Anda di halaman 1dari 24

Presentasi Kasus Bedah Anak

SEORANG ANAK LAKI-LAKI 10 TAHUN DENGAN CORPUS ALIENUM


INTRAABDOMEN (PELURU) POST ILEOSTOMY

Disusun Oleh:
Yurike Rizkhika G99161113

Periode: 24 Agustus 2017 – 26 Agustus 2017

Pembimbing
Nunik Agustriani, dr., Sp.B, Sp.BA

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2017
BAB I
STATUS PASIEN

A. ANAMNESIS
I. Identitas Pasien
Nama : An PTAH
Umur : 10 tahun
Jenis kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Alamat : Klego, Boyolali
Tanggal Masuk : 23 Agustus 2017
No. RM : 01388499

II. Keluhan Utama


Perut kembung setelah operasi 7 hari yang lalu.

III. Riwayat Penyakit Sekarang


7 hari sebelum masuk rumah sakit, perut pasien terkena tembakan senapan
angin setelah sebelumnya bercanda dengan tantenya, posisi senapan menempel di
perut ketika tidak sengaja tertembak oleh tantenya. Pasien dibawa ke RSUD
Purworejo, dipasang infus dan dirujuk ke RS Kustati. Dilakukan operasi oleh
dokter bedah umum. Durante operasi, tampak peluru dekat dengan pembuluh
darah aorta, langsung ditutup kemudian ± 2 jam terakhir pasien mengeluhkan
perutnya mulai kembung. Oleh keluarga pasien diminta untuk dirujuk ke RSDM.

IV. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat operasi : (+) 25 April 2017 di RS Kustati
(+) 2 Mei 2017 ileostomy di RSDM
Riwayat trauma : disangkal
Riwayat mondok : (+) 25 April 2017 di RS Kustati selama 7 hari
(+) 2 Mei 2017 di RSDM selama ± 1 bulan
Riwayat alergi : disangkal

2
Riwayat darah sukar membeku : disangkal

V. Riwayat Keluarga
Riwayat keluhan yang sama : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes melitus : disangkal
Riwayat alergi : disangkal

VI. Riwayat Kelahiran


Pasien lahir dari ibu berusia 25 tahun, P3A0, lahir dengan per vaginam dengan usia
kehamilan 38 minggu. Bayi menangis kuat (+), nafas spontan (+), ketuban jernih,
tidak berbau, berat badan lahir 3500 gram.

VII. Riwayat Kehamilan


Riwayat Ibu ANC : rutin di bidan setempat
Riwayat Ibu sakit saat hamil : disangkal
Riwayat konsumsi jamu saat hamil : disangkal

VIII. Riwayat Imunisasi


Pasien mendapatkan imunisasi lengkap.

B. PEMERIKSAAN FISIK
I. General Survey
TD: 130/90 mmHg HR: 94 x/m
RR: 24 x/m S: 36,6ºC
a. Keadaan Umum : Kesan sakit sedang, compos mentis.
b. Kulit : Kulit sawo matang, kering (-), ujud kelainan kulit (-),
hiperpigmentasi (-)
c. Kepala : mesocephal
d. Mata : konjungtiva pucat (+/+), sclera ikterik (-/-), cekung(-/-)
e. Telinga : sekret (-/-), darah (-/-).
f. Hidung : bentuk simetris, napas cuping hidung (-), sekret (-), keluar

3
darah (-).
g. Mulut : mukosa basah (-), sianosis (-), lidah kotor (-), jejas (-).
h. Leher : pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi (-).
i. Thorak : normochest, retraksi (-), gerakan dinding dada simetris
j. Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat, teraba di SIC IV anterior dextra
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung I-II di SIC IV anterior dextra, intensitas normal,
regular, bising (-).
k. Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan kiri.
Palpasi : fremitus raba kanan sama dengan kiri
Perkusi : sonor/sonor.
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+) normal, suara tambahan (-/-).
l. Abdomen : lihat status lokalis
m. Urinaria : BAK darah (-), BAK nanah (-)
n. Ekstremitas: CRT < 2 detik
Akral dingin Oedema
- - - -
- - - -

II. Status Lokalis


Regio Abdomen
Inspeksi : perut distended (-), tampak luka bekas operasi (+) midline
melewati umbilicalis sepanjang ± 38 cm, tampak terpasang stoma
dress di regio lumbal dextra
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : ballotement (-), massa (-), nyeri tekan (-)

4
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium Darah (14 Agustus 2017)
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hematologi Rutin
Hemoglobin 10.5 g/dL 10.8 – 15.6
Hematokrit 32 % 33 – 45
Leukosit 10.9 ribu/µl 4.5 – 14.5
Trombosit 419 ribu/µl 150 – 450
Eritrosit 4.64 juta/µl 4.00 – 5.20
Golongan Darah B
Index Eritrosit
PT 12.7 detik 10.0 – 15.0
APTT 30.2 detik 20.0 - 40.0
INR 0.930 -
Kimia Klinik
Glukosa Darah Sewaktu 101 Mg/dl 60-100
Kreatinin 0.6 Mg/dl 0.3-0.7
Ureum 26 Mg/dl <48
Elektrolit
Natrium darah 134 mmol/L 132 – 145
Kalium darah 4.5 mmol/L 3.1 – 5.1
Chlorida darah 110 mmol/L 98 – 106
HEPATITIS
HbsAg Nonreactive Nonreactive

5
3. Colon Inloop (11 Agustus 2018)

Kesimpulan:
Pemeriksaan lopografi proksimal dan distal tak tampak kelainan

D. ASSESMENT
Corpus alienum intraabdomen (peluru) post ileostomy

E. PLANNING
Pro tutup stoma

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi Abdomen
Abdomen merupakan bagian tubuh yang terletak di antara toraks dan pelvis.
Rongga abdomen yang sebenarnya dipisahkan dari rongga toraks di sebelah atas oleh
diafragma dan dari rongga pelvis di sebelah bawah oleh suatu bidang miring yang disebut
pintu atas panggul. Dapat dikatakan bahwa pelvis termasuk bagian dari abdomen, dan
rongga abdomen meliputi juga rongga pelvis. Rongga abdomen meluas ke atas sampai
mencapai rongga toraks setinggi sela iga kelima. Jadi sebagian rongga abdomen terletak
atau dilindungi oleh dinding toraks. Sebagian dari hepar, gaster dan lien terterdapat di
dalamnya.

Rongga abdomen atau cavitas abdominis berisi sebagian besar organ sistem
digestivus, sebagian organ urinarium, sistem genitalia, lien, glandula suprarenalis, dan
plexus nervorum. Juga berisi peritoneum yang merupakan membrane serosa dari sistem
digestivus. Kadang-kadang ada organ sistem digestivus yang sebagian atau sementara
terletak di dalam rongga pelvis, misalnya ileum dan sebaliknya kadang-kadang organ
genitalia terdapat di dalam rongga abdomen, misalnya uterus yang membesar.

Untuk menentukan lokalisasi yang lebih teliti dari rasa nyeri, pembengkakan atau
letak suatu organ, maka abdomen dibagi menjadi sembilan region oleh dua bidang
horizontal yaitu bidang subcostalis dan bidang transtubercularis serta dua bidang vertikal
yang melalui linea midklavikularis kanan dan kiri.

Regio abdomen tersebut adalah:


Atas: hipokondrium kanan-epigastrium-hipokondrium kiri
Tengah: lateralis kanan-umbilikalis-lateralis kiri
Bawah: inguinal kanan-hipokondrium-inguinal kiri

7
Gambar 2.1. Topografi Abdomen

Proyeksi letak organ dalam abdomen3


Hipokondrium kanan Epigastrium Hipokondrium kiri
 Lobus kanan dari  Pilorus gaster  Lambung
hepar  Duodenum  Limpa
 Kantung empedu  Pankreas  Bagian kaudal dari
 Sebagian dari  Sebagian dari hepar pankreas
duodenum  Fleksura lienalis dari
 Fleksura hepatik dari kolon
kolon  Kutub atas dari ginjal
 Sebagian dari ginjal kiri
kanan  Kelenjar suprarenal
 Kelenjar suprarenal kiri
kanan
Lumbal kanan Umbilikal Lumbal kiri
 Kolon asendens  Omentum  Kolon desendens
 Bagian bawah dari  Mesenterium  Bagian bawah dari
ginjal kanan  Bagian bawah dari ginjal kiri
 Sebagian daru duodenum  Sebagian jejunum dan
duodenum dan  Jejunum dan ileum ileum
jejunum
Inguinal kanan Hipogastrium Inguinal kiri

8
 Sekum  Ileum  Kolon sigmoid
 Apendiks  Kandung kemih  Ureter kiri
 Bagian akhir dari  Uterus (pada  Ovarium kiri
ileum kehamilan)
 Ureter kanan

2.2 Trauma Abdomen


2.2.1 Pendahuluan
Trauma abdomen didefinisikan sebagai cedera yang terjadi anterior dari garis
puting ke lipatan inguinal dan posterior dari ujung skapula ke lipatan gluteal. Gerakan
pernapasan diafragma memperlihatkan isi intraabdomen yang cedera, pada pandangan
pertama, tampaknya terisolasi ke dada.
Cedera perut traumatik diklasifikasikan lebih lanjut sebagai intraperitoneal atau
retroperitoneal. Cedera intraperitoneal lebih terarah untuk didiagnosis dengan
pemeriksaan fisik. Dalam cedera ini, baik sistem nyeri parietal dan visceral terpengaruh.
Reseptor nyeri parietal menyebabkan nyeri lokal, seperti cedera hati atau limpa. Reseptor
nyeri viseral klasik menyebabkan nyeri tumpul yang tidak terlokalisasi umumnya terkait
dengan hemoperitoneum atau cedera viskus berongga. Cedera intraperitoneal dapat hadir
sebagai nyeri alih ke bahu, skapula, panggul, toraks, dan punggung. Cedera
retroperitoneal sering kurang bisa ditemukan dengan diagnosis fisik. Sejumlah besar
darah dapat terakumulasi dalam ruang retroperitoneal tanpa menyebabkan temuan fisik
yang jelas.

9
Ekstensi Abdomen.

Zona retroperitoneum. Zona 1: sentral, zona 2: lateral, zona 3: pelvis.

Cedera simultan dengan struktur intraperitoneal dan retroperitoneal yang tidak


biasa dan dapat mempersulit pemeriksaan fisik. Intoksikan, seperti alkohol, dan depresan,
stimulan, dan halusinogen sistem saraf pusat lainnya dapat membuat pemeriksaan klinis
tidak reliabel. Kehadiran masalah medis yang mendasari dan penyakit kejiwaan lebih
lanjut dapat membingungkan evaluasi trauma.
Abdomen sering cedera baik setelah trauma tumpul dan tajam. Sekitar 25% dari
semua korban trauma akan membutuhkan eksplorasi abdomen. Evaluasi klinis abdomen

10
dengan cara pemeriksaan fisik tidak memadai untuk mengidentifikasi cedera intra-
abdomen karena tingginya jumlah pasien dengan perubahan status mental sekunder
terhadap trauma kepala, alkohol, atau obat-obatan, dan karena tidak dapat diaksesnya
pelvis, abdomen bagian atas, dan organ retroperitoneal untuk palpasi. Untuk alasan ini,
beberapa modalitas diagnostik telah berevolusi selama 3 dekade terakhir, termasuk
diagnostic peritoneal lavage (DPL), ultrasonography (USG), computed tomography
(CT), dan laparoskopi, yang semuanya memiliki kelebihan, kekurangan, dan
keterbatasan.
Abdomen adalah kotak hitam diagnostik. Untungnya, dengan beberapa
pengecualian tidak perlu untuk menentukan organ intra-abdomen yang cedera, hanya
apakah laparotomi eksplorasi diperlukan. Pemeriksaan fisik abdomen tidak dapat
diandalkan dalam membuat penentuan ini. Namun, sebagian besar ahli setuju bahwa
kehadiran rigiditas abdomen atau distensi abdominal pada pasien dengan trauma
abdomen merupakan indikasi untuk bedah eksplorasi segera.
Perkembangan teknologi, pengalaman, dan invasi yang lebih modern telah
menjadi penentu yang paling penting dari penggunaan metode diagnostik untuk trauma
abdomen. Di pusat-pusat trauma modern di abad ke-21, teknologi non-invasif lebih baik
membantu penggunaan USG dan CT dalam evaluasi korban trauma.

2.2.2 Jenis Trauma Abdomen


1) Trauma Tumpul
Trauma tumpul paling sering terjadi pada kasus kecelakaan kendaraan bermotor.
Cedera terjadi sekunder terhadap geser, robek, atau kekuatan dampak langsung.
Kehadiran tanda sabuk pengaman merupakan indikasi cedera intra-abdomen dalam
setidaknya 25% kasus. Memastikan apakah hanya sabuk pangkuan digunakan, terutama
pada anak-anak. Lap-satunya hambatan pada anak-anak mempengaruhi mereka untuk
cedera intra-abdomen seperti perforasi usus dan robekan mesenterika. Evaluasi tulang
belakang lumbal direkomendasikan karena cedera ini mungkin terkait dengan fraktur
transversal tulang belakang lumbal (Chance fracture).

11
2) Trauma Tajam
Setiap luka di bawah garis yang ditarik melintang antara puting harus diperlakukan
sebagai memiliki potensi untuk lintasan intra-abdominal. Seperti disebutkan sebelumnya,
cairan intravena harus digunakan dengan bijaksana dalam manajemen pra-rumah sakit.
Sebelum tiba di Departemen Kegawatdaruratan, pasien dapat diberikan cairan yang
cukup untuk mempertahankan tekanan darah sistolik 90 mmHg, bukan resusitasi
multiliter. Jika luka tembus hadir, dimulai terapi antibiotik dan mengelola booster tetanus
awal pengobatan.
a) Luka tembak
Diamanatkan bahwa semua luka tembak dengan lintasan intra-abdomen diperlukan
laparotomi eksplorasi. Beberapa penulis telah menggambarkan pendekatan yang kurang
agresif untuk subset yang dipilih dengan cermat pasien dengan trauma tembus ke perut
termasuk beberapa luka tembak kecepatan rendah. Manajemen nonoperative luka tembak
yang menembus peritoneum yang kontroversial. Pasien dengan hipotensi meskipun diberi
resusitasi kristaloid akan memerlukan laparotomi segera eksplorasi, antibiotik untuk
menutupi flora pada abdomen, dan booster tetanus. Untuk pasien hemodinamik stabil,
invasi intraperitoneal telah dikesampingkan, manajemen konservatif luka yang dangkal
dan tangensial ke abdomen dapat digunakan.
b) Luka Tusukan
Pasien dengan luka tusukan memerlukan resusitasi serta booster tetanus dan antibiotik
jika kemungkinan keterlibatan intraperitoneal diduga. DPL, CT scan, dan laparoskopi
dapat digunakan. Jika kemungkinan keterlibatan peritoneal telah dikesampingkan, pasien
dapat dengan aman diarahkan kepada instruksi perawatan luka lokal. Jika peritoneum
telah terkena, diperlukan laparotomi eksplorasi. Serupa dengan pengelolaan luka tembak
kecepatan rendah seperti yang disebutkan di atas, beberapa ahli bedah telah mulai
mengamati subset yang dipilih dengan cermat pada pasien dengan tidak ada tanda cedera
intraperitoneal pada pemeriksaan fisik atau diidentifikasi oleh modalitas pencitraan
seperti CT scan.

12
2.3 Trauma Tajam
2.3.1 Definisi Trauma Tajam
Trauma tajam adalah hasil dari senjata api tinggi atau kecepatan rendah, cedera
tusuk, dan penetrasi benda asing ke dalam tubuh.

2.3.2 Insidensi Trauma tajam pada abdomen


Dua pertiga dari luka tusukan menembus peritoneum, dengan 50-75% dari pasien
ini memiliki cedera pembuluh darah atau organ solid yang signifikan. Luka tusuk
tersering mengenai hepar (40%), usus halus (30%), diafragma (20%) dan kolon (20%).
Luka tusukan lebih sering di sebelah kiri (penyerang dominan kanan) dan di kuadran atas.
Dalam 30% dari luka tusuk perut, ada 30% diiringi penetrasi rongga toraks. Cedera
diafragma menjadi perhatian khusus dalam kasus ini. Kematian telah dilaporkan pada 5%
dari cedera tusukan serius.
Senjata api menyebabkan insiden tinggi (90%) pada peritoneum / cedera organ
solid yang serius, dengan tingkat kematian 10-30%. Luka tembak paling sering mengenai
usus halus (50%), kolon (40%), hepar (30%), dan pembuluh darah abdominal (25%).

Insidensi cedera organ pada laparotomi berdasarkan mekanisme cedera di Presley Regional Trauma
Center, 1990–1993. 2

Kerusakan akibat dari cedera senjata api terutama disebabkan oleh dampak
kecepatan proyektil. Senjata dengan kecepatan moncong lebih besar dari 2000 ft / detik
dianggap berkecepatan tinggi , menyebabkan luka parah, dan memiliki angka kematian
50%. Kebanyakan pistol memiliki kecepatan moncong kurang dari 1000 ft / detik dan
berkecepatan rendah. Dua pertiga dari cedera senjata api kecepatan rendah memiliki
peluru yang tersisa dalam tubuh. Organ yang terluka oleh dampak langsung dari proyektil

13
dan oleh efek concussive menghamburkan energi kinetik. Proyektil primer bisa
menyerang tulang, memproduksi proyektil sekunder, dan menimbulkan kerusakan
jaringan tanpa penetrasi organ langsung. Jalur luka proyektil bukan merupakan indikator
yang dapat diandalkan untuk menentukan cedera organ.
Manajemen trauma darurat berfokus pada golden hour, 60 menit pertama setelah
cedera apapun, ketika dampak terbesar pada morbiditas dan mortalitas dapat diwujudkan.
Hal ini terutama berlaku dalam trauma abdomen. Kematian dini seringkali merupakan
hasil dari perdarahan yang tidak terkontrol dari organ padat atau cedera pembuluh darah,
sehingga stabilisasi dini, diagnosis, dan intervensi operatif dapat menyelamatkan nyawa.
Penyebab kematian akhir termasuk sepsis, perdarahan yang belum diakui, cedera
okultisme (misalnya, ruptur diafragma dengan herniasi isi perut), cedera organ berongga
(usus, kandung empedu, dan kandung kemih), dan pankreas atau cedera ginjal.

2.3.3 Mekanisme Trauma Tajam


Luka tusuk ataupun luka tembak (kecepatan rendah) akan mengakibatkan
kerusakan jaringan karena laserasi ataupun terpotong. Luka tembak dengan kecepatan
tinggi akan menyebabkan transfer energi kinetik yang lebih besar terhadap organ visera,
dengan adanya efek tambahan berupa temporary cavitation, dan bisa pecah menjadi
fragmen yang mengakibatkan kerusakan lainnya. Kerusakan dapat berupa perdarahan bila
mengenai pembuluh darah atau organ yang padat. Bila mengenai organ yang berongga,
isinya akan keluar ke dalam rongga perut dan menimbulkan iritasi pada peritoneum.
Luka tembak mengakibatkan kerusakan yang lebih besar, bergantung jauhnya
perjalanaan peluru, besar energi kinetik maupun kemungkinan pantulan peluru oleh organ
tulang, maupun efek pecahan tulangnya. Organ padat akan mengalami kerusakan yang
lebih luas akibat energi yang ditimbulkan oleh peluru tipe high velocity.

2.3.4 Pemeriksaan fisik


Pemeriksaan fisik diarahkan untuk mencari bagian tubuh yang terkena trauma,
kemudian menetapkan derajat cedera berdasarkan hasil analisis riwayat trauma.
Pemeriksaan fisik abdomen harus dilakukan dengan teliti dan sistimatis meliputi inspeksi,
auskultasi, perkusi, dan palpasi. Temuan-temuan positif ataupun negatif didokumentasi
dengan baik pada status.

14
Syok dan penurunan kesadaran mungkin akan memberikan kesulitan pada
pemeriksaan perut. Trauma penyerta kadang-kadang dapat menghilangkan gejala-gejala
perut.
A. Inspeksi
Umumnya pasien harus diperiksa tanpa pakaian. Adanya jejas pada dinding perut
dapat menolong ke arah kemungkinan adanya trauma abdomen. Abdomen bagian
depan dan belakang, dada bagian bawah dan perineum diteliti apakah mengalami
ekskoriasi ataupun memar karena alat pengaman, adakah laserasi, liang tusukan,
benda asing yang menancap, omentum ataupun bagian usus yang keluar, dan
status kehamilan. Harus dilakukan log-roll agar pemeriksaan lengkap.
B. Auskultasi
Di ruang IGD yang ramai sulit untuk mendengarkan bising usus, yang penting
adalah ada atau tidaknya bising usus tersebut. Darah bebas di retroperitoneum
ataupun gastrointestinal dapat mengakibatkan ileus, yang mengakibatkan
hilangnya bising usus. Pada luka tembak atau luka tusuk dengan isi perut yang
keluar, tentunya tidak perlu diusahakan untuk memperoleh tanda-tanda
rangsangan peritoneum atau hilangnya bising usus. Pada keaadan ini laparotomi
eksplorasi harus segera dilakukan. Pada trauma tumpul perut, pemeriksaan fisik
sangat menentukan untuk tindakan selanjutnya. Cedera struktur lain yang
berdekatan seperti iga, vertebra, maupun pelvis bisa juga mengakibatkan ileus
walaupun tidak ada cedera intraabdominal. Karena itu hilangnya bising usus tidak
diagnostik untuk trauma intraabdominal.
C. Perkusi
Manuver ini mengakibatkan pergerakan peritoneum dan mencetuskan tanda
peritonitis. Dengan perkusi bisa kita ketahui adanya nada timpani karena dilatasi
lambung akut di kwadran kiri atas ataupun adanya perkusi redup bila ada
hemoperitoneum. Adanya darah dalam rongga perut dapat ditentukan dengan
shifting dullness, sedangkan udara bebas ditentukan dengan pekak hati yang
beranjak atau menghilang.
D. Palpasi
Adanya kekakuan dinding perut yang volunter (disengaja oleh pasien)
mengakibatkan pemeriksaan abdomen ini menjadi kurang bermakna. Sebaliknya,

15
kekakuan perut yang involunter merupakan tanda yang bermakna untuk rangsang
peritoneal. Tujuan palpasi adalah untuk mendapatkan adanya nyeri lepas yang
kadang-kadang dalam. Nyeri lepas sesudah tangan yang menekan kita lepaskan
dengan cepat menunjukkan peritonitis, yang bisanya oleh kontaminasi isi usus,
maupun hemoperitoneum tahap awal.
E. Evaluasi luka tusuk
Sebagian besar kasus luka tembak ditangani dengan laparotomi eksplorasi karena
insiden cedera intraperitoneal bisa mencapai 95%. Luka tembak yang tangensial
sering tidak betul-betul tangensial, dan trauma akibat ledakan bisa mengakibatkan
cedera intraperitoneal walaupun tanpa adanya luka masuk. Luka tusukan pisau
biasanya ditangani lebih selektif, akan tetapi 30% kasus mengalami cedera
intraperitoneal. Semua kasus luka tembak ataupun luka tusuk dengan
hemodinamik yang tidak stabil harus di laparotomi segera.
Bila ada kecurigaan bahwa luka tusuk yang terjadi sifatnya superfisial dan
nampaknya tidak menembus lapisan otot dinding abdomen, biasanya ahli bedah
yang berpengalaman akan mencoba untuk melakukan eksplorasi luka terlebih
dahulu untuk menentukan kedalamannya. Prosedur ini tidak dilakukan untuk luka
sejenis diatas iga karena kemungkinan pneumotoraks yang terjadi, dan juga untuk
pasien dengan tanda peritonitis ataupun hipotensi. Akan tetapi, karena 25-33%
luka tusuk di abdomen anterior tidak menembus peritoneum, laparotomi pada
pasien seperti ini menjadi kurang produktif. Dengan kondisi steril, anestesi lokal
disuntikkan dan jalur luka diikuti sampai ditemukan ujungnya. Bila terbukti
peritoneum tembus, pasien mengaiami risiko lebih besar untuk cedera
intraabdominal, dan banyak ahli bedah menganggap ini sudah indikasi untuk
melaksanakan laparotomi. Setiap pasien yang sulit kita eksplorasi secara lokal
karena gemuk, tidak kooperatif maupun karena perdarahan jaringan lunak yang
mengaburkan penilaian kita harus dirawat untuk evaluasi ulang ataupun kalau
perlu untuk laparotomi.

2.3.5 Penanganan Awal Trauma Abdomen


Primary Survey
A. Airway

16
Airway harus dijaga dengan baik pada semua penderita trauma abdomen.
Membuka jalan napas menggunakan teknik head tilt, chin lift atau jaw thrust,
periksa adakah benda asing yang dapat mengakibatkan tertutupnya jalan napas.
Bila penderita tidak sadar dan tidak ada refleks bertahak (gag reflex) dapat dipakai
oropharyngeal tube. Bila ada keraguan mengenai kemampuan menjaga airway,
lebih baik memasang airway definitif. Jika ada disertai dengan cedera kepala,
leher atau dada maka tulang leher (cervical spine) harus dilindungi dengan
imobilisasi in-line.
B. Breathing
Kontrol jalan nafas pada penderita trauma abdomen yang airway terganggu karena
faktor mekanik, ada gangguan ventilasi atau ada gangguan kesadaran, dicapai
dengan intubasi endotrakeal. Setiap penderita trauma diberikan oksigen. Bila
tanpa intubasi, sebaiknya diberikan dengan face mask. Pemakaian pulse oximeter
baik untuk menilai saturasi O2 yang adekuat.
C. Circulation
Resusitasi pasien dengan trauma abdomen penetrasi dimulai segera setelah tiba.
Cairan harus diberikan dengan cepat. NaCl atau Ringer Laktat dapat digunakan
untuk resusitasi kristaloid. Rute akses intravena adalah penting, pasang kateter
intravena perifer berukuran besar (minimal 2) di ekstremitas atas untuk resusitasi
cairan. Pasien yang datang dengan hipotensi sudah berada di kelas III syok (30-
40% volume darah yang hilang) dan harus menerima produk darah sesegera
mungkin, hal yang sama berlaku pada pasien dengan perdarahan yang signifikan
jelas. Upaya yang harus dilakukan untuk mencegah hipotermia, termasuk
menggunakan selimut hangat dan cairan prewarmed.
D. Disability
Dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat. Yang dinilai disini
adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil.
E. Exposure
Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya dengan cara menggunting untuk
memeriksa dan evaluasi penderita. Paparan lengkap dan visualisasi head-to-toe
pasien adalah wajib pada pasien dengan trauma abdomen penetrasi. Ini termasuk
bagian bokong, bagian posterior dari kaki, kulit kepala, bagian belakang leher,

17
dan perineum. Setelah pakaian dibuka penting penderita diselimuti agar penderita
tidak kedinginan.

Secondary Survey
Survei Sekunder hanya dilakukan bila ABC pasien sudah stabil. Bila sewaktu survei
sekunder kondisi pasien memburuk maka kita harus kembali mengulangi PRIMARY
SURVEY. Semua prosedur yang dilakukan harus dicatat dengan baik. Pemeriksaan dari
kepala sampai ke jari kaki (head-to-toe examination) dilakukan dengan perhatian utama:
1. Pemeriksaan kepala
• Kelainan kulit kepala dan bola mata
• Telinga bagian luar dan membrana timpani
• Cedera jaringan lunak periorbital
2. Pemeriksaan leher
• Luka tembus leher
• Emfisema subkutan
• Deviasi trachea
• Vena leher yang mengembang
3. Pemeriksaan neurologis
• Penilaian fungsi otak dengan Glasgow Coma Scale (GCS)
• Penilaian fungsi medula spinalis dengan aktivitas motorik
• Penilaian rasa raba/sensasi dan reflex
4. Pemeriksaan dada
• Clavicula dan semua tulang iga
• Suara napas dan jantung
• Pemantauan ECG (bila tersedia)
5. Pemeriksaan rongga perut (abdomen)
• Luka tembus abdomen memerlukan eksplorasi bedah
• Pasanglah pipa nasogastrik pada pasien trauma tumpul abdomen kecuali bila ada
trauma wajah
• Periksa dubur (rectal toucher)
• Pasang kateter kandung seni jika tidak ada darah di meatus externus
6. Pelvis dan ekstremitas

18
• Cari adanya fraktur (pada kecurigaan fraktur pelvis jangan melakukan tes
gerakan apapun karena memperberat perdarahan)
• Cari denyut nadi-nadi perifer pada daerah trauma
• Cari luka, memar dan cedera lain
7. Pemeriksaan sinar-X (bila memungkinkan) :
• Foto atas daerah abdomen yang cedera dilakukan secara selektif.

Penatalaksanaan di Ruang Emergensi


1. Mulai prosedur resusitasi ABC (memperbaiki jalan napas, pernapasan dan sirkulasi).
2. Pertahankan pasien pada brankard; gerakan dapat menyebabkan fragmentasi bekuan
pada pembuluh darah besar dan menimbulkan hemoragi masif
3. Pastikan kepatenan dan kestabilan pernapasan
4. Gunting pakaian penderita dari luka.
5. Hitung jumlah luka dan tentukan lokasi luka masuk dan keluar.
6. Kontrol perdarahan dan pertahankan volume darah sampai pembedahan dilakukan.
7. Berikan kompresi pada luka dengan perdarahan eksternal dan lakukan bendungan pada
luka dada.
8. Pasang kateter IV berdiameter besar untuk penggantian cairan secara cepat dan
memperbaiki dinamika sirkulasi.
9. Perhatikan kejadian syok setelah respon awal terhadap terapi transfusi; ini sering
merupakan tanda adanya perdarahan internal.
10. Aspirasi lambung dengan memasang selang nasogastrik. Prosedur ini membantu
mendeteksi luka lambung, mengurangi kontaminasi terhadap rongga peritonium, dan
mencegah komplikasi paru karena aspirasi.
11. Pasang kateter urin untuk mendapatkan kepastian adanya hematuria dan pantau
jumlah urine perjam.
12. Tutupkan visera abdomen yang keluar dengan balutan steril, balutan dibasahi dengan
salin untuk mencegah kekeringan visera
13. Fleksikan lutut pasien; posisi ini mencegah protusi yang lanjut.
14. Tunda pemberian cairan oral untuk mencegah meningkatnya peristaltik dan
muntah.

19
15. Siapkan pasien untuk parasentesis atau lavase peritonium ketika terdapat
ketidakpastian mengenai perdarahan intraperitonium.
16. Siapkan pasien untuk sinografi untuk menentukan apakah terdapat penetrasi
peritonium pada kasus luka tusuk.
17. Berikan profilaksis tetanus sesuai ketentuan.
18. Berikan antibiotik spektrum luas untuk mencegah infeksi. Trauma dapat
menyebabkan infeksi akibat karena kerusakan barier mekanis, bakteri eksogen dari
lingkungan pada waktu cedera dan manuver diagnostik dan terapeutik (infeksi
nosokomial).
19. Siapkan pasien untuk pembedahan jika terdapat bukti adanya syok, kehilangan darah,
adanya udara bebas dibawah diafragma, eviserasi, atau hematuria.

2.3.6 Pemeriksaan Diagnostik


l. Foto thoraks
Untuk melihat adanya trauma pada thorax.

2. Pemeriksaan darah rutin


Pemeriksaan Hb diperlukan untuk base-line data bila terjadi perdarahan terus menerus.
Demikian pula dengan pemeriksaan hematokrit. Pemeriksaan leukosit yang melebihi
20.000/mm tanpa terdapatnya infeksi menunjukkan adanya perdarahan cukup banyak
kemungkinan rupture lienalis. Serum amilase yang meninggi menunjukkan
kemungkinan adanya trauma pankreas atau perforasi usus halus. Kenaikan transaminase
menunjukkan kemungkinan trauma pads hepar.

3. Plain abdomen foto tegak


Memperlihatkan udara bebas dalam rongga peritoneum, udara bebas retroperineal dekat
duodenum, corpus alineum dan perubahan gambaran usus

4. Pemeriksaan urine rutin


Menunjukkan adanya trauma pada saluran kemih bila dijumpai hematuri. Urine yang
jernih belum dapat menyingkirkan adanya trauma pada saluran urogenital.

20
5. IVP (Intravenous Pyelogram)
Dimintakan bila ada persangkaan trauma pada ginjal.

6. Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)


Dapat membantu menemukan adanya darah atau cairan usus dalam rongga
perut. Hasilnya dapat amat membantu. Tetapi DPL ini hanya alat diagnostik. Bila ada
keraguan, kerjakan laparatomi (gold standard).
Indikasi untuk melakukan DPL, sbb:
• Nyeri Abdomen yang tidak bisa diterangkan sebabnya
• Trauma pada bagian bawah dari dada
• Hipotensi, hematokrit turun tanpa alasan yang jelas
• Pasien cedera abdominal dengan gangguan kesadaran (obat, alkohol, cedera otak)
• Pasien cedera abdominal dan cedera medula spinalis (sumsum tulang belakang)
• Patah tulang pelvis
Kontra indikasi relatif melakukan DPL, sbb:
• Hamil
• Pernah operasi abdominal
• Operator tidak berpengalaman
• Bila hasilnya tidak akan merubah penata-laksanaan

7. Ultrasonografi dan CT Scan


Sebagai pemeriksaan tambahan pada penderita yang belum dioperasi dan disangsikan
adanya trauma pada hepar dan retroperitoneum.

Indikasi Laparatomi
1. Intervensi bedah segera bagi organ yang terkena.
2. Hemodinamik yang tidak stabil.
3. Adanya tanda peritoneal(peritonitis) pada pemeriksaan fisik.
4. Hipotensi pada luka tusuk tembus abdomen.
5. Luka tembak menyeberang rongga peritoneum.
6. Eviscerasi omentum atau usus.

21
7. Pendarahan dari gaster, rectum atau traktus urogenitalis pada luka tusuk.

2.3.7 Follow up/ observasi pasien


Setelah laparatomy, pasien diberikan terapi non operatif dengan resusitasi cairan
dan transfusi darah jika perlu. Pasien harus dilakukan pemeriksaan fisik serial dan jika
adanya tanda peritoneal, pasien diindikasikan untuk dilakukan laparatomi.
Biasanya pasien diobservasi 12 – 48 jam sebelum dibenarkan pulang. Pasien
dibenarkan pulang jika:
 Luka yang dialami bukan luka tembus dan;
 Keadaan umum/ hemodinamik yang stabil setelah 12 – 48 jam.
 Tidak ada indikasi untuk admisi.
 Berespon baik terhadap terapi.

2.3.8 Prognosis
Kadar kematian dari trauma tajam abdomen tergantung pada cedera yang dialami.
Pasien yang mengalami cedera pada dinding facia abdominal anterior tanpa cedera
peritoneal mempunyai kadar mortaliti 0% dan kadar morbidity yang minimal dan pasien
dengan cedera kompleks multiorgan dengan hipotensi, base deficit kurang dari -15 mEq/L
HCO3, temperatur kurang dari 35ᵒC dan adanya koagulopati dapat meningkatkan kadar
mortality.
Faktor–faktor yang mempengaruhi mortality pada trauma tajam abdominal
adalah:
 Jenis kelamin perempuan
 Interval yang lama antara cedera dan operation
 Adanya syok
 Adanya cedera kranial

22
Daftar Pustaka

American College of Surgeons. Advanced Trauma Life Support Untuk Dokter Edisi 7.
Jakarta: IKABI, 2004, Bab 5; Trauma Abdomen.
Brunicardi, FC, 2007. Schwartz’s Principles of Surgery. 8th edition. USA: The McGraw-
Hill Companies, Inc.

23
Offner, P., 2013. Penetrating Abdominal Trauma Treatment & Management. Available
from: http://emedicine.medscape.com/article/2036859-treatment [Accessed 24
August 2017].
Stone, CK, 2003. Current Diagnosis & Treatment Emergency Medicine. 6th edition.
USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Wibowo, D.S., dan Paryana, W., 2007. Dinding Abdomen. Anatomi Tubuh Manusia.
Graha Ilmu. Yogyakarta: 273-279.

24

Anda mungkin juga menyukai