Anda di halaman 1dari 27

Definisi

Penyakit arteri perifer (PAP) adalah gangguan suplai darah ke ekstremitas atas atau
bawah karena obstruksi. Mayoritas obstruksi disebabkan oleh aterosklerosis, namun dapat
juga disebabkan oleh trombosis emboli, vaskulitis, atau displasia fibromuskuler. 1 Penyakit
arteri perifer meliputi arteri karotis, arteri renalis, arteri mesenterika dan semua percabangan
setelah melewati aortailiaka, termasuk ekstremitas bawah dan ekstremitas atas. PAP yang
paling banyak adalah penyakit arteri pada ekstremitas bawah.2
Lokasi yang terkena terutama pada aorta abdominal dan arteri iliaka (30% dari pasien
yang simptomatik), arteri femoralis dan poplitea (80-90%), termasuk arteri tibialis dan
peroneal (40-50%). Proses aterosklerosis lebih sering terjadi pada percabangan arteri, tempat
yang turbulensinya meningkat, memudahkan terjadinya kerusakan tunika intima. Pembuluh
darah distal lebih sering terkena pada pasien usia lanjut dan diabetes melitus.2,17
Pada PAP terdapat juga penyakit-penyakit kardiovaskular yang mengiringi. Data dari
Reduction of Atherothrombosis for Continued Health (REACH) tahun 2010 menunjukan
saling tumpang tindih antara penyakit-penyakit kardiovaskuler seperti penyakit arteri perifer,
penyakit kardiovaskuler, dan penyakit jantung koroner.18

Gambar 1. Coexistent penyakit aterosklerotik pada PAP.18


Epidemiologi
Saat ini, diperkirakan lebih dari 202 juta orang di dunia menderita PAP. 6 Prevalensi
PAP di Amerika Serikat pada individu dengan usia ≥40 tahun adalah 4.3%, sedangkan pada
individu dengan usia ≥70 tahun adalah 14,5%.7. Prevalensi PAP di Indonesia adalah 9,7%,
hasil ini didapatkan dari penelitian A Global Atherothrombosis Assessment (AGATHA) oleh
American Society of Cardiology tahun 2006, dimana Indonesia ikut disertakan sebagai subjek
penelitian diantara 24 negara.8 Data prevalensi PAP lainnya didapat dari sebuah penelitian
multi negara oleh Peripheral Arterial Disease - Screening and Evaluation of diabetic patients
1
in 2 Asian Regions Characterized by High risk factors (PAD-SEARCH), dimana Indonesia
juga menjadi salah satu subjek penelitian. Diantara satu juta orang Indonesia, didapatkan
13.807 menderita PAP.9

2.3 Faktor Risiko


Faktor risiko Penyakit Arteri Perifer (PAP) mirip dengan etiologi Penyakit Arteri
Koroner (PAK).15 Faktor risiko yang termasuk faktor risiko klasik adalah merokok, diabetes,
riwayat keluarga, hipertensi, dan hiperlipidemia.3,18,25 Risiko ini meningkat pada pasien
dengan usia ≥70 tahun; pada pasien yang 50- 69 tahun 22 dengan riwayat diabetes atau
merokok; dan pada pasien 40- 49 tahun dengan diabetes dan satu atau lebih-aterosklerosis
terkait faktor risiko, klaudikasio intermiten, kelainan pada palpasi denyut ekstremitas bawah
atau aterosklerosis pada arteri non-perifer (misalnya, koroner, karotis dan arteri ginjal).3
Risiko relatif perkembangan PAP dari faktor risiko yang berhubungan antara lain,
diabetes (RR 4.05), merokok (RR 2.55), bertambahnya usia (tiap penambahan 5 tahun, RR
1.54), hipertensi (RR1.51), hiperhomosisteinemia (RR 1.44), dan peningkatan kolesterol total
(RR 1.10 tiap kenaikan 10 mg/dL).23 Selain faktor risiko klasik tersebut ada faktor risiko
lainnya yaitu hiperhomosisteinemia dan marker inflamasi vaskuler seperti C-reactive protein
(CRP).13 Pada penelitian lain, masih terdapat faktor risiko lain seperti ras, jenis kelamin, usia,
hiperviskositas, dan chronic renal insufficiency.13
Gambar 2. Risiko relatif PAP dengan setiap faktor resiko aterosklerosis
a. Status merokok
Merokok menjadi faktor risiko yang sangat berpotensi terhadap terbentuknya
PAP. Merokok lebih berpotensi menyebabkan PAP daripada PJK. 23 Perokok memiliki
insidensi yang lebih tinggi pada CLI, amputasi tungkai, dan outcome yang buruk
pasca revaskularisasi. Selain itu, risiko juga melekat pada perokok pasif.18
Pada beberapa studi epidemiologi menunjukkan bahwa merokok dan durasi
merokok secara konsisten menjadi faktor risiko yang penting untuk PAP khususnya
PAP di arteri ekstremitas bawah.15 Keparahan PAP meningkat pada pasien dengan
peningkatan jumlah rokok yang digunakan. 18 Durasi merokok juga merupakan
prediktor perkembangan PAP. Seseorang yang merokok < 25 tahun memiliki tiga kali
peningkatan risiko terjadinya PAP dibandingkan orang yang tidak merokok. Selain
itu, seseorang yang merokok ≥ 25 tahun memiliki peningkatan risiko PAP lima kali
dibandingkan orang yang tidak merokok.14 Penghentian merokok berhubungan
dengan penurunan insidensi klaudikasio yang cepat.15,13
Pada studi yang dilakukan pada 245 wanita yang menderita PAP, ditemukan
bahwa risiko PAP secara signifikan turun setelah berhenti merokok. Mantan perokok
2
yang tidak lagi merokok lebih dari 5 tahun memiliki risiko terjadinya PAP yang
mendekati orang normal. Pada pasien yang tidak merokok 1-5 tahun, risiko PAP
hanya meningkat dua kali. Pasien yang tetap merokok hingga 20 batang perhari
memiliki risiko yang meningkat 12 kali. Selain itu, individu yang merokok lebih dari
5 batang per hari memiliki prognosis revaskularisasi yang buruk dibandingkan dengan
yang merokok kurang dari 5 batang per hari.14
Sebaliknya, studi yang dilakukan oleh National Health and Nutrition
Examination Survey, gagal membuktikan hubungan antara perokok pasif dengan
risiko perkembangan PAP. Alasan tidak terbuktinya hubungan adalah adanya
threshold effect, dimana diperlukan dosis tinggi dari nikotin untuk membuat endotel
rusak, alasan lain yaitu sedikitnya orang yang melaporkan bahwa dirinya adalah
perokok pasif.34
Nikotin dan zat-zat yang terkandung dalam rokok merupakan zat yang toksik
terhadap endotel pembuluh darah sehingga lipoprotein akan lebih mudah masuk ke
subendotel dan membentuk aterosklerosis.14 Merokok meningkatkan kadar LDL, dan
menurunkan kadar HDL, meningkatkan CO darah yang dapat menyebabkan hipoksia
endotel, dan menyebabkan vasokonstriksi pada segmen arteri yang telah mengalami
aterosklerosis. Merokok juga menyebabkan peningkatan reaktifitas dari platelet, yang
dapat membentuk trombus, dan meningkatkan konsentrasi fibrinogen plasma dan
hematokrit yang menyebabkan peningkatan viskositas darah.4

b. Diabetes Melitus
Diabetes melitus adalah faktor risiko penting lainnya pada terjadinya PAP,
lama dan keparahan diabetes yang dialami juga dapat berpengaruh. 15 PAP
memberikan prognosis yang lebih buruk pada pasien DMT2 dibandingkan dengan
pasien non diabetes.3 Klaudikasio intermiten terjadi dua kali lebih banyak pada pasien
dengan diabetes daripada pasien non diabetes.13 DM dua kali lebih banyak dalam
prevalensi PAP, hal ini berhubungan dengan kontrol glikemik pada pasien DM tipe 2.
Pada pasien dengan diabetes, setiap kenaikan 1% dalam hemoglobin A1c terjadi
peningkatan 30% risiko PAP. 18
Resistensi insulin merupakan faktor risiko PAP bahkan pada pasien tanpa
diabetes, meningkatkan risiko sekitar 40% sampai 50%. PAP pada pasien dengan
diabetes lebih agresif dibandingkan dengan pasien non diabetes dengan keterlibatan
pembuluh darah besar ditambah dengan neuropati simetris distal. Kebutuhan untuk
amputasi mayor lima sampai sepuluh kali lebih tinggi pada penderita diabetes
3
daripada non-penderita diabetes. Hal ini karena neuropati sensorik dan penurunan
resistensi terhadap infeksi. Berdasarkan pengamatan ini, American Diabetes
Association merekomendasikan skrining PAP dengan ABI setiap 5 tahun pada pasien
dengan diabetes.13
c. Dislipidemia
Beberapa studi epidemiologi juga menemukan bahwa tingginya kadar
kolesterol total dan rendahnya HDL secara independen berkaitan dengan 26
meningkatnya risiko PAP.25 Hiperlipidemia mengubah dinding endotel arteri
mengarah ke pembentukan lesi aterosklerotik. Kolesterol LDL adalah salah satu
penyebab utama dari disfungsi endotel dan cedera otot polos. Perubahanperubahan
pada endotel oleh karena hiperlipidemia ini merupakan lesi awal aterosklerosis yang
selanjutnya akan menjadi lesi yang lebih kompleks menyebabkan stenosis arteri atau
oklusi. Peningkatan kadar Kolesterol LDL menimbulkan peningkatan risiko terkena
penyakit kardiovaskular. Di Framingham Heart Study, individu dengan kadar
kolesterol total 270 mg / dL memiliki dua kali kejadian klaudikasio intermiten. Selain
itu, orang dengan klaudikasio intermiten memiliki tingkat rata-rata kolesterol tinggi.13
d. Hipertensi
Beberapa studi epidemiologi menunjukkan hubungan antara hipertensi dan
terjadinya PAP.17 Hipertensi dikaitkan dengan segala bentuk penyakit kardiovaskular,
termasuk PAP. Namun, risiko relatif untuk terjadinya PAP lebih kecil dari diabetes
atau merokok.13 Hipertensi menyebabkan aterosklerosis yang lebih agresif pada
semua sirkulasi darah, dan merupakan faktor risiko terjadinya serebrovaskuler dan
penyakit koroner. Hipertensi juga merupakan faktor risiko mayor terjadinya PAP. 13
Tidak ada hubungan yang ditemukan antara peningkatan tekanan darah dan terjadinya
klaudikasio.35
Pada studi Limburg PAOD, hipertensi berhubungan dengan peningkatan risiko
relatif yaitu 2,8 dan pada studi Rotterdam, ABI yang rendah berhubungan dengan
peningkatan tekanan sistol dan diastol.17 Hipertensi lebih mengarah ke hiperplasi pada
neointimal daripada remodeling dari pembuluh darah.4
e. Usia
Pada studi Framingham Heart prevalensi PAP meningkat pada individu
dengan usia ≥ 65 tahun.36 Insidensi klaudikasio intermiten pada usia 30-44 adalah 6
dari 10.000 pasien pria dan 3 dari 10.000 pasien wanita. Insidensi ini meningkat
menjadi 61 setiap 10.000 pria dan 54 setiap 10.000 wanita pada usia 65-74.4
Prevalensi PAP 4,3 % pada individu yang berusia lebih dari 40 tahun dan 14,5 % pada
individu yang berusia lebih dari 70 tahun.36 Hubungan usia dengan PAP
4
mencerminkan lamanya paparan terhadap faktor-faktor aterogenik dan efek kumulatif
penuaan pada pembuluh darah.17
f. Ras
The National Health and Nutrition Examination Survey, sebuah survei di
Amerika Serikat pada hasil penelitiannya menemukan informasi bahwa ABI 0,90
umumnya lebih sering terdapat pada ras kulit hitam (7,8%) dibandingkan dengan ras
kulit putih (4,4%).13
g. Jenis Kelamin
Prevalensi PAD, baik yang simptomatik maupun asimptomatik, sedikit lebih
besar pada pria daripada wanita, terutama pada kelompok usia yang lebih muda. Pada
pasien dengan klaudikasio intermiten, rasio laki-laki dibandingkan dengan wanita
adalah antara 1 : 1 dan 2 : 1. Rasio ini meningkat pada beberapa studi setidaknya
hingga 3 : 1 pada tahap penyakit yang lebih parah, seperti critical limb ischemia
kronis. Namun demikian, terdapat penelitian lain yang menyatakan bahwa prevalensi
PAP pada wanita maupun laki-laki adalah sama. Terdapat pula studi yang menyatakan
bahwa klaudikasio intermiten didominasi oleh jenis kelamin wanita.13 Pada penelitian
Framingham, didapatkan bahwa klaudikasio intermiten juga prevalensinya dua kali
lebih banyak pada pria dibandingkan wanita.4

Gambar 3. Prevalensi PAP pada kelompok umur dan jenis kelamin23


h. Kadar C reactive protein (CRP)
Pembentukan dan perkembangan aterosklerosis diduga disebabkan oleh
interaksi kompleks dari faktor risiko klasik, yang berhubungan dengan proses
inflamasi intravaskuler. Fatty streak, lesi awal aterosklerosis adalah murni lesi
inflamasi yang terdiri dari monosit dan limfosit T.4 Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa CRP meningkat pada subjek asimtomatik yang telah 5 tahun menderita PAP.13
Manfaat dari biomarker inflamasi dan proaterosklerosis, seperti CRP,
interleukin-6, fibrinogen, dan lipoprotein (a), adalah menunjukkan prediksi preklinik
terjadinya aterosklerosis. Peningkatan CRP yang diikuti profil lipid secara signifikan
meningkatkan risiko terjadinya PAP pada studi yang dilakukan oleh Physicians’
Health Study. Individu dengan kadar CRP yang tinggi dua sampai tujuh kali lebih
5
berisiko terkena stroke, tiga sampai tujuh kali lebih 29 berisiko terkena infark
miokard, empat sampai lima kali lebih berisiko terkena PAP.4
i. Kadar Homosistein
Homosistein adalah asam amino. Peningkatan kadar homosistein secara
independen berhubungan dengan peningkatan faktor risiko terjadinya PAP sebesar
dua kali. Hal ini karena peningkatan kadar homosistein plasma dihubungkan dengan
pengerasan arteri dan blocking arteri.22 Pada penelitian sebelumnya, membuktikan
bahwa homosistein dapat memberikan efek sitotoksik langsung terhadap endotel,
sehingga terjadi kerusakan dan gangguan terhadap endotel. Dalam suatu studi,
kenaikan kadar homosistein total sebesar 5 mikromol per liter meningkatkan risiko
PAP sebesar 44%. Namun, penelitian terbaru membuktikan bahwa penurunan kadar
homosistein dengan asam folat dan vitamin B tidak memperbaiki hasil luaran
kardiovaskuler atau PAP.24

j. Viskositas Plasma dan Kadar Fibrinogen


Kondisi kadar hematokrit yang meningkat dan hiperviskositas dilaporkan
terdapat pada pasien dengan PAP, kemungkinan sebagai konsekuensi dari merokok.
Peningkatan kadar fibrinogen plasma, yang juga merupakan faktor risiko trombosis,
dikaitkan dengan kejadian PAP pada beberapa penelitian. Hiperviskositas dan
hiperkoagulabilitas, keduanya juga telah terbukti sebagai marker atau faktor risiko
terkait dengan prognosis yang buruk.13
k. Chronic Renal Insufficiency
Terdapat hubungan antara renal insufficiency dengan PAP, yang menurut
beberapa studi menyatakan hubungan sebab akibat. Pada studi HERS (Heart and 30
Estrogen/ Progestin Replacement Study), renal insufficiency secara independen
dihubungkan dengan kejadian PAP kedepannya pada wanita post menopause.13

Gambar 4. Odd ratio faktor resiko PAP simtomatik13

6
Patogenesis dan Patofisiologi
Etiologi PAP bisa berasal dari non aterosklerotik dan aterosklerotik. Penyebab non
aterosklerotik seperti trauma, vasculitis, dan emboli, namun aterosklerotik lebih banyak
menunjukkan PAP dan menyebabkan dampak epidemiologi yang besar.24
Patogenesis terjadinya aterosklerosis pada PAP sama seperti yang terjadi pada arteri
koroner. Lesi segmental yang menyebabkan stenosis atau oklusi biasanya terjadi pada
pembuluh darah berukuran besar atau sedang. Pada lesi tersebut terjadi plak aterosklerotik
dengan penumpukan kalsium, penipisan tunika media, destruksi otot dan serat elastis,
fragmentasi lamina elastika interna, dan dapat terjadi trombus yang terdiri dari trombosit dan
fibrin.2,21
Aterogenesis dimulai dengan lesi di dinding pembuluh darah dan pembentukan plak
aterosklerotik. Proses ini dikuasai oleh leokocyte-mediated inflammation lokal dan oxidized
lipoprotein species terutama low-density lipoproteins (LDL). Merokok, hiperkolesterolemia,
diabetes, dan hipertensi menurut beberapa penelitian mempercepat pembentukan
aterosklerosis.22
Lesi awal (tipe I) terjadi tanpa adanya kerusakan jaringan dan terdiri dari akumulasi
lipoprotein intima dan beberapa makrofag yang berisi lipid. Makrofag tersebut bermigrasi
sebagai monosit dari sirkulasi ke lapisan intima subendotel. Kemudian lesi ini berkembang
menjadi lesi awal atau "fatty-streak" (tipe II), yang ditandai dengan banyaknya "foam cell".
Foam cell memiliki vakuola yang dominan berisi cholesteryl oleate dan dilokalisir di intima
mendasari endotel. Lesi tipe II dapat dengan cepat berkembang menjadi lesi preatheromic
(tipe III), yang didefinisikan dengan peningkatan jumlah lipid ekstraseluler dan kerusakan
kecil 12 jaringan lokal. Ateroma (tipe IV) menunjukkan kerusakan struktural yang luas pada
intima dan dapat muncul atau silent. Perkembangan lesi selanjutnya adalah lesi berkembang
atau fibroateroma (tipe V), secara makroskopis terlihat sebagai bentuk kubah, tegas, dan
terlihat plak putih mutiara. Fibroateroma terdiri dari inti nekrotik yang biasanya terlokalisasi
di dasar lesi dekat dengan lamina elastik interna, terdiri dari lipid ekstraseluler dan sel debris
dan fibrotic cap, yang terdiri dari kolagen dan sel otot polos di sekitarnya. 4 Ruptur plak
memperburuk lesi karena akan menyebabkan agregasi platelet dan aktivasi fibrinogen, namun
tidak menyebabkan oklusi arteri atau manifestasi klinis.23
Istilah "aterosklerosis" berasal dari athero, kata Yunani untuk bubur dan sesuai
dengan inti nekrotik, dan dari sclerosis, kata Yunani untuk keras, sesuai dengan fibrotic cap.
Lesi tipe VI (complicated lesion) digunakan untuk menggambarkan berbagai lesi
aterosklerotik yang lebih lanjut yang menunjukkan karakteristik khusus yang tidak ditemukan
di fibroatheroma klasik, seperti lesi ulseratif (dibentuk oleh erosi cap), lesi hemoragik

7
(ditandai dengan pendarahan di inti nekrotik), atau lesi trombotik (membawa deposit
trombotik). Tipe VII adalah lesi kalsifikasi, ditandai pengerasan arteri dan tipe VIII adalah
lesi fibrotik, predominan terdiri dari kolagen.4

Gambar 5. Patogenesis PAP


Patofisiologi yang terjadi pada pasien PAP meliputi keseimbangan suplai dan
kebutuhan nutrisi otot skeletal. Klaudikasio intermiten terjadi ketika kebutuhan
oksigen selama latihan atau aktivitas melebihi suplainya dan merupakan hasil dari
aktivasi reseptor sensorik lokal oleh akumulasi laktat dan metabolit lain. Pasien
dengan klaudikasio dapat mempunyai single atau multiple lesi oklusif pada arteri yang
mendarahi tungkai. Pasien dengan clinical limb ischemic biasanya memiliki multiple
lesi oklusif yang mengenai proksimal dan distal arteri tungkai sehingga pada saat
istirahat pun kebutuhan oksigen dan nutrisi tidak terpenuhi.1
Patofisiologi PAP terjadi karena tidak normalnya regulasi suplai darah dan
penggantian struktur dan fungsi otot skelet. Regulasi suplai darah ke tungkai
dipengaruhi oleh lesi yang membatasi aliran (keparahan stenosis, tidak tercukupinya
pembuluh darah kolateral), vasodilatasi yang lemah (penurunan nitrit oksida dan
penurunan responsifitas terhadap vasodilator), vasokonstriksi yang lebih utama
(tromboksan, serotonin, angiotensin II, endotelin, norepinefrin), 14 abnormalitas
reologi (penurunan deformabilitas eritrosit, peningkatan daya adesif leukosit, agregasi
platelet, mikrotrombosis, peningkatan fibrinogen).1
Adanya stenosis pada pembuluh darah maka resistensi meningkat, selain itu
pada saat latihan tekanan intramuskuler meningkat sehingga diperlukan tekanan darah
yang lebih tinggi namun setelah melewati daerah stenosis tekanan darah menjadi
rendah. Tercukupinya kebutuhan oksigen dan nutrisi pada pasien dengan stenosis
bergantung pada diameter lumen dan adanya kolateral yang dapat menyuplai darah
secara cukup pada saat istirahat namun tetap tidak mencukupi kebutuhan saat latihan.1
Abnormalitas dari reaktifitas vasomotor mengganggu aliran darah. Normalnya
arteri dilatasi terhadap respon farmakologi dan stimulus biokimia seperti asetilkolin,
serotonin, trombin, dan bradikinin. Respon vasodilatasi ini merupakan hasil dari
pelepasan zat aktif biologi dari endotelium terutama nitrit oksida. Pada arteri yang
8
aterosklerosis mengalami respon vasodilatasi yang buruk terhadap stimulus arus atau
farmakologi.1 NO tidak hanya terlibat dalam vasodilatasi dengan relaksasi otot polos,
tetapi juga memediasi penghambatan aktivasi trombosit, adhesi, dan agregasi;
mencegah proliferasi otot polos pembuluh darah; dan mencegah adhesi leukosit pada
endotel.4

Gambar 6. Patofisiologi PAP

2.5 Manifestasi Klinis


Menurut Vienna VA et al, kebanyakan orang tidak memiliki gejala PAD, tetapi bagi
banyak orang, gejala terlihat pertama PAD adalah kram menyakitkan otot-otot kaki
selama berjalan yang disebut klaudikasio intermiten (Claudication Intermitten). Ketika
seseorang istirahat, kram hilang. Sakit kaki ini dapat cukup parah sehingga seseorang sulit
untuk berjalan normal. Beberapa individu tidak akan merasa kram atau sakit tapi mungkin
merasa mati rasa, kelemahan atau berat pada otot (Vienna VA et al. Vascular Disease
Foundation, 2012).
Kurang dari 50% pasien dengan penyakit arteri perifer bergejala, mulai dari cara
berjalan yang lambat atau berat, bahkan sering kali tidak terdiagnosis karena gejala tidak
khas. Gejala klinis tersering adalah claudication intermitten pada tungkai yang ditandai
dengan rasa pegal, nyeri, kram otot, atau rasa lelah otot. Biasanya timbul sewaktu
melakukan aktivitas dan berkurang setelah istirahat beberapa saat (Antono D dan Ismail
D, 2006).

9
Secara khas, klaudikasio intermiten terjadi bersamaan dengan aktivitas fisik, yaitu
saat kebutuhan metabolisme meningkat, dan mereda setelah beristirahat beberapa menit.
Lokasi nyeri berhubungan erat dengan lokasi penyakit arteri; segmen arteri yang
terserang selalu terletak di sebelah proksimal dari daerah otot iskemik. Misalnya,
klaudikasio intermiten pada panggul dapat berhubungan dengan penyakit aortoilikia,
sementara penyakit iliaka eksterna atau pembuluh darah femoralis komunis akan
berkaitan dengan nyeri paha atau betis (Price and Wilson, 2005).
Nyeri yang timbul saat istirahat menunjukkan adanya penyakit oklusif yang lanjut.
Nyeri iskemik pada waktu istirahat secara khas timbul di bagian distal kaki dan jari-jari
kaki dan dirasakan sebagai gabungan parestesia dan rasa tidak enak. Tetapi, nyeri ini
dapat memburuk dan terusmenerus. Nyeri biasanya timbul pada posisi telentang dan akan
memburuk terutama pada malam hari sehingga dapat membangunkan pasien. Peningkatan
nyeri ini terjadi karena aliran darah yang melewati lesi ini bergantung pada tekanan, oleh
sebab itu, sangat sensitif terhadap pengaruh gravitasi (Price and Wilson, 2005).
Lokasi klaudikasio terjadi pada distal dari tempat lesi penyempitan atau sumbatan.
Pada penyakit aortoilikia (sindrom Leriche) memberikan gejala rasa tak nyaman pada
daerah bokong, pinggang, dan paha. Klaudikasio pada daerah betis timbul pada pasien
dengan penyakit pada pembuluh darah daerah femoral dan poplitea. Keluhan lebih sering
terjadi pada tungkai bawah dibandingkan tungkai atas. Insiden tertinggi penyakit arteri
obstruktif sering terjadi pada tungkai bawah, sering kali menjadi berat timbul iskemia
kritis tungkai bawah (critical limb iskhemia) (Antono D dan Ismail D, 2006).
Gejala klinis yang khas adalah nyeri pada saat istirahat dan dingin pada kaki. Sering
kali gejala tersebut muncul pada malam hari ketika sedang tidur dan membaik setelah
posisi dirubah. Jika iskemia berat nyeri dapat menetap walaupun sedang istirahat. Kira-
kira 25% kasus iskemia akut disebabkan oleh emboli. Sumber emboli biasanya dapat
diketahui. Paradoksikal emboli merupakan salah satu penyebab yang tidak dapat terlihat
dengan cara angiografi disebabkan karena lesi ulseratif yang kecil atau karena defek
septum atrial. Penyebab terbanyak kedua penyakit arteri perifer iskemia akut adalah
thrombus (Antono D dan Ismail D, 2006).
PAP khususnya penyakit arteri ekstremitas bawah memiliki berbagai gambaran klinis
berdasarkan kriteria Fontaine dan Rutherford, meskipun sebagian besar pasien tidak
mengalami gejala apapun.

10
a. Iskemia asimtomatik Iskemia ekstremitas bawah yang bermakna secara
hemodinamik didefinisikan sebagai indeks tekanan pada pergelangan kaki
terhadap score Ankle Brachial Index (ABI) yang nilainya
b. Klaudikasio intermiten (Intermitten Claudication) Klaudikasio intermiten adalah
rasa nyeri yang dirasakan pada tungkai saat berjalan akibat insufisiensi arteri dan
merupakan gejala yang umum dijumpai pada PAD. Nyeri umumnya timbul di
betis sebagai akibat adanya penyakit femoropopliteal, namun dapat juga dirasakan
di paha atau bokong, pada obstruksi proksimal (aortiliaka). Pasien
mendeskripsikannya sebagai rasa ketat atau nyeri seperti kram yang timbul setelah
berjalan pada jarak tertentu yang relatif konstan; jarak menjadi semakin pendek
apabila mendaki, di suhu dingin, atau setelah makan. Nyeri sepenuhnya
menghilang setelah beberapa menit istirahat, namun kembali muncul pada saat
berjalan. Terdapat dua tipe lain klaudikasio:
1. Klaudikasio neurogenik akibat kelainan neurologis dan muskoloskeletal pada
tulang belakang bagian lumbal
2. Klaudikasio vena akibat obstruksi aliran keluar vena yang berasal dari tungkai,
terjadi akibat trombosis vena.
c. Nyeri malam hari/saat istirahat
Pasien berbaring di tempat tidur, tertidur namun kemudian terbangun 1-2 jam
kemudian dengan nyeri hebat pada kaki, biasanya pada telapak kaki. Nyeri
disebabkan perfusi yang buruk akibat hilangnya efek gravitasi yang
menguntungkan saat pasien berbaring, serta penurunan frekuensi jantung, tekanan
darah, dan curah jantung yang terjadi saat pasien tidur. Pasien seringkali merasa
lebih baik bila menurunkan tungkainya dalam posisi tergantung di tepi tempat
tidur atau jika pasien bangun dan berjalan. Namun, nyeri akan kembali muncul
saat pasien kembali berbaring di tempat tidur sehingga pasien sering memilih tidur
di kursi. Hal ini akan menyebabkan terjadinya edema dependen, peningkatan
11
tekanan interstisial jaringan, dan selanjutnya penurunan perfusi jaringan yang
berakibat perburukan rasa nyeri.
d. Kehilangan jaringan (ulserasi/gangren) Pada pasien dengan PAD ekstremitas
bawah yang berat, luka kecil sekalipun pada kaki akan sulit untuk sembuh.
Kondisi tersebut memungkinkan bakteri untuk masuk dan menyebabkan
timbulnya gangren/ulserasi. Hal ini biasanya akan berkembang dengan cepat dan
tanpa adanya revaskularisasi akan dengan cepat mengakibatkan amputasi bahkan
kematian. (Douglas et al, 2014).

Pemeriksaan fisik yang terpenting pada penyakit arteri perifer adalah penurunan atau
hilangnya perabaan nadi pada distal obstruksi, terdengar bruit pada daerah arteri yang
menyempit dan atrofi otot. Jika lebih berat dapat terjadi bulu rontok, kuku menebal, kulit
menjadi licin dan mengkilap, suhu kulit menurun, pucat atau sianosis merupakan
penemuan fisik yang tersering. Kemudian dapat terjadi gangren dan ulkus. Jika tungkai
diangkat/elevasi dan dilipat, pada daerah betis dan telapak kaki, akan menjadi pucat
(Antono D dan Ismail D, 2006).

12
Alir balik vena juga membaik jika kaki diangkat, dengan demikian mengurangi waktu
penarikan oksigen dari darah dalam jalinan kapiler ekstremitas bawah. Selain itu,
pengurangan tonus simpatik pada waktu tidur menurunkan frekuensi denyut jantung dan
tekanan arteri, yang akan memperburuk perfusi perifer. Menggantungkan kaki atau
berjalan dapat memberikan sedikit penyembuhan. Peningkatan tekanan hidrostatik pada
posisi menggantung dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah kolateral dan
menambah aliran darah ke distal (Price and Wilson, 2005).
Penyakit arteri yang bermakna pada ekstremitas bawah ditandai oleh perubahan
warna kulit pada perubahan postural. Peninggian anggota gerak menimbulkan warna
pucat, yang diikuti oleh kemerahan atau rubor bila kaki menggantung. Warna pucat akibat
elevasi diakibatkan oleh pengaruh gravitasi yang menurunkan tekanan arteri dan
menurunkan pula volume darah dalam jalinan kapiler. Bila anggota gerak diturunkan
sampai berada di bawah jantung dan tekanan perfusi meningkat, warna akan kembali
semula. Rubor timbul akibat hiperemia reaktif atau dilatasi vaskular maksimal sebagai
respons terhadap hipoksia jaringan. Vena-vena anggota gerak yang menggantung juga
membutuhkan waktu lebih lama untuk terisi, akibat gangguan aliran masuk arteri (Price
and Wilson, 2005).
Ulkus iskemik biasanya bermula dari jari-jari kaki atau tumit dan meluas ke
proksimal. Gangren menunjukkan adanya kematian jaringan atau nekrosis. Gangren dapat
dibedakan menjadi gangren kering atau gangren basah, bergantung pada derajat gangguan
perfusi dan nekrosis pada seluruh bagian. Jika obstruksinya tidak total, daerah nekrosis
bercampur baur dengan daerah edema dan peradangan sehingga menimbulkan gangren
basah. Kumpulan manifestasi klinis terlihat pada oklusi progresif aorta terminalis
(sindrom Leriche) yaitu hilang atau berkurangnya denyut femoralis; klaudikasio
intermiten pada bokong, pinggul, atau paha; dan hilangnya potensi seksual (Price and
Wilson, 2005).
Menurut (Vienna VA et al, 2012 dan Gottsäter, 2008), pada pasien dengan PAD yang
lebih parah, aliran darah ke kaki dan kaki dapat menyebabkan terasa terbakar/ sakit nyeri
di kaki dan jari-jari kaki saat beristirahat. Rasa sakit akan terjadi terutama pada malam
hari sambil berbaring datar. Gejala-gejala lainnya yaitu:
a. Nyeri saat berjalan, yang sering hilang ketika orang berhenti dan beristirahat.
b. Pendinginan kulit di daerah tertentu dari betis atau kaki.
c. Kulit pada telapak kaki atau kaki bagian bawah lebih mulus dan mengkilat
d. Perubahan warna pada kulit dan hilangnya rambut.
13
e. Kelemahan otot.
f. Luka pada kaki dan telapak kaki yang tidak kunjung sembuh.
g. Gangren

Diagnosis
Diagnosis klinis PAP tergantung pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penggunaan
pemeriksaan pembuluh darah secara noninvasif dan invasif. Penilaian PAP perlu dimulai
dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk dapat mengidentifikasi faktor risiko,
adanya klaudikasio intermiten, nyeri saat istirahat, dan atau adanya suatu gangguan
fungsi.22
Diagnosis Noninvasif PAP Pasien dengan gangguan pembuluh darah dapat
didiagnosis secara anatomi dengan akurat menggunakan teknik diagnostik vaskular
noninvasif modern (misalnya, ankle- and toe-brachial index, segmental pressure
measurements, pulse volume recordings, duplex ultrasound imaging, Doppler waveform
analysis, dan exercise testing).22
Tes non-invasif dapat menilai status PAP secara obyektif dan dapat memfasilitasi
perencanaan terapi. Tes ini relatif murah, dapat dilakukan tanpa risiko, dan dapat
memberikan informasi prognostik. Pemeriksaan ini pada pasien PAP memungkinkan
dokter untuk (a) secara obyektif menentukan diagnosis PAP (b) secara kuantitatif menilai
keparahan penyakit, (c) melokalisasi lesi pada segmen arteri ekstremitas tertentu, dan (d )
menentukan sejauh mana perkembangan penyakit atau respon terhadap terapi.22
1. Ankle Brachial Index (ABI)
a. Definisi
Ankle Brachial Index (ABI) adalah tes skrining vaskular non invasif untuk
mengidentifikasi penyakit arteri perifer. ABI memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang
sangat baik untuk mendeteksi PAP.4 Selain itu, ABI dapat digunakan sebagai pedoman
untuk menentukan keparahan penyakit dan informasi prognosis mengenai komplikasi
pada tungkai. Pengukuran ABI ini dapat digunakan secara serial untuk memonitor
perjalanan penyakit.4
ABI merupakan standar diagnosis PAP untuk pengobatan klinis atau studi
epidemiologi dan memberikan informasi yang berguna untuk menyelamatkan tungkai
bawah, penyembuhan luka dan perkiraan survival pasien.3 Pemeriksaan ABI dapat
dilakukan pada populasi dengan risiko sebagai skrinning.5 ABI juga dapat digunakan
sebagai 44 marker untuk prognosis gangguan kardiovaskuler meskipun tidak
ditemukan gejala PAP.54 Kebanyakan pasien PAP (>50%) adalah asimptomatik
14
sehingga pemeriksaan dengan ABI merupakan pemeriksaan penunjang yang
direkomendasikan oleh ACCF/AHA sebagai alat diagnosis utama PAP.
Batas ABI yang digunakan untuk diagnosis PAD adalah ≤ 0,9. 3,19 Batas ini
menurut penelitian memiliki sensitifitas dan spesifisitas >90% untuk mendiagnosis
PAP dibandingkan dengan angiografi.54 Sensitifitas dari ABI untuk mendiagnosis PAP
dengan >50% stenosis adalah 95%, dan spesifisitasnya 100%.

ACC / AHA merekomendasikan bahwa pengukuran ABI sebaiknya dilakukan


pada: 5
1) Individu yang diduga menderita gangguan arteri perifer karena adanya gejala
exertional leg atau luka yang tidak sembuh.
2) Usia ≥ 65 tahun.
3) Usia ≥ 50 yang mempunyai riwayat DM atau merokok.
Sebagai tambahan, American Diabetes Associaton (ADA) menyarankan
skrining ABI dilakukan pada penderita DM dengan usia < 50 tahun yang mempunyai
faktor risiko penyakit arteri perifer seperti merokok, hipertensi, hiperlipidemia, dan
lamanya menderita DM >10 tahun.22
b. Indikasi dan kontraidikasi
Indikasi seseorang dilakukan pengukuran score ABI yaitu sebagai berikut (Lippincott
Williams and Wilkins. WOCNS, 2012),:
a. Dicurigai Lower Extremity Arterial Disease (LEAD).
b. Intermitten Claudication (IC)
c. Usia diatas 50 tahun dengan riwayat penggunaan tembakau (merokok).
d. Diabetes mellitus.
e. Penderita dengan terapi kompresi atau luka debridemen.
Kontra indikasi seseorang dilakukan pengukuran score ABI sebagai berikut:
a. Trombosis vena dalam dianjurkan memakai duplex ultrasound.
15
b. Score ABI > 1.3 dianjurkan dengan Toe Brachial Index (TBI).
c. Sakit yang luar biasa di kaki bagian bawah/kaki. d. Nyeri berat terkait dengan luka
pada ekstremitas.
c. Prosedur Penggunaan ABI
ABI dapat dilakukan dengan menggunakan sebuah Doppler gelombang kontinyu,
tensimeter dan manset untuk mengukur tekanan darah brakialis dan pergelangan kaki. 25
Jika dilakukan oleh profesional yang terlatih, menggunakan peralatan yang tepat, dan
mengikuti prosedur berbasis penelitian, ABI yang diperoleh menggunakan Doppler saku
setara dengan Tes pembuluh darah di laboratorium untuk mendeteksi PAP.25

Gambar 7. Prosedur pemeriksaan ABI

Pada pelayanan kesehatan primer, dimana alat doppler tidak selalu ada, ABI yang
diukur dengan stetoskop merupakan pendekatan alternatif yang dapat dilakukan. Sebuah
penelitian yang membandingkan ABI yang diukur dengan stetoskop dan ABI yang diukur
dengan Doppler memberikan informasi bahwa nilai keduanya ternyata berkorelasi baik,
sehingga pengukuran ABI dengan stetoskop dapat digunakan sebagai alat skrining PAP
pada pelayanan kesehatan primer.57
Persiapan Pasien dan Lingkungan58
1) Menanyakan kapan terakhir merokok, mengkonsumsi kafein ataupun alkohol; apakah
ada aktivitas berat yang baru saja dilakukan sebelumnya, dan adanya nyeri. (Catatan:
Jika memungkinkan, menyarankan pasien untuk menghindari stimulan atau latihan
berat selama satu jam sebelum tes.)
2) Melakukan pengukuran ABI di tempat yang tenang, lingkungan yang hangat untuk
mencegah vasokonstriksi arteri (21-23 + 1 ° C).
3) Hasil ABI terbaik akan diperoleh ketika pasien santai, nyaman, dan dengan keadaan
kandung kemih yang kosong.
16
4) Menjelaskan prosedur kepada pasien.
5) Melepaskan kaus kaki, sepatu, dan pakaian yang ketat untuk penempatan manset dan
memberi akses ke daerah yang akan dipulsasi oleh Doppler.
6) Menempatkan pasien pada posisi terlentang, memberikan satu bantal kecil di belakang
kepala pasien untuk kenyamanan pasien.
7) Sebelum penempatan manset, memberi pelindung/ penghalang (misalnya, bungkus
plastik) pada ekstremitas jika terdapat luka atau perubahan integritas kulit)
8) Menempatkan manset pada lengan sekitar 2-3 cm di atas fossa cubiti dan maleolus di
pergelangan kaki
9) Memastikan pasien merasa nyaman dan mempersilakan pasien beristirahat selama
minimal 10 menit sebelum pengukuran ABI untuk menormalkan tekanan darah.
a. Pengukuran Tekanan Brachial
(1) Setelah periode istirahat 5-10 menit, palpasi nadi brachial.
(2) Tempatkan manset 2-3 cm diatas fossa cubital di lengan.
(3) Olesi jelly pada nadi brachial.
(4) Tempatkan tip doppler pada nadi bracial sampai nadi terdengar jelas.
(5) Kembangkan manset 20-30 mmHg diatas titik nadi tidak terdengar.
(6) Turunkan tekanan manset 2-3 mmHg/detik, catat pembacaan manometer pada saat
nadi pertama terdengan catat sebagai nilai sistolik.
(7) Bersihkan jelly pada lokasi nadi.
(8) Ulangi prosedur pengukuran pada lengan lainnya.
(9) Jika perlu pengukuran ulang, tunggu 1 menit.
(10) Gunakan tekanan sistolik tertinggi pada tiap lengan untuk menghitung score ABI.
b. Pengukuran Tekanan Ankle
(1) Palpasi nadi tibia posterior.
(2) Tempatkan manset 2-3 cm diatas malleolus.
(3) Olesi jelly pada nadi tibia posterior.
(4) Tempatkan tip doppler pada tibia posterior sampai nadi terdengar jelas.
(5) Kembangkan manset 20-30 mmHg diatas titik nadi tidak terdengar
(6) Turunkan tekanan manset 2-3 mmHg/detik, catat pembacaan manometer pada saat
nadi pertama terdengar dan catat sebagai nilai sistolik.
(7) Bersihkan jelly pada lokasi nadi.
(8) Ulangi prosedur pengukuran pada lengan lainnya.
(9) Jika perlu pengukuran ulang, tunggu 1 menit.
17
(10) Gunakan tekanan sistolik tertinggi pada tiap kaki untuk menghitung ABI.
Pasien yang mengalami klaudikasio dengan stenosis arteri iliaka terisolasi memiliki
kemungkinan untuk tidak mengalami penurunan tekanan darah saat istirahat, sehingga,
pada kasus ini akan dijumpai nilai ABI yang normal. Namun, dengan dilakukannya tes
provokasi dengan exercise oleh pasien ini, lesi hemodinamik akan terlihat signifikan
karena adanya peningkatan kecepatan aliran darah. Pada kondisi ini, exercise akan
menyebabkan penurunan ABI yang dapat dideteksi segera sebelum periode recovery, dan
dengan demikian dapat ditegakkan diagnosis PAP. Prosedur ini memerlukan pengukuran
ABI saat istirahat, dan pasien kemudian diminta untuk berjalan (biasanya menggunakan
treadmill dengan kecepatan 3,2 km/h (2 mph), 10% -12% grade) sampai terjadi
klaudikasio (atau maksimal 5 menit), diikuti dengan pengukuran ulang tekanan darah pada
pergelangan kaki. Penurunan ABI dari 15% -20% didiagnosis sebagai PAP. Jika treadmill
tidak tersedia, tes provokasi dapat dilakukan dengan menaiki tangga.25 Tes provokasi
alternatif yang dapat dilakukan jikasubjek tidak dapat naik-turun bangku antara lain
dengan jalan kaki selama 6 menit atau melakukan dorsoflexi-plantarflexi selama 6 menit.22
d. Keterbatasan ABI
1) ABI adalah pemeriksaan yang menyimpulkan lokasi anatomi dari oklusi atau
stenosis secara tidak langsung. Lokasi pasti dari stenosis atau oklusi tidak bisa
ditentukan hanya dengan menggunakan ABI.
2) ABI dapat meningkat (>1,3) karena adanya kalsifikasi arteri pada pergelangan kaki
pasien yang memiliki penyakit diabetes, gagal ginjal dan rheumatoid arthritis; dan
pada keadaan ini, tes vaskular lainnya seperti TBI (Toe Brachial Index) perlu
dilakukan.
3) Studi yang melakukan evaluasi vaskular pada 1.762 subyek, melaporkan bahwa ABI
meningkat pada 8,4% individu dan prevalensi PAP pada individu ini adalah 62,2%.
4) Beberapa individu dengan stenosis arteri dapat mengalami gejala klaudikasio saat
beraktivitas namun memiliki tekanan pergelangan kaki yang normal saat istirahat,
pada kasus ini diperlukan evaluasi vaskular lainya.10
2. Toe-Brachial Index (TBI)
TBI juga merupakan suatu pemeriksaan noninvasif yang dilakukan pada
pasien diabetes dengan PAD khususnya pada pasien yang mengalami kalsifikasi pada
pembuluh darah ekstremitas bawah yang menyebabkan arteri tidak dapat tertekan
dengan menggunakan teknik tradisional (ABI, indeks ABI > 1,30) sehingga

18
pemeriksaan ini lebih terpercaya sebagai indikator PAD dibandingkan ABI. Nilai TBI
yang ≥ 0,75 dikatakan normal atau tidak terdapat stenosis arteri.
3. Segmental Pressure dan Pulse Volume Recordings (PVR)
Pulse volume recording (PVR) yang juga disebut plethysmography merupakan
suatu tes yang mengukur aliran darah arteri pada ekstremitas bawah dimana pulsasi
yang mewakili aliran darah pada arteri diperlihatkan oleh monitor dalam bentuk
gelombang. PVR juga dapat digunakan pada pasien PAD yang mengalami kalsifikasi
pada arteri bagian medial (ABI > 1,30) yang biasa ditemukan pada pasien usia tua,
pasien yang menderita diabetes cukup lama atau pasien yang menderita penyakit ginjal
kronik. Pada pasien dengan PAD berat, PVR juga dapat memprediksi apakah kaki
yang terkena PAD ini memiliki cukup aliran darah atau tidak untuk bertahan atau jika
akan dilakukan amputasi pada kaki tersebut. Interpretasi dari tes ini dapat
menyediakan informasi mengenai derajat obstruksi PAD secara spesifik. Pada arteri
yang masih sehat, gelombang pulsasi akan terlihat tinggi dengan puncak yang tajam
yang menunjukkan aliran darah mengalir dengan lancar. Namun jika arteri tersebut
mengalami penyempitan atau obstruksi maka akan terlihat gelombang yang pendek
dan memiliki puncak yang kecil dan datar. Tingkat keakuratan pemeriksaan ini untuk
menegakkan diagnosis PAD berkisar antara 90-95%.
4. Ultrasonografi duplek
Ultrasonografi dupleks memiliki beberapa keuntungan dalam menilai sistem
arteri perifer. Pemeriksaan yang noninvasif ini tidak memerlukan bahan kontras yang
nefrotoksik sehingga alat skrining ini digunakan untuk mengurangi kebutuhan akan
penggunaan angiografi dengan kontras (Elgzyri, 2008). Modalitas diagnostik ini juga
dapat digunakan sebagai alat pencitraan tunggal sebelum dilakukan intervensi pada
sekitar 90% pasien dengan PAD dimana sensitivitas dan spesifisitas untuk mendeteksi
dan menentukan derajat stenosis pada PAD berkisar antara 70% dan 90% (Favaretto et
al, 2007) Dupleks ultrasonografi juga dapat menggambarkan karakteristik dinding
arteri sehingga dapat menentukan apakah pembuluh darah tersebut dapat diterapi
dengan distal bypass atau tidak. Selain itu, alat ini juga dapat digunakan untuk
menentukan apakah suatu plak pada arteri tersebut merupakan suatu resiko tinggi
terjadinya embolisasi pada bagian distal pembuluh darah pada saat dilakukan
intervensi endovascular.

5. Computed Tomographic Angiography (CTA)


Penggunaan CTA untuk mengevaluasi sistem arteri perifer telah berkembang
seiring perkembangan multidetector scanner (16- atau 64-slice).Sensitivitas dan
19
spesifisitas alat ini untuk mendeteksi suatu stenosis  50% atau oklusi adalah sekitar
95-99%. Seperti halnya ultrasonografi dupleks, CTA juga menyediakan gambaran
dinding arteri dan jaringan sekitarnya termasuk mendeteksi adanya aneurisma arteri
perifer, karakteristik plak, kalsifikasi, ulserasi, trombus atau plak yang lunak,
hiperplasia tunika intima, in-stent restenosis dan fraktur stent. CTA tetap memiliki
keterbatasan dalam hal penggunaannya pada pasien dengan insufisiensi renal sedang-
berat yang belum menjalani dialysis.
6. Magnetic Resonance Angiography (MRA)
MRA merupakan pemeriksaan noninvasif yang memiliki resiko rendah
terhadap kejadian gagal ginjal. Pemeriksaan yang memiliki rekomendasi dari
ACC/AHA (Class I Level of Evidence A)ini dapat memberikan gambaran pembuluh
darah yang hampir sama dengan gambaran pembuluh darah pada pemeriksaan
angiografi (Hirsch et al, 2006). Modalitas pemeriksaan ini tidak menggunakan radiasi
dan media kontras yang digunakan (gadolinium-based contrast) tidak terlalu
nefrotoksik dibandingkan dengan kontras yang digunakan pada CTA maupun
angiografi kontras. Sensitivitas dan spesifisitas alat ini untuk mendeteksi stenosis arteri
dibandingkan dengan angiografi kontras adalah sekitar 80-90%.
7. Contrast Angiography
Walaupun MRA merupakan modalitas pemeriksaan yang cukup aman dan
merupakan teknologi yang cukup menjanjikan namun pemeriksaan yang masih
merupakan standar baku emas untuk mendiagnosis PAD adalah angiografi
kontras.Pemeriksaan ini menyediakan informasi rinci mengenai anatomi arteri dan
direkomendasikan oleh ACC/AHA (Class I, Level of Evidence A) untuk pasien PAD
khususnya yang akan menjalani tindakan revaskularisasi. Seperti halnya pemeriksaan
yang menggunakan media kontras, prosedur angiografi kontras juga memerlukan
perhatian khusus mengenai resiko terjadinya nefropati kontras. Pasien dengan
insufisiensi ginjal sebaiknya mendapatkan hidrasi yang cukup sebelum tindakan.
Pemberian n-acetylcysteinesebelum dan setelah tindakan pada pasien dengan
insufisiensi ginjal (serum kreatinin lebih dari 2,0 mg/dl) dapat dilakukan sebagai
tindakan pencegahan perburukan fungsi ginjal. Selain itu pasien diabetes yang
menggunakan obat metformin memiliki resiko menderita asidosis laktat setelah
angiografi. Metformin sebaiknya dihentikan sehari sebelum tindakan dan 2 hari setelah
tindakan untuk menurunkan resiko asidosis laktat. Insulin dan obat hipoglikemik oral
sebaiknya dihentikan penggunaannya pada pagi hari menjelang tindakan. Evaluasi
klinis termasuk pemeriksaan fisik dan pengukuran fungsi ginjal direkomendasikan
20
untuk dilakukan dua minggu setelah prosedur angiografi untuk mendeteksi adanya
efek samping lanjut seperti perburukan fungsi ginjal atau adanya cedera pada daerah
akses kateter pembuluh darah
8. Pemeriksaan laboratorium dievaluasi kondisi hidrasi, kadar oksigen darah, fungsi
ginjal, fungsi jantung dan kerusakan otot.
9. Diperiksa foto toraks untuk melihat kardiomegali,
10. Hematokrit untuk melihat polisitemia,
11. Analisa urine untuk melihat protein dan pigmen untuk melihat mioglobin di urine.
12. Creatinine phosphokinase untuk menilai nekrosis.
13. Ultrasonografi abdomen untuk mencari aneurisma aorta abdominal.
14. Arteriografi dapat mengetahui dengan jelas tempat sumbatan dan penyempitan.

Gambar 7. Algoritma Diagnosis PAP

2.8 Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan PAD adalah untuk mengurangi gejala klinis seperti klaudikasio,
meningkatkan kualitas hidup, mencegah terjadinya komplikasi, serangan penyakit jantung ,
stroke dan amputasi . pengobatan dilakukan berdasarkan gejala klinis yang ditemukan, faktor
resiko dan dari hasil pemeriksaan klinis dan penunjang. 3 pendekatan utama pengobatan
PAD adalah dengan mengubah gaya hidup, terapi farmakologis dan jika dibutuhkan,
dilakukan terapi intervensi dengan operasi.

21
a. Terapi Non-farmakologi
1. Perubahan pola hidup
- Berhenti merokok
- Menurunkan berat badan pada penderita obesitas (diet dan olahraga)
- Menurunkan tekanan darah
- Menurunkan kadar kolesterol dalam darah
- Menurunkan kadar gula darah jika beresiko diabetes
- Olahraga teratur
2. Terapi suportif
- Perawatan kaki dengan menjaga tetap bersih dan lembab dengan memberikan
krim pelembab.
- Memakai sandal dan sepatu yang ukurannya pasa dari bahan sintetis yang berventilasi
- Hindari penggunaan bebat plastik karena mengurangi aliran darah ke kulit
- Latihan fisik (exercise) berupa jalan-jalan kaki kira-kira selama 30-40 menit
b. Terapi farmakologis
Terapi Farmakologi dapat diberikan untuk menurunkan faktor resikoyang ada seperti
menurukan tekanan darah, kadar kolesterol dan untuk mengobati diabetes. Selain itu,
terapi farmakologis juga diberikan untuk mencegah terjadinya thrombus pada arteri yang
dapat menyebabkan serangan jantung, stroke, serta untuk mengurangi rasa nyeri pada
pasien ketika berjalan.
1. Anti cholesterol

22
Terapi penurun lipid mengurangi risiko baru atau memburuknya gejala
klaudikasio intermiten. Statin menjadi terapi penurun lipid lini pertama. HMG-Co A
reductase inhibitor (Simvastatin) secara signifikan mengurangi tingkat kejadian
kardiovaskular iskemik sebesar 23%. Beberapa laporan telah menunjukkan bahwa
statin juga meningkatkan jarak berjalan bebas rasa sakit dan aktivitas rawat jalan.
2. Anti hipertensi
Pemilihan obat antihipertensi harus individual. Diuretik thiazide, beta blocker,
angiotensin-converting enzyme inhibitor (ACEIs), angiotensin receptor blocker
(ARB), dan calcium channel blockers semua efektif. Penggunaan beta blockers
aman dan efektif; mengurangi kejadian koroner baru sebesar 53% pada mereka
dengan MI sebelumnya dan gejala PAD yang bersamaan.
3. Anti platelet
Telah terbukti manfaatnya dalam menurunkan resiko terjadinya MI, stroke dan
kematian vascular pada pasien PAD. ACC/AHA guidelines telah merekomendasikan
penggunaan antiplatelet (aspirin [ASA], 75 to 325 mg daily, or clopidogrel, 75 mg
daily) pada pasien PAD dengan aterosklerosis pada ekstrimitas bawah.
Cilostazol (Pletal), adalah reversible phosphodiesterase inhibitor yang
menghambat agregasi platelet, pembentukan thrombin dan proliferasi otot polos
pembuluh darah, memicu vasodilatasi dan meningkatkan HDL dan menurunkan
kadar TG. Pedoman ACC / AHA telah memberikan cilostazol sebagai rekomendasi
grade IA kelas untuk pasien dengan klaudikasio intermiten dengan dosis 100 mg dua
kali sehari (diminum pada saat perut kosong setidaknya ½ jam sebelum atau 2 jam
setelah sarapan dan makan malam). Efek samping yang umum dari cilostazol
termasuk sakit kepala (30% pasien), diare dan gangguan lambung (15%), dan
palpitasi (9%). Efek samping hanya berjangka pendek dan jarang dilakukan
penghentian obat. Kontraindikasi obat ini adalah pasien dengan gagal jantung.
3. Terapi Operasi
a. Angioplasti
Tujuannya untuk melebarkan arteri yang mulai menyempit atau membuka sumbatan
dengan cara mendorong plak ke dinding arteri.
b. Operasi By-pass
Bila keluhan semakin memburuk dan sumbatan arteri tidak dapat diatasi dengan
angioplasti. Bagi yang sudah menjalani operasi ini biasanya bebas dari gejala dan tidak
mengalami komplikasi apapun sesudahnya

23
2.9 Komplikasi
Kompilaksi PAP merupakan penyakit sering dijumpai namun karena tidak secara
langsung mengancam jiwa, perhatian terhadap PAP tidak sama dengan PJK, namun adanya
PAP pada suatu arteri dapat menjadi prediktor kuat adanya aterosklerosis pada arteri lainnya,
termasuk pada pembuluh darah koroner, karotis dan serebral. 33,34 Selain itu, PAP juga
diketahui menjadi faktor risiko penyakit kardiovaskuler dan kejadian iskemik kardiovaskuler.
Semakin rendah ABI, semakin tinggi terjadinya infark miokard baik fatal maupun nonfatal
serta kematian.4
Pada pasien yang diikuti lebih dari 5 tahun, orang-orang dengan PAP menunjukkan
frekuensi relatif iskemik tungkai dan kardiovaskuler. Kecepatan iskemik kardiovaskuler dan
kematian kardiovaskuler lebih tinggi dari kecepatan iskemik tungkai. Pasien dengan
klaudikasio, hanya 15-20% menjadi CLI dan hanya 10% yang membutuhkan amputasi,
namun semua pasien tetap memiliki risiko terjadinya iskemik kardiovaskuler. Berlanjutnya
paparan faktor risiko aterosklerosis sehingga membuat PAP menjadi CLI memprediksi
penurunan kualitas hidup dan berhubungan dengan amputasi tungkai dan peningkatan
mortalitas.4

24
Gambar 8. Follow up setelah 5 tahun pada pasien PAP

Gambar 9. Survival pada pasien PAP

DAFTAR PUSTAKA

1. Gornik HL, Beckman JA. Peripheral arterial disease. Circulation. 2005;111(13):e169-e72.


2. Fowkes FGR, Rudan D, Rudan I, Aboyans V, Denenberg JO, McDermott MM, et al.
Comparison of global estimates of prevalence and risk factors for peripheral artery
disease in 2000 and 2010: a systematic review and analysis. The Lancet.
2013;382(9901):1329-40.

25
3. Fowkes FGR, Low L-P, Tuta S, Kozak J. Ankle-brachial index and extent of
atherothrombosis in 8891 patients with or at risk of vascular disease: results of the
international AGATHA study. European heart journal. 2006;27(15):1861-7.
4. Rhee SY, Guan H, Liu ZM, Cheng SW-K, Waspadji S, Palmes P, et al. Multi-country
study on the prevalence and clinical features of peripheral arterial disease in Asian type 2
diabetes patients at high risk of atherosclerosis. Diabetes research and clinical practice.
2007;76(1):82-92.
5. Dermott MM, Greenland P, Guralnik JM, Liu K, Criqui MH, Pearce WH, et al.
Depressive symptoms and lower extremity functioning in men and women with
peripheral arterial disease. Journal of general internal medicine. 2003;18(6):461-7.
6. Regensteiner JG, Hiatt WR, Coll JR, Criqui MH, Treat-Jacobson D, McDermott MM, et
al. The impact of peripheral arterial disease on healthrelated quality of life in the
Peripheral Arterial Disease Awareness, Risk, and Treatment: New Resources for Survival
(PARTNERS) Program. Vascular Medicine. 2008;13(1):15-24.
7. Resnick HE, Lindsay RS, McDermott MM, Devereux RB, Jones KL, Fabsitz RR, et al.
Relationship of high and low ankle brachial index to allcause and cardiovascular disease
mortality the strong heart study. Circulation. 2004;109(6):733-9.
8. Criqui MH, Langer RD, Fronek A, Feigelson HS, Klauber MR, McCann TJ, et al.
Mortality over a period of 10 years in patients with peripheral arterial disease. New
England Journal of Medicine. 1992;326(6):381-6.
9. Bonham P, Flemister B. Guideline for management of wounds in patients with lower-
extremity arterial disease. Clinical Practice Guidelines,(Series No 1). 2008.
10. Stein R, Hriljac I, Halperin JL, Gustavson SM, Teodorescu V, Olin JW. Limitation of the
resting ankle-brachial index in symptomatic patients with peripheral arterial disease.
Vascular medicine. 2006;11(1):29-33.
11. Stehouwer CD, Clement D, Davidson C, Diehm C, Elte JW, Lambert M, et al. Peripheral
arterial disease: a growing problem for the internist. European journal of internal
medicine. 2009;20(2):132-8.
12. Aboyans V, Criqui MH, Abraham P, Allison MA, Creager MA, Diehm C, et al.
Measurement and Interpretation of the Ankle-Brachial Index A Scientific Statement From
the American Heart Association. Circulation. 2012;126(24):2890-909.
13. Thendria T, Toruan IL, Natalia D. Hubungan Hipertensi dan Penyakit Arteri Perifer
Berdasarkan Nilai Ankle-Brachial Index. eJurnal Kedokteran Indonesia. 2014;2(1).
14. Powell TM, Glynn RJ, Buring JE, Creager MA, Ridker PM, Pradhan AD. The relative
importance of systolic versus diastolic blood pressure control and incident symptomatic
peripheral artery disease in women. Vascular Medicine. 2011;16(4):239-46.
15. Coffman JD, Eberhardt RT, Cannon CP. Peripheral Arterial Disease: Springer Science &
Business Media; 2003.
26
16. Li J, Luo Y, Xu Y, Yang J, Zheng L, Hasimu B, et al. Risk factors of peripheral arterial
disease and relationship between low ankle-brachial index and mortality from all-cause
and cardiovascular disease in Chinese patients with type 2 diabetes. Circulation Journal.
2007;71(3):377-81.
17. Eraso LH, Fukaya E, Mohler ER, Xie D, Sha D, Berger JS. Peripheral arterial disease,
prevalence and cumulative risk factor profile analysis. European journal of preventive
cardiology. 2014;21(6):704-11.
18. Epstein M, Sowers JR. Diabetes mellitus and hypertension. Hypertension.
1992;19(5):403-18.
19. Jude EB, Oyibo SO, Chalmers N, Boulton AJ. Peripheral Arterial Disease in Diabetic and
Nondiabetic Patients A comparison of severity and outcome. Diabetes care.
2001;24(8):1433-7.
20. Mann DL, Zipes DP, Libby P, Bonow RO. Braunwald's heart disease: a textbook of
cardiovascular medicine: Elsevier Health Sciences; 2014.
21. Hiatt WR. Atherosclerotic peripheral arterial disease. In: Arend WP, editors. Cecil
Medicine,23rd. New York: Elsevier; 2008.
22. Hirsch AT, Haskal ZJ, Hertzer NR, Bakal CW, Creager MA, Halperin JL, et al.
ACC/AHA 2005 practice guidelines for the Management of Patients with Peripheral
Arterial Disease (lower extremity, renal, mesenteric, and abdominal aortic): a
collaborative report from the American Association for Vascular Surgery/Society for
Vascular Surgery, Society for Cardiovascular Angiography and Interventions, Society for
Vascular Medicine and Biology, Society of Interventional Radiology, and the ACC/AHA
Task Force on Practice Guidelines (writing committee to develop guidelines for the
management of patients with peripheral arterial disease): endorsed by the American
Association of Cardiovascular and Pulmonary Rehabilitation; National Heart, Lung, and
Blood Institute; Society for Vascular Nursing; Transatlantic Inter-Society Consensus; and
Vascular Disease Foundation. Circulation. 2006;113(11):e463-654.
23. Rooke TW, Hirsch AT, Misra S, Sidawy AN, Beckman JA, Findeiss LK, et al. 2011
ACCF/AHA focused update of the guideline for the management of patients with
peripheral artery disease (updating the 2005 guideline): a report of the American College
of Cardiology Foundation/American Heart Association Task Force on Practice
Guidelines. Journal of the American College of Cardiology. 2011;58(19):2020-45.
24. Creager MA, Dzau VJ. Vascular diseases of the extremities. Harrisons Principles of
Internal Medicine. 2001;1:1434-42.
25. Norgren L, Hiatt WR, Dormandy Ja, Nehler MR, Harris KA, Fowkes FGR, et al. Inter-
society consensus for the management of peripheral arterial disease (TASC II). European
Journal of Vascular and Endovascular Surgery. 2007;33(1):S1-S75.
27

Anda mungkin juga menyukai