Anda di halaman 1dari 24

REVIU

Beberapa kontroversi (hal-hal yang menjadi bahan perdebatan) di


dalam kemajuan gangguan bipolar; peranan antipsikotik generasi
kedua untuk terapi pemeliharaan

Sameer Jauhar dan Allan H. Young

Abstrak

Pada reviu naratif kali ini, kami akan membahas tentang penggunaan beberapa

antipsikotik generasi kedua (SGA/ second-generation antipsychotics) di dalam

penanganan pemeliharaan gangguan bipolar. Kami pun membandingkan

penggunaannya dengan beberapa penanganan lain yang terlebih dahulu umum

digunakan (secara khusus: litium, yang telah menjadis satu penanganan standar).

Untuk membandingkannya, kami pun mereviu beberapa bukti yang ada tentang

efikasi (tingkat kemanjuran), efektifitas, dan tingkat tolerabilitas di seluruh kutub-

kutub penyakit, mekanisme-mekanisme respon penanganan yang memungkinkan,

panduan yang diberikan oleh beberapa kelompok panduan, dan pertimbangan-

pertimbangan klinis pragmatik. Kemudian, kami akan mengilustrasikan beberapa

kontroversi yang ada dalam hal penggunaan antipsikotik di dalam penanganan

pemeliharaan, dengan contoh mania episode pertama dan penanganannya pada

episode psikosis pertama.


Pendahuluan

Gangguan bipolar (BD/ bipolar disorder), sebagaimana yang didefinisikan dengan

sistem pengklasifikasian modern, diketahui mencakup episode mania/ hipomania dan

depresi. Walaupun episode akut memiliki tingkat signifikansi, namun sifat

kekambuhan gangguan bipolar lah yang memiliki tingkat implikasi terhadap fungsi

jangka panjang, dan hal ini menempati urutan keempat sebagai penyebab tahun

hidup tuna upaya pada mereka yang berusia 10-24 tahun (Gore dkk, 2011).

Reviu/ peninjauan yang dilakukan secara cermat dalam hal laju penyakit di era pra-

medikasi dan pasca-medikasi telah menunjukkan bahwa kekambuhan lah yang harus

menjadi fokus penanganan (Goodwin dan Jamison, 2007). Tingginya tingkat

kekambuhan diketahui tidaklah berbeda di seluruh laju penyakit gangguan bipolar,

yang dimulai dari episode pertama sampai periode berikutnya (Gignac dkk, 2015).

Karena tingginya tingkat kekambuhan, penanganan profilaktik umumnya menjadi

bagian yang penting di dalam penanganan. Mengingat akan lebih tingginya proporsi

individu yang mengalami periode depresi dibandingkan dengan pada periode

hipomania (Judd dkk, 2002), maka selain pada periode mania, tingkat efikasi

penanganan pun haruslah difokuskan pada periode depresi.

Obat-obatan yang ada saat ini (yang sudah diizinkan oleh FDA) untuk terapi

pemeliharaan pada gangguan bipolar adalah: lithium, lamotrigine, aripiprazole,

olanzapine, quetiapine (pelepasan-cepat), dan ziprasidone. Perizinan dari FDA pun

juga diberikan pada risperidone (injeksi aksi lama) sebagai terapi-tunggal ataupun

sebagai terapi penyerta, dan juga aripiprazole (injeksi aksi lama) untuk terapi-tunggal

pada penanganan gangguan Bipolar 1 (Vieta dkk, 2018).


Bukti yang tersedia sebagai dasar/ alasan penggunaan lithium standar-emas

Lithium telah menjadi landasan penanganan pemeliharaan BD sejak tahun 1960-an,

hal ini karena lithium diketahui memiliki pengaruh profilaktik (menurut laporan

penelitian yang dilakukan oleh Hartigan pada tahun 1963). Masalah-masalah

metodologi awal (contohnya: efek diskontinuasi yang dapat menyebabkan mania

pantulan (Suppes dkk, 1991) pun telah dikaji pada beberapa penelitian berikutnya,

dimana lithium digunakan sebagai pembanding plasebo, dan pada beberapa

penelitian selanjutnya, digunakan sebagai pembanding beberapa antipsikotik.

Beberapa meta analisis yang membandingkan lithium dengan plasebo (dari 7

penelitian) telah mengindikasikan bahwa lithium memiliki manfaat di dalam

pencegahan episode gangguan mood/ suasana hati (RR=0,66), episode manik

(RR=0,52), dan juga episode-episode depresi (RR=0,78). Ketika dibandingkan

dengan beberapa antikonvulsan, litihium diketahui lebih unggul dalam hal

pencegahan terjadinya episode manik (RR=0,66), namun demikian, hal ini tidaklah

berlaku pada episode-episode non-depresif. Waktu penelitian – dari beberapa

penelitian yang disertakan di dalam meta-analisis – yang paling lama adalah 2 tahun,

namun semua penelitian (kecuali satu penelitian) hanyalah menyertakan para subjek

yang menderita gangguan Bipolar 1 saja (Severus dkk, 2014). Lithium diketahui juga

memiliki efek anti-bunuh-diri (Lewitzka dkk, 2015).

Beberapa efek terhadap fungsi kognitif adalah bersifat heterogen, dengan sedikit

gangguan pada kemampuan bicara dan memori, dan walaupun tidak terdapat efek

terhadap domain seperti fungsi eksekutif atau kecepatan pemrosesan, namun seiring
dengan berjalannya waktu, para subjek diketahui dapat mengalami pemburukan/

penurunan kecepatan psikomotor (Wingo dkk, 2009).

Resiko dari penggunaan lithium sudahlah dipahami secara jelas, yang dimana hal ini

mencakup efek samping penanganan (Shine dkk, 2015) dan mania pantulan ketika

penggunaan medikasi dihentikan (Suppes dkk, 1991). Pada reviu sebelumnya, para

peneliti pun mengkaji data-data dari hasil pemeriksaan laboratorium pada para pasien

yang diberikan lithium (yang dibandingkan dengan data para subjek kendali), yang

dimana penggunaan lithium diketahui dapat meningkatkan resiko pengidapan

penyakit ginjal stage 3 (HR=1,93), hipotiroidisme (HR=2,31), dan peningkatan kadar

kalsium (HR=1,43). Data dari praktek nyata tentang diskontinuasi/ penghentian

penggunaan lithium yang diambil dari area (yang ditentukan secara epidemiologis)

selama periode 48 tahun, telah menunjukkan bahwa 54% dari seluruh pasien

menghentikan penggunaan lithium. Dari 561 episode diskontinuasi, mayoritas dari

para subjek yang menghentikan penggunaan lithium adalah dikarenakan mengalami

efek samping (62%), yang dimana efek samping yang paling umum adalah berupa

penyakit ginjal, diare, dan tremor. Beberapa alasan psikiatrik diketahui telah

menyebabkan diskontinuasi medikasi pada 44% subjek, yang dimana alasan yang

paling umum adalah ketidakpatuhan dan karena mereka merasa bahwa lithium

kurang efektif di dalam penanganan (Ohlund dkk, 2018).


Bukti untuk penggunaan antipsikotik-antipsikotik generasi kedua – dan

pembandingannya dengan plasebo dan lithium.

Penggunaan antipsikotik pada penanganan BD diketahui dimulai sejak tahun 1960-

an, yang utamanya dilakukan pada fase akut, yang dibandingkan dengan plasebo

(Klein dan Oaks, 1967) dan lithium pada mania akut (Prien dkk, 1972), dan juga

pada psikosis fungsional (Johnstone dkk, 1988). Penelitian yang dilakukan oleh Prien

dkk menemukan bahwa lithium memiliki efikasi yang sama dengan antipsikotik pada

mania akut, selain itu, pimozide diketahui memiliki pengaruh/ efek yang signifikan

terhadap gejala-gejala psikotik pada kasus psikosis tak terdiferensiasi. Tingkat

efikasi antipsikotik pada kasus mania akut sudahlah diketahui, dan bukti dari meta

analisis telah menunjukkan bahwa haloperidol adalah memiliki tingkat efikasi yang

lebih tinggi daripada lithium (SMD 0,19), dengan heterogenitas antara kedua

senyawa, dimana beberapa antagonis dopamin seperti contohnya haloperidol

diketahui memiliki tingkat efikasi yang paling tinggi (Cipriani dkk, 2011).

Penelitian observasional paling awal yang mengkaji tentang antipsikotik yang

digunakan di dalam penanganan pemeliharaan menunjukkan bahwa clozapine dapat

digunakan bagi para subjek yang kondisi gangguan mood nya sulit ditangani (Zarate

dkk, 1995). Kelebihan dari beberapa antipsikotik generasi kedua (SGAs/ second-

generation antipsychotics) adalah tingkat penurunan propensitas/ kecenderungan

yang dapat menyebabkan gangguan gerakan, jika dibandingkan dengan beberapa

antipsikotik generasi pertama (FGAs/ first-generation antipsychotics), dan satu

metanalisis yang dilakukan di tahun 2017 menunjukkan adanya perbedaan yang

secara statistik signifikan pada diskinesia tardif antara kedua kelas (sekitar 20% vs
30%), dengan tingkat prevalensi yang lebih rendah pada para subjek yang tidak

mendapatkan FGA (sekitar 7%) (Carbon dkk, 2017).

Beberapa efek samping lain, seperti contohnya efek-efek metabolik diketahui lebih

jelas signifikan pada SGAs (lihat bagian bawah). Satu reviu sistemik di tahun 2017

dan meta analisis yang mengkaji tentang penggunaan SGAs di dalam penanganan

pemeliharaan BD pun menyertakan 15 RCT (dengan periode penelitian 6 bulan

sampai 2 tahun), selain itu, satu penelitian observasional pun dilakukan selama 4

tahun untuk mengkaji tentang hal ini (Lindstrom dkk, 2017). Penelitian diatas

mengkaji tentang terapi tunggal dan terapi penyerta lithium, sodium valproate, atau

lamotrigine. Beberapa antipsikotik yang dikaji mencakup olanzapine (4 penelitian),

quetiapine (4 penelitian) aripiprazole (3 penelitian), risperidone (3 penelitian), dan

ziprasidone (1 penelitian). Beberapa meta analisis menunjukkan bahwa terapi

tunggal antipsikotik adalah lebih unggul dibandingkan dengan plasebo di dalam

penurunan secara keseluruhan tingkat resiko kekambuhan (olanzapine: RR 0,52 (CI

95% 0,38-0,71), 2 penelitian; quetiapine: HR 0,37 CI 95% 0,31-0,45), 2 penelitian;

risperidone: RR 0,61 (CI 95% 0,47-0,80), 2 penelitian), namun demikian, kualitas

penelitian, dengan menggunakan GRADE, adalah sangat buruk. Sebagai penyerta

penstabil mood konvensional (lithium/ valproate/ lamotrigine), jika diberikan kepada

individu yang telah dapat merespon penanganan akut, maka aripiprazole (RR 0,65,

CI 95% 0,50-0,85; 2 penelitian), olanzapine (RR=0,49, CI 95% 0,27-0,91; satu

penelitian), quetiapine (RR 0,38, CI 95% 0,32-0,46; 2 penelitian) dan ziprasidone

(RR 0,62, CI 95% 0,40-0,96; 1 penelitian).


Satu penelitian yang menggunakan injeksi risperidone aksi lama (LAI/ long acting

injection) pada subjek penderita gangguan Bipolar I dan 4 atau mereka yang

mengalami jumlah episode yang lebih sering di tahun sebelumnya, diketahui tidaklah

secara statistik signifikan pada meta analisis untuk kekambuhan mania atau depresi,

walaupun demikian, injeksi risperidone aksi lama (sebagai terapi penyerta) diketahui

dapat memberikan manfaat pada follow up minggu ke-52 jika dibandingkan dengan

plasebo, dimana hal ini dapat menurunkan resiko kekambuhan episode mood

(setingkat 2,3 kali lipat) (Macfaden dkk, 2009). Penanganan penyerta dengan

quetiapine merupakan satu-satunya obat yang dapat menurunkan episode gangguan

manik (RR 0,39, CI 95% 0,30-0,52; 2 penelitian) dan depresi (RR 0,38, CI 95%

0,29-0,49; 2 penelitian). Hampir dari seluruh penelitian diketahui memiliki

rancangan yang diperkaya/ dimodifikasi, yaitu para pasien diberikan obat sebelum

randomisasi/ pengacakan, dan hal ini merupakan satu bentuk bias pemilihan subjek.

Dua dari seluruh RCT menyertakan para subjek yang menderita gangguan Bipolar 2

(Tabel 1).

Tingkat diskontinuasi pengkonsumsian obat penyerta pun beragam, dari rasio hazard

0,66 (ziprasidone) menjadi 0,89 (aripiprazole), dan penambahan berat badan para

subjek (didefinisikan sebagai peningkatan >7%) diketahui terjadi ketika para peneliti

melakukan meta analisis seluruh antipsikotik.

Antipsikotik yang tidak dikaji pada reviu kali ini adalah lurasidone (yang memiliki

izin penggunaannya dari FDA sebagai terapi tunggal dan penanganan penyerta

lithium dan divalproex untuk penanganan akut depresi bipolar) dan asenapine (yang

baru-baru ini dikaji/ diteliti di dalam penelitian penanganan pemeliharaan). Setelah


dilakukannya penelitian buta ganda selama 6 minggu yang mengkaji tentang

lurasidone terapi-tunggal atau penanganan penyerta lithium atau divalproex (yang

dibandingkan dengan plasebo sebagai kendali, para partisipan pun dirandomisasi

untuk mendapatkan lurasidone (6 bulan) sebagai terapi tunggal atau terapi penyerta.

Walaupun bukan sebagai outcome primer, mania yang dipicu karena penanganan

diketahui terjadi pada 1,3% dari seluruh subjek di kelompok terapi tunggal, dan 3,8%

di kelompok yang mendapatkan terapi penyerta. Di antara responder yang di-follow

up, 10,2% dari seluruh subjek diketahui memenuhi kriteria post hoc untuk

kekambuhan depresi selama 6 bulan penanganan di kelompok terapi tunggal, selain

itu, 10,2% dari seluruh subjek diketahui memenuhi kriteria kekambuhan di kelompok

terapi penyerta. Sifat dari penelitian ini membuat para peneliti mengalami kesulitan

untuk membandingkan kekambuhan mania dan depresi dengan pada beberapa

penanganan lain, namun, para peneliti juga dapat mengidentifikasi terjadinya sedikit

insiden kekambuhan manik (Ketter dkk, 2016).

Penelitian buta ganda selama 26 minggu (yang menggunakan plasebo sebagai

kendali) yang melibatkan 253 subjek penderita gangguan bipolar diketahui

menemukan temuan yang mengindikasikan lebih lamanya waktu untuk terjadinya

kekambuhan episode mood (manik atau depresi), HR = 0,16 untuk episode manik,

HR = 0,35 untuk episode depresif, walaupun hal ini tidaklah berlaku untuk episode-

episode campuran. Dan walaupun validitas penelitian ini tidaklah memiliki kekuatan

yang tinggi, hasil dari penelitian ini pun menjadi analisis post hoc (Szegedi dkk,

2018).
Tabel 1. Polaritas, afinitas-afinitas reseptor dan beberapa efek samping antipsikotik

yang digunakan di dalam penanganan pemeliharaan gangguan bipolar

Antipsikotik Polaritasa Profil reseptor sesuai afinitasb Efek samping umumb


Aripiprazole Mania, fitur-fitur Agonis parsial D2 Akatasia, sakit
gabungan kepala, mual
Antagonis 5HT2A
Agonis parsial 5HT1A
Antagonis 5HT7
Agonis parsial 5HT2C
Antagonis α2
Asenapine Mania/ fitur-fitur Antagonis 5HT2c Sedasi, EPSEs,
gabungan, depresi hipotensi postural
Antagonis 5HT2a
Antagonis 5HT7
Antagonis 5HT2b
Antagonis 5HT7 α26
Antagonis D3
Antagonis H1
Antagonis α1
Antagonis α2A
Antagonis α2c
Antagonis D2
Antagonis D1
Antagonis 5 HT5a
Agonis parsial 5HT1a
Antagonis H2
Antagonis α1
Cariprazine Mania/ fitur-fitur Agonis parsial D3 Akathasia, EPSEs,
gabungan mual
Agonis parsial D2
Antagonis 5HT2B
Agonis parsial 5HT1A
Antagonis 5HT2A
Antagonis H1
Antagonis 5HT7
Antagonis 5HT2C
Antagonis α1A
Lurasidone Mania/ fitur-fitur Antagonis 5HT7 EPSEs, sedasi
gabungan
Antagonis D2
Antagonis 5HT2A
Antagonis 5HT1A
Antagonis α2
Olanzapine Mania/ fitur-fitur Antagonis H1 Sedasi, penambahan
gabunganc berat badan,
dislipidemia
Antagonis 5HT2A
Agonis terbalik 5HT2C
Antagonis D2
Antagonis M1-M5
Quetiapine Mania/ fitur-fitur Antagonis H1 Sedasi, penambahan
gabungan, depresi berat badan,
hipotensi postural
Antagonis α1A
Antagonis α2C
Antagonis α18
Antagonis α28
Antagonis 5HT2A
Antagonis D2
Antagonis 5HT7
Norquetiapine (metabolit
quetiapine)
Antagonis H1
Antagonis 5HT2B
Antagonis M3
Antagonis M5
Antagonis M1
Agonis parsial 5HT1A
Antagonis 5HT2A
Penghambat NET
Antagonis α1
Antagonis D2 (dosis yang lebih
tinggi)
Risperidone Mania Agonis terbalik 5HT2A EPSEs, penambahan
berat badan,
peningkatan
prolaktin, hipotensi
postural
Antagonis D2
Antagonis 5HT7
Antagonis α1
Agonis terbalik 5HT2C
Antagonis H1
Antagonis α2

a
Berdasarkan pada bukti dari RCT dan meta analisis
b
Diadaptasi dari Pedoman Pemberian Obat Psikosis Maudsley
c
Efektif pada penanganan depresi yang dikombinasikan dengan fluoxetine

Penelitian acak selama 52 minggu yang menggunakan depot aripriparazole dan

plasebo sebagai kendali menunjukkan bahwa aripiprazole dapatlah memberikan

manfaat di dalam penanganan penyakit Bipolar 1, dengan rasio hazard 0,45 dalam

hal kekambuhan semua episode mood, utama nya pada episode manik, dan

aripiprazole injeksi aksi lama diketahui memiliki tingkat efikasi/ kemanjuran yang

sama dengan aripiprazole oral (Calabrese dkk, 2017). Menurut dua penelitian yang
dilakukan dengan durasi masing-masing 18 dan 24 bulan, tingkat efikasi yang sama

juga terlihat pada risperidone (LAI) (jika dibandingkan dengan plasebo) di dalam

mencegah kekambuhan (Quiroz dkk, 2010; Vieta dkk, 2012), dengan rasio resiko

gabungan 0,42 untuk gejala manik, hipomanik, atau gabungan, namun demikian, hal

ini tidaklah berlaku untuk kekambuhan depresi. Satu reviu yang meringkas tiga

penelitian (yang membandingkan LAI versus antipsikotik oral) menemukan temuan

yang mengindikasikan bahwa tidak terdapat perbedaan dalam hal tingkat

kekambuhan, walaupun analisis sensitivitas menunjukkan adanya manfaat yang

dapat didapat oleh para subjek dengan penyakit yang bersiklus cepat (Kishi dkk,

2016).

Penelitian pertama yang membandingkan efikasi antipsikotik terapi tunggal dengan

lithium di dalam pencegahan kekambuhan BD pun dilakukan untuk mengetahui

efikasi olanzapine versus lithium di dalam penanganan kekambuhan episode mood.

Hal ini mencakup penanganan penyerta label terbuka selama 6-12 minggu, yang

dosisnya disesuaikan secara buta ganda dalam periode 4 minggu, dan terapi tunggal

buta ganda selama 48 minggu. Diketahui bahwa tidaklah terdapat inferioritas yang

dimiliki oleh olanzapine untuk outcome primer dan perawatan di rumah sakit yang

dikarenakan semua episode mood (Tohen dkk, 2005). Satu meta analisis pun

dilakukan oleh Miura dkk pada tahun 2014 untuk mengkaji tentang efikasi dan

tolerabilitas penanganan untuk fase pemeliharaan. Meta analisis jaringan diketahui

memunculkan masalah yang terlihat pada meta analisis konvensional, dimana

pembandingan sesepasang dilakukan, dan memungkinkan pembandingan antara

intervensi yang berbeda-beda, mengingat terdapat komparator umum di dalam

jaringan. 33 penelitian pun disertakan di dalam analisis jaringan, dan mengkaji 17


kombinasi. Antipsikotik yang diteliti adalah aripiprazole, olanzapine, paliperidone,

quetiapine, dan risperidone LAI. Diketahui bahwa semua intervensi adalah lebih

efektif jika dibandingkan dengan plasebo di dalam pencegahan kekambuhan, terlepas

dari penggunaan aripiprazole, carbamzepine, imipramine, dan paliperidone. Harus

diketahui bahwa banyak dari penelitian yang mengkaji tentang penggunaan

aripiprazole yang tidak disertakan. Hanya lithium dan quetiapine yang diketahui

lebih efektif (dibandingkan dengan plasebo) di dalam pencegahan kekambuhan

depresi. Kualitas bukti pun beragam, dimana bukti yang paling kuat adalah dalam

penggunaan lithium, selain dari outcome-outcome lain (contohnya pemfungsian

sosial). Hal ini membuat para peneliti menyimpulkan bahwa lithium harus tetap

menjadi terapi pilihan pertama untuk penanganan pemeliharaan (Miura dkk, 2014).

Yang cukup menonjol pada meta analisis ini adalah tingkat kesamaan pengaruh yang

terlihat pada penanganan akut yang dilakukan oleh Taylor, yang mana beliau

menemukan adanya hubungan erat antara estimat terbaik pengaruh versus plasebo

terhadap pencegahan kekambuhan dengan tingkat respon untuk episode-episode akut

yang dilaporkan pada meta-meta analisis jaringan lain (hubungan untuk episode

manik atau episode campuran, r=-0,91, p=0,01) dan kecenderungan yang sama untuk

episode-episode depresi (r=-0,79, p=0,06) (Taylor 2014). Hal ini menunjukkan satu

pengaruh nyata, yang bertentangan dengan artefak statistik, dan juga menunjukkan

bahwa penanganan-penanganan yang efektif secara akut dapat lah efektif untuk

profilaksis. Belum lama ini, hal ini pun ditemukan pada satu meta analisis yang

dilakukan oleh peneliti yang sama, yang menunjukkan bahwa lithium memiliki efek

akut terhadap kekambuhan mania, dalam periode 4 minggu (Taylor, 2018).


Mengingat akan adanya bukti untuk penggunaan lamotrigine, yang diizinkan untuk

digunakan di Amerika Serikat dan Uni Eropa untuk pencegahan kekambuhan depresi

pada para pasien penderita penyakit bipolar 1 dengan episode depresi (Goodwin dkk,

2004), maka adalah perlu untuk membandingkan tingkat efektifitasnya dengan

antipsikotik – khususnya BD pasca episode depresi. Menurut meta analisis jaringan

yang dilakukan oleh Miura (Miura dkk, 2014), diketahui bahwa ukuran pengaruh

untuk lamotrigine adalah 0,69 (CI 95% 0,5-0,94) untuk episode depresi dan

kekambuhan. Nilai-nilai komparatif untuk antipsikotik adalah 0,8 untuk olanzapine

(CI 95% 0,57-1,12), 0,48 untuk quetiapine (CI 95% 0,34-0,67), 1,32 untuk

risperidone LAI (CI 95% 0,84-2,09), dan 0,76 untuk lithium (CI 95% 0,61-0,93).

Pada tingkat pragmatis, lamotrigine umumnya ditambahkan dengan penanganan

pemeliharaan lain, yang diantaranya mencakup antipsikotik, dan yang menjadi satu

kontribusi yang penting untuk literatur adalah penelitian CEQUEL (Geddes dkk,

2016). RCT buta ganda yang menggunakan plasebo sebagai kendali ini pun

melibatkan para subjek yang baru mengalami episode depresi untuk mendapatkan

lamotrigine atau plasebo, dan peneliti menemukan adanya penurunan gejala-gejala

depresi (diukur dengan Inventarisasi Cepat Laporan Simtomatologi Depresi Pasien

(QIDS-SR) pada minggu ke-12 dan minggu ke-52 (yang mana hasil pengukuran

yang dilakukan di minggu ke-52 adalah secara statistik signifikan, -2,69, CI 95% -

4,89 menjadi -0,49]; p=0,017), dimana tingkat pemulihan tertinggi diketahui terjadi

pada mereka yang tidak mendapatkan asam folat.

Satu-satunya penelitian yang mengkaji tentang penggunaan antipsikotik di dalam

penanganan pemeliharaan pada pasca episode mania pertama pun dilakukan dengan

merekrut 61 individu yang mengalami episode pertama psikosis manik (yang gejala-
gejala psikosisnya dapat merespon terhadap quetiapine dan lithium), dan para

peneliti pun merandomisasi para subjek untuk mendapatkan quetiapine (dosis rerata

437,5 mg) atau lithium (kadar rata-rata 0,6 mM). Dengan menggunakan model

gabungan dan rancangan pengukuran ulang, para peneliti menemukan bahwa lithium

adalah lebih unggul daripada quetiapine pada ukuran-ukuran klinis (Skala

Pemeringkatan Mania Young [YMRS/ Young Mania Rating Scale], Skala

Pemeringkatan Psikiatrik Singkat [BPRS/ Brief Psychiatric Rating Scale], dan

impresi/ kesan umum klinis), dan pemfungsian (Berk dkk, 2017; Geddes dkk, 2016).

Di dalam upaya untuk mengkombinasikan pengetahuan tentang efikasi obat pada

penanganan pemeliharaan dengan gambaran klinis akan BD, Popovic dkk (2012) pun

menganalisis penelitian-penelitian yang berdurasi diatas 24 minggu, menentukan

indeks polaritas, memberikan nilai numerik untuk pengaruh profilaktik versus

depresi (<1) dan mania (>1). Beberapa contoh mencakup 4,38 untuk aripiprazole dan

0,4 untuk lamotrigine. Hal ini secara intuitif cukuplah menarik, walaupun untuk

obat-obatan dengan efikasi yang sama (contohnya lithium 1,39 dan quetiapine 1,14),

namun penginterpretasiannya dapatlah lebih sulit.

Untuk tingkat efektifitas, satu penelitian cacah nasional terbaru (Finlandia) pun

dilakukan untuk mengkaji tentang tingkat perawatan ulang di rumah sakit pada para

subjek penderita gangguan bipolar, untuk rerata sekitar 7 tahun. Diketahui bahwa

risperidone LAI (HR 0,58 [CI 95% 0,34-1,00]), gabapentin (HR 0,58 [CI 95% 0,44-

0,77]), perphenazine injeksi aksi lama (HR 0,60 [CI 95% 0,41-0,88]) dan lithium

karbonat (HR 0,67 [CI 95% 0,60-0,73]) diketahui memiliki hubungan dengan tingkat

terendah resiko perawatan ulang pasien psikiatrik di rumah sakit. Para peneliti pun
memahami akan beberapa potensi variabel pengganggu, yang semuanya disesuaikan

untuk masing-masing variabilitas dengan menggunakan tiap pasien sebagai

pengendalinya (Lahteenvuo dkk, 2018; Popovic dkk, 2012; Berk dkk, 2017).

Penggunaan LAI cukuplah menarik, hal ini karena mengingat akan tingkat

ketidakpatuhan pasien terhadap penggunaan medikasi yang cukup tinggi pada kasus

BD (20-66%) (Lingam dan Scott, 2002), walaupun literatur yang dibangun dari hasil

RCT-RCT yang mengkaji skizofrenia menunjukkan bahwa tidaklah terdapat

perbedaan antara penggunaan obat dalam formula injeksi aksi lama vs. oral dalam

hal tingkat kekambuhan (Kishimoto dkk, 2014).

Keunggulan lithium pun diteliti dengan menggunakan database penanganan primer

Inggris dari sekitar 500 pasien penderita BD, dimana para peneliti meneliti

penggunaan terapi tunggal olanzapine, quetiapine, lithium, dan sodium valproate.

Para peneliti pun melakukan pengkajian akan kegagalan penanganan, yang

didefinisikan sebagai penambahan medikasi psikotropik lain atau diskontinuasi

medikasi, dan mereka menemukan bahwa lithium membutuhkan waktu 2,05 tahun

(paling lama) sampai terjadinya kegagalan (CI 95% 1,63-2,51), sedangkan waktu

yang dibutuhkan quetiapine adalah 0,76 tahun (CI 95% 0,64-0,84), 0,98 tahun untuk

valproate (CI 95% 0,84-1,18), dan 1,13 tahun untuk olanzapine (CI 95% 1,00-1,31)

(Hayes dkk, 2016). Para peneliti pun mampu mengendalikan sejumlah faktor-faktor

pengganggu, walaupun mereka tidak mampu mendeteksi pengaruh episode manik

atau depresi.
Beberapa efek samping antipsikotik

Efek samping utama yang diketahui dari penggunaan antipsikotik-antipsikotik

generasi kedua diantaranya adalah pengaruh metabolik (yang mencakup penambahan

berat badan, pengaruh terhadap metabolisme glukosa, kolesterol, dan prolaktin),

sedasi, disfungsi seksual, dan juga gejala-gejala ekstrapiramidal (walaupun tidak

lebih parah dari FGAs) (Young dkk, 2015). Ketika mempertimbangkan beberapa

efek samping, perlu diketahui bahwa pengaruh-pengaruh yang muncul adalah

bersifat heterogen antar obat (Leucht dkk, 2013), dan intervensi-intervensi muncul

untuk memperkuat efek samping, seperti contohnya penambahan berat badan (Young

dkk, 2015; Maayan dkk, 2010). Analisis yang menggunakan dataset Inggris yang

sama di atas telah menemukan adanya peningkatan tingkat resiko hipertensi, dan

penambahan berat badan setingkat 15%, dibandingkan dengan lithium (HR valproate

1,62; CI 95% 1,31-2,01; p<0,001, HR olanzapine 1,84; CI 95% 1,47-2,30; p<0,001,

HR quetiapine 1,67; CI 95% 1,24-2,20; p<0,001).

Beberapa masalah metodologi di dalam penilaian bukti

Ketika menilai beberapa RCT yang mengkaji tentang penanganan pemeliharaan pada

kasus BD, perlu diketahui bahwa tingkat follow up hanyalah 10% pada beberapa

kasus, dimana tidak sedikit para subjek yang dikeluarkan dari penelitian setelah

mengalami pemburukan gejala, seperti contohnya kekambuhan episode mood. Hal

inilah yang membatasi/ menyulitkan penginterpretasian hasil, mengingat penyakit ini

membutuhkan penanganan berkepanjangan dengan medikasi profilaktik sebelum

mengetahui ada tidaknya atau besar kecilnya manfaat yang didapat dari penanganan.
Satu masalah yang memiliki hubungan adalah pendeteksian efek/ pengaruh terhadap

episode depresi, dan kriteria inklusi untuk penelitian-penelitian yang dilibatkan

adalah episode awal mania, dan karena polaritas awal dapat digunakan untuk

memprediksi polaritas episode di kemudian hari, maka kemampuan untuk

mendeteksi pengaruh-pengaruh terhadap depresi dapatlah terpengaruhi, hal ini

disebabkan karena kekuatan statistik yang lemah (walaupun efek quetiapine terhadap

outcome ini haruslah dipahami). Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, hampir

dari seluruh penelitian yang mengkaji tentang antipsikotik telah mengadopsi

rancangan yang dimodifikasi/ diperlengkap, dimana para partisipan distabilisasi

dengan antipsikotik sebelum proses randomisasi, dan hal ini dapat merefleksikan

praktek klinis. Perlu diingat bahwa para pasien yang dilibatkan di dalam penelitian-

penelitian ini umumnya memiliki respon yang lemah terhadap lithium atau valproate

(Lindstrome dkk, 2017). Penelitian-penelitian observasional diketahui tidaklah

mudah untuk diinterpretasikan, hal ini karena adanya pengaruh faktor-faktor

pengganggu dan juga bias pemilihan subjek. Dengan demikian, adalah berguna untuk

memeriksa mekanisme etiologis dan biologi respon penanganan.

Mekanisme aksi respon penanganan pada gangguan bipolar

Dari bukti yang dijelaskan sebelumnya, adalah jelas bahwa respon terhadap

penanganan adalah bersifat heterogen, dan lithium beserta quetiapine tampaknya

memiliki efikasi di dalam pencegahan kekambuhan depresi. Lithium juga sepertinya

memiliki efek anti bunuh diri. Pemahaman tentang farmakologi dan neurobiologi

respon penanganan akanlah memungkinkan para dokter untuk menganalisis


perbedaan antara lithium dengan beberapa antipsikotik khusus di dalam terapi

pemeliharaan.

Berbagai hipotesis pun muncul tentang respon lithium, dan dapat dikelompokkan

kedalam respon yang meregulasi sifat membran sel, transport membran sel dan

distribusi ion, regulasi neurotransmiter, dan penyinalan intraselular, yang terkait pada

berbagai tingkatan. Satu contoh untuk hal ini adalah pengaruhnya terhadap

penghambatan/ penyekatan Glikogen Sintase Kinase (GSK) 3β, dengan fosforilasi

GSKβ melalui lintasan yang dimediasi oleh saluran Ca2+, dengan penyekatan

fosforilasi AKT dan berbagai efek penyinalan menghilir (Alda, 2015). Hal serupa,

pengaruh terhadap sistem dopamin adalah terjadi secara menghilir pada reseptor-

reseptor dopamin D2 (Ashok dkk, 2017).

Beberapa antipsikotik generasi kedua (antipsikotik “atipikal”) adalah bersifat

heterogen, dan pengklasifikasian ini didasarkan pada farmakologi clozapine, yaitu

antipsikotik yang diketahui tidak menyebabkan katalepsi pada tikus, dan juga

terhadap gangguan gerakan yang secara klinis signifikan (Grunder dkk, 2009).

Antipsikotik ini secara umum memiliki tingkat afinitas yang lebih rendah untuk

reseptor D2 dibandingkan dengan antipsikotik generasi pertama (seperti contohnya

haloperidol), namun demikian, antipsikotik ini diketahui memiliki afinitas yang lebih

tinggi untuk lokasi-lokasi reseptor seperti contohnya reseptor 5HT2A (kecuali

amisulprida), dan kita belumlah memahami tentang hubungan antara hal ini dengan

tingkat efektifitasnya. Ketika mengkaji tentang antipsikotik, adalah perlu untuk

mempertimbangkan nomenklatur yang berdasarkan pada neurosains (NbN/

neuroscience-base nomenclature) yang mengklasifikasikan medikasi psikotropik


dengan berdasarkan pada profil-profil farmakologisnya (Zohar dkk, 2014).

Antipsikotik-antipsikotik yang sudah diizinkan untuk digunakan di dalam

penanganan pemeliharaan BD adalah: aripiprazole (agonis parsial reseptor (D2,

5HT1A), antagonis reseptor (5HT2A)), olanzapine (antagonis reseptor D2, 5HT2),

quetiapine (pelepasan cepat) (antagonis reseptor D2, 5HT2), penghambatan

penyerapan kembali (transporter norepinefrin), ziprasidone (antagonis reseptor D2,

5HT2). Mengingat terdapat pengaruh di dalam depresi bipolar akut, maka perlu juga

mempertimbangkan sifat asenapine (antagonis reseptor 5HT2, D2, norepinefrin, alfat

2) dan lurasidone (antagonis reseptor D2, 5HT2).

Nomenklatur ini, dengan fokus pada afinitas reseptor dan selektivitas, diketahui telah

memberikan tanda untuk moda aksi farmakologi yang dibutuhkan untuk mencegah

mania dan juga depresi. Pada penelitian neurobiologis, untuk mania, jumlah

penelitian in vivo nya tidaklah banyak, dan terdapat satu penelitian yang

menggunakan modalitas PET yang menunjukkan bahwa tidaklah terdapat

peningkatan kapasitas sintesis dopamin ketika mania muncul, dibandingkan dengan

kendali (Yatham dkk, 2002), walaupun untuk kasus mania dengan gejala-gejala

psikotik, peningkatan kapasitas sintesis dopamin dapatlah terjadi (Jauhar dkk, 2017).

Namun demikian, dengan mempertimbangkan data klinis, penelitian-penelitian

farmakologis pada para subjek yang sehat dan penelitian-penelitian paca-mortem,

diketahui bahwa antagonisme dopamin memiliki peranan di dalam profilaksis mania,

walaupun efek menghilir lithium terhadap penyinalan dopamin sulitlah untuk

dipahami. Kurangnya efek antagonis dopamin pada depresi menunjukkan satu

mekanisme non-hiper-dopaminergik, dengan tidak adanya dasar dopaminergik yang

jelas bagi quetiapine dan pengaruh-pengaruh asenapine terhadap pencegahan depresi.


Beberapa potensi mekanisme lain diantaranya adalah pengaruh terhadap sistem

NMDA yang menjelaskan manfaat ketamine pada depresi bipolar [Bauer dkk, 2018],

dan mekanisme hipo-dopaminergia yang menjelaskan hasil positif dari penelitian-

penelitian fase III (pada penggunaan cariprazine) pada depresi bipolar

(https://www.allergan.com/news/news/thomson-reuters/allergan-announces-fda-

acceptance-of-supplemental).

Apa yang dianjurkan oleh pedoman/ panduan?

Hampir dari seluruh pedoman nasional terus mendukung penggunaan lithium sebagai

terapi lini pertama pada penanganan pemeliharaan gangguan bipolar [e.g., NICE

(https://www.nice-org.uk/guidance/cg185/chapter/key-priorities-for-

implementation); Asosiasi Psikofarmakologi Inggris (Goodwin dkk, 2016)], dengan

beberapa antipsikotik khusus yang direkomendasikan untuk penanganan akut.

Penggunaan senyawa profilaktik (yang dikelompokkan bersamaan dengan pensatbil

mood konvensional dan antipsikotik) pun dipertimbangkan pada basis individual,

dengan berdasarkan pada tingkat efikasi dan tolerabilitasnya; dan hal ini tidaklah

memiliki panduan eksplisit yang diberikan oleh Federasi Masyarakat Psikaitri

Biologis Dunia (WFSBP) (Grunze dkk, 2013) atau pedoman dari Royal Australian

and New Zealand College of Pshyciatrists (Malhi dkk, 2015). Pedoman dari

International College of Neuropsychopharmacology (CINP) (Foutoulakis dkk, 2017)

diketahui memiliki perekomendasian khusus untuk gambaran klinis, dimana

quetiapine atau olanzapine terapi tunggal akanlah direkomendasikan jika polaritas

depresi yang pradominan terjadi atau jika tidak ada polaritas yang bersifat

pradominan, dan lithium, aripiprazole, olanzapine, paliperidone, quetiapine,


risperidone (yang mencakup RLAI) direkomendasikan untuk polaritas manik, dan

olanzapine atau aripiprazole plus penstabil mood akan direkomendasikan untuk

episode gejala campuran yang sering terjadi, sedangkan lithium akan

direkomendasikan untuk BD dengan siklus penyakit yang cepat. Jaringan Kanada

untuk Penanganan Mood dan Anksietas (CANMAT) dan pedoman dari Himpunan

Gangguan Bipolar Internasional (ISBD) 2018 untuk penanganan para pasien

penderita gangguan bipolar juga lebih inklusif jika dibandingkan dengan obat-obatan

lain, yang dimana hal ini menganjurkan untuk terus melakukan penanganan pada

episode akut. Obat yang direkomendasikan untuk digunakan sebagai lini pertama

diantaranya mencakup lithium, quetiapine, divalproex, dan lamotrigine terapi

tunggal. Pedoman-pedoman tersebut juga menunjukkan bahwa kombinasi dari

quetiapine dengan lithium/ divalproex dapat digunakan sebagai lini pertama.

Pembeda yang penting untuk pedoman-pedoman ini adalah bahwa: pedoman-

pedoman menganjurkan penggunaan olanzapine sebagai terapi lini kedua, hal ini

dikarenakan karena efek metaboliknya, dan merekomendasikan beberapa SGAs

untuk digunakan sebagai terapi penyerta selama periode waktu yang singkat (Yatham

dkk, 2018).

Kasus kontroversial dalam penanganan mania episode pertama

Satu contoh masalah tentang penggunaan antipsikotik di dalam penanganan

pemeliharaan BD datang dari penanganan klinis individu yang mempresentasikan

mania episode pertama, di pusat-pusat penanganan psikosis episode pertama (FEP/

first episode psychosis) (Jauhar dkk, 2019). Famakoterapi lini pertama akanlah selalu

berupa SGA, yang akan diteruskan selama minimal satu tahun sampai 18 bulan, dan
kemudian diteruskan atau dihentikan. Penanganan dengan SGA pada kohort ini

diketahui memiliki hubungan dengan beberapa efek metabolik dan peningkatan berat

badan yang lebih jelas atau signifikan, yang dimana hal ini akan memberikan

pengaruh terhadap tingkat kepatuhan penanganan (yang umumnya bersifat

menurunkan tingkat kepatuhan terhadap penanganan) (Whale dkk, 2016). Hal ini

merupakan faktor terbesar dapat dijadikan dasar untuk memprediksi kekambuhan

(Ziprusky dkk, 2014), dengan kekambuhan mania pada FEP yang memiliki

konsekuensi yang lebih signifikan dalam hal perawatan di rumah sakit jika

dibandingkan dengan penyakit-penyakit psikotik (seperti contohnya skizofrenia)

(Chang dkk, 2016). Sampai saat ini, jumlah data tentang penggunaan lithium atau

penstabil mood lainnya dalam jangka panjang tidaklah banyak, dan perihal tentang

apakah hal ini memiliki pengaruh atau tidak terhadap tingkat kepatuhan pasien di

dalam penanganan atau arah/ laju penyakit tidaklah diketahui.

Beberapa pertanyaan klinis pragmatis

Pasien-pasien yang mana saja yang akan mendapatkan manfaat dari

penggunaan terapi-tunggal antipsikotik?

Mengingat bahwa lithium adalah obat yang digunakan sebagai standar emas, dan

juga mengingat bahwa antipsikotik memiliki efek yang berbeda pada berbagai kutub

penyakit, maka pertanyaan pun muncul: kapankah terapi tunggal antipsikotik harus

dipertimbangkan untuk digunakan? Antipsikotik sebagai terapi tunggal haruslah

diperuntukkan bagi mereka yang tidak dapat mentoleransi lithium, atau tidak

memiliki respon yang baik terhadap lithium (atau tidak menginginkan untuk
menggunakannya). Terapi tunggal dengan LAI dapatlah dipertimbangkan untuk

diberikan bagi mereka yang memiliki masalah dengan kepatuhan terhadap

penanganan.

Penggunaan antipsikotik kombinasi

Penggunaan antipsikotik kombinasi umumnya tidaklah dianjurkan, hal ini karena

dapat meningkatkan beban efek samping, selain itu, hal ini akan memberikan tingkat

efikasi yang rendah pada mereka yang mengalami psikosis (yang resisten terhadap

penanganan). Kombinasi antipsikotik dapatlah dipertimbangkan untuk digunakan

ketika hiperprolaktinemia terjadi karena penggunaan antipsikotik dan juga karena

alasan-alasan akan tingkat efikasi atau pertimbangan efek-efek samping lainnya.

Pada kasus ini, penggunaan aripiprazole ajunktif (sebagai penyerta) adalah hal yang

dibenarkan, yang dimana hal ini didasari oleh bukti dari hasil penelitian

(Raghuthaman dkk, 2015) dan pedoman-pedoman yang ada untuk pemberian obat

(Taylor dkk, 2018).

Durasi optimal penggunaan antipsikotik untuk penanganan pemeliharaan

Terdapat sedikit bukti untuk memandu pengambilan keputusan dalam hal durasi

penanganan pemeliharaan dengan menggunakan antipsikotik. Pada kasus-kasus

terapi kombinasi (contohnya lithium), hal ini pun tergantung pada penggunaan awal

antipsikotik, walaupun demikian, penggunaan sebagai terapi tunggal dapatlah sama

penggunaan lithium (dalam hal lamanya penanganan dengan pemonitoran yang tepat

untuk kemunculan efek samping.


Kesimpulan dan arah di masa mendatang

Antipsikotik-antipsikotik generasi kedua diketahui sudah semakin sering digunakan

untuk penanganan pemeliharaan pada kasus gangguan bipolar, baik sebagai terapi

tunggal atau terapi penyerta. Walaupun dapat dikatakan sebagai anggota dalam satu

kelas obat, namun sifat farmakologisnya, tingkat efikasi dan tolerabilitasnya pada

gangguan bipolar dapatlah beragam. Dengan demikian, akanlah penting untuk

melakukan pencegahan kemunculan episode-episode depresi, dimana efek klinisnya

akan tidak terlalu tinggi (kecuali untuk penggunaan quetiapine, dan mungkin

asenapine serta lurasidone). Bagi mereka yang tidak dapat mentoleransi lithium (atau

tidak dapat patuh terhadap penanganan yang menggunakan lithium), maka

penggunaan antipsikotik di dalam penanganan pemeliharaan dapatlah masuk akal

untuk dilakukan, yang tentunya dilakukan secara terindividualisasi untuk

mempertimbangkan efek samping dan penggunaan obat-obatan lain di dalam

pencegahan depresi (contohnya ketamine), yang dibarengi dengan penggunaan

teknologi-teknologi digital yang lebih baru untuk tujuan pemonitoran dan untuk

mengetahui kemunculan tanda-tanda kekambuhan secara dini (Bauer dkk, 2018).

Kita masihlah memerlukan penelitian-penelitian di masa mendatang yang mengkaji

tentang neurobiologi respon penanganan pada depresi bipolar, dan kita juga

membutuhkan penelitian-penelitian jangka panjang yang mengkaji tentang berbagai

obat-obatan yang beragam, yang berfokus pada penanganan yang beraksi pada

kutub-kutub penyaikt bipolar yang berbeda-beda).

Anda mungkin juga menyukai