Anda di halaman 1dari 30

Presentasi Kasus Bedah Anak

SEORANG ANAK LAKI-LAKI 9 TAHUN DENGAN TRAUMA TUMPUL


ABDOMEN DAN HEMODINAMIK STABIL

Disusun Oleh:
Jati Febriyanto ALP G99142025

Pembimbing

dr. Suwardi, SpB. SpBA

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2016

0
BAB I
STATUS PASIEN

A. ANAMNESIS
I. Identitas Pasien
Nama : An G
Umur : 9 tahun
Jenis kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Alamat : Brenggolo Jatiroto, Wonogiri
Tanggal Masuk : 28 Juli 2016
No. RM : 01347540

II. Keluhan Utama


Nyeri pada perut

III. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSDM dengan keluhan nyeri pada seluruh
lapang perut. Keluhan sudah di rasakan sejak tujuh jam sebelum masuk
rumah sakit. Pasien mengeluhkan sensasi nyeri perut tumpul dan di
rasakan terus menerus.
Tujuh jam sebelum masuk rumah sakit, pasien mengalami
kecelakaan lalu lintas. Truk yang dia tumpangi mengalami kecelakaan
dimana kendaraan tersebut terbalik sebanyak 4 kali setelah mencoba
menghindari lubang di jalan. Posisi pasien pada saat jatuh tidak diketahui.
pasien tidak mengalami pingsan dan kejang pasca kecelakaan. Pasien juga
tidak mual dan muntah. Oleh penolong pasien dibawa ke Rumah Sakit
Amal Sehat, namun karena keterbatasan sarana, pasien dirujuk ke RSDM.

IV. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat Operasi : disangkal
Riwayat Trauma : disangkal

1
Riwayat Mondok : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat darah sukar membeku: disangkal

V. Riwayat Keluarga
Riwayat keluhan yang sama : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes melitus : disangkal
Riwayat alergi : disangkal

VI. Riwayat Kelahiran


Pasien lahir dari ibu berusia 27 tahun, G 2P1A0, lahir dengan per vaginam
dengan usia kehamilan 39 minggu. Bayi menangis kuat (+), nafas spontan
(+), ketuban jernih, tidak berbau, berat badan lahir 3200 gram

VII. Riwayat Kehamilan


Riwayat Ibu ANC : rutin di bidan setempat
Riwayat Ibu sakit saat hamil : disangkal
Riwayat konsumsi jamu saat hamil : disangkal

VIII. Riwayat Imunisasi


Pasien mendapatkan imunisasi lengkap

B. PEMERIKSAAN FISIK
I. Primary Survey
a. Airway : Bebas
b. Breathing :
Inspeksi : pengembangan dada kanan = kiri, retraksi (-), jejas (-) , RR
: 20x/menit
Palpasi : krepitasi (-/-), nyeri tekan (-)
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : SDV/SDV
c. Circulation : Tekanan darah: 114/68, Nadi 92 x/menit
d. Disability : GCS E4V5M6, reflek cahaya (+/+), pupil isokor (3 mm/3
mm)
e. Exposure : suhu 37,6 oC, jejas (+) lihat status lokalis

II. General Survey


a. Keadaan Umum : Kesan sakit sedang, compos mentis.

2
b. Kulit : Kulit sawo matang, kering (-), ujud kelainan kulit (-),
hiperpigmentasi (-)
c. Kepala : mesocephal
d. Mata : konjungtiva pucat (+/+), sclera ikterik (-/-), cekung(-/-)
e. Telinga : sekret (-/-), darah (-/-).
f. Hidung : bentuk simetris, napas cuping hidung (-), sekret (-), keluar
darah (-).
g. Mulut : mukosa basah (-), sianosis (-), lidah kotor (-), jejas (-).
h. Leher : pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi (-).
i. Thorak : normochest, retraksi (-), gerakan dinding dada simetris
j. Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat, teraba di SIC 4 anterior
dextra
Auskultasi : bunyi jantung I-II di SIC 4 anterior dextra, intensitas
normal, regular, bising (-).
k. Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan kiri.
Palpasi : fremitus raba kanan sama dengan kiri
Perkusi : sonor/sonor.
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+) normal, suara tambahan (-/-).
l. Abdomen
Inspeksi : perut distended (+), Jejas (+), vulnus (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal, metalic sound (-)
Perkusi : timpani
Palpasi : ballotement(-) massa (-), nyeri tekan (+), defance
muscular (+)
m. Urinaria : BAK darah (-), BAK nanah (-)
n. Ekstremitas : CRT < 2 detik
Akral dingin Oedema
- - - -
- - - -

3
n. Rectal Toucher : Tonus Musculus Sfingter Ani dalam batas normal,
Ampula longgar, mukosa licin, STL (-), feses (+). Nyeri tekan seluruh
toucher

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium Darah (28 Juli 2016)
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hematologi Rutin
Hemoglobin 8.2 g/dL 11,5 – 15.5
Hematokrit 24 % 35 – 45
Leukosit 31.4 ribu/µl 4,5 – 14,5
Trombosit 412 ribu/µl 150 – 450
Eritrosit 3.13 juta/µl 4.00 – 5.20
Golongan Darah A
Index Eritrosit
PT 16.7 detik 10.0 – 15.0
APTT 26.1 detik 20.0 - 40.0
INR 1.440 -
Kimia Klinik
Glukosa Darah Sewaktu 199 Mg/dl 60-100
Kreatinin 1.9 Mg/dl 0.3-0.7
Ureum 44 Mg/dl <48
Elektrolit
Natrium darah 137 mmol/L 132 – 145
Kalium darah 4 mmol/L 3.1 – 5.1
Chlorida darah 106 mmol/L 98 – 106
HEPATITIS
HbsAg Nonreactive Nonreactive

2. USG Abdomen

4
USG FAST dilakukan 28 Juli 2016 pukul 22.15 WIB
Tak tampak lesi anechoic cairan bebas pada morrison pouch maupun
splenorenal pouch
Tampak lesi anechoic cairan bebas di perivesika pouch

Kesimpulan:
USG FAST (+) positif

3. Thorax PA (28 Juli 2016)

 Cor : Besar dan bentuk normal

5
 Paru : Tak tampak infiltrat di kedua lapang paru, corakan
bronkovaskular normal
 Sinus costophrenicus kanan kiri normal
 Hemidiaphragma kanan kiri normal
 Trakhea di tengah
 Sistema tulang baik
Kesimpulan:
Cor dan paru tak tampak kelainan
Tak tampak fraktur

4. MSCT Abdomen (28 Juli 2016)

6
7
Kesimpulan:
Liver injury grade IV (menurut Liver Injury Grading System AAST)
Hematoperitonium
Efusi Pleura Bilateral

D. ASSESMENT
Trauma Tumpul Abdomen dengan hemodinamik stabil
Ruptur Hepar grade IV
E. PLANNING

Infus RL 20 tpm

Head up 300

Injeksi metamizole 1g/12 jam

Injeksi ranitidin 50mg/12 jam

O2 NRM 6-8 lpm

Pasang DC

Awasi tanda-tanda akut abdomen

Bed rest total

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Hampir 90% trauma abdomen pada anak kurang dari 14 tahun disebabkan
oleh trauma tumpul. Trauma abdomen dibagi menjadi trauma tumpul abdomen
dan trauma penetrans. Pada usia balita penyebabnya terutama adalah jatuh dari
ketinggian, sedangkan pada usia sekolah, kecelakaan sepeda dan pejalan kaki
lebih sering menjadi penyebabnya. Pada usia prepubertas kecelakaan sepeda
motor dan trauma tajam yang menjadi penyebab tersering trauma abdomen. Oleh
karena ukuran tubuh yang relatif kecil, trauma abdomen sering disertai oleh
trauma pada organ lainnya seperti trauma kapitis, thoraks, dan ekstremitias.
Pengelolaan trauma abdomen pada anak mengalami perubahan yang signifikan
selama dua dekade terakhir. Penatalaksanaan non operatif pada trauma abdomen
pada anak angka keberhasilannya lebih dari 95%, hal ini disebabkan oleh
semakin meningkatnya pengetahuan dibidang anatomi dan fisiologi pada anak.
Meskipun trauma abdomen sekitar 30% lebih sering daripada cedera thorak, tetapi
kurang 40% bersifat fatal. Trauma abdominal menyebabkan morbiditas, dan
menyebabkan mortalitas sebesar 8.5 %.

9
INSIDENSI
Cedera karena trauma pada anak merupakan penyebab lebih dari setengah
kematian pada anak usia 1-14 tahun dan merupakan kasus kedua terbanyak setelah
infeksi. Kurang lebih 51,3 tiap 10.000 anak (umur 0-14 tahun) dirawat di rumah
sakit oleh karena cedera karena trauma setiap tahunnya.

Trauma abdomen merupakan kasus terbanyak setelah trauma kepala dan


ekstremitas. Trauma abdominal kurang lebih 8-10% pada seluruh kasus trauma di
rumah sakit anak.

A. Trauma Tumpul

Trauma tumpul abdomen lebih dominan pada populasi anak. Lebih dari
80% trauma pada anak adalah berupa trauma tumpul dan kebanyakan
berhubungan dengan kecelakan kendaraan bermotor. Cedera abdominal dapat
disebabkan juga oleh karena terjatuh dan langsung mengenai dinding abdomen
misalnya pada handlebar injuri.

Dengan fasilitas dan management saat ini cedera organ solid dapat
berhasil diatasi dengan baik pada lebih dari 90% kasus. Keputusan operasi pada
cedera organ solid berdasarkan pada respon fisiologis dibandingkan dengan
tingkat berat ringannya cedera secara anatomi. Tetapi guidline penatalaksanaan
terhadap pembatasan aktivitas berdasarkan pada gradasi cedera secara anatomi. Di
Children’s Hospital of Philadelphia (CHOP) penanganan berdasarkan grade dari
cedera. Alternatif alur perawatan sesuai Trauma Committee of American Pediatric
Surgical Association untuk cedera hepar dan lien dapat dilihat table 1.
Setelah perawatan dari rumah sakit, untuk menghindari cedera ulangan,
aktivitas harus dibatasi dengan istirahat di rumah. Lamanya waktu istirahat
berdasarkan derajat cedera organ. Salah satu alasan penatalaksanaan non operatif
dan menghindari splenektomi pada anak dengan cedera lien adalah untuk
menghindari terjadinya kemungkinan overwhelming postsplenectomy infection
(OPSI). Angka pasti terjadinya OPSI belum diketahui, tetapi diperkirakan
sebanyak 5%. Pasien yang displenektomi harus diberikan vaksinasi rutin untuk

10
mencegah organisme penyebab OPSI (encapsulate bacteria), termasuk
Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae type B, and Neisseria
meningitides.

Table 1. APSA Guidelines for Management of Isolated Liver or Spleen Injuries in


Children

CT Grade
Treatment I II III IV

ICU stay (d) None None None 1

Hospital stay (d) 2 3 4 5

Predischarge imaging None None None None

Postdischarge imaging None None None None

Activity restriction (wk)* 3 4 5 6

*Return to full-contact competitive sports (eg, football, wrestling, hockey,


lacrosse, mountain climbing) should be at the discretion of the individual pediatric
trauma surgeon. The proposed guidelines for return to unrestricted activity include
typical age-appropriate activities.

B. Trauma Penetrans
Trauma penetrans merupakan 8-12% dari abdominal trauma yang datang
ke trauma center.Luka tembak merupakan penyebab yang sering pada trauma
penetrasi pada populasi anak dan menyebabkan kematian pada laki-laki kulit
hitam pada umur 15-24 tahun. Penyebab lain trauma penetrans adalah stab wound,
impalements, gigitan anjing, dan kecelakaan mesin. Oleh karena kebanyakan
trauma penetrans pada abdomen biasanya memerlukan tindakan pembedahan
maka persiapan di ruang operasi harus simultan dengan assessment pasien. Dua
puluh lima persen dari cedera abdomen merupakan gunshot wounds (GSWs);
14% dari luka tersebut bersifat fatal.

11
Tabel 2 : Frekuensi cedera organ pada trauma tumpul dan trauma penetrans

Frekuensi Cedera Organ Trauma Tumpul


Trauma Penetrans

Liver 15% 22%

Spleen 27% 9%

Pancreas 2% 6%

Kidney 27% 9%

Stomach 1% 10%

Duodenum 3% 4%

Small bowel 6% 18%

Colon 2% 16%
6%
Other 17%
KARAKTERISTIK ANATOMI DAN FISIOLOGI PADA ANAK
Secara garis besar penilaian dan pengelolaan trauma pada anak tidak
berbeda dengan dewasa, namun karakteristik anatomi pada anak memerlukan
perhatian khusus.. Anatomi abdomen yang unik pada anak berpengaruh terhadap
respon biomekanik terhadap trauma, adapun kharakterisitik khusus anatomi pada
anak adalah sebagai berikut:

a. Ukuran dan bentuk

Oleh karena ukuran tubuh anak yang kecil, energi yang ditimbulkan oleh
gaya linier dari sumber trauma akan mengakibatkan gaya yang lebih besar pada
suatu unit area tubuh. Energi yang besar tersebut diterima oleh tubuh yang
mengandung sedikit jaringan lemak, jaringan ikat yang kurang elastis dan organ-
organ abdomen yang saling berdekatan. Akibat keadaan ini trauma majemuk

12
sering ditemukan pada anak. Lima belas persen anak-anak dengan cedera intra
abdomen juga terdapat di bagian tubuh yang lain, sehingga diperlukan
pemeriksaan yang seksama.
Ukuran kepala relatif lebih besar dibandingkan tubuh sehingga pada anak
cenderung kepala mengenai tanah ketika jatuh. Immobilisasi spinal harus
dipikirkan untuk mempertahankan alignment.
Dinding otot abdomen pada anak-anak lebih tipis daripada dewasa
terutama pada usia 2 tahun pertama kehidupan oleh karenanya kurang dapat
memberikan perlindungan terhadap struktur didalamnya. Tulang rusuk anak-anak
lebih fleksibel daripada dewasa sehingga dapat mengurangi resiko patah tulang.

Perbandingan solid organ anak lebih besar dibandingkan dengan dewasa


sehingga banyak surface area yang terekspose sehingga organ tersebut beresiko
untuk mengalami cedera. Lien pada anak mempunyai kapsul yang lebih tebal
dibandingkan dewasa. Pada anak yang masih muda intestine tidak sepenuhnya
terfiksasi pada rongga intraperitoneal seperti sigmoid dan kolon kanan potensial
mengalami deselerasi serta kompresi.

Kandung kencing meluas sampai level umbilikus setelah lahir dan lebih
ekspose terhadap direct impact pada bagian bawah abdomen.

b. Struktur tulang

Struktur tulang pada anak belum sepenuhnya mengalamai kalsifikasi dan


terdiri dari pusat pertumbuhan sehingga akan lebih lunak. Oleh karena itu organ
dalam seringkali mengalami trauma tanpa disertai oleh fraktur tulang sekitarnya.
Disamping itu arcus costarum bersudut lebih tumpul dibandingkan dengan dewasa
sehingga organ visera pada abdomen atas kurang terlindungi. Dengan demikian
lien dan hepar merupakan dua organ visera yang paling sering mengalami trauma.

Jaringan lebih elastik berhubungan dengan regangan dan robekan cedera


spinal cord yang serius dapat terjadi tanpa tanda-tanda adanya trauma..

c. Luas permukaan tubuh

13
Anak-anak mempunyai lemak tubuh yang kurang dan memiliki luas permukaan
tubuh yang luas sehingga dapat menyebabkan kehilangan panas secara cepat. Oleh
karena itu hipotermi lebih mudah terjadi karena energi panas akan cepat hilang
melalui permukaan tubuh yang relatif lebih luas sehingga harus ditutupi dan
mempertahankan temperatur serta observasi tanda adanya hipotermia. Oleh karena
anak-anak mempunyai disproporsional luas permukaan tubuh dan kurangnya
termoregulasi, mempertahankan suhu pada injuri pada anak menjadi sangat
penting.

d. Tekanan darah

Tekanan darah tidak dapat dipakai sebagai patokan adanya syok pada anak
yang mengalami trauma. Anak-anak dapat memiliki tekanan darah normal sampai
fase terakhir syok Observasi secara hati-hati dan mencari tanda-tanda di kulit,
capillary refill, takikardia, dan takipneu.

Oleh karena kompensasi yang unik pada anak maka hipotensi sekunder
dari hipovolemik syok akan terlambat. Resusitasi awal yang agresif pada anak
merupakan indikasi pada kasus injuri pada anak.

e. Status psikologis

Keadaan emosional yang tidak stabil sifat regresi dan non koperatif pada
anak sering menyulitkan proses anamnesa dan penilaian pemeriksaan fisik. Oleh
karena itu dokter yang memeriksa seorang anak dengan trauma harus mampu
membujuk dan menenangkannya sehingga data-data yang akurat dapat diperoleh.

f. Efek jangka panjang


Oleh karena seorang anak masih akan mengalamai pertumbuhan dan
perkembangan maka trauma majemuk yang berat dan menyebabkan kecacatan
akan menimbulkan masalah psikologis di kemudian hari. Enam puluh persen anak

14
yang mengalami trauma majemuk akan mengalamai gangguan kepribadian setelah
satu tahun meninggalkan trumah sakit. Oleh karena itu pengelolaan awal yang
tepat sangat penting untuk mengurangi kecacatan pada anak yang mengalami
trauma sehingga kualitas hidup selanjutnya akan mencapai keadaan yang optimal.

Penilaian dan Resusitasi

Oleh karena trauma abdomen pada anak seringkali disertai dengan trauma
yang majemuk maka penilaian awal pada setiap trauma abdomen dilakukan
sebagaimana penolong menghadapi pasien degan trauma majemuk. Penilaian,
triase dan pengelolaan awal tersebut sebagai tindakan resusitasi mengikuti prinsif
yang sama dengan trauma pada dewasa yaitu sesuai prosedur yang telah
ditetapkan pada “Advanced Trauma Life Support” (ATLS). Tujuan utama
resusitase dan triase adalah untuk memulihkan atau mempertahankan oksigenasi
yang adekuat pada jaringan.
Pengelolaan trauma pada anak terdiri dari persiapan, triase, “primary
survey” (penilaian awal), resusitasi, “secondary survey” (penilaian ulang),
reevaluasi dan terapi definitive. Persiapan dan triase dilakukan sejak tahap pre
rumah sakit maupun setelah pasien tiba di rumah sakit. Proses penilaian awal
(primary survey) terdiri dari kontrol jalan nafas dengan memperhatikan stabilisasi
vertebra servikal (A=airway with cervical spine control), proses ventilasi
pernafasan (B=breathing), penilaian sirkulasi (C=circulation with hemorrhage
control), keadaan stauts neurologis dan kesaran (D=disability), serta perlindungan
terhadap hipotermi(E=Exposure/environment)

Gangguan sirkulasi sangat berkaitan dengan adanya suatu trauma abdomen


yaitu bila terjadi perdarahan intraabdomen. Adanya syok dan perdarahan
eksternal memerlukan tindakan resusitasi berupa penghentian perdarahan dan
pemberian cairan. Tindakan opratif pada berupa laparotomi dapat merupakan
bagian tindakan resusitasi penghentian sumber perdarahan apabila terdapat
sumber perdarahan yang jelas ditemukan berasal dari rongga abdomen sebagai
akibat adanya luka tusuk pada abdomen. Adanya kehilangan darah yang cukup

15
banyak pada anak sering didahului dengan fase kompensasi yang tidak
menampakan gejala dan tanda adanya gangguan hemodinamik. Oleh karena itu
adanya takikardi dan perfusi kulit yang buruk adalah tanda-tanda yang penting
dan merupakan petunjuk diperlukannya terapi cairan dengan segera., namun
demikian penyebab takikardi lainnya yaitu rasa nyeri, takut, dan stress psikologis
harus dipertimbangkan. Diuresis adalah petunjuk yang adekuat untuk menilai baik
buruknya perfusi jaringan perifer. Adanya takikarda, tekanan darah sistolik kurang
dari 70 mmHg adalah tanda yang jelas adanya syok. Sebagai patokan nilai tekanan
darah sistolik pada anak adalah 80 mmHg ditambah dengan duakali umur pasien
dalam tahun dan tekanan darah diastolik harus dua pertiga dari tekanan sistolik.
Respon sistemik kehilangan darah pada anak dapat dilihat pada tabe di
bawah ini

Tabel 3 : Respon sistemik terhadap perdarahan pada anak.

< 25% kehilangan volume 25-45% kehilangan > 45%


darah volume darah kehilangan
volume
darah
Jantung Nadi lemah, kecil, frekuensi Frekuensi nadi Hipotensi,
meningkat meningkat takikardia,
bradikardia
SSP Letargi, iritatif, gelisah Penururan koma
kesadaran,
respon
terhadap nyeri
lemah
Kulit dingin Sianosis, pengisian Pucat, dingin
kapiler
menurun,
dingin
Ginjal Penuruanan diuresis, BJ Diuresis minimal anuri
urin naik

16
Sebagai pedoman tanda-tanda vital pada anak dapat dilihat pada table di bawah ini
:

Tabel 4 : Tanda-tanda vital pada anak

Nadi Tekanan darah Frekuensi napas


sistolik

Bayi 160/menit 80 mmHg 40/menit

Anak pra sekolah 120/menit 90 mmHg 30/menti

Adolesen 100/menit 100 mmHg 20/menit

Resusitasi cairan adalah langkah berikutnya setelah menilai gangguan


sirkulasi dan derajat syok yang terjadi. Apabila syok ditemukan pada penilaian
awal, maka pemberian cairan kristaloid (Ringer Lactat) yang dihangatkan
dilakukan secara bolus dengan dosis 20 ml/kgBB. Jumlah ini adalah 25% dari
jumlah volume darah pada anak normal, sedangkan jumlah volume darah anak
adalah 80 ml/kgBB. Setelah pemberian cairan dengan jumlah tersebut harus
dilakukan observasi secara ketat, dengan melakukan penilaian terhadap stabilitas
hemodinamik dan keadaan yang stabil dicerminkan oleh :
1. Denyut nadi melambat (<130/menit)
2. Tekanan nadi meningkat (>20mmHg)
3. Ekstremitas menjadi hangat
4. Kulit tidak pucat
5. Kesadaran membaik
6. Diuresis 1 ml/kg/jam
7. Tekanan darah sistolik meningkat (>80mmHg)
Apabila tanda-tanda tersebut di atas tidak dicapai dengan pemberian bolus
tersebut maka harus dipikirkan adanya proses perdarahan berlanjut dan oleh
karena satu dosis cairan kristaloid yang sama dapat diulang. Bila keadaan
hemodinamik tetap tidak stabil maka harus diberikan transfusi darah dengan
“Packed Red Cells” yang sesuai dengan “cross match” atau golongan darah 0

17
dengan rhesus negatif dan dosis yang diberikan adalah 10 ml/kgBB. Setelah
tindakan tersebut harus dihitung jumlah darah yang diperlukan untuk
mempertahankan tanda-tanda vital tersebut dan dinilai kembali apakah tindakan
operatif diperlukan. Tindakan selanjutnya juga bergantung kepada jenis trauma
abdomen dan organ visera yang dicurigai mengalami trauma. Setelah tindakan
resusitasi dilakukan pada kelainan-kelainan yang ditemukan pada keadaan jalan
nafas, ventilasi, dan sirkulasi, maka tindakan berikutnya adalah penilaian
kesadaran dan status neurologis serta perlindungan terhadap hipotermi.

Penilaian dan diagnosis adanya trauma abdomen dilakukan lebih lanjut pada
tahap penilaian ulang (secondary survey). Pada tahap ini dilakukan anamnesa
yang meliputi mekanisme trauma dan pemeriksaan fisik secara sistemik
berdasarkan sistem organ dan dilakukan pemeriksaan alat bantu untuk menunjang
diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Evaluasi trauma tumpul abdomen pada anak banyak mengalami
perubahan. Pemeriksaan CT merupakan modalitas terpilih dalam menegakkan
adanya trauma tumpul abdomen. Pemeriksaan ultrasound dapat digunakan untuk
initial assessment yang cukup akurat pada kasus tersebut. Diagnostik Peritoneal
Lavage (DPL) dapat membantu secara cepat pada diagnosis abdominal trauma
pada dewasa namun pada anak jarang dilakukan dan dilakukan secara selektif.
Ultrasound (US) merupakan pemeriksaan yang sederhana, non invasive dan
mudah penggunaannya sehingga dapat digunakan sebagai alternatif diagnosis
selain CT dan DPL. CT mempunyai sensitifitas dan spesifisitas dalam
mendiagnosis kelainan abdominal trauma, tetapi baru dapat dilakukan bila pasien
stabil, tenang, transfortable, dan harus dilakukan setelah resusitasi selesai.
Ultrasound digunakan secara simultan saat di emergensi, dan dapat mengetahui
adanya patologi intraabdomen dalam beberapa menit. Gruessner mengatakan US
cukup sensitive dan akurat dalam mendiagnosis adanya cedera pada abdominal
trauma. Kimura dan Otsuka mengatakan US sangat reliable dalam mendeteksi
adanya hemoperitoneum dibandingkan dengan CT. Sensitifitas, spesifisitas, dan

18
akurasinya : 86.7%, 100%, dan 97.2%. Peneliti lain mengatakan sensitifitasnya
adalah 89-100%. Akurasi pemeriksaan ultrasonografi dibandingkan dengan CT
adalah 76%. Computed tomography (CT) scaning dengan double kontras
(intravena atau oral) merupakan kriteria standar untuk assessment rongga
abdomen pada anak dengan hemodinamik stabil. Intravenous kontras sangat
penting untuk evaluasi dan akurasi grading cedera organ solid.

Adanya gambaran ekstravasasi akut dari kontras (blush) merupakan tanda


adanya perdarahan. Meskipun tanda tersebut berhubungan dengan perlunya
tindakan pembedahan pada dewasa tetapi evaluasi keadaan klinis masih tetap
harus dilakukan pada anak. Kontras oral harus diberikan untuk meningkatkan
sensitifitas gambaran CT-scan pada diagnosis cedera pankreas, duodenum, dan
usus bagian proksimal. Tetapi penggunaan kontras oral pada pemeriksaan
immediate radiology pada kasus trauma abdomen masih diperdebatkan.
Pemberian kontras oral dapat memperlambat skedul pemeriksaan CT-scan dan
dapat menyebabkan muntah, resiko aspirasi. Sehingga penggunaan kontras oral
pada kasus emergensi harus dilakukan secara selektif.

Penggunanaan USG FAST pada dewasa merupakan standar dari evaluasi


adanya trauma tumpul abdomen. Pemeriksaan ini menolong untuk menentukan
adanya kelainan organ intra abdomen dan adanya koleksi cairan. Pada populasi
anak, pengguanan FAST masih belum jelas. FAST sangat sensitive untuk
mendeteksi adanya koleksi cairan intraperitoneal, tetapi bersifat operator
dependent dan kurang sensitif.

Pemeriksaan FAST memberikan hasil false negatif (contoh pada cedera


pada organ solid tanpa disertai koleksi cairan intraperitoneal) sehingga
menyebabkan kesalahan management.

Sebelum adanya pemeriksaan CT dan FAST, diagnostic peritoneal lavage


(DPL) merupakan modalitas untuk assessment cedera abdomen. DPL masih
diindikasikan jika pemeriksaan CT tidak dapat dikerjakan atau hemodinamik tidak
stabil. Meskipun sangat sensitif untuk mendeteksi perdarahan intra abdomen atau

19
cedera hollow viscus, DPL tidak spesifik dan invasif dan meningkatkan
morbiditas.

Berikut merupakan ringkasan dari algoritma tatalaksana pasien trauma


tumpul abdomen yang sudah dijelaskan di atas;

CEDERA ORGAN SOLID


Trauma Lien
Trauma lien merupakan trauma yang paling sering terjadi pada trauma
tumpul abdomen pada anak dan penyebab paling sering dari suatu perdarahan
intraabdomen. Secara klinis trauma ini dapat didiagnosis dengan adanya

20
perubahan hemodinamik akibat perdarahan intraabdomen, adanya keluhan nyeri
perut kiri atas dan nyeri di bahu kiri, serta ditemukannya jejas atau hematoma di
daerah abdomen kiri atas.

Protokol pengobatan non operatif pada kasus cedera lien telah dikenal
sejak tahun 1978. Protokol tersebut diinspirasi dari pengalaman para ahli bedah
anak. Selama 2 tahun berikutnya protokol tersebut digunakan pula pada kasus
injuri liver.

CT scan adalah alat bantu diagnostik yang paling baik dalam


mendiagnosis ruptura lien dengan spesifitas yang tinggi sehingga dapat pula
menilai derajat kerusakan lien. Scanning dengan Tc-99 dan ultrasonografi dapat
digunakan namun masing-masing mempunyai “false positive “dan false negative”
yang cukup tinggi, terutama untuk ultrasonografi.

Setelah diagnosis ditegakkan maka perlu dinilai pengelolaan berikutnya.


Pada sebagian besar kasus (70%) trama lien pada anak dapat dikelola secara non
operatif sehingga dapat menghindari sepsis post splenektomi. Tindakan non
operatif ini dapat dilakukan apabila pada resusitasi cairan dan darah yang
diperlukan untuk mempertahankan keadaan hemodinamik yang stabil tidak
memlebihi 60% dari seluruh volume darah pasien. Oleh karena volume darah
anak adalah 80 ml/kgBB, maka jika dihitung untuk periode 24 jam adalah jumlah
darah yang diperlukan adalah kurang dari 40ml/kgBB. Tindakan non operatif
meliputi sebagai berikut :

1. Nursing Care :
Dilakukan pemeriksaan denyut nadi, frekuensi pernafasan, suhu tubuh,
dan diuresis tiap jam. Memantau EKG dan tekanan darah. Puasa dan
dipasang NGT.
2. Pemeriksaan laboratorium :
a. Hemoglobin dan hematokrit tiap 4 jam
b. BJ urine tiap 4 jam
c. Amilase setiap 3 hari
3. Perawatan medis :

21
a. Pemeriksaan fisik setiap jam sampai pasien stabil, kemudian tiap 4
jam.
b. Pertahankan hematokrit >30-35%
c. Evaluasi keadaan koagulasi apabila terdapat perdarahan yang
berlanjut.
d. Bed rest selama 7 hari.

Indikasi tindakan operatif adalah bila pemberian transfusi darah untuk


mempertahakan hemodinamik yang stabil melebihi 60% dari volume darah anak,
dan diketahui adanya kelainan lien sebelum trauma seperti leukemia, limfoma,
dan hipersplenisme. Pilihan tindakan operatif adalah splenorrhapy, partial
splenectomy, an splenektomi dengan autotransplantation. Jenis tindakan tersebut
tergantung dari klasifikasi rupture liennya yaitu :
Tabel 5 : Spleen injury scale (1994 revsion)
Jenis Trauma Tindakan

Tipe I : Pemberian zat hemostatik topikal


(Avitene)
Avulsi kapsula, tanpa robekan
parenkhim

Tipe II : Ligasi dan splenorrhapy dengan


benang absorbable
Robekan parenkhim, tanpa robekan
hilus

Tipe III: Hemisplenektomi

Robekan parenkhim sampai dengan


hilus

Tipe IV:
Splenektomi dengan autotransplantasi
Transeksi pedikel atau robekan
parenkhim multiple dengan neksrosis

22
Trauma hepar
Hepar merupakan organ kedua sesudah lien yang sering mengalami trauma
pada kasus trauma tumpul abdomen. Secara klinis diagnosis dapat ditegakkan
apabila diperoleh adanya gangguan hemodinamik akibat perdarahan
intraabdominal, adanya nyeri di daerah abdomen kanan atas dan bahu kanan, jejas
di abdomen kanan atas, tanda-tanda ileus adinamik, dan massa di abdomen kanan
atas. Foto rontgen dapat membantu yaitu jika ditemukan fraktur costae kanan
terbawah, peninggian dafragma. CT scan memberikan diagnosis yang akurat dan
sangat spesifik dibandingkan dengan pemeriksaan lainnya. Pemeriksaan
laboratorium yaitu SGOT dan SGPT memberikan informasi tambahan yang
bermakna jika ditemukan kadar SGOT > 200 IU dan SGPT > 100 IU.

Prinsip pengelolaan pada lien juga dapat dipakai untuk trauma hepar yaitu
terdiri dari tindakan non operatif dan operatif. Tindakan non operatif sama dengan
trauma lien, hanya dilakukan pemeriksaan follow up secara berkala SGOT dn
SGPT sampai hari ke –7 atau 10. Secara ringkas pengelolaan trauma hepar dapat
dilihat seperti table berikut :

Tabel 6: Liver injury scale (revision 1994)

Klasifikasi Frekuensi Tindakan

Grade I : 15% Selektif non operatif

Subcapsular hematoma < 1 cm,


capsular avulsion, laserasi parenkhim
superficial< 1 cm

Grade II : 55% Operatif


Laserasi parenkhim 1-3 cm dan
- kontrol
parenkhim/subkapsuler hematoma 1-3
cm. perdarahan (jahit
dan ligasi)

23
Trauma tembus perifer - Debridemen
- Drainase
25%

Grade III:

Laserasi parenkhim> 3 cm dan


hematoma subkapsuler/parenkhim > 3
cm

Trauma tembus sentral

3%
Grade IV :

Parenchymal/subcapsular hematoma >


10 cm, destruksi lobus atau
devaskularisasi

Hematoma massif

Grade V: Operasi diperlukan,


2% repair vaskuler,
Destruksi global atau devaskularisasi
hepar lobektomi, packing,
drainase
Trauma vena cava retrohepatik

Ruptur kedua lobus ekstensif

Grade 6 :
Hepatic avulsion

24
Lien dan hepar merupakan organ solid yang sering mengalami cedera
akibat trauma tumpul abdomen. Terapi non operatif merupakan standar terapi
yang dipilih pada kasus cedera lien dan hepar murni.

Penanganan operatif dilakukan pada cedera lien dan hepar apabila


ditemukan tanda-tanda adanya perdarahan, hipotensi, takikardi, penurunan urine
output, penurunan hematokrit yang tidak berespon terhadap pemberian kristaloid
dan transfusi darah. Pembedahan dilakukan apabila hemodinamik tidak stabil
setelah pemberian cairan intravena dan transfusi darah atau pemberian transfusi
darah sudah melebihi 40 cc/kgBB, peneliti lain menyebutkan 25-40cc/kg BB.

Richi dan Folkasrad, Trunkey dkk, Stone dan Ansley merupakan pionir
pada pengelolaan non operatif pada kasus cedera hepar. Beberapa penelitian
menyebutkan adanya delay perdarahan pada kasus cedera hepar kurang lebih 1-
3%.

Pada suatu penelitian mengenai cedera hepar dan lien sebanyak


145 pasien didapatkan 95 % berhasil diterapi secara konservatif. Sebanyak 7
pasien yang mengalami cedera lien dilakukan operasi laparotomi dan rapi lien.
Pada penelitian tersebut dilakukan evaluasi dengan ultrasonografi dan x-rays.
Pada tahun 1980 digunakan sintigrafi untuk mengetahui adanya kerusakan lien
dan hepar, namun sekarang digunakan spiral tomografi.
Dari penelitian tersebut didapatkan rata-rata pasien datang ke rumah sakit
9 hari setelah trauma, dan pada pasien yang dilakukan operasi emergensi
perdarahan dari hematom adalah minimal dan dapat diatasi dengan hematostatik
agent, artinya operasi tersebut sebenarnya tidak perlu dilakukan. Ditemukan pada
kasus cedera lien pasien akan mengalami perburukan pada 36-72 jam setelah
trauma, selanjutnya mengalami perbaikan. Jadi pengelolaan non operatif pada
kasus trauma liver sering berhasil pada anak-anak.

25
Trauma Gastrointestinal
Trauma pada gastrointestinal lebih jarang ditemukan pada anak hanya 3-4%
kasus. Trauma abdomen pada trauma tumpul terjadi dengan 3 macam
mekanisme :

a. Trauma karena tekanan langsung sehingga terjadi tekanan intraabdominal


yang tinggi dan loop usus halus yang tertutup yang akan menyebabkan
ruptur dinding usus.
b. Trauma tarikan pada titik fiksasi usus
c. Trauma yang menyebabkan traktus gastrointestinalis berbenturan dengan
vertebra sehingga menyebabkan rupturnya usus.

Disamping terjadinya ruptur iskhemik usus halus akibat trauma tumpul dapat
menyebabkan nekrosis dan akhirnya perforasi. Selain itu ruptur gastrointestinalis
dapat pula disebabkan oleh karena trauma tusuk dan sering disertai dengan trauma
pada pembuluh darah besar intraabdominal.

Diagnosis ditegakkan dengan didasarkan atas kecurigaan yang


berdasarkan mekanisme trauma. Pada anamnesis dapat ditemukan tanda-tanda
peritonitis yaitu keluhan nyeri seluruh perut yang bertambah hebat, disertai mual
dan muntah, serta gangguan buang air besar. Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan adanya jejas eksoriasi atau hematoma di daerah abdomen, adanya nyeri
tekan, nyeri lepas, defans muscular, dan nyeri tekan pada colok dubur dengan
spingter yang lemah. Pada auskultasi dapat ditemukan bising usus yang menurun
sampai menghilang. Pemeriksaan radiologis yaitu rontgen 3 posisi akan sangat
membantu yaitu dengan ditemukannya pneumoperitoneum, adanya perselubngan
cairan dan dindidng usus yang menebal.

Pengelolaanya pada sebagian besar kasus adalah dengan tindakan operatif.


Pada luka tusuk abdomen, indikasi laparotomi adalah pasien dengan tanda vital

26
yang tidak stabil, adanya eviserasi usus, adanya tanda-tanda perdarahan, luka yang
menembus peritoneum, adanya tanda-tanda peritonitis.

Meskipun sebagian besar trauma pada usus halus dilakukan tindakan


operatif, namunhematoma duodenum yang sering terjadi pada part II dan III
akibat trauma tumpul dapat dilakukan terapi non operatif. Gejala yang timbul
biasanya nyeri di daerah epigastrik, muntah-muntah sebagai akibat obstruksi, dan
adanya nyeri tekan di daerah epigastrium. Pada pemeriksaan laboratorium akan
didapatkan peningggian amilase dan leukositosis. Terapi kelainan ini adalah
dengan pemasangan NGT, nutrisi parenteral.

Kebanyakan duodenal hematom diresorpsi 1-3 minggu dengan hanya


dekompresi lambung. Bila dalam 2 minggu gejala obstruksi
berkurang/menghilang maka dikatakan terapi konservatif berhasil. .Evakuasi
dengan pembedahan pada hematom yang gagal diresorpsi jarang diperlukan.dan
serial imaging dapat dilakukan untuk memonitor resolusi hematom. Terapi
operatif harus dipertimbangkan jika tindakan tersebut di atas gagal dan pada saat
operasi harus dilakukan evaluasi hematoma melalui insisi seromuskuler

KOMPLIKASI TERAPI NON OPERATIF


Meskipun penanganan non operatif pada kasus perdarahan intra abdomen
dapat menolong untuk menghindari pembedahan namun ada beberapa komplikasi
yang dapat ditemukan yaitu adanya efusi pleura biasanya 3 minggu setelah adanya
injuri. Kohler dan Jones menemukan 3 kasus efusi pleura yang berkembang pada
pasien yang mengalami hematom pada lien. Mereka memperkirakan efusi pleura
terjadi akibat reaksi simpatik pada trauma viseral atau mungkin disebabkan
trauma yang simultan pada difragma, pleura, dinding dada, atau paru.

Tetapi 18% angka mortalitas didapatkan pada kasus perdarahan delay yang
dilakukan pembedahan.

Protokol terapi non operatif merupakan standar untuk penanganan cedera


lien dan hepar selama lebih dari dua dekade. Telah banyak pengalaman yang

27
didapat dalam mengevaluasi keuntungan dan resiko terapi non operatif. Yang
menjadi dasar keberhasilan terapi non operatif adalah berhentinya perdarahan
secara spontan. Angka pemberian transfusi pada anak dengan cedera hepar dan
lien murni mengalami penurunan 10%. Dilaporkan dari suatu penelitian dua anak
dengan delay perdarahan terjadi setelah 10 hari setelah trauma hepar. Kedua anak
tersebut mengalami nyeri yang persisten di right upper quadrant (RUQ) dan nyeri
bahu kanan dengan tanda-tanda vital normal dan hematokrit stabil. Beberapa
peneliti menganjurkan untuk meneruskan observasi di rumah sampai gejala
menghilang.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Pusponegoro, A.D. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC, 2011,
Bab 6; Trauma dan Bencana.
2. American College of Surgeons. Advanced Trauma Life Support Untuk
Dokter Edisi 7. Jakarta: IKABI, 2004, Bab 5; Trauma Abdomen.
3. Ahmadsyah, I. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara
Publisher, 2009, Bab 2; Digestive.
4. Fabian, Timothy C. Infection in Penetrating Abdominal Trauma: Risk
Factors and Preventive Antibiotics. The American Surgeon 2002; 68: 29-
35
5. Udeani, J., Geibel, J., 2011. Blunt Abdominal Trauma. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1980980-workup#aw2aab6b5b3.
Di akses Mei 2016
6. Eastern Association for the Surgery of Trauma. Practice Management
Guidelines for The Evaluation of Blunt Abdominal Trauma. EAST
Practice Management Guidelines Work Group: Brandywine Hospital,
2001, p; 2-27
7. American College of Surgeons, 2003. Evaluation of Abdominal Trauma.
Committee on Trauma: Subcommittee on Publications.
8. Demetriades, D., Velmahos, G. Technology-Driven Triage of Abdominal
Trauma: The Emerging Era of Nonoperative Management. Annu Rev Med
2003; 54: 1-15
9. Sivit, C.J. Abdominal Trauma Imaging: Imaging Choices and
Appropriateness. Pediatr Radiol 2009; 39: S158-S160
10. Dudley, H. A. F. 1992 Hamilton Bailey's Emergency Surgery. Yogyakarta:
UGM Press.
11. American College Of Surgeons Committee On Trauma. (2008) Trauma
toraks. Dalam ATLS Student Course Manual 8th edition. USA

29

Anda mungkin juga menyukai