Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN KASUS

STASE ILMU BEDAH


“Appendisitis Kronis”

Pembimbing : dr. H. Lili K. Djoewaeny, Sp.B


Disusun oleh :
Irawati
2011730142

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2016

1
BAB I

STATUS PASIEN

IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. V
Umur : 36 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : kp. Bojongkopo Ds. Sukabungah, Cianjur
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tgl MRS : 27 – 12 – 2015
No RM : 7227XX

ANAMNESA

 Keluhan Utama
Nyeri perut kanan bawah

 Riwayat Penyakit Sekarang


Ny. V datang ke rumah sakit dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak ± 3
minggu SMRS. Nyeri seperti ditusuk-tusuk, terus menerus dan dirasakan memberat 2 hari
SMRS. Pasien juga mengeluhkan pusing, lemas dan tidak nafsu makan.
Keluhan demam, mual, muntah, dan sesak disangkal pada pasien. BAB dan BAK
pada pasien masih normal seperti biasa. Riwayat haid pasien mengatakan haid rutin seperti
biasanya.

 Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya. Riwayat maag tidak
ada.

 Riwayat Pengobatan
Pasien tidak mempunyai riwayat alergi obat.

 Riwayat Psikososial
Pasien sebelumnya kegiatan sehari hari seperti biasanya dan juga makan teratur.

2
PEMERIKSAAN FISIK

 Keadaan Umum
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : composmentis

 Vital Sign
TD : 100/70 mmHg
HR : 84x/menit
RR : 20x/menit
Suhu : 37.00o C

 Status Generalis
Kepala : normochepal
Mata : - Diameter Pupil :3 mm/3 mm
 Refleks pupil : +/+, isokor
 Konjungtiva : anemis +/+
 Sklera : ikterik -/-
THT : dalam batas normal
Leher : pembesaran KGB (-), pembesaran thyroid (-)

Thorax :
Paru-paru
 Inspeksi : normochest, pergerakan dada simetris, tidak ada luka bekas operasi
 Palpasi : tidak ada pergerakan dada yang tertinggal, nyeri tekan (-), vokal fremitus
sama simetris dekstra sinistra.
 Perkusi : sonor di seluruh lapangan paru
 Auskultasi : vesikular (+/+) normal, Rh (-/-), Wh (-/-), stridor (-/-)

Jantung
 BJ I dan II murni regular
 Murmur (-), gallops (-)

Abdomen : (status lokalis)


Ekstremitas :akral hangat, RCT < 2 detik, edema (-/-), sianosis (-/-)

 Status Lokalis
a/r abdomen

3
 inspeksi : abdomen datar, tidak cembung, asites (-), luka
bekas jahitan (-)
 auskultasi : bising usus (+) menurun
 palpasi : supel, nyeri tekan right lower quadran abdomen
(+), nyeri lepas (+), psoas sign (+), obturator sign (+),
pembesaran hepar (-)
 Perkusi : timpani seluruh kuadran abdomen

RESUME
Ny. V 36 tahun MRS dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak sejak ± 3 minggu
SMRS. Nyeri seperti ditusuk-tusuk, terus menerus dan dirasakan memberat 2 hari SMRS.
Pasien juga mengeluhkan pusing, lemas dan tidak nafsu makan. BAB dan BAK pada pasien
masih normal seperti biasa. Riwayat haid pasien mengatakan haid rutin seperti biasanya.
Pemeriksaan fisik didapatkan TD 100/70 mmHg, HR 84x/menit, RR 20x/menit, suhu
37.0o C. Status generalis konjungtiva tampak anemis (+/+). Status lokalis a/r abdomen
auskultasi bising usus (+) menurun. Palpasi abdomen supel, nyeri tekan right lower quadran
abdomen (+), nyeri lepas (+), psoas sign (+), obturator sign (+).

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil Laboratorium (27 Desember 2015)

HB 11.5

Hasil USG Abdomen Hematokrit 27.7 Lower


Eritrosit 4.02

Leukosit 25.7

Trombosit 474 ribu

MCV 69.0

MCHC 41.5

Protein urine 25/+1 (-)

Keton 100/+3 (-)

Bilirubin 1/+1 (-)


10/+1 (-)
Eritrosit
3-4 LPB (0-1)

4
- Menyokong appendisitis akut dengan kemungkinan perforasi di tandai di daerah mc
burney adanya pelebaran lumen apendix, gambaran target sign, tampak koleksi cairan
- Ginjal Bilateral : normal (besar, bentuk, posisi, parenkim, echocomplex, tidak tampak
batu, sistem pelvocalices, ureter proximal)
- Vesica urinaria normal (bentuk, posisi, dinding, tidak tampak batu/ massa)

DIAGNOSIS DIFFERENTIAL
 Appendisitis akut
 Gastroenteritis
 Typhoid fever
 Urinary Tract Infection (UTI)

Diagnosa Kerja
Appendisitis Kronis

Penatalaksanaan
 Infus NaCl 0,9% 20 tpm
 Cefotaxime 2 x 1 gr
Metronidazole 3 x 500 mg
 Terapi bedah : Appendektomy

5
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

APPENDISITIS

ANATOMI

Embriologi appendiks berasal dari mid gut.appendiks pertama muncul pada minggu ke-
8 kehamilan sebagai out pouching dari sekum dan secara bertahap berputar ke lokasi yang
lebih medial sebagai berputaran usus dan sekum, appendiks menjadi tetap dikuadran kanan
bawah. Appendiks berbentuk seperti tabung, panjang 3 – 15 cm, diameter 0,5-1 cm dan
berpangkal di sekum, pangkal lumen sempit, distal lebar. Struktur apendiks mirip dengan
usus mempunyai 4 lapisan yaitu mukosa, submukosa, muskularis eksterna/propria (otot
longitudinal dan sirkuler) dan serosa.Lapisan submukosa terdiri dari jaringan ikat kendor dan
jaringan elastic membentuk jaringan saraf, pembuluh darah dan lymphe, antara mukosa dan
submukosa terdapat lymphonodes.Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang
mengikuti a.mesenterika superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal
dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada apendisitis bermula disekitar
umbilikus.Pendarahan apendiks berasal dari a. apendikularis yang merupakan arteri tanpa
kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi, apendiks akan
mengalami gangrene.

7
FISIOLOGI
Selama bertahun-tahun, appendiks dipandang sebagai organ sisa tanpa fungsi yang
tidak diketahui. Sekarang telah diakui bahwa appendiks merupakan organ imunologi yang
secara aktif berpartisipasi dalam sekresi imunoglobulin, terutama imunoglobulin A. Apendiks
menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada
patogenesis apendisitis. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut associated
Lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA.
Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Jaringan limfoid
pertama muncul pada appendiks sekitar 2 minggu setelah kelahiran. Jumlah kenaikan
jaringan limfoid seluruhnya pada usia pubertas, dan tetap stabil untuk dekade berikutnya,
kemudian mulai menurun dengan bertambahnya usia. Setelah usia 60 tahun, hampir tidak ada
jaringan limfoid masih dalam usus buntu, dan penghapusan lengkap dari lumen appendiks.

HISTORICAL BACKGROUND

Operasi appendisitis pertama dilakukan oleh Claudius Amyand, seorang ahli bedah di St
George's Hospital di London. Appendiks tidak diidentifikasi sebagai organ yang mampu
menyebabkan penyakit sampai abad kesembilan belas. Pada 1839, sebuah buku yang ditulis
oleh Bright dan Addison berjudul Elemen Praktis Kedokteran menggambarkan gejala
appendisitis dan mengidentifikasi penyebab utama dari proses peradangan dari quadrant
kanan bawah. Reginald Fitz, seorang profesor patologi anatomi di Harvard, diberikan
penghargaan dengan coining appendisitis. Terapi bedah awal untuk appendisitis terutama
dirancang untuk drainase abses kuadran kanan bawah yang terjadi sekunder untuk appendiks
perforasi. Perawatan bedah pertama untuk appendisitis atau perityphlitis tanpa abses
dilakukan oleh Hancock pada tahun 1848. Dia menorehkan peritoneum dan dikeringkan
kuadran kanan bawah tanpa mengangkatappendiks.
Kontributor terbesar untuk kemajuan dalam pengobatan appendisitis adalah Charles
McBurney. Pada tahun 1889, ia menerbitkan landmark paper di New York State Medical
Journal menggambarkan indikasi untuk laparotomi awal untuk pengobatan appendisitis. Hal
ini dalam makalah ini bahwa ia menggambarkan titik McBurney sebagai berikut: "tenderness
maksimal, ketika kita memeriksa dengan ujung jari pada orang dewasa, satu setengah sampai
dua inci di dalam proses spinosus anterior kanan ilium pada garis ditarik ke
umbilikusMcBurney. Perlakuan bedah usus buntu merupakan salah satu kemajuan besar
kesehatan masyarakat dari 150 tahun terakhir. Appendektomi untuk appendisitis adalah
operasi darurat yang paling umum dilakukan di dunia. appendisitis adalah penyakit kaum

8
muda, dengan 40% kasus terjadi pada pasien antara usia 10 dan 29 years.11 Pada tahun 1886,
Fitz melaporkan angka kematian terkait appendisitis untuk minimal 67% tanpa therapy
bedah. Saat ini, tingkat kematian untuk appendisitis akut dengan pengobatan dilaporkan <1%.

EPIDEMIOLOGI
Acute appendisitis adalah salah satu penyakit bedah terbanyak. Insiden paling sering
terjadi pada usia dekade kedua dan ketiga. Insiden puncaknya pada awal dewasa (pubertas)
dan insiden juga banyak terjadi pada orangtua. Frekuensi angka kejadian tertinggi pada laki-
laki dibandingkan dengan perempuan. Rasio wanita : laki-laki sekitar 2:1 bertahap bergeser
setelah usia 25 tahun menuju rasio 1:1. Appendektomi adalah prosedur bedah yang paling
sering dilakukan. Risiko Lifetime appendektomi adalah antara 7% dan 12%.

ETIOLOGI
-Obstruksi
Penyebab obtruksi lumen adalah lymphoid hyperplasia, facalith, foreign objects, stricture
(neoplasma), dan parasit.
-Infeksi Bakteri

Common Organisms Seen in Patients with Acute Appendicitis

Aerobic and Facultative Anaerobic


Gram-negative bacilli Gram-negative bacilli
Escherichia coli Bacteroides fragilis
Pseudomonas aeruginosa Other Bacteroides species
Klebsiella species Fusobacterium species
Gram-positive cocci Gram-positive cocci
Streptococcus anginosus Peptostreptococcus species
Other Streptococcus species Gram-positive bacilli
Enterococcus species Clostridium species

PATOGENESIS
 Appendiks obstruksi
Obstruksi appendiks merupakan kejadian awal yang paling sering pada appendisitis.
Hiperplasia dari folikel limfoid submukosa sekitar 60% penyebab obstruksi (paling sering

9
pada remaja). Pada orang dewasa yang lebih tua dan anak-anak, fecalith adalah penyebab
paling sering (35%).
 Tekanan Intraluminal
Meningkatnya tekanan intraluminal akibat obstruksi lumen appendiks menyebabkan
sekresi mukosa meningkat, pertumbuhan bakteri yang berlebihan, dinding appendiks
menipis karna terjadi distensi dan terjadi obstruksi limfatik dan vena.

Obstruksi

Distensi abdomen

Lymphatic obstruction Venous congestion

Edema

Invasi bakteri Mucosal ulcers Bacterial diapedesis

Inflamasi serosa melekat di peritoneum parietal


Venous thrombosis Compramise of arterial

peritonitis Escape of bacteria perforasi gangrene

 Nekrosis dan Perforasi


Nekrosis dan perforasi terjadi ketika aliran arteri terganggu.

MANIFESTASI KLINIS

Symptoms

10
 Nyeri abdomen diffus di epigastrium atas atau regio umbilicalis kemudian terlokalisasi di
kuadran kanan bawah (RLQ)
 Mual Muntah
 Anoreksia
 Konstipasi atau diare
Signs
 Direct rebound tenderness (Mc.Burney’s point)
 Rovsing’s sign
Nyeri di kuadran kanan bawah ketika tekanan palpatory diberikan pada kuadran kiri
bawah dan juga menunjukkan tempat iritasi peritoneal.
 Iliopsoas sign
Iliopsoas sign positif apabila pelvis nyeri ketika paha kanan di ekstensikan.
 Obturator sign
Obturator sign positif jika hipogastrikus nyeri pada peregangan m. obturatorius internus
dan ini menunjukkan iritasi di panggul. Pemeriksaan ini dilakukan dengan gerakan rotasi
internal pasif dari paha kanan tertekuk dengan posisi pasien terlentang.
 Dunphy sign
Dunphy sign positif jika nyeri abdomen bertambah ketika pasien batuk.

Alvarado Scale for the Diagnosis of Appendicitis

Manifestations Value
Symptoms Migration of pain 1
Anorexia 1
Nausea and/or vomiting 1
Signs Right lower quadrant tenderness 2
Rebound 1
Elevated temperature 1
Laboratory values Leukocytosis 2
Left shift in leukocyte count 1
Total points 10

 Skor >8 : Berkemungkinan besar menderita apendisitis. Pasien ini dapat


langsung diambil tindakan pembedahan tanpa pemeriksaan lebih lanjut.
Kemudian perlu dilakukan konfirmasi dengan pemeriksaan patologi anatomi.
 Skor 2-8 : Tingkat kemungkinan sedang untuk terjadinya apendisitis. Pasien ini
sebaiknya dikerjakan pemeriksaan penunjang seperti foto polos abdomen
ataupun CT scan.

11
 Skor <2 : Kecil kemungkinan pasien ini menderita apendisitis. Pasien ini tidak
perlu untuk di evaluasi lebih lanjut dan pasien dapat dipulangkan dengan catatan
tetap dilakukan follow up pada pasien ini.

DIAGNOSIS
Diagnosis apendisitis ditegakkan dengan evaluasi klinis, meskipun tes laboratorium
dan prosedur pencitraan dapat membantu.
 Manifestasi Klinis. Apendisitis biasanya dimulai dengan progresif,
ketidaknyamanan midabdominal persisten yang disebabkan oleh obstruksi dan
distensi appendiks, merangsang saraf aferen visceral otonom (tingkat T8-T10).
Anorexia dan demam ringan (<38,5 ° C). Distensi appendiks menyebabkan
kongesti vena yang dapat menyebabkan rangsangsan gerak peristaltik usus,
menyebabkan sensasi kram yang segera diikuti dengan mual dan muntah. Gejala
termasuk anoreksia (90%), mual dan muntah (70%), dan diare (10%). Setelah
peradangan meluas secara transmural ke peritoneum parietal, serat-serat nyeri
somatik dirangsang dan rasa sakit terlokalisasi di RLQ. Iritasi peritoneal
dikaitkan dengan nyeri pada gerakan, demam ringan, dan tachycardia.
Timbulnya gejala biasanya kurang dari 24 jam untuk apendisitis akut.
Bila appendiks retrocecal atau di belakang ileum, maka dapat dipisahkan dari
peritoneum perut anterior dan tanda-tanda lokalisasi perut bisa tidak ada. Iritasi
struktur berdekatan dapat menyebabkan diare, frekuensi kencing, pyuria, atau
hematuria mikroskopis tergantung pada lokasi. Bila appendisitis terletak di
panggul, mungkin mensimulasikan gastroenteritis akut, dengan rasa sakit
menyebar, mual, muntah, dan diare. Diagnosis mungkin dicurigai jika
pemeriksaan rektal digital menghasilkan rasa sakit.

 Pemeriksaan Fisik
Assessing the patient's abdomen. Pemeriksaan dimulai dengan memeriksa
perut pasien di daerah lain dari tenderness yang dicurigai. Lokasi appendisitis
adalah variabel. Namun, biasanya ditemukan di tingkat vertebral S1, lateral linea
tepat pada titik McBurney (dua pertiga jarak dari umbilikus ke spina iliaka
anterosuperior). Rovsing tanda mengindikasikan iritasi peritoneal. Tenderness
kanan-bawah-kuadran langsung dinilain. Tingkat ketahanan otot untuk palpasi
sama dengan beratnya proses inflamasi. Hyperesthesia cutaneous sering ada di

12
atas regio tenderness maksimal. Iliopsoas menyiratkan tanda appendisitis
retrocecal. Sebuah appendisitis panggul dapat menghasilkan tanda obturatorius
positif.
Rectal Examination dilakukan untuk mengevaluasi keberadaan tenderness lokal
atau massa peradangan di daerah pararectal. Hal ini paling berguna untuk
presentasi atipikal sugestif dari appendisitis panggul atau retrocecal.
Pada wanita, Pemeriksaan panggul dilakukan untuk menilai tenderness gerak
rahim dan rasa sakit atau massa pada adnexal.
Massa teraba di RLQ menunjukkan abses periappendiceal atau phlegmon.

DIAGNOSIS DIFFERENTIAL
Diferensial diagnosis apendisitis akut tergantung pada empat faktor utama yaitu lokasi
anatomi dimana terjadinya peradangan appendiks, tahap proses (sederhana atau perforasi),
umur pasien dan jenis kelamin.
 Gastrointestinal Disease
 Gastroenteritis ditandai dengan mual dan emesis sebelum timbulnya sakit perut,
bersama dengan malaise umum, demam tinggi, diare, dan kurang lokal sakit perut dan
nyeri. Meskipun diare adalah salah satu tanda-tanda kardinal radang lambung, dapat
terjadi pada pasien dengan usus buntu. Selain itu, jumlah WBC seringkali normal pada
pasien dengan gastroenteritis.
 Mesenterika Limfadenitis biasanya terjadi pada pasien lebih muda dari 20 tahun dan
nyeri RLQ, sakit perut tapi tanpa tenderness rebound atau kekakuan otot. Nodal
histologi dan biakan yang diperoleh pada operasi dapat mengidentifikasi etiologi,
terutama Yersinia dan Shigella spesies dan Mycobacterium tuberculosis. Mesenterika
limfadenitis diketahui terkait dengan infeksi saluran pernapasan atas.
 Meckel Diverticulitis hadir dengan gejala dan tanda-tanda tidak bisa dibedakan dari
appendisitis, tapi khas terjadi pada bayi.
 Ulkus Peptikum, Diverticulitis, dan Kolesistitis dapat menyajikan gambar klinis
yang mirip dengan appendisistis.
 Typhlitis, ditandai dengan peradangan pada dinding sekum atau ileum terminal,
dikelola nonoperatively. Hal ini paling sering terlihat pada pasien imunosupresi
menjalani kemoterapi untuk leukemia dan pada pasien HIV-positif. Sebelum operasi
sulit untuk membedakan antara typhlitis appendisitis.

 Urologic diseases

13
 Pielonefritis menyebabkan demam tinggi, kaku, nyeri costovertebral, dan tenderness.
Diagnosa dikonfirmasi oleh urinalisis dengan cultur.
 Kolik saluran kemih. Passage batu ginjal menyebabkan nyeri panggul menjalar ke
selangkangan tapi tenderness lokal sedikit. Hematuria menunjukkan diagnosis yang
dikonfirmasi oleh pyelography intravena atau CT noncontrast. foto polos sering
menunjukkan batu ginjal.

 Gynecologic diseases

 Pelvic inflammatory diseasedapat hadir dengan gejala dan tanda-tanda tidak bisa
dibedakan dari appendisitis akut, tetapi sering dapat dibedakan berdasarkan beberapa
faktor. Tenderness gerak serviks dan keputihan seperti susu memperkuat diagnosis PID.
Pada pasien dengan PID, rasa sakit biasanya bilateral, dengan intens menjaga pada
pemeriksaan perut dan panggul. USG transvaginal dapat digunakan untuk
memvisualisasikan ovarium dan untuk mengidentifikasi abses Tubo-ovarium.
 Kehamilan ektopik. Tes kehamilan sebaiknya dilakukan pada semua pasien wanita
usia subur dengan keluhan perut. Kista ovarium terbaik terdeteksi oleh USG
transvaginal atau transabdominal.
 Torsi ovarium. Peradangan mengelilingi ovarium iskemik sering dapat teraba pada
pemeriksaan panggul bimanual. Pasien-pasien ini dapat mengalami demam,
leukositosis, dan nyeri RLQ konsisten dengan appendisitis. Sebuah viskus twisted,
bagaimanapun, berbeda karena memproduksi tiba-tiba, rasa sakit akut dengan emesis
sering dan berlanjut simultan. torsi ovarium dapat dibuktikan dengan Doppler USG

PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Evaluasi Laboratorium
Complete blood cell count. Jumlah leukosit yang lebih dari 10.000 sel / uL, dengan
dominasi sel polymorphonuclear (> 75%), membawa sensitivitas 77% dan spesifisitas
63% untuk appendisitis (Radiology 2004; 230:472). Jumlah leukosit dan proporsi bentuk
mature meningkat jika ada perforasi appendiks. Pada orang dewasa yang lebih tua, jumlah
leukosit dan diferensial lebih sering normal daripada pada orang dewasa muda. Wanita
hamil biasanya memiliki jumlah WBC yang tinggi dapat mencapai 15.000 hingga 20.000
selama proses kehamilan.
Complete Blood Count (CBC)
 Leukocytosis (10.000-18.000/mm3) dengan polymorphonuclear (PMN) predominan

14
 Jika white blood count (WBC) >18.000/mm3 pikirkan adanya perforasi dengan atau
tanpa abses
Serum elektrolit, nitrogen urea darah, dan kreatinin serum diperoleh untuk
mengidentifikasi dan memperbaiki kelainan elektrolit yang disebabkan oleh dehidrasi
sekunder untuk muntah atau asupan oral yang buruk.

 Urinalysis . urinalysis abnormal pada 25% sampai 40% dari pasien appendisitis. Pyuria,
albuminuria, dan hematuria sering terjadi. Jumlah bakteri yang banyak dapat dipikirkan
ISK sebagai penyebab sakit perut. Urine menunjukkan lebih dari 20 leukosit per bidang
daya tinggi atau lebih dari 30 sel darah merah per bidang daya tinggi menunjukkan ISK.
Hematuria yang signifikan harus dipikirkan pertimbangan urolithiasis.
 WBCs atau RBCs mungkin ditemukan jika adanya iritasi VU atau ureter karena
inflamasi appendiks
 Bakteriuria
 Evaluasi Radiologi
Diagnosis appendisitis biasanya dapat dibuat tanpa evaluasi radiologis pada kasus yang
kompleks.
X-ray jarang membantu dalam mendiagnosis appendisitis. Pada sebuah studi
menunjukkan bahwa appendicolith atas hanya 1,14% dari sinar-x dilakukan pada pasien
dengan pembedahan terbukti appendisitis. Temuan lain radiologis yang sugestif termasuk
sekum menggelembung dengan tingkat kecil-usus yang berdekatan udara-cairan,
kehilangan bayangan psoas kanan, scoliosis ke kanan, dan gas dalam lumen apendiks.
Sebuah apendiks perforasi jarang menyebabkan pneumoperitoneum.
USGsangat berguna pada wanita usia subur dan pada anak-anak karena penyebab lain dari
keluhan perut dapat didemonstrasikan. Temuan terkait dengan appendisitis akut termasuk
appendiks diameter lebih besar dari 6 mm, kurangnya kompresibilitas luminal, dan
kehadiran sebuah appendicolith. Appendiks diperbesar dilihat pada USG memiliki
sensitivitas 86% dan spesifisitas 81%. appendiks berlubang lebih sulit untuk didiagnosis
dan ditandai oleh hilangnya submucosa echogenic dan kehadiran koleksi cairan loculated
periappendiceal atau panggul. Pada wanita, patologi ovarium mungkin diidentifikasi atau
dikecualikan. Kualitas dan ketepatan sangat bergantung pada operator.
CT scan, awalnya direkomendasikan hanya dalam kasus-kasus klinis yang kompleks atau
diagnosa tidak pasti, merupakan tes yang paling umum digunakan dalam diagnostik
radiografi. Hal CT scan lebih unggul dalam mendiagnosis appendisitis dengan sensitivitas

15
94% dan spesifisitas 95%. Pada CT scan dapat ditemukan distensi, appendiks berdinding
tebal dengan lapisan inflamasi sekitar lemak, phlegmon pericecal atau abses,
appendicolith, atau udara RLQ bebas intra-abdomen yang merupakan sinyal perforasi. CT
scan sangat berguna dalam membedakan antara abses periappendiceal dan phlegmon.
MRImerupakan alternatif ketika satu kebutuhan pencitraan cross-sectional untuk
menghindari radiasi pengion. Hal ini terutama berguna pada pasien hamil yang apendiks
tidak divisualisasikan.
Imaging
Abdominal X Ray (AXR) terlihat Appendicolith/fecalith
CT scan abdominal
(+) Bila ditemukan dilatasi appendix > 6 mm, penebalan appendix
(+) palsu jika terlihat inflamasi periappendix, dilatasi tuba fallopi, insipissated stool,
overlying fat
(-) palsu jika inflamasi terbatas diatas appendix, retrocecal ceacum, appendix besar,
perforasi (appendix compressible).

 Diagnostik Laparoskopi
Laparoskopi diagnostik sangat berguna untuk mengevaluasi wanita berovulasi dengan
tegas untuk pemeriksaan appendisitis. Pada subkelompok ini, sepertiga perempuan
terbukti memiliki patologi ginekologi primer. appendiks ini juga bisa dihapus melalui
pendekatan laparoskopi. Oleh karena itu, beberapa ahli bedah menganjurkan pendekatan
laparoskopi awal pada semua wanita berovulasi yang diduga appendisitis.

PENATALAKSANAAN
 Preoperative
Isotonik pengganti cairan intravena harus dimulai untuk mencapai output kemih cepat
dan untuk memperbaiki kelainan elektrolit. Suction nasogastrik sangat membantu,
terutama pada pasien dengan peritonitis. Suhu yang tinggi ditatalaksana dengan
acetaminophen dan selimut pendingin. Anestesi tidak boleh diinduksi pada pasien dengan
suhu yang lebih tinggi dari 39°C.
 Antibiotik
Antibiotik profilaksis umumnya efektif dalam pencegahan komplikasi infeksi
pascabedah (luka infeksi, abses intra-abdomen). Preoperative inisiasi lebih disukai,

16
meskipun beberapa menyarankan bahwa hal itu dapat ditunda. Untuk appendisitis akut,
cakupan biasanya terdiri dari sefalosporin generasi kedua. Pada pasien dengan appendisitis
nonperforated akut, dosis tunggal antibiotik cukup. Terapi Antibiotik dalam apendisitis
perforasi atau gangren harus dilanjutkan selama 3 sampai 5 hari.
 Appendectomy
Dengan beberapa pengecualian, pengobatan appendisitis adalah appendektomy.
Pasien dengan peritonitis difus atau diagnosis dipertanyakan harus dieksplorasi melalui
insisi garis tengah. Mortalitas setelah appendektomi tinggi pada pasien usia lanjut. Pada
kebanyakan pasien, irisan melintang memberikan penampilan terbaik kosmetik dan
memungkinkan kemudahan perpanjangan secara medial untuk eksposur yang lebih besar.
Lapisan otot transversus abdominis dan lapisan otot obliqus abdominis eksternal dan
internal dapat dibagi dalam arah seratnya. Setelah masuk ke rongga peritoneal, didapatkan
cairan purulent untuk gram stain dan cultur. Setelah sekum diidentifikasi, taenia anterior
dapat diikuti ke dasar appendiks. appendiks dengan lembut dilepaskan dari luka dan
sekitarnya dengan hati-hati pada setiap perlekatan yang mengganggu. Jika appendiks
normal pada inspeksi (5% sampai 20% dari eksplorasi), tersebut akan dihapus dan
diagnosis alternatif yang sesuai akan dipikirkan. Sekum, kolon sigmoid, dan ileum secara
hati-hati diperiksa untuk perubahan indikasi divertikular (termasuk divertikulum Meckel),
infeksi, iskemik, atau penyakit inflamasi usus (misalnya, penyakit Crohn). Bukti
limfadenopati mesenterika dicari. Pada wanita, ovarium dan saluran tuba diperiksa untuk
bukti PID, pecah kista folikel, kehamilan ektopik, atau patologi lainnya. cairan peritoneal
empedu menunjukkan ulkus peptikum atau perforasi kandung empedu.
 Laparoskopi Appendektomi
Laparoskopi appendektomi merupakan alternatif untuk pendekatan terbuka. Hal ini
paling berguna ketika diagnosis tidak pasti atau bila ukuran pasien akan memerlukan
sayatan besar. Walaupun studi terbaru menunjukkan bahwa panjang pasca operasi
mungkin tinggal sedikit singkat sebagian besar pasien yang menjalani appendektomi rutin
dapat dengan aman keluar dari rumah sakit pada hari pertama pasca operasi. Terlepas dari
pilihan pendekatan, perhatian harus dilakukan untuk memastikan ligasi aman ujung
appendiks.
 Drainage of Periappendiceal Abscess
Pengelolaan abses appendiks masih kontroversial. Pasien yang memiliki abses
periappendiceal baik lokal dan pada awalnya terlihat ketika gejala yang mereda dapat

17
diobati dengan antibiotik sistemik dan dipertimbangkan untuk drainase kateter perkutan,
diikuti oleh appendektomi elektif 6 sampai 12 minggu kemudian. Strategi ini berhasil di
lebih dari 80% pasien. Appendiks harus dibuang karena pasien memiliki risiko 60%
terkena appendisitis kembali dalam waktu 2 tahun. Antibiotik sistemik yang diberikan
selama minimal 5 hari atau sampai pasien menyelesaikan afebrile dan leukositosis. Sebuah
studi baru-baru ini membandingkan appendektomy langsung (antibiotik, operasi) dengan
manajemen hamil (antibiotik, drainase perkutan, dan usus buntu interval) pada pasien
dengan abses appendiks menemukan bahwa kelompok langsung-appendektomi memiliki
tingkat komplikasi yang lebih tinggi dan lebih lama tinggal di rumah sakit.
 Incidental Appendectomy
Insidental appendektomi adalah pengangkatan appendiks normal pada laparotomi
untuk kondisi lain. appendiks harus mudah diakses melalui sayatan perut ini, dan pasien
harus secara klinis cukup stabil untuk mentolerir waktu tambahan yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan prosedur. Karena sebagian besar kasus appendisitis terjadi awal kehidupan,
manfaat appendektomi insidental berkurang secara substansial sekali orang yang lebih tua
dari 30 tahun. penyakit Crohn yang melibatkan sekum itu, radiasi pengobatan hingga ke
kekebalan, sekum, dan cangkok vaskular atau bioprostheses lain merupakan kontraindikasi
untuk appendektomi insidental karena peningkatan risiko komplikasi infeksi atau
kebocoran tunggul appendiks.

18
KOMPLIKASI APENDISITIS AKUT
 Perforasi
Perforasi disertai dengan nyeri hebat dan demam. Hal ini biasa dalam waktu 12 jam
pertama dari appendisitis tetapi hadir dalam 50% pasien apendisitis lebih muda dari 10
tahun dan lebih tua dari 50 tahun. Konsekuensi akut perforasi termasuk demam,
takikardia, peritonitis umum, dan pembentukan abses. Pengobatan appendisitis, irigasi
peritoneal, dan antibiotik spektrum luas intravena selama beberapa hari. Selama
kehamilan, perforasi secara substansial meningkatkan risiko kematian ibu dari diabaikan
sampai 4%. Angka kematian janin naik dari 0% menjadi 1,5% pada appendisitis
uncompicated untuk 20% hingga 35% dalam pengaturan perforasi.
 Risiko Infeksi Luka Pascaoperasi

19
Resiko infeksi luka pascaoperasi dapat dikurangi dengan antibiotik intravena yang
sesuai diberikan sebelum sayatan kulit. Kejadian luka infeksi meningkat dari 3% pada
kasus apendisitis nonperforated menjadi 4,7% pada pasien dengan usus buntu yang
berlubang atau gangren. penutupan primer tidak dianjurkan dalam pengaturan perforasi
(Bedah 2000; 127:136). luka infeksi dikelola dengan membuka, pengeringan, dan
pengemasan luka untuk memungkinkan penyembuha. Antibiotik intravena yang
ditunjukkan untuk selulitis atau sepsis sistemik.
 Intra-abdominal dan abses panggul
Abses Intra-abdominal dan panggul terjadi paling sering dengan perforasi apendiks.
Pascaoperasi abses intra-abdomen dan pelvis yang paling baik ditangani dengan drainase
dengan panduan CT-atau USG perkutan. Jika abses tidak bisa diakses atau resisten
terhadap drainase perkutan, drainase operasi diindikasikan. Terapi antibiotik dapat
menutupi tetapi tidak signifikan untuk mengobati atau mencegah abses.
 Komplikasi Lain
Pyelephlebitis adalah thrombosis septikveinportal disebabkan oleh Escherichia coli
dengan gejala klinis demam tinggi, sakit kuning, dan akhirnya abses hati. CT scan
menunjukkan thrombus dan gas di vena portal. perlakuan Prompt (operasi atau
percutaneous) dari infeksi primer sangat penting, bersama dengan antibiotik spektrum luas
intravena.
Fistula Enterocutaneous dari kebocoran pada penutupan ujung appendiks kadang-kadang
memerlukan penutupan bedah, tetapi sering menutup secara spontan.
Small-Bowel Obstruction. Obstruksi usus kecil adalah empat kali lebih umum setelah
pembedahan pada kasus apendisitis perforasi daripada di appendisitis tanpa komplikasi.

20
DAFTAR PUSTAKA

Brunicardi, F. Charles. Schwartz’s Principles of Surgery, ninth edition. The McGraw-Hill


Companies, Inc. United States of America. 2010
Klingensmith, Mary E dkk. Washington Manual of Surgery,The, 5th Edition. 2008 Lippincott
Williams & Wilkins

Sabiston Textbook of Surgery, 18th ed.2007 Saunders, An Imprint of Elsevier


Stead, G. Latha. Firts Aid for the Surgery Clerkship. 2003. McGraw-Hill Companies

21

Anda mungkin juga menyukai