Anda di halaman 1dari 33

PRESENTASI KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama

: Ny. DLE

Umur

: 49 tahun 8 bulan

Jenis Kelamin

: Perempuan

Alamat

: Jalan Sukalaya III Gang H.Saadah RT.003/001, Desa


Argasari, Kecamatan Cihideung, Kota Tasikmalaya

Pekerjaan

: Ibu rumah tangga

Agama

: Islam

Tanggal Masuk RS : 18 Juli 2015


No. CM

: 15282926

Dokter Anestesi

: Dr. Andika Chandra Putri, Sp.An

Dokter Bedah

: Dr. Toha Sapari, Sp.B

B. PERSIAPAN PRE-OPERATIF (12 Agustus 2015)


1. Anamnesis
A (Alergy)
Tidak ada alergi makanan, obat-obatan dan asma
M (Medication)
Tidak sedang menjalani pengobatan penyakit tertentu
P (Past Medical History)
Riwayat penyakit DM sejak 2 bulan dan tidak pernah kontrol atau berobat,
tidak ada riwayat hipertensi, sakit ginjal, riwayat sakit yang sama dan tidak
ada riwayat operasi sebelumnya
L (Last Meal)
Pasien terakhir makan 8 jam pre-operasi
E (Elicit History)
Pasien datang ke RSUD Kota Tasikmalaya pada tanggal 18 Juli 2015
pukul 10.00 WIB diantar oleh keluarganya dengan keluhan nyeri disertai

bengkak pada kaki sebelah kiri sejak 1 bulan yang lalu. Nyeri dan bengkak
disertai keluar nanah dan berbau busuk. Riwayat trauma tidak ada.
2. Pemeriksaan Fisik
Tanggal Pemeriksaan : 12 Agustus 2015
Tempat Pemeriksaan : Ruang IIIA
Vital Sign
a. Keadaan Umum

: Baik

b. Kesadaran

: Compos Mentis

c. Tekanan darah

: 120/60 mmHg

d. Nadi

: 82 x/menit

e. Respirasi

: 20 x/menit

f. Suhu

: 37,10C

Status Generalisata
a. Berat Badan

: 53 Kg

b. Tinggi Badan

: 155 Cm

Pemeriksaan Head to Toe


Kepala
a. Mata

Palpebra

: tidak bengkak dan cekung

Konjungtiva

: anemis (-)/(-)

Sklera

: ikterik (-)/(-)

Pupil

: refleks cahaya (+)/(+)


pupil isokor dextra = sinistra

b. Hidung

Deviasi septum

: tidak ada

Pernapasan cuping hidung

: (-)

Sekret

: (-)

Mukosa hiperemis

: (-)

Epistaksis

: (-)/(-)

c. Telinga
3

Nyeri tekan tragus

: (-)/(-)

Auricula

: tidak tampak kelainan

Meatus akustikus eksternus

: (+)/(+)

d. Mulut

Bibir

: Sianosis(-); pucat (-)

Leher
a. Pembesaran KGB : (-)/(-)
b. JVP

: Tidak diperiksa

Thorak
a. Inspeksi

: Bentuk dan gerak simetris kanan = kiri; retraksi


supraclavicula (-)/(-), retraksi intercostalis (-)/(-).

b. Palpasi

: iktus kordis tidak teraba; Vokal Fremitus kanan = kiri

c. Perkusi

: Sonor seluruh lapang paru

d. Auskultasi : VBS kanan = kiri; Wheezhing (-)/(-); Ronki (-)/(-); BJ I-II


regular, Gallop (-), Murmur (-)
Abdomen
a. Inspeksi

: Bentuk cembung; retraksi epigastrium (-)

b. Auskulasi : Bising usus (+) normal


c. Palpasi

: Soepel; nyeri tekan (-); defence muscular (-); hepar


membesar (-); limpa tidak teraba

d. Perkusi

: Timpani

Ekstremitas
a. Ekstremitas atas

: edema (-); hiperemis (-); ulkus (-); CRT <2 detik

b. Ekstremitas bawah : edema (+) tungkai bawah kiri, ulkus (+) tungkai
bawah sampai telapak kaki kiri; CRT < 2 detik
tungkai kanan, sulit dinilai pada tungkai kiri
3.

Pemeriksaan Penunjang
a. Hasil Pemeriksaan Laboratorium

Tanggal 12 Agustus 2015


Jenis pemeriksaan
Hematologi
G28
Golongan darah
G29
Rhesus
H01
Hemoglobin
H14
Hematokrit
H15
Jml Leukosit
H22
Jml Trombosit
Karbohidrat
K01
Glukosa Sewaktu
K02
Glukosa Puasa
K03
Glukosa 2 Jam PP
Faal Ginjal
K04
Ureum
K05
Keratinin
Faal Hati

Hasil

Nilai Normal

Satuan

Metode

O
+
11,1
34
13.000
551.000

P: 12-16; L: 14-18
P: 35-45; L: 40-50
5.000-10.000
150.000-350.000

g/dl
%
/mm3
/mm3

Auto Analyzer
Auto Analyzer
Auto Analyzer
Auto Analyzer

113
93
131

76-110

mg/dl
mg/dl
mg/dl

GOD POD
GOD POD
GOD POD

165
2.50

15-45
P: 0.5-0.9; L: 0.7-1.12

mg/dl
mg/dl

Urease Klinetik UV
Kinetic Jaffe

K11

SGOT

19

P: 10-31 L:10-38

K12

SGPT

P: 9-32 L:9-40

Protein Total
Albumin
Globulin

6,38
2,57
3,81

Natrium (Na+)
Kalium (K+)
Calsium (Ca2+)

132
1.47
3.9

K17
K18
K19
Elektrolit
K27
K28
K29

135-145
3.5-5.0
0.80-1.10

U/L/37
^
U/L/37
^

mmol/L
mmol/L
mmol/L

Kinetik UV-IFCC
Kinetik UV-IFCC

ISE
ISE
ISE

b. Hasil Radiologi

Foto thorax PA
Jantung agak membesar tanpa bendungan paru, paru aerasi baik,
tampak kalsifikasi di lobus superior kiri (Kesan: artefak atau pernah
KP)

Foto Pedis AP-Lateral dan Cruris AP-Lateral


Tidak tampak gambaran osteolitik, tidak tampak adanya kalsifikasi,
tampak sedikit osteofit pada bagian kalkaneus. (Kesan: iritatif tanpa
osteomielitis)

c. Hasil EKG

Dalam batas normal


4.

Diagnosis Klinis
Ulkus diabetikum di regio cruris dan pedis sinistra

5.

Kesimpulan
Status ASA (American Society of Anesthesiologists) merupakan suatu
klasifikasi untuk menilai kebugaran fisik seseorang. Untuk pasien ini ASA
II yaitu pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang yang tidak
mengganggu aktivitas sehari-hari yaitu DM tipe II yang tidak terkontrol.
C. LAPORAN ANESTESI (DURANTE OPERATIF)

Tanggal Operasi

: 13 Agustus 2015

Diagnosis pra-bedah : Ulkus diabetikum a/r cruris & pedis sinistra


Jenis Pembedahan

: Necrotomy debridement

Jenis Anestesi

: Regional anestesi

Rencana tindakan

: Regional anestesi dengan teknik spinal

Awal anestesi

: 10.00 WIB

Awal pembedahan

: 10.15 WIB

Lama Pembedahan

: 60 menit

Premedikasi

: Tidak diberikan

Medikasi induksi

: Bupivakain 15 mg (3 cc)

Loading cairan

: NaCl 0,9% 700 cc untuk menyeimbangkan


cairan dalam tubuh pasien agar pasien tidak
hipotensi akibat dari efek spinal anestesi

Maintenance

: O2 3 liter/menit per nasal kanul

Respirasi

: Spontan, irama reguler, kedalaman cukup

Posisi

: Supine atau terlentang

Cairan perioperatif
Maintenance cairan

= 4:2:1

Kebutuhan basal

10 x 4 = 40 cc
10 x 2 = 20 cc
33 x 1 = 33 cc
93 cc/jam

Defisit Cairan Puasa

= Puasa (jam) x maintenance cairan


= 8 x 93 cc/jam
= 744 cc

Insensible Water Loss (IWL)

= Jenis Operasi x BB (Kg)


= 4 x 53
= 212 cc

Kebutuhan cairan 1 jam pertama


= ( x defisit cairan puasa) + IWL + maintenance
= ( x 744 cc) + 212 cc + 93 cc
= 677 cc
Kebutuhan cairan 1 jam kedua
= ( x defisit cairan puasa) + IWL + maintenance
= ( x 744 cc) + 212 cc + 93 cc
= 491 cc
Kebutuhan cairan 1 jam ketiga
= ( x defisit cairan puasa) + IWL + maintenance
= ( x 744 cc) + 212cc + 93 cc
= 491 cc
Kebutuhan cairan 1 jam keempat
= IWL + maintenance
= 212 cc+ 93 cc
= 305 cc
Kebutuhan cairan 1 jam kelima
= IWL + maintenance
= 212 cc+ 93 cc
= 305 cc
EBV
= BB x Konstanta wanita dewasa
= 53 x 65
= 3.445 cc

Diketahui
berlangsung

jumlah

pendarahan

sebanyak

100

cc.

selama
Maka

operasi
persentasi

pendarahan yang terjadi selama operasi adalah


= Pendarahan (cc) / EBV x 100%
= 150 cc / 3.445 cc x 100%
= 4,35%
Jadi untuk penggantian < 15% EBV dapat diberikan
kristaloid sebagai pengganti pendarahannya dengan
perbandingan 1:3. Dalam kasus ini pasien mengalami
pendarahan sebanyak 150 cc maka pasien diberikan
cairan kristaloid sebanyak = 3 x 150 cc = 450 cc
Tindakan Anestesi Regional Dengan Spinal Anestesi.

Pasien diposisikan duduk dengan badan membungkuk agar processus


spinosus teraba untuk dilakukan spinal anestesi. Pada daerah vertebra
lumbal III sampai dengan vertebra lumbal V dibersihkan dengan antiseptik
povidon iodine + alkohol.

Untuk menentukan ruang subarachnoid di tarik garis dari SIAS (Spina Iliaca
Anterior Superior) ke vertebra lumbal dan biasanya terdapat di antara
vertebra lumbal IV dan vertebra lumbal V.

Dimasukkan obat bupivacaine 15 mg (3 cc) dengan cara ditusukan oleh


jarum spinal no.25G.

Setelah di spinal anestesi pasien diposisikan pada posisi supine atau


terlentang untuk tindakan operasi.

Memasang sensor finger oksimetri pada ibu jari tangan kanan pasien untuk
monitoring SpO2 dan SPO2 rate. Kemudian memasang manset pada lengan
kiri pasien untuk monitoring tekanan darah dikarenakan pada lengan kanan
telah terpasang infus.

Pemberian gas anestesi dengan O2 3L/menit dengan memakai nasal kanul.

Monitoring tanda vital selama operasi tiap 15 menit, kedalaman anestesi,


cairan, perdarahan, dan produksi urin.

Monitoring Vital Sign dan Saturasi PO2 selama operasi dilakukan


setiap 5 menit
Nadi
(x/menit
)
87
89
80
73
76
74
77
76
72
73
76
77
74

Waktu
(WIB)
10.00
10.05
10.10
10.15
10.20
10.25
10.30
10.35
10.40
10.45
10.50
10.55
11.00

Tekanan darah
(mmHg)
133/76
135/78
129/70
129/69
128/69
129/69
120/70
128/69
129/69
126/63
126/61
127/62
128/64

Saturas
i
(%)
98
100
100
99
100
100
98
99
100
100
100
100
100

Keterangan
Awal masuk ke ruang operasi
Persiapan dilakukan induksi
Persiapan dilakukan pembedahan

Mulai Pembedahan

Akhir pembedahan
Pasien dibawa ke ruang pemulihan

Pemberian cairan selama operasi


Waktu (WIB)
10.00-10.25
10.25-11.00

Jenis Cairan
NaCl 0,9%
Asering

Jumlah Cairan (cc)


250 cc
400 cc

D. POST - OPERASI
Setelah pasien dinilai dengan Bromage score dan didapatkan nilai Bromage
score 2, maka pasien diperbolehkan pindah ruangan.
Infus

= Asering 20 tetes/menit
Analgetik Tramadol 100 mg dan ketorolac 60 mg diberikan perdrip dalam 500 cc Asering

Antibiotik = sesuai teman sejawat bedah


Makan dan minum sudah dapat di mulai setelah selesai operasi.
Mobilisasi dilakukan 1x24 jam setelah pembedahan
Monitoring Post-operasi di ruangan perawatan (IIIA)
Tanda vital (suhu, repsirasi, nadi, tekanan darah)
Glukosa sewaktu setelah operasi

Bromage Score
Bromage score merupakan salah satu indikator respon motorik pasca anestesi

Nilai 0 jika terdapat gerakan penuh tungkai


Nilai 1 jika tak mampu ekstensi tungkai
Nilai 2 jika tak mampu fleksi lutut
Nilai 3 jika tak mampu fleksi pergelangan kaki
Jika nilai bromage score kurang dari sama dengan 2 pasien boleh pindah ke
ruangan.
E. FOLLOW UP PASCA OPERASI
1.

Hari Pertama 24 Jam Post-Operasi (14 Agustus 2015)

Pasien dirawat di ruang IIIA

Pasien tidak puasa, diit DM tipe II

Pasien diberikan cairan infus asering 20 tetes/menit

Analgetik Ketorolac 60 mg dan Tramadol 100 mg diberikan per-drip


melalui infus

Keadaan umum

: Baik

Kesadaran

: Compos Mentis

Vital sign

10

Tekanan darah

= 120/80

Nadi

= 77 x/menit

Respirasi

= 19 x/menit

Nadi

= 36,9oC

Guloksa sewaktu 149 mg/dL

F. PEMBAHASAN
1.

Pre-Operatif
a. Anamnesa
OS mengeluhkan nyeri disertai bengkak pada kaki sebelah kiri sejak 1
bulan yang lalu. Nyeri dan bengkak disertai keluar nanah dan berbau
busuk. Riwayat trauma tidak ada.
b. Pemeriksaan Fisik
Berat badan

: 53 Kg

Tekanan darah

: 120/60 mmHg

Nadi

: 82 x/menit

Nafas

: 20 x/menit

Suhu

: 37,1oC

Kesadaran

: Compos mentis

Keadaan umum

: Baik

Kepala

: Dalam batas normal

Leher

: Dalam batas normal

Thoraks

: Dalam batas normal

Abdomen

: Dalam batas normal

Ekstremitas

: Edema (+) tungkai bawah kiri, ulkus (+) tungkai


bawah sampai telapak kaki kiri; CRT < 2 detik
tungkai kanan, sulit dinilai pada tungkai kiri

c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium lengkap
Pemeriksaan radiologi terdiri dari foto thorax PA dan foto pedis APLateral serta cruris AP-Lateral
11

Pemeriksaan EKG
d. Anestesi
Ternilai ASA II yaitu pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai
sedang yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari.
e. Rencana Anestesi
Regional Anestesi dengan teknik spinal anestesi.
2.

Durante Operatif

Teknik Anestesi

: Spinal Anestesi

Obat Anestesi

: Bupivacaine 15 mg

Maitenance

: O2 2-3 L/menit (Nasal kanul)

Kebutuhan Cairan : 1 jam pertama sebanyak 899 cc

Teknik anestesi yang dipilih pada kasus ini adalah anestesi regional yaitu
spinal anestesi. Teknik ini dipilih dengan alasan operasi yang akan
dilakukan merupakan bedah pada bagian ekstremitas bawah. Selain itu
operasi yang akan dilakukan tidak memerlukan waktu yang lama. Obat
anestesi yang dipakai adalah Bupivacaine 15 mg dengan menggunakan
jarum spinal nomor 25G

3.

Pembahasan Materi
a. Spinal Anestesi
Anestesi spinal adalah injeksi obat anestesi lokal ke dalam ruang
intratekal yang menghasilkan analgesia. Pemberian obat lokal anestesi ke
dalam ruang intratekal atau ruang subaraknoid di regio lumbal antara
vertebra L2-3, L3-4 untuk menghasilkan onset anestesi yang cepat
dengan derajat kesuksesan yang tinggi.
Contraindications to Neuraxial Blockade
Absolute
Infection at the site of injection
Patient refusal
Coagulopathy or other bleeding diathesis
Severe hypovolemia
Increased intracranial pressure

12

Severe aortic stenosis


Severe mitral stenosis
Relative
Sepsis
Uncooperative patient1
Preexisting neurological deficits
Demyelinating lesions
Stenotic valvular heart lesions
Severe spinal deformity
Controversial
Prior back surgery at the site of injection
Inability to communicate with patient1
Complicated surgery1
Prolonged operation
Major blood loss
Maneuvers that compromise respiration
Anestesi spinal dihasilkan oleh injeksi larutan anestesi lokal ke
dalam ruang subarakhnoid lumbal. Larutan anestesi lokal dimasukkan ke
dalam cairan serebrospinal lumbal, bekerja pada lapisan superfisial dari
korda spinalis, tetapi tempat kerja yang utama adalah serabut
preganglionik karena mereka meninggalkan korda spinal pada rami
anterior. Karena serabut sistem saraf simpatis preganglionik terblokade
dengan

konsentrasi

anestesi

lokal

yang

tidak

memadai

untuk

mempengaruhi serabut sensoris dan motoris, tingkat denervasi sistem


saraf simpatis selama anestesi spinal meluas kira-kira sekitar dua segmen
spinal sefalad dari tingkat anestesi sensoris. Untuk alasan yang sama,
tingkat anestesi motorik rata-rata dua segmen dibawah anestesi sensorik.
Spinal anestesi mempunyai beberapa keuntungan antara lain,
perubahan metabolik dan respon endokrin akibat stress dapat dihambat,
komplikasi terhadap jantung, otak, paru dapat minimal, relaksasi otot
dapat maksimal pada daerah yang terblok sementara pasien dalam
keadaan sadar. Selain keuntungan ada juga kerugian dari cara ini yaitu
berupa komplikasi yang meliputi hipotensi, mual dan muntah, PDPH
(Post Dural Puncture Headache), nyeri pinggang dan lainnya.

13

Jenis obat anestesi lokal yang ideal adalah obat dengan mula kerja
cepat, lama kerja serta tinggi blokade yang dapat diperkirakan agar sesuai
dengan perkiraan durasi operasi yang kemudian akan dilakukan.

Dosages and Actions of Commonly Used Spinal Anesthetic Agents


Doses (mg)
Perineum,
Lower
Lower
Abdomen
Limbs

Drug

Preparation

Procaine

10% solution

75

Bupivacaine

0.75% in 8.25%
dextrose

Tetracaine
Lidocaine
Ropivacaine

Duration (min)
Upper
Abdomen

Plain

Epinephrine

125

200

45

60

410

1214

1218

90120

100150

1% solution in
10%glucose

48

1012

1016

90120

120240

5% in
7.5%glucose

2550

5075

75100

6075

6090

0.21% solution

812

1216

1618

90120

90120

Bupivakain hidroklorida adalah obat anestesi lokal golongan amida


dengan rumus kimianya 2-piperidine karbonamida, 1 butyl (2,6dimethilfenil) monoklorida. Mula kerjanya lebih lambat daripada
lidokain namun lama kerja sampai delapan jam. Oleh karena lama kerja
yang panjang, maka sangat mungkin menggunakan obat anestesi lokal ini
dengan teknik satu kali suntikan. Untuk prosedur pembedahan yang lebih
lama dapat dipasang kateter dan obat diberikan kontinyu sehingga resiko
toksisitas menjadi berkurang oleh karena selang waktu pemberian obat
yang cukup lama.
Kontraindikasi bupivakain adalah penyakit susunan saraf pusat aktif,
septikemia, anemia pernisiosa dengan degenerasi subakut dari korda
spinalis, infeksi piogenik pada kulit, syok kardiogenik atau hipovolemik,
gangguan koagulasi atau sedang mendapat terapi antikoagulan. Efek
sampingnya dapat menimbulkan hipotensi, bradikardia, sakit kepala.
Juga dapat menimbulkan blokade spinal tingkat tinggi atau total sehingga

14

menyebabkan depresi kardiovaskular dan pernafasan namun jarang


terjadi.
Tingkat penyerapan sistemik anestesi lokal tergantung pada dosis
total dan konsentrasi obat yang diberikan, cara pemberian, vaskularisasi,
dan ada tidaknya epinefrin dalam larutan anestesi. Konsentrasi encer
epinefrin (1:200.000 atau 5 mcg/mL) biasanya mengurangi tingkat
penyerapan dan konsentrasi puncak plasma Bupivakain Hidroklorida,
yang memungkinkan penggunaan total dosis cukup besar dan kadang
memperpanjang durasi kerja. Mula kerja Bupivakain sepat dan durasi
anestesinya cukup lama dibandingkan obat anestesi lokal lainnya.
Anestesi lokal terikat dengan protein plasma dalam berbagai derajat.
umumnya, semakin rendah konsentrasi plasma obat semakin tinggi
persentase obat terikat pada protein plasma.
Setelah injeksi Bupivakain Hidroklorida pada cauda, epidural, atau
blok saraf perifer pada manusia, tingkat puncak Bupivakain dalam darah
dicapai dalam 30 sampai 45 menit, diikuti dengan penurunan tingkat
signifikan selama tiga sampai enam jam berikutnya.
Berbagai parameter farmakokinetik anestesi lokal dapat secara
signifikan diubah oleh gangguan hati atau penyakit ginjal, penambahan
epinefrin, faktor yang mempengaruhi pH urin, aliran darah ginjal, cara
pemberian obat, dan usia pasien. Waktu paruh dari Bupivakain
Hidroklorida pada orang dewasa adalah 2,7 jam dan pada neonatus 8,1
jam. Anestesi lokal jenis amida seperti Bupivakain Hidroklorida
dimetabolisme terutama di hati melalui konjugasi dengan asam
glukuronat. Pasien dengan penyakit hati, terutama mereka dengan
penyakit hati yang berat, mungkin lebih rentan terhadap potensi
toksisitas anestesi lokal jenis amida. Pipecoloxylidine adalah metabolit
utama Bupivakain Hidroklorida. Ginjal adalah organ ekskresi utama
untuk kebanyakan anestetik lokal dan metabolitnya. Ekskresi urin
dipengaruhi oleh perfusi kemih dan faktor yang mempengaruhi pH urin.
Hanya 6% dari Bupivakain diekskresikan tidak berubah dalam urin.

15

b. Anestesi pada Geriatri


Efek samping anestesi pada pasien geriatri kemungkinan terjadi lebih
besar karena adanya keterbatasan fungsi tubuh. Morbiditas dan mortalitas
meningkat sesuai dengan peningkatan usia. Rekomendasi perioperatif pada
pasien geriatri adalah menghindari obat-obat yang beresiko meningkatkan
delirium, pemberian cairan, kalori adekuat, masalah transportasi, terapi fisik
dan segera mungkin dapat melakukan aktifitas sehari hari. Pasien geriatri
membutuhkan perhatian ekstra saat penilaian perioperatif, tatalaksana
terperinci saat intraoperatif yang bervariasi dan mengetahui status penyakit
penyerta serta kewaspadaan terhadap pemberian titrasi dan dosis dari obatobat yang digunakan.
Sejauh ini tidak ada alat, obat dan teknik anestesi yang dikatakan terbaik
untuk pasien geriatri. Fakta dan penelitian ilmiah yang menyarankan
penggunaan anestesi regional pada pasien geriatri karena teknik yang
sederhana, aman, pemulihan cepat dan efek samping minimal dibandingkan
anestesi umum. Pada geriatri seringkali terjadi degeneratif massa otot dan
secara mikroskopik terjadi penebalan celah penghubung neuromuskular.
Arthritis, osteoporosis, kelemahan dan kekakuan ligamen, cenderung mudah
terjadi fraktur dan dislokasi sendi pada tiap gerakan dan posisi intraoperatif
sehingga menjadi penyulit anestesi epidural dan spinal.
Hubungan Usia dan Perubahan Fisiologi
1) Sistem Kardiovaskular
Penurunan elastisitas pembuluh darah karena fibrosis pada tunika media,
ini adalah proses normal dari proses penuaan. Penurunan komplain arteri
mengakibatkan peningkatan afterload, meningkatnya systolic blood pressure,
hipertrophy ventrikel kiri. Penebalan dinding ventrikel kiri ini meningkatkan
rongga dari ventrikel kiri. Beberapa kali sering terjadi. fibrosis myocardial
dan kalsifikasi pada katup Bila penyakit penyerta tidak ada, maka tekanan
darah diastolik harus tetap dipertahankan atau menurun. Fungsi Baroreseptor
ditekan. Dengan cara yang sama, sebaliknya terutama pada cardiac output

16

menurun sesuai peningkatan usia, tampaknya dipertahankan dengan baik pada


individu yang sehat.
Bila tidak ada penyakit penyerta, Resting diastolic dari fungsi jantung
tampaknya tetap dipertahankan sampai usia diatas 80 tahun. Peningkatan
tonus vagal dan penurunan sensitifitas dari reseptor adrenergic memincu
terjadinya penurunan denyut jantung / heart rate. Maksimal penurunan Heart
rate sekitar 1 denyut per menit pertahun, pada umur diatas 50 tahun. Fibrosis
pada system konduksi dan hilangnya sel-sel SA node meningkatkan incidence
dari dysrhythmia, terutama Atrial Fibrilasi dan Atrial Flutter.
Pada pasien tua yang sedang dalam evaluasi untuk dilakukan
pembedahan, mempunyai insiden yang meningkat terjadinya disfungsi
diastolic, dimana hal ini dapat di ketahui dengan Dopller EKG. Tanda adanya
disfungsi diastolic dapat dilihat dari adanya Hypertensi sistemik, Penyakit
arteri caroner, Kardiomiopathy, dan penyakit katub jantung, terutama stenosis
aorta. Pasien dapat tanpa gejala atau adanya keluhan terhadap gangguan
anktifitas, dispone, batuk dan fatique.
Disfungsi diastolic mengakibatkan peningkatan yang relative besar pada
Tekanan end-diastolic ventrikel dengan sedikit perubahan volume ventrikel
kiri; kontribusi atrium terhadap pengisian ventrikel menjadi hal yang penting
dibandingkan pada pasien yang masih muda. Pembesaran atrium merupakan
predisposisi terjadinya Artrial Fibrilasi dan atrial flutter. Pasien ini
mempunyai resiko yang meningkat akan terjadinya Congestive Heart Failure.
Pengurangan Cardiac Reserve pada beberapa orang yang sudah
mungkin

dimanisfestasikan

dengan

penurunan

tekanan

darah

tua
saat

dilakukannya induksi dari tindakan General Anesthesi. Memanjangnya waktu


sirkulasi, memperlambat onset dari obat IV tetapi mempercepat induksi
dengan obat Inhalasi. Seperti pada penderita bayi, pasien tua mempunyai
sedikit kemampuan berespon terhadap hypovolemic, Hypotensi dan Hypoksia
dengan meningkatkan hear rate jantungnya.

17

2) Sistem Respirasi
Elastisitas menurun juga terjadi pada jaringan paru, Overdistensi pada
alveolar dan kolapnya beberapa jalan napas yang kecil dapat terjadi.
Penurunan luas permukaan area alveolar merupakan hal yang terjadi lebih
dahulu, dengan menurunkan efisiensi terhadap pertukaran gas. Kolapsnya
jalan napas meningkatkan Volume Residual paru (volume sisa udara pada
akhir ekspirasi maksimal) dan Clossing capacity (volume udara pada paru
dimana jalan napas kecil mulai tertutup). Bahkan pada orang normal clossing
capacity meningkatkan fungsional residual capacity (volume sisa udara pada
akhir ekspirasi normal) pada usia 45 tahun pada posisi supine dan usia 65
tahun pada posisi duduk. Ketika hal ini terjadi, beberapa jalan napas tertutup
selama pernapasan normal, yang mengakibatkan perbedaan yang tidak
sebanding antara ventilasi dengan perfusi. Efek tambahan yang terjadi pada
menyerupai empishema ini adalah perubahan menurunnya tekanan oksigen
arteri,

rata-rata 0.35 mmHg / tahun. Tetapi, pada pasien tua yang akan

dilakukan operasi mempunyai range tekanan oksigen yang cukup luas.Terjadi


peningkatan dead space anatomi dan fisiologi.
Ventilasi dengan mask lebih sulit dilakukan pada pasien dengan
edentulous/ompong, sedangkan arthritis pada TMJ atau vertebra servikal,
intubasi merupakan suatu tantangan. Pada hal lain, tidak adanya gigi atas
sering bermanfaat dalam memperbaiki penglihatan terhadap pita suara saaat
dilakukan intubasi/laringoskop.
Pencegahan

perioperatif

termasuk

hypoksia

dengan

melakukan

preoksigenasi lebih lama sebelum melakukan intubasi, meningkatkan


konsentrasi oksigen inspirasi selama antesthesi, sedikit meningkatkan PEEP,
dan agresif melakukan pulmonary toilet / pembersihan trachea.
Pneumonia Aspirasi sering dan potensial terjadi sebagai komplikasi saat
lakukan penyelamatan dijiwa pada penderita tua. Satu alasan kecenderungan
terjadinya hal ini adalah adanya penurunan reflek proteksi laringeal yang
progresif sesuai dengan umur. Kegagalan ventilasi di RR sering terjadi pada
pasien tua. Untuk itu, pasien-pasien dengan penyakit paru berat sebelumnya

18

dan yang telah dilakukan operasi abdominal, post op pasien harus tetap
terintubasi.
Tambahan, untuk management nyeri post op harus dilakukan dengan
pertimbangan yang serius (seperti, epidural dengan lokal anesthesi dan
opioid, blok nervus interkosta).
3) Fungsi Ginjal
RBF dan masa ginjal (spt. Jumlah glumerulus dan panjang tubulus)
menurun sesuai dengan Usia. Perubahan yang mencolok terutama terjadi
kortek ginjal dimana disini akan diganti oleh lemak dan jaringan fibrosis.
Fungsi ginjal ditentukan oleh GFR dan penurunan kreatinin serum menjadi
menurun. Kadar kreatinin serum tidak berubah dikarenakan adanya
penurunan masa otot dan produksis kreatinin. Sebaliknya kadar BUN (Blood
Urea Nitrogen) perlahan meningkat (0.2 mg/dL per tahun). Gangguan
terhadap pemeliharaan natrium, dan kemampuan untuk mengkonsentrasi dan
kemampuan dilusi mempengaruhi pasien-pasien tua untuk terjadinya
dehidrasi atau kelebihan cairan (Fluid Overload).
Respon terhadap hormon antidiuretik dan aldosteron menurun.
Kemampuan untuk reabsorbsi gula menurun. Kombinasi antara penurunan
RBF dan dan penurunan masa nefron, meningkatkan resiko pasien tua untuk
terjadinya ARF pada periode post operatif. Karena menurunnya fungsi ginjal,
yang mempuyai fungsi untuk mengekskresikan obat-obatan. Menurunnya
kemampuan dalam menangani cairan dan elektrolit, membuat penanganan
atau penatalaksaan terhadap cairan harus lebih kritis/serius; pasien tua lebih
cenderung terjadi hypokalemia dan hyperkalemia. Ini merupakan Komplikasi
lebih lanjut terhadap seringnya penggunaan diuretik pada pasient tua. Pada
akhirnya elektrolit serum, Cardiac Filling Pressures, dan output urin harus
lebih sering di monitor.
4) Fungsi Metabolik dan Endokrin
Konsumsi Oksigen basal dan maksimal menurun sesuai dengan usia.
Puncaknya setelah usia 60 tahun, banyak laki-laki dan wanita mulai
kehilangan berat badannya dibandingkan usia muda. Produksi panas badan

19

menurun, kehilangan panas meningkat. dan hypothalamic sebagai pusat


pengatur temperatur suhu tubuh baru akan ter-reset pada level yang terendah.
Peningkatan resistensi insulin menjadi penyebab terjadinya penurunan
yang progresif dalam kemampuan untuk mengatasi peningkatan glukosa
dalam

tubuh.

Respon

neuroendocrine

terhadap

stress

tampaknya

dipertahankan atau sedikit menurun dibandingkan dengan pasien tua yang


masih sehat. Penuaan dihubungkan dengan penurunan respon terhadap obatobat -adrenergik (endogenous blockade). Kadar norepineprin dalam
sirkulasi dikatakan akan meningkat pada pasien-pasien tua.
5) Fungsi Gastrointestinal
Massa hati menurun pada orang tua sesuai juga terjadinya penurunan
aliran darah ke hati (Hepatic Blood Flow). Dan Fung hati (cadangan)
menurun sesuai dengan penurunan masa dari hati. Sehingga biotransformasi
dan produksi albumin menurun. Kadar Choline esterase plasma menurun
pada

laki-laki

tua.

pH

lambung

cenderung

meningkat,

sedangkan

pengosongan lambung memanjang. Walaupun menurut bebarapa penelitan


pada pasien-pasien tua mempunyai volume lambung yang rendah
dibandingkan dengan pasien muda.
Sistem

Cardiovascular

Respiratory

Perubahan fisiologis normal


Pe elastisitas arteri :

Patofisiologi yang sering ada

Pe afterload
Pe Tek.darah sistolik
Hypertropi ventrikel kiri
Pe aktifitas adrenergic :

Atherosklerosis
Penyakit Jantung koroner
Hypertensi essensial
Congestive Heart Failure
Cardiac Aritmia
Stenosis Aorta

Pe Resting HR
Pe maksimal HR
Pe Reflek baroreseptor
Pe elastisitas paru :

Pe luas permukaan alveolar


Pe Volume residual
Pe Closing Capacity
Ventilasi / perpusi yang tidak sesuai.
Pe tekanan O2 atrteri

Emphisema
Bronkitis kronik
Pneumonia

20

Pe kekauan dinding dada


Pe kekuatan otot :
Pe Batuk
Pe

Kapasitas
maksimal
pernapasan
Kurang respon terhadap hiperkapni dan
hipoksia
Pe Aliran darah ginjal :
Pe Aliran plasma ginjal
Pe GFR
Pe Closing Capacity
Ventilasi / perpusi yang tidak sesuai.
Pe tekanan O2 atrteri
Pe Masa ginjal
Nephropati Diabetik
Nephropati Hipertensi
Pe Fungsi tubulus :
Obstruksi prostat
Congestive Heart Failure
Penangan Na yang lemah

Ginjal

Penangan cairan yang lemah


Pe Kemampuan mengkonsentrasi
Pe Kapasitas dilusi
Pe Ekskresi obat
Pe Respon Renin-Angiotensin :
Gangguan ekskresi Kalium

6) Sistem Saraf
Masa otak menurun sesuai dengan usia; neuron yang berkurang menonjol
di kortek cerebral, terutama lobus frontal. CBF menurun sekitar 10 20%
sesuai dengan berkurangnya sel saraf. Ini berhubungan erat dengan
metabolisme ; autoregulasi masih baik. Neuron menurun dalam ukuran dan
kehilangan beberapa kompletisitas dari cabang-cabang dendrit dan jumlah
sinaps. Pembentukan beberapa neurontransmiter seperti dopamin dan
sejumlah reseptor berkurang. Ikatan Serotonergic, adrenergic dan aminobuteric acid (GABA) juga berkurang. Jumlah sel Astrocyt dan sel mikroglia
meningkat. Degradasi sel-sel saraf perifer mengakibatkan lamanya kecepatan
konduksi dan atropi dari otot skeletal.

21

Penuaan dihubungkan dengan peningkatan threshol / ambang dari hampir


semua

sensorik,

termasuk

sentuh,

sensasi

temperatur,

propioseptif,

pendengaran dan penglihatan. Perubahan presepsi nyeri adalah sangat


komplek dan masih belum dapat dimergerti benar. Proses Mekanisme di pusat
dan perifer seperti perubahan.
Dosis yang diperlukan diturunkan untuk anestesi lokal (Minimum
anesthetic Concentration) dan anestesi General (Minimum Alveolar
concentration). Pada pasien usia tua pemberian anesthesi epidural cenderung
menyebar ke arah cephal, tetapi dengan durasi analgetik dan blok motorik
yang pendek. Lamanya duration of action harus dipikirkan pada spinal
anesthesi. Bila tidak ada penyakit penyerta, penurunan fungsi kognitif adalah
normal, tetapi berbeda setiap orang. Memori jangka pendek yang biasanya
paling sering terganggu. Aktivitas secara fisik dan intelektual yang
berkelanjutan tampaknya mempunyai efek yang baik terhadap pemeliharaan
fungsi kognitif.
Pada pasien yang sudah tua memerlukan waktu yang lebih lama untuk
pemulihan sistem saraf pusat dari efek tindakan anesthesi umum, terutama
pada mereka yang mengalami kebingungan dan disorientasi pada preoperatif.
Ini merupakan hal penting pada pasien geriatik yang akan dilakukan tindakan
pembedahan rawat jalan, dimana faktor sosioekonomi yang merupakan faktor
utama/tertinggi yang menyebabkan pasien diharuskan dirawat dirumah.
Banyak pasien tua/geriatri mengalami bermacam-macam derajat dari
Acute confusional state, delirium atau

gangguan Kognitive setelah

pembedahan. Penyebab dari Disfungsi kognitif postoperatif (POCD = Post


Operative Cognitive Dysfungsion) adalah multifaktor dan termasuk efek obat,
nyeri,

demensia, hypotermia dan gangguan metabolik. Rendahnya kadar

neurotransmiter utama, seperti asetilkolin, mungkin juga memberikan


kontribusi.
Pada pasien tua terutama sensitif terhadap obat obat bekerja sebagai
anti kolinergik yang bekerja dipusat seperti scapolamin atau atropin.
Menariknya, kejadian delirium postoperasi sepertinya terjadi pada regional

22

anesthersi dan general anaesthesi. Mungkin ini jarang terjadi pada anesthesi
regional tanpa sedasi.
Beberapa pasien menderita karena prolonged atau permanent POCD
setelah pembedahan dan anesthesi. Beberapa penelitian mengatakan bahwa
POCD dapat dideteksi pada 10% - 15% pada pasien diatas usia 60 tahun
selama 3 bulan post pembedahan utama. Pada bagian yang lain seperti post
oprasi cardiac dan prosedur bedah tulang besar, emboli arteri intraoperative
dapat juga menjadi penyebab. Pada pasien tua tampaknya mempunyai resiko
terbesar terhadap terjadinya POCD dibandingkan dengan pasien rawat jalan
lainnya.
7) Sistem Muskuloskeletal
Masa otot berkurang. Pada tingkat mikroskopis neuromuscular junction
menebal. Receptor acethylcholine tampaknya juga tersebar dibeberapa
extrajunctional.Kulit mengalami atropi sesuai dengan umur dan mudah untuk
terjadinya trauma dari plester, Alas dari elektrocauter, electroda dari EKG.
Vena sering lemah dan mudah terjadi ruptur oleh karena IVFD. Adanya
Arthritis sendi mengganggu terhadap pengaturan posisi (spt. Lithotomi) atau
Anesthesi regional (spt. Subarachnoid block / Spinal anesthesi). Adanya
penyakit degenaratif pada tulang servikal dapat membatasi ekstensi leher
yang berpotensial menyebabkan kesulitan dilakukannya intubasi.
c. Anestesi Pada Pasien Diabetes Mellitus
Pada orang dewasa normal, produksi insulin sekitar 50 unit per hari dari
sel beta lengerhans pancreas. Jumlah sekresi insulin terutama tergantung
kadar glukosa didalam plasma. Insulin, merupakan hormon anabolik paling
penting yang mempunyai efek metabolik yang banyak, meliputi peningkatan
glukosa dan potassium memasuki adiposa dan sel otot; meningkatan
glikogen, protein, dan sintesis asam lemak dan penurunan glikogenolisis,
glukoneogenesis, ketogenesis, lipolisis dan katabolisme protein. Biasanya,
insulin merangsang anabolisme, dimana gangguan insulin dihubungkan
dengan katabolisme dan balans nitrogen yang negatif.

23

Endocrinologic Effects of Insulin


Effects on liver
Anabolic
Promotes glycogenesis
Increases synthesis of triglycerides, cholesterol, and VLDL
Increases protein synthesis
Promotes glycolysis
Anticatabolic
Inhibits glycogenolysis
Inhibits ketogenesis
Inhibits gluconeogenesis
Effects on muscle
Promotes protein synthesis
Increases amino acid transport
Stimulates ribosomal protein synthesis
Promotes glycogen synthesis
Increases glucose transport
Enhances activity of glycogen synthetase
Inhibits activity of glycogen phosphorylase
Effects on fat
Promotes triglyceride storage
Induces lipoprotein lipase, making fatty acids available for absorption into fat
cells
Increases glucose transport into fat cells, thus increasing availability of glycerol phosphate for triglyceride synthesis
Inhibits intracellular lipolysis
Diabetes mellitus ditandai oleh kerusakan metabolisme karbohidrat yang
disebabkan oleh defisiensi insulin atau kemampuan reaksi insulin, yang
menimbulkan hiperglikemi dan glukosuria. Dignosis berdasarkan peningkatan
glukosa plasma puasa ( > 140 mg/dl ) atau glukosa darah ( 126 mg/dl ). Nilai
dari beberapa laporan bahwa kadar gula darah berkiras 12 15% lebih rendah
dari glukosa plasma, demikian juga ketika pengujian pada whole blood,
perhitungan glukosa terbaru, dan pada glukosa plasma. Diabetes baru-baru
24

ini terlah diklasifikasikan kembali meliputi empat tipe (table 36-2); DM tipe I
(insulin-dependen) dan DM tipe II (noninsulin-dependen) yang paling umum
dan dikenal. Diabetik Ketoasidosis (DKA) dihubungkan dengan DM tipe I,
tetapi ada orang tertentu, dimana saat ini dengan DKA yang secara fenotip
terlihat mempunyai DM tipe II. Selanjutnya, individu dengan diagnosa awal
DM tipe II kemudian berkembang menjadi DM tipe II.
Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus
Diagnosis (based on blood glucose level)
Fasting

126 mg/dL (7.0 mmol/L)

Glucose tolerance test

200 mg/dL (11.1 mmol/L)

Classification
Type I

Absolute insulin deficiency secondary to immune-mediated or


idiopathic

Type II

Adult onset secondary to resistance/relative deficiency

Type III

Specific types of diabetes mellitus secondary to genetic defects

Type IV
Gestational
Penurunan aktivitas hormon insulin mengakibatkan terjadinya katabolism
dari

asam

lemak

bebas

menjadi

benda

keton

(acetoacetate

dan

hydroxybutyrate), sebagian dari yang ada adalah asam lemah (lihat Bab 30).
Akumulasi dari asam organic ini mengakibatkan suatu anion-gap acidosis
metabolisme DKA (Diabetic

Keto Asidosis). DKA dapat dengan mudah

dicirikan dari Asidosis Laktat, dimana hal ini dapat terjadi pada waktu bersamaan;
Asidosis laktat dicirikan dengan peningkatan laktat plasma ( > 6 mmol/L ) dan
tidak ditemukan di urine dan keton plasma (walaupun mereka dapat terjadi secara
bersamaan dan ketosis pada kelaparan dapat terjadi asidosis laktat). Pada
peminum alcohol, ketoacidosis dapat dibedakan dengan adanya riwayat terakhir
konsumsi alkohol berat (pesta minum minuman keras yang memabukan) pada
pasien nondiabetic dengan suatu kadar glukosa darah yang sedikit meningkat.
Pada keadaan seperti itu pasien juga mempunyai peningkatan tidak sebanding
pada hydroxybutyrate dengan acetoacetate
Infeksi merupakan penyebab yang paling umum pada DKA, dimana pada
beberapa pasien, terutama pada anak remaja, adalah manifestasi pertama dari

25

diabetes mellitus type I. Maifestasi klinik meliputi tachypnea (mencoba untuk


melakukan kompensasi terhadap acidosis metabolisme), sakit abdominal yang
menyerupai suatu abdomen akut, mual dan muntah, dan perubahan sensoris.
Pengobatan DKA tergantung pada koreksian pertama yang sering penting
hypovolemia, hyperglycemia, dan defisit dari kalium tubuh, dengan infuse
kontinyu suatu cariran isotonic dan kalium, dan infuse insulin.
Tujuan dari penurunan kadar glukosa pada ketoacidosis harus 75100
mg/dL/jam atau 10%/jam. Pengobatan dapat dimulai dengan suatu pemberian
infuse 0,1 U/Kg/jam atau nilai glukosa darah kurang 60 kali 0.1 U/jam. Pada
pasien ini sering terjadi resistensi terhadap terapi insulin, dan rata-rata dibutuhkan
dosis yang lebih tinggi jika glukosa tidak menurun. Seperti glukosa yang
bergerakkan keintrasel, demikian juga kalium. Jika dikoreksi, hal ini dapat dengan
cepat mendorong kearah suatu tingkatan hypokalemia yang kritis, penggantian
yang sangat cepat pada hyperkalemi dapat menyebabkan suatu hal yang sama
dalam mengancap kehidupan. Kalium, Glukosa Darah, dan serum keton harus
dimonitor terus, minimal setiap 2 jam dan lebih baik setiap jam.
Beberapa liter dari normal saline (12 L pada jam pertama, yang diikuti oleh
200500 mL/jam) yang secara khas diperlukan untuk mengoreksi dehidrasi
tersebut. Cairan RL harus dihindari ketika hati dengan cepat mengkonversi laktat
ke bikarbonat; karena menyebabkan lemahnya perfusi pada jaringan, Volume
penyebaran dari normal salin adalah sangat aman.

. Ketika glukosa plasma

mencapai 250 mg/dL, Infus D5W yang ditambahkan insulin untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya hipoglikemi dan untuk menyediakan suatu sumber
hormon insulin dan glukosa yang terus-menerus yang pada akhirnya untuk
menormalkan metabolisme intrasel. Pasien mungkin memerlukan NGT untuk
dekompresi gaster dan kateter kandung empedu untuk memonitor pengeluaran air
kencing.
Koreksi pada asidosis berat (pH < 7,1) dengan bicarbonat sering tidak
diperlukan, seperti koreksi asidosis dengan volume yang berlebihan dan
menormalkan keadaan hiperglikeminya.

26

Ketoacidosis bukanlah suatu bentuk dari koma nonketotik hyperosmolar,


mungkin disebabkan hormon insulin yang cukup tersedia untuk mencegah
perubahan benda-benda keton. Sebagai gantinya, suatu diuresis hyperglycemic
mengakibatkan

dehidrasi

dan

hyperosmolaritas.

Dehidrasi

berat

cepat

menimbulkan gagal ginjal, asidosis laktat, dan kecenderungan membentuk


thromboses intravascular. Hyperosmolaritas, sering melebihi 360 mOsm/L, yang
mengubah keseimbangan air di cerebral, yang menyebabkan perubahan status
mental dan kejang. Hyperglycemia berat menyebabkan suatu factitious
hyponatremia: setiap peningkatan 100 mg/dL glukosa plasma menurunkan
konsentrasi sodium plasma sekitar 1,6 mEq/L. Terapi meliputi resusitasi cairan
dengan normal saline, dosis hormon insulin yang relatif kecil, dan penambahan
kalium.
Hypoglycemia pada penderita DM adalah berlebihnya hormon insulin relative
terhadap intake karbohidrat. Lebih lanjut, pada beberapa pasien tidak mampu
mengkonter dengan pengeluaran glucagon atau epinephrine terhadap terjadinya
hypoglycemia (counterregulatory failure)). Ketergantungan otak pada glukosa
sebagai suatu sumber energi membuatnya sebagai organ yang paling peka
terhadap hypoglycemia. Jika hypoglycemia tidak diobati, terjadi perubahan status
mental cepat dari lightheadedness atau kebingungan sampai terjadi kejang dan
koma yang permanen. Manfestasi sistemik dari hipoglikemi diakibatkan oleh
pengeluaran katekolamin dan meliputi diaphoresis, tachycardia, dan gelisah.
Kebanyakan dari tanda dan gejala dari hypoglycemia akan hilang/tersembunyi
oleh anesthesia umum. Walaupun kadar glukosa plasma normal adalah tidak jelas
dan tergantung pada umur dan jenis kelamin, hypoglycemia dapat secara biasanya
dianggap kurang dari 50 mg/dL. Pengobatan hypoglycemia adalah dengan
memberikan 50% glukosa intravena (setiap mililiter 50% glukosa akan menaikkan
glukosa darah kira-kira 2 mg/dL pada pasien dengan BB 70-kg).
Pertimbangan Anestesi
1) Preoperative

27

Kadar Hemoglobin A1c dapat membantu mengidentifikasi pasien yang


mempunyai resiko besar terjadi hyperglycemia perioperative dan oleh karena itu
peningkatan komplikasi dan hasil yang buruk. Morbiditas Perioperative pada
pasien DM dihubungkan dengan preoperative kerusakan dari end-organ, walaupun
sepertiga sampai setengah pada pasien DM type II mungkin tidak acuh bahwa
mereka mempunyai itu. Paru-paru, Kardiovaskular, dan sistem renal memerlukan
penilaian yang ketat. Suatu Rongent thorak preoperative pada penderita DM lebih
mungkin terjadi pembesaran jantungkongesti pembuluh darah paru, atau efusi
pleura. EKG preoperatif pada pasien DM juga terjadi peningkatan insiden
abnormalitas dari segment ST dan segmen gelombang T. Myocardial ischemia
mungkin jelas terihat pada EKG di samping riwayat yang tidak ada/negatif (silent
myocardial ischemia dan infark).
Pasien DM dengan hipertensi, 50% nya menderita neuropathy otonom
diabetic (Tabel 363). Refleksi gangguan fungsi sisten saraf otonom meningkat
sejalan dengan peningkatan usia, DM lebih dari 10 tahun, CAD, atau blokade adrenergic. Neuropathy Otonomi pada penderita DM dapat membatasi
kemampuan kerja jantung untuk melakukan kompensasi terhadap perubahan
volume intravaskuler dan dapat mempengaruhi ketidak stabilan kardiovaskuler
(seperti pada hipotensi postinduksi) dan bahkan kematian berhubungan dengan
kematian jantung yang mendadak, insidennya mungkin meningkat dengan
penggunaan angiotensin-converting enzyme inhibitors atau angiotensin receptor
blockers. Lebih lanjut, gangguan fungsi otonomik berperan terhadap perlambatan
pengosongan lambung (gastroparesis). Premedikasidengan suatu antacid dan
metoclopramide akan sangat bijaksana pada pasien DM yang gemuk dengan tanda
dari disfungsi otonom jantung. Bagaimanapun, disfungsi otonom dapat
mempengaruhi tractus gastrointestinal tanpa tanda tanda-tanda keterlibatan
jantung.

Clinical Signs of Diabetic Autonomic Neuropathy.

28

Hypertension
Painless myocardial ischemia
Orthostatic hypotension
Lack of heart rate variability 1
Reduced heart rate response to atropine and propranolol
Resting tachycardia
Early satiety
Neurogenic bladder
Lack of sweating
Impotence
1Normal heart rate variability during voluntary deep breathing (6 breaths/min) is
greater than 10 beats/min.
Gangguan ginjal dimanifestasikan dengan proteinuria dan kemudian
peningkatan kreatinin serum. Dengan kriteria ini, pasien DM tipe I paling sering
mengalami gangguan ginjal pada usia 30 tahunan. Karena tingginya kejadian
infeksi yang dihubungkan dengan system kekebalan, perhatian yang tegas pada
tehnik aseptic harus dilakukan pada pemasangan semua kateter intravena dan
monitoring invasive.
Hiperglikemi kronik dapat memicu terjadinya glikosilasi / glycosylation pada
protein jaringan dan sindrom keterbatasan pergerakan sendi / limited-mobility
joint syndrome. Pada preoperative, Pasien DM harus selalu dievaluasi secara rutin
terhadap kemampuan pergerakan dari sendi temporomandibular dan tulang leher
untuk membantu dalam menghadapi kesulitan intubasi, dimana kejadian ini terjadi
sekitar 30% pada penderita DM tipe I.
2) Intraoperatif
Tujuan utama dari management gula darah intraoperatif adalah
menghindari terjadinya hipoglikemi. Walaupun memcoba untuk mempertahankan
kondisi euglikemi adalah hal yang kurang hati-hati, tidak dapat diterimanya
hilangnya gula darah kontrol (>180mg/dL) juga membawa suatu resiko.
Hiperglikemi

telh

dihubungkan

dengan

keadaan

hiperosmolaritas,

infeksi/peradangan dan luka yang sulit sembuh. Yang lebih penting, ia dapat
memperburuk neurologis setelah suatu episoda iskemik serebral dan hasil setelah
29

tindakan bedah jantung atau setelah akut miokard infark. Kecuali hiperglikemi
diobati secara agresif pada DM tipe, kontrol hasil metabolik, terutama yang
berhubungan dengan pembedahan besar

atau sepsis. Pengawasan yang ketat

bermanfaat pada pasien yang akan menjalani pembedahan kardiopulmonary


bypass dengan memperbaiki kontraktilias dan pemisahan dang dengan
menurunnya infeksi dan komplikasi neurologis. Kontrol ketat pada pasien hamil
dengan DM telah memperlihatkan perbaikan hasil pada bayi. Meskipun demikian,
seperti dicatat sebelumnya, bahwa ketergantungan otak terhadap glukosa sebagai
sumber energi yang membuat hal ini menjadi penting, sehingga terjadinya
hipoglikemi harus dihindari.
Adanya beberapa regimen pada managemen perioperatif untuk pasien DM.
Yang paling sering, pasien menerima suatu fraksi (biasanya setengah) dari total
dosis insulin dosis pada bentuk insulin kerja intermediate (tabel 35-4). Untuk
menurunkan resiko terjadinya hipoglikemi, insulin diberikan setelah akses vena
terpasang dan diperiksa kadar gula darah pagi hari. Sebagai contoh, seorang
pasien yang normal mendapatkan Insulin NPH (neutral protamine Hagedorn;
intermediate-acting) dosis 30 U dan 10 U dari regular atau insulin Lispro (shortacting) atau analog insulin setiap pagi dan setiap yang gula darahnya kurang
150mg/dL mendapatkan 15 U (setengah dari 30, setengah dari dosis normal pagi
hari) dari NPH secara subkutan atau IM sebelum pembedahan bersama dengan
infus dekstrosa 5% (1,5 mL/kg/jam). Penyerapan insulin subkutan atau IM
tergantung dari pada aliran darah dijaringan, bagaimanapun, dan selama
pembedahan dapat tidak diramalkan. Penggunaan dari jalur intravena dengan
jarum infus yang keci untuk pemberian cairan dextrose guna mencegah terjadinya
pengaruh dengan cairan intraoperatif dan obat yang lain. Tambahan dekstrosa
dapat diberikan jika pasien menjadi hipglikemik ( < 100 mg/dL ). Tetapi,
hiperglikemi intraoperatif ( > 150-180 mg/dL ) diterapi dengan cairan insuliln
reguler IV sesuai dengan skala yang ada. Satu unit insulin regular yang diberikan
pada dewasa biasanya kadar glukosa lebih rendah pada 25 30 mg/dL. Ini harus
ditekankan bahwa dosis-dosis ini adalah perkiraan dan tidak berlaku bagi pasien
dalam keadaan Katabolic ( misalnya, sepsis, hyperthermia).

30

Dua teknik yang paling sering pada perioperatif managemen insulin pada
penderita DM
Bolus Administration
D5W (1.5 mL/kg/h)
Preoperative

Intraoperative

NPH1 insulin (half usual AM


dose)
Regular insulin (as per
sliding scale)

Postoperative Same as intraoperative


NPH, neutral protamine Hagedorn.

Continuous Infusion
D5W (1 mL/kg/h)
Regular insulin :

Same as preoperative
Same as preoperative

Suatu metode alternative untuk pemberian regular insulin adalah dengan


infuse kontinyu. Kelebihan dari tehnik ini adalah lebih seksama/tepat mengontrol
pemberian insulin daripada dapat dicapai dengan suntukan insulin NPH secara
subkutan atau IM, terutama pada kondisi yang dihubungkan dengan perfusi dikulit
dan otot yang jelek. Dua ratus dan 50 Unit regular insulin dapat ditambahkan
dalam 250ml garam fisiologis dan infuse dimulai pada dosis 0,1 U/kg/jam. Seperti
pada Fluktuasi gula darah, infuse regular insulin dapat ditambahkan

dapat

disesuaikan menurut rumusan yang berikut :

Target umum untuk mempertahankan gula darah intraoperatif adalah 120


150 mg/dL. Walau beberapa telah diatas target dari 120 mg/dL. Kontrol yang
ketat dengan tehnik intravena kontinous mungkin lebih tepat untuk DM type I.
penambahan 20mEg KCl pada setiap 1 liter cairan harus lebih diperhatikan,
insulin menyebabkan potassium (Kalium) pindah ke intraseluler. Efek dari
penyerapan insulin oleh spuit intravena dapat diminimalkan dengan flushing jalur
sebelum dimulainya infuse. Beberapa anestesi juga menyarankan penempatan
infuse insulin pada botol gelas untuk meminimalkan penyerapan oleh plastic
intravenous bag.

Karena kebutuhan insulin setiap individu sangat bervariasi

sekali, banyak formula yang harus diperhatikan hanya sebagai guidline saja.

31

Jika pasien pada preoperatif sedang meminum obat hipoglicemik oral


sebagai pengganti insulin, obat dapat dilanjutkan samapi hari akan dioperasi,
tetapi padda sulfonylureas dan metformin harus dihentikan 24 48 jam sebelum
operasi karena mereka mempunyai half life / masa paruh yang panjang. Mereka
dapat dimulai lagi postoperatif ketika pasien sudah dapat minum per oral.
Metformin dimulai jika fungsi renal dan hepar tetap adekuat. Karena aksi kerja
yang lama, suatu infus glukosa dimulai dan gula darah terus dimonitor sebagai
insulin dengan kerja yang intermediat telah diberikan. Efek obat oral hipoglikemi
dengan lama kerja yang singkat dapat memanjang pada gangguan ginjal. Banyak
pasien-pasien ini memerlukan insulin dari luar selama masa intraoperatif dan
postoperatif. Hal ini disebabkan oleh stress menghadapi pembedahan yang
menyebabkan

peningkatan

dalam

counterregulatory

hormon

(seperti,

catecholamines, glucocorticoids, growth hormone) dan mediator inflasi seperti


faktor nekrosis tumor dan interleukin. Setiap penambahan ini menjadi stress
hiperglikemi, dengan peningkatan kebutuhan insulin. Namun, beberapa DM tipe II
akan bertoleransi kecil, prosedur pembedahan yang ringan tanpa memerlukan
insulin dari luar.
Kunci untuk beberapa cara managemen adalah memantau kadar glukosa
plasma secara rutin dan menyadari adanya variasi antara pasien pasien dengan
DM bervariasi dalam kemampuan mereka untuk

menghasilkan insulin

endogenous. Pasien dengan DM tipe I yang rapuh mungkin memerlukan penilaian


glukosa setiap jam, sementara pada beberapa pasien DM tipe 2 cukup setiap 2 3
jam. Demikian juga, kebutuhan insulin bervariasi sesuai stress pada prosedur
pembedahan tersebut. Pasien yang menerima insulin pada pagi hari tetapi tidak
menjalankan pembedahan sampai sore adalah cenderung menjadi hipoglikemi
walaupun diberikan infus dextrose. Kecuali kalau terpasang arteri line,
pengambilan spesimen darah yang banyak dan mengirimkanya ke laboratorium
memerlukan waktu dan biaya yang mahal, dan memberikan trauma pada
pembuluh darah pasien. Portable spectrophotometers dapat menilai konsentrasi
glukosa dari setetes darah yang berasal dari ujung jari dalam semenit. Alat ini
menilai konversi warna suatu potongan glucose-oxidase-impregnated yang telah

32

diunjukkan ke darah pasien itu untuk suatu periode tertentu. Ketelitian mereka
tergantung pada luas besar, kepedulian dengan mana pengukuran dibuat.
Pemantauan gula di urin tidak cukup akurat untuk management Intraoperatif
(intraoperative manajement.)
Pasien yang mendapatkan NPH atau protamine zinc, insulin meningkatkan
resiko reaksi alergi terhadap protamine sulfat termasuk syok anaphylaksis dan
kematian. Sayangnya, operasi yang memerlukan penggunaan heparin dan yang
berikutnya berlawanan dengan protamine (seperti pada Kardiopulmonal bypass)
adalah lebih sering terjadi pada penderita DM. Pada pasien ini menerima sedikit
protamin untuk test dose 1 5 mg selama lebih dari 5 10 menit sebelum
diberikan dosis reversal penuh.
3) Post-operative
Pemantauan yang ketat pada pasien DM terhadap kadar gula darahnya
harus tetap diperiksa postoperatif secara terus-menerus. Satu alasan untuk hal ini
adalah variasi individu pada onset dan lama nya kerja dari preparat insulin (Tabel
36-5). Untuk contoknya, onset kerja dari insulin reguler mungkin kurang dari 1
jam, tetapi lama kerjanya lebih dari 6 jam. Insulin NPH mempunyai ciri pada
onset kerja kurang dari 2 jam, tetapi kerjanya dapat lebih lama dari 24 jam. Alasan
lain pemantauan yang ketat adalah progresivitas dari stress hiperglikemi dalam
masa rekoveri. Jika volume laktanya besar terkandung pada

IVFD yang

diberikan intraoperatif, kadar gula cenderung meningkat 24 48 jam post operatif


dimana hepar merubah laktat menjadi glukosa. Pasien DM rawat jalan mungkin
diperlukan izin untuk dirawat semalam jika mual dan muntahnya tetap ada yang
berassal dari gastroparesis mencegah intake oral.

Summary of Bioavailability Characteristics of the Insulins.1

33

Insulin Type2

Onset

Peak
Action

Duration

1020 min

3090
min

46 h

Regular, Actrapid, Velosulin

1530 min 13 h

57 h

Semilente, Semitard

3060 min 46 h

1216 h

Intermediateacting

Lente, Lentard, Monotard,


NPH, Insulatard

24 h

810 h

1824 h

Long-acting

Ultralente, Ultratard, PZI

45 h

814 h

2536 h

Short-acting

Lispro

1There is considerable patient-to-patient variation.


2NPH, neutral protamine Hagedorn; PZI, protamine zinc insulin

34

Anda mungkin juga menyukai