Anda di halaman 1dari 49

MINI C EX

KOLELITIASIS

Disusun Oleh :

Karisha Valydia Nauli


1765050055

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


PERIODE 29 JULI 2019 – 25 AGUSTUS 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
BAB I

PENDAHULUAN

I. 1. Latar Belakang
Batu empedu atau gallstones adalah timbunan kristal di dalam kandung

empedu atau di dalam saluran empedu. Batu yang ditemukan di dalam kandung

empedu disebut kolelitiasis, sedangkan batu di dalam saluran empedu disebut

koledokolitiasis.1 Batu kandung empedu menimbulkan gejala dan keluhan bila batu

menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus. Oleh karena itu gambaran klinis

penderita batu kandung empedu bervariasi dari yang berat atau jelas sampai yang

ringan atau samar bahkan seringkali tanpa gejala (silent stone).

Insiden batu kandung empedu di Indonesia belum diketahui dengan pasti,

karena belum ada penelitian. Banyak penderita batu kandung empedu tanpa gejala

dan ditemukan secara kebetulan pada waktu dilakukan foto polos abdomen, USG,

atau saat operasi untuk tujuan yang lain. Insiden kolelitiasis atau batu kandung

empedu di Amerika Serikat diperkirakan 20 juta orang yaitu 5 juta pria dan 15 juta

wanita. Pada pemeriksaan otopsi di Amerika, batu kandung empedu ditemukan

pada 20 % wanita dan 8 % pria..

Dengan perkembangan peralatan dan teknik diagnosis yang baru USG,

maka banyak penderita batu kandung empedu yang ditemukan secara dini sehingga

dapat dicegah kemungkinan terjadinya komplikasi. Semakin canggihnya peralatan

dan semakin kurang invasifnya tindakan pengobatan mengurangi morbiditas dan

moralitas.
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien

Nama : Ny. Yeni

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 47 Tahun

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Bangsa : WNI

Suku : Sunda

Agama : Islam

Alamat : Cibitung, Kp. Anah Ungkuk RT 001 RW 03, Sarimukti

Ruangan : Bangsal Asoka

Tanggal datang : 2 Agusuts 2019

2.2 Diagnosis

Anamnesis

Auto anamnesis dilakukan di Bangsal Asoka pada tanggal 5 Agustus 2019, pukul

14.35 WIB

Keluhan Utama : Nyeri perut kanan atas

Riwayat Penyakit Sekarang :

Seorang perempuan usia 47 tahun mengeluhkan nyeri perut kanan atas yang

dirasakan sejak setelah dilakukan operasi pengangkatan kandung empedu

(kolesitektomi), 3 hari sebelum dilakukan anamnenis. Keluhan nyeri dirasakan


seperti ditusuk-tusuk, hilang timbul, terutama saat pasien melakukan perubahan

posisi. Keluhan nyeri dirasakan berkurang saat pasien berbaring. Awalnya nyeri

dirasakan pada perut kanan atas sejak 1 bulan SMRS. Pasien mengatakan nyeri

perut tersebut dirasakan seperti diremas, hilang timbul, semakin terasa nyeri saat

dan setelah pasien makan serta saat pasien menarik nafas dalam. Saat mengalami

keluhan tersebut, pasien seringkali mengerok perut dan punggung pasien serta

memium obat warung “Tolak Angin” agar merasa lebih baik. Saat dan setelah

pasien makan, pasien juga mengeluhkan keringat dingin, begah, dan mual. Saat

dilakukan anamnesis keluhan tidak nafsu makan disangkal, mual (-), muntah (-),

pasien sudah bisa buang angin, sudah bisa duduk, sudah bisa berjalan. Pasien sudah

BAK sendiri ke kamar mandi dan tidak ada keluhan dalam BAK. Pasien belum

BAB.

Riwayat Masa Lampau :

a. Riwayat Penyakit Dahulu :

 Pasien sudah pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya. Sejak

± 3 tahun lalu pasien seringkali merasakan nyeri perut kanan saat dan

setelah pasien makan. Namun karena tidak disertai keluhan lain, pasien

hanya mengerok perut dan punggung pasien agar merasa lebih baik dan

tidak berobat ke dokter sampai 1 bulan SMRS.

 Hipertensi disangkal, diabetes mellitus disangkal, alergi obat dan

makanan disangkal

b. Trauma Terdahulu : Disangkal

c. Riwayat operasi : Disangkal


d. Sistem:

 Neurologi : Disangkal

 Kardiovaskuler : Disangkal

 Gastrointestinal : Disangkal

 Genitourinari : Disangkal

 Muskuloskeletal : Disangkal

e. Riwayat gizi : Berat badan 72 kg, tinggi badan 155 cm, IMT 29,96

kg/m2 (berat badan lebih)

f. Riwayat psikiatri : Disangkal

Riwayat Kebiasaan Pasien:

2.2.2 Pemeriksaan Fisik

KU : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

Tanda-tanda Vital :

 GCS: E4V5M6,

 TD: 110/70 mmHg

 Nadi: 82x/menit

 Suhu: 36,3 ºC

 Pernafasan: 19 x/ menit

 SpO2: 98%
STATUS GENERALIS
KEPALA
Normocephali, jejas (-)
Mata : Sklera ikterik (-/-), konjungtiva anemis (-/-), jejas (-/-), pupil
3mm/3mm (isokor), RCL (+/+), RTCL (+/+)
Telinga : Fistula (-/-), benjolan (-/-), sekret (-/-), perdarahan (-/-), jejas (-/-)
Hidung : Deviasi septum (-), sekret (-/-), perdarahan (-/-), jejas (-/-)
Mulut : Sianosis (-), pucat (-), jejas (-/-), mukosa bibir lembab

LEHER
Tidak teraba adanya pembesaran kelenjar getah bening (KGB), nyeri tekan (-
), deviasi trakea (-)

THORAKS
Diameter laterolateral > anteroposterior
Cor :
 Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
 Palpasi : ictus cordis teraba
 Perkusi : batas jantung kanan dan kiri dalam batas normal
 Auskultasi : BJ I dan BJ II regular, murmur (-), gallop (-)

Pulmo :
 Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris, jejas (-), retraksi
(-)
 Palpasi : fremitus suara simetris kanan kiri
 Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
 Auskultasi : bunyi napas dasar vesikular, wheezing (-/-),
rhonki(-/-)

ABDOMEN
 Inspeksi : perut tampak datar, distensi abdomen (-)
 Auskultasi : bising usus (+), 6x/menit
 Perkusi : timpani, nyeri ketuk (+) pada regio hipokondrika dextra
 Palpasi s: supel, defense muscular (-) dan nyeri tekan (+) pada
aaaaaaaaaaaaaaaa regio hipokondrika dextra
 Organ pada abdomen:
1. Limpa : tidak teraba membesar
2. Kandung empedu : tidak dilakukan pemeriksaan
3. Hati : tidak teraba membesar

Genitourinari
 Ginjal : nyeri ketuk CVA (-/-), ballotement (-/-)
 Kandung kemih : nyeri tekan (-), nyeri ketuk (-)
 Kemaluan : sekret (-)

Ekstremitas
Atas : akral hangat, sianosis (-), edema (-), CRT <2”
Bawah : akral hangat, sianosis (-), edema (-), CRT <2”

Punggung
Lordosis (-), kifosis (-), skoliosis (-)
Refleks
Refleks fisiologi (+) dan refleks patologi (-)

STATUS LOKALIS
Regio Abdomen
Inspeksi : Massa (-), jejas (-), ulkus (-), hiperemis (-), darah(-)
Palpasi : Nyeri tekan pada region hipokondrika dextra (+), defense muscular
(-)

2.2.3 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Hematologi (27/7/2019)
NILAI
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN
RUJUKAN
HEMATOLOGI LENGKAP
Hemoglobin 13.8 g/dL 11-15

Jumlah Hematokrit 39,1* % 40 – 48

Eritrosit 4.67 juta/µL 4–5


MCV/VER 83.7 fL 82 – 92
MCH/HER 29.6 Pg 27 – 31
MCHC/KHER 35.3 g/dL 32 – 36
Leukosit 8.8 ribu/µL 5 – 10
Trombosit 439* ribu/µL 150 – 400
GOLONGAN DARAH /RH FAH
Golongan Darah A
Rhesus Positif
HEMOSTASIS
Masa perdarahan 2 Menit 1–6
Masa Pembekuan 10 Menit 9-15
KIMIA DARAH
0.63 mg/dl 0.50-1.50
Kreatinin
KIMIA DARAH
DIABETES 111 Mg/dl <170
Glukosa Sewaktu

2.3 Diagnosis Kerja

Post Cholesistectomy H-2

Diagnosis Banding

 Cholecystitis

 Ulkus Peptikum
 Pankreatitis

 Appendisitis

2.4 Pemeriksaan Penunjang

 Hematologi

 Foto Polos Toraks

2.5 Terapi

 Diet bebas rendah lemak

 IVFD RL 2000 cc /24 jam

 Ceftriaxone inj. 2x1 g

 Ranitidine inj. 2x1 amp

 Omeprazole inj. 2x1 amp

2.6 Prognosis

Ad vitam : Ad Bonam

Ad functionam : Ad Bonam

Ad sanationam : Ad Bonam

2.7 Laporan Operasi

Nama: Jenis kelamin:


Usia: 47 tahun No. MR : 83-91-39-00
Ny. Yeni Perempuan
Operator : Asisten 1 : Anestesi :
dr. Stanley Vebio Tarirohan, S. Ked. dr. Kurnia, Sp. An.
Ketting Olivier,
SpB
Asisten 2 : Coass: Instrumentator:
- Karisha Valydia Nauli, S. Ked. Zr. Lilis
Maurin Asyita Pamuji, S. Ked.
Veronica Meidy, S. Ked.
Shastri Utami, S. Ked.
Diagnosis Pra Bedah: Cholelitiasis Tanggal Operasi :
03-08-2019
Diagnosis Pasca Bedah: Cholelitiasis Lama Operasi :
14.30 s/d 15.30
Tindakan Pembedahan : Jenis Operasi :
Laparatomy Cito Khusus
Cholesistectomy Poliklinik Kecil
Elektif Sedang
 Besar

Uraian Tindakan Operasi (Sesuai dengan Prosedur):


 Pasien tidur posisi supine
 Asepsis/antisepsis
 Insisi …
 Identifikasi gallbladder  hidrops
 Cholesistectomy Retrograde
 Rawat perdarahan
 Jahit luka
 Operasi selesai

Instruksi Post Operasi:


 Diet bebas rendah lemak
 Ceftriaxone 2x1 g
 Ranitidine 2x1 ampul
 Ketorolac 3x1 ampul
 Omeprazole 2x1 ampul
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

III. 1. Definisi

Kolelitiasis atau pembentukan batu empedu; batu ini mungkin terdapat

dalam kandung empedu (kolesistolitiasis) atau dalam duktus koledokus

(koledokolitiasis).

Kolelitiasis (kalkuli/kalkulus, batu empedu) merupakan suatu keadaan

dimana terdapat batu empedu di dalam kandung empedu (vesica fellea) yang

memiliki ukuran, bentuk dan komposisi yang bervariasi. Kolelitiasis lebih sering

dijumpai pada individu berusia diatas 40 tahun terutama pada wanita, dikarenakan

faktor risiko yang berupa: obesitas, usia lanjut, diet tinggi lemak dan genetik.

Kolelitiasis merupakan pembentukan batu di dalam kandung empedu. Batu

kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu

material menyerupai batu yang terbentuk di dalam kandung empedu.

Gambar 2.1. Gambaran batu dalam kandung empedu (Emedicine, 2007)

—-
3.2 Anatomi

Kandung empedu (vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah pir yang

terletak pada permukaan visceral hepar dengan panjang berkisar antaran 6 – 9cm.

Kapasitasnya sekitar 30-50 cc dan dalam keadaan terobstruksi dapat menggembung

sampai 300 cc. Vesica fellea terdiri atas fundus, korpus dan kollum. Fundus

berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah pinggir inferior hepar yang dimana

fundus berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung rawan kosta

IX kanan. Korpus bersentuhan dengan permukaan visceral hati dan arahnya keatas,

belakang dan kiri. Kollum dilanjutkan sebagai duktus sistikus yang berjalan dalam

omentum minus untuk bersatu dengan sisi kanan ductus hepaticus comunis

membentuk duktus koledokus. Peritoneum mengelilingi fundus vesica fellea

dengan sempurna menghubungkan korpus dan kollum dengan permukaan visceral

hati.

Pembuluh arteri kandung empedu adalah arteri sistika, cabang arteri

hepatika kanan. Vena sistika mengalirkan darah lengsung kedalam vena porta.

Sejumlah arteri yang sangat kecil dan vena – vena juga berjalan antara hati dan

kandung empedu.

Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak

dekat collum vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi

lymphatici hepaticum sepanjang perjalanan arteri hepatica menuju ke nodi

lymphatici coeliacus. Saraf yang menuju kekandung empedu berasal dari plexus

coeliacus.
Gambar 2.1. Gambaran anatomi kandung empedu (Emedicine, 2007)

3.3 Fisiologi Saluran Empedu

Vesica fellea berperan sebagai resevoir empedu dengan kapasitas sekitar 50 ml.

Vesica fellea mempunyai kemampuan memekatkan empedu. Dan untuk membantu

proses ini, mukosanya mempunyai lipatan-lipatan permanen yang satu sama lain saling

berhubungan. Sehingga permukaanya tampak seperti sarang tawon. Sel- sel torak yang

membatasinya juga mempunyai banyak mikrofilli.

Empedu dibentuk oleh sel-sel hati ditampung di dalam kanalikuli. Kemudian

disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam septum interlobaris.

Saluran ini kemudian keluar dari hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri.

Kemudian keduanya membentuk duktus biliaris komunis. Pada saluran ini sebelum

mencapai doudenum terdapat cabang ke kandung empedu yaitu duktus sistikus yang

berfungsi sebagai tempat penyimpanan empedu sebelum disalurkan ke duodenum.

Empedu dialirkan sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial kandung

empedu. Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak kedalam

duodenum. Lemak menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin dari mukosa

duodenum, hormon kemudian masuk kedalam darah, menyebabkan kandung empedu

berkontraksi. Pada saat yang sama, otot polos yang terletak pada ujung distal duktus

0
koledokus dan ampula relaksasi, sehingga memungkinkan masuknya empedu yang

kental ke dalam duodenum. Garam – garam empedu dalam cairan empedu penting

untuk emulsifikasi lemak dalam usus halus dan membantu pencernaan dan absorbsi

lemak. Proses koordinasi kedua aktivitas ini disebabkan oleh dua hal yaitu:

a) Hormonal: Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai duodenum akan

merangsang mukosa sehingga hormon kolesistokinin akan terlepas. Hormon ini

yang paling besar peranannya dalam kontraksi kandung empedu.

b) Neurogen:

 Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase Cephalik dari sekresi cairan

lambung atau dengan refleks intestino-intestinal akan menyebabkan kontraksi

dari kandung empedu.

 Rangsangan langsung dari makanan yang masuk sampai ke duodenum dan

mengenai Sphincter Oddi. Sehingga pada keadaan dimana kandung empedu

lumpuh, cairan empedu akan tetap keluar walaupun sedikit.

Pengosongan empedu yang lambat akibat gangguan neurologis maupun hormonal

memegang peran penting dalam perkembangan inti batu.

Komposisi Cairan Empedu


Komponen Dari Hati Dari Kandung Empedu

Air 97,5 gm % 95 gm %

Garam Empedu 1,1 gm % 6 gm %

Bilirubin 0,04 gm % 0,3 gm %

Kolesterol 0,1 gm % 0,3 – 0,9 gm %

Asam Lemak 0,12 gm % 0,3 – 1,2 gm %

Lecithin 0,04 gm % 0,3 gm %

1
Elektrolit - -

a. Garam Empedu

Asam empedu berasal dari kolesterol. Asam empedu dari hati ada dua macam

yaitu: Asam Deoxycholat dan Asam Cholat.

Fungsi garam empedu adalah:

o Menurunkan tegangan permukaan dari partikel lemak yang terdapat

dalam makanan, sehingga partikel lemak yang besar dapat dipecah

menjadi partikel-partikel kecil untuk dapat dicerna lebih lanjut.

o Membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid, kolesterol dan vitamin

yang larut dalam lemak.

Garam empedu yang masuk ke dalam lumen usus oleh kerja kuman-

kuman usus dirubah menjadi deoxycholat dan lithocholat. Sebagian besar (90

%) garam empedu dalam lumen usus akan diabsorbsi kembali oleh mukosa

usus sedangkan sisanya akan dikeluarkan bersama feses dalam bentuk

lithocholat. Absorbsi garam empedu tersebut terjadi disegmen distal dari

ilium. Sehingga bila ada gangguan pada daerah tersebut misalnya oleh karena

radang atau reseksi maka absorbsi garam empedu akan terganggu.

b. Bilirubin

Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi heme dan

globin. Heme bersatu membentuk rantai dengan empat inti pyrole menjadi

bilverdin yang segera berubah menjadi bilirubin bebas. Zat ini di dalam

plasma terikat erat oleh albumin. Sebagian bilirubin bebas diikat oleh zat lain

(konjugasi) yaitu 80% oleh glukuronide. Bila terjadi pemecahan sel darah

2
merah berlebihan misalnya pada malaria maka bilirubin yang terbentuk

sangat banyak.

3.4 Epidemiologi

Insiden kolelitiasis di negara barat adalah 20% dan banyak menyerang orang

dewasa dan usia lanjut. Angka kejadian di Indonesia di duga tidak berbeda jauh dengan

angka di negara lain di Asia Tenggara dan sejak tahu 1980-an agaknya berkaitan erat

dengan cara diagnosis dengan ultrasonografi.

3.5 Faktor Resiko

Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun,

semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan

untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain:

a. Jenis Kelamin

Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan

dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap

peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang

menigkatkan kadar esterogen juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis.

Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan

kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas pengosongan kandung

empedu.

b. Usia

Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.

Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis

dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih muda.

3
c. Berat badan (BMI)

Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi

untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar

kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu

serta mengurangi kontraksi/pengosongan kandung empedu.

d. Makanan

Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operasi

gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan

dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.

e. Riwayat keluarga

Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar

dibandingn dengan tanpa riwayat keluarga.

f. Aktifitas fisik

Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya

kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit

berkontraksi.

g. Penyakit usus halus

Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah crohn disease,

diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik.

h. Nutrisi intravena jangka lama

Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi

untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati intestinal.

4
Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung

empedu.

3.6 Patofisiologi

3.6.1 Patogenesis Bentukan Batu Empedu

Pembagian berdasarkan Tetsuo Maki tahun 1995:

a) Batu kolesterol dimana paling sedikit 50 % adalah kolesterol. Ini bisa berupa

sebagai:

 Batu Kolesterol Murni

 Batu Kombinasi

 Batu Campuran (Mixed Stone)

b) Batu bilirubin dimana garam bilirubin kadarnya paling banyak, kadar

kolesterol paling banyak 25 %. Bisa berupa sebagai:

 Batu Ca bilirubinat atau batu pigmen calcium

 Batu pigmen murni

c) Batu empedu lain yang jarang

Sebagian ahli lain membagi batu empedu menjadi:

 Batu Kolesterol

 Batu Campuran (Mixed Stone)

 Batu Pigmen.

 Batu Kolesterol

Pembentukan batu Kolesterol melalui tiga fase:

a. Fase Supersaturasi

Kolesterol, phospolipid (lecithin) dan garam empedu adalah komponen yang

tak larut dalam air. Ketiga zat ini dalam perbandingan tertentu membentuk

5
micelle yang mudah larut. Di dalam kandung empedu ketiganya

dikonsentrasikan menjadi lima sampai tujuh kali lipat. Pelarutan kolesterol

tergantung dari rasio kolesterol terhadap lecithin dan garam empedu, dalam

keadaan normal antara 1 : 20 sampai 1 : 30. Pada keadaan supersaturasi

dimana kolesterol akan relatif tinggi rasio ini bisa mencapai 1 : 13. Pada rasio

seperti ini kolesterol akan mengendap.

Kadar kolesterol akan relatif tinggi pada keadaan sebagai berikut:

 Peradangan dinding kandung empedu, absorbsi air, garam empedu dan

lecithin jauh lebih banyak.

 Orang-orang gemuk dimana sekresi kolesterol lebih tinggi sehingga terjadi

supersaturasi.

 Diet tinggi kalori dan tinggi kolesterol (western diet).

 Pemakaian obat anti kolesterol sehingga mobilitas kolesterol jaringan tinggi.

 Pool asam empedu dan sekresi asam empedu turun misalnya pada gangguan

ileum terminale akibat peradangan atau reseksi (gangguan sirkulasi

enterohepatik).

 Pemakaian tablet KB (estrogen) sekresi kolesterol meningkat dan kadar

chenodeoxycholat rendah, padahal chenodeoxycholat efeknya melarutkan

batu kolesterol dan menurunkan saturasi kolesterol. Penelitian lain

menyatakan bahwa tablet KB pengaruhnya hanya sampai tiga tahun.

b. Fase Pembentukan inti batu

Inti batu yang terjadi pada fase II bisa homogen atau heterogen. Inti batu

heterogen bisa berasal dari garam empedu, calcium bilirubinat atau sel-sel

yang lepas pada peradangan. Inti batu yang homogen berasal dari kristal

6
kolesterol sendiri yang menghadap karena perubahan rasio dengan asam

empedu.

c. Fase Pertumbuhan batu menjadi besar

Untuk menjadi batu, inti batu yang sudah terbentuk harus cukup waktu untuk

bisa berkembang menjadi besar. Pada keadaan normal dimana kontraksi

kandung empedu cukup kuat dan sirkulasi empedu normal, inti batu yang

sudah terbentuk akan dipompa keluar ke dalam usus halus. Bila konstruksi

kandung empedu lemah, kristal kolesterol yang terjadi akibat supersaturasi

akan melekat pada inti batu tersebut. Hal ini mudah terjadi pada penderita

Diabetes Mellitus, kehamilan, pada pemberian total parental nutrisi yang

lama, setelah operasi trunkal vagotomi, karena pada keadaan tersebut

kontraksi kandung empedu kurang baik. Sekresi mucus yang berlebihan dari

mukosa kandung empedu akan mengikat kristal kolesterol dan sukar

dipompa keluar.

 Batu bilirubin/Batu pigmen

Batu bilirubin dibagi menjadi dua kelompok:

a. Batu Calcium bilirubinat (batu infeksi).

b. Batu pigmen murni (batu non infeksi).

Pembentukan batu bilirubin terdiri dari 2 fase:

a. Saturasi bilirubin

Pada keadaan non infeksi, saturasi bilirubin terjadi karena pemecahan

eritrosit yang berlebihan, misalnya pada malaria dan penyakit Sicklecell.

Pada keadaan infeksi saturasi bilirubin terjadi karena konversi konjugasi

7
bilirubin menjadi unkonjugasi yang sukar larut. Konversi terjadi karena

adanya enzim b glukuronidase yang dihasilkan oleh Escherichia Coli. Pada

keadaan normal cairan empedu mengandung glokaro 1,4 lakton yang

menghambat kerja glukuronidase.

b. Pembentukan inti batu

Pembentukan inti batu selain oleh garam-garam calcium dan sel bisa juga

oleh bakteri, bagian dari parasit dan telur cacing. Tatsuo Maki melaporkan

bahwa 55 % batu pigmen dengan inti telur atau bagian badan dari cacing

ascaris lumbricoides. Sedangkan Tung dari Vietnam mendapatkan 70 % inti

batu adalah dari cacing tambang.

3.6.2 Patofisiologi Umum


Batu empedu yang ditemukan pada kandung empedu diklasifikasikan

berdasarkan bahan pembentuknya sebagai batu kolesterol, batu pigmen dan batu

campuran. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang

mengandung > 50% kolesterol) atau batu campuran (batu yang mengandung 20-

50% kolesterol). Angka 10% sisanya adalah batu jenis pigmen, yang mana

mengandung < 20% kolesterol. Faktor yang mempengaruhi pembentukan batu

antara lain adalah keadaan statis kandung empedu, pengosongan kandung

empedu yang tidak sempurna dan konsentrasi kalsium dalam kandung empedu.

Batu kandung empedu merupakan gabungan material mirip batu yang

terbentuk di dalam kandung empedu. Pada keadaan normal, asam empedu,

lesitin dan fosfolipid membantu dalam menjaga solubilitas empedu. Bila

empedu menjadi bersaturasi tinggi (supersaturated) oleh substansi berpengaruh

(kolesterol, kalsium, bilirubin), akan berkristalisasi dan membentuk nidus untuk

pembentukan batu. Kristal yang yang terbentuk terbak dalam kandung empedu,

8
kemuadian lama-kelamaan kristal tersubut bertambah ukuran,beragregasi,

melebur dan membetuk batu. Faktor motilitas kandung empedu, biliary stasis,

dan kandungan empedu merupakan predisposisi pembentukan batu empedu

empedu.

Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan

mengakibatkan/ menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang

tadi ada dalam kandung empedu terdorong dan dapat menutupi duktus sistikus,

batu dapat menetap ataupun dapat terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus

sitikus secara menetap maka mungkin akan dapat terjadi mukokel, bila terjadi

infeksi maka mukokel dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu

dikelilingi dan ditutupi oleh alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga

membentuk suatu fistel kolesistoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat

juga berakibat terjadinya kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat

mengakibatkan nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat sekiatrnya) dan

dapat membentuk suatu fistel kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi

kandung empedu yang berakibat terjadinya peritonitis generalisata.

Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada

saat kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus

koledokus kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan

kolik. Batu yang menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya

ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis.

Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui

terbentuknya fistel kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat

menyumbat pad bagian tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan

menimbulkan ileus obstruksi.

9
3.7 Manifestasi Klinis
Penderita batu kandung empedu memberi keluhan bila batu tersebut

bermigrasi menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus, sehingga gambaran

klinisnya bervariasi dari yang tanpa gejala (asimptomatik), ringan sampai berat karena

adanya komplikasi.

Dijumpai nyeri di regio hipokondrika kanan, yang kadang-kadang disertai

kolik bilier yang timbul menetap/konstan. Rasa nyeri kadang-kadang dijalarkan sampai

di daerah subkapula disertai nausea, vomitus dan dyspepsia, flatulen dan lain-lain. Pada

pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan hipokondrika kanan, dapat teraba pembesaran

kandung empedu dan tanda Murphy positif. Dapat juga timbul ikterus. Ikterus dijumpai

pada 20 % kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila kadar

bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra hepatic.

Kolik bilier merupakan keluhan utama pada sebagian besar pasien. Nyeri

viseral ini berasal dari spasmetonik akibat obstruksi transient duktus sistikus oleh batu.

Dengan istilah kolik bilier tersirat pengertian bahwa mukosa kandung empedu tidak

memperlihatkan inflamasi akut.

Kolik bilier biasanya timbul malam hari atau dini hari, berlangsung lama

antara 30 – 60 menit, menetap, dan nyeri terutama timbul di daerah epigastrium. Nyeri

dapat menjalar ke abdomen kanan, ke pundak, punggung, jarang ke abdomen kiri dan

dapat menyerupai angina pektoris. Kolik bilier harus dibedakan dengan gejala dispepsia

yang merupakan gejala umum pada banyak pasien dengan atau tanpa kolelitiasis.

Diagnosis dan pengelolaan yang baik dan tepat dapat mencegah terjadinya

komplikasi yang berat. Komplikasi dari batu kandung empedu antara lain kolesistitis

akut, kolesistitis kronis, koledokolitiasis, pankreatitis, kolangitis, sirosis bilier

sekunder, ileus batu empedu, abses hepatik dan peritonitis karena perforasi kandung

10
empedu. Komplikasi tersebut akan mempersulit penanganannya dan dapat berakibat

fatal.

Sebagian besar (90 – 95 %) kasus kolesititis akut disertai kolelitiasis dan

keadaan ini timbul akibat obstruksi duktus sistikus yang menyebabkan peradangan

organ tersebut.

Pasien dengan kolesistitis kronik biasanya mempunyai kolelitiasis dan telah

sering mengalami serangan kolik bilier atau kolesistitis akut. Keadaan ini menyebabkan

penebalan dan fibrosis kandung empedu dan pada 15 % pasien disertai penyakit lain

seperti koledo kolitiasis, panleneatitis dan kolongitis.

Batu kandung empedu dapat migrasi masuk ke duktus koledokus melalui

duktus sistikus (koledokolitiasis sekunder) atau batu empedu dapat juga terbentuk di

dalam saluran empedu (koledokolitiasis primer). Perjalanan penyakit koledokolitiasis

sangat bervariasi dan sulit diramalkan yaitu mulai dari tanpa gejala sampai dengan

timbulnya ikterus obstruktif yang nyata.

Batu saluran empedu (BSE) kecil dapat masuk ke duodenum spontan tanpa

menimbulkan gejala atau menyebabkan obstruksi temporer di ampula vateri sehingga

timbul pankreatitis akut dan lalu masuk ke duodenum (gallstone pancreatitis). BSE

yang tidak keluar spontan akan tetap berada dalam saluran empedu dan dapat

membesar. Gambaran klinis koledokolitiasis didominasi penyulitnya seperti ikterus

obstruktif, kolangitis dan pankreatitis.

11
Gambar 4: Manifestasi klinis yang umum terjadi

3.8 Diagnosis
3.8.1 Anamnesis
Kolelitiasis dapat dibagi menjadi beberapa stadium yaitu: asimptomatik

(adanya batu empedu tanpa gejala), simptomatik (kolik bilier), dan kompleks

(menyebabkan kolesistitis, koledokolitiasis, serta kolangitis). Sekitar 60-80 %

kolelitiasis adalah asimptomatik.

Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asimptomatis.

Keluhan yang mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran

terhadap makanan berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri

di daerah epigastrium, kuadran kanan atas atau perikomdrium. Rasa nyeri

lainnya adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan

kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan

perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba.

Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak

bahu, disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan

12
bahwa nyeri berkurang setelah menggunakan antasida. Jika terjadi kolelitiasis,

keluhan nyeri menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam.

3.8.2 Pemeriksaan Fisik

 Batu kandung empedu

Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi,

seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung

empedu, empiema kandung empedu, atau pangkretitis. Pada pemeriksaan

ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum didaerah letak anatomis

kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah

sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang

meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti

menarik nafas.

 Batu saluran empedu

Baru saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang

teraba hatidan sklera ikterik. Perlu diktahui bahwa bila kadar bilirubin darah

kurang dari 3 mg/dl, gejal ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran

empedu bertambah berat, akan timbul ikterus klinis.

3.8.3 Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium

Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan

kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut,

dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan

kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh

batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di

13
dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga

kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap setiap kali terjadi

serangan akut.

b. Pemeriksaan radiologis

TEKNIK IMAGING

Pada foto polos abdomen dapat dilihat gas atau kalsium didalam traktus

biliaris. Kira-kira 10-15% batu kantung empedu mengapur (kalsifikasi) dan

dapat diidentifikasi sebagai batu kandung empedu pada foto polos. Mungkin

pula penimbunan kalsium di dalam kandung empedu yang mirip bahan

kontras. Kadang-kadang dinding kandung empedu mengapur (kalsifikasi)

yang disebut porcelain gallbladder, yang penting sebab dari hubungan

kelainan ini dengan karsinoma kandung empedu.

Gas dapat terlihat dipusat kandung empedu gambaran berbentuk segitiga

(mercedez-ben sign), gas didalam duktus biliaris menyatakan secara tidak

langsung hubungan abnormal anatara gas kandung empedu atau duktus

choledochus. Ini dapat disebabkan oleh penetrasi ulkus duedeni ke dalam

traktus biliaris atau erosi batu kedalam lambung, duodenum atau kolon. Gas

kadang-kadang terlihat didalam duktus sebagai manifestasi cholangitis

disebabkan oleh organisme pembentuk gas. Gas di dalam kandung empedu

dan dindingnya (emphysematous cholecystitis) adalah manifestasi dari

infeksi serupa dan biasanya timbul pada diabetes, sekunder terhadap

kemacetan dari arteri kistik disebabkan diabetic angiopathy.

Gas didalam vena porta, tampak perifer di dalam hepar, menyatakan

secara tidak langsung usus necrosis tetapi itu dapat terjadi dengan

cholecystitis hebat.

14
Kolesistografi oral ditemukan pertama kali 70 tahun yang lalu dan

banyak diadakan perubahan kontras nontoxic iodinated organic compound

diberikan oral yang diserap didalam usus kecil, diekskresi oleh hati dan

dipekatkan di dalam empedu memberikan kesempatan untuk menemukan

batu kandung empedu yang tidak mengapur sebelum operasi. Dapat pula

dideteksi kelainan intra abdominal lain dari kandung empedu.

Kolesistografi intra vena dikerjakan sebagai pengganti kolesistografi

oral. Bahan kontras di pergunakan adalah iodipamide (biligrafin yang

mengandung iodine 50%). Ultrasonografi kandung empedu (GB-US) telah

membuat suatu pengaruh yang hebat pada diagnosa traktus biliaris. Ini telah

menggantikan kolesistografi oral sebagai cara imaging utama karena ini

menawarkan bermacam-macam keuntungan. Tidak mempergunakan sinar x,

tidak perlu menelan kontras.

Kemampuan untuk menentukan ukuran duktus biliaris dan untuk

mengevaluasi parenkim hepar dan pankreas sangat menguntungkan sekali.

Seorang ultrasonografer yang mempunyai skill diperlukan untuk

mendapatkan hasil yang optimum. Ultrasonografer memperlihatkan patologi

anatomi dari pada patophysiology, kolesistografi oral memperlihatkan

kedua-duanya. Sebab banyak orang yang mempunyai batu kandung empedu

asimptomatik. Ada suatu derajat tertentu agar batu tampak pada

ultrasonografi kandung empedu adalah pasien mengeluh. Ultrasonografi

kandung empedu dapat mendeteksi batu kecil dari pada kolesistografioral.

Ultrasonografi dapat pula untuk menemukan masa intra luminal selain dari

pada batu, seperti adenoma, polip kolestrol dan karsinoma kandung empedu.

Kolesistografi telah berkembang sebagai studi dinamik dari patologi fisiologi

15
dari sistem biliaris. Injeksi intravena dari technitium labeled imminodiacetic

acid compounds memberikan pencitraan segera dari kandung empedu dan

radioaktivitas dapat diikuti ke dalam duodenum.

Kolelitiasis

Batu empedu akan terlihat sebagai gambaran hiperekoik yang bebas pada

kandung empedu serta khas membentuk bayangan akustik dibawahnya. Batu

yang kecil dan tipis kadang-kadang tidak memperlihatkan bayangan akustik.

Pada keadaan yang meragukan perubahan posisi penderita, misalnya duduk,

sangat membantu.

Kolesistitis akut

Tanda utama pada kolesistitis akut ialah sering ditemukan batu, penebalan

dinding kandung empedu, hidrops dan kadang-kadang terlihat eko cairan di

sekelilingnya yang menandakan adanya perikolesistitis atau perforasi. Sering

diikuti rasa nyeri pada penekanan dengan transuder yang dikenal sebagai

morgan sign positif atau positif transuder sign.

Kolesistitis kronik

Kandung empedu sering tidak atau sukar terlihat. Dinding menjadi sangat

tebal dan eko cairan lebih terlihat hiperekoik. Sering terdapat pada kolesistitis

kronik lanjut dimana kandung empedu sudah mengisut (contracted

gallblader). Kadang-kadang terlihat hanya eko batunya saja yang terlihat

pada fossa vessika felea.

Saluran empedu

Pada penderita-penderita yang diduga dengan obstruksi saluran empedu,

USG merupakan pemeriksaan pertama dari serangkaian prosedur pencitraan.

Saluran empedu intra hepatik akan mudah dilihat bila terjadi pelebaran

16
karena selaluberjalan periportal anterior. Hal ini menjadi sangat penting

karena pelebaran saluran empedu ini kadang-kadang sudah terlihat sebelum

bilirubin darah meningkat.

Bila kita ragu-ragu apakah suatu duktus koledukus melebar arau tidak, maka

pemeriksaan dilakukan setelah penderita diberi makan lemak lebih dahulu.

Pada keadaan obstruksi duktus koledukus, maka setelah fatty meal tersebut

akan terlihat lebih lebar, sedangkan pelebaran fisiologik, misalnya pada usia

tua, diman elastisitas dinding saluran sudah berkurang, maka diameternya

akan menjadi lebih kecil.

Pada dasarnya lebar saluran empedu sangat bergantung pada berat atau

tidaknya obstruksi yang terjadi. Pada penderita-penderita yang mengalami

obstruksi sebagian (partial obstruction) baik disebabkan oleh duktus

koledukus, tumor papila vateri ataukolangitis sklerosis, kadang-kadang tidak

memperlihatkan pelebaran saluran empedu sama sekali, tetapi mungkin saja

dijumpai pelebaran yang berkala.

Pada setiap pelebaran duktus koledukus, pemeriksaan terhadap kaput

pankreas dan duktus pankreatikus wirsungi adalah sangat membantu dalam

menentukan lokasi sumbatantersebut

Pada umumnya terhadap penderita-penderita dengan ikterus yang tidak

ditemukan adanya saluran empedu yang melebar, maka dugaan kita beralih

kepada kelainan-kelainan parenkim hati misalnya pada sirosis hati, hepatitis,

maupun metastasis, yang pada umumnya dapat dibedakan dari parenkim hati

normal.

Ringkasan dibawah ini akan sangat membantu dalam mempelajari sistem

traktus biliaris. Pada saat ini kegunaan utama USG dalam pemeriksaan

17
saluran empedu adalah untuk menentukan ikterus, apakah berasal dari

kelainan hepatoseluler atau karena obstruksi saluran empedu. Namun

demikian sampai saat ini belum ada zat kontras yang dapat digunakan seperti

halnya pada kolesistografi. Didalam parenkim hati, kita harus dapat

membedakan pelebaran saluran empedu dari vena hepatika serta vena porta.

Pelebaran saluran empedu

Merupakan tabung (tubukus) yang anekoik (cairan) dengan dinding

hiperekoik yang berkelok-kelok dan sering berlobulasi. Kadang-kadang

berkonfluensi membentuk gambaran stellata yang tidak terdapat pada vena

portae. Pada dinding bawah bagian posteriornya mengalami penguatan

akustik (acoustic enhancement)

Kadang-kadang dijumpai suatu keadaan dimana lokasi obstruksi traktus

biliaris sangat sukar dideteksi, maka pemeriksaan lanjutan seperti

kolongiografi transhepatik (PTC) atau retrograd endoskopik

kolangiopankreatikografi (ERCP) sangat diperlukan.

Kekurangan pengisian kandung empedu menunjukkan adanya obstruksi

duktus sistikus dan tanda-tanda kolesistitis akuta.

Kolesskintigrafi salah satu prosdur yang dapat mendeteksi obstruksi duktus

biliaris sebelum dilatasi duktus timbul dan dapat dilihat dengang

ultrasounografi. Berguna untuk mendeteksi atresia biliaris pada neonatus dan

kebocoran empedu oleh berbagai penyebab.

 Endoscopy Retrograde Cholangiography (ERC) memberi injeksi langsung

duktus koledokus dengan bahan kontras. Ini nilai spesial dalam mendeteksi batu

di dalam duktus koledokus dan radang serta kelainan neoplastik duktus.

Papilotomi, biopsi, mencari keterangan batu dari duktus biliaris, striktura dilatasi
18
dan penempatan nasobiliari stent untuk membebaskan obstruksi semua mungkin

dengan ERCP “ Percutaneus Transhepatic Cholangiography” dilakukan dengan

penyuntikan bahan kontras dibawah fluroscopy melalui jarum sempit, gauge

berada di dalam parenkim hati.ini penting, sama alasannya dengan ERC dan

keuntungannya memungkinkan operator mengadakan drainage empedu, bila

perlu biopsi jarum (needle biopsy). Drainage dari kumpulan cairan dan

menempatkan eksternal dan internal drainage stents dpat dikerjakan secara

perkutan.

 Computed tomography (CT): tidak begitu bernilai dalam mengevaluasi kandung

empedu dan sistem duktus dari pada metoda yang lain, tetapi berguna pada studi

neoplasma parenkim hati. Dalam penentuan gas di dalam vena porta lebih sensitif

dari pada foto polos. CT sensitif dalam mendeteksi kalsifikasi dan menentukan

komposisi batu.

Gambar 5: CT-Scan abdomen atas menunjukkan batu empedu multiple

 Foto polos Abdomen

Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena

hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang

kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat

19
dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang

membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan

lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di

fleksura hepatica.

Gambar 5: Foto rongent pada kolelitiasis

 Ultrasonografi (USG)

Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk

mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intra maupun

ekstra hepatik. Dengan USG dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal

karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain.

Batu yang terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi karena

terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri

pada batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada palpasi biasa.

20
Gambar 6: Hasil USG pada kolelitiasis

USG abdomen merupakan prosedur standard dalam menentukan diagnosa

adanya kolesistitis. 2 Pemeriksaan ini relatif sederhana, cepat dan aman bagi

pasien serta dapat dilakukan pada siapa saja termasuk wanita yang sedang

hamil. Sensitivitas USG dalam hal ini bervariasi tergantung dari operator tetapi

secara umum USG memiliki sensitivitas dan spesivisitas yang tinggi untuk

mendeteksi adanya batu empedu dengan ukuran > 2mm. USG abdomen juga

sangat bermanfaat dalam mendiagnosa kolesistitis akut tanpa komplikasi.

Gambaran yang didapatkan pada keadaan ini adalah adanya penebalan dinding

kandung empedu (> 5 mm), cairan perikolekistik, distensi kandung empedu > 5

mm. Ketika kandung empedu sudah dipenuhi oleh batu seluruhnya, batu-batu

tersebut dapat tidak terlihat pada gambaran USG namun masih bisa didapatkan

gambaran acoustic shadow.

21
Gambaran USG kolelitiasis

 Kolesistografi

Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif

murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat

dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan

ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus,

dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai

hati. Pemeriksaan kolesitografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi

kandung empedu.

Gambar 7: Hasil kolesistografi pada kolelitiasis

 ERCP ( Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography)

22
Kanul yang dimasukan ke dalam duktus koledukus dan duktus

pankreatikus, kemudian bahan kontras disuntikkan ke dalam duktus tersebut.

Fungsi ERCP ini memudahkan visualisasi langsung stuktur bilier dan

memudahkan akses ke dalam duktus koledukus bagian distal untuk mengambil

batu empedu, selain itu ERCP berfungsi untuk membedakan ikterus yang

disebabkan oleh penyakit hati (ikterus hepatoseluler dengan ikterus yang

disebabkan oleh obstuksi bilier dan juga dapat digunakan untuk menyelidiki

gejala gastrointestinal pada pasien-pasien yang kandung empedunya sudah

diangkat. ERCP ini berisiko terjadinya tanda-tanda perforasi/ infeksi.

Gambar 8: ERCP menunjukkan batu empedu di duktus ekstrahepatik (panah


pendek) dan di duktus intrahepatik (panah panjang)

 Magnetic Resonance Cholangio-pancreatography (MRCP)

MRCP adalah modifikasi dari MRI yang memungkinkan untuk mengamati

duktus biliaris dan duktus pankreatikus. MRCP dapat mendeteksi batu

empedu di duktus biliaris dan juga bila terdapat obstruksi duktus.

23
Gambar 9: Hasil MRCP

3.10 Diagnosis Banding

3.10.1 Kolesistitis Akut 2

Sebanyak 90 - 95 % kolesistitis disebabkan sekunder karena kolelitiasis.

Secara umum kolesistitis merupakan suatu proses inflamasi. Obstruksi batu

pada duktus sistikus merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya

distensi kandung empedu, inflamasi, serta edema dinding kandung empedu.

Pada kolesistitis akut kandung empedu menjadi menebal dan kemerahan

disertai dengan perdarahan subserosa dan cairan perikolestatik. Selain itu pada

mukosa kandung empedu tampak hiperemis serta nekrosis di beberapa tempat.

Jika disertai dengan adanya infeksi sekunder bakteri, dapat terjadi kolesisititis

gangrenosa dan terbentuk abses atau empyema di dalam kandung empedu.

Dapat terjadi perforasi di dareah subhepatik.

Kolesistitis akut dapat bermula dengan adanya serangan kolik bilier, tapi

hal ini berlawanan dengan keadaan kolik bilier itu sendiri yaitu karena nyeri

yang timbul tidak menghilang. Nyeri tersebut terus menerus menetap selama

beberapa hari. Pasien sering kali mengalami demam dan mengeluhkan adanya

anoreksia, mual, muntah , lemas, dan apabila proses inflamasi sudah menjalar

24
ke peritoneum parietale, maka pasien akan malas untuk bergerak karena adanya

nyeri. Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri fokal pada abdomen kuadran

kanan atas, dan Murphy sign yang positif merupakan tanda yang khas pada

keadaan ini. Pada pemeriksaan laboratorium bisa didapatkan jumlah leukosit

normal atau leukositosis sedang dengan jumlah 12.000 – 15.000/mm3 dan

adanya peningkatan sedang dari bilirubin serum < 4mg/ml seiring dengan

peningkatan fosfatase alkali, transaminase dan amilase. Adanya ikterus berat

menandakan adanya batu pada duktus sistikus komunis atau obstruksi pada

duktus sistikus karena inflamasi perikolestatik sebagai akibat dari impaksi batu

pada infundibulum kandung empedu yang secara mekanis mengakibatkan

obstruksi duktus sistikus ( Mirizzi syndrome).

Pemeriksaan penunjang 2

USG abdomen merupakan pemeriksaan penunjang radiologis yang paling

bermanfaat dalam mendiagnosa adanya kolesistitis akut dengan sensitifitas dan

spesifisitas sebesar 95 %. Pada USG abdomen didapatkan gambaran berupa

penebalan dinding kandung empedu disertai dengan cairan perikolestatik. Nyeri

tekan pada daerah kandun emppedu saat probe USG menekan daerah tersebut

juga mengindikasikan adanya kolesistitis akut (sonographic Murphy sign

positif). Selain USG abdomen juga dapat dilakukan CT scan abdomen dengan

gambaran yang didapatkan berupa adanya penebalan dinding kandung empedu

disertai dengan cairan perikolestatik, dan batu empedu.

3.10.2 Kolesistitis Kronik

Sekitar dua per tiga pasien dengan kolelitiasis juga mengalami

kolesistitis yang dikarakteristikan dengan adanya serangan nyeri berulang dan

keadaan ini sering juga dinamakan dengan kolik bilier. Nyeri terjadi ketika batu

25
empedu menyumbat duktus sistikus sehingga menghasilkan peningkatan

tekanan dinding kandung empedu yang progresif. Secara patologi terjadi

perubahan kandung empedu mulai dari keadaan yang normal dengan hanya

sedikit inflamasi kronik pada mukosa menjadi kandung empedu yang

mengkerut dengan fibrosis transmural serta adhesi ke struktur sekitarnya.

Manifestasi klinis 2

Keluhan utama pasien biasanya berupa nyeri terus menerus dan makin makin

dirasa nyeri selama 1 jam pertama dan biasanya berlangsung selama 1-5 jam.

Nyeri dirasakan terutama pada epigastrium atau abdomen kuadran kanan atas

dan seringkali menyebar ke punggung kanan diantara skapula. Nyeri ini bisa

sangat hebat dan muncul tiba-tiba, biasanya muncul pada malam hari atau stelah

pasien mengkonsumsi makanan berlemak. Keluhan ini dapat juga disertai

dengan mual dan muntah. Nyeri juga dapat bersifat episodik, pasien dapat

mengeluhkan adanya serangan nyeri yang menyebar diselingi dengan keadaan

normal tanpa gejala. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya nyeri

tekan abdomen kuadran kanan atas pada saat timbul episode nyeri. Jika pasien

sedang dalam keadaan bebas nyeri, maka pemeriksaan fisik dapat meberikan

hasil yang normal. Pada pemeriksaan laboratorium biasanya didapatkan hasil

tes fungsi hati dan leukosit yang normal pada pasien kolesistitis yang tidak

memiliki komplikasi. Kondisi kolelitiasis yang atipikal juga sering muncul.

Pada keadaan ini biasanya tidak ditemukan nyeri abdomen kanan atas meskipun

terdapat batu di dalam kandung empedu nya. Jika nyeri berlangsung selama

lebih dari 24 jam, harus segera dicurigai terjadinya impaksi batu di dalam duktus

sistikus atau terjadi kolesistitis akut. Imapksi batu tersebut akan mengakibatkan

kondisi yang dinamakan dengan hydrops kandung empdu dimana terjadi

26
keadaan berikut yaitu cairan empdu diabsorbsi namun epitel kandung empedu

terus menerus menghasilkan sekret mukus sehingga terjadi distensi kandung

empedu oleh mukus.

3.10.3 Koledokolitiasis 2

Batu pada duktus sistikus komunis dapat memiliki ukuran yang bervariasi mulai

dari ukuran kecil, besar, dengan jumlah tunggal maupun multipel dan dapat

ditemukan pada 6 – 12 % pasien dengan kolelitiasis dan insidennya akan

meningkat sesuai dengan meningkatnya usia. Adanya batu pada duktus sistikus

ini disebabkan karena migrasi batu dari duktus sistikus.

Manifestasi Klinis

Koledokolitiasis dapat bersifat asimptomatik dan seringkali ditemukan secara

tidak sengaja. Koledokolitiasis dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi total

maupun parsial dan dapat juga bermanifestasi sebagai kolangitis atau

pankreatitis bilier. Nyeri yang ditemukan pada pasien relatif sama dengan nyeri

yang dirasakan pada keadaan kolik bilier. Pada pemeriksaan fisik bisa

didapatkan hasil yang normal namun dapat juga ditemukan adanya nyeri tekan

abdomen kuadran kanan atas atau pada daerah epigastrium disertai juga dengan

adanya ikterus. Keluhan yang dirasakan bisa hilang timbul biasanya berupa

nyeri dan ikterus hilang timbul yang diakibatkan karena adanya batu yang

secara sementara mengimpaksi ampulla dan kemudian berpindah. Untuk batu

yang kecil, maka batu ini dapat melewati ampulla secara spontan disertai

dengan menghilangnya gejala-gejala klinis namun lambat laun batu akan

mengimpaksi secara total dan mengakibatkan ikterus progresif. Pada

pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan bilirubin serum, fosfatase

alkali, dan transaminase.

27
Pemeriksaan penunjang 2

USG abdomen merupakan pemeriksaan radiologis pertama yang berguna untuk

mengidentifikasi adanya batu pada kandung empedu dan menentukan ukuran

duktus sistikus komunis. Pada USG abdomen didapatkan gambaran berupa

pelebaran duktus sistikus komunis > 8 mm. Selain USG abdomen juga dapat

dilakukan pemeriksaan Magnetic Resonance Cholangiography (MRC) yang

dapat memberikan gambaran anatomis yang detail dalam mendeteksi

koledokolitiasis dengan nilai sensitivitas dan spesivisitas sebesar 95 dan 89 %.

Selain itu dapat juga dilakukan pemeriksaan Endoscopic Cholangiography yang

merupakan gold standard untuk mendeteksi adanya koledokolitiasis. Dengan

Endoscopic Cholangiography bisa didaptakan keuntungan yaitu selain dapat

digunakan sebagai sarana diagnostik, juga berguna sekaligus sebagai sarana

terapi.

Gambaran MRCP normal yang menunjukkan duktus sistikus komunis


(panah biru) dan duktus pankreatikus (panah putih)

28
Gambaran MRCP yang menunjukkan 2 buah batu pada duktus sistikus komunis.

3.10.4 Kolangitis

Kolangitis merupakan satu dari dua komplikasi utama dari batu duktus

koledokus, sedangkan komplikasi lainnya lagi berupa pankreatitis bilier. Kolangitis

akut merupakan suatu infeksi bakteri yang menyebar dari bawah ke atas yang

disebabkan karena adanya obstruksi parsial maupun total dari duktus biliaris. Dalam

keadaan normal, cairan empedu yang dihasilkan oleh hati bersifat steril, demikian pula

dengan kondisi steril cairan empedu yang disimpan di dalam kandung empedu

dipertahankan dengan aliran empedu yang berkesinambungan disertai dengan substansi

antibakterial yang terdapat di dalam cairan empedu itu sendiri berupa imunoglobulin.

Gabungan antara infeksi bakteri disertai dengan obstruksi bilier yang umumnya

disebabkan karena batu empedu merupakan faktor yang penting dalam terjadinya

kolangitis. Organisme-organisme yang umumnya menyebabkan kolangitis yaitu antara

lain Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Streptococcus faecalis, dan Bacteroides

fragilis.

29
Manifestasi Klinis

Kolangitis dapat bermanifestasi sebagai suatu kondisi yang bervariasi mulai dari

keadaan klinis yang ringan, sedang, dapat sembuh spontan sampai dengan suatu

keadaan berat dan mengancam jiwa seperti pada keadaan septikemia. Gejala yang

paling umum muncul adalah gejala-gejala yang dikenal sebagai Charcot triad dan

muncul pada dua pertiga dari pasien-pasien yaitu berupa demam, nyeri epigastrium atau

nyeri abdomen kuadran kanan atas, dan disertai dengan ikterus. Gejala klinis yang

muncul dapat berkembang secara progresif disertai sepsis dan keadaan ini dikenal

sebagai Reynolds pentad (adanya demam, ikterus, nyeri abdomen kuadran kanan atas,

syok septik dan perubahan status mental). Namun demikian keadaan ini juga bisa

bermanifestasi sebagai suatu keadaan yang atipikal yaitu berupa demam yang tidak

terlalu tinggi, ikterus atau nyeri abdomen kanan atas. Keadaaan ini biasanya terjadi

pada orang dewasa yang bila mengalami infeksi ini tidak memberikan gejala yang

bermakna sampai suatu saat jatuh kedalam kondisi sepsis. Pada pemeriksaan abdomen,

hasil yang ditemukan tidak dapat dibedakan dari keadaan kolesistitis akut. Sedangkan

pada pemeriksaan laboratorium bisa ditemukan adanya leukositosis,

hiperbilirubinemia, dan peningkatan fosfatase alkali serta transaminase.

Pemeriksaan Penunjang 2

Pemeriksaan USG abdomen berguna untuk mendeteksi adanya kolangitis apabila pada

pasien tersebut belum pernah didiagnosa memiliki batu empedu sebelumnya karena

dalam pemeriksaan akan nampak adanya batu empedu disertai dengan duktus yang

berdilatasi. Pemeriksaan radiologis definitif yang juga berguna untuk diagnosa adalah

Endoscopic Retrograde Cholangiopangcreatography (ERCP), namun apabila ERCP

tidak tersedia, dapat dilakukan pemeriksaan Percutaneous Transhepatic

Cholangiography (PTC). Dengan ERCP dan PTC dapat ditentukan level sereta

30
penyebab obstruksi, memungkinkan pengambilan cairan empedu untuk dikultur,

pengambilan batu empedu apabila terdapat batu empedu, dan drainase cairan empedu

dengan kateter drainase atau dengan stent. CT scan dan MRI juga dapat berguna untuk

menetukan apakah terdapat masssa periampular sebagai penyebab dari dilatasi duktus.

31
Gambaran ERCP dengan batu empedu pada duktus sistikus komunis

Percutaneous Transhepatic Cholangiography

32
33
BAB IV

PEMBAHASAN

Untuk menunjang diagnosis kolelitiasis yang tepat, dilakukan anamnesis,


pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang yang pada akhirnya akan mengarah ke
satu diagnosis kerja yaitu kolelitiasis.
a. Anamnesis
Dari hasil anamnesis didapatkan pasien mengeluhkan mengeluhkan nyeri perut
kanan atas yang dirasakan sejak setelah dilakukan operasi pengangkatan
kandung empedu (kolesitektomi), 3 hari sebelum dilakukan anamnenis.
Keluhan nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk, hilang timbul, terutama saat
pasien melakukan perubahan posisi. Keluhan nyeri dirasakan berkurang saat
pasien berbaring. Awalnya nyeri dirasakan pada perut kanan atas sejak 1 bulan
SMRS. Pasien mengatakan nyeri perut tersebut dirasakan seperti diremas,
hilang timbul, semakin terasa nyeri saat dan setelah pasien makan serta saat
pasien menarik nafas dalam. Saat mengalami keluhan tersebut, pasien seringkali
mengerok perut dan punggung pasien serta memium obat warung “Tolak
Angin” agar merasa lebih baik. Saat dan setelah pasien makan, pasien juga
mengeluhkan keringat dingin, begah, dan mual. Saat dilakukan anamnesis
keluhan tidak nafsu makan disangkal, mual (-), muntah (-), pasien sudah bisa
buang angin, sudah bisa duduk, sudah bisa berjalan. Pasien sudah BAK sendiri
ke kamar mandi dan tidak ada keluhan dalam BAK. Pasien belum BAB.
b. Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran : Compos mentis
Tanda-tanda Vital :

 GCS: E4V5M6,
 TD: 110/70 mmHg
 Nadi: 82x/menit
 Suhu: 36,3 ºC
 Pernafasan: 19 x/ menit
 SpO2: 98%

34
Regio Abdomen
 Inspeksi : massa (-), jejas (-), hiperemis (-), distensi (-)
 Auskultasi : bising usus (+), 6x/menit
 Perkusi : timpani, nyeri ketuk (+) pada regio hipokondrika dextra
 Palpasi : supel, defense muscular (-) dan nyeri tekan (+) pada regio
hipokondrika dextra

c. Pemeriksaan Penunjang
Hematologi : Hematokrit 39,1%

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang tersebut


dapat ditegakan diagnosis bahwa pasien mengalami kolelitiasis.

Penatalaksanaan
Tatalaksana yang dilakukan dalam kasus ini ialah dengan dilakukan laparatomi
eksplorasi untuk menjangkau vesica bilairis dan mencari sumber infeksi, darah dan atau
pus akibat dari inflamasi pada vesica biliaris, selanjutnya dilakukan irigasi pada rongga
abdomen. Kemudian dilakukan cholecystectomy untuk mengeluarkan sumber infeksi
yaitu berupa vesica biliaris yang meradang karena batu empedu. Pada kasus ini batu
empedu membentuk kantong kecil pada vesica biliaris dan menyebabkan peradangan
pada kantong tersebut. Setelah itu dilakukan penjahitan pada luka bekas operasi.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Brunner & Suddart. 2001. Keperawatan medikal bedah vol 2. Jakarta: EGC.
2. Carpenito, Lynda Juall. 1999. Rencana asuhan keperawatan dan dokumentasi
keperawatan, diagnosis keperawatan dan masalah kolaboratif. Edisi 2. Jakarta: EGC.
3. Doenges, Marilyn E. 2000. Rencana asuhan keperawatan. Jakarta: EGC.
4. Dorland, W. 2002. Kamus kedokteran Dorland. Edisi 29. Jakarta: EGC.
5. Husadha, Yast. 1996. Buku ajar ilmu penyakit dalam: fisiologi dan pemeriksaan
biokimiawi hati. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
6. ISFI. 2008. ISO Indonesia. Volume 43 – 2008. Jakarta: PT. ISFI Penerbitan.
7. Lesmana, L. 2000. Batu empedu. Buku ajar penyakit dalam. Edisi 3. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
8. Mansjoer, A. 1999. Kapita selekta kedokteran. Jilid I. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Media
Aesculapius FKUI.
9. Schwartz S, Shires G, Spencer F. 2000. Prinsip-prinsip ilmu bedah (principles of
surgery). Edisi 6. Jakarta: EGC.
10. Sjamsuhidajat R, de Jong W. 2005. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC.

36

Anda mungkin juga menyukai