Anda di halaman 1dari 40

BAB I

LAPORAN KASUS
I.

IDENTITAS
Nama
Umur
Jenis kelamin
Agama
Pekerjaan
Alamat

: Nn. S
: 22 tahun
: Perempuan
: Islam
: Wiraswasta
: Delok RT 003/ RW 001 Kel. Gondangsari, Kec.

Pakis
Status perkawinan
Nomor RM
Tanggal masuk RS
Ruang rawat

Kabupaten Megelang
: Belum kawin
: 120129
: 8 April 2015
: Edelweiss

II. ANAMNESIS
(Autoanamnesis tanggal 8 April 2015, pre operasi)
Keluhan utama
:
Nyeri perut
Keluhan tambahan
Demam dan mual

Riwayat penyakit sekarang :


Pasien datang ke poli bedah RST dr. Soedjono, rujukan dari RSUD
Tidar.
Menurut pasien, sakit perut kanan bawah sejak 2 minggu SMRS.
Sakit seperti kram, timbul mendadak, dan berpindahpindah ke seluruh
perut, dan kadang menghilang. Selain itu pasien mengeluh adanya demam
yang timbul hampir bersamaan dengan rasa nyeri gtersebut. Tidak nafsu
makan karena mual, minum baik. Pasien mengaku tidak ada masalah
dalam buang air kecil, tetapi pasien mengeluh belum buang air besar sejak
5 hari yang lalu. Pasien berobat dan diberi obat ( os lupa nama obatnya ),
dan pasien merasa merasa sakitnya berkurang, tetapi masih merasakan
sakit di perut kanan bawah.
Riwayat penyakit dahulu
Hipertensi

: Disangkal

Diabetes Melitus : Disangkal


Jantung

: Disangkal

Asma

: Disangkal

Alergi

: Disangkal

Operasi

: Disangkal

Riwayat penyakit keluarga


Tidak ada dalam keluarga yang menderita keluhan seperti ini. Hipertensi (-),
DM (-).
Riwayat sosial ekonomi
Keadaan sosial ekonomi pasien sedang. Pasien dirawat di bangsal edelweiss
dengan jaminan BPJS.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran/ GCS : Compos mentis/ E4M6V5
Vital sign : TD : 100/80 mmHg
Nadi : 96 x/menit
RR : 20 x/ menit
Suhu : 37

Status generalis
Kepala : Normocephal
Mata
: Conjunctiva tidak anemis, sclera tidak ikterik, pupi bulat isokor,
refleks pupil +/+ normal
Leher : Trakea ditengah, pembesarak KGB (-)
Thoraks :
Cor
: Inspeksi
: Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi
: Ictus cordis teraba pada sela iga 5 linea mid
clavicula sinistra
Perkusi
: Batas jantung normal
Auskultasi : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : Inspeksi
Palpasi

: Pergerakan hemitoraks dalam keadaan statis dan


dinamis simetris kanan dan kiri
: Fremitus vocal dan taktil hemitoraks kanan dan
kiri simetris, tidak teraba massa dan tidak ada

nyeri tekan
Perkusi
: Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : Vesikuler, Rhonki -/-, Wheezing -/-

Abdomen
Inspeksi

: Tampak datar simetris, tidak tampak adanya

benjolan
Palpasi

: Hepar dan lien tidak teraba besar


Nyeri tekan di region kanan bawah abdomen dan
region hipocondriaca
Tidak teraba adanya massa
Mc burney sign (+)
Rovsing Sign (+)
Obturator sign (-)
Psoas sign (+)
Defans muscular (+)

Perkusi
: Tympani pada seluruh kuadran abdomen
Auskultasi : Bising usus (+ ) normal
Ekstremitas atas

: Akral hangat, edema -/-, sianosis -/-, capillary refill

<2
Ekstremitas bawah

: Akral hangat, edema -/-, sianosis -/-, capillary refill

<2
IV.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto USG Abdomen :
(Pre op) Kesan

: sonografi organ dalam batasnormal


Appendicitis kronis belum bisa disingkarkan

31 Maret 2015

Laboratorium (9April 2015)


Darah rutin
Hb

13,0 g/dl

Ht

39,5 vol%

Eritrosit

4.340 l

Leukosit

6.900 l

Trombosit

218.000 l

MCV

91,0 m3

MCH

30,0 pg

MCHC

32,9 g/dl

DIAGNOSIS KERJA

V.

Abdominal pain ec susp. Apendisitis


VI.

USULAN PEMERIKSAAN

Pemeriksaan darah lengkap, BT CT


Persiapan op : USG abdomen

VII. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa

Inf. DS N 16 tpm

Inj. Ondancentron ampul

Inj. Ranitidin ampul

Inj. Norges ampul

Operatif

Apendektomi (sebelumnya pasien dipuasakan)

Planing Monitoring

Keadaan umum

Tanda vital

Gejala klinis

Planing Edukasi

Pasien dipuasakan

Istirahat cukup

Minum obat teratur

Instruksi Post Operasi

Monitor keadaan umum dan tanda vital

Diet makanan lembut (bubur)

Tidak makan makanan yang pedas dan asam

Infus RL 12 tpm

Inj. Ceftriaxon 2gr

Inj. Ketorolac 30mg

VIII. PROGNOSIS
Quo ad vitam

: bonam

Quo ad functionam : bonam


Quo ad sanactionam : bonam
Quo ad cosmesticum : bonam

Apendektomi dilakukan pada tanggal 9 April 2015


RIWAYAT RAWAT INAP
9 April 2015
Tindakan Post Operasi hari ke-1
Pemeriksaan Fisik post operasi :

Keluhan: Nyeri pada bekas luka jahitan, mual (+), muntah (-) pusing
(-), makan (+), minum (+), BAK (+)
KU : sedang
Kesadaran/GCS : compos mentis/15
Tanda vital :
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi
: 82x/menit
Laju nafas
: 20x/menit
Suhu
: 36,2 C

Kepala : CA -/- , SI -/-

Pupil isokor : 3 milimeter

Kepala : normocephal

Thorax :
Cor

: SI dan SII normal regular, murmur (-)

Pulmo : vesicular +/+, ronkhi -/- , wheezing -/

Abdomen

Inspeksi:

Dinding abdomen datar, bekas luka jahitan tampak tertutup kassa +


hypafix, tidak ada rembesan darah

Auskultasi:

Bising usus (+)

Palpasi:

Nyeri tekan di regio kanan dan kiri bawah abdomen

Tidak teraba adanya massa

Defans muscular (-)

Perkusi:

Timpani di seluruh lapang abdomen

Ekstremitas :
Akral dingin
Akral sianosis
Oedem
Capillary Refill

Superior
(-/-)
(-/-)
(-/-)
< 2

Inferior
(-/-)
(-/-)
(-/-)
< 2

o Assessment:
Post OP Laparatomi H1
o Planning:
-

Terapi Lanjut

Diet bubur

10 April 2015
Tindakan Post Operasi hari ke-2
Pemeriksaan Fisik post operasi :

Keluhan: Nyeri pada bekas luka jahitan, mual (+), muntah (-) pusing
(-), makan (+), minum (+), BAK (+)
KU : sedang
Kesadaran/GCS : compos mentis/15
Tanda vital :
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi
: 82x/menit

Laju nafas
Suhu

: 20x/menit
: 36,2 C

Kepala : CA -/- , SI -/-

Pupil isokor : 3 milimeter

Kepala : normocephal

Thorax :
Cor

: SI dan SII normal regular, murmur (-)

Pulmo : vesicular +/+, ronkhi -/- , wheezing -/

Abdomen

Inspeksi:
Dinding abdomen datar, bekas luka jahitan tampak tertutup kassa +

hypafix, tidak ada rembesan darah


Auskultasi:
Bising usus (+)

Palpasi:

Nyeri tekan di regio kanan dan kiri bawah abdomen

Tidak teraba adanya massa

Defans muscular (-)

Perkusi:
Timpani di seluruh lapang abdomen

Ekstremitas :
Akral dingin
Akral sianosis
Oedem
Capillary Refill

Assessment:
Post OP Laparatomi H2
Planning :

Terapi:
Cefadroxil 2x1

Superior
(-/-)
(-/-)
(-/-)
< 2

Inferior
(-/-)
(-/-)
(-/-)
< 2

As. Mefenamat 3x1

Monitoring:
Keadaan umum
Tanda vital
Gejala klinis
Mobilisasi
Boleh pulang

Bab II
Pendahuluan
Apendisitis adalah peradangan pada organ appendiks vermiformis atau
yang dikenal juga sebagai usus buntu. Berdasarkan onsetnya, apendisitis dibagi
menjadi beberapa macam, dari appendisitis akut hingga kronis. Apendisitis akut
sendiri adalah salah satu penyebab keadaan bedah emergensi terbanyak, yang
ditandai dengan gejala berupa nyeri perut pada ulu hati / epigastrium yang
menjalar ke kuadran kanan bawah. Hingga saat ini penyebab keadaan akut
abdomen di negara negara (Negara berkembang dan negara maju) terbanyak
adalah appendisitis akut.
Peradangan pada apendiks ini dapat ditemukan pada masyarakat dari
berbagai usia, dan juga dari berbagai kalangan yang berbeda pula. Terdapat sekitar
250.000 kasus apendisitis yang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya dan
terutama terjadi pada anak usia 6 10 tahun. Di Indonesia sendiri belum ada data

pasti yang menyatakan jumlah insiden apendisitis, namun insiden terbanyak


terjadi pada usia 10 30 tahun, dengan jumlah penderita pria lebih banyak
daripada wanita. Walaupun apendisitis ini dapat ditemukan pada berbagai usia,
namun angka komplikasi tertinggi ada pada penderita pada rentang usia muda
(anak anak) dan usia tua, di mana angka komplikasi berupa perforasi apendiks
diikuti dengan peritonitis generalisata cukup tinggi.
Sejalan dengan waktu, insiden apendisitis ini terus meningkat, hal ini
diduga berkaitan dengan pola makan yang semakin rendah serat, di mana
menyebabkan terbentuknya faeses yang keras dan kemudian menyebabkan
sumbatan pada lumen apendiks sehingga terjadi peradangan.
Terapi definitif dari apendisitis, baik akut maupun kronis adalah dengan
melakukan pengangkatan apendiks yang meradang. Tindakan ini dilakukan secara
bedah, dan dapat dilakukan dengan beberapa metode, baik laparotomi,
laparoscopi, maupun dengan simpel appendectomy (insisi pada McBurney) sesuai
dengan indikasinya. Apendisitis akut yang tidak ditangani dengan adekuat /
definitif maka akan dapat menyebabkan perforasi diikuti dengan peritonitis yang
dapat menyebabkan syok dan akhirnya bisa menyebabkan kematian.
Bab III
Tinjauan Pustaka
III.1 Anatomi Apendiks
Appendix vermicularis adalah divertikulum intestinal yang berukuran
kurang lebih 6 10 cm dan terletak pada caecum. Organ ini berbentuk tabung
dengan lumen yang sempit pada bagian proksimal dan melebar pada bagian distal,
kapasitas apendiks sendiri kurang lebih 0,1 ml. Organ ini tersusun dari jaringan
limfoid dan merupakan bagian integral dari GALT (Gut-Associated Lymphoid
Tissue). Lokasi apendiks terbanyak berasal dari bagian posteromedial caecum, di
bawah ileocaecal junction. Apendiks sendiri memiliki mesenterium yang
mengelilinginya, yang disebut mesoappendix, yang berasal dari bagian posterior
mesenterium yang mengelilingi ileum terminalis. Posisi terbanyak dari appendiks
sendiri adalah retrocaecal, namun demikian ada variasi dari lokasi apendiks ini.

65% dari posisi apendiks terletak intraperitoneal sementara sisanya


retroperitoneal. Di sini variasi posisi apendiks menentukan gejala yang akan
muncul saat terjadi peradangan. Beberapa variasi posisi apendiks terhadap caecum
adalah sebagai berikut :
1. Retrocaecal (65%)

4. Preileal

2. Pelvinal

5. Postileal

3. Antecaecal

Gambar 1. Variasi Posisi Apendiks


Posisi terbanyak adalah retrocaecal, namun demikian posisi apendiks dapat ditemukan
dengan menelusuri ketiga taenia yang terdapat pada caecum (dan colon), yaitu taenia
colica, taenia libera, dan taenia omental.
Vaskularisasi apendiks berasal dari arteri ileocolica yang merupakan cabang dari
arteri mesenterika superior. Cabang arteri ileokolika ini disebut arteri appendicularis,
dengan aliran venanya berasal dari vena ileocolica dan akan kembali ke vena
mesenterika superior. A. appendicularis ini tidak memiliki kolateral sehingga ketika
terjadi oklusi apapun penyebabnya, maka mudah terjadi iskemia dan gangren, hingga
akhirnya perforasi. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n. vagus yang mengikuti
a. mesenterica superior dan a. appendicularis, sedangkan persarafan simpatis berasal
dari n. torakalis x. Oleh karena itu, nyeri visceral pada apendisitis bermula di sekitar
umbilicus.
III.2 Fisiologi Appendiks

Apendiks menghasilkan lendir/ mucus setiap harinya sejumlah 1 2 cc per hari,


di mana kelebihan dari mucus akan mengalir dari lumen ke caecum. Adanya obstruksi
pada jalur inilah yang menyebabkan terjadinya peradangan pada apendiks.
Salah

satu

hal

lain

yang

dilakukan

apendiks

adalah

menghasilkan

Immunoglobulin sekretoar, yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue)
yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, yaitu IgA. Immunoglobulin
berfungsi sebagai pertahanan terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan
apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfoid disini
sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh
tubuh, sehingga hilangnya apendiks tidak menimbulkan perubahan yang bermakna.
III.3 Insiden & Epidemiologi Apendisitis
Terdapat sekitar 250.000 kasus apendisitis yang terjadi di Amerika Serikat setiap
tahunnya dan terutama terjadi pada anak usia 6-10 tahun. Apendisitis lebih banyak
terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 3:2. Bangsa
Kaukasia lebih sering terkena dibandingkan dengan kelompok ras lainnya. Apendisitis
akut lebih sering terjadi selama musim panas.
Insidensi Apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara
berkembang, tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya menurun, sementara di
negara berkembang juga terus meningkat. Apendisitis dapat ditemukan pada semua
umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insidensi tertinggi
pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Insidensi pada lakilaki dan perempuan umumnya sebanding, dengan jumlah penderita pria lebih banyak
sedikit daripada wanita.
III.4 Etiologi Apendisitis
Penyebab apendisitis yang terutama adalah infeksi bakteri yang didahului
dengan obstruksi pada lumen apendiks. Obstruksi ini menyebabkan stasis cairan dan
distensi dari apendiks sehingga menyebabkan pendarahan terganggu akibat vena dan
arteri tertekan oleh distensi dan edema yang terjadi. Akibatnya terjadi stasis mucus dan
penurunan suplai darah apendiks yang memudahkan terjadinya infeksi sekunder oleh

bakteri yang kemudian menyebabkan terjadinya peradangan apendiks. Penyebab


obstruksi lumen apendiks antara lain adalah :

Fecalith

Parasit

Benda benda asing

Hiperplasia jaringan limfoid


Insidensi terjadinya apendisitis yang berhubungan dengan hiperplasia
jaringan limfoid biasanya disebabkan oleh reaksi limfatik baik lokal atau
general, misalnya akibat infeksi Yersinia, Salmonella, dan Shigella; atau akibat
invasi parasit seperti Entamoeba, Strongyloides, Enterobius vermicularis,
Schistosoma, atau Ascaris. Appendisitis juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus
enteric atau sistemik, seperti measles, chicken pox, dan cytomegalovirus.

Tumor / Carcinoid tumor


Adalah neoplasma yang sering ditemui pada usus halus dan apendiks,
bila carcinoid tumor ini mengobstruksi lumen apendiks maka dapat terjadi
apendisitis juga.
Obstruksi dari hal hal ini menyebabkan terjadinya stasis dan penimbunan

mukus pada lumen apendiks yang kemudian menyebabkan gejala gejala, di mana
biasanya akan terjadi infeksi sekunder oleh bakteri, bakteri yang sering dapat ditemukan
antara lain adalah :

Tabel 1. Bakteri yang diisolasi / sering ditemui pada apendisitis


Bakteri aerob fakultatif

Escherichia coli

Bakteri anaerob

Bacteroides fragilis

Viridans streptococci

Peptostreptococcus micros

Pseudomonas aeruginosa

Bilophila species

Enterococcus

Lactobacillus species
Jadi etiologi terbanyak dari apendisitis adalah obstruksi, namun bukan tidak

mungkin terjadi proses inflamasi yang tidak melibatkan obstruksi lumen terlebih dahulu,
hal in dapat terjadi jika memang ada penyebaran infeksi langsung ke apendiks misalnya,
baik virus maupun bakteri.

III.5 Patofisiologi & Patogenesis Apendisitis


Pada dasarnya, obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks (apapun
penyebabnya) akan menyebabkan terjadinya distensi apendiks, hal ini karena kapasitas
apendiks untuk menampung mucus hanya sekitar 0.1 0.2 ml, sementara sekresi mucus
perharinya mencapai 1 2 ml. Hal ini menyebabkan distensi lumen yang diikuti dengan
penekanan pada drainase limfe dan akhirnya terjadi stasis cairan pada apendiks,
biasanya akan terbentuk edema juga. Hal ini yang disebut sebagai appendicitis akut
fokal, di sini distensi dari apendiks menyebabkan adanya respon nyeri visceral yang
tidak spesifik, sehingga biasanya gejala yang dialami pasien adalah nyeri epigastrium
yang sulit untuk dideskripsikan dan dilokalisasi.
Distensi yang terus terjadi akan menyebabkan tekanan intra-lumen terus
meningkat, hal ini akan diikuti dengan penekanan terhadap sistem vena appendicular
sehingga drainase vena terganggu, akibatnya terjadi translokasi dan proliferasi bakteri
pada apendiks, edema yang sudah terbentuk juga mempermudah terjadinya proses
infeksi, akibatnya terjadilah infeksi dan inflamasi pada apendiks, inflamasi pada
apendiks ini akan menyebabkan gejala nyeri perut pada kuadran kanan bawah saat
inflamasinya meluas dan mengenai peritoneum setempat. Tahap ini disebut sebagai
appendicitis akut supuratif.
Ketika obstruksi lumen terus berlanjut, maka tekanan intra lumen juga akan terus
meningkat, hal ini menyebabkan tidak hanya obstruksi vena yang terjadi akibat
penekanan, namun juga menyebabkan obstruksi arteri appendicular karena edema dan
tekana intra lumen yang terus meningkat mendesak dan menekan sistem arteri. Karena
sistem arteri yang mendarahi apendiks tidak memiliki sistem kolateral, maka akan
terjadi iskemia jaringan, yang bila berlanjut akan menyebabkan terjadinya nekrosis
jaringan dan gangren, hal ini dikenal sebagai appendicitis gangrenous, di mana apendiks
yang sudah dalam keadaan seperti ini sangat mudah mengalami perforasi yang dapat
menyebabkan perluasan infeksi ke peritoneum (akibatnya terjadilah peritonitis).
Sebenarnya tubuh juga melakukan usaha pertahanan untuk membatasi proses
peradangan ini. Caranya adalah dengan menutup apendiks dengan omentum, dan usus
halus, sehingga terbentuk massa periappendikuler yang dikenal dengan istilah
appendicitis infiltrat. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang

dapat mengalami perforasi. Namun, jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh
dan massa periappendikuler akan menjadi tenang dan selanjutnya akan mengurai diri
secara lambat. Pada anak-anak, dengan omentum yang lebih pendek, apendiks yang
lebih panjang, dan dinding apendiks yang lebih tipis, serta daya tahan tubuh yang masih
kurang, memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah
terjadi karena adanya gangguan pembuluh darah.

Gambar 2. Angka Perforasi Apendisitis berdasarkan Usia


Appendiks yang pernah mengalami inflamasi tidak akan sembuh dengan
sempurna, tetapi akan membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya
perlekatan dengan jaringan sekitarnya. Perlekatan tersebut dapat kembali menimbulkan
keluhan pada perut kanan bawah. Pada suatu saat organ ini dapat mengalami peradangan
kembali dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut. Keadaan di mana appendiks telah
mengalami fibrosis dan pembentukan jaringan parut ini disebut sebagai appendicitis
kronis, di mana biasanya hal ini ditandai dengan nyeri kanan bawah yang hilang timbul,
dan riwayat nyeri pertama kali yang tidak ditangani dengan terapi bedah, di mana
nyerinya kemudian berkurang dan menjadi hilang timbul. Pada pemeriksaan USG juga
akan nampak appendiks yang mengalami penebalan dan fibrosis.

Gambar 3. Patofisiologi terjadinya Apendisitis


III.6 Gejala & Manifestasi Klinis Apendisitis
Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis adalah nyeri
samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium, di sekitar umbilikus atau periumbilikus.
Keluhan ini biasanya disertai dengan rasa mual dan muntah, dan pada umumnya nafsu
makan menurun/ anorexia. Kemudian dalam beberapa jam (4 6 jam), nyeri akan
beralih ke kuadran kanan bawah, ke titik McBurney (Migratory pain). Di titik ini nyeri
terasa lebih tajam dan jelas letaknya, sehingga merupakan nyeri somatik setempat.
Terkadang appendisitis juga disertai dengan low-grade fever sekitar 37,5 -38,5 0C.
Biasanya urutan gejala juga berpengaruh, di mana pada 95% kasus urutannya

adalah sebagai berikut : Anorexia ==> Abd. pain ==> Vomiting /


muntah, walaupun demikian urutan gejala ini bukanlah patokan
untuk penegakan diagnosa.
Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul sebagai akibat
dari appendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak apendiks ketika meradang.
Berikut gejala yang timbul tersebut.
1. Bila letak apendiks retrocaecal retroperitoneal, yaitu di belakang caecum
(terlindung oleh caecum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan
tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih kearah perut kanan atau
nyeri timbul pada saat melakukan gerakan seperti berjalan, bernapas dalam,
batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi m.psoas mayor
yang menegang dari dorsal.
2. Bila apendiks terletak di rongga pelvis :

Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan timbul
gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristalsis meningkat,
pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang (diare).

Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat
terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangannya dindingnya.

Gejala apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit dilakukan
diagnosis, dan akibatnya apendisitis tidak ditangani tepat pada waktunya, sehingga
biasanya baru diketahui setelah terjadi perforasi. Berikut beberapa keadaan dimana
gejala apendisitis tidak jelas dan tidak khas :

Anak-anak
Gejala awalnya sering hanya menangis dan tidak mau makan. Seringkali anak

tidak bisa menjelaskan rasa nyerinya. Dan beberapa jam kemudian akan terjadi muntahmuntah dan anak menjadi lemah dan letargik. Karena ketidakjelasan gejala ini, sering
apendisitis diketahui setelah perforasi. Begitupun pada bayi, 80-90 % apendisitis baru
diketahui setelah terjadi perforasi.

Orang tua berusia lanjut


Gejala sering samar-samar saja dan tidak khas, sehingga lebih dari separuh

penderita baru dapat didiagnosis setelah terjadi perforasi.

Wanita
Gejala apendisitis sering dikacaukan dengan adanya gangguan yang gejalanya

serupa dengan apendisitis, yaitu mulai dari alat genital (proses ovulasi, menstruasi),
radang panggul, atau penyakit kandungan lainnya. Pada wanita hamil dengan usia
kehamilan trimester, gejala apendisitis berupa nyeri perut, mual, dan muntah,
dikacaukan dengan gejala serupa yang biasa timbul pada kehamilan usia ini. Sedangkan
pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks terdorong ke kraniolateral, sehingga
keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan.

Gambar 4. Perubahan Posisi Apendiks pada Wanita Hamil


Tabel 2. Gejala Apendisitis Akut
Gejala Appendicitis Akut

Frekuensi
(%)

Nyeri perut
Anorexia
Mual
Muntah
Nyeri berpindah
Gejala sisa klasik (nyeri periumbilikal kemudian anorexia/mual/muntah

100
100
90
75
50

kemudian nyeri berpindah ke RLQ kemudian demam yang tidak terlalu

50

tinggi)

*-- Onset gejala khas terdapat dalam 24-36 jam


III.7 Penegakan Diagnosa Apendisitis
III.7.1 Anamnesis
Urutan kejadian gejala mempunyai kemaknaan diagnosis banding
yang besar, lebih dari 95% apendisitis akut, anoreksia merupakan gejala
pertama, diikuti oleh nyeri
abdominal dan baru diikuti oleh vomitus.
a) Nyeri/Sakit perut
Keluhan utama pada pasien apendistis akut ialah nyeri
perut. Gambaran klinisnya yang umum ialah nyeri perut dibagian
tengah yang seiring waktu berpindah ke daerah fosa iliaka kanan.
Gambaran klasik ini pertama kali dideskripsikan oleh Murphy
namun hanya terjadi pada setengah kasus apendistis akut.
Khasnya, nyeri awalnya muncul disekitar umbilikus dan semakin
lama semakin meningkat intensitasnya selama 24 jam pertama.
Nyeri kemudian berpindah dan menetap di fosa iliaka kanan.
Nyeri yang pertama kali dirasakan pasien merupakan nyeri
alih akibat inervasi visceral dari usus tengah (midgut). Nyeri ini
terjadi karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi, dan
terjadi pada seluruh saluran cerna, sehingga nyeri viseral
dirasakan pada seluruh perut (tidak pin-point). Selain itu nyeri
juga timbul oleh karena kontraksi apendiks, distensi dari lumen
apendiks ataupun karena tarikan dinding apendiks yang mengalami
peradangan. Nyeri visceral ini merupakan nyeri yang sifatnya
hilang timbul seperti kolik yang dirasakan di daerah umbilikus
dengan sifat nyeri ringan sampai berat.
Nyeri yang terlokalisir kemudian

disebabkan

oleh

peradangan (>6 jam) dan iritasi langsung peritoneum parietalis


akibat proses peradangan lebih lanjut. Biasanya penderita dapat
menunjukkan letak nyeri, karena bersifat somatik. Nyeri ini
memiliki sifat nyeri yang lebih tajam, terlokalisir serta nyeri akan
lebih hebat bila batuk ataupun berjalan kaki.
b) Mual dan muntah

Muntah terjadi akibat rangsangan terhadap nervus vagus.


Anoreksia, nausea, dan vomitus biasanya muncul beberapa jam
setelah nyeri abdomen. Anoreksia hampir selalu dijumpai pada
pasien dengan apendisitis akut sehingga sangat penting ditanyakan
pada anamnesis. Meskipun demikian ketiadaan anoreksia tidak
menyingkirkan diagnosis apendisitis. Hampir 75% penderita
disertai dengan muntah, namun jarang berlanjut menjadi berat dan
kebanyakan muntah hanya sekali atau dua kali. Muntah yang berat
mungkin menandakan onset awal peritonitis generalisata akibat
perforasi apendiks. Sebaliknya muntah jarang dijumpai pada
apendiks nonperforasi.
c) Obstipasi
Obstipasi biasanya terjadi karena penderita takut mengejan.
Keluhan obstipasi biasanya muncul sebelum rasa nyeri dan
beberapa penderita sebaliknya dapat mengalami diare. Diare
biasanya timbul pada letak apendiks pelvikal yang merangsang
daerah rektum.
d) Demam (infeksi akut)
Keluhan demam biasanya muncul apabila

appendicitis

disertai komplikasi. Gejalanya adalah demam yang tidak terlalu


tinggi, yaitu suhu antara 37,5-38,5 0C. Demam tinggi biasanya
dijumpai pada kasus apendisitis yang diduga telah terjadi perforasi
Tabel 3. Gejala Appendicitis Akut.

Umumnya posisi anatomis apendiks dan manifestasi klinis akibat

peradangannya
ialah sebagai berikut:
1. Retrocaecum atau retrokolik (75%): Pada posisi ini sering ditandai
dengan nyeri inguinal kanan disertai dengan nyeri tekan saat
dilakukan palpasi. Rigiditas muskuler dan nyeri tekan saat
dilakukan palpasi dalam sering tidak dijumpai oleh karena
apendiks terlindungi oleh sekum. Otot psoas seringkali mengalami
iritasi

akibat

proses

peradangan

apendiks

didekatnya

dan

mengakibatkan fleksi pinggul dan nyeri yang bertambah hebat saat


dilakukan ekstensi pinggul. Tanda ini dikenal sebagai psoas
stretch sign.
2. Subcaecum dan pelvis (20%): Gejala klinis yang menonjol pada
posisi ini ialah nyeri suprapubik dan urinary frequency. Diare
dapat timbul oleh karena iritasi pada rectum. Nyeri tekan abdomen
mungkin jarang ditemukan namun nyeri tekan disebelah kanan
pada pemeriksaan colok dubur dan colok vagina mungkin dapat
dijumpai. Pada pemeriksaan urin lengkap mungkin dapat dijumpai
hematuria mikroskopik dan leukosituria.
3. Preileal dan post ileal (5%): Pada posisi ini gejala dan tanda yang
muncul dapat sangat minimal. Biasanya muntah lebih menonjol
dan diare dapat muncul akibat iritasi ileum distal.
Untuk apendisitis akut yang telah mengalami komplikasi, seperti
perforasi, peritonitis dan infiltrat atau abses, gejala klinisnya seperti
dibawah ini:
a) Perforasi : Terjadi pada 20% penderita terutama usia lanjut. Rasa
nyeri bertambah dasyat dan mulai dirasa menyebar, demam tinggi
(rata-rata 38,3 0C). Jumlah lekosit yang meninggi merupakan tanda
khas kemungkinan sudah terjadi perforasi.
b) Peritonitis : Peritonitis lokal merupakan

akibat

dari

mikroperforasi dari apendisitis yang telah mengalami gangren.


Sedangkan peritonitis umum adalah merupakan tindak lanjut
daripada peritonitis lokal tersebut. Bertambahnya rasa nyeri,

defans muskuler yang meluas, distensi abdomen, bahkan ileus


paralitik, merupakan gejala-gejala peritonitis umum. Bila demam
makin tinggi dan timbul gejala-gejala sepsis, menunjukkan
peritonitis yang makin berat.
c) Abses/infiltrat : Merupakan akibat lain dari perforasi. Teraba
masa lunak di abdomen kanan bawah. Seperti tersebut diatas
karena perforasi terjadilah walling off (pembentukan dinding)
oleh omentum atau viscera lainnya, sehingga teraba massa
(infiltrat) di regio abdomen kanan bawah tersebut. Masa mulamula bisa berupa plegmon, kemudian berkembang menjadi rongga
yang berisi pus. Dengan USG bisa dideteksi adanya bentukan
abses

ini.

Untuk

masa

atau

infiltrat

ini,

beberapa

ahli

menganjurkan antibiotik dulu, setelah 6 minggu kemudian


dilakukan apendektomi. Hal ini untuk menghindari penyebaran
infeksi.
Selain posisi apendiks, gambaran klinis apendistis akut juga
dipengaruhi oleh umur pasien dan keadaan fisiologis tertentu
seprti kehamilan. Meskipun jarang terjadi pada anak-anak,
apendistis akut dapat menimbulkan kesulitan diagnosis pada
pasien dengan usia muda. Anak-anak terutama bayi biasanya
tidak mampu mengungkapkan keluhan yang dialaminya. Selain
itu, gejala dan tanda yang muncul juga tidak bersifat spesifik.
Oleh karena itu, diagnosis apendistis akut sering terlambat atau
bahkan sama sekali tidak dapat ditegakkan sehingga memberikan
kontribusi terhadap laju perforasi yang cukup tinggi yaitu sebesar
50% pada kelompok umur ini.
Pasien appendicitis akut berusia lanjut memiliki laju
mortalitas paling tinggi. Pada pasien ini sering kali gejala dan
tanda apendistis akut tidak khas, berkurang, atau tidak muncul
sama sekali. Sebagai tambahan, pasien lanjut usia biasanya
keadaan umumnya agak jelek dan sering disertai dengan kondisi
komorbid lain seperti penyakit jantung, diabetes, dan ginjal.
Kombinasi kedua faktor ini memberikan kontribusi terhadap laju

mortalitas yang tinggi hingga lebih dari 5% pada kelompok usia


lanjut.
Kondisi lain yang perlu mendapatkan perhatian lebih ialah
pasien apendistis akut dengan kehamilan. Pada kehamilan, posisi
apendiks mulai bergeser pada bulan keempat sampai kelima
kehamilan.

Gejala-gejala

yang

menyertai

kehamilan

sering

menyerupai gejala apendisitis. Selain itu leukositosis yang sering


terjadi pada kehamilan menyebabkan pemeriksaan hitung WBC
dalam diagnosis apendistis akut menjadi kurang bermanfaat.
Meskipun laju mortalitas pada ibu cukup rendah, laju mortalitas
pada bayi yang dikandung mencapai 2-8,5% dan meningkat
menjadi 35% jika terjadi perforasi disertai peritonitis generalisata.
III.7.2 Pemeriksaan Fisik
Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5 oC. Bila suhu
lebih tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa ditemui perbedaan suhu aksila
dan rectal >= 1oC.

Inspeksi
Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk
dan memegang perut. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut
tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada
penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah

bisa dilihat pada massa atau abses appendikuler yang besar.


Palpasi
Beberapa tanda penting yang dapat ditemukan saat melakukan
palpasi pada pemeriksaan abdomen kuadran kanan bawah :
Nyeri tekan Mc.Burney : Pada palpasi didapatkan titik nyeri
tekan kuadran kanan bawah atau titik Mc Burney dan ini

merupakan tanda kunci diagnosis.


Nyeri lepas : Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah rasa

nyeri yang terjadi akibat rangsangan pada peritoneum.


Defans muskuler : Defence muscular adalah nyeri tekan seluruh
lapangan abdomen yang menunjukkan adanya rangsangan
peritoneum parietalis. Rangsangan ini kemudian menyebabkan
rangsangan pada muskulus rektus abdominis sehinggga otot ini

mengalami kontraksi.
Rovsing sign : Penekanan perut sebelah kiri akan menyebabkan
nyeri sebelah kanan. Hal ini disebabkan karena tekanan tersebut
menyebabkan organ dalam terdorong kearah kanan dan

memberikan tekanan pada apendiks yang meradang.


Blumberg Sign : nyeri kanan bawah bila tekanan sebelah kiri

dilepaskan.
Dunphy's sign : Nyeri bertambah saat batuk.
Kocher/Kosher's sign : Didapati saat anamnesis, nyeri muncul
pertama kali di regio epigastrium atau di sekitar lambung,

kemudian menjalar berpindah ke regio iliaka dextra.


Psoas sign: tanda ini biasanya ditemukan pada apendiks yang
terletak retrosekal. Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan
m. psoas oleh peradangan yang terjadi pada apendiks. Ada 2 cara
memeriksa :
Aktif: Pasien telentang, tungkai kanan lurus ditahan
pemeriksa, pasien memfleksikan articulatio coxaekanan

dan nyeri dirasakan di perut kanan bawah.


Pasif: Pasien berbaring pada posisi lateral dekubitus kiri
kemudian pemeriksa melakukan ekstensi pasif paha kanan

sambil menahan pinggul kanan penderita (tanda bintang).


Obturator Sign: Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi
bila panggul dan lutut difleksikan kemudian dirotasikan kearah
dalam,

terjadi

karena

peradangan

apendiks

menyentuh

m.Obturator Internus yang merupakan dinding panggul kecil. Hal


tersebut menunjukkan bahwa apendiks terletak pada rongga

pelvis.
Auskultasi
Peristaltik biasanya normal, peristaltik yang menghilang akan
ditemukan pada illeus paralitik karena peritonitis generalisata akibat
perforasi

apendiks.

Auskultasi

tidak

banyak

membantu

dalam

menegakkan diagnosis apendisitis, tetapi kalau sudah terjadi peritonitis

maka tidak terdengar bunyi peristaltik usus.


Pemeriksaan Colok Dubur / Rectal Touche

Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis, untuk menentukan


letak apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan
pemeriksaan ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang
meradang terletak didaerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci
diagnosis pada apendisitis pelvika.
III.7.3 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan tes protein reaktif (CRP).
Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000
20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas 75 %, sedangkan pada CRP
ditemukan jumlah CRP pada serum yang meningkat.
Pemeriksaan urin bisa dilakukan untuk melihat adanya eritrosit, leukosit
dan bakteri di dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam
menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal
yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan apendisitis.
Pemeriksaan Radiologi
Terdiri dari pemeriksaan radiologis, ultrasonografi dan CT-scan.

Abdominal X-Ray :
Pada apendisitis akut, pemeriksaan foto polos abdomen tidak
banyak membantu. Mungkin terlihat adanya fekalit pada abdomen
sebelah kanan bawah yang sesuai dengan lokasi apendiks,
gambaran ini ditemukan pada 20% kasus.1,5 Kalau peradangan
lebih luas dan membentuk infiltrat maka usus pada bagian kanan
bawah akan kolaps. Dinding usus edematosa, keadaan seperti ini
akan tampak pada daerah kanan bawah abdomen kosong dari
udara. Gambaran udara seakan-akan terdorong ke pihak lain.
Proses peradangan pada fossa iliaka kanan akan menyebabkan
kontraksi otot sehingga timbul skoliosis ke kanan. Gambaran ini
tampak pada penderita apendisitis akut.
Bila sudah terjadi perforasi, maka pada foto abdomen tegak
akan tampak udara bebas di bawah diafragma. Kadang-kadang
udara begitu sedikit sehingga perlu foto khusus untuk melihatnya.

Kalau sudah terjadi peritonitis yang biasanya disertai dengan


kantong-kantong pus, maka akan tampak udara yang tersebar tidak
merata dan usus-usus yang sebagian distensi dan mungkin tampak
cairan

bebas,

gambaran

lemak

preperitoneal

menghilang,

pengkaburan psoas shadow. Walaupun terjadi ileus paralitik tetapi


mungkin terlihat pada beberapa tempat adanya permukaan cairan
udara (air-fluid level) yang menunjukkan adanya obstruksi. Foto
polos abdomen supine pada abses apendiks kadang-kadang
memberi pola bercak udara dan

air fluid level

pada posisi

berdiri/LLD, kalsifikasi bercak rim like (melingkar) sekitar


perifer mukokel yang asalnya dari apendiks.

Ultrasonography :
Bila hasil

pemeriksaan

fisik

meragukan,

dapat

dilakukan pemeriksaan USG. Pada kasus apendisitis akut


akan nampak adanya:
1. Adanya struktur yang aperistaltik, blind-ended, keluar dari dasar
2.
3.
4.
5.
6.
7.

caecum.
Dinding apendiks nampak jelas, dapat dibedakan.
Diameter luar appendix lebih dari 6 mm.
Adanya gambaran target
Adanya appendicolith / fecalith.
Adanya timbunan cairan periappendicular
Tampak lemak pericaecal echogenic prominent.
Keadaan apendiks supurasi atau gangren ditandai dengan

distensi lumen oleh cairan, penebalan dinding apendiks dengan


atau tanpa apendikolit. Keadaan apendiks perforasi ditandai
dengan tebal dinding apendiks yang asimetris, cairan bebas
intraperitonial, dan abses tunggal atau multipel.
Pada wanita, USG dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis
banding seperti kehamilan ektopik, adneksitis, dan sebagainya.

CT Scan :
Diameter apendiks akan nampak lebih dari 6mm, ada penebalan
dinding apendiks, setelah pemberian kontras akan nampak enhancement
gambaran dinding appendiks. CT scan juga dapat menampakkan
gambaran perubahan inflamasi periappendicular, termasuk diantaranya

inflammatory fat stranding, phlegmon, free fluid, free air bubbles,


abscess, dan adenopathy. CT-Scan mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi yaitu 90 100% dan 96 97%, serta akurasi 94
100%. Ct-Scan sangat baik untuk mendeteksi apendiks dengan abses
atau flegmon
Tabel 4. Perbandingan pemeriksaan penunjang apendisitis akut:
Ultrasonografi
CT-Scan
Sensitivitas 85%
90 100%
Spesifisitas 92%
95 - 97%
Akurasi
90 94%
94 100%
Keuntungan Aman
Lebih akurat
relatif tidak mahal
Mengidentifikasi abses dan flegmon
lebih baik
Dapat mendignosis kelainan lainMengidentifikasi apendiks normal

Kerugian

pada wanita
Baik untuk anak-anak
Tergantung operator
Sulit secara tehnik
Nyeri
Sulit di RS daerah

lebih baik
Mahal
Radiasi ion
Kontras
Sulit di RS daerah

Gambar 5. Algoritma Diagnostik Apendisitis


Histopatologi Apendisitis Akut
Pemeriksaan histopatologi adalah salah satu standar emas (gold
standard) untuk diagnosis appendisitis akut. Ada beberapa perbedaan pendapat

mengenai gambaran histopatologi apendisitis akut. Perbedaan ini didasarkan


pada kenyataan bahwa belum adanya kriteria gambaran histopatologi
appendisitis akut secara universal dan tidak ada gambaran histopatologi
apendisitis akut pada orang yang tidak dilakukan opersi Riber et al, pernah
meneliti variasi diagnosis histopatologi apendisitis akut.
Tabel 5. Definisi histopatologi appendisitis akut:
1
Sel granulosit pada mukosa dengan ulserasi fokal atau difus di lapisan epitel.
2
Abses pada kripte dengan sel granulosit dilapisan epitel.
3
Sel granulosit dalam lumen apendiks dengan infiltrasi ke dalam lapisan epitel.
4
Sel granulosit diatas lapisan serosa apendiks dengan abses apendikuler,
dengan atau tanpa terlibatnya lapisan mukusa.
5
Sel granulosit pada lapisan serosa atau muskuler tanpa abses mukosa dan
keterlibatan lapisan mukosa, bukan apendisitis akut tetapi periapendisitis.
Skor Alvarado
Semua penderita dengan suspek Apendisitis acuta dibuat skor Alvarado
dan diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu: skor <6>6. Selanjutnya
dilakukan Appendectomy, setelah operasi dilakukan pemeriksaan PA terhadap
jaringan Apendiks dan hasilnya diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu:
radang akut dan bukan radang akut.
Tabel 6. Alvarado Score untuk membantu menegakkan diagnosis
Manifestasi
Gejala
Adanya migrasi nyeri
Anoreksia
Mual/muntah
Tanda
Nyeri RLQ
Nyeri lepas
Febris
Laboratorium Leukositosis
Shift to the left
Total poin
Keterangan:

Skor
1
1
1
2
1
1
2
1
10

0-4 : bukan appendicitis

7-8 : kemungkinan besar appendicitis

5-6 : kemungkinan kecil

9-10 : hampir pasti appendicitis

Penanganan berdasarkan skor Alvarado :


14

: observasi

56

: antibiotik/ diobservasi di rumah sakit

7 10 : operasi dini
III.8 Diagnosa Banding Apendisitis
Banyak masalah yang dihadapi saat menegakkan diagnosis apendisitis karena
penyakitlain yang memberikan gambaran klinis yang hampir sama dengan apendisitis,
diantaranya:
-

Gastroenteritis :
Ditandai dengan mual, muntah dan diare mendahului rasa sakit. Sakitperut lebih
ringan, hiperperistaltis sering ditemukan, panas dan leukositosis kurang

menonjol dibandingkan dengan apendisitis akut


Limfadenitis mesenterika :
Biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis. Ditandai dengan nyeri
perut kanan disertai dengan perasaan mual dan nyeri tekan perut.

Demam dengue :
Dimulai dengan

sakit

perut

mirip

peritonitis

dan

diperoleh

hasil

positif untuk rumple leed, trombositopenia dan hematokrit yang meningkat


Pelvic Inflammatory Disease seperti salpingitis akut kanan sulit dibedakan
dengan apendisitis akut. Suhu biasanya lebih tinggi daripada apendisitis dan
nyeri perut bagian bawah lebih difus. Infeksi panggul pada wanita biasanya

diserai keputihan dan infeksi urin.


Gangguan alat reproduksi perempuan :
Folikel de Graaf yang pecah dapat memberikan nyeri perut kanan bawah pada
pertengahan siklis menstruasi. Tidak ada tanda radang dan nyeri biasa hilang

dalam waktu 24 jam.


Kehamilan ektopik :
Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak jelas
seperti ruptur tuba dan abortus. Kehamilan di luar rahim disertai pendarahan

menimbulkan nyeri mendadak difus di pelvic dan bisa terjadi syok hipovolemik.
Divertikulitis Meckel :
Gambaran klinisnya hampir sama dengan apendisitis akut dan sering
dihubungkan dengan komplikasi yang mirip pada apendistis akut sehingga

diperlukan pengobatan serta tindakan bedah yang sama.


Ulkus peptikum perforasi
Sangat mirip dengan apendisitis jika isi gastroduodenum mengendap turun ke
daerah usus bagian kanan sekum, karena dapat menyebabkan inflamasi apendiks

juga.
Ureterolithiasis :

Jika diperkirakan berada dekat apendiks dapat menyerupai apendisitis


retrocaecal. Nyeri menjalar ke labia, skrotum, penis, dengan hematuria dan
demam atau leukositosis.

Gambar 6. Berbagai Penyebab Nyeri RLQ


III.9 Penatalaksanaan Appendicitis

Cito : akut, abses & perforasi

Elektif : kronik

Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah apendektomi.
Penundaan apendektomi sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses
atau perforasi. Insidensi apendiks normal yang dilakukan pembedahan sekitar 20%.
Pada apendisitis akut tanpa komplikasi tidak banyak masalah. Perjalanan patologis
penyakit dimulai pada saat apendiks menjadi dilindungi oleh omentum dan gulungan
usus halus didekatnya. Mula-mula, massa yang terbentuk tersusun atas campuran
membingungkan bangunan-bangunan ini dan jaringan granulasi, dan biasanya dapat
segera dirasakan secara klinis. Jika peradangan pada apendiks tidak dapat diatasi oleh

mekanisme tubuh, massa tadi menjadi terisi nanah, semula dalam jumlah sedikit, tetapi
segera menjadi abses yang jelas batasnya.
Urut-urutan patologis ini merupakan masalah, jika penderita ditemui lewat
sekitar 48 jam, saat dilakukan operasi untuk membuang apendiks, sudah terbentuk suatu
massa dengan perlekatan yang memiliki banyak vaskularisasi, sehingga membuat
operasi pembuangan apendiks menjadi berbahaya karena struktur apendiks menjadi
tidak jelas dan resiko perdarahan bertambah. Maka pada kasus seperti ini,

harus

menunggu sampai terjadi pembentukan abses yang dapat didrainase.


Massa apendiks terjadi bila terjadi apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi
yang ditutupatau dibungkus oleh omentum dan lekuk usus halus. Pada massa
periapendikular yang pendidingannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus
keseluruh

rongga

peritoneum

jika

terjadi

perforasi.

Oleh

karena

itu,massa

periapendikular yang masih bebas disarankan segera dioperasi untuk mencegah penyulit
tersebut. Selain itu, operasi lebih mudah. Pada anak, dipersiapkan untuk operasi dalam
waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa dengan massa periapendikular yang terpancang
dengan pendindingan sempurna, dianjurkan untuk dirawat dahulu dan diberi antibiotik
sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada
demam, massa periapendikular hilang, dan leukosit normal, penderita boleh pulang dan
apendiktomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar perdarahan akibat
perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abses
apendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya
nyeri, dan teraba pembengkakan, massa, serta bertambahnya angka leukosit.
Apendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya dilakukan tindakan
pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan, karena dikuatirkan akan terjadi abses
apendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan pembedahan harus dilakukan sebaikbaiknya mengingat penyulit infeksi luka lebih tinggi daripada pembedahan pada
apendisitis sederhana tanpa perforasi.
Pada periapendikular infiltrat, dilarang keras melakukan tindakan pembedahan,
tindakan bedah akan lebih sulit dan resiko perdarahan lebih banyak, lebih-lebih bila
massa apendiks telah terbentuk lebih dari satu minggu sejak serangan sakit perut.
Pembedahan dilakukan segera bila dalam perawatan terjadi abses dengan atau pun tanpa
peritonitis umum.

Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada anak kecil,
wanita hamil, dan penderita usia lanjut, jika secara konservatif tidak membaik
atau berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi secepatnya.
Bila pada waktu membuka perut terdapat periapendikular infiltrat maka luka
operasi ditutup lagi, apendiks dibiarkan saja.

Indikasi Operasi
Apabila diagnosis apendisitis telah ditegakkan dengan berbagai pemeriksaan
yang mendukung, hal tersebut sudah merupakan suatu indikasi operasi (apendektomi),
kecuali pada kasus-kasus tertentu seperti halnya pada keadaan dimana masa akut telah
dilewati namun muncul komplikasi dengan terbentuknya abses. Pada beberapa kasus
dapat digunakan antibiotik sebagai terapi tunggal untuk mengurangi massa abses
tersebut. Bila massa absestelah terbentuk di ekitar apendiks maka basis dari sekum akan
sulit untuk ditemukan, selain itu tindakan operatif secara aman akan sulit untuk
dikerjakan.
Persiapan pre-operasi
Analgetik dapat diberikan pada pasien setelah diagnosis dari apendisitis sudah
dapat ditegakkan dan manajemen operatif telah direncanakan. Status cairan harus
dipantau dengan ketat menggunakan indicator klinis seperti nadi, tekanan darah, dan
jumlah pengeluaran urine. Pemberian antibiotik dapat dimulai, umumnya diberikan
cephalosporine generasi 2 secara tunggal atau dikombinasikan dengan antibiotik
spectrum luas yang melingkupi bakteri gram negatif aerob (e.coli) dan anaerob
(bacteroides spp.). Perlu diingat bahwa tujuan utama dari pemberian antibiotik bukan
untuk memberantas apendisitis itu sendiri. Pada kasus yang tidak disertai dengan
komplikasi, antibiotik umumnya diberikan untuk mengurangi insidens infeksi dari luka
dan peritoneum bagian dalam setelah operasi dan melindungi terhadap kemungkinan
terjadinya bakteremia.Pada kasus-kasus dimana telah terjadi komplikasi berupa
pembentukan abses maupun bakteremia, maka pemberian antibiotik ditujukan untuk

mengobati komplikasi tersebut. Terdapat beragam pendapat tentang pemberian


antibiotic profilaksis, namun terdapat konsensus bahwa:
1. Pemberian cephalosporin generasi 2 efektif dalam mengurangi komplikasi yang
dapat timbul oleh karena luka pada kasus non-komplikata
2. Waktu yang tepat dalam memberikan antibiotik adalah

sesaat sebelum

pembedahan atau pada saat pembedahan dilakukan agar tercapai kadar yang
optimal pada saat akan dilakukan insisi.
3. Pada kasus non-komplikata, pemberian antibiotik cukup dengan dosis
tunggal.Penambahan dosis setelah operasi tidak berguna dalam menurunkan
resiko infeksi lebih lanjut
Pertimbangan Operatif
Perlu ditentukan apakah prosedur operasi akan dilaksanakan melalui pendekatan
secaratra disional (terbuka) atau dengan bantuan laparoskopi. Terdapat berbagai
penelitian yang membandingkan antara pendekatan secara terbuka maupun dengan
laparoskopi. Berdasarkan informasi terkini dapat disimpulkan bahwa pada kasus
apendisitis tanpa disertai komplikasi, pendekatan secara laparoskopik dapat mengurangi
nyeri, kebutuhan untuk dirawat dan juga menurunkan insidens infeksi pada luka setelah
operasi. Pasien juga dapat kembali bekerja lebih awal.
Dilakukan pengangkatan apendiks apabila pada saat operasi ditemukan
gambaran inflamasi. Hal penting yang harus diingat adalah untuk melakukan disseksi
apendiks sampai ke basis, yaitu pada pertemuan taenia di dinding sekum. Kegagalan
dalam mengangkat seluruh apendiks sampai ke basis-nya dapat mengingkatkan resiko
terjadinya apendisitis rekuren.
Mengingat bahwa terdapat beberapa laporan terjadinya apendisitis rekuren,
maka penting untuk tetap berwaspada terhadap kemungkinan munculnya apendisitis
rekuren meski terdapat riwayat operasi apendiks dan bukti jaringan parut yang nyata.
Apabila diseksi secara aman tidak dimungkinkan oleh karena adanya inflamasi ataupun
pembentukan abses, sebuah closed suction drain dapat diletakan kedalam kavum
peritoneum. Tindakan ini bermanfaatuntuk mengalirkan

materi fekal maupun pus

keluar sehingga mencegah tertimbunnya materi-materi tersebut kedalam kavum


peritoneum.

III.10 Apendektomi sebagai Penanganan Definitif Apendisitis


Untuk mencapai apendiks ada tiga cara yang secara operatif mempunyai
keuntungan dan kerugian, yaitu :
a. Insisi menurut Mc Burney ( grid iron incision / muscle splitting incision).
Sayatan dilakukan pada garis tegak lurus pada garis yang menghubungkan
spinailiaka anterior superior (SIAS) dengan umbilicus pada batas sepertiga
lateral (titik McBurney). Sayatan ini mengenai kutis, subkutis dan fasia. Otototot dinding perut dibelah secara tumpul menurut arah serabutnya. Setelah itu
akan tampak peritoneum parietal (mengkilat dan berwarna biru keabu-abuan)
yang disayat secukupnya untuk meluksasi sekum. Sekum dikenali dari
ukurannya yang besar dan mengkilat dan lebih kelabu/putih,mempunyai haustrae
dan teania coli, sedangkan ileum lebih kecil, lebih merah dan tidak mempunyai
haustrae atau taenia coli. Basis apendiks dicari pada pertemuan ketiga taenia
coli. Teknik inilah yang paling sering dikerjakan karena keuntungannya tidak
terjadi benjolan dan tidak mungkin terjadi herniasi, trauma operasi minimum
pada alat-alat tubuh, dan masa istirahat pasca bedah lebih pendek karena masa
penyembuhannya lebih cepat. Kerugiannya adalah lapangan operasi terbatas,
sulit diperluas, dan waktu operasi lebih lama. Lapangan operasi dapat diperluas
dengan memotong secara tajam.
b. Insisi menurut Roux (muscle cutting incision)
Lokasi dan arah sayatan sama dengan Mc Burney, hanya sayatannya langsung
menembus otot dinding perut tanpa memperdulikan arah serabut sampai
tampak peritoneum. Keuntungannya adalah lapangan operasi lebih luas, mudah
diperluas, sederhana, dan mudah. Sedangkan kerugiannya adalah diagnosis yang
harus tepat sehingga lokasi dapat dipastikan, lebih banyak memotong saraf dan
pembuluh darah sehingga perdarahan menjadi lebih banyak, masa istirahat pasca
bedah lebih sering terjadi, kadang-kadang ada hematoma yang terinfeksi, dan
masa penyembuhan lebih lama.
c. Insisi pararektal
Dilakukan sayatan pada garis batas lateral m.rektus abdominis dekstra
secara vertikal dari kranial ke kaudal sepanjang 10cm. Keuntungannya, teknik
ini dapat dipakai pada kasus-kasus apendiks yang belum pasti dan kalau perlu
sayatan dapat diperpanjang dengan mudah. Sedangkan kerugiannya, sayatan ini

tidak langsung mengarah ke apendiksatau sekum, kemungkinan memotong saraf


dan pembuluh darah lebih besar, dan untuk menutup luka operasi diperlukan
jahitan penunjang.
Setelah peritoneum dibuka dengan retractor, maka basis apendiks dapat
dicari pada pertemuan tiga taenia koli. Untuk membebaskannya dari
mesoapendiks ada dua cara yangdapat dipakai sesuai dengan situasi dan kondisi,
yaitu :
1. Apendektomi secara biasa, bila kita mulai dari apeks ke basis apendiks
untuk memotong mesoapendiks. Ini dilakukan pada apendiks yang
tergantung bebas padasekum atau bila puncak apendiks mudah
ditemukan.
2. Apendektomi secara retrograde, bila kita memotong mesoapendiks dari
basis ke arahpuncak. Ini dilakukan pada apendiks yang letaknya sulit,
misalnya retrosekal, atau puncaknya sukar dicapai karena tersembunyi,
misalnya karena terjadi perlengketan dengan sekitarnya.
Teknik Apendektomi Mc Burney :
1. Pasien berbaring telentang dalam anestesi umum atau regional. Kemudian
dilakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada perut kanan bawah
2. Dibuat sayatan menurut Mc Burney sepanjang kurang lebih 10 cm dan otot-otot
dindingperut dibelah secara tumpul menurut arah serabutnya, berturut-turut m
rektus abdominis eksternus, m. abdominis internus, m transversus abdominis,
sampai akhirnya tampak peritoneum.

3. Peritoneum disayat sehingga cukup lebar untuk eksplorasi.


4. Sekum beserta apendiks diluksasi keluar.

5. Mesoapendiks dibebaskan dan dipotong dari apendiks secara biasa, dari puncak
ke arah basis.
6. Semua perdarahan dirawat.
7. Disiapkan tabakzaaknad mengelilingi basis apendiks, basis apendiks kemudian
dijahit dengan catgut.

8. Dilakukan pemotongan apendiks apikal dari jahitan tersebut.

9. Ujung apendiks dioleskan betadin.


10. Jahitan tabazaaknad disimpulkan dan Mesoapendiks diikat.
11. Dilakukan pemeriksaan terhadap rongga peritoneum dan alat-alat di dalamnya,
semua perdarahan dirawat.
12. Sekum dikembalikan ke dalam abdomen.

13. Peritoneum ini dijahit jelujur dengan chromic catgut dan otot-otot dikembalikan

14. Dinding perut ditutup/dijahit lapis demi lapis.


15. Luka operasi dibersihkan dan ditutup dengan kasa steril

Gambar 7. Apendektomi secara Singkat


III.11 Pasca Operasi & Komplikasi Appendicitis
Kasus-kasus apendisitis tanpa komplikasi, pasien dapat mulai minum dan makan
segera setelah mereka merasa mampu, dan defekasi dievaluasi dalam 24-48 jam.
Pemberian antibiotik dan dekompresi dengan nasogastric tube pasca operasi tidak rutin
dikerjakan pada pasien apendisitis tanpa komplikasi. Pada kasus-kasus yang disertai
dengan peritonitis,pemberian antibiotik diberikan hingga 5-7 hari setelah operasi.
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi
bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami wall-off sehingga berupa
massa yang terdiri dari kumpulan apendiks, caecum dan lekuk usus halus. Apendisitis
adalah penyakit yang jarang mereda dengan spontan, tetapi penyakit ini tidak dapat

diramalkan dan mempunyai kecenderungan menjadi progresif dan mengalami perforasi.


Karena perforasi jarang terjadi dalam 8 jam pertama, observasi aman untuk dilakukan
dalam masa tersebut.Tanda-tanda perforasi meliputi meningkatnya nyeri, spasme otot
dinding perut kuadran kanan bawah dengan tanda peritonitis umum atau abses yang
terlokalisasi, ileus, demam, malaise, dan leukositosis semakin jelas. Bila perforasi
dengan peritonitis umum atau pembentukan abses telah terjadi sejak pasien pertama kali
datang, diagnosis dapat ditegakandengan pasti.
Bila terjadi peritonitis umum terapi spesifik yang dilakukan adalah operasi
untuk menutup asal perforasi. Sedangkan tindakan lain sebagai penunjang : tirah baring
dalam posisi fowler medium (setengah duduk), pemasangan NGT, puasa, koreksi cairan
dan elektrolit, pemberian penenang, pemberian antibiotik spektrum luas dilanjutkan
dengan pemberian antibiotik yang sesuai dengan hasil kultur, transfuse untuk mengatasi
anemia, dan penanganan syok septik secara intensif, bila ada.
Bila terbentuk abses apendik, maka akan teraba massa di kuadran kanan bawah
yang cenderung mengelembung ke arah rectum atau vagina. Terapi dini dapat diberikan
kombinasi antibiotik (ampisilin, gentamisin, metronidazol atau klindamisin). Dengan
sediaan ini absesakan segera menghilang, dan apendektomi dapat dilakukan 6-12
minggu kemudian. Pada abses yang tetap progresif harus segera dilakukan drainase.
Abses daerah pelvis yang menonjol ke arah rectum atau vagina dengan fluktuasi positif
juga perlu dilakukan drainase.
Tromboflebitis supuratif dari sistem portal jarang terjadi, tetapi merupakan
komplikasiyang letal. Hal ini harus kita curigai bila ditemukan demam sepsis,
menggigil, hepatomegali dan ikterus setelah terjadi perforasi apendiks. Pada keadaan ini
diindikasikan pemberian antibiotik kombinasi dengan drainase.
Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa abses subfrenikus dan fokal sepsis
intra abdominal lain. Obstruksi intestinal juga dapat terjadi akibat perlengketan.

Gambar 8. Algoritma Tata Laksana Apendisitis dengan Komplikasi

III.12 Antibiotik sebagai Pelengkap Terapi Definitif untuk Apendisitis


Tatalaksana tradisional radang usus buntu akut telah memunculkan manajemen
operasi. Pendekatan ini didasarkan pada teori bahwa, dari waktu ke waktu, apendisitis
sederhana akan berlanjut menjadi perforasi, sehingga peningkatan morbiditas dan
mortalitas. Data terakhir menunjukkan bahwa usus buntu akut dan radang usus buntu
akut dengan perforasi mungkin penyakit yang berbeda dengan patofisiologi yang
berbeda jauh. Serangkaian waktu analisis dilakukan pada satu set data 25 tahun tidak
ditemukan adanya hubungan negatif yang signifikan antara tingkat apendektomi negatif
dan perforasi. Sebuah studi analisis waktu untuk operasi dan perforasi menunjukkan
bahwa risiko pecah minimal dalam waktu 36 jam onset gejala. Melewati titik ini, ada
sekitar risiko 5% dari pecah dalam setiap periode 12-jam berikutnya. Namun, pada
banyak pasien penyakit ini berjalan lambat. Dalam sebuah penelitian, 10 dari 18 pasien
yang tidak menjalani operasi 6 hari setelah gejala dimulai tidak mengalami ruptur.
Pelaut yang terkena usus buntu ketika ditempatkan di kapal selam tidak memiliki akses
untuk meminta perawatan bedah. Mereka berhasil diobati dengan antibiotik dan cairan

dari hari ke minggu setelah serangan awal sampai kapal dapat mencapai permukaan dan
mereka dapat dipindahkan ke rumah sakit untuk perawatan.
Sebuah penelitian secara acak membandingkan pengobatan antibiotik dengan
apendektomi segera. Dua ratus lima puluh dua orang berusia 18-50 tahun dengan
diagnosis presumptif radang usus buntu yang terdaftar dalam penelitian ini antara Maret
1996 dan Juni 1999. Pasien yang dipilih secara acak untuk terapi antibiotik, jika gejala
tidak membaik dalam 24 jam pertama, akan dilakukan apendektomi. Peserta dievaluasi
setelah 1 minggu, 6 minggu, dan 1 tahun. Usus buntu akut ditemukan pada 97% dari
124 pasien secara acak yang direncanakan operasi. Enam pasien (5%) memiliki
apendiks yang sudah perforasi. Tingkat kesulitan pada kelompok bedah adalah 14% (17
dari 124). Dari 128 pasien yang terdaftar dalam kelompok antibiotik, 15 pasien (12%)
menjalani operasi dalam 24 jam pertama karena kurangnya perbaikan gejala dan
peritonitis lokal tampak jelas. Pada operasi tujuh pasien (5%) memiliki perforasi.
Tingkat kekambuhan dalam waktu 1 tahun adalah 15% (16 pasien) pada kelompok yang
diobati dengan antibiotik. Dalam lima pasien usus buntu yang perforasi ditemukan saat
operasi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Guyton and Hall, 1996. Textbook of medical physiology. 9 th Ed. W. B Saunders
Company. Philadelphia.
2. Sjamsuhidayat and Jong, de wim. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. EGC.
Jakarta
3. Scanlon, Valerie C.Essentials of anatomy and physiology/Valerie C. Scanlon, Tina
Sanders. 5th ed. ISBN13: 978-0-8036-1546-5 ISBN10: 0-8036-1546-9: 2006.
4. Grace, Borley, At a Glance ILMU BEDAH. Edisi Ketiga. Jakarta : Penerbit Erlangga.
2006
5. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Keempat. Jakarta : Penerbit Media Aesculapius
Fakultas Kedokteran Univeristas Indonesia. 2014
6. Schwartz. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Jakarta : EGC 2000.

Anda mungkin juga menyukai