuk melakukan kolesistektomi11.

DAFTAR PUSTAKA

1. Mansjoer, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III, Jilid II. Penerbit
Media Aesculapius, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2000. Hal 313- 317.
2. De Jong. W, Sjamsuhidajat. R., 1998., Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi

32
Revisi., EGC., Jakarta Djamaloedin. 2002. Bagian Ilmu Bedah
FKUI/RSCM. Kumpulan kuliah ilmu bedah. Jakarta: Binarupa Aksara;
242-253.
3. Guyton AC, 2005. Textbook of medical physiology. Eleventh edition.
Philadelpia: Sounders Company.
4. Stranding, S, (2014). Gray’s Anatomy: Anatomy of the Human Body 42th
Ed. Elsevier
5. Hassler KR, Jones MW. Gallbladder, Cholecystectomy, Laparoscopic.
[Updated 2018 Oct 27]. In: StatPearls . Treasure Island
6. Longo DL, Kasper DL. 2012. Harrison's Principles of Internal Medicine,
18th ed. New York: McGrawHill;
7. Zhu, L., Aili, A., Zhang, C., Saiding, A., & Abudureyimu, K. (2014).
Prevalence of and risk factors for gallstones in Uighur and Han Chinese.
World Journal of Gastroenterology: WJG, 20(40), 14942–14949.
8. Lesmana L. Batu Empedu dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1. Edisi
IV. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2007.479 - 48
9. Stranding, S, (2014). Gray’s Anatomy: Anatomy of the Human Body 42th
Ed. Elsevier
10. Fauzi A. Kolangitis Akut.Dalam:Rani A,Simadibrata M,Syam AF,Editor.
Buku ajar Gastroenterohepatologi. Edisi-1. InternaPublishing; 2011:579-
90.
11. Febyan, (2017). Karakteristik Penderita Kolelitiasis Berdasarkan Faktor
Risiko di Rumah Sakit Umum Daerah Koja. Universitas Kristen Krida
Wacana.
12.

33

Anda mungkin juga menyukai