Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN KASUS

GENERAL ANESTESIA PADA TONSILEKTOMI


PADA PASIEN ASMA

Disusun oleh:
Putu Saraswati Yudana Putri 2065050078
Cintya Rambu Claudia Eda Ridja 2065050118

Dokter Pembimbing:
dr. Raden Doddy Timboel, M. Biomed, Sp. An

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI


PERIODE 11 APRIL – 30 APRIL 2022
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN
INDONESIA
JAKARTA
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “General Anesthesia pada Tonsilektomi pada
Penyakit Asma” dalam rangka pemenuhan tugas kepaniteraan klinik Ilmu Anestesi Fakultas
Kedokteran Universitas Kristen Indonesia.

Keberhasilan penyelesaian laporan kasus ini tidak lepas dari bantuan banyak pihak. Oleh
karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang setulus-
tulusnya kepada:

1. dr. Raden Doddy Timboel, M.Biomed, Sp.An., selaku pembimbing laporan kasus
yang telah bersedia meluangkan waktu memberikan bimbingan, arahan, dan masukan
kepada penulis dengan penuh kasih dan kesabaran, sehingga laporan kasus ini dapat
tersusun dengan baik.
2. Ibunda dan ayahanda penulis serta semua orang-orang terdekat penulis yang selalu
memberikan kasih sayang, semangat, doa, nasihat, saran, dan dukungan kepada
penulis baik secara moril ataupun materil.
3. Rekan-rekan kepaniteraan Anestesi FK UKI yang telah menjadi rekan belajar yang
baik.

Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan pihak-pihak lainnya

Jakarta, April 2022

Penulis
BAB l

LAPORAN KASUS

I.1 Identitas

Nama : Ny. S

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 32 tahun

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Agama : Islam

Alamat : Jalan Teratai Putih RT. 01/09 No.24 Malaka Sari

I.2 Anamnesis

Seorang pasien perempuan usia 32 tahun datang ke poli THT RSU UKI dengan keluhan
nyeri menelan sejak 1 bulan SMRS. Nyeri yang dirasakan oleh pasien hilang timbul. Nyeri
terutama dirasakan saat menelan makanan. Pasien belum melakukan apapun untuk
menghilangkan rasa nyeri tersebut dan pasien belum berobat ke dokter. Keluhan pasien
semakin berat Ketika pasien mengkonsumsi gorengan dan minuman dingin. Pasien juga
mengeluhkan rasa tidak enak di tenggorokan dan bau mulut. Sebelumnya pasien juga
mengeluhkan nyeri menelan disertai dengan sering demam, batuk, pilek dengan lendir bening
encer. 1 tahun yang lalu pasien juga mengalami keluhan serupa.
Keluhan lain, pasien tidur mengorok dan kambuh-kambuhan sejak 1 tahun yang lalu.
Pasien menyangkal adanya batuk, pilek, gatal-gatal dan bersin di pagi hari, trauma hidung,
pemakaian obat tetes hidung dalam jangka waktu lama, mimisan, nyeri wajah, dan demam.
a. A (allergies)

Pasien memiliki riwayat asma (terakhir serangan 6 bulan yang lalu).

b. M (medication)

Pasien tidak mengkonsumsi seratide inhaler setiap serangan asma

c. P (past medical history)


Riwayat penyakit sistemik (Hipertensi)  : (-)
Riwayat penyakit sistemik     : (-)
Riwayat TB paru   : (-)
Riwayat mengalami sakit serupa sebelumnya: (-)
Riwayat operasi sebelumnya    : (+)

d. L (last meal)

Pasien puasa 6 jam sebelum operasi

e. E (elicit history)

Seorang pasien perempuan usia 32 tahun datang ke Poli RSU UKI dengan keluhan
nyeri pada tenggorokan yang hilang timbul tidak menentu sejak kurang lebih 2 bulan
sebelum masuk rumah sakit. Nyeri bersifat tajam namun tidak menjalar. 

I.3 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran : Composmentis
Vital Sign : TD: 120/69 mmHg ; N: 69x/menit; RR: 23x/menit; T: 36,5 C
Kepala : Konjungtiva pucat (-), sklera ikterik (-), dispneu (-),
pernapasan cuping hidung (-)
Telinga : CAE lapang, secret (-/-)
Hidung : Deviasi septum nasi (-), secret (-/-)
Tenggorokan : Lidah di tengah, Tonsil T3-T3, hiperemis, kripta melebar dan
detritus (+/+)
Leher : Retraksi sela iga (-), peningkatan JVP (-), pembesaran
kelenjar limfe (-)
Thorax
Paru
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, tidak ada retraksi sela iga
Palpasi : VF simetris kanan dan kiri
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), Wheezing(-/-), Rhonki (-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Redup
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II murni reguler, Murmur (-), Gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Tampak mendatar
Auskultasi : Bising usus (+), 5x/menit
Perkusi : Timpani, nyeri ketuk (-), nyeri tekan (-)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-)
Ekstremitas : Akral hangat kanan dan kiri, CRT <2”, edema -/-/-/-
ekstremitas -/-/-/-, nyeri (-)
I.4 Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium (6/04/2022)


Hematologi

Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

Hemoglobin 12,8 g/dl 12-14

Leukosit 6.100 uL 5000 – 10000

Trombosit 279.000 uL 150.000 – 450.000

Hematokrit 38,9 % 40-48

Hemostasis
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Masa Pendarahan 1 menit 1–3

Masa Pembekuan 13 menit 10 – 16

Kimia Klinik

Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

Gula Darah Sewaktu 105 mg/dl < 200


2. Radiologi
Foto Thorax normal
3. EKG
Normal sinus rythm

I.5 Diagnosis

Tonsilitis Kronik

1.6 Terapi

Pro Tonsilektomi

1.7 Konsul Terapi

Seorang perempuan 32 tahun dengan diagnosis Tonsilitis Kronik akan dilakukan


tindakan operasi tonsilektomi pada tanggal 18/04/2022

Kegawatan bedah : (-)

Derajat ASA :2

Rencana tindakan anestesi : General anestesi

A. Rencana Anestesi

1. Persiapan operasi

 Persetujuan operasi tertulis (+)


 Puasa 6 jam sebelum operasi (+)
2. Jenis Anestesi

General anestesi
3. Premedikasi

Dexamethasone

4. Obat

 Fentanyl 100 mcg dan 25 mcg, Propofol 20 mg dan 20 mg, Roculax 30 mg


dan 10 mg, Ondancentron 8 mg, Atropin Sulfat 0,25 mg, Paracetamol 1 gr,
Asam Traneksamat 500 mg.
 Cairan:
Input: preanestesi RL 500 ml, intraanestesi RL 500 ml
5. Monitoring
 Vital sign selama operasi setiap 5 menit, cairan, perdarahan, dan produksi
urin
6. Perawatan pasca anestesi di ruang pulih sadar / ruang pindah

7. Transfusi sebelumnya

 Pasien tidak memiliki riwayat transfusi sebelumnya


B. Tindakan Anestesi

Di ruang pre – operasi


 Cek persetujuan operasi dan identitas pasien
 Pakaian pasien diganti pakaian operasi
 Pemeriksaan tanda-tanda vital
 Lama puasa ≥ 6 jam
Di ruang OK
 Cek obat dan alat anestesi
 Posisi pasien terlentang
C. Teknik Anestesi

General anestesi dengan intubasi pemasangan pipa endotrakeal nomor 7

D. Post Operasi

Intruksi pasca anestesi:


 Pasien dirawat di ruang pindah dalam posisi supine. Setelah pemulihan
pasca anestesi pasien di rawat di bangsal sesuai dengan bagian operator.
Setelah pasien sadar, pasien dipindahkan ke ruangan Melati.
 Infus RL 1000 ml
 Kontrol tanda-tanda vital, target tekanan darah MAP > 65, nadi 60-90
kali/menit
 Paracetamol 3x500 mg
 O2 nasal 2 lpm
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II. 1. DEFINISI

Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian daricincin Waldeyer.
Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga mulut
yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal
lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring atau Gerlach’s tonsil) (Soepardi,
2007). Sedangkan menurut Reeves (2001) tonsilitis merupakan inflamasi atau pembengkakan
akut pada tonsil atau amandel.

II. 2. ETIOLOGI

A. Tonsillitis bakterialis supuralis akut paling sering disebabkan olehstreptokokus beta


hemolitikus group A, Misalnya: Pneumococcus, staphylococcus, Haemalphilus influenza,
sterptoccoccus nonhemoliticus atau streptoccus viridens.

B. Bakteri merupakan penyebab pada 50% kasus. Antara lainstreptococcus B hemoliticus


grup A, streptococcus,Pneumoccoccus,Virus, Adenovirus, Virus influenza serta herpes.

C. Penyebabnya infeksi bakteri streptococcus atau infeksi virus. Tonsil berfungsi membantu
menyerang bakteri dan mikroorganisme lainnyasebagai tindakan pencegahan terhadap
infeksi. Tonsil bisa dikalahkanoleh bakteri maupun virus, sehingga membengkak dan
meradang,menyebabkan tonsillitis.

Faktor presdiposisi: Beberapa faktor predisposisi timbulnya kejadian Tonsilitis Kronis, yaitu:

 Rangsangankronis (rokok, makanan)

 Higiene mulut yang buruk

 Pengaruhcuaca (udaradingin, lembab, suhu yang berubah- ubah)

 Alergi (iritasi kronis dari allergen)

 Keadaan umum (kuranggizi, kelelahan fisik)

II. 3. PATOFIOSIOLOGI
Saat bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut,amandel berperan sebagai
filter, menyelimuti organism yang berbahaya tersebut sel-sel darah putih ini akan
menyebabkan infeksi ringan pada amandel.Hal ini akan memicu tubuh untuk membentuk
antibody terhadap infeksi yang akan datang akan tetapi kadang-kadang amandel sudah
kelelahan menahan infeksi atau virus.Infeksi bakteri dari virus inilah yang menyebabkan
tonsillitis.

Bakteri atau virus menginfeksi lapisan epitel tonsil-tonsil epitel menjadikan terkikis dan
terjadi peradangan serta infeksi pada tonsil.Infeksi tonsil jarang menampilkan gejala tetapi
dalam kasus yang ekstrim pembesaran ini dapat menimbulkan gejala menelan.Infeksi tonsil
yang ini adalah peradangan di tenggorokan terutama dengan tonsil yang abses
(absesperitonsiler). Abses besar yang terbentuk dibelakang tonsil menimbulkan rasa sakit
yang intens dan demam tinggi (39C-40C). Abses secara perlahan-lahan mendorong tonsil
menyeberang ke tengah tenggorokan. Dimulai dengan sakit tenggorokan ringan sehingga
menjadi parah, pasien hanya mengeluh merasa sakit tenggorokannya sehingga berhenti
makan.

Tonsilitis dapat menyebabkan kesukaran menelan,panas,bengkak,dan kelenjar getah bening


melemah didalam daerah submandibuler, sakit pada sendi dan otot,kedinginan, seluruh tubuh
sakit,sakit kepala dan biasanya sakit pada telinga.Sekresi yang berlebih membuat pasien
mengeluh sukar menelan,belakang tenggorokan akan terasa mengental.Hal-hal yang tidak
menyenangkan tersebut biasanya berakhir setelah 72 jam.

II. 4. MANIFESTASI KLINIS


Pada umumnya penderita sering mengeluh oleh karena serangan tonsilitis akut yang berulang
ulang, adanya rasa sakit (nyeri) yang terus-menerus pada tenggorokan (odinofagi), nyeri
waktu menelan atau ada sesuatu yang mengganjal di kerongkongan bila menelan,terasa
kering dan pernafasan berbau.

Gejala umum yang dikeluhkan:

Nyeri seringkali dirasakan di telinga (karena tenggorokan dan telinga memiliki persyarafan
yang sama). Demam, tidak enak badan, sakit kepala, muntah, pasien mengeluh ada
penghalang di tenggorokan, tenggorokan terasa kering, pernafasan bau, pada pemeriksaan
tonsil membesar dengan permukaan tidak rata, kriptus membesar dan terisi detritus, tidak
nafsu makan, mudah lelah, nyeri abdomen, pucat, letargi, nyeri kepala, disfagia (sakit saat
menelan), mual dan muntah.

II. 5. TONSILEKTOMI

Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil palatina.


Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan jaringan limfoid di nasofaring
yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal. Menurut The American Academy of
Otolaryngology Head and Neck Surgery Clinical Indicators Compendium tahun 1995
menetapkan indikasi tonsilektomi:

1.Indikasi Absolute

- Tonsil yang besar sehingga mengakibatkan gangguan pernapasan, nyeri telan yang berat,
gangguan tidur atau komplikasi penyakit-penyakit kardiopulmonal

- Abses peritonsiler yang tidak menunjukkan perbaikan dengan pengobatan

- Tonsilitis yang mengakibatkan kejang demam

- Tonsil yang diperkirakan memerlukan biopsy jaringan untuk menentukan gambaran


patologis jaringan

2. Indikasi Relatif

- Jika mengalami tonsilitis 3 kali atau lebih dalam satu tahun dan tidak menenjukkan respon
sesuai harapan dengan pengobatan medikamentosa yang memadai

- Bau mulut atau bau napas tak sedap yang menetap pada tonsilitis kronis yang tidak
menunjukkan perbaikan dengan pengobatan
- Tonsilitis kronis atau tonsilitis berulang yang diduga sebagai carrier kuman Streptokokus
yang tidak menunjukkan respon positif terhadap pengobatan dengan antibiotika

- Pembesaran tonsil di salah satu sisi (unilateral) yang dicurigai berhubungan dengan
keganasan (neoplastic)

Kontraindikasi:

Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi, namun bila sebelumnya
dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap memperhitungkan imbang “manfaat
dan risiko”. Keadaan tersebut adalah: 1. Gangguan perdarahan, Hipertensi 2. Risiko anestesi
yang besar atau penyakit berat 3. Anemia 4. Infeksi akut yang berat 5. Demam, albuminuria.

Kontraindikasi absolute:

a. Penyakitdarah: leukemia, anemia aplastik, hemofiliadanpurpura b. Penyakitsistemik yang


tidakterkontrol: diabetes melitus, penyakitjantungdansebagainya.

Kontraindikasi relatif

a. Anemia (Hb < 10 gr/dL atau Ht < 30%)

b. Infeksi akut saluran napas atau tonsil (tidak termasuk abses peritonsiler)

c. Poliomielitisepidemik

d. Usia di bawah 3 tahun (sebaiknya ditunggu sampai 5 tahun)

II. 6. GENERAL ANESTESI PADA PENYAKIT ASMA

Pada pasien dengan serangan asma akut, nilai PaCo2 yang normal ataupun tinggi
mengindikasikan pasien tidak dapat mempertahankan pernapasannya dan sering kali menjadi
pertanda kegagalan pernapasan. Pulsus paradoxus dan tanda EKG dari ventrikuler kanan
(segemen ST berubah, deviasi axis kanan dan RBBB) juga merupakan indikasi obstruksi
jalan napas yang parah.

A. Faktor Risiko Pernapasan

Faktor Risiko terkait Pasien Faktor Risiko terkait Prosedur


Didukung oleh Bukti Kuat 1. Aneurisma aorta
1. Usia tertentu 2. Operasi thoraks
2. ASA > 2 3. Operasi abdominal bagian atas
3. Gagal jantung kongestif 3. Neurosurgery
4. Ketergantungan fungsional 4. Operasi yang diperpanjang
5. Penyakit paru obstruksi kronik 5. Operasi kepala dan leher
6. Operasi darurat
7. Operasi pembuluh darah
8. Penggunaan general anestesi
Didukung oleh bukti yang sedang 1. Transfusi perioperatif
1. Penurunan berat badan
2. Impaired sensorium
3. Penggunaan rokok
4. Penggunaan alcohol
5. Hasil pemeriksaan dada yang abnormal
Bukti yang menentang faktor Risiko 1. Operasi pinggang
1. Asma yang terkontrol 2. Operasi ginekologi atau genitourinari
2. Obesitas
Data tidak cukup 1. Operasi esofagus
1. Obstructive sleep apnea
2. Kapasitas latihan yang rendah

Diagnosis dapat ditegakkan dengan mengevaluasi pasien.


B. PERTIMBANGAN PREOPERATIF

Asma merupakan kelainan yang banyak dijunpai, menyerang 5% sampai 7% populasi.


Karakteristik primer dari asma adalah inflamasi jalan napas (bronchiolar) dan hiperaktivitas
terhadap respon pada berbagai stimulus. Secara klinik, asma bermanifestasi dengan episode
serangan dispneu, batuk dan mengi. Obstruksi jalan napas, yang mana secara umum
reversible, merupakan hasil dari konstriksi otot polos bronchial, edema, dan peningkatan
sekresi. Secara klasik, obstruksi ini dipengaruhi oleh berbagai substansi di udara, termasuk
serbuk bunga, bulu hewan, debu, polutan, dan berbagai kimia lainnya. Beberapa pasien
mengalami bronkospasme ketika mengonsumsi aspirin, NSAID, suflat atau komponen
lainnya. Olahraga, udara dingin, emosi yang terlalu bersemangat, dan infeksi virus juga dapat
menyebabkan bronkospasme pada banyak pasien. Asma di klasifikasikan secara akut dan
kronik. Asma kronik diklasifikasikan lebih jauh lagi menjadi intermitten dan ringan, sedang
dan persisten berat.

Isitlah asma alergik (serangan berhubungan dengan eksposure lingkungan) dan asma
idiopatik (serangan biasanya muncul tanpa provokasi) digunakan dulu, tetapi klasifikasi
tersebut tidak sempurna; banyak pasien menunjukkan gejala dari kedua bentuknya. Lebih
jauh lagi, overlap dengan bronchitis kronik juga umum terjadi.
C. PATOFISIOLOGI

Patofisiologi asma melibatkan berbagai mediator lokal di jalan napas dan


kemungkinan aktivitas berlebihan dari saraf parasimpatis. Alergen diinhalasi dapat
menyebabkan bronkospasme melalui mekanisme imun spesifik dan non spesifik dengan
degranulasi sel mast bronkus. Bronkokonstriksi merupakan hasil dari pelepasan histamin,
bradykinin, leukortine C, D, dan E, faktor aktiviasi platelet, prostaglandin dan neutrophil.
Aferen vagal pada bronchus sensitif pada histamin dan stimulus multiple, termasukudara
dingin, iritan yang terinhalasi, dan instrument. Pengaktivan refleks vagal merupakan hasil
dari bronkokonstriksi, yang dimediasi oleh peningkatan cGMP.

Selama serangan asma, bronkokosntriksi, edema mukosa, dan peningkatan sekresi.


Setelah serangan berkurang, resistensi jalan napas akan semakin normal, pertama dari jalan
napas yang besar sampai ke perifer. Pada pasien dengan serangan asma akut, nilai PaCO 2
yang normal ataupun tinggi mengindikasikan pasien tidak dapat mempertahankan
pernapasannya dan sering kali menjadi pertanda kegagalan pernapasan. Pulsus paradoxus dan
tanda EKG dari ventrikuler kanan (segemen ST berubah, deviasi axis kanan dan RBBB) juga
merupakan indikasi obstruksi jalan napas yang parah.

Elastic recoil paru berkurang bersama-sama dengan aktifitas persisten dari otot
inspirasi dan ekspirasi. Tekanan alveolar tetap positif hingga akhir ekspirasi; fenomena ini
dikenal sebagai tekanan akhir ekspirasi positif intrinsik/auto (intrinsic/ auto Positive End
Expiration Pressure, PEEP), yang dapat menyebabkan kompresi dinamik dari jalan napas
distal. Frekuensi ekspirasi paksa (Forced Expiration Volume, FEV) dan kapasitas vital (Vital
Capacity, VC) berkurang. Terperangkapnya udara menyebabkan peningkatan Functional
Recidual Capacity (FRC) sehingga kapasitas paru total dan usaha pernapasan meningkat.
Hiperinflamasi memperburuk fungsi otot-otot respiratorik. Resistensi vaskular paru
meningkat, dan curah jantung menurun. Hal ini akan memburuk bila pasien mengalami
hipovolemik.

D. PENGARUH ANESTESI PADA RESPIRASI

Efek penekanan dari obat anestetik dan pelumpuh otot lurik terhadap respirasi telah
dikenal sejak dahulu ketika kedalaman, karakter, dan kecepatan respirasi diterima sebagai
tanda klinis yang bermanfaat terhadap kedalaman anestesia. Zat-zat anestetik intravena dan
bersifat abar (volatil) serta golongan opioid menekan pernapasan dan menurunkan respons
terhadap CO2. Respons ini tidak seragam; golongan opioid mengurangi laju pernapasan
sedangkan zat abar trikloretilen meningkatkan laju pernapasan. Hiperkapnia atau hiperkarbia
(tekanan parsial karbon dioksida dalam darah arteri, PaCO2 meningkat) akan merangsang
kemo-reseptor di badan aorta dan karotis kemudian diteruskan ke pusat napas sehingga
terjadi pernapasan dalam dan cepat (hiperventilasi). Sebaliknya, hipokapnia atau hipokarbia
(PaCO2 menurun) akan menghambat kemoreseptor di badan aorta dan karotis kemudian
diteruskan ke pusat napas sehingga terjadi napas dangkal dan lambat (hipoventilasi).

Induksi anestesia akan menurunkan kapasitas sisa fungsional (Functional Recidual


Volume, FRC), mungkin akibat pergeseran diafragma ke atas pada pemberian pelumpuh
otot.8 Pada perokok berat lapisan mukosa jalan napas mudah terangsang, produksi lendir
meningkat, kandungan HbCO darah sampai kira-kira 10%, dan kemampuan Hb mengikat O2
menurun sampai 25%. Nikotin akan menyebabkan takikardia dan hipertensi.

E. PERTIMBANGAN ANESTESI PREOPERATIF

Pengelolaan pasien dengan penyakit asma selama pembedahan membutuhkan


penanganan khusus berdasarkan pemeriksaan klinis dan laboratorium yang saksama untuk
mengurangi komplikasi selama dan pasca pembedahan. Masalah paru merupakan penyebab
umum morbiditas dan mortalitas selama pembedahan. Komplikasi terjadinya atelektasis atau
pneumonia pada pasien dengan fungsi paru normal pada preoperasi hanya 3%, sedangkan
pasien yang memiliki perubahan fungsi paru berpeluang mengalami komplikasi sebesar 70%.
Shnider dan Papper serta Gold dan Helrich melaporkan bahwa bronkospasme yang terjadi
selama operasi ± 6% dari pasien asma.

Sebelum dilakukan anestesia dan operasi elektif pada pasien dengan riwayat asma
terlebih dahulu harus dikontrol keadaan asmanya apakah pasien sedang atau tidak menderita
infeksi atau serangan asma. Anestesia konduksi yang dikombinasikan dengan sedatif
intravena (diazepam dosis kecil) merupakan pilihan yang lebih baik daripada anestesia saja
atau anestesia umum. Asma sedang sampai berat perlu diobati dahulu dengan aminofilin
intravena, terbutalin (0,25 mg), atau keduanya.

Pada pasien asma yang memerlukan anestesia umum dan intubasi trakeal harus
dipertimbangkan adanya peningkatan resiko terjadinya bronkospasme saat anestesia.
Bronkospasme selama pembedahan ditandai dengan wheezing, penurunan volume tidal
ekshalasi, atau suatu kenaikan lambat dari gelombang dikapnograf. Penurunan diameter jalan
napas yang disebabkan bronkokontriksi yang berat dapat mempengaruhi distribusi gas dalam
paru. Hal yang paling penting pada pasien yang dianestesia yaitu meningkatkan konsentrasi
gas oksigen inspirasi sampai 100% pada saat terjadi bronkospasme. Pada akhir pembedahan
pasien harus telah bebas wheezing. Obat reverse pelumpuh otot nondepolarisasi dan
antikolinesterase tidak akan menimbulkan brokospasme bila diberikan dalam dosis terapeutik
yang tepat. Untuk mengurangi resiko terjadinya bronkospasme pada anestesia yaitu dengan
menghindari endotracheal tube dan penggunaan anestesia inhalasi. Pemberian bronkodilator
melalui nebulator atau sungkup muka pasca pembedahan harus sesegera mungkin.

Pasien asma dengan bronkospasme yang aktif ketika operasi harus ditatalaksana
secara agresif. Supplemental oksigen, B2-agonis aerosol, dan glukokortikoid intravena dapat
mengimprovisasi fungsi paru secara dramatic dalam beberapa jam. Analisis gas darah dapat
berguna untuk mengevaluasi keparahan dan pengobatan yang adekuat. Hipoksemia dan
hiperkapnia merupakan tipikal penyakit yang parah atau sedang, bahkan sedikitnya
hiperkapnia diindikasikan adanya udara yang terjebak secara parah dan mungkin menjadi
tanda dari kegagalan respirasi.

Agen antikolinergik tidak diberikan secara rutin kecuali ditemukan sekresi atau jika
Ketamine digunakan untuk induksi anestesi. Pada dosis intramuscular, antikolinergik tidak
efektif dalam mencegah refleks bronkospasme karena intubasi. Penggunaan agen H2-bloking
(seperti cimetidine, ranitideine, atau famotidine) secara teori merugikan, karena aktivasi H2-
reseptor normalnya membuat bronkodilatasi, pada kejadian pelepasan histamin, aktivasi H1
tanpa hambatan dengan H2 blokade dapat menonjolkan bronkokonstriksi.

Bronkodilator harus dilanjutkan selama operasi, termasuk B-agonis, glukokortikoid


inhalasi, modifikasi leukotriene, stabilisasi sel mast, teophiline, dan antikolinergik. Pasien
yang mendapat terapi glukokortikoid kronik lebih dari 5 mg per hari dari Prednisode (atau
ekuivalen nya) harus menerima jadwal suplemen berdasarkan tingkat keparahan penyakit dan
kompleksitas dari prosedur operasi. Dosis suplementasi harus di tapering selama 1 sampai 2
hari.

F. MANAGEMENT INTRAOPERATIF

Waktu yang paling kritis pada pasien asma ketika dilakukan anestesi adalah ketika
instrumentasi jalan napas. Anestesi general dengan ventilasi non-invasif atau regional
anestesia akan mengurangi masalah ini, tetapi tidak mengeliminasi kemungkinan dari
bronkospasme. Pada kenyataannya, beberapa klinisi percaya bahwa anestesi spinal atau
peidural dapat memperberat bronkokonstriksi dengan memblokir saraf simpatis ke jalanan
napas bagian bawah (T1-T4) dan memungkinan aktivitas parasimpatis tanpa lawan.
Pada keadaan yang memerlukan anaestesia umum, diberikan premedikasi dengan
antihistamin seperti prometazin bersama hidrokortison 100 mg. Tujuan anestesia umum yaitu
smooth induction dan kedalaman anestesia disesuaikan dengan stimulasi. Laringoskopi dan
intubasi dihindari pada anestesia yang dangkal karena dapat menyebabkan bronkospasme.
Peningkatan suara napas oleh stimulasi vagal disebabkan oleh endoskopi, dan peritoneal atau
visceral stretch. Ketamin cukup baik untuk induksi intravena karena bersifat bronkodilator.
Untuk tindakan singkat, sebaiknya digunakan teknik masker wajah setelah induksi dengan
menghindari intubasi. Oksigen digunakan dengan konsentrasi 30% atau lebih untuk udara
inspirasi.

Bagan perbandingan onset bronkospasme

Pilihan agen induksi kurang penting jika kedalaman anestesi dicapai sebelum intubasi
atau stimulasi operasi. Thiopental dapat menginduksi bronkospasme sebagai hasil dari
pelepasan histamin. Propofol dan etomidate cocok menjadi agen induksi, propofol mungkin
dapat membuat bronkodilatasi. Ketamin memiliki efek bronkodilatasi dan merupakan pilihan
yang baik untuk pasien dengan asma yang juga memiliki hemodinamik yang tidak stabil.
Ketamine lebih baik dihindarkan pada pasien yang memiliki level theophilin yang tinggi,
seperti kombinasi 2 obat dapat meningkatkan aktivitas kejang. Sevoflurane biasanya
memberikan induksi inhalasi paling halus dengan bronkodilatasi pada asma. Isoflurane dan
desflurane lebih menyengat dan menyebabkan batuk. Laringospasme dan bronkospasme
selama induksi inhalasi.

Refleks bronkospasme bisa tidak ada sebelum intubasi karena dosis agen induksi,
ventilasi pasien 2-3 MAC dari agen volatile selama 5 menit, atau administrasi intravena atau
intratrakeal lidokain (1-2 mg/kg). Intratrakeal likodain dapat merangsang bronkospasme jika
dosis agen induksinya tidak adekuat. Pemberian antikolinergik dapat memblokir refleks
bronkospasme, tetapi dapat menyebabkan takikardi. Meskipun succinylcholine dapat
menginduksi pelepasan histamin, tetapi secara umum aman digunakan pada pasien asma.
Ketiadaan capnografi, konfirmasi penempatan intubasi trakea melalui auskultasi dapat sulit
karena adanya bronkospasme.

Bronskospasme intraoperative baisanya bermanifestasi sebagai wheezing,


peningkatan tekanan jalan napas (tekanan plateau dapat tidak berubah), penurunan tidak
volume ekspirasi atau peningkata perlahan dari gelombang pada capnograph. Hal lain yang
bisa menstimulasi bronkospasme: obstruksi trakea, sekresi, atau balon yang terlalu
mengembang, intubasi bronkial, adanya tahanan ketika di intubasi, edema paru atau
embolisme, dan penumothoraks. Bronkospasme harus ditatalaksana dengan menigkatkan
konsentrasi agen anestesi dan memberikan bronkodilator aerosol. Infus epinefrin dosis rendah
dapat diperlukan.

Hidrokortison intravena dapat diberikan, biasanya pada pasien dengan riwayat terapi
glukokortikoid. Ketika operasi sudah selsai, seharusnya pasien sudah tidak mengi lagi.
Ekstubasi dalam (sebelum kembalinya refleks jalan napas) mengurangi risiko bronkospasme.
Lidokain dalam bolus (1,5-2 mg/kg) dapat menolong refleks jalan napas.
Managemen pasien yang mengalami bronkospasme selama anestesi umum

G. MANAGEMENT PASCAOPERATIF

Pemberian bronkodilator dilanjutkan sesegera mungkin pada pasca-operatif melalui


nebulator atau sungkup muka hingga pasien mampu menggunakan MDI sendiri secara benar.
Kategori pasien yang memperoleh manfaat terapi MDI bila memenuhi kriteria sebagai
berikut: frekuensi pernapasan 15 ml/kg BB, mampu berkomunikasi verbal dan mengikuti
instruksi, koordinasi tangan-mulut, inspirasi memadai, PEFR ≥150 L/menit untuk perempuan
dan >200 L/menit untuk laki-laki.

Reversal pemblok neuromuskular nondepolarisasi dengan antikolinesterase tidak


menimbulkan bronkospasme bila diberikan dosis antikolinergik yang tepat. Obstruksi jalan
napas, laringospasme, bronkospasme, ventilasi yang rendah, dan hipoksemia merupakan
ancaman utama. Pasien yang teridentifikasi berisiko tinggi perlu dimasukkan ke unit
monitoring pasca-operatif agar fisioterapi dada dan suction dapat dilakukan. Penanganan
nyeri pasca-operatif perlu diatasi untuk menurunkan kejadian bronkospasme. Parameter
respirasi yang harus dinilai pasca-anestesia yaitu suara napas paru harus sama di kedua paru,
frekuensi napas 10-35 x/menit, irama napas teratur, volume tidal minimal 4-5 ml/kg BB,
kapasitas vital 20-40 ml/kg BB, inspirasi paksa -40 cm H2O, PaO2 pada FiO2 30% 100 mm
Hg, dan PaCO2 30-45 mm Hg.
BAB III

ANALISIS KASUS

III. 1. ANALISIS KASUS

Pasien dengan diagnosis Tonsilitis Kronik dilakukan anestesia general, hal ini
dikarenakan pasien memiliki riwayat asma dengan bronkospasme tidak aktif sehingga pasien
termasuk dalam ASA II yang merupakan salah satu indikasi dilakukannya anestesi general.

Pasien mengeluh adanya nyeri tenggorokan sejak 1 bulan yang lalu. Nyeri dirasakan
Ketika pasien menelan makanan dan memperberat Ketika pasien makan gorengan dan
minuman dingin dan akan dilakukan tindakan operasi tonsilektomi pada tanggal 18 April
2022.Pasien memiliki riwayat sakit asma. BAK dan BAB dalam batas normal. Demam,
batuk, dan pilek disangkal.

Operasi dilakukan dengan anestesi general dan operasi berakhir pada jam 14.15 dengan
tanda-tanda vital:

 Tekanan Darah : 115/65 mmHg


 Nadi : 69 x/menit
 Pernafasan : 20 x/mnt
 SpO2 : 100%

Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien termasuk
dalam ASA II.

Pra-Operatif

Sebelum dilakukan operasi pasien dipuasakan selama 6 jam. Tujuan puasa untuk
mencegah terjadinya aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau muntah pada saat
dilakukannya tindakan anestesi akibat efek samping dari obat-obat anastesi yang diberikan
sehingga refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Pasien juga mendapatkan
obat premedikasi yaitu Dexamethasone.

Ranitidine digunakan untuk pencegahan aspirasi cairan lambung dengan menurunkan


volume cairan lambung dan meningkatkan pH cairan lambung.
Pasien diberikan RL 500 ml untuk menggantikan kehilangan cairan selama puasa 6
jam, namun berdasarkan perhitungan defisit cairan puasa, pasien kehilangan cairan 780 ml.
Sehingga cairan yang diberikan pada praoperatif belum mencukupi penggatian cairan yang
hilang selama puasa.

Defisit Cairan Puasa = Lama Puasa x Maintance (2cc/kgBB/jam)

= 8 x 130 ml

= 780 ml

Intra-Operatif

Anestesi yang dipakai pada operasi ini adalah anestesi general. Obat anestesi general
dimasukkan melalui intravena. Obat anestesi yang digunakan yaitu Propofol 100 mg.

Propofol pada anestesi umum difasilitasi oleh pengikatan reseptor GABA A yang
dimediasi oleh neurotransmisi. Propofol secara alosterik meningkatkan daya ikat reseptor
GABAA terhadap GABA. Reseptor ini, seperti yang telah disebutkan, berpasangan pada
gerbang klorida dan teraktivasinya reseptor ini akan menyebabkan hiperpolarisasi dari
membran saraf. Propofol (seperti kebanyakan obat anesthesia) berikatan dengan beberapa
gerbang ion dan reseptor-reseptor. Dosis induksi adalah 1 – 2,5 mg/kg secara intravena.

Fentanyl merupakan obat antinyeri golongan opioid yang bekerja dengan cara
memblokir sinyal rasa sakit pada sel saraf yang menuju otak, dosis intraoperatif adalah 2 – 50
mcg/kg secara intravena.

Rocuronium tidak di metabolisme dan dieliminasi awal di hati dan sedikit di ginjal.
Durasi kerjanya tidak secara signofikan berefek pada penyakti ginjal, tetapi biasanya
diperpanjang jika pasien menderika gagal hati kronik dan kehamilan. Karena Rocuronium
tidak memiliki metabolisme aktif, maka menjadi pilihan lebih baik dari vecuronium pada
pasien yang membutuhkan perpanjangan perawatan. Rocuronium memiliki potensi yang
kruang dari pelumpuh otot steroid lainnya. Dia membutuhkan 0,45-0,9 mg/kg secara IV
untuk itubasi dan 0,15 buntuk bolus maintenance.

Sulfat Atropin merupakan amida ketiga. Sebagai premedikasi atropine diberikan secara
intravena atau intramuscular pada rentang 0,01-0,02 mg/kg dan pada dosis orang dewasa 0,4-
0,6 mg. Dosis yang lebih besar pada IV mencapai 2 mg dibutuhkan untuk nervus vagal
kardiak pada penatalaksanaan bradikardia berat.
Asam tranexamat 500 mg merupakan obat antifibrinolitik untuk mencegah terjadinya
perdarahan yang menyebabkan masalah pada hemodinamik. Dosis yang diberikan pada
pasien belum sesuai dengan dosis anjuran Dosis anjuran asam tranexamat untuk dewasa yaitu
1 g bolus 100 mL normal saline dengan pemberian lambat selama 10 menit.

Kebutuhan Cairan Intraoperasi = Maintanance (M)

M: 2 cc/kgBB/jam

Pasien ini di berikan RL 500 ml jika berdasarkan perhitungan penggantian cairan belum
mencukupi total kebutuhan cairan pasien, sehingga pada menit ke-40 setelah diinduksi pasien
mengalami penurunan tekanan darah itu menandakan bahwa penggantian cairan belum
seimbang antara output dan intake dan juga untuk data output (urin, darah) pasien ini tidak
dicantumkan jadi untuk penentuan kebutuhan cairan yang sebenarnya sulit untuk dilakukan.

Pasca-Operatif

Setelah operasi pasien diberikan paracetamol 1 gr sebagai analgetik yang merupakan


obat golongan AINS non selektif yang dapat menghambat enzim siklooksigenase 1 dan 2
sehingga produksi prostaglandin (PGE2) dan prostasiklin (PGI2) yang merupakan mediator
inflamasi dapat menurun.

Pasien keluar dari recovery room dan dipindahkan ke ruang perawatan pukul 15.00
WIB dengan Skor Aldrette pasca anestesi 10.
BAB IV

KESIMPULAN

Seorang perempuan usia 32 tahun dengan diagnosis Tonsilitis Kronik akan dilakukan
tindakan operasi tonsilektomi pada tanggal 18 April 2022. Jenis anestesi yang digunakan
adalah dengan teknik general anestesi. Hal ini dipilih karena keadaan pasien sesuai dengan
indikasi general anestesi.

Evaluasi pre operasi pada pasien dalam batas normal. Tidak ditemukan kelainan lain
yang menjadi kontraindikasi dilakukannya general anestesi.

Berdasarkan klasifikasi status fisik pasien pra-anestesi menurut American Society of


Anesthesiologist, pasien digolongkan dalam ASA II. Di ruang pemulihan (recovery room)
vital sign pasien dalam batas normal sehingga pasien bisa dipindahkan ke bangsal.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai