Anda di halaman 1dari 27

LONG CASE

APPENDICITIS

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan


Klinik Bagian Ilmu BEDAH RSUD Dr. Tjitrowardojo Purworejo

Disusun Oleh :
VIDYA REZA ANDINI

20214010008

Pembimbing :

dr. WAHYU PURWOHADI, Sp. B

SMF ILMU BEDAH


RSUD Dr. TJITROWARDOJO PURWOREJO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2022
HALAMAN PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS

APPENDICITIS

Telah disetujui pada tanggal …......................... 2022

Oleh :

Pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah

dr. WAHYU PURWOHADI, Sp. B


BAB I

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : An. MSA

Jenis Kelamin : Laki-laki

Usia : 13 tahun

Tanggal Lahir : 01/12/2008

Alamat : Semawung Kembaran 06/06 Kutoarjo

Tanggal Masuk : 06 Januari 2022, pukul 08:24

Diagnosa Masuk : Abdominal pain

II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama

Pasien mengeluh nyeri perut (+).

B. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RSUD dr. Tjitrowardojo dengan keluhan


nyeri perut hilang timbul (+) sejak 3 hari yang lalu disertai dengan mual
(+), muntah (+). Pasien mengatakan badan lemas, BAB (+), dan BAK
(+) dalam batas normal. BAB terakhir kemarin SMRS dan dapat kentut.

C. Riwayat Penyakit Dahulu

Hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung, asma, alergi obat,


maupun TBC disangkal.

D. Riwayat Penyakit Keluarga


Hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung, asma, alergi obat,
maupun TBC disangkal.

III. PEMERIKSAAN FISIK


 Kesan Umum : tampak sakit sedang
 Kesadaran : Compos mentis, E4V5M6
 Tanda-tanda Vital :

o Tekanan darah : 104/82 mmHg


o Nadi : 103 x/menit
o Pernafasan : 22 x/menit
o Suhu : 37,1oC
o SpO2 : 99%

 VAS : 3/10

 Pemeriksaan Kepala:
o Wajah : simetris, normocephal
o Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
o Telinga : sekret (-), perdarahan (-)
o Hidung : sekret (-), epistaksis (-)
 Pemeriksaan Leher:
o Kelenjar tiroid : tidak ditemukan pembengkakan
o Kelenjar limfonodi : tidak ditemukan pembengkakan
 Pemeriksaan Thorax:
o Inspeksi : jejas (-), simetris (+), ketinggalan gerak (-)
o Palpasi : VF kanan=kiri, nyeri tekan (-)
o Perkusi : sonor/sonor
o Auskultasi : vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
 Pemeriksaan Abdomen:
o Inspeksi : distensi (-), jejas (-), darm contour (-), darm
steifung (-)
o Auskultasi : BU (+)
o Perkusi : timpani (+), nyeri ketok (+)
o Palpasi : nyeri tekan seluruh lapang abdomen (+), nyeri
lepas (+), defans muskular seluruh lapang
abdomen
(+), Rovsing’s sign (+), Psoas sign (+), Obturator
sign (+)
 Pemeriksaan Ekstremitas:
o Akral hangat, oedem (-), CRT < 2 detik

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. Pemeriksaan Laboratorium Darah

NILAI
PARAMETER HASIL SATUAN
NORMAL
Hemoglobin 14,2 gr/dL 12,8 – 16,8
Leukosit 10,7 10^3/ul 4,5 – 13,0
Hematokrit 41 % 40 – 50
Eritrosit 5,3 10^6/ul 4,40 – 5,90
Trombosit 377 10^3/ul 150 – 400
MCV 78 fL  80 – 100
MCH 27  pg 26 – 34
MCHC 35  g/dL 34 – 36
DIFFERENTIAL COUNT
Neutrofil 82,10 % 50 – 70
Limfosit 8,10 % 25 – 40
Monosit 9,70 % 2–8
Eosinofil 0,00 % 2,00 – 4.00
Basofil 0,10 % 0–1

TLC 0,87 10^3/ul 1,00 – 3,70


NLR 10,1
KIMIA KLINIK
Gula Darah
104 mg/dL 74 – 106
Sewaktu
Ureum 76,2 mg/dL 10 – 50
Kreatinin 0,97 mg/dL 0,62 – 1,10

B. Pemeriksaan Radiologi
1. Foto Thorax (6/1/2022)

Keterangan:
Klinis: abdominal pain
- Corakan pulmo normal
- Sinus lancip, diafragma licin
- Cor CTR tidak valid dinilai (inspirasi < dalam)
Kesan:
- Pulmo normal
- Besar cor tidak valid untuk dinilai
2. Foto Abdomen 3 Posisi (6/1/2022)
Keterangan:
Klinis: abdominal pain
- Pre peritoneal fat, psoas line dan renal outline samar
- Distribusi udara usus merata
- Tampak distensi udara usu halus dengan coil spring dan herring
bone app
- Tampak air fluid level (+)
- Tak tampak udara bebas cavum peritoneum
Kesan:
- Sesuai gambaran ileus obstruktivus letak tinggi

V. DIAGNOSIS
Peritonitis umum ec apendisitis perforasi

VI. TATALAKSANA
 Laparatomi appendektomi
 Awasi KU/VS
 Infus RL 20 tpm
 Injeksi ceftriaxone 1 gr/12 jam
 Injeksi metronidazole 500 mg/8 jam
 Injeksi ketorolac 30 mg/8 jam
 Injeksi ranitidin 50 mg/12 jam
 Injeksi kalnex 500 mg/8 jam
 Diet bertahap
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI

Apendisitis adalah radang pada usus buntu atau dalam bahasa


latinnya apendiks vermiformis, yaitu suatu organ yang berbentuk memanjang
dengan panjang 6 – 9 cm dengan pangkal terletak pada bagian pangkal usus
besar bernama caecum yang terletak pada perut kanan bawah. Apendiks
vermiformis yang disebut dengan umbai cacing atau lebih dikenal dengan
nama usus buntu, merupakan kantung kecil yang buntu dan melekat pada
caecum.

II. ANATOMI

Apendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer patch


membentuk produk immunoglobulin, berbentuk tabung, panjangnya kira-
kira 10 cm (kisaran 3 – 15 cm) dengan diameter 0,5 – 1 cm, dan berpangkal
di caecum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian
distal.

Apendiks terletak di kuadran kanan bawah abdomen, tepatnya di


ileocaecum dan merupakan pertemuan ketiga taenia colli (taenia libera,
taenia colica, dan taenia omentum). Dari topografi anatomi, letak pangkal
apendiks berada pada titik McBurney, yaitu titik pada garis antara umbilicus
dan SIAS kanan yang berjarak 1/3 dari SIAS kanan.

Apendiks vermivormis disangga oleh mesoapendiks (mesenteriolum)


yang bergabung dengaan mesenterium usus halus pada daerah ileum
terminale. Mesenteriolum berisi a. Apendikularis (cabang a. Ileocolica).
Orificiumnya terletak 2,5 cm dari katup ileocecal. Mesoapendiksnya
merupakan jaringan lemak yang mempunyai pembuluh appendiceal dan
terkadang juga memiliki limfonodi kecil.

Struktur apendiks mirip dengan usus mempunyai empat lapisan yaitu


mukosa, submukosa, muskularis eksterna/propia (otot longitudinal dan
sirkuler), dan serosa. Apendiks mungkin tidak terlihat karena adanya
membran Jackson yang merupakan lapisan peritoneum yang menyebar dari
bagian lateral abdomen ke ileum terminal, menutup caecum dan apendiks.
Lapisan submukosa terdiri dari jaringan ikat kendor dan jaringan elastik
membentuk jaringan saraf, pembuluh darah, dan limfe. Antara mukosa dan
submukosa terdapat limfonodi. Mukoda terdiri dari satu lapis collumar
epithelium dan terdiri dari kantong yang disebut crypta lieberkuhn. Dinding
dalam sama dan berhubungan dengan caecum (inner circular layer).
Dinding luar (outer longitudinal muscle) dilapisi oleh pertemuan ketiga colli
pada pertemuan caecum dan apendiks. Taenia anterior digunakan sebagai
pegangan untuk mencari apendiks.

Apendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi


minggu ke-8 yaitu bagian ujung dari protuberans caecum. Pada saat
antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari caecum yang berlebih akan
menjadi apendiks yang akan berpindah dari medial menuju katup ileosekal.
Secara anatomi, orang dewasa memiliki bentuk lumen apendiks yang
menyempit di bagian proksimal dan melebar pada bagian distal, sedangkan
pada bayi bentuk lumen apendiks relatif lebar di bagian proksimal dan
menyempit pada bagian distal. Hal ini mungkin menjadi penyebab
rendahnya insidensi apendisitis pada bayi.

Pada 65% kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan ini


memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada
panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya, apendiks
terletak retroperitoneal, yaitu di belakang caecum, di belakang colon
ascendens, atau di tepi lateral colon ascendens. Gejala klinis apendisitis
ditentukan oleh letak apendiks.
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n. Vagus yang mengikuti
a. Mesenterika superior dan a. Apendikularis, sedangkan persarafan simpatis
berasal dari n. Torakalis X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada apendisitis
bermula di sekitar umbilicus. Pendarahan apendiks berasal dari a.
Apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral atau end arteri. Bila
terjadi penyumbatan pada arteri tersebut, makan apendiks akan mengalami
gangren.

III. FISIOLOGI

Apendiks vermiformis menghasilkan lendir sebanyak 1 – 2 ml per


hari yang secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya
mengalir ke caecum. Adanya hambatan aliran pada lendir di muara apendiks
vermiformis berperan dalam patogenesis apendisitis.

GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang


saluran pencernaan, termasuk apendiks vermiformis menghasilkan IgA yaitu
suatu imunoglobulin sekretoar. IgA sangat efektif sebagai pelindung
terhadap infeksi yaitu mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus, serta
mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. Namun,
pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab
jumlah jaringan sedikit sekali jika dibandingkan dengan jumlah di saluran
cerna dan seluruh tubuh.

Jaringan limfoid pertama kali muncul pada apendiks sekitar 2


minggu setelah lahir. Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap
saat dewasa dan kemudian berkurang mengikuti umur. Setelah umur 60
tahun, tidak ada jaringan limfoid lagi di apendiks dan terjadi penghancuran
lumen apendiks komplit. Immunoglobulin sekretorius dihasilkan sebagai
bagian dari jaringan limfoid yang berhubungan dengan usus untuk
melindungi lingkungan anterior. Apendiks bermanfaat, tapi tidak diperlukan.

IV. ETIOLOGI

Faktor predisposisi utama terjadinya apendisitis akut adalah obstruksi


lumen apendiks vermiformis. Fekalit adalah penyebab utama terjadinya
obstruksi apendiks vermiformis. Penyebab lainnya adalah hipertrofi jaringan
limfoid, sisa barium dari pemeriksaan rontgen, diet rendah serat, dan cacing
usus termasuk ascaris. Erosi mukosa apendiks vermiformis akibat parasit E.
histolytica merupakan penyebab lain yang dapat menimbulkan apendisitis.

Frekuensi obstruksi meningkat dengan memberatnya proses


inflamasi. Fekalit ditemukan pada 40% dari kasus apendisitis akut, sekitar
65% merupakan apendisitis gangrenous tanpa ruptur dan sekitar 90% kasus
apendisitis gangrenous dengan ruptur.

Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan


makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya
apendisitis. Konstipasi akan meningkatkan tekanan intrasekal, yang
berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya
pertumbuhan kuman flora colon biasa. Semuanya akan mempermudah
terjadinya apendisitis akut.
Apendisitis lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan
perempuan dengan perbandingan 3:2. Bangsa Caucasia lebih sering terkena
apendisitis dibandingkan dengan kelompok ras lainnya. Apendisitis dapat
ditemukan pada semua umur, hanya anak kurang dari setahun yang jarang
dilaporkan. Insidensi tertinggi pada kelompok umur 20 – 30 tahun, setelah
itu menurun.

V. PATOGENESIS

Patologi apendisitis berawal dari mukosa dan kemudian melibatkan


seluruh lapisan dinding apendiks vermiformis dalam waktu 24-48 jam
pertama. Jaringan mukosa pada apendiks vermiformis menghasilkan mukus
(lendir) setiap harinya. Terjadinya obstruksi lumen menyebabkan sekresi
mukus dan cairan, akibatnya terjadi peningkatan tekanan luminal sebesar 60
cm H2O, yang seharusnya hanya berkapasitas 0,1 – 0,2 mL.

Bakteri dalam lumen apendiks vermiformis berkembang dan


menginvasi dinding apendiks vermiformis sejalan dengan terjadinya
pembesaran vena dan kemudian terganggunya arteri akibat tekanan
intraluminal yang tinggi. Ketika tekanan kapiler melampaui batas, terjadi
iskemi mukosa, inflamasi dan ulserasi. Pada akhirnya, pertumbuhan bakteri
yang berlebihan di dalam lumen dan invasi bakteri ke dalam mukosa dan
submukosa menyebabkan peradangan transmural, edema, stasis pembuluh
darah, dan nekrosis muskularis yang dinamakan apendisitis kataralis.

Jika proses ini terus berlangsung, menyebabkan edema dan kongesti


pembuluh darah yang semakin parah dan membentuk abses di dinding
apendiks vermiformis serta cairan purulen, proses ini dinamakan apendisitis
flegmonosa. Kemudian terjadi gangren atau kematian jaringan yang disebut
apendisitis gangrenosa. Jika dinding apendiks vermiformis yang terjadi
gangren pecah, tandanya apendisitis berada dalam keadaan perforasi.
Perforasi dengan cairan inflamasi dan bakteri masuk ke rongga
abdomen kemudian akan memberikan respon inflamasi permukaan
peritoneum atau terjadi peritonitis. Apabila perforasi apendiks disertai
dengan abses, maka akan ditandai dengan gejala nyeri lokal akibat
akumulasi abses dan kemudian akan memberikan respons peritonitis. Gejala
yang khas dari perforasi apendiks adalah adanya nyeri hebat yang tiba-tiba
datang pada abdomen kanan bawah.

Untuk membatasi proses radang ini tubuh juga melakukan upaya


pertahanan dengan menutup apendiks vermiformis dengan omentum, usus
halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa periapendikuler yang secara
salah dikenal dengan istilah infiltrat apendiks. Pada anak-anak dengan
omentum yang lebih pendek, apendiks vermiformis yang lebih panjang, dan
dinding apendiks vermiformis yang lebih tipis, serta daya tahan tubuh yang
masih kurang, dapat memudahkan terjadinya apendisitis perforasi.
Sedangkan pada orang tua, apendisitis perforasi mudah terjadi karena adanya
gangguan pembuluh darah.

Apendiks vermiformis yang pernah meradang tidak akan sembuh


sempurna tetapi membentuk jaringan parut yang melengket dengan jaringan
sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut
kanan bawah. Sehingga suatu saat, organ ini dapat mengalami peradangan
akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut.

VI. KLASIFIKASI

Apendisitis dibagi menjadi tiga, antara lain sebagai berikut.

A. Apendisitis Akut

Peradangan pada apendiks dengan gejala khas yang memberi


tanda setempat. Gejala apendisitis akut antara lain nyeri samar dan
tumpul merupakan nyeri visceral di saerah epigastrium di sekitar
umbilikus. Keluhan ini disertai rasa mual muntah dan penurunan nafsu
makan. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke titik McBurney.
Pada titik ini, nyeri yang dirasakan menjadi lebih tajam dan lebih jelas
letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat.

B. Apendisitis Rekurens

Jika ada riwayat nyeri berulang di perut bagian kanan bawah


yang mendorong dilakukannya apendektomi. Kelainan ini terjadi bila
serangan apendisitis akut pertama sembuh spontan.

C. Apendisitis Kronis

Apendisitis kronis baru bisa ditegakkan apabila ditemukan tiga


hal yaitu pertama, pasien memiliki riwayat nyeri pada kuadran kanan
bawah abdomen selama paling sedikit tiga minggu tanpa alternatif
diagnosa lain. Kedua, setelah dilakukan apendiktomi, gejala yang
dialami pasien akan hilang. Ketiga, secara histopatologik gejala
dibuktikan sebagai akibat dari inflamasi kronis yang aktif atau fibrosis
pada apendiks.

VII. PENEGAKKAN DIAGNOSIS


A. Anamnesis

Gejala klasik apendisitis adalah nyeri samar-samar dan tumpul


yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium sekitar umbilikus.
Nyeri menetap, kadang disertai kram yang hilang timbul. Nyeri perut ini
sering disertai mual serta satu atau lebih episode muntah dengan rasa
sakit, dan setelah beberapa jam, nyeri akan beralih ke perut kanan bawah
pada titik McBurney.

Terdapat juga keluhan malaise dan demam yang tidak terlalu


tinggi. Suhu tubuh biasanya naik hingga 38oC, tetapi pada keadaan
perforasi suhu tubuh meningkat hingga > 39 oC. Umumnya nafsu makan
akan menurun. Rasa sakit menjadi terus menerus dan lebih tajam serta
lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat,
akibatnya pasien menemukan gerakan tidak nyaman dan ingin berbaring
diam, dan sering dengan kaki tertekuk. Kadang tidak ada nyeri
epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa
memerlukan obat pencahar. Hal ini sangat berbahaya karena dapat
mempermudah terjadinya perforasi. Bila terdapat rangsangan
peritoneum, biasanya penderita mengeluh sakit perut bila berjalan atau
batuk.

Saat kehamilan, keluhan utama apendisitis adalah nyeri perut,


mual, dan muntah. Perlu diperhatikan bahwa kehamilan trisemester
pertama sering juga terjadi mual dan muntah. Usia kehamilan lanjut,
sekum dengan apendiks terdorong ke kraniolateral sehingga keluhan
tidak dirasakan di perut kanan bawah, tapi lebih ke regio lumbal kanan.

B. Pemeriksaan Fisik

Perhatikan kesan dan keadaan umum pasien yaitu apakah pasien


tampak kesakitan, membungkuk atau tidak, menahan rasa nyeri dengan
memegang perut bagian kanan bawah. Biasanya berbaring dengan
terlentang, karena gerakan apa saja dapat meningkatkan rasa sakit. Jika
diminta untuk menggerakkan paha terutama paha kanan pasien akan
melakukan dengan perlahan-lahan dan hati-hati.

Tanda vital seperti peningkatan suhu jarang > 1oC (1.8oF) dan
denyut nadi normal atau sedikit meningkat. Apabila terjadi perubahan
yang signifikan dari biasanya menunjukkan bahwa komplikasi atau
perforasi telah terjadi atau diagnosis lain harus dipertimbangkan.
Perforasi apendiks vermikularis akan menyebabkan peritonitis purulenta
yang di tandai dengan demam tinggi, nyeri makin hebat berupa nyeri
tekan dan defans muskuler yang meliputi seluruh perut, disertai pungtum
maksimum di regio iliaka kanan, dan perut menjadi tegang dan
kembung. Jika dilakukan palpasi akan didapatkan nyeri tekan pada titik
McBurney (+) yang terbatas pada regio iliaka kanan, biasanya disertai
nyeri lepas. Defans muskuler menunjukkan adanya rangsangan parietal.
Rovsing’s sign (+) adalah apabila melakukan penekanan pada perut kiri
bawah maka akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah.

Psoas sign dan obturator sign merupakan pemeriksaan yang


lebih ditujukan untuk mengetahui letak apendiks vermiformis.
Pemeriksaan psoas sign dengan cara merangsang otot psoas melalui
hiperekstensi sendi panggul kanan (cara pasif dengan posisi pasien
miring ke kiri) atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha
kanan ditahan (cara aktif dengan posisi pasien terlentang). Tindakan ini
akan menimbulkan nyeri bila apendiks vermiformis yang meradang
menempel di otot psoas mayor.
Pemeriksaan obturator sign dilakukan untuk melihat bilamana
apendiks vermiformis yang meradang bersentuhan dengan otot obturator
internus. Cara pemeriksaan dengan gerakan fleksi dan endorotasi
articulatio coxae pada posisi supine akan menimbulkan nyeri.

Peristalsis usus sering didapatkan normal tetapi dapat menghilang


akibat adanya ileus paralitik yang disebabkan oleh apendisitis perforata.
Bising usus biasanya menghilang pada peritonitis umum.

Ketika peradangan apendiks vermiformis telah mencapai


panggul, nyeri perut kemungkinan tidak ditemukan sama sekali, yaitu
misalnya pada apendisitis pelvika. Sehingga dibutuhkan pemeriksaan
colok dubur. Dengan melakukan pemeriksaan colok dubur (rectal
toucher) nyeri akan dirasakan pada daerah lokal suprapubik dan rektum.
Tanda – tanda iritasi lokal otot pelvis juga dapat dirasakan penderita.
Colok dubur tidak dilakukan pada anak-anak karena apendiks masih
pendek.

C. Alvarado Score

ALVARADO SCORE SCORE


Abdominal pin point (nyeri kanan bawah) 2
Leukositosis (peningkatan leukosit > 10,000/uL) 2
Vomiting (muntah) 1
Anorexia (nafsu makan berkurang) 1
Rebound pain (nyeri lepas) 1
Abdominal migration pain (nyeri alih) 1
Degree (demam) 1
O Neutrofil shift to the left 1
TOTAL 10
Interpretasi:
1 – 4 : dipertimbangkan apendisitis akut, diperlukan observasi
5 – 6 : possible appendicitis, tidak perlu operasi dan berikan antibiotik
7 – 10 : apendisitis akut, perlu operasi dini

D. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium rutin sangat membantu dalam


mendiagnosis apendisitis akut, terutama untuk mengesampingkan
diagnosis lain. Kenaikan leukosit hingga 10.000 – 18.000/mm3, dapat
juga terjadi peningkatan persentase jumlah neutrofil (shift to the left)
dengan jumlah normal leukosit menunjang diagnosis klinis
apendisitis. Jika terjadi peningkatan leukosit yang sangat tinggi,
maka kemungkinan apendiks sudah mengalami perforasi. Temuan ini
menunjukkan bahwa peningkatan jumlah leukosit berhubungan
dengan peradangan mural dari apendiks vermiformis, yang
merupakan tanda khas pada apendisitis secara dini.

2. Pemeriksaan Urinalisis

Pemeriksaan urinalisis dapat membantu membedakan


apendisitis dan pyelonefritis atau batu ginjal. Meskipun demikian,
hematuria dan pyuria dapat terjadi jika inflamasi apendiks terjadi di
dekat ureter.

3. Radiografi

Pada foto polos abdomen, meskipun sering digunakan sebagai


bagian dari pemeriksaan umum pada pasien dengan abdomen akut,
jarang membantu dalam mendiagnosis apendisitis akut.
4. Ultrasonografi (USG)

Ultrasonografi berguna dalam memberikan diferensiasi


penyebab nyeri abdomen akut ginekologi, misalnya dalam
mendeteksi massa ovarium. Ultrasonografi juga dapat membantu
dalam mendiagnosis apendisitis perforasi dengan adanya abses.
Apendisitis akut ditandai dengan sebagai berikut.

a. Adanya perbedaan densitas pada lapisan apendiks vermiformis/


hilangnya lapisan normal (target sign)
b. Penebalan dinding apendiks vermiformis
c. Hilangnya kompresibilitas dari apendiks vermiformis
d. Peningkatan ekogenitas lemak sekitar
e. Adanya penimbunan cairan

Keadaan apendisitis dengan perforasi ditandai dengan sebagai


berikut.

a. Tebal dinding apendiks vermiformis yang asimetris


b. Cairan bebas intraperitonial
c. Abses tunggal atau multiple
5. CT-Scan

Pemeriksaan CT-Scan pada abdomen dapat digunakan untuk


mendiagnosis apendisitis akut jika diagnosisnya tidak jelas. Pasien-
pasien obesitas, presentasi klinis tidak jelas, dan curiga adanya abses,
maka CT-Scan dapat digunakan sebagai pilihan tes diagnostik.
Diagnosis apendisitis dengan CT-Scan ditegakkan apabila apendiks
dilatasi lebih dari 5 – 7 mm pada diameternya. Dinding pada
apendiks yang terinfeksi akan mengecil sehingga memberikan
gambaran “halo”.

VIII. DIAGNOSIS BANDING


A. Gastroenteritis

Mual, muntah, dan diare mendahului rasa sakit. Sakit perut dirasa
lebih ringan dan tidak tegas. Hiperperistaltik sering ditemukan. Demam
dan leukositosis kurang menonjol.

B. Diverticulitis

Biasanya terletak di perut sebelah kiri, namun tidak menutup


kemungkinan untuk terjadi di perut sebelah kanan. Gejala klinis sangat
mirip dengan apendisitis akut.

C. Kolik Traktus Urinarius

Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal


kanan merupakan gambaran khas. Hematuria sering ditemukan. Foto
polos abdomen dan urografi intravena dapat memastikan penyakit
tersebut.

D. Peradangan Pelvis

Tuba fallopi kanan dan ovarium terletak dekat dengan apendiks.


Radang kedua organ tersebut sering bersamaan sehingga disebut
salpingo-oovoritis atau adneksitis. Didapatkan riwayat kontak seksual
pada diagnosis penyakit ini. Suhu tubuh biasanya lebih tinggi daripada
apendisitis dan nyeri perut bagian bawah lebih difus. Biasanya disertai
dengan keputihan pada wanita. Vaginal toucher terasa nyeri bila uterus
diayunkan.

E. Kehamilan Ektopik

Riwayat menstruasi terlambat dengan keluhan tidak menentu.


Jika terjadi ruptur tuba atau abortus di luar rahim dengan perdarahan
akan timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin
akan terjadi syok hipovolemik. Vaginal toucher didapatkan nyeri dan
penonjolan cavum Douglas.
F. Demam Dengue

Dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis. Didapatkan hasil tes


positif Rumple Leede, trombositopenis, dan hematokrit yang meningkat.

G. Kista Ovarium Terpuntir

Timbul nyeri mendadak dengan intensita yang tinggi dan teraba


massa dalam rongga pelvis pada pemeriksaan perut, colok vaginal, atau
colok rektal. Tidak terdapat demam. Pemeriksaan USG dapat
menentukan diagnosis.

H. Endometriasis Eksterna

Endometrium di luar rahim akan memberikan keluhan nyeri di


tempat endometriosis berada, dan darah menstruasi terkumpul di tempat
tersebut karena tidak ada jalan keluar.

I. Kolisistis Akut

Obstruksi yang terjadi pada kantung empedu yang menyebabkan


cairan dalam kantung empedu terperangkap. Penyumbatan ini akan
menyebabkan proses iritasi hingga infeksi. Murphy’s sign (+).

IX. PENATALAKSANAAN
A. Sebelum Operasi
1. Observasi

Dalam 8 – 12 jam setelah munculnya keluhan, perlu


diobservasi ketat karena tanda dan gejala apendisitis belum jelas.
Pasien diminta tirah baring dan dipuasakan (tidak ada asupan apapun
secara oral). Laksatif tidak boleh diberikan bila dicurigai adanya
apendisitis. Diagnosis ditegakkan dengan lokasi nyeri pada kuadran
kanan bawah setelah timbulnya keluhan.

2. Antibiotik
Pemberian antibiotik spektrum luas dan untuk bakteri gram
negatif serta anaerob untuk menurunkan terjadinya infeksi post
operasi. Antibiotik profilaksis harus diberikan sebelum operasi
dimulai. Apendisitis ganggrenosa atau apenditis perforasi
memerlukan antibiotik, kecuali apendiksitis tanpa komplikasi tidak
memerlukan antibiotik. Penundaan tindakan bedah sambil
memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau preforasi.

3. Pemberian cairan melalui infus intravena guna mencegah dehidrasi


dan mengganti cairan yang telah hilang
4. Pemberian analgesik melalui intravena
B. Operasi

Operasi/pembedahan untuk mengangkat apendiks adalah


apendektomi. Apendektomi harus segera dilakukan untuk menurunkan
resiko perforasi. Apendektomi dapat dilakukan dibawah anestesi umum
dengan dua metode pembedahan, yaitu secara teknik terbuka
(pembedahan konvensional laparatomi) atau dengan teknik laparoskopi
yang merupakan teknik pembedahan minimal invasive dengan metode
terbaru yang sangat efektif.

1. Laparatomi

Laparatomi adalah prosedur vertical pada dinding perut ke


dalam rongga perut. Prosedur ini memungkinkan dokter melihat dan
merasakan organ dalam untuk membuat diagnosa apa yang salah.
Laparatomi dibutuhkan ketika ada kedaruratan perut. Operasi
laparatomi dilakukan bila terjadi masalah kesehatan yang berat pada
area abdomen, misalnya trauma abdomen. Bila klien mengeluh nyeri
hebat dan gejala-gejala lain dari masalah internal yang serius dan
kemungkinan penyebabnya tidak terlihat seperti usus buntu, tukak
peptik yang berlubang, atau kondisi ginekologi maka dilakukan
operasi untuk menemukan dan mengoreksinya sebelum terjadi
keparahan lebih.

2. Laparoskopi

Teknologi laparoskopi ini bisa digunakan untuk melakukan


pengobatan dan juga mengetahui penyakit yang belum diketahui
diagnosanya dengan jelas. Keuntungan laparoskopi adalah sebagai
berikut.

a. Pada laparoskopi, penglihatan diperbesar 20 kali, memudahkan


dokter dalam pembedahan
b. Secara estetika bekas luka berbeda dibanding dengan luka operasi
pasca bedah konvensional
c. Rasa nyeri setelah pembedahan minimal sehingga penggunaan
obat-obatan dapat diminimalkan, masa pulih setelah pembedahan
lebih cepat sehingga klien dapat beraktivitas normal lebih cepat
C. Setelah Operasi
1. Observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan
di dalam, hipertermia, syok atau gangguan pernafasan
2. Sehari pasca operasi, posisikan pasien semi fowler, posisi ini dapat
mengurangi tegangan pada luka insisi sehingga membantu
mengurangi rasa nyeri
3. Sehari pasca operasi, pasien dianjurkan untuk duduk tegak ditempat
tidur selama 2 x 30 menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri tegak
dan duduk di luar kamar
4. Pasien yang mengalami dehidrasi sebelum pembedahan, diberikan
cairan melalui intravena. Cairan peroral biasanya diberikan bila
pasien dapat mentoleransi
5. Dua hari pasca operasi, diberikan makanan saring dan pada hari
berikutnya dapat diberikan makanan lunak
X. PROGNOSIS

Kebanyakan pasien setelah operasi apendektomi sembuh spontan


tanpa penyulit, namun komplikasi dapat terjadi apabila pengobatan tertunda
atau telah terjadi peritonitis. Cepat dan lambatnya penyembuhan setelah
operasi usus buntu tergantung dari usia pasien, kondisi, keadaan umum
pasien, penyakit penyerta misalnya diabetes mellitus, komplikasi dan
keadaan lainnya yang biasanya sembuh antara 10 – 28 hari.

XI. KOMPLIKASI

Komplikasi pada apendisitis berupa apendisitis infiltrat, apendisitis


abses, perforasi, peritonitis, syok septik, mesenterial pyemia dengan abses
hepar, gangguan peristaltik, dan ileus.

Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat


berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insidensi lebih tinggi pada anak
dan lansia.
BAB III

KESIMPULAN

Apendisitis adalah radang pada usus buntu atau dalam bahasa latinnya apendiks
vermiformis, yaitu suatu organ yang berbentuk memanjang dengan panjang 6 – 9 cm
dengan pangkal terletak pada bagian pangkal usus besar bernama caecum yang terletak
pada perut kanan bawah. Apendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi
minggu ke-8 yaitu bagian ujung dari protuberans caecum. Persarafan parasimpatis
berasal dari cabang n. Vagus dan persarafan simpatis berasal dari n. Torakalis X.
Pendarahan apendiks berasal dari a. Apendikularis yang merupakan arteri tanpa
kolateral atau end arteri. Bila terjadi penyumbatan pada arteri tersebut, makan apendiks
akan mengalami gangrene.

Faktor predisposisi utama terjadinya apendisitis akut adalah obstruksi lumen


apendiks vermiformis. Penyebab lainnya adalah hipertrofi jaringan limfoid, sisa barium
dari pemeriksaan rontgen, diet rendah serat, dan cacing usus termasuk ascaris, erosi
mukosa apendiks vermiformis akibat parasit E. histolytica. Apendisitis lebih banyak
terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan, serta ditemukan pada semua umur.

Apendisitis dapat didiagnosis dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik,


dan pemeriksaan penunjang serta menggunakan Alvarado Score diikuti dengan
interpretasi dari skor tersebut. Penatalaksanaan apendisitis dibagi menjadi tiga yaitu
sebelum operasi, saat operasi dengan melakukan apendektomi yang dibagi menjadi dua
cara (laparatomi atau laparoskopi), dan setelah operasi. Cepat dan lambatnya
penyembuhan setelah operasi usus buntu tergantung dari usia pasien, kondisi, keadaan
umum pasien, penyakit penyerta misalnya diabetes mellitus, komplikasi dan keadaan
lainnya. Komplikasi pada apendisitis berupa apendisitis infiltrat, apendisitis abses,
perforasi, peritonitis, syok septik, mesenterial pyemia dengan abses hepar, gangguan
peristaltik, dan ileus.
DAFTAR PUSTAKA

Rahmawati, Luthfiana. (2018). Penerapan Teknik Relaksasi Nafas Dalam pada Pasien
Post Operasi Apendiktomi dengan Gangguan Pemenuhan Kebutuhan Rasa
Aman Nyaman di RSUD Sleman [Karya Tulis Ilmiah]. Prodi D III Keperawatan
Jurusan Keperawatan. Yogyakarta: Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan.
Rubama, Sylvan dr. (2019). Laporan Kasus Appendicitis Akut [Laporan Kasus].
Program Internship Dokter Indonesia. Mataram: Rumah Sakit Islam Siti Hajar
Mataram.
Sindunata, Nyoman Aditya. (2016). Laporan Kasus Apendisitis Akut [Laporan Kasus].
Fakultas Kedokteran. Surabaya: Universitas Pelita Harapan.
Sjamsuhidrajat, Karmadihardja W. (2007). Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidrajat, Ed.
3. Jakarta: EGC.
Triyani, Ida. (2020). Studi Literatur: Pemberian Teknik Relaksasi Genggam Jari pada
Pasien Post Operasi Apendiktomi dengan Masalah Keperawatan Nyeri [Karya
Tulis Ilmiah]. Fakultas Ilmu Kesehatan. Ponorogo: Universitas Muhammadiyah
Ponorogo.
Wim de Jong. (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah, Ed. 2. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai