LAPORAN KASUS
I.
IDENTITAS
Nama
Umur
Jenis kelamin
Agama
Pekerjaan
Alamat
: Nn. S
: 22 tahun
: Perempuan
: Islam
: Wiraswasta
: Delok RT 003/ RW 001 Kel. Gondangsari, Kec.
Pakis
Status perkawinan
Nomor RM
Tanggal masuk RS
Ruang rawat
Kabupaten Megelang
: Belum kawin
: 120129
: 8 April 2015
: Edelweiss
II. ANAMNESIS
(Autoanamnesis tanggal 8 April 2015, pre operasi)
Keluhan utama
:
Nyeri perut
Keluhan tambahan
Demam dan mual
: Disangkal
: Disangkal
Asma
: Disangkal
Alergi
: Disangkal
Operasi
: Disangkal
Status generalis
Kepala : Normocephal
Mata
: Conjunctiva tidak anemis, sclera tidak ikterik, pupi bulat isokor,
refleks pupil +/+ normal
Leher : Trakea ditengah, pembesarak KGB (-)
Thoraks :
Cor
: Inspeksi
: Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi
: Ictus cordis teraba pada sela iga 5 linea mid
clavicula sinistra
Perkusi
: Batas jantung normal
Auskultasi : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : Inspeksi
Palpasi
nyeri tekan
Perkusi
: Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : Vesikuler, Rhonki -/-, Wheezing -/-
Abdomen
Inspeksi
benjolan
Palpasi
Perkusi
: Tympani pada seluruh kuadran abdomen
Auskultasi : Bising usus (+ ) normal
Ekstremitas atas
<2
Ekstremitas bawah
<2
IV.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto USG Abdomen :
(Pre op) Kesan
31 Maret 2015
13,0 g/dl
Ht
39,5 vol%
Eritrosit
4.340 l
Leukosit
6.900 l
Trombosit
218.000 l
MCV
91,0 m3
MCH
30,0 pg
MCHC
32,9 g/dl
DIAGNOSIS KERJA
V.
USULAN PEMERIKSAAN
VII. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
Inf. DS N 16 tpm
Operatif
Planing Monitoring
Keadaan umum
Tanda vital
Gejala klinis
Planing Edukasi
Pasien dipuasakan
Istirahat cukup
Infus RL 12 tpm
VIII. PROGNOSIS
Quo ad vitam
: bonam
Keluhan: Nyeri pada bekas luka jahitan, mual (+), muntah (-) pusing
(-), makan (+), minum (+), BAK (+)
KU : sedang
Kesadaran/GCS : compos mentis/15
Tanda vital :
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi
: 82x/menit
Laju nafas
: 20x/menit
Suhu
: 36,2 C
Kepala : normocephal
Thorax :
Cor
Abdomen
Inspeksi:
Auskultasi:
Palpasi:
Perkusi:
Ekstremitas :
Akral dingin
Akral sianosis
Oedem
Capillary Refill
Superior
(-/-)
(-/-)
(-/-)
< 2
Inferior
(-/-)
(-/-)
(-/-)
< 2
o Assessment:
Post OP Laparatomi H1
o Planning:
-
Terapi Lanjut
Diet bubur
10 April 2015
Tindakan Post Operasi hari ke-2
Pemeriksaan Fisik post operasi :
Keluhan: Nyeri pada bekas luka jahitan, mual (+), muntah (-) pusing
(-), makan (+), minum (+), BAK (+)
KU : sedang
Kesadaran/GCS : compos mentis/15
Tanda vital :
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi
: 82x/menit
Laju nafas
Suhu
: 20x/menit
: 36,2 C
Kepala : normocephal
Thorax :
Cor
Abdomen
Inspeksi:
Dinding abdomen datar, bekas luka jahitan tampak tertutup kassa +
Palpasi:
Perkusi:
Timpani di seluruh lapang abdomen
Ekstremitas :
Akral dingin
Akral sianosis
Oedem
Capillary Refill
Assessment:
Post OP Laparatomi H2
Planning :
Terapi:
Cefadroxil 2x1
Superior
(-/-)
(-/-)
(-/-)
< 2
Inferior
(-/-)
(-/-)
(-/-)
< 2
Monitoring:
Keadaan umum
Tanda vital
Gejala klinis
Mobilisasi
Boleh pulang
Bab II
Pendahuluan
Apendisitis adalah peradangan pada organ appendiks vermiformis atau
yang dikenal juga sebagai usus buntu. Berdasarkan onsetnya, apendisitis dibagi
menjadi beberapa macam, dari appendisitis akut hingga kronis. Apendisitis akut
sendiri adalah salah satu penyebab keadaan bedah emergensi terbanyak, yang
ditandai dengan gejala berupa nyeri perut pada ulu hati / epigastrium yang
menjalar ke kuadran kanan bawah. Hingga saat ini penyebab keadaan akut
abdomen di negara negara (Negara berkembang dan negara maju) terbanyak
adalah appendisitis akut.
Peradangan pada apendiks ini dapat ditemukan pada masyarakat dari
berbagai usia, dan juga dari berbagai kalangan yang berbeda pula. Terdapat sekitar
250.000 kasus apendisitis yang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya dan
terutama terjadi pada anak usia 6 10 tahun. Di Indonesia sendiri belum ada data
4. Preileal
2. Pelvinal
5. Postileal
3. Antecaecal
satu
hal
lain
yang
dilakukan
apendiks
adalah
menghasilkan
Immunoglobulin sekretoar, yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue)
yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, yaitu IgA. Immunoglobulin
berfungsi sebagai pertahanan terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan
apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfoid disini
sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh
tubuh, sehingga hilangnya apendiks tidak menimbulkan perubahan yang bermakna.
III.3 Insiden & Epidemiologi Apendisitis
Terdapat sekitar 250.000 kasus apendisitis yang terjadi di Amerika Serikat setiap
tahunnya dan terutama terjadi pada anak usia 6-10 tahun. Apendisitis lebih banyak
terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 3:2. Bangsa
Kaukasia lebih sering terkena dibandingkan dengan kelompok ras lainnya. Apendisitis
akut lebih sering terjadi selama musim panas.
Insidensi Apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara
berkembang, tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya menurun, sementara di
negara berkembang juga terus meningkat. Apendisitis dapat ditemukan pada semua
umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insidensi tertinggi
pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Insidensi pada lakilaki dan perempuan umumnya sebanding, dengan jumlah penderita pria lebih banyak
sedikit daripada wanita.
III.4 Etiologi Apendisitis
Penyebab apendisitis yang terutama adalah infeksi bakteri yang didahului
dengan obstruksi pada lumen apendiks. Obstruksi ini menyebabkan stasis cairan dan
distensi dari apendiks sehingga menyebabkan pendarahan terganggu akibat vena dan
arteri tertekan oleh distensi dan edema yang terjadi. Akibatnya terjadi stasis mucus dan
penurunan suplai darah apendiks yang memudahkan terjadinya infeksi sekunder oleh
Fecalith
Parasit
mukus pada lumen apendiks yang kemudian menyebabkan gejala gejala, di mana
biasanya akan terjadi infeksi sekunder oleh bakteri, bakteri yang sering dapat ditemukan
antara lain adalah :
Escherichia coli
Bakteri anaerob
Bacteroides fragilis
Viridans streptococci
Peptostreptococcus micros
Pseudomonas aeruginosa
Bilophila species
Enterococcus
Lactobacillus species
Jadi etiologi terbanyak dari apendisitis adalah obstruksi, namun bukan tidak
mungkin terjadi proses inflamasi yang tidak melibatkan obstruksi lumen terlebih dahulu,
hal in dapat terjadi jika memang ada penyebaran infeksi langsung ke apendiks misalnya,
baik virus maupun bakteri.
dapat mengalami perforasi. Namun, jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh
dan massa periappendikuler akan menjadi tenang dan selanjutnya akan mengurai diri
secara lambat. Pada anak-anak, dengan omentum yang lebih pendek, apendiks yang
lebih panjang, dan dinding apendiks yang lebih tipis, serta daya tahan tubuh yang masih
kurang, memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah
terjadi karena adanya gangguan pembuluh darah.
Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan timbul
gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristalsis meningkat,
pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang (diare).
Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat
terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangannya dindingnya.
Gejala apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit dilakukan
diagnosis, dan akibatnya apendisitis tidak ditangani tepat pada waktunya, sehingga
biasanya baru diketahui setelah terjadi perforasi. Berikut beberapa keadaan dimana
gejala apendisitis tidak jelas dan tidak khas :
Anak-anak
Gejala awalnya sering hanya menangis dan tidak mau makan. Seringkali anak
tidak bisa menjelaskan rasa nyerinya. Dan beberapa jam kemudian akan terjadi muntahmuntah dan anak menjadi lemah dan letargik. Karena ketidakjelasan gejala ini, sering
apendisitis diketahui setelah perforasi. Begitupun pada bayi, 80-90 % apendisitis baru
diketahui setelah terjadi perforasi.
Wanita
Gejala apendisitis sering dikacaukan dengan adanya gangguan yang gejalanya
serupa dengan apendisitis, yaitu mulai dari alat genital (proses ovulasi, menstruasi),
radang panggul, atau penyakit kandungan lainnya. Pada wanita hamil dengan usia
kehamilan trimester, gejala apendisitis berupa nyeri perut, mual, dan muntah,
dikacaukan dengan gejala serupa yang biasa timbul pada kehamilan usia ini. Sedangkan
pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks terdorong ke kraniolateral, sehingga
keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan.
Frekuensi
(%)
Nyeri perut
Anorexia
Mual
Muntah
Nyeri berpindah
Gejala sisa klasik (nyeri periumbilikal kemudian anorexia/mual/muntah
100
100
90
75
50
50
tinggi)
disebabkan
oleh
appendicitis
peradangannya
ialah sebagai berikut:
1. Retrocaecum atau retrokolik (75%): Pada posisi ini sering ditandai
dengan nyeri inguinal kanan disertai dengan nyeri tekan saat
dilakukan palpasi. Rigiditas muskuler dan nyeri tekan saat
dilakukan palpasi dalam sering tidak dijumpai oleh karena
apendiks terlindungi oleh sekum. Otot psoas seringkali mengalami
iritasi
akibat
proses
peradangan
apendiks
didekatnya
dan
akibat
dari
ini.
Untuk
masa
atau
infiltrat
ini,
beberapa
ahli
Gejala-gejala
yang
menyertai
kehamilan
sering
Inspeksi
Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk
dan memegang perut. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut
tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada
penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah
mengalami kontraksi.
Rovsing sign : Penekanan perut sebelah kiri akan menyebabkan
nyeri sebelah kanan. Hal ini disebabkan karena tekanan tersebut
menyebabkan organ dalam terdorong kearah kanan dan
dilepaskan.
Dunphy's sign : Nyeri bertambah saat batuk.
Kocher/Kosher's sign : Didapati saat anamnesis, nyeri muncul
pertama kali di regio epigastrium atau di sekitar lambung,
terjadi
karena
peradangan
apendiks
menyentuh
pelvis.
Auskultasi
Peristaltik biasanya normal, peristaltik yang menghilang akan
ditemukan pada illeus paralitik karena peritonitis generalisata akibat
perforasi
apendiks.
Auskultasi
tidak
banyak
membantu
dalam
Abdominal X-Ray :
Pada apendisitis akut, pemeriksaan foto polos abdomen tidak
banyak membantu. Mungkin terlihat adanya fekalit pada abdomen
sebelah kanan bawah yang sesuai dengan lokasi apendiks,
gambaran ini ditemukan pada 20% kasus.1,5 Kalau peradangan
lebih luas dan membentuk infiltrat maka usus pada bagian kanan
bawah akan kolaps. Dinding usus edematosa, keadaan seperti ini
akan tampak pada daerah kanan bawah abdomen kosong dari
udara. Gambaran udara seakan-akan terdorong ke pihak lain.
Proses peradangan pada fossa iliaka kanan akan menyebabkan
kontraksi otot sehingga timbul skoliosis ke kanan. Gambaran ini
tampak pada penderita apendisitis akut.
Bila sudah terjadi perforasi, maka pada foto abdomen tegak
akan tampak udara bebas di bawah diafragma. Kadang-kadang
udara begitu sedikit sehingga perlu foto khusus untuk melihatnya.
bebas,
gambaran
lemak
preperitoneal
menghilang,
pada posisi
Ultrasonography :
Bila hasil
pemeriksaan
fisik
meragukan,
dapat
caecum.
Dinding apendiks nampak jelas, dapat dibedakan.
Diameter luar appendix lebih dari 6 mm.
Adanya gambaran target
Adanya appendicolith / fecalith.
Adanya timbunan cairan periappendicular
Tampak lemak pericaecal echogenic prominent.
Keadaan apendiks supurasi atau gangren ditandai dengan
CT Scan :
Diameter apendiks akan nampak lebih dari 6mm, ada penebalan
dinding apendiks, setelah pemberian kontras akan nampak enhancement
gambaran dinding appendiks. CT scan juga dapat menampakkan
gambaran perubahan inflamasi periappendicular, termasuk diantaranya
Kerugian
pada wanita
Baik untuk anak-anak
Tergantung operator
Sulit secara tehnik
Nyeri
Sulit di RS daerah
lebih baik
Mahal
Radiasi ion
Kontras
Sulit di RS daerah
Skor
1
1
1
2
1
1
2
1
10
: observasi
56
7 10 : operasi dini
III.8 Diagnosa Banding Apendisitis
Banyak masalah yang dihadapi saat menegakkan diagnosis apendisitis karena
penyakitlain yang memberikan gambaran klinis yang hampir sama dengan apendisitis,
diantaranya:
-
Gastroenteritis :
Ditandai dengan mual, muntah dan diare mendahului rasa sakit. Sakitperut lebih
ringan, hiperperistaltis sering ditemukan, panas dan leukositosis kurang
Demam dengue :
Dimulai dengan
sakit
perut
mirip
peritonitis
dan
diperoleh
hasil
menimbulkan nyeri mendadak difus di pelvic dan bisa terjadi syok hipovolemik.
Divertikulitis Meckel :
Gambaran klinisnya hampir sama dengan apendisitis akut dan sering
dihubungkan dengan komplikasi yang mirip pada apendistis akut sehingga
juga.
Ureterolithiasis :
Elektif : kronik
Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah apendektomi.
Penundaan apendektomi sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses
atau perforasi. Insidensi apendiks normal yang dilakukan pembedahan sekitar 20%.
Pada apendisitis akut tanpa komplikasi tidak banyak masalah. Perjalanan patologis
penyakit dimulai pada saat apendiks menjadi dilindungi oleh omentum dan gulungan
usus halus didekatnya. Mula-mula, massa yang terbentuk tersusun atas campuran
membingungkan bangunan-bangunan ini dan jaringan granulasi, dan biasanya dapat
segera dirasakan secara klinis. Jika peradangan pada apendiks tidak dapat diatasi oleh
mekanisme tubuh, massa tadi menjadi terisi nanah, semula dalam jumlah sedikit, tetapi
segera menjadi abses yang jelas batasnya.
Urut-urutan patologis ini merupakan masalah, jika penderita ditemui lewat
sekitar 48 jam, saat dilakukan operasi untuk membuang apendiks, sudah terbentuk suatu
massa dengan perlekatan yang memiliki banyak vaskularisasi, sehingga membuat
operasi pembuangan apendiks menjadi berbahaya karena struktur apendiks menjadi
tidak jelas dan resiko perdarahan bertambah. Maka pada kasus seperti ini,
harus
rongga
peritoneum
jika
terjadi
perforasi.
Oleh
karena
itu,massa
periapendikular yang masih bebas disarankan segera dioperasi untuk mencegah penyulit
tersebut. Selain itu, operasi lebih mudah. Pada anak, dipersiapkan untuk operasi dalam
waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa dengan massa periapendikular yang terpancang
dengan pendindingan sempurna, dianjurkan untuk dirawat dahulu dan diberi antibiotik
sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada
demam, massa periapendikular hilang, dan leukosit normal, penderita boleh pulang dan
apendiktomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar perdarahan akibat
perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abses
apendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya
nyeri, dan teraba pembengkakan, massa, serta bertambahnya angka leukosit.
Apendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya dilakukan tindakan
pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan, karena dikuatirkan akan terjadi abses
apendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan pembedahan harus dilakukan sebaikbaiknya mengingat penyulit infeksi luka lebih tinggi daripada pembedahan pada
apendisitis sederhana tanpa perforasi.
Pada periapendikular infiltrat, dilarang keras melakukan tindakan pembedahan,
tindakan bedah akan lebih sulit dan resiko perdarahan lebih banyak, lebih-lebih bila
massa apendiks telah terbentuk lebih dari satu minggu sejak serangan sakit perut.
Pembedahan dilakukan segera bila dalam perawatan terjadi abses dengan atau pun tanpa
peritonitis umum.
Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada anak kecil,
wanita hamil, dan penderita usia lanjut, jika secara konservatif tidak membaik
atau berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi secepatnya.
Bila pada waktu membuka perut terdapat periapendikular infiltrat maka luka
operasi ditutup lagi, apendiks dibiarkan saja.
Indikasi Operasi
Apabila diagnosis apendisitis telah ditegakkan dengan berbagai pemeriksaan
yang mendukung, hal tersebut sudah merupakan suatu indikasi operasi (apendektomi),
kecuali pada kasus-kasus tertentu seperti halnya pada keadaan dimana masa akut telah
dilewati namun muncul komplikasi dengan terbentuknya abses. Pada beberapa kasus
dapat digunakan antibiotik sebagai terapi tunggal untuk mengurangi massa abses
tersebut. Bila massa absestelah terbentuk di ekitar apendiks maka basis dari sekum akan
sulit untuk ditemukan, selain itu tindakan operatif secara aman akan sulit untuk
dikerjakan.
Persiapan pre-operasi
Analgetik dapat diberikan pada pasien setelah diagnosis dari apendisitis sudah
dapat ditegakkan dan manajemen operatif telah direncanakan. Status cairan harus
dipantau dengan ketat menggunakan indicator klinis seperti nadi, tekanan darah, dan
jumlah pengeluaran urine. Pemberian antibiotik dapat dimulai, umumnya diberikan
cephalosporine generasi 2 secara tunggal atau dikombinasikan dengan antibiotik
spectrum luas yang melingkupi bakteri gram negatif aerob (e.coli) dan anaerob
(bacteroides spp.). Perlu diingat bahwa tujuan utama dari pemberian antibiotik bukan
untuk memberantas apendisitis itu sendiri. Pada kasus yang tidak disertai dengan
komplikasi, antibiotik umumnya diberikan untuk mengurangi insidens infeksi dari luka
dan peritoneum bagian dalam setelah operasi dan melindungi terhadap kemungkinan
terjadinya bakteremia.Pada kasus-kasus dimana telah terjadi komplikasi berupa
pembentukan abses maupun bakteremia, maka pemberian antibiotik ditujukan untuk
sesaat sebelum
pembedahan atau pada saat pembedahan dilakukan agar tercapai kadar yang
optimal pada saat akan dilakukan insisi.
3. Pada kasus non-komplikata, pemberian antibiotik cukup dengan dosis
tunggal.Penambahan dosis setelah operasi tidak berguna dalam menurunkan
resiko infeksi lebih lanjut
Pertimbangan Operatif
Perlu ditentukan apakah prosedur operasi akan dilaksanakan melalui pendekatan
secaratra disional (terbuka) atau dengan bantuan laparoskopi. Terdapat berbagai
penelitian yang membandingkan antara pendekatan secara terbuka maupun dengan
laparoskopi. Berdasarkan informasi terkini dapat disimpulkan bahwa pada kasus
apendisitis tanpa disertai komplikasi, pendekatan secara laparoskopik dapat mengurangi
nyeri, kebutuhan untuk dirawat dan juga menurunkan insidens infeksi pada luka setelah
operasi. Pasien juga dapat kembali bekerja lebih awal.
Dilakukan pengangkatan apendiks apabila pada saat operasi ditemukan
gambaran inflamasi. Hal penting yang harus diingat adalah untuk melakukan disseksi
apendiks sampai ke basis, yaitu pada pertemuan taenia di dinding sekum. Kegagalan
dalam mengangkat seluruh apendiks sampai ke basis-nya dapat mengingkatkan resiko
terjadinya apendisitis rekuren.
Mengingat bahwa terdapat beberapa laporan terjadinya apendisitis rekuren,
maka penting untuk tetap berwaspada terhadap kemungkinan munculnya apendisitis
rekuren meski terdapat riwayat operasi apendiks dan bukti jaringan parut yang nyata.
Apabila diseksi secara aman tidak dimungkinkan oleh karena adanya inflamasi ataupun
pembentukan abses, sebuah closed suction drain dapat diletakan kedalam kavum
peritoneum. Tindakan ini bermanfaatuntuk mengalirkan
5. Mesoapendiks dibebaskan dan dipotong dari apendiks secara biasa, dari puncak
ke arah basis.
6. Semua perdarahan dirawat.
7. Disiapkan tabakzaaknad mengelilingi basis apendiks, basis apendiks kemudian
dijahit dengan catgut.
13. Peritoneum ini dijahit jelujur dengan chromic catgut dan otot-otot dikembalikan
dari hari ke minggu setelah serangan awal sampai kapal dapat mencapai permukaan dan
mereka dapat dipindahkan ke rumah sakit untuk perawatan.
Sebuah penelitian secara acak membandingkan pengobatan antibiotik dengan
apendektomi segera. Dua ratus lima puluh dua orang berusia 18-50 tahun dengan
diagnosis presumptif radang usus buntu yang terdaftar dalam penelitian ini antara Maret
1996 dan Juni 1999. Pasien yang dipilih secara acak untuk terapi antibiotik, jika gejala
tidak membaik dalam 24 jam pertama, akan dilakukan apendektomi. Peserta dievaluasi
setelah 1 minggu, 6 minggu, dan 1 tahun. Usus buntu akut ditemukan pada 97% dari
124 pasien secara acak yang direncanakan operasi. Enam pasien (5%) memiliki
apendiks yang sudah perforasi. Tingkat kesulitan pada kelompok bedah adalah 14% (17
dari 124). Dari 128 pasien yang terdaftar dalam kelompok antibiotik, 15 pasien (12%)
menjalani operasi dalam 24 jam pertama karena kurangnya perbaikan gejala dan
peritonitis lokal tampak jelas. Pada operasi tujuh pasien (5%) memiliki perforasi.
Tingkat kekambuhan dalam waktu 1 tahun adalah 15% (16 pasien) pada kelompok yang
diobati dengan antibiotik. Dalam lima pasien usus buntu yang perforasi ditemukan saat
operasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Guyton and Hall, 1996. Textbook of medical physiology. 9 th Ed. W. B Saunders
Company. Philadelphia.
2. Sjamsuhidayat and Jong, de wim. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. EGC.
Jakarta
3. Scanlon, Valerie C.Essentials of anatomy and physiology/Valerie C. Scanlon, Tina
Sanders. 5th ed. ISBN13: 978-0-8036-1546-5 ISBN10: 0-8036-1546-9: 2006.
4. Grace, Borley, At a Glance ILMU BEDAH. Edisi Ketiga. Jakarta : Penerbit Erlangga.
2006
5. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Keempat. Jakarta : Penerbit Media Aesculapius
Fakultas Kedokteran Univeristas Indonesia. 2014
6. Schwartz. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Jakarta : EGC 2000.