Anda di halaman 1dari 30

MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN TONSILEKTOMI

Disusun oleh :
Shanaz Tasha Lamonda Aodah

Pembimbing :

Dr. Benny Chairuddin, Sp.An,M.Kes


Dr. Irfan Aditya Atmaja

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ANESTESI


PERIODE 12 OKTOBER 7 NOVEMBER 2015
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SIAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ABDURRAB

BAB I
PENDAHULUAN
Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan
meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang mengalami pembedahan,
pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi dan
penanggulangan nyeri menahun. Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu
operasi terdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari
persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan persiapan
pada pada hari operasi. Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi,
masa anestesi dan pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca anestesi1,2,3.
Tonsilitis kronis merupakan peradangan kronik pada tonsil yang biasanya merupakan
kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari tonsil.Pada tonsillitis kronis,
ukuran

tonsil

dapat

membesar

sedemikian

sehingga

disebut

tonsillitis

kronis

hipertrofi.Mengingat dampak yang ditimbulkan makatonsilitis kronis hipertrofi yang telah


menyebabkan sumbatan jalan napas harus segera ditindak lanjuti dengan pendekatan operatif
tonsilektomi4,5 Tonsilektomi yang didefinisikan sebagai metode pengangkatan tonsil berasal
dari bahasa latin tonsilia yang mempunyai arti tiang tempat menggantungkan sepatu serta dari
bahasa yunani ectomy yang berarti eksisi. Beragam teknik tonsilektomi terus berkembang
mulai dari abad 21 diantaranya diseksi tumpul, eksisi guillotine, diatermi monopolar dan
bipolar, skapel harmonik, diseksi dengan laser dan terakhir diperkenalkan tonsilektomi
dengan coblation. Adapun teknik yang sering dilakukan adalah diseksi thermal menggunakan
elektrocauter.
Pemilihan jenis anestesi untuk tonsilektomi ditentukan berdasarkan usia pasien,
kondisi kesehatan dan keadaan umum, sarana prasarana serta keterampilan dokter bedah,
dokter anestesi dan perawat anestesi. Di Indonesia, tonsilektomi masih dilakukan di bawah
anestesi umum, teknik anestesi lokal tidak digunakan lagi kecuali di rumah sakit pendidikan
dengan tujuan untuk pendidikan.
Mengingat tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi
umum maupun lokal, komplikasi yang ditimbulkannya merupakan gabungan komplikasi
tindakan bedah dan anestesi. Komplikasi terkait anestesi terjadi pada 1:10.000 pasien yang
menjalani tonsilektomi. Komplikasi ini terkait dengan keadaan status kesehatan pasien.
2

Adapun komplikasi yang dapat ditemukan berupa laringospasme, gelisah pasca operasi, mual,
muntah, kematian pada saat induksi pada pasien dengan hipovolemia, hipersensitif terhadap
obat anestesi serta hipotensi dan henti jantung terkait induksi intravena dengan pentotal5.

BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama
: TMN
Jenis Kelamin
: Perempuan
Usia
: 16 tahun
Berat Badan
: 45 kg
Agama
: Islam
Alamat
: Dusun Perawang
No. RM
: 153120
Diagnosis
:Tonsilitis Kronik
B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis dengan ibu kandung pasien
pada tanggal 12 Oktober 2015 bangsal shafa bedah
a. Keluhan utama
: Nyeri Tenggorokan
b. Riwayat penyakit sekarang
:
Pada anamnesis didapatkan pasien mengeluh nyeri tenggorokan 6 bulan
SMRS, nyeri tenggorokan hilang timbul, keluhan ini disertai dengan nyeri
menelan yang dirasakan saat makan, minum ataupun menelan ludah. Menurut
orangtuanya, sebelumnya sempat mengalami demam dan pilek. Nyeri telan tidak
disertai dengan ngorok maupun nafas tersengal-sengal saat tidur. . Keluhan terasa
setelah mengkonsumsi minuman dingin, jajan sembarangan dan berminyak.
Pasien diberikan obat yg dibeli oleh orang tuanya diapotik tetapi 3 bulan SMRS
keluhan ini kambuh lagi disertai dengan nyeri telinga sehingga pasien dibawa
kedokter, dokter mengatakan radang amandel masih kecil (T2-T2) lalu pasien
dipulangkan dan diberi obat. 3 hari SMRS keluhan pasien kembali kambuh dan
disertai dengan kurangnya pendengaran. Sehingga pasien dibawa ke RSUD Siak
dan dianjurkan untuk operasi. Pasien sering mengalami demam, batuk, pilek yang
kumat-kumatan hampir tiap bulan. Saat ini pasien tidak mengeluhkan pilek,
hidung tersumbat, maupun sakit kepala.
c. Riwayat penyakit dahulu
:
1) Riwayat asma disangkal
2) Riwayat alergi makanan dan obat disangkal
d. Riwayat penyakit keluarga:
Riwayat asma, alergi dan riwayat penyakit yang sama dengan pasien
disangkal.
4

C. PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada 12 Oktober 2015
GCS

: E4V5M6 = 15

Vital Sign

: Tekanan darah

: 120/80 mmHg

Nadi

: 82 x/menit

Suhu

: 36,8C

Pernafasan

: 18 x/menit

Status Generalis
a. Kulit :

Warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak

sianosis, turgor kulit cukup, capilary refillkurang dari 2 detik


dan teraba hangat.
b. Kepala

Tampak tidak ada jejas, tidak ada bekas

trauma, distribusi merata dan tidak mudah dicabut.


c. Mata :

Tidak terdapat konjungtiva anemis dan sklera

ikterik
d. Pemeriksaan Leher
1) Inspeksi

: Tidak terdapat pembengkakan, pembesaran kelenjar tiroid, limfe,

jejas, distensi vena jugularis eksternus.


2) Palpasi

: Trakea teraba di tengah, tidak

terdapat pembesaran kelenjar tiroid.


Pemeriksaan Thorax
1) Jantung
a)Inspeksi
b)
c)

Palpasi
Perkusi:

ictus cordis 2cm dibawah papila

mamaesinistra
:Ictus cordis teraba kuat
i.
ii.
iii.
iv.

d)

:Tampak

Batas atas kiri


Batas atas kanan
Batas bawah kiri
Batas bawah kanan

ICS II garis parasternal sinsitra


:
ICS II garis parasternal dextra
:
ICS V garis midclavikula sinistra
ICS IV garis parasterna dextra

Auskultasi: S1 > S2 reguler, tidak ditemukan gallop dan murmur.


2)

Paru
a) Inspeksi

Dinding dada simetris pada saat statis

dandinamis serta tidak ditemukan retraksi danketertinggalan


gerak.
5

b) Palpasi

Simetris, vokal fremitus kanan sama

dengan kiridan tidak terdapat ketertinggalan gerak.


c) Perkusi :
Sonor kedua lapang paru
d) Auskultasi:
Tidak terdengar suara rhonkhi pada
kedua pulmo. Tidak terdengar suara wheezing
Pemeriksaan Abdomen
a) Inspeksi

Perut

datar,

simetris,

tidak

terdapat jejas dan massa


b) Auskultasi
:
Terdengar suara bising usus
c) Perkusi :
Timpani
d) Palpasi :
Supel, tidak terdapat nyeri tekan. Hepar
dan lien tidak teraba.
Pemeriksaan Ekstremitas :
Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis
Turgor kulit cukup, akral hangat

k.

Status Lokalisata
a.
b.
c.
d.

Regio
Inspeksi
Palpasi
Movement

: Mulut dan Leher


: Tonsil hiperemis dan hipertropi, T3-T3
:: Nyeri telan

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Pemeriksaan
Hematologi
Hemoglobin
Leukosit
Hematokrit
Eritrosit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
RDW
MPV
CT
BT
Gol. Darah
Kimia Klinik
SGOT
SGPT
Ureum
Creatinin
GDS

12 Oktober 2015
11,8
7.5
34,7
5,05x106
301000
68,8
23,4
34,0
13.5
7.4
2.00
2.00
A+
26
16
23
0,9
79

Nilai normal
11,0-17,0 g/Dl
4800-10800/L
35-55%
4,0-6,2x106/
150000-400000/L
80,0-100,0 fl
26,0-34,0 pg
31,0-35,5 %
10,0-16,0 %
7,2-14,1 fl
1-3 menit
1-6 menit

<40 U/L
<41 U/L
15-39 mg/dL
0,60-1,1 mg/dL
200 mg/dL
6

Seroimmunologi
HbsAg

Negatif

Negatif

E. KESAN ANESTESI
Perempuan 16 tahun menderita Tonsilitis Kronik dengan ASA I
F. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan yaitu :
a. Intravena fluid drip(IVFD) RL 20 tpm
b. Inj ceftriaxone 1 gr/12 jam
c. Inj dexamethasone /12 jam
d. Inj tramadol 50 mg/8 jam
e. Transamin acid
f. Pro Tonsilectomy
g. Informed Consent Operasi
h. Konsul ke Bagian Anestesi
i. Informed Consent Pembiusan
Dilakukan operasi dengan general anestesi dengan status ASA I
G. KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka :
Diagnosis pre operatif : Tonsilitis Kronis
Status Operatif
: ASA 1, Mallampati II
Jenis Operasi
: Tonsilektomi
Jenis Anastesi
: General Anastesi
H. LAPORAN ANESTESI
1. Diagnosis Pra Bedah
Tonsilitis Kronik
2. Diagnosis Pasca Bedah
Tonsilitis Kronik
3. Penatalaksanaan Preoperasi
a Infus RL 500 cc
4. Penatalaksanaan Anestesi
a. Jenis Pembedahan
: Tonsilectomy
b. Jenis Anestesi
: General Anestesi
c.

Teknik Anestesi

: General Anastesi dengan NTT non kinking no 6,5

d.
e.
f.

Mulai Anestesi
Mulai Operasi
Premedikasi

: 12 Oktober 2015, pukul 13.30 WIB


: 21 Oktober 2015, pukul 14.30 WIB
: Ondansentron 4 mg iv, ketorolac 30 mg iv.

g.

Induksi

: Miloz 3mg, Fentanyl 100 + 30 mcg iv, Propofol 70

h.

Post OP

mg iv, atracium 25 mg.


: Fentanyl 100 mcg, Ondansetrn 4mg drip didalam RL

i.
j.

Maintenance
Intubasi

500cc 20tpm
: O2 2 lt, N2O 2 lt , Serorane 2 lt
: Laringoskop blade no
Nasal Endotracheal Tube no 30 cuff (+)
7

k.

Respirasi

: pernapasan spontan

l.

Cairan Durante Operasi : RL 500 ml

m. Pemantauan Tekanan Darah dan HR Terlampir


n. Selesai operasi
: 14.30 WIB
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Dan Fisiologi Saluran Nafas Bagian Atas
Dalam melakukan tindakan intubasi endotrakheal terlebih dahulu kita harus memahami
anatomi dan fisiologi jalan napas bagian atas dimana intubasi itu dipasang.

Gambar 1. Anatomi Saluran Nafas Bagian Atas


( dikutip : www.pearsoned.co.uk )

1. Respirasi Internal dan Eksternal


Respirasi dibagi dalam dua fase. Fase pertama ekspirasi eksternal dalam pengertian
yang sama dengan bernafas. Ini merupakan kombinasi dari pergerakan otot dan skelet,
dimana udara untuk pertama kali didorong ke dalam paru dan selanjutnya
dikeluarkan.Peristiwa ini termasuk inspirasi dan ekspirasi. Fase yang lain adalah
respirasi internal yang meliputi perpindahan / pergerakan molekul-molekul dari gas-gas
pernafasan (oksigen dan karbondioksida) melalui membrana, perpindahan cairan, dan
sel-sel dari dalam tubuh sesuai keperluan9.
2. Organ-organ pernafasan
Traktus respiratorius ini meliputi: (a) rongga hidung (b) laring (c) trakea (d) bronkhus
(e) paru-paru dan (f) pleura. Faring mempunyai dua fungsi yaitu untuk sistem
pernafasan dan sistem pencernaan. Beberapa otot berperan dalam proses pernafasan.
Diafragma merupakan otot pernafasan yang paling penting disamping muskulus
intercostalis interna dan eksterna beberapa otot yang lainnya9.
8

Gambar 2. Sistem Respirasi


( dikutip : www.pearsoned.co.uk )

Faring
Udara masuk ke dalam rongga mulut atau hidung melalui faring dan masuk ke
dalam

laring.Nasofaring

terletak

di

bagian

posterior

rongga

hidung

yang

menghubungkannya melalui nares posterior.Udara masuk ke bagian faring ini turun


melewati dasar dari faring dan selanjutnya memasuki laring.
Kontrol

membukanya

faring,

dengan

pengecualian

dari

esofagus

dan

membukanya tuba auditiva, semua pasase pembuka masuk ke dalam faring dapat
ditutup secara volunter. Kontrol ini sangat penting dalam pernafasan dan waktu makan,
selama membukanya saluran nafas maka jalannya pencernaan harus ditutup sewaktu
makan dan menelan atau makanan akan masuk ke dalam laring dan rongga hidung
posterior9.
Laring
Organ ini (kadang-kadang disebut sebagai Adams Apple) terletak di antara akar
lidah dan trakhea.Laring terdiri dari 9 kartilago melingkari bersama dengan ligamentum
dan sejumlah otot yang mengontrol pergerakannya.Kartilago yang kaku pada dinding
laring membentuk suatu lubang berongga yang dapat menjaga agar tidak mengalami
kolaps. Pita suara terletak di dalam laring, oleh karena itu ia sebagai organ pengeluaran
suara yang merupakan jalannya udara antara faring dan laring.Bagian laring sebelah atas
luas, sementara bagian bawah sempit dan berbentuk silinder 9.Fungsilaring,yaitu
mengatur tingkat ketegangan dari pita suara yang selanjutnya mengatur suara.Laring
9

juga menerima udara dari faring diteruskan ke dalam trakhea dan mencegah makanan
dan air masuk ke dalam trakhea.Ketika terjadi pengaliran udara pada trakhea, glotis
hampir terbuka setiap saat dengan demikian udara masuk dan keluar melalui laring
namun akan menutup pada saat menelan. Epiglotis yang berada di atas glottis selain
berfungsi sebagai penutup laringjuga sangat berperan pada waktu memasang intubasi,
karena dapat dijadikan patokan untuk melihat pita suara yang berwarna putih yang
mengelilingi lubang9.
B. Tonsilitis Kronik
Tonsilitis kronis adalah peradangan kronis tonsila palatina lebih dari 3 bulan
setelah serangan akut yang terjadi berulang-ulang atau infeksi subklinis. Mikroabses
pada tonsilitis kronik menyebabkan tonsil dapat menjadi fokal infeksi bagi organ-organ
lain seperti sendi, ginjal, jantung dan lain-lain. Fokal infeksi adalah sumber
bakteri/kuman di dalam tubuh dimana kuman atau produk-produknya dapat menyebar
jauh ke tempat lain dalam tubuh itu dan dapat menimbulkan penyakit4,10.
Kelainan ini hanya menimbulkan gejala ringan atau bahkan tidak ada gejala sama
sekali, tetapi akan menyebabkan reaksi atau gangguan fungsi pada organ lain yang jauh
dari sumber infeksi. Tonsilitis terlihat membesar disertai dengan hiperemi ringan yang
mengenai pilar anterior dan apabila tonsil ditekan keluar detritus4.
1. Etiologi
Tonsilitis kronik yang terjadi pada anak mungkin disebabkan oleh karena sering
menderita infeksi saluran napas atas (ISPA) atau tonsilitis akut yang tidak diobati
dengan tepat atau dibiarkan saja. Tonsilitis kronik disebabkan oleh bakteri yang sama
terdapat pada tonsilitis akut, dan yang paling sering adalah bakteri gram positif.
Staphylococcus alfa merupakan penyebab tersering diikuti Staphylococcus aureus,
Streptococcus beta hemolyticus group A11.
2. Faktor predisposisi
Beberapa faktor timbulnya tonsilitis kronis, yaitu :
-

Rangsangan kronis (rokok, makanan)

Hygiene mulut yang buruk

Pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu yang berubah-ubah)

Alergi (iritasi kronis dari alergen)

Keadaan umum ( kurang gizi, kelelahan fisik)

Pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat

3. Patofisiologi
10

Fungsi tonsil adalah sebagai pertahanan terhadap masuknya kuman ke tubuh kita
baik melalui hidung atau mulut. Kuman yang masuk disitu akan dihancurkan oleh
makrofag yang merupakan sel-sel polimorfonuklear. Jika tonsil berulang kali terkena
infeksi akibat dari penjagaan hygiene mulut yang tidak memadai serta adanya faktorfaktor lain,maka pada suatu waktu tonsil tidak bisa membunuh semua kuman
kumannya, akibatnya kuman yang yang bersarang di tonsil akan menimbulkan
peradangan tonsil yang kronik.pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil
berubah menjadi sarang infeksi atau fokal infeksi5,11.
Proses peradangan dimulai pada satu atau lebih kripte tonsil. Karena proses
radang berulang, maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis, sehingga pada
proses penyembuhan jaringan limfoid akan diganti oleh jaringan parut. Jaringan ini
akan mengerut sehingga kripta akan melebar.
Secara klinis kripte ini akan diisi oleh detritus (akumulasi sel yang mati, sel
leukosit yang mati dan bakteri yang menutupi kripte berupa eksudat bewarna putih
kekuningan). Proses ini meluas sehingga menembus kapsul dan akhirnya timbul
perlekatan dengan jaringan sekitar fossa tonsilaris. Sewaktu-waktu kuman bisa
menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada keadaan imun yang menurun12.
4. Manifestasi klinis
Gejala tonsilits kronis dibagi menjadi 1) gejala lokal, yang bervariasi dari rasa
tidak enak di tenggorok, sakit tenggorok, sulit sampai sakit menelan; 2) gejala sistemis,
berupa rasa tidak enak badan atau malaise, nyeri kepala, demam subfebris, nyeri otot
dan persendian; 3) gejala klinis tonsil dengan debris di kriptenya (tonsilitis folikularis
kronis), udem atau hipertrofi tonsil (tonsilitis parenkimatosa kronis), tonsil fibrotik dan
kecil (tonsilitis fibrotik kronis), plika tonsilaris anterior hiperemis dan pembengkakan
kelenjar limfe regional5,11.
5. Terapi
a. Medikanmentosa
Terapi tonsilitis kronis dapat diatasi dengan menjaga higiene mulut yang baik,
obat kumur, dan obat.
Pengobatan tonsilitis kronis dengan menggunakan antibiotik oral perlu
diberikan selama sekurangnya 10 hari.Antibiotik yang dapat diberikan adalah
golongan penisilin atau sulfonamida, namun bila terdapat alergi penisilin dapat
diberikan eritromisis atau klindamisin4.
b. Operatif
11

Tonsilektomi merupakan prosedur yang paling sering dilakukan dalam sejarah


operasi.Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat
perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat
ini.Dulu, tonsilektomi diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang.
Saat ini, indikasi utama adalah obstruksi saluran nafas dan hipertrofi tonsil5,11,12.
C. Anestesi Umum
Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral
disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel).Komponen trias
anestesi yang ideal terdiri dari analgesia, hipnotik, dan relaksasi otot2.
Obat anestesi yang masuk ke pembuluh darah atau sirkulasi kemudian menyebar
ke jaringan. Yang pertama terpengaruh oleh obat anestesi ialah jaringan kaya akan
pembuluh darah seperti otak, sehingga kesadaran menurun atau hilang, hilangnya rasa
sakit, dan sebagainya. Seseorang yang memberikan anestesi perlu mengetahui stadium
anestesi untuk menentukan stadium terbaik pembedahan itu dan mencegah terjadinya
kelebihan dosis1,2.
Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin, pertimbangan
utamanya adalah memilih anestetika ideal.Pemilihan ini didasarkan pada beberapa
pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat anestetika, jenis operasi yang dilakukan,
dan peralatan serta obat yang tersedia. Sifat anestetika yang ideal antara lain mudah
didapat, murah, tidak menimbulkan efek samping terhadap organ vital seperti saluran
pernapasan atau jantung, tidak mudah terbakar, stabil, cepat dieliminasi, menghasilkan
relaksasi otot yang cukup baik, kesadaran cepat kembali, tanpa efek yang tidak
diinginkan5,6.
Obat anestesi umum yang ideal mempunyai sifat-sifat antara lain pada dosis yang
aman mempunyai daya analgesik relaksasi otot yang cukup, cara pemberian mudah,
mulai kerja obat yang cepat dan tidak mempunyai efek samping yang merugikan. Selain
itu obat tersebut harus tidak toksik, mudah dinetralkan, mempunyai batas keamanan
yang luas.5
1. Macam-macam Teknik Anestesi6,7
Open drop method: Cara ini dapat digunakan untuk anestesik yang menguap,
peralatan sangat sederhana dan tidak mahal. Zat anestetik diteteskan pada kapas
yang diletakkan di depan hidung penderita sehingga kadar yang dihisap tidak
diketahui, dan pemakaiannya boros karena zat anestetik menguap ke udara
terbuka.
12

Semi open drop method:

Hampir sama dengan open drop, hanya untuk

mengurangi terbuangnya zat anestetik digunakan masker. Karbondioksida yang


dikeluarkan sering terhisap kembali sehingga dapat terjadi hipoksia. Untuk
menghindarinya dialirkan volume fresh gas flow yang tinggi minimal 3x dari
minimal volume udara semenit.
Semi closed method:Udara yang dihisap diberikan bersama oksigen murni yang
dapat ditentukan kadarnya kemudian dilewatkan pada vaporizer sehingga kadar
zat anestetik dapat ditentukan. Udara napas yang dikeluarkan akan dibuang ke
udara luar. Keuntungannya dalamnya anestesi dapat diatur dengan memberikan
kadar tertentu dari zat anestetik, dan hipoksia dapat dihindari dengan
memberikan volume fresh gas flow kurang dari 100% kebutuhan.
Closed method: Cara ini hampir sama seperti semi closed hanya udara
ekspirasi dialirkan melalui soda lime yang dapat mengikat CO2, sehingga udara
yang mengandung anestetik dapat digunakan lagi.
Dalam memberikan obat-obatan pada penderita yang akan menjalani operasi maka
perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai premedikasi, induksi, maintenance, dan lainlain.
2. Persiapan Pra Anestesi
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif/darurat) harus
dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif dilakukan 1-2 hari
sebelumnya, dan pada bedah darurat sesingkat mungkin. Kunjungan pra anestesi pada
pasien yang akan menjalani operasi dan pembedahan baik elektif dan darurat mutlak
harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan kunjungan pra
anestesi adalah:1,7
a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai dengan
fisik dan kehendak pasien.
c. Menentukan

status

fisik

dengan

klasifikasi

ASA

(American

Society

Anesthesiology):
ASA I

: Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan faali,


biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.

ASA II

: Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang


sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka
mortalitas 16%.
13

ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian
terbatas. Angka mortalitas 38%.
ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, tidak
selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ,
angina menetap. Angka mortalitas 68%.
ASA V

: Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi hampir


tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa
operasi / dengan operasi. Angka mortalitas 98%.

ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil (didonorkan)6
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri dari kegawatan
otak, jantung, paru, ibu dan anak.
a.

Pemeriksaan praoperasi anestesi7,8

I.

Anamnesis
1.

Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, alamat, dll.

2.

Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.

3.

Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat menjadi


penyulit anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit paru kronis (asma
bronkhial, pneumonia, bronkhitis), penyakit jantung, hipertensi, dan penyakit
ginjal.

4.

Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat, dan


obat yang sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi dengan obat
anestetik seperti kortikosteroid, obat antihipertensi, antidiabetik, antibiotik,
golongan aminoglikosid, dan lain lain.

5.

Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari tanggal,


jenis pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif pasca
bedah.

6.

Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan


anestesi seperti merokok, minum alkohol, obat penenang, narkotik

7.

Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti hipertensi maligna.

8.

Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum,


pernafasan, kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi, neurologi,
endokrin, psikiatrik, ortopedi dan dermatologi.

II.

Pemeriksaan Fisik
14

1.
2.

Keadaan psikis : gelisah,takut, kesakitan

Keadaan gizi : malnutrisi atau obesitas


3.

Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi cairan
yang diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah pembedahan.

4.

Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta


suhu tubuh.

5.

Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui adanya


trismus, keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan fleksi ekstensi leher,
deviasi ortopedi dan dermatologi. Ada pula pemeriksaan mallampati, yang
dinilai dari visualisasi pembukaan mulut maksimal dan posisi protusi lidah.
Pemeriksaan mallampati sangat penting untuk menentukan kesulitan atau
tidaknya dalam melakukan intubasi. Penilaiannya yaitu:
i.

Mallampati I : palatum molle, uvula, dinding posterior


oropharynk, tonsilla palatina dan tonsilla
pharingeal

ii.

Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula, dinding


posterior uvula

iii.

Mallampati III : palatum molle, dasar uvula

iv.

Mallampati IV: palatum durum saja

6.

Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung

7.

Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi

8.

Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia, atau


tanda regurgitasi.

9.

Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis,


adanya jari tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat pungsi vena
atau daerah blok saraf regional

III.

Pemeriksaan laboratorium dan penunjang lain

Lab rutin :
1.

Pemeriksaan lab. Darah

2.

Urine : protein, sedimen, reduksi

3.

Foto rongten ( thoraks )

4.

EKG

Pemeriksaan khusus, dilakukan bila ada indikasi :


15

1.

EKG pada anak

2.

Spirometri pada tumor paru

3.

Tes fungsi hati pada ikterus

4.

Fungsi ginjalpada hipertensi

5.

AGD, elektrolit.
b. Premedikasi Anestesi
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi.Adapun tujuan dari
premedikasi antara lain :1,2
a. memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
b. menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
c. membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
d. memberikan analgesia, misal : fentanyl, pethidin
e. mencegah muntah, misal : droperidol, ondansentron
f. memperlancar induksi, misal : pethidin
g. mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
h. menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : tracurium, sulfas atropin.
i. mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan hiosin.
Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis pasien yang
ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan demikian maka pemilihan
obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu dengan mempertimbangkan umur
pasien, berat badan, status fisik, derajat kecemasan, riwayat pemakaian obat anestesi
sebelumnya, riwayat hospitalisasi sebelumnya, riwayat penggunaan obat tertentu yang
berpengaruh terhadap jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi, macam operasi,
dan rencana anestesi yang akan digunakan2.
c. Obat-obatan Premedikasi
Pada kasus ini digunakan obat premedikasi1,2,3 :
a. Fentanil
Fentanil merupakan salah satu preparat golongan analgesik opioid dan
termasuk dalam opioid potensi tinggi dengan dosis 100-150 mcg/kgBB, termasuk
sufentanil (0,25-0,5 mcg/kgBB).Bahkan sekarang ini telah ditemukan remifentanil,
suatu opioid yang poten dan sangat cepat onsetnya, telah digunakan untuk
meminimalkan depresi pernapasan residual.Opioid dosis tinggi yang deberikan selama
operasi dapat menyebabkan kekakuan dinding dada dan larynx, dengan demikian
16

dapat mengganggu ventilasi secara akut, sebagaimana meningkatnya kebutuhan opioid


potoperasi berhubungan dengan perkembangan toleransi akut.Maka dari itu, dosis
fentanyl dan sufentanil yang lebih rendah telah digunakan sebagai premedikasi dan
sebagai suatu tambahan baik dalam anestesi inhalasi maupun intravena untuk
memberikan efek analgesi perioperatif3.
Sebagai analgesik, potensinya diperkirakan 80 kali morfin.Lamanya efek
depresi nafas fentanil lebih pendek dibanding meperidin. Efek euphoria dan analgetik
fentanil diantagonis oleh antagonis opioid, tetapi secara tidak bermakna diperpanjang
masanya atau diperkuat oleh droperidol, yaitu suatu neuroleptik yang biasanya
digunakan bersama sebagai anestesi IV. Dosis tinggi fentanil menimbulkan kekakuan
yang jelas pada otot lurik, yang mungkin disebabkan oleh efek opioid pada tranmisi
dopaminergik di striatum.Efek ini di antagonis oleh nalokson.Fentanyl biasanya
digunakan hanya untuk anestesi, meski juga dapat digunakan sebagai anelgesi pasca
operasi.Obat ini tersedia dalam bentuk larutan untuk suntik dan tersedia pula dalam
bentuk kombinasi tetap dengan droperidol1. Fentanyl dan droperidol (suatu
butypherone yang berkaitan dengan haloperidol) diberikan bersama-sama untuk
menimbulkan analgesia dan amnesia dan dikombinasikan dengan nitrogen oksida
memberikan suatu efek yang disedut sebagai neurolepanestesia1,2.
d. Induksi
Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai tercapainya
stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan tahap pemeliharaan anestesi
untuk mempertahankan atau memperdalam stadium anestesi setelah induksi.
Pada kasus ini digunakan obat induksi :
a. Propofol
Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat dalam air dan
emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur dan 2,25% glyserol.
Dosis yang dianjurkan 2,5mg/kgBB untuk induksi tanpa premedikasi3.
Propofol memiliki kecepatan onset yang sama dengan barbiturat intravena
lainnya, namun pemulihannya lebih cepat dan pasien dapat diambulasi lebih cepat
setelah anestesi umum. Selain itu, secara subjektif, pasien merasa lebih baik setelah
postoperasi karena propofol mengurangi mual dan muntah postoperasi. Propofol
digunakan baik sebagai induksi maupun mempertahankan anestesi dan merupakan
17

agen pilihan untuk operasi bagi pasien rawat jalan. Obat ini juga efektif dalam
menghasilkan sedasi berkepanjangan pada pasien dalam keadaan kritis. Penggunaan
propofol sebagai sedasi pada anak kecil yang sakit berat (kritis) dapat memicu
timbulnya asidosis berat dalam keadaan terdapat infeksi pernapasan dan kemungkinan
adanya skuele neurologik2,3.
Pemberian propofol (2mg/kg) intravena menginduksi anestesi secara cepat.
Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi jarang disertai plebitis
atau trombosis. Anestesi dapat dipertahankan dengan infus propofol yang
berkesinambungan dengan opiat, N2O dan/atau anestetik inhalasi lain1,3.
Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang cukup berarti
selama

induksi

anestesi

karena

menurunnya

resitensi

arteri

perifer

dan

venodilatasi.Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira 80% tetapi efek ini
disebabkan karena vasodilatasi perifer daripada penurunan curah jantung. Tekanan
sistemik kembali normal dengan intubasi trakea.
Setelah pemberian propofol secara intravena, waktu paruh distribusinya adalah
2-8 menit, dan waktu paruh redistribusinya kira-kira 30-60 menit. Propofol cepat
dimetabolisme di hati 10 kali lebih cepat daripada thiopenthal pada tikus. Propofol
diekskresikan ke dalam urin sebagai glukoronid dan sulfat konjugat, dengan kurang
dari 1% diekskresi dalam bentuk aslinya. Klirens tubuh total anestesinya lebih besar
daripada aliran darah hepatik, sehingga eliminasinya melibatkan mekanisme
ekstrahepatik selain metabolismenya oleh enzim-enzim hati. Propofol dapat
bermanfaat bagi pasien dengan gangguan kemampuan dalam memetabolisme obatobat anestesi sedati yang lainnya. Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran
darah ke otak, metabolisme otak dan tekanan intrakranial akan menurun. Keuntungan
propofol karena bekerja lebih cepat dari tiopental dan konvulsi pasca operasi yang
minimal.
Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini didistribusikan cepat
dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi sebagai akibat depresi langsung pada
otot jantung dan menurunnya tahanan vaskuler sistemik. Propofol tidak mempunyai
efek analgesik. Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih sadar lebih cepat dan
jarang terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang rendah propofol memiliki efek
antiemetik1.

18

Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi pernafasan,


apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem kardiovaskuler berupa
hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi. Pada susunan syaraf pusat adanya
sakit kepala, pusing, euforia, kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi
nyeri sehingga saat pemberian dapat dicampurkan lidokain (20-50 mg)1,3.
e. Pemeliharaan
a. Nitrous Oksida (N2O)
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif, tidak
berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak, dan tidak bereaksi
dengan soda lime absorber (pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang
kurang kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini
tidak larut dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh
karena itu pada operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan zat
relaksasi otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas
terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena Nitrous Oksida mendesak
oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia difusi dapat dicegah dengan
pemberian oksigen konsentrasi tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai.
Penggunaan biasanya dipakai perbandingan atau kombinasi dengan oksigen.
Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 adalah
sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%2.3.
f. Obat Pelumpuh Otot
Obat

golongan

ini

menghambat

transmisi

neuromuscular

sehingga

menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Menurut mekanisme kerjanya, obat ini
dibagi menjadi 2 golongan yaitu obat penghambat secara depolarisasi resisten,
misalnya suksinil kolin, dan obat penghambat kompetitif atau nondepolarisasi, misal
kurarin.
Dalam anestesi umum, obat ini memudahkan dan mengurangi cedera tindakan
laringoskopi dan intubasi trakea, serta memberi relaksasi otot yang dibutuhkan dalam
pembedahan dan ventilasi kendali1,2.
Obat pelumpuh otot yang digunakan dalam kasus ini adalah :
Atracurium besilat (tracrium)
Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relatif baru yang
mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman Leontice
19

leontopetaltum. Beberapa keunggulan atrakurium dibandingkan dengan obat terdahulu


antara lain adalah :
a. Metabolisme terjadi dalam darah (plasma) terutama melalui suatu reaksi kimia
unik yang disebut reaksi kimia hoffman. Reaksi ini tidak bergantung pada fungsi
hati dan ginjal.
b. Tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang.
c. Tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna.
Mula dan lama kerja atracurium bergantung pada dosis yang dipakai. Pada
umumnya mulai kerja atracurium pada dosis intubasi adalah 2-3 menit, sedang lama
kerja atracurium dengan dosis relaksasi 15-35 menit3.
Pemulihan fungsi saraf otot dapat terjadi secara spontan (sesudah lama kerja
obat berakhir) atau dibantu dengan pemberian antikolinesterase.

Nampaknya

atracurium dapat menjadi obat terpilih untuk pasien geriatrik atau pasien dengan
penyakit jantung dan ginjal yang berat1,2.
Kemasan dibuat dalam 1 ampul berisi 5 ml yang mengandung 50 mg
atracurium besilat. Stabilitas larutan sangat bergantung pada penyimpanan pada suhu
dingin dan perlindungan terhadap penyinaran.
Dosis intubasi : 0,5 0,6 mg/kgBB/iv
Dosis relaksasi otot : 0,5 0,6 mg/kgBB/iv
Dosis pemeliharaan : 0,1 0,2 mg/kgBB/ iv
g. Intubasi Nasal
Suatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam trakea, sehingga jalan nafas
bebas hambatan dan nafas mudah dikendalikan. Intubasi trakea bertujuan untuk :1
a. Mempermudah pemberian anestesi.
b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas.
c. Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.
d. Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.
e. Pemakaian ventilasi yang lama.
f. Mengatasi obstruksi laring akut.
h. Terapi Cairan
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati
jumlah dan komposisi cairan yang hilang.Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk1.
a. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi.
20

b. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang diberikan.
Pemberian cairan operasi dibagi :
a. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah,
penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada
ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan cairan untuk
dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius
kebutuhan cairan bertambah 10-15 %.
b. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan
pada dewasa untuk operasi :
Ringan = 4 ml/kgBB/jam.
Sedang= 6 ml/kgBB/jam
Berat

= 8 ml/kgBB/jam.

Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari 10


% EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid. Apabila perdarahan
lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid /
dekstran.
c. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan
selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien1.
i. Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi
yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan untuk
observasi pasien pasca atau anestesi.Ruang pulih sadar merupakan batu loncatan
sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di
ICU.Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari
komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya2.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan perlu
dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan pembedahan. Beberapa
cara skoring yang biasa dipakai untuk anestesi umum yaitu cara Aldrete dan Steward,
dimana cara Steward mula-mula diterapkan untuk pasien anak-anak, tetapi sekarang

21

sangat luas pemakaiannya, termasuk untuk orang dewasa. Sedangkan untuk regional
anestesi digunakan skor Bromage1,6.

Tabel 1. Aldrete Scoring System


No.
1

Aktivitas

motorik

Kriteria
Mampu menggerakkan ke-4 ekstremitas atas

Skor
2

perintah atau secara sadar.

Mampu menggerakkan 2 ekstremitas atas perintah

atau secara sadar.

Respirasi

Sirkulasi

Kesadaran

Warna kulit

Tidak mampu menggerakkan ekstremitas atas

perintah atau secara sadar.


Nafas adekuat dan dapat batuk

Nafas kurang adekuat/distress/hipoventilasi

Apneu/tidak bernafas
Tekanan darah berbeda 20% dari semula

Tekanan darah berbeda 20-50% dari semula

Tekanan darah berbeda >50% dari semula


Sadar penuh

Bangun jika dipanggil

Tidak ada respon atau belum sadar


Kemerahan atau seperti semula

Pucat

Sianosis

Aldrete score 8, tanpa nilai 0, maka dapat dipindah ke ruang perawatan.


Tabel 2. Steward Scoring System
No.
1

Kriteria
Kesadaran

Bangun
Respon terhadap stimuli
Tak ada respon
2
Jalan napas Batuk atas perintah atau menangis
Mempertahankan jalan nafas dengan baik
Perlu bantuan untuk mempertahankan jalan nafas
3
Gerakan
Menggerakkan anggota badan dengan tujuan
Gerakan tanpa maksud
Tidak bergerak
Steward score 5 boleh dipindah ruangan.

22

Skor
2
1
0
2
1
0
2
1
0

Tabel 3. Robertson Scoring System


No.
1

Kesadaran

Jalan napas

Aktifitas

Kriteria
Sadar penuh, membuka mata, berbicara

Tidur ringan

Membuka mata atas perintah

Tidak ada respon


Batuk atas perintah

Jalan nafas bebas tanpa bantuan

Jalan nafas bebas tanpa bantuan ekstensi kepala

Tanpa bantuan obstruksi


Mengangkat tangan atas perintah

Gerakan tanpa maksud

Tidak bergerak

Skor
4
3

Tabel 4. Scoring System untuk pasien anak


Tanda
Kriteria
Tanda vital
Respirasi, T/N, suhu seperti semula
Reflek laryng dan pharyng
Mampu menela, batuk, dan muntah
Gerakan
Mampu bergerak sesuai umur dan tingkat
Muntah
Pernafasan

perkembangan
Muntah, mual pusing minimal
Tidak ada sesak nafas, stridor, dan

Kesadaran

mendengkur
Alert, orientasi tempat, waktu, dan orang

Tabel 5. Bromage Scoring System


Kriteria
Skor
Gerakan penuh dari tungkai
0
Tak mampu ekstensi tungkai
1
Tak mampu fleksi lutut
2
Tak mampu fleksi pergelangan kaki
3
Bromage score < 2 boleh pindah ke ruang perawatan.

BAB IV
PEMBAHASAN
23

2
1
3
2
1
0
2
1
0

Dari hasil kunjungan pra anestesi baik dari anamnesis, pemeriksaan fisik akan dibahas
masalah yang timbul, baik dari segi medis, bedah maupun anestesi.

Pasien, An. TMN, 16 tahun datang ke ruang operasi untuk menjalani operasi
tonsilektomi pada tanggal 12 Oktober 2015 dengan diagnosis pre operatif tonsilitis kronis.
Persiapan operasi dilakukan pada tanggal 11 Oktober 2015. Dari anamnesis terdapat keluhan
nyeri tenggorokan yang kambuh-kambuhan dirasakan sejak 6 bulan terakhir dan bertambah
berat sejak 3 hari yang lalu. Karena sering kambuh, dokter menganjurkan untuk dilakukan
operasi tonsilektomi. Pemeriksaan fisik dari tanda vital didapatkan tekanan darah 120/80
mmHg; nadi 82x/menit; respirasi 18x/menit; suhu 36,8OC. Dari pemeriksaan laboratorium
hematologi yang dilakukan tanggal 12 Oktober 2015 dengan hasil: Hb 11,8 g/dl; golongan
darah A+; ureum 23 mg/dl; kreatinin 0,9 mg/dl; SGOT 26 U/L; SGPT 16 U/L; GDS 79 mg/dL
dan HBsAg(-). Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
disimpulkan bahwa pasien masuk dalam ASA I.
Sebelum dilakukan operasi pasien dipuasakan selama 6-8 jam. Tujuan puasa untuk
mencegah terjadinya aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau muntah pada saat
dilakukannya tindakan anestesi akibat efek samping dari obat- obat anastesi yang diberikan
sehingga refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Penggantian puasa juga harus
dihitung dalam terapi cairan ini yaitu 6x maintenance.
Operasi Tonsilektomi dilakukan pada tanggal 12 Oktober 2015. Pasien dikirim dari
bangsal Shafa. Pasien masuk keruang OK 2 pada pukul 13.30 dilakukan pemasangan NIBP
dan O2 dengan hasil TD 122/76 mmHg; Nadi 75 x/menit, dan SpO2 100%. Dilakukan injeksi
Ondansentron 4 mg dan Ketorolac 30 mg. Penggunaan premedikasi pada pasien ini betujuan
untuk menimbulkan rasa nyaman pada pasien dan mempermudah induksi dengan
menghilangkan rasa khawatir. Karena dilakukan operasi tonsilektomi, maka dokter anestesi
memilih untuk dilakukan intubasi nasal agar tidak mengganggu operator sepanjang operasi
dilakukan dan supaya pasien tetap dianestesi dan dapat bernafas dengan adekuat.
Pasien disungkupkan dengan sungkup muka yang telah terpasang pada mesin anestesi
yang menghantarkan gas (serorane) dengan ukuran 2vol% dengan oksigen dari mesin ke jalan
napas pasien sambil melakukan bagging selama kurang lebih 2 menit untuk menekan
pengembangan paru dan juga menunggu kerja dari pelemas otot sehingga mempermudah
dilakukannya pemasangan endotrakheal tube. Penggunaan sevofluran disini dipilih karena
pulih dari anestei lebih cepat dibandingkan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak
24

merangsang jalan napas, sehingga digemari untuk induksi. Efek terhadap kardiovaskular pun
cukup stabil dan jarang menyebabkan aritmia. Belum ada laporan toksik terhadap hepar.
Setelah pemberian dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan.
Setelah pasien di intubasi dengan mengunakan endotrakheal tube, maka dialirkan
sevofluran 2 vol%, oksigen sekitar 20 ml/menit sebagai anestesi rumatan. Ventilasi dilakukan
dengan bagging dengan laju napas 20 x/ menit. Sesaat setelah operasi selesai gas anestesi
diturunkan untuk menghilangkan efek anestesi perlahan-lahan dan untuk membangunkan
pasien. Juga diharapkan agar pasien dapat melakukan nafas spontan menjelang operasi hampir
selesai.
Operasi selesai tepat jam 14:30 WIB. Lalu mesin anestesi diubah ke manual supaya
pasien dapat melakukan nafas spontan. Gas sevo dihentikan karena pasien sudah nafas
spontan dan adekuat. Kemudian dilakukan ekstubasi endotracheal secara cepat untuk
menghindari penurunan saturasi lebih lanjut.
Total cairan yang diberikan pada pasien ini sejumlah 750 cc Ringer Laktat. Perdarahan
pada operasi ini kurang lebih 25 cc. Pada pukul 14.35 WIB, setelah selesai pembedahan
dilakukan pemberian Drip Fentanyl 100mg, Ondansetron 4mg didalam RL 500cc.
Pada pukul 14.30 WIB, pembedahan selesai dilakukan, dengan pemantauan akhir TD
121/70mmHg; Nadi 85x/menit, dan SpO2 99%. Pembedahan dilakukan selama 30 menit
dengan perdarahan 25 cc. Pasien kemudian dibawa ke ruang pemulihan (Recovery Room).
Selama di ruang pemulihan, jalan nafas dalam keadaan baik, pernafasan spontan dan adekuat
serta kesadaran composmentis. Tekanan darah selama 15 menit pertama pasca operasi stabil
yaitu 118/70 mmHg.

A. PERMASALAHAN DARI SEGI MEDIK

25

Meningkatnya laju metabolisme tubuh karena radang, dimana kebutuhan cairan dapat
meningkat, sehingga pasien dapat mengalami dehidrasi. Tanda-tanda radang dapat dilihat dari
suhu maupun angka leukosit. Pada pasien ini suhu tubuh tidak mengalami peningkatan dan
angka leukosit masih dalam batas normal. Hal ini mungkin disebabkan karena pasien
sebelumnya sudah menerima terapi antibiotik oleh teman sejawat lain sebelum memutuskan
untuk periksa ke RSUD SIAK.
B. PERMASALAHAN DARI SEGI ANESTESI
1.

Pemeriksaan pra anestesi


Pada penderita ini telah dilakukan persiapan yang cukup, antara lain :

a. Puasa lebih dari 6 jam (pasien sudah puasa selama 6 jam)


b. Pemeriksaan laboratorium darah
Permasalahan yang ada adalah :

Bagaimana memperbaiki keadaan umum penderita sebelum


dilakukan anestesi dan operasi.

Macam dan dosis obat anestesi yang bagaimana yang sesuai dengan keadaan
umum penderita.

Dalam mempersiapkan operasi pada penderita perlu dilakukan :

Pemasangan infus untuk terapi cairan sejak pasien masuk RS. Pada pasien ini
diberikan cairan Ringer Laktat 20 tetes per menit, terhitung sejak pasien mulai
puasa hingga masuk ke ruang operasi. Puasa paling tidak 6 jam untuk
mengosongkan lambung, sehingga

bahaya muntah dan aspirasi dapat

dihindarkan. Terdapat tiga jenis cairan berdasarkan tujuan terapi, yaitu:


1. Cairan rumatan (maintenance)
Bersifat hipotonis: konsentrasi partikel terlarut < konsentrasi cairan
intraseluler (CIS); menyebabkan air berdifusi ke dalam sel. Tonisitas <270
mOsm/kg. Misal: Dekstrosa 5 %, Dekstrosa 5 % dalam Salin 0,25 %
2. Cairan pengganti (resusitasi, substitusi)
Bersifat isotonis: konsentrasi partikel terlarut = CIS; no net water
movement melalui membran sel semipermeabelTonisitas 275 295
mOsm/kg. Misal : NaCl 0,9 %, LactateRingers, koloid
3. Cairan khusus
Bersifat hipertonis: konsentrasi partikel terlarut > CIS; menyebabkan air
keluar dari sel, menuju daerah dengan konsentrasi lebih tinggi Tonisitas >
26

295 mOsm/kg. Misal: NaCl 3 %, Mannitol, Sodium- bikarbonat, Natrium


laktat hipertonik
Berdasarkan kepustakaan disebutkan bahwa dehidrasi isotonik merupakan
jenis dehidrasi yang paling sering terjadi (80%). Pada pasien ini diberikan
resusitasi cairan berupa Ringer Laktat dengan tujuan untuk memperbaiki
volume sirkulasi dan pemilihan cairan ini berdasarkan pertimbangan
kompartemen yang mengalami defisit.

Persiapan kantung darah sebagai persiapan bila terjadi perdarahan durante atau
post operasi

Jenis anestesi yang dipilih adalah general anestesi karena pada kasus ini
diperlukan hilangnya kesadaran, rasa sakit, amnesia dan mencegah resiko
aspirasi. Teknik anestesinya semi closed inhalasi dengan pemasangan

endotrakheal tube.
Selama operasi dipasang ET teknik cepat.

2. Premedikasi
a. Sebagai antiemetic pada pasien diberikan ondansentron 4 mg iv
b. Untuk mengurangi rasa sakit pra bedah dan pasca bedah maka diberikan fentanyl
100mcg I.V.
3. Induksi
a.

Digunakan Propofol 100 mg I.V.(dosis induksi 2-2,5mg/kgBB) karena memiliki efek

induksi yang cepat, dengan distribusi dan eliminasi yang cepat. Selain itu juga propofol dapat
menghambat transmisi neuron yang hancur oleh GABA. Obat anestesi ini mempunyai efek
kerjanya yang cepat dan dapat dicapai dalam waktu 30 detik.
b.

Pemberian Atracium 25 mg I.V. sebagai pelemas otot untuk mempermudah

pemasangan Nasotracheal Tube.


4. Maintenance
Dipakai N2O dan O2 dengan perbandingan 2L/2L, serta sevofluran 1 vol %.
5. Terapi Cairan
Perhitungan kebutuhan cairan pada kasus ini adalah ( Berat Badan 45 kg )
a. Defisit cairan karena puasa 6 jam
(2 cc/jam x 45 kg x 6 jam) = 540 cc
Cairan ini sudah terpenuhi karena walaupun pasien puasa tapi tetap mendapat infus.
b. Perdarahan yang terjadi 25 cc
27

EBV = 65 cc x 45 kg = 2925 cc= 2,925 L.


Jadi perkiraan kehilangan darah = 25/2925 x 100 % = 0,85 %
c. Cairan yang sudah diberikan :
1). Pra anestesi = 500 cc
2). Saat operasi = 250 cc
Total cairan yang masuk = 750 cc

BAB V
28

KESIMPULAN
Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi yang
melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi pasien
dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat mengantisipasinya.
Pada makalah ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi umum pada operasi
tonsilektomi pada penderita perempuan, usia 16 tahun, status fisik ASA I, dengan diagnosis
tonsilitis kronik yang dilakukan teknik anestesi semi closed dengan SCCS NTT no 6,5 cuff
(+) respirasi spontan.
Untuk mencapai hasil maksimal dari anestesi seharusnya permasalahan yang ada
diantisipasi terlebih dahulu sehingga kemungkinan timbulnya komplikasi anestesi dapat
ditekan seminimal mungkin.
Dalam kasus ini selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti baik dari
segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang pemulihan juga tidak terjadi
hal yang memerlukan penanganan serius.
Secara umum pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi berlangsung dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA
29

1. Baugh RF et al. Clinical Practice Guideline: Tonsillectomy in Children.


Otolaryngology Head and Neck Surgery 2011; 144 (15):1-30.
2. Muhardi, M, dkk. (1989). Anestesiologi, Bagian Anastesiologi dan Terapi Intensif,
FKUI. Jakarta: CV Infomedia.
3. Drake A. Tonsillectomy. http://www.emedicine.com/ent/topic315.htm/emedtonsilektomi.
4. Wirdjoatmodjo, K., 2000. Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar untuk
Pendidikan S1 Kedokteran. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
5. Lab/SMFAnestesiologi

&

reanimasi.2010.

Panduan

Kepaniteraan

Klinik

Anestesiologi.
6. Handoko, Tony. 1995. Anestetik Umum. Dalam :Farmakologi dan Terapi FKUI, edisi
ke- 4. Jakarta:Gaya baru.
7. Latief, S, dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi kedua. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI
8. Mansjoer A, Suprohaita, dkk. 2002. Ilmu Anestesi. dalam: Kapita Selekta Kedokteran
FKUI. Jilid 2. edisi ketiga. Jakarta:Media Aesculapius
9. Better Health Channel.2011. Tonsillitis Explaioverment of vixtoria, Australia.
http :/ / betterhealth.vic.gov.au/bhcv2/bhcarticles.
10. NHS.2010. Tonsillitis. http://www.nhs.uk/conditions/tonsillitis.
11. Lauro, Joseph.2011. Tonsillitis. Lautheran Emergency Medicine Medical Centre.
http:/ /www.emedicinehealth.com/tonsillitis/article_em.htm.

30

Anda mungkin juga menyukai