Website : http://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJMoa1107142
JUDUL
Terdiri dari 8 suku kata, sehingga memenuhi syarat penulisan judul jurnal.
ABSTRAK
Latar Belakang
Metode
1
parametrik kumulatif. Insiden fraktur panggul dan tulang vetebrae serta pemberian
terapi dengan bisphosphonates, calcitonin atau raloxifene diperlakukan sebagai
kelompok banding.
Hasil
Kesimpulan
LATAR BELAKANG
2
longitudinal yang melibatkan 1.008 wanita di Australia yang berusia 60 tahun atau
lebih, hasil analisis tersebut menyatakan bahwa umur dan skor T dasar merupakan
faktor penting untuk dipertimbangkan dalam menentukan pengujian interval
BMD, dengan tujuan mendeteksi BMD rendah sebelum timbulnya fraktur. Namun
tidak ada satupun dari kedua penelitian tersebut yang melakukan interval
pengujian BMD untuk memperkirakan/mengidentifikasi osteoporosis sebelum
fraktur terjadi, sebagai gantinya, yang digunakan sebagai patokan adalah fraktur
itu sendiri maupun fraktur yang disertai dengan osteoporosis.
METODE
HASIL
Hasil utama pada penelitian ini adalah perkiraan interval untuk 10% dari
sampel hingga mengalami transisi dari BMD normal atau osteopenia pada awal
pemeriksaan menjadi osteoporosis sebelum fraktu panggul atau tulang vertebrae
terjadi dan sebelum pengobatan untuk osteoporosis dimulai.
3
FAKTOR RISIKO FRAKTUR
Beberapa faktorrisiko klinis untuk fraktur, termasuk kmponen alat penilaian risiko
fraktur FRAX, termasuk usia, indeks massa tubuh (BMI), penggunaan esterogen,
fraktur setelah usia 50 tahun, merokok, riwayat penggunaan glukokortikoid oral,
dan riwayat rheumatoid arthritis.
4
STATIK ANALITIK
Pada penelitian ini dilakukan dua analisis primer, yakni yang pertama
untuk menilai transisi dari BMD normal menjadi osteoporosis yakni sebanyak
1255 wanita dan yang kedua untuk menilai transisi dari osteopenia menjadi
osteoporosis yakni sebanyak 4215 wanita. 513 orang diantaranya menjalani
transisi dari normal BMD menjadi osteopenia terlebih dahulu sebelum uji BMD
terakhir dimasukkan dalam kedua analisis. Untuk uji statistik faktor risiko klinis
yang signifikan, kami melakukan analisis bertingkat dari perkiraan waktu, 10%
perempuan dari transisi menjadi osteoporosis.
5
Untuk studi yang lebih baik pada wanita dengan fraktur tanpa terlebih
dahulu mengalami transisi ke osteoporosis, seperti yang didefinisikan oleh kriteria
diagnostik dati organisasi kesehatandunia (WHO), dan tanpa menerima
pengobatan osteoporosis sebelumnya, kami juga menghitung waktu pada 2%
wanita yang memiliki risiko fraktur pinggul dan tulang vertebrae dengan
membandingkan data dari populasi penelitian yang sama dikelompokkan
berdasarkan empat rentang T-score.
HASIL
Berdasar penelitian tersebut terlihat bahwa dengan semakin tinggi T-skor pada
awal pemeriksaan, maka semakin cepat pula waktu yang diperlukan untuk
mengalami transisi menjadi osteoporosis. Faktor lain yang turut mempengaruhi
interval waktu yang dibutuhkan untuk transisi menjadi osteoporosis adalah usia,
dimana dengan semakin tua usia seseorang walau dengan nilai BMD yang sama,
maka akan semakin cepat interval waktu yang dibutuhkan hingga terjadinya
osteoporosis tersebut, selain usia faktor lainnya yang turut berpengaruh terhadap
kejadian osteoporosis adalah riwayat penggunaan estrogen, dimana wanita dengan
riwayat penggunaan esterogen maka semakin panjang interval waktu yang
dibutuhkan hingga terjadinya osteoporosis pada wanita tersebut. Sedangkan faktor
yang tidak berpengaruh yaitu BMI.
6
Perkiraan uji interval BMD
7
tahun, kebiasaan merokok, riwayat penggunaan glukokortikoid oral, dan riwayat
rheumatoid arthritis tidak menjadi prediktor yang signifikan (semua P>0,20).
8
Jumlah dari 212 wanita (24%) yang mengalami fraktur pinggul dan tulang
vertebrae sebelum transisi dari osteopenia ke osteoporosis, sesusai dengan
karakterisitik diagnostik dari WHO, atausebelum mendapatkan pengobatan
osteoporosis. Waktu yang dibutuhkan untuk 2% pada wanita yang mengalami
fraktur pinggul dantulang belakang memiliki waktu lebih dari 15 tahun pada
wanita dengan BMD normal atau osteopenia ringan, dan sekitar 5 tahun pada
osteopenia sedang dan lanjut.
PEMBAHASAN
9
1.50, ada kemungkinan rendah dari transisi ke osteoporosis selama periode
tersebut. Kita menemukan bahwa 10% dari wanita dengan osteopenia moderat
dan 10% dari wanita dengan osteopenia lanjut mengalami transisi ke osteoporosis
masing-masing dalam kurun waktu 5 tahun dan 1 tahun. Meskipun faktor risiko
klinis memiliki efek minimal pada waktu perkiraan secara keseluruhan namun
usia menjadi salah satu faktor klinis yang turut mempengaruhi kejadian
osteoporosis pada masing-masing individu. Perkiraan waktu hanya 2% pada
wanita yang mengalami transisi fraktur pinggul dan tulang vertebrae sebelum
berkembang menjadi osteoporosis yaitu dalam waktu 5 tahun untuk wanita
dengan osteopenia sedang atau lanjut dan setidaknya 15 tahun untuk wanita
dengan osteopenia ringan atau BMD normal. Dengan demikian, dengan
menggunakan kriteria tersebut, pertimbangan waktu untuk fraktur pinggul dan
tulang vertebrae tidak mengubah interval skrining berdasarkan waktu osteoporosis
saja.
10
bertambahnya usia, sehingga interval dari 3 tahun, bukan 5 tahun mungkin
digunakan untuk wanita usia 85 tahun atau lebih yang memiliki osteopenia sedang
meskipun BMI danpenggunaan estrogen juga signifikan. Jika dalam 10 tahun
harus dipertimbangkan interval maksimum untuk pengujian setiap wanita, BMI
tidak akan merubah rekomendasi untuk uji interval setiap T-score. Penggunaan
estrogen saat ini dengan riwayat penggunaan estrogen di masa lalu atau tidak
adanya riwayat penggunaan estrogen adalah bermakna bila dikaitkan dengan
BMD yang lebih tinggi dan uji interval.hasil ini konsisten dengan ditemukannya
kerugian BMD setelah penghentian terapi hormon pascamenopause
estrogen/progestin intervensi (PEPI) dan analisis SOF menunjukkan bahwa terapi
hormon sebelumnya tidak memberikan perlindungan terhadap fraktur pinggul
karena efek transienestrogen pada BMD, kami tidak menyarankan memodifikasi
skrining interval berdasarkan penggunaan estrogen.
11
Kelebihan pada penelitian ini adalah dapat membantu dokter untuk
mengambil keputusan sehubungan dengan interval skrining untuk menilai
osteoporosis. Kelemahan dalam penelitian ini adalah yang pertama, interval uji
hanya didasarkan pada perubahan nilai BMD saja, sedangkan keuntungan dan
risiko dari skrining serta efektivitas dari segi biaya tidak dipertimbangkan. Kedua,
karena keterbatasan kumpulan data, perkiraan waktu yang tepat tidak mungkin
untuk analisis. Ketiga, 49% sampel dari SOF (4747 dari 9704 wanita) dikeluarkan
dari analisis kami, sebagian wanita tidak memenuhi syarat untuk skrining karena
telah mengalami osteoporosis sejak awal, mempunyai riwayat fraktur panggul
atau vertebrae, atau sejak awal telah menerima pengobatan untuk osteoporosis.
Keempat, sampel analisis dalam penelitian ini terbatas pada wanita yang berusia
67 tahun atau lebih, tidak diujikan pada jenis kelamin pria maupun pada wanita
pascamanopaus yang usianya lebih muda, dan yang terakhir perempuan kulit
putih merupakan 99% sampel dalam penelitian ini. Sedangkan kekuatan pada
penelitian ini terletak pada besar ukuran kohor (jumlah sampel) dan panjang atau
lamanya periode penelitian (follow-up).
KESIMPULAN
12