Anda di halaman 1dari 53

Laporan Kasus

MANAJEMEN ANESTESI SPINAL PADA SECTIO CAESARIA


DENGAN KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU

Oleh :
Arif Rifai, S.Ked
NIM : 71 2019 003

Pembimbing :
dr.Rizky Noviyanti Dani, Sp.An

DEPARTEMEN ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF


RSUD PALEMBANG BARI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan kasus yang berjudul:


MANAJEMEN ANESTESI SPINAL PADA SECTIO CAESARIA
DENGAN KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU

Oleh:
Arif Rifai, S.Ked
71 2019 003

Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik
senior di bagian ilmu Anestesiologi Rumah Sakit Umum Daerah Palembang
BARI Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang.

Palembang, September 2021


Pembimbing

dr. Rizky Dani, Sp. An

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah S.W.T atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
“Manajemen Anestesi Spinal pada Sectio Caesaria dengan Kehamilan
Ektopik Terganggu” sebagai syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior
(KKS) di bagian ilmu Anestesiologi Rumah Sakit Umum Daerah Palembang
BARI. Shalawat teriring salam selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi
Muhammad S.AW. beserta para keluarga, sahabat dan pengikutnya hingga akhir
zaman.
Penulis menyadari bahwa tugas ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna
perbaikan di masa mendatang. Dalam penyelesaian tugas ini, penulis banyak
mendapat bantuan, bimbingan dan saran, sehingga pada kesempatan ini penulis
ingin menyampaikan rasa hormat dan terimakasih kepada:
1. dr. Rizky Dani, Sp.An selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan
waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam menyelesaikan
laporan kasus.
2. Pihak Rumah Sakit Umum Daerah Palembang BARI yang telah membantu
dalam usaha memperoleh data yang saya butuhkan.
Akhir kata, semoga Allah S.W.T memberikan balasan pahala atas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu dan semoga laporan kasus ini
bermanfaat bagi kita dan perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran.

Palembang, September 2021

Penulis

DAFTAR ISI
JUDUL .................................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sectio Caesaria.......................................................................................2
2.1.1 Definisi...........................................................................................2
2.1.2 Epidemiologi..................................................................................2
2.1.3 Indikasi...........................................................................................2
2.1.4 Kontraindikasi................................................................................4
2.1.5 Komplikasi.....................................................................................4
2.2 Kehamilan Ektopik Terganggu..............................................................4
2.2.1 Epidemiologi..................................................................................5
2.2.2 Patofisiologi dan Manifestasi Klinis..............................................5
2.2.3 Kriteria Diagnosis..........................................................................6
2.3 Manajemen Anestesi pada Sectio Caesaria...........................................13
2.3.1 Pendekatan Umum pada Pasien Obstetri.......................................13
2.3.2 Anestesi pada Persalinan...............................................................14
2.3.3 Komplikasi.....................................................................................30
2.3.4 Anestesi Spinal pada Sectio Caesaria...........................................32
BAB III LAPORAN KASUS..............................................................................44
BAB IV PEMBAHASAN....................................................................................50
BAB V KESIMPULAN.......................................................................................55
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................56
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Terlepas dari waktu asupan oral terakhir, semua pasien obstetri dianggap
memiliki perut kenyang dan berisiko mengalami pulmonary aspiration. Hampir
semua analgesik opioid parenteral dan sedatif mudah melewati plasenta dan dapat
mempengaruhi janin. Teknik anestesi regional lebih disukai untuk manajemen
nyeri persalinan. Menggunakan campuran anestesi lokal-opioid untuk analgesia
epidural lumbal selama persalinan secara signifikan mengurangi kebutuhan obat,
dibandingkan dengan menggunakan salah satu agen saja.1
Kehamilan ektopik ialah suatu kehamilan yang pertumbuhan sel telur yang
telah dibuahi tidak menempel pada dinding endometrium kavum uteri. Lebih dari
95% kehamilan ektopik berada di tuba fallopii. Kehamilan ektopik sering terjadi
karena sel telur yang sudah dibuahi dalam perjalanannya menuju endometrium
tersendat sehingga embrio sudah berkembang sebelum mencapai kavum uteri dan
akibatnya akan tumbuh di luar rongga rahim. Bila kemudian tempat nidasi
tersebut tidak menyesuaikan diri dengan besarnya buah kehamilan, akan terjadi
ruptur dan menjadi kehamilan ektopik yang terganggu.2
Anestesi spinal atau epidural lebih disukai daripada anestesi umum untuk
operasi caesar karena anestesi regional dikaitkan dengan fluktuasi hemodinamik
yang lebih sedikit, resolusi analgesia yang lebih bertahap selama pemulihan
anestesi, dan angka kematian ibu yang lebih rendah. Hipotensi adalah efek
samping umum dari teknik anestesi regional dan dapat diobati dengan bolus
cairan intravena untuk mencegah gangguan janin1
Berdasarkan uraian di atas mendorong penulis untuk membahas mengenai
manajemen anestesi spinal pada sectio caesaria dengan kehamilan ektopik
terganggu.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sectio Caesaria


2.1.1 Definisi
Suatu persalinan buatan, dimana janin dilahirkan melalui suatu
insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan syarat rahim
dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram.3

2.1.2 Epidemiologi
Di beberapa negara, persalinan sesar dipandang lebih disukai
daripada persalinan dan tarifnya jauh lebih tinggi daripada mereka
yang berada di Amerika Serikat, dengan tarif bervariasi antara 15%
dan 35% dari rumah sakit ke rumah sakit. Di Amerika Serikat,
sebagian besar operasi caesar elektif dilakukan dengan anestesi spinal.
1

2.1.3 Indikasi
Indikasi untuk melakukan seksio sesarea antara lain adalah
indikasi ibu dan indikasi janin. Untuk indikasi ibu yaitu panggul
sempit absolut, tumor jalan lahir yang menyebabkan obstruksi,
stenosis serviks/vagina, plasenta previa, disproporsi sefalopelvik,
ruptura uteri membekat. Pada indikasi janin yaitu kelainan letak dan
gawat janin.3
Indikasi tersering dari persalinan sesarea sebanyak 85% adalah
riwayat persalinan sesarea sebelumnya, presentasi bokong, distosia,
dan fetal distress. Indikasi ibu/maternal lainnya antara lain:3
1. Persalinan sesarea sebelumnya,
2. Lesi obstruktif pada traktus urinaria inferior, termasuk malignansi,
septum vagina obstruktif, dan leiomyoma dari segmen uterus
bawah yang mengganggu turunnya kepala fetus,

2
3. Abnormalitas pelvis yang menghalangi atau mengganggu
turunnya kepala fetus pada persalinan
4. Kondisi jantung tertentu yang menghalangi valsava normal yang
dapat dilakukan pasien selama persalinan pervaginam.
5. Preeklamsia berat dan Eklamsi
Sedangkan, indikasi fetus untuk persalinan sesarea antara lain:3
1. Kondisi dimana neonatus morbiditas dan mortalitas dapat
menurunkan kejadian trauma
2. Malpresentasi misalnya presentasi bokong, non-frank breech
3. Kelainan malformasi kongenital atau kelainan skeletal
4. Infeksi
5. Asidemia lama
Indikasi ibu dan fetus untuk persalinan sesarea antara lain:3
1. Plasentasi abnormal (contohnya plasenta previa, plasenta akreta)
2. Persalinan abnormal karena disproporsi sefalopepelvik
3. Situasi dimana persalinan merupakan kontraindiaksi

Indikasi Mayor untuk Operase Sectio Caesaria:3

3
2.1.4 Kontraindikasi
Kontraindikasi untuk melakukan seksio sesarea antara lain adalah
janin mati, syok, anemia berat sebelum diatasi, kelainan kongenital
berat. Selain itu, kondisi yang menyebabkan kontaindikasi terjadinya
persalinan sesarea antara lain ketika status maternal dapat
membahayakan (contohnya ibu memiliki penyakit paru yang berat),
jika janin diketahui memiliki abnormalitas kariotip atau anomali
kongenital yang dapat menyebabkan kematian (anensefali).3

2.1.5 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada persalinan sesarea antara lain:3
a. Peningkatan mortalitas dan morbiditas ibu dengan persalinan
sesarea dibandingkan persalinan pervaginam, sebagian terkait
dengan prosedur tersbut, dan sebagian diakibatkan dengan kondisi
yang menyebabkan perlunya melakukan persalinan sesarea
b. Infeksi
c. Penyakit tromboemboli (contohnya trombosis vena dalam,
tromboplebhitis pelvis septik)
d. Kembalinya fungsi usus yang terhambat

2.2 Kehamilan Ektopik Terganggu


Kehamilan ektopik adalah suatu kehamilan yang pertumbuhan sel telur
yang telah dibuahi tidak menempel pada dinding endometrium kavum uteri.
Kehamilan ektopik sering terjadi karena sel telur yang sudah dibuahi dalam
perjalanannya menuju endometrium tersendat sehingga embrio sudah
berkembang sebelum mencapai kavum uteri dan akibatnya akan tumbuh di
luar rongga rahim. Bila kemudian tempat nidasi tersebut tidak menyesuaikan
diri dengan besarnya buah kehamilan, akan terjadi ruptur dan menjadi
kehamilan ektopik yang terganggu.2

2.2.1 Epidemiologi
Berdasarkan Survei Antar Sensus (SUPAS) 2015 AKI kembali turun
menjadi 305 per 100.000 kelahiran hidup. Di Amerika Serikat Kehamilan
Ektopik Terganggu (KET) merupakan 20% dari semua kehamilan. Jumlah

4
kematian ibu pada tahun 2018-2019 terdapat penurunan dari 4.226 menjadi
4.221 kematian ibu di Indonesia. Pada tahun 2019 penyebab kematian ibu
terbanyak adalah perdarahan (1.280 kasus), hipertensi dalam kehamilan
(1.066 kasus), infeksi (207 kasus).4

2.2.2 Patofisiologi2
Pada proses awal kehamilan apabila embrio tidak bisa mencapai
endometrium untuk proses nidasi, maka embrio dapat tumbuh di saluran tuba
dan kemudian akan mengalami beberapa proses seperti pada kehamilan pada
umumnya. Karena tuba bukan merupakan suatu media yang baik untuk
pertumbuhan embrio, maka pertumbuhan dapat mengalami beberapa
perubahan dalam bentuk berikut ini.
 Hasil konsepsi mati dini dan diresobsi
Pada implantasi secara kolumner, ovum yang dibuahi cepat karena
vaskularisasi kurang dan dengan mudah terjadi resorbsi total. Dalam
keadaan ini penderita tidak mengeluh apa-apa, hanya haidnya terlambat
untuk beberapa hari.
 Abortus ke dalam lumen tuba.
Pendarahan yang terjadi karena pembukaan pembuluh-pembuluh darah
oleh vili korialis pada dinding tuba di tempat implantasi dapat melepaskan
embrio dari dinding tersebut bersama-sama dengan robeknya
pseudokapsularis. Pelepasan ini dapat terjadi sebagian atau seluruhnya,
bergantung pada derajat pendarahan yang timbul. Bila pelepasan
menyeluruh, embrio dengan selaputnya dikeluarkan dalam lumen tuba dan
kemudian didorong oleh darah ke arah tuba pars abdominalis. Frekuensi
abortus dalam tuba bergantung pada implantasi telur yang dibuahi.
Abortus ke lumen tuba lebih sering terjadi pada kehamilan pars impularis,
sedangkan penembusan dinding tuba oleh vili korialis ke arah peritoneum
biasanya terjadi pada kehamilan pars ismika. Perbedaan ini sebabkan oleh
lumen pars ampularis yang lebih luas sehingga dapat mengikuti lebih
mudah pertumbuhan hasil konsepsi jika dibandingkan dengan bagian
ismus dengan lumen sempit. Pada pelepasan hasil konsepsi yang tidak
sempurna pada abortus. Pendarahan akan terus berlangsung, dari sedikit-

5
sedikit oleh darah, sehingga berubah menjadi mola kruenta. Pendarahan
yang berlangsung terus menyebabkan tuba membesar dan kebiru-biruan
(hematosalping), dan selanjutnya darah mengalir ke rongga perut melalui
ostium tuba. Tuba ini akan berkumpul di kavun douglasi dan membentuk
hematokel retrouterina.
 Ruptur dinding tuba
Ruptur tuba sering terjadi bila ovum berimplantasi pada ismus dan
biasanya pada kehamilan muda. Sebaliknya ruptur pada pars interstisialis
terjadi pada kehamilan yang lebih lanjut. Faktor utama yang menyebabkan
ruptur ialah penembusan vili korialis ke dalam lapisan muskularis tuba
terus ke peritoneum. Ruptur dapat terjadi secara spontan atau karena
trauma ringan seperti koitus dan pemeriksaan vaginal. Dalam hal ini akan
terjadi perdarahan dalam rongga perut, kadang-kadang sedikit, kadang-
kadang banyak, sampai menimbulkan syok dan kematian. Bila
pseudokapsularis ikut pecah, maka terjadi pula perdarahan dalam lumen
tuba. Darah dapat mengalir ke dalam rongga perut melalui ostium tuba
abdominal. Bila pada abortus dalam tuba ostium tuba tersumbat, ruptur
sekunder dapat terjadi. Dalam hal ini dinding tuba, yang telah menipis oleh
invasi trofoblas, pecah karena tekanan darah dalam tuba. Kadang-kadang
ruptur terjadi di arah ligamentum itu. Jika janin hidup terus, terdapat
kehamilan intraligamenter. Pada ruptur ke rongga perut seluruh janin dapat
keluar dari tuba, tetapi bila robekan tuba kecil, pendarahan terjadi tanpa
hasil konsepsi dikeluarkan dari tuba. Pendarahan dapat berlangsung terus
sehingga penderita akan cepat jatuh dalam keadaan anemia atau syok oleh
karena hemoragia. Darah tertampung pada rongga perut akan mengalir ke
kavum douglas yang makin lama makin banyak dan akhirnya dapat
memenuhi rongga abdomen. Bila penderita tidak dioperasi dan tidak
meninggal karena pendarahan, nasib janin bergantung pada kerusakan
yang diderita dan tuanya kehamilan. Bila janin mati dan masih kecil, dapat
diresorbsi seluruhnya; bila besar, kelak dapat diubah menjadi litopedion.

Janin yang dikeluarkan dari tuba dengan masih diselubungi oleh


kantung amnion dan dengan plasenta masih utuh, kemungkinan tumbuh terus

6
dalam rongga perut, sehingga akan terjadi kehamilan abdominal sekunder.
Untuk mencukupi kebutuhan makanan bagi janin, plasenta dari tuba akan
meluaskan implantasinya ke jaringan sekitarnya, misalnya ke sebagian
ligamentum, dasar panggul, dan usus.

2.2.3 Kriteria Diagnosis


Kehamilan ektopik diidentifikasi dengan menggabungkan temuan klini
s serta pemeriksaan serum dan sonografi transvagina. Temuan klinis yang din
ilai adalah riwayat amenorea, perdarahan pervaginam dan nyeri perut bawah.
Ketika nyeri semakin berat yang disertai pemeriksaan kavum douglas menonj
ol maka didiagnosis dengan KET. Mereka yang diperkirakan ruptur tuba perl
u segera menjalani terapi pembedahan.5
1. Anamnesis
Pada umumnya dengan anamnesis yang teliti dan pemeriksaan yang
cermat diagnosis dapat ditegakkan. Anamnesis pasien mengenai faktor
risiko serta tanda dan gejala yang dialami pasien seperti terlambat
menstruasi, mual, nyeri ataupun perdarahan. Haid biasanya terlambat
untuk beberapa waktu dan kadang-kadang terdapat gejala subjektif
kehamilan muda. Nyeri perut bagian bawah, nyeri bahu, tenesmus, dapat
dinyatakan. Perdarahan pervaginam terjadi setelah nyeri perut bagian
bawah.2
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dan ginekologi ditemukan adanya distensi
abdomen, nyeri tekan abdomen, pelvis, pergerakan servikal dan adnexal
serta terdapatnya perdarahan pervaginam.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Didapatkan hasil positif pada pemeriksaan β-HCG (Human Chorionic
Gonadotropin). Diagnosis kehamilan ektopik dapat ditentukan jika pada
pemeriksaan kadar β-HCG mencapai 1.500IU/mL atau lebih tetapi pada
pemeriksaan transabdominal ultrasonografi tidak ditemukan adanya
kantung gestasi. Selain itu, dapat dilakukan pemeriksaan hemoglobin dan
hematokrit dalam menegakkan diagnosis kehamilan ektopik terganggu,

7
terutama bila ada tanda-tanda perdarahan dalam rongga perut.
Pemeriksaan hemoglobin dan hematocrit dapat dilakukan secara serial
dengan jarak satu jam selama 3 kali berturut-turut.
4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah dengan metode
ultrasonografi, diantaranya yaitu dengan menggunakan transvaginal
ulstrasonografi atau Colour Doppler sonografi yang memiliki sensitivitas
dan spesifitas lebih tinggi dibandingkan dengan transvaginal
ultrasonografi. Selain itu, kuldosentesis dan laparoskopi dapat dilakukan.
Kuldosentesis adalah suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah
dalam kavum douglas ada darah. Laparoskopi hanya digunakan sebagai
alat bantu diagnostic terakhir untuk kehamilan ektopik apabila hasil
penilaian prosedur diagnostic yang lain meragukan.

2.3 Manajemen Anestesi pada Sectio Caesaria


2.3.1 Pendekatan Umum pada Pasien Obstetri
Periode puasa minimum untuk operasi caesar elektif tetap
kontroversial tetapi biasanya direkomendasikan 6 jam untuk makanan ringan
dan 8 jam untuk makanan berat. Pemberian profilaksis antasida bening (15-
30 mL natrium sitrat 0,3 M secara oral) setiap 30 menit sebelum operasi
caesar dapat membantu mempertahankan pH lambung lebih besar dari 2,5
dan dapat menurunkan kemungkinan pneumonitis aspirasi yang parah. Obat
penghambat H2 (misalnya ranitidine, 100-150 mg per oral atau 50 mg
intravena) atau metoclopramide, 10 mg per oral atau intravena, juga harus
dipertimbangkan pada pasien berisiko tinggi dan pada mereka yang
diharapkan menerima anestesi umum. Penghambat H2 mengurangi volume
lambung dan pH tetapi tidak berpengaruh pada isi lambung yang sudah ada.
Metoclopramide mempercepat pengosongan lambung, menurunkan volume
lambung, dan meningkatkan tonus sfingter esofagus yang lebih rendah. Posisi
terlentang harus dihindari kecuali alat pemindah uterus kiri (> 15 ° irisan)
ditempatkan di bawah pinggul kanan. 2

2.3.2 Anestesi Pada Persalinan

8
A. Mekanisme Nyeri pada Persalinan
Nyeri persalinan timbul dari kontraksi miometrium melawan
resistensi serviks dan perineum, pelebaran progresif serviks dan
segmen bawah rahim, serta peregangan dan kompresi struktur panggul
dan perineum. Ketidaknyamanan selama kala satu persalinan terutama
nyeri viseral akibat kontraksi uterus dan pelebaran serviks. Biasanya
awalnya terbatas pada dermatom T11-T12 selama fase laten, tetapi
akhirnya melibatkan dermatom T10-L1 saat persalinan memasuki fase
aktif. Serabut aferen viseral yang bertanggung jawab untuk nyeri
persalinan berjalan dengan serabut saraf simpatis pertama ke pleksus
uterovaginal, kemudian melalui pleksus hipogastrik inferior, sebelum
memasuki sumsum tulang belakang dengan akar saraf T10-L1.1
Nyeri awalnya dirasakan di perut bagian bawah tetapi mungkin
semakin meningkat ke daerah lumbosakral, daerah gluteal, dan paha
saat persalinan berlangsung. Intensitas nyeri juga meningkat dengan
dilatasi serviks progresif dan dengan peningkatan intensitas dan
frekuensi kontraksi uterus. Wanita nullipara biasanya mengalami rasa
sakit yang lebih besar selama tahap pertama persalinan. Timbulnya
nyeri perineum pada akhir kala satu menandakan awal turunnya janin
dan kala dua persalinan. Peregangan dan kompresi struktur panggul
dan perineum meningkatkan rasa sakit. Persalinan sensorik perineum
disediakan oleh saraf pudendal (S2-4), sehingga nyeri selama kala dua
persalinan melibatkan dermatom T10-S4.1

B. Agen Parenteral
Hampir semua analgesik opioid parenteral dan sedatif mudah
melewati plasenta dan dapat mempengaruhi janin. Kekhawatiran
tentang depresi janin membatasi penggunaan agen ini pada tahap awal
persalinan atau situasi di mana teknik anestesi regional tidak tersedia
atau tidak sesuai. Depresi sistem saraf pusat (SSP) pada neonatus
dapat dimanifestasikan oleh waktu yang lama untuk pernapasan
berkelanjutan, asidosis pernapasan, atau pemeriksaan neurobehavioral
yang abnormal. Selain itu, hilangnya variabilitas denyut-ke-denyut

9
dalam denyut jantung janin (terlihat pada sebagian besar depresan
SSP) dan penurunan gerakan janin (karena sedasi janin) mempersulit
evaluasi kesejahteraan janin selama persalinan. Variabilitas detak
jantung janin jangka panjang lebih dipengaruhi daripada variabilitas
jangka pendek. Derajat dan signifikansi efek ini bergantung pada agen
spesifik, dosis, waktu yang berlalu antara pemberian dan persalinan,
dan kematangan janin. Neonatus prematur menunjukkan sensitivitas
terbesar.1
Selain depresi pernapasan ibu, opioid juga dapat menyebabkan
mual dan muntah ibu serta menunda pengosongan lambung.
Meperidine, opioid yang umum digunakan, dapat diberikan dalam
dosis 10 sampai 25 mg secara intravena atau 25 sampai 50 mg secara
intramuskular, biasanya sampai total 100 mg. Depresi pernapasan ibu
dan janin maksimal terlihat dalam 10 hingga 20 menit setelah
pemberian intravena dan dalam 1 hingga 3 jam setelah pemberian
intramuskular. Akibatnya, meperidine biasanya diberikan pada awal
persalinan saat persalinan tidak diharapkan selama minimal 4 jam.
Fentanil intravena, 25 sampai 100 mcg / jam, juga telah digunakan
untuk persalinan. Fentanil dalam dosis 25 hingga 100 mcg memiliki
onset analgesik 3 hingga 10 menit yang awalnya berlangsung sekitar
60 menit, dan bertahan lebih lama setelah beberapa dosis. Namun,
depresi pernapasan ibu lebih lama dari analgesia. Dosis fentanil yang
lebih rendah dapat dikaitkan dengan sedikit atau tanpa depresi
pernapasan neonatal dan dilaporkan tidak berpengaruh pada skor
Apgar. Banyak bukti yang mendukung penggunaan remifentanil
opioid kerja ultra pendek untuk analgesia persalinan. Bukti
menunjukkan remifentanil sama atau lebih efektif daripada opioid
parenteral lain atau alternatif inhalasi, meskipun tidak memberikan
derajat pereda nyeri yang ditawarkan oleh analgesia neuraksial.
Pengaturan analgesia yang dikontrol pasien yang populer adalah bolus
40-mcg dengan penguncian 2 menit. Pemantauan pasien satu-satu
yang cermat adalah wajib. Agen dengan aktivitas agonis-antagonis

10
campuran (butorphanol, 1-2 mg, dan nalbuphine, 10-20 mg secara
intravena atau intramuskular) juga efektif dan berhubungan dengan
sedikit atau tanpa depresi pernapasan kumulatif, tetapi sedasi
berlebihan dengan dosis berulang dapat menjadi masalah.
Promethazine (25-50 mg intramuskular) dan hydroxyzine (50-100 mg
intramuscular) dapat berguna sendiri atau dalam kombinasi dengan
opioid. Kedua obat tersebut mengurangi kecemasan, kebutuhan opioid,
dan kejadian mual, tetapi tidak menambah depresi neonatal. Kerugian
yang signifikan dari hydroxyzine adalah nyeri di tempat suntikan
setelah pemberian intramuskular.1
Agen antiinflamasi nonsteroid, seperti ketorolac, tidak
direkomendasikan sebagai terapi antepartum karena mereka menekan
kontraksi uterus dan mendorong penutupan duktus arteriosus janin.
Dosis kecil (sampai 2 mg intravena) dari midazolam (Versed) dapat
diberikan dalam kombinasi dengan dosis kecil fentanil (sampai 100
mcg intravena) pada ibu melahirkan yang sehat untuk memfasilitasi
efek analgesik dari blokade neuraksial. Pada dosis ini, amnesia ibu
belum diamati. Pemberian kronis benzodiazepin diazepam (Valium)
kerja lama telah dikaitkan dengan depresi janin. Ketamin intravena
dosis rendah adalah analgesik yang ampuh. Dalam dosis 10 sampai 15
mg secara intravena, analgesia yang baik dapat diperoleh dalam 2
sampai 5 menit tanpa kehilangan kesadaran. Bolus ketamin yang besar
(> 1 mg / kg) dapat dikaitkan dengan kontraksi uterus hipertonik.
Ketamin dosis rendah paling bermanfaat sesaat sebelum pelahiran atau
sebagai adjuvan untuk anestesi regional. Di masa lalu, konsentrasi
agen anestesi volatil yang berkurang (misalnya, methoxyflurane)
dalam oksigen kadang-kadang digunakan untuk meredakan nyeri
persalinan yang lebih ringan. Penghirupan nitrous oksida-oksigen tetap
umum digunakan untuk menghilangkan nyeri persalinan ringan.
Seperti disebutkan sebelumnya, nitrous oksida memiliki efek minimal
pada aliran darah uterus atau kontraksi uterus.1

C. Teknik Anestesi Regional

11
Teknik epidural atau intratekal, sendiri atau kombinasi, saat ini
merupakan metode pereda nyeri paling populer selama persalinan dan
persalinan. Mereka dapat memberikan analgesia yang sangat baik
sambil membiarkan ibu tetap terjaga dan kooperatif selama persalinan.
Meskipun opioid spinal atau anestesi lokal saja dapat memberikan
analgesia yang adekuat, teknik yang menggabungkan keduanya
terbukti paling memuaskan pada kebanyakan ibu melahirkan. Selain
itu, sinergi antara opioid dan anestesi lokal menurunkan kebutuhan
dosis dan memberikan analgesia yang sangat baik dengan sedikit efek
samping pada ibu dan sedikit atau tanpa depresi neonatal.1

D. Spinal Opioid
Opioid dapat diberikan secara intratekal sebagai suntikan tunggal
atau sewaktu-waktu melalui kateter epidural atau intratekal. Dosis
yang relatif besar diperlukan untuk analgesia selama persalinan ketika
opioid epidural atau intratekal digunakan sendiri. Misalnya, ED50
selama persalinan adalah 124 mcg untuk fentanil epidural dan 21 mcg
untuk sufentanil epidural. Dosis yang lebih tinggi dapat dikaitkan
dengan risiko tinggi efek samping, terutama depresi pernapasan.
Untuk alasan ini, kombinasi anestesi lokal dan opioid paling sering
digunakan (lihat pembahasan selanjutnya). Teknik opioid murni paling
berguna untuk pasien berisiko tinggi yang mungkin tidak dapat
mentolerir simpatektomi fungsional yang terkait dengan anestesi
spinal atau epidural.1
Kelompok ini termasuk pasien dengan hipovolemia atau penyakit
kardiovaskular yang signifikan seperti stenosis aorta sedang hingga
berat, tetralogi Fallot, sindrom Eisenmenger, atau hipertensi pulmonal.
Kecuali meperidin, yang memiliki sifat anestesi lokal, opioid spinal
saja tidak menghasilkan blokade motorik atau simpatektomi. Dengan
demikian, mereka tidak mengganggu kemampuan ibu melahirkan
untuk "mendorong". Kerugian termasuk analgesia kurang lengkap,
kurangnya relaksasi perineum, dan efek samping seperti pruritus,
mual, muntah, sedasi, dan depresi pernapasan. Efek samping dapat

12
diatasi dengan nalokson dosis rendah (0,1-0,2 mg / jam secara
intravena). 1
1. Opioid Intratekal
Morfin intratekal dalam dosis 0,1 sampai 0,3 mg dapat
menghasilkan analgesia yang memuaskan dan berkepanjangan (4-
6 jam) selama kala satu persalinan. Sayangnya, permulaan
analgesia lambat (45-60 menit), dan dosis ini mungkin tidak
cukup pada banyak pasien. Namun, dosis yang lebih tinggi
dikaitkan dengan insiden efek samping yang relatif tinggi. Oleh
karena itu, morfin jarang digunakan sendiri. Kombinasi morfin,
0,1 hingga 0,25 mg, dan fentanil, 12,5 mcg (atau sufentanil, 5
mcg), dapat menyebabkan onset analgesia yang lebih cepat (5
menit). Bolus intermiten 10 sampai 15 mg meperidine, 12,5
sampai 25 mcg fentanil, atau 3 sampai 10 mcg sufentanil melalui
kateter intratekal juga dapat memberikan analgesia yang
memuaskan untuk persalinan. Laporan awal bradikardia janin
setelah injeksi opioid intratekal (misalnya sufentanil) belum
dikonfirmasi oleh penelitian selanjutnya. Hipotensi setelah
pemberian opioid intratekal untuk persalinan mungkin disebabkan
oleh analgesia yang dihasilkan dan penurunan kadar katekolamin
dalam sirkulasi.1
2. Opioid Epidural
Dosis yang relatif besar (≥7,5 mg) morfin epidural diperlukan
untuk analgesia persalinan yang memuaskan tetapi tidak
dianjurkan karena peningkatan risiko depresi pernapasan yang
tertunda dan karena analgesia yang dihasilkan hanya efektif pada
awal persalinan kala satu. Onset mungkin memakan waktu 30
sampai 60 menit tetapi analgesia berlangsung hingga 12 sampai
24 jam (seperti halnya risiko depresi pernafasan yang tertunda).
Epidural meperidine, 50 sampai 100 mg, memberikan analgesia
yang baik, tetapi relatif singkat (1 sampai 3 jam). Fentanil
epidural, 50 sampai 150 mcg, atau sufentanil, 10 sampai 20 mcg,

13
biasanya menghasilkan analgesia dalam 5 sampai 10 menit
dengan sedikit efek samping, tetapi durasinya singkat (1-2 jam).
Meskipun opioid epidural “suntikan tunggal” tampaknya tidak
menyebabkan depresi neonatal yang signifikan, kewaspadaan
harus dilakukan setelah pemberian berulang. Kombinasi dosis
morfin yang lebih rendah, 2,5 mg, dengan fentanil, 25 sampai 50
mcg (atau sufentanil, 7,5-10 mcg), dapat menyebabkan onset yang
lebih cepat dan perpanjangan analgesia (4-5 jam) dengan efek
samping yang lebih sedikit.1

E. Anestesi Lokal Campuran


Analgesia epidural dan spinal (intratekal) lebih sering
menggunakan anestesi lokal baik sendiri atau dengan opioid untuk
persalinan dan pelahiran. Analgesia selama kala satu persalinan
membutuhkan blokade saraf pada tingkat sensorik T10-L1, sedangkan
pereda nyeri selama kala dua persalinan membutuhkan blokade saraf
pada T10-S4. Analgesia epidural lumbal kontinyu adalah teknik yang
paling serbaguna dan paling umum digunakan karena dapat digunakan
untuk meredakan nyeri pada kala satu persalinan serta analgesia /
anestesi untuk persalinan pervaginam berikutnya atau operasi caesar,
jika perlu.1
Analgesia epidural, spinal, atau kombinasi epidural spinal
“suntikan tunggal” mungkin tepat jika pereda nyeri dimulai tepat
sebelum persalinan pervaginam (tahap kedua). Suntikan ekor
kebidanan sebagian besar telah ditinggalkan karena keserbagunaannya
kurang; meskipun efektif untuk analgesia / anestesi perineum, obat ini
membutuhkan anestesi lokal dalam jumlah besar untuk membius
lumbal atas dan dermatom toraks bawah. Mereka juga telah dikaitkan
dengan kelumpuhan awal otot panggul yang dapat mengganggu rotasi
normal kepala janin, dan dengan risiko kecil terjadinya tusukan janin
yang tidak disengaja.1

14
Kontraindikasi absolut untuk anestesi regional termasuk
penolakan pasien, infeksi di tempat suntikan, koagulopati, hipovolemia
yang jelas, dan alergi yang sebenarnya terhadap anestesi lokal yang
dipilih. Ketidakmampuan pasien untuk bekerja sama dapat mencegah
keberhasilan anestesi regional. Antikoagulasi penuh secara nyata
meningkatkan risiko anestesi neuraksial. Anestesi regional umumnya
tidak boleh dilakukan dalam 4 sampai 6 jam setelah minidosis
subkutan dari heparin tidak terpecah atau dalam 10 sampai 12 jam
setelah pemberian heparin berat molekul rendah (LMWH).
Trombositopenia atau pemberian agen antiplatelet secara bersamaan
meningkatkan risiko hematoma tulang belakang. Kelahiran
pervaginam setelah persalinan sesar (VBAC) bukan merupakan
kontraindikasi anestesi regional selama persalinan. Kekhawatiran
bahwa anestesi dapat menutupi nyeri yang berhubungan dengan ruptur
uterus selama VBAC mungkin tidak dapat dibenarkan, karena tidak
semua dehiscences menyebabkan nyeri bahkan tanpa anestesi epidural;
Selain itu, perubahan tonus uterus dan pola kontraksi mungkin
merupakan tanda yang lebih dapat diandalkan.1
Sebelum melakukan blok regional, peralatan dan perlengkapan
yang sesuai untuk resusitasi harus segera tersedia, termasuk oksigen,
hisap, masker dengan perangkat tekanan positif untuk ventilasi,
laringoskop dan bilah yang berfungsi, tabung endotrakeal (6 atau 6,5
mm), oral dan cairan intravena saluran udara hidung, efedrin, atropin,
propofol, dan suksinilkolin. Kemampuan untuk memonitor tekanan
darah dan detak jantung adalah wajib. Oksimeter denyut dan kapnograf
harus tersedia, dan ketersediaan peralatan seperti laringoskop video
atau alat saluran napas masker laring intubasi, untuk digunakan dengan
jalan napas yang sulit, disarankan.1

F. Analgesik Lumbar Epidural


Analgesia epidural untuk persalinan dapat diberikan pada
persalinan awal setelah pasien dievaluasi oleh dokter kandungannya.
Analgesia epidural tidak meningkatkan kecepatan persalinan operatif

15
dan memiliki sedikit efek jika ada pada kemajuan persalinan ketika
campuran encer dari anestesi lokal dan opioid digunakan.
Kekhawatiran bahwa analgesia regional akan meningkatkan
kemungkinan augmentasi oksitosin, pelahiran operatif (misalnya
forsep), atau operasi caesar, tidak dapat dibenarkan. Seringkali
menguntungkan untuk memasang kateter epidural di awal persalinan,
saat pasien merasa tidak terlalu nyaman dan dapat diposisikan dengan
lebih mudah. Selain itu, jika diperlukan operasi caesar yang mendesak
atau darurat, kehadiran kateter epidural yang berfungsi memungkinkan
untuk menghindari anestesi umum.1
1. Teknik
Ibu melahirkan dapat diposisikan miring atau dalam posisi
duduk untuk prosedur ini. Posisi duduk seringkali memudahkan
untuk mengidentifikasi garis tengah dan tulang belakang, terutama
pada pasien obesitas. Saat anestesi epidural diberikan untuk
persalinan pervaginam (persalinan kala dua), posisi duduk dapat
meningkatkan penyebaran sakral. Identifikasi ruang epidural bisa
jadi sulit, dan tusukan dural yang tidak disengaja terkadang akan
terjadi bahkan pada tangan yang berpengalaman; kejadian "keran
basah" pada pasien obstetri adalah 0,25% sampai 9%, tergantung
pada pengalaman dokter. Banyak praktisi menambahkan
gelembung udara terkompresi ke spuit saline dan memantulkan
plunger untuk memastikannya bergerak bebas dan tidak menempel
ke dinding spuit (Gambar 2.1). Kebanyakan dokter menganjurkan
pendekatan garis tengah, sedangkan minoritas mendukung
pendekatan paramedian. Untuk penempatan kateter epidural lumbal
pada pasien kebidanan, sebagian besar ahli anestesi menggerakkan
jarum epidural dengan tangan kiri, yang dipasang di punggung
pasien, sambil memberikan tekanan terus menerus ke plunger
semprit kaca yang diisi dengan larutan garam steril (Gambar 2.1 A-
B). Sebagai alternatif, beberapa orang menggunakan "sayap" jarum
epidural Weiss dengan mengayunkannya dengan kedua tangan

16
beberapa milimeter pada satu waktu (Gambar 2.1 C). Perubahan
resistansi jaringan kemudian diuji secara terus menerus
menggunakan umpan balik taktil saat memajukan jarum dan
dengan secara berkala memberikan tekanan pada semprit loss-of-
resistance yang berisi udara. Teknik selanjutnya memungkinkan
kontrol yang tepat dari kemajuan jarum dan memungkinkan
perbedaan yang lebih baik dari berbagai kepadatan jaringan. Jika
udara digunakan untuk mendeteksi hilangnya resistansi, jumlah
yang diinjeksikan harus dibatasi; injeksi volume udara yang lebih
besar (> 2-3 mL) di ruang epidural telah dikaitkan dengan
analgesia dan sakit kepala yang tidak merata atau unilateral.
Kedalaman rata-rata ruang epidural lumbal pada pasien kebidanan
adalah 6 cm dari kulit. Pemasangan kateter epidural pada ruang
antar ruang L3–4 atau L4–5 umumnya optimal untuk mencapai
blokade saraf T10 – S5. Panduan ultrasonografi baru-baru ini
ditawarkan sebagai alat dalam membantu penempatan kateter
epidural. Teknik ini memungkinkan praktisi untuk menilai
kedalaman ruang epidural dan memperkirakan sudut terbaik untuk
memasukkan jarum. Manfaat potensial dari teknik ini paling jelas
terlihat pada pasien obesitas dengan landmark anatomis yang
buruk. Namun, teknik ini sangat bergantung pada pengguna, dan
hanya sedikit praktisi yang mengadopsinya

17
18
Gambar 2.1 Gambaran: Kemajuan jarum satu tangan; tekanan terus
menerus teknik. Operator menerapkan tekanan kontinu ke plunger dari loss-
of-jarum suntik resistensi yang diisi dengan larutan garam dan gelembung
udara saat memasukkan jarum dengan tangan kiri menempel di punggung
pasien. B: Jarum bimanual kemajuan; teknik tekanan intermiten. Operator
memajukan kerugian-jarum suntik resistansi dengan kedua tangan 2 hingga 3
mm sekaligus sambil mengapresiasi hambatan yang ditemui oleh jarum. C:
Di antara kemajuan bimanual jarum, operator menguji ketahanan jaringan
dari ujung jarum dengan memantul jarum suntik loss-of-resistance berisi
udara. Banyak praktisi menambahkangelembung udara terkompresi ke jarum
suntik berisi garam dan memantulkan plunger ke pastikan plunger bergerak
bebas dan tidak menempel pada tabung jarum suntik dinding

Jika terjadi tusukan dural yang tidak disengaja, ahli anestesi


memiliki dua pilihan: (1) letakkan kateter epidural di ruang
subarachnoid untuk spinal kontinu (intratekal) analgesia dan
anestesi (lihat pembahasan berikut), atau (2) lepaskan jarum dan
coba penempatan di tingkat tulang belakang lain. Itu Kateter
epidural yang ditempatkan secara intratekal dapat digunakan
sebagai tulang belakang kontinu obat bius. Jika digunakan dengan

19
cara ini, infus 0,0625% sampai 0,125% bupivacaine dengan
fentanil, 2 hingga 3 mcg / mL mulai dari 1-3 mL / jam, adalah
pilihan yang khas.1
2. Pemilihan Kateter Epidural
Banyak dokter menganjurkan penggunaan kateter multi-lubang
daripada kateter lubang tunggal untuk anestesi kebidanan.
Penggunaan kateter multi-lubang dapat dikaitkan dengan lebih
sedikit blok unilateral dan sangat mengurangi kejadian aspirasi
negatif palsu saat menilai penempatan kateter intravaskular atau
intratekal. Memasukkan kateter multi-lubang 4 sampai 6 cm ke
dalam ruang epidural tampaknya optimal untuk mendapatkan
tingkat sensorik yang memadai. Kateter lubang tunggal hanya
perlu dimasukkan 3 sampai 5 cm ke dalam ruang epidural. Panjang
insersi yang lebih pendek di ruang epidural (<5 cm) dapat
menyebabkan kateter keluar dari ruang epidural pada pasien
obesitas setelah gerakan fleksi / ekstensi tulang belakang. Panjang
insersi epidural yang lebih lama di ruang epidural dapat
meningkatkan risiko analgesia unilateral atau insersi vena epidural.
Kateter yang diperkuat kawat spiral sangat tahan terhadap
kekusutan. Ujung spiral atau pegas, terutama bila digunakan tanpa
stylet, dikaitkan dengan parestesia yang lebih sedikit dan kurang
intens.1
3. Pemilihan Larutan Anestesi Lokal
Penambahan opioid ke larutan anestesi lokal untuk anestesi
epidural telah secara dramatis mengubah praktik anestesi obstetrik.
Sinergi antara opioid epidural dan larutan anestesi lokal
mencerminkan tempat kerja yang terpisah: reseptor opioid dan
akson saraf, masing-masing. Ketika keduanya digabungkan,
konsentrasi yang sangat rendah dari anestesi lokal dan opioid dapat
digunakan dengan efek yang sangat baik. Selain itu, kejadian efek
samping yang merugikan, seperti hipotensi dan toksisitas obat,
berkurang. Meskipun anestesi lokal dapat digunakan sendiri, jarang

20
ada alasan untuk melakukannya. Selain itu, ketika opioid
dihilangkan, konsentrasi anestesi lokal yang lebih besar diperlukan
(misalnya, bupivacaine, 0,25%, dan ropivacaine, 0,2%) untuk
analgesia yang adekuat dapat mengganggu kemampuan ibu
melahirkan untuk mendorong secara efektif saat persalinan
berlangsung.1
Kombinasi anestesi / opioid lokal yang paling umum
digunakan untuk analgesia persalinan adalah bupivakain atau
ropivakain dalam konsentrasi 0,0625% hingga 0,125% dengan
fentanil, 2 hingga 3 mcg / mL, atau sufentanil, 0,3 hingga 0,5 mcg /
mL. Secara umum, semakin rendah konsentrasi anestesi lokal
semakin besar konsentrasi opioid yang dibutuhkan. Campuran
anestesi lokal yang sangat encer (0,0625%) umumnya tidak
menghasilkan blokade motorik dan memungkinkan beberapa
pasien ambulasi (epidural “berjalan” atau “bergerak”). Durasi kerja
bupivacaine yang lama membuatnya menjadi agen persalinan yang
populer. Ropivacaine mungkin lebih disukai karena potensi
kardiotoksisitasnya berkurang . Pada dosis equi-analgesik,
ropivacaine dan bupivacaine tampaknya menghasilkan derajat blok
motorik yang sama.1
Efek larutan yang mengandung epinefrin selama persalinan
agak kontroversial. Banyak dokter menggunakan larutan yang
mengandung epinefrin hanya untuk dosis uji intravaskular karena
khawatir larutan tersebut dapat memperlambat perkembangan
persalinan atau berdampak buruk pada janin; yang lain hanya
menggunakan konsentrasi epinefrin yang sangat encer seperti 1:
800.000 atau 1: 400.000. Namun, penelitian yang membandingkan
berbagai agen ini gagal menemukan perbedaan skor Apgar
neonatal, status asam basa, atau evaluasi neurobehavioral.1
4. Aktivasi Epidural Fase Pertama Persalinan
Injeksi epidural awal dapat dilakukan sebelum atau setelah kateter
dipasang. Pemberian melalui jarum dapat memfasilitasi

21
penempatan kateter, sedangkan pemberian melalui kateter
memberikan jaminan bahwa kateter berfungsi dengan baik. Urutan
berikut disarankan untuk aktivasi epidural:1
a. Tes untuk penempatan jarum atau kateter subarachnoid atau
intravaskular yang tidak disengaja menggunakan dosis uji 3-
mL dari anestesi lokal dengan epinefrin 1: 200.000 Banyak
dokter menguji dengan lidokain 1,5% karena hasilnya
toksisitas yang lebih rendah setelah injeksi intravaskular yang
tidak disengaja dan onset anestesi spinal yang lebih cepat
setelah injeksi intratekal yang tidak disengaja dibandingkan
dengan bupivacaine atau ropivacaine. Dosis uji harus
disuntikkan di antara kontraksi untuk membantu mengurangi
tanda positif palsu dari suntikan intravaskular (yaitu,
takikardia karena kontraksi yang menyakitkan).
b. Jika setelah 5 menit tidak ada tanda-tanda injeksi intravaskular
atau intratekal, dengan pasien terlentang dan terjadi
perpindahan uterus ke kiri, berikan 10 mL campuran anestesi-
opioid lokal dengan peningkatan 5 mL, tunggu 1 hingga 2
menit di antara dosis, untuk mencapai tingkat sensorik T10 –
L1. Bolus awal biasanya terdiri dari 0,1% sampai 0,2%
ropivacaine atau 0,0625% sampai 0,125% bupivacaine
dikombinasikan dengan 50 sampai 100 mcg fentanil atau 10
sampai 20 mcg sufentanil.
c. Pantau dengan sering menilai tanda-tanda vital selama 20
sampai 30 menit, atau sampai pasien stabil. Oksimetri denyut
juga harus digunakan. Oksigen diberikan melalui masker
wajah jika terjadi penurunan tekanan darah atau saturasi
oksigen yang signifikan.
d. Ulangi langkah 2 dan 3 saat nyeri berulang sampai kala satu
persalinan selesai. Sebagai alternatif, teknik infus epidural
berkelanjutan dapat digunakan dengan menggunakan
bupivacaine atau ropivacaine dalam konsentrasi 0,0625%

22
hingga 0,125% dengan fentanil, 1 hingga 5 mcg / mL, atau
sufentanil, 0,2 hingga 0,5 mcg / mL, dengan kecepatan 10
mL / h, yang selanjutnya disesuaikan dengan kebutuhan
analgesik pasien (kisaran: 5-15 mL / jam). Pilihan ketiga
adalah menggunakan analgesia epidural yang dikontrol pasien
(PCEA). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa total
kebutuhan obat mungkin lebih sedikit dan kepuasan pasien
lebih besar dengan PCEA bila dibandingkan dengan teknik
analgesia epidural lainnya. Pengaturan PCEA tradisional
biasanya adalah dosis bolus 5 mL dengan penguncian 5 hingga
10 menit dan laju basal 0 hingga 12 mL / jam; biasanya
digunakan batas 1 jam 15 sampai 25 mL. Bukti terbaru juga
menunjukkan bahwa, dibandingkan dengan infus dasar
epidural, teknik bolus terprogram terprogram (misalnya, 6 mL
bupivakain 0,0625% setiap 30 menit tanpa infus dasar) dapat
meningkatkan kepuasan pasien. Migrasi kateter epidural ke
dalam pembuluh darah selama teknik infus kontinyu dapat
ditandai dengan hilangnya analgesia yang efektif; indeks
kecurigaan yang tinggi diperlukan karena tanda-tanda
toksisitas sistemik yang jelas mungkin tidak ada. Erosi kateter
melalui dura mengakibatkan blokade motorik progresif lambat
pada ekstremitas bawah dan peningkatan blokade sensorik.
5. Pemberian Epidural Fase Kedua Persalinan
Pemberian analgesia epidural untuk kala dua persalinan harus
memperpanjang blok untuk memasukkan dermatom S2-4. Apakah
kateter sudah terpasang atau anestesi epidural baru saja dimulai,
langkah-langkah berikut harus dilakukan: 1. Jika pasien belum
memasang kateter, buat akses ruang epidural saat pasien dalam
posisi duduk. Seorang pasien yang sudah memasang kateter
epidural harus ditempatkan dalam posisi semi-tegak atau duduk
sebelum penyuntikan. 2. Berikan anestesi lokal dengan dosis uji 3
mL (misalnya, lidokain 1,5%) dengan epinefrin 1: 200.000. Seperti

23
disebutkan sebelumnya, injeksi harus diselesaikan di antara
kontraksi. 3. Jika, setelah 5 menit, tanda-tanda injeksi intravaskular
atau intratekal tidak ada, berikan 10 hingga 15 mL campuran
anestesi-opioid lokal tambahan dengan kecepatan tidak lebih cepat
dari 5 mL setiap 1 hingga 2 menit. 4. Baringkan pasien terlentang
dengan perpindahan uterus ke kiri dan pantau tanda-tanda vital
setiap 1 sampai 2 menit selama 15 menit pertama, kemudian setiap
5 menit setelahnya.1
6. Prevensi Injeksi Intravaskular dan Intratekal yang Tidak
Diinginkan
Pemberian analgesia dan anestesi epidural yang aman
bergantung pada menghindari injeksi intratekal atau intravaskular
yang tidak disengaja. Penempatan jarum atau kateter epidural
secara intravaskular atau intratekal yang tidak disengaja dapat
dilakukan meskipun aspirasi gagal menghasilkan darah atau cairan
serebrospinal (CSF). Insiden pemasangan kateter epidural
intravaskular atau intratekal yang tidak disengaja masing-masing
adalah 5% hingga 15% dan 0,5% hingga 2,5%. Bahkan kateter
yang ditempatkan dengan benar selanjutnya dapat terkikis menjadi
vena epidural atau posisi intratekal. Kemungkinan ini harus
dipertimbangkan setiap kali anestesi lokal disuntikkan melalui
kateter epidural. Dosis uji lidokain (45–60 mg), bupivakain (7,5–
10 mg), ropivakain (6–8 mg), atau kloroprokain (100 mg) dapat
diberikan untuk menyingkirkan penempatan intratekal yang tidak
disengaja.1
Tanda-tanda blokade sensorik dan motorik biasanya
menjadi jelas masing-masing dalam 2 sampai 3 menit dan 3 sampai
5 menit, jika injeksi intratekal. Pada pasien yang tidak menerima
antagonis β-adrenergik, injeksi intravaskular larutan anestesi lokal
dengan 15 hingga 20 mcg epinefrin secara konsisten meningkatkan
denyut jantung sebesar 20 hingga 30 denyut / menit dalam waktu
30 hingga 60 detik jika kateter epidural atau ujung jarum dipasang

24
ke dalam pembuluh darah. Teknik ini tidak selalu dapat diandalkan
pada ibu melahirkan karena teknik ini sering memiliki variasi dasar
spontan dalam denyut jantung dengan kontraksi.1
Metode alternatif untuk mendeteksi penempatan kateter
intravaskular yang tidak disengaja didasarkan pada tanda-tanda
toksisitas SSP, termasuk tinitus, pusing, mati rasa perioral, atau
rasa logam. Penggunaan larutan anestesi lokal encer dan kecepatan
injeksi yang lambat tidak lebih dari 5 mL dalam satu waktu juga
dapat meningkatkan deteksi injeksi intravaskular yang tidak
disengaja sebelum komplikasi katastropik berkembang.1

2.3.3 Manajemen Komplikasi


1. Hipotensi
Umumnya didefinisikan sebagai penurunan lebih dari 20% pada
tekanan darah sistolik dasar pasien, atau tekanan darah sistolik kurang
dari 100 mm Hg, hipotensi adalah efek samping yang umum dari
anestesi neuraksial. Ini terutama karena penurunan nada simpatis dan
sangat ditekankan kompresi aortokaval dan posisi tegak atau semi-
tegak. Pengobatan harus terdiri dari bolus fenilefrin intravena (40-120
mcg), oksigen tambahan, perpindahan uterus ke kiri, dan bolus cairan
intravena. Meskipun rutin menggunakan bolus cairan kristaloid
sebelum pemberian dosis epidural kateter tidak efektif dalam
pencegahan hipotensi, memastikan tepat hidrasi intravena pasien hamil
itu penting. Penggunaan head-down Posisi (Trendelenburg)
kontroversial karena berpotensi merugikan efek pada pertukaran gas
paru.
2. Injeksi intravaskular yang tidak disengaja
Pengakuan awal intravaskular injeksi, difasilitasi dengan
penggunaan anestesi lokal dosis kecil berulang bukannya bolus besar,
dapat mencegah toksisitas anestesi lokal yang lebih serius, seperti itu
sebagai kejang atau kolaps kardiovaskular. Injeksi intravaskular
dengan dosis toksiklidokain atau kloroprokain biasanya muncul

25
sebagai kejang. Propofol, 20 sampai 50 mg, akan menghentikan
aktivitas kejang. Pemeliharaan jalan nafas yang paten dan adekuat
oksigenasi sangat penting; namun, pemberian suksinilkolin dan
intubasi endotrakeal jarang diperlukan. Suntikan intravaskular
bupivakain dapat menyebabkan kolaps kardiovaskular yang cepat serta
aktivitas kejang. Resusitasi jantung mungkin sangat sulit dan
diperburuk oleh asidosis dan hipoksia. Infus segera dengan kombinasi
Intralipid 20% dosis tambahan epinefrin telah menunjukkan
kemanjuran dalam membalikkan bupivacaine- toksisitas jantung yang
diinduksi. Amiodarone adalah agen pilihan untuk pengobatan lokal
aritmia ventrikel yang diinduksi oleh anestesi.
3. Injeksi intratekal yang tidak disengaja
Bahkan saat tusukan dural terjadi dikenali segera setelah injeksi
anestesi lokal, percobaan aspirasi anestesi lokal biasanya tidak
berhasil. Pasien harus ditempatkanterlentang dengan perpindahan
uterus kiri. Peninggian kepala menonjolkan sisi yang merugikanefek
hipotensi pada aliran darah otak dan harus dihindari. Hipotensi harus
segera diobati dengan fenilefrin dan cairan intravena. Hipotensi sedang
hingga berat mungkin memerlukan pemberian epinefrin (10–50 mcg)
atau vasopresin (0,4–2,0 U intravena). Tinggi Tingkat tulang belakang
juga dapat menyebabkan diafragma dan kelumpuhan otot interkostal,
yang mana membutuhkan intubasi dan ventilasi dengan 100% oksigen.
Onset tertunda dari sangat tinggi dan sering tidak rata atau blok
unilateral mungkin karena tidak dikenali injeksi subdural.
4. Sakit kepala postdural puncture (PDPH)
Ada banyak penyebab sakit kepala setelah anestesi regional di
kebidanan. Penarikan kafein dan migrain sakit kepala tidak jarang
terjadi. Tusukan dural yang tidak disengaja dengan epidural besar
jarum biasanya akan menghasilkan PDPH, sebagai akibat dari
penurunan tekanan intrakranial dengan vasodilatasi serebral
kompensasi. Istirahat di tempat tidur, hidrasi, analgesik oral, dan
kafein natrium benzoat (5 00 mg ditambahkan ke 1000 mL cairan

26
intravena yang diberikan pada 200 mL / jam) mungkin efektif pada
pasien dengan sakit kepala ringan dan sebagai pengobatan sementara.
Intravena gabapentin, hidrokortison, dan teofilin oral telah terbukti
berhasil dalam beberapa penelitian. Penderita sakit kepala sedang
sampai berat biasanya membutuhkan patch darah epidural (10-20 mL).
Penangkal patch darah epidural tidak dianjurkan, karena 25% sampai
50% pasien mungkin tidak membutuhkan tambalan darah setelah
tusukan dural. Menunda tambalan darah selama 2 4 jam meningkatkan
kemanjurannya, meskipun tirah baring selama 24 jam sambil
menunggu patch darah epidural tidak nyaman dan tidak praktis untuk
ibu baru. Hematoma subdural intrakranial telah dilaporkan sebagai
komplikasi yang jarang terjadi 1 sampai 6 minggu setelah tusukan
dural yang tidak disengaja pada pasien kebidanan.
5. Demam kehamilan
Demam kehamilan sering diartikan sebagai korioamnionitis dan
dapat memicu evaluasi untuk sepsis neonatal. Bertentangan dengan
laporan beberapa penulis,tidak ada bukti yang jelas bahwa anestesi
epidural mempengaruhi suhu ibu atau sepsis neonatus meningkat
dengan analgesia epidural. Ketinggian suhu ibu dikaitkan dengan
indeks massa tubuh yang tinggi dan dengan nuliparitas pada wanita
dan persalinan lama.

2.3.4 Anestesi Spinal pada Sectio Caesaria


A. Surface Anatomy
Prosesus spinosus biasanya dapat diraba dan membantu untuk
menentukan garis tengah. Ultrasonografi dapat digunakan jika
landmark tidak teraba. Proses spinosus tulang belakang leher dan
lumbal hampir horizontal, sedangkan pada tulang belakang thoraks
miring ke arah caudal dan dapat tumpang tindih secara signifikan.
Oleh karena itu, saat melakukan blok epidural lumbar atau serviks
(dengan fleksi tulang belakang maksimum), jarum diarahkan dengan
hanya sedikit sudut cephalad, jika ada, sedangkan untuk blok toraks,

27
jarum harus miring secara signifikan lebih ke arah kepala untuk masuk
ke toraks. ruang epidural. Di daerah serviks, prosesus spinosus
pertama yang teraba adalah C2, tetapi yang paling menonjol adalah C7
(vertebra prominens). Dengan lengan di samping, prosesus spinosus
T7 biasanya pada tingkat yang sama dengan sudut inferior skapula.
Sebuah garis yang ditarik antara titik tertinggi kedua puncak iliaka
(garis Tuffier) biasanya melintasi L4 atau antar ruang L4 – L5.
Menghitung proses spinosus ke atas atau ke bawah dari titik referensi
ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi tingkat tulang belakang
lainnya. Sebuah garis yang menghubungkan tulang iliaka posterior
superior melintasi foramina posterior S2. Pada orang yang kurus,
sakrum mudah diraba, dan hiatus sakralis dirasakan sebagai depresi
tepat di atas atau di antara celah gluteal dan di atas tulang ekor,
menentukan titik masuk untuk blok caudal.1

Gambar 2.1 Penanda permukaan untuk mengidentifikasi level spinal.

B. Posisi Pasien
1) Posisi Duduk

28
Pasien duduk dengan siku bertumpu di paha atau meja
samping tempat tidur, atau pasien dapat memeluk bantal. Fleksi
tulang belakang memaksimalkan area "target" antara proses
spinosus yang berdekatan dan menyebabkan tulang belakang lebih
dekat ke permukaan kulit. 1

Gambar 2.2. Posisi Duduk Untuk Prosedur Anestesi Spinal1

2) Lateral Dekubitus1
Banyak dokter lebih memilih posisi lateral untuk blok
neuraksial. Pasien berbaring miring dengan lutut tertekuk dan ditarik
setinggi perut atau dada. Seorang asisten dapat membantu pasien
mempertahankan posisi ini.

Gambar 2.5. Posisi Lateral Dekubitus1

29
C. Definisi
Anestesi spinal yang diberikan sebelum persalinan — juga dikenal
sebagai saddle block — memberikan anestesi yang mendalam untuk
pelahiran per vaginam operatif. Penggunaan jarum spinal berujung
pensil berukuran 22 atau lebih kecil (Whitacre, Sprotte, atau Gertie
Marx) mengurangi kemungkinan PDPH. Tetrakain hiperbarik, 3–4
mg, bupivakain, 2,5–5 mg, atau lidokain, 20–40 mg, biasanya
memberikan anestesi perineum yang sangat baik. Penambahan
fentanil, 12,5–25 mcg, atau sufentanil, 5–7,5 mcg, secara signifikan
mempotensiasi blok. Tingkat sensorik T10 dapat diperoleh dengan
anestesi lokal dalam jumlah yang sedikit lebih besar. Tiga menit
setelah injeksi intratekal larutan hiperbarik, pasien ditempatkan pada
posisi litotomi dengan pergeseran uterus kiri.1

D. Anestesi Obstetri
Pilihan anestesi untuk seksio sesarea ditentukan oleh banyak
faktor, termasuk indikasi untuk persalinan operatif, urgensinya,
preferensi pasien dan dokter kandungan, dan keterampilan ahli
anestesi. Di negara tertentu, tingkat operasi caesar dapat bervariasi
sebanyak dua kali lipat antar institusi. Di beberapa negara, persalinan
sesar dipandang lebih disukai daripada persalinan dan angkanya jauh
lebih tinggi daripada di Amerika Serikat, di mana angkanya bervariasi
antara 15% dan 35% dari rumah sakit ke rumah sakit. Di Amerika
Serikat, sebagian besar operasi caesar elektif dilakukan dengan
anestesi spinal.1
Anestesi regional telah menjadi teknik yang disukai karena
anestesi umum dikaitkan dengan risiko morbiditas dan mortalitas ibu
yang lebih besar, fluktuasi hemodinamik yang lebih besar selama
induksi anestesi, dan kebutuhan analgesia tambahan selama pemulihan
anestesi. Kematian yang terkait dengan anestesi umum umumnya
terkait dengan masalah saluran napas, seperti ketidakmampuan untuk
melakukan intubasi, ketidakmampuan untuk ventilasi, atau
pneumonitis aspirasi. Namun, sebagian besar penelitian yang

30
menunjukkan risiko anestesi umum yang lebih besar dilakukan
sebelum datangnya laringoskopi video dan teknik saluran napas
lanjutan lainnya. Kematian yang terkait dengan anestesi regional
umumnya terkait dengan penyebaran blokade dermatom yang
berlebihan atau toksisitas anestesi lokal.1

Keuntungan tambahan dari anestesi regional termasuk (1) lebih


sedikit paparan neonatal terhadap obat yang berpotensi depresan, (2)
penurunan risiko aspirasi paru ibu, (3) ibu yang terjaga yang dapat
mengalami kelahiran anaknya, dan (4) pilihan menggunakan opioid
tulang belakang untuk menghilangkan rasa sakit pasca operasi.1
Anestesi epidural kontinyu memungkinkan kontrol berkelanjutan
yang lebih baik atas tingkat sensorik daripada teknik anestesi spinal
“tembakan tunggal”. Sebaliknya, anestesi spinal memiliki onset yang
lebih cepat dan dapat diprediksi; dapat menghasilkan blok yang lebih
padat (lebih lengkap); dan tidak memiliki potensi toksisitas obat
sistemik yang serius karena dosis anestesi lokal yang digunakan lebih
kecil. Terlepas dari teknik regional yang dipilih, seseorang harus siap
untuk memberikan anestesi umum kapan saja selama prosedur.1
Selain itu, pemberian antasida nonpartikulat dalam 30 menit
setelah pembedahan harus dipertimbangkan. Anestesi umum

31
menawarkan (1) onset yang sangat cepat dan andal, (2) kontrol atas
jalan napas dan ventilasi, (3) kenyamanan yang lebih besar untuk ibu
melahirkan yang sangat cemas, dan (4) hipotensi yang berpotensi lebih
rendah daripada anestesi regional. Anestesi umum juga memudahkan
penatalaksanaan jika terjadi komplikasi hemoragik yang parah seperti
plasenta akreta. Kerugian utamanya adalah risiko aspirasi paru, potensi
ketidakmampuan untuk melakukan intubasi atau ventilasi pasien, dan
depresi janin yang diinduksi obat. Teknik anestesi yang ada,
bagaimanapun, membatasi dosis agen intravena sehingga depresi janin
biasanya tidak signifikan secara klinis dengan anestesi umum ketika
pelahiran terjadi dalam 10 menit setelah induksi anestesi. Terlepas dari
jenis anestesi, neonatus yang dilahirkan lebih dari 3 menit setelah
insisi uterus memiliki skor Apgar dan nilai pH yang lebih rendah.1
Operasi caesar mengharuskan dermatom sampai dan termasuk T4
dibius. Karena terkait blokade simpatis, pasien harus menerima bolus
kristaloid intravena yang sesuai seperti larutan Ringer laktat (biasanya
1000-1500 mL) pada saat blokade saraf. Bolus semacam itu tidak akan
secara konsisten mencegah hipotensi tetapi hampir dapat
menghilangkan hipovolemia yang sudah ada sebelumnya. Bersamaan
dengan injeksi anestesi lokal, fenilefrin dapat dititrasi untuk
mempertahankan tekanan darah dalam 20% dari nilai dasar.
Diperkirakan akan terjadi penurunan tekanan darah sebesar 10%.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa fenilefrin menghasilkan
asidosis neonatal yang lebih sedikit daripada efedrin, meskipun
pemberian efedrin, 5 sampai 10 mg secara intravena, mungkin
diperlukan pada pasien hipotensi dengan penurunan denyut jantung.
Setelah injeksi anestesi spinal, pasien ditempatkan terlentang dengan
posisi uterus kiri; oksigen tambahan (40-50%) diberikan; dan tekanan
darah diukur setiap 1 sampai 2 menit sampai stabil. Hipotensi setelah
pemberian anestesi epidural biasanya memiliki onset yang lebih
lambat. Sedikit posisi Trendelenburg memfasilitasi pencapaian tingkat
sensorik T4 dan juga dapat membantu mencegah hipotensi parah.

32
Derajat ekstrim dari Trendelenburg dapat mengganggu pertukaran gas
paru.1
A. Anestesi Spinal
Pasien biasanya ditempatkan dalam posisi dekubitus lateral atau
duduk, dan larutan hiperbarik lidokain intratekal (50 sampai 60 mg)
atau bupivakain (10 sampai 15 mg) disuntikkan. Bupivakain harus
dipilih jika dokter kandungan tidak mungkin menyelesaikan operasi
dalam 45 menit atau kurang. Penggunaan jarum spinal berujung pensil
berukuran 22 atau lebih kecil (Whitacre, Sprotte, atau Gertie Marx)
mengurangi kejadian PDPH. Menambahkan fentanil, 10 sampai 25
mcg, atau sufentanil, 5 sampai 10 mcg, ke larutan anestesi lokal
intratekal meningkatkan intensitas blok tulang belakang dan
memperpanjang durasinya tanpa mempengaruhi hasil akhir neonatal.
Penambahan morfin bebas pengawet, 0,1 sampai 0,3 mg, dapat
memperpanjang analgesia pasca operasi hingga 24 jam, tetapi
memerlukan pemantauan untuk depresi pernapasan pasca pemberian
yang tertunda. Terlepas dari agen anestesi yang digunakan, variabilitas
yang cukup besar pada tingkat dermatom maksimal anestesi harus
diharapkan. Pada pasien obesitas, standar 3,5-in. Jarum tulang
belakang (9 cm) mungkin tidak cukup panjang untuk mencapai ruang
subarachnoid. Dalam kasus seperti itu, mungkin diperlukan jarum
spinal yang lebih panjang dengan panjang 4,75 inci (12 cm) hingga 6
inci (15,2 cm). Untuk mencegah jarum yang lebih panjang ini
bengkok, beberapa ahli anestesi lebih memilih jarum berdiameter lebih
besar, seperti jarum Sprotte 22-gauge. Atau, 2,5-in. Jarum tulang
belakang tipe Quincke ukuran 20 ukuran (6,3 cm) dapat digunakan
sebagai pengantar panjang dan pemandu untuk jarum tulang belakang
berujung pensil ukuran 25. Anestesi spinal berkelanjutan juga
merupakan pilihan yang masuk akal, terutama untuk pasien obesitas,
setelah tusukan dural yang tidak disengaja terjadi saat mencoba
memasang kateter epidural untuk operasi caesar. Setelah kateter
dimasukkan 3 sampai 5 cm ke dalam ruang subarachnoid lumbal dan

33
diamankan, kateter dapat digunakan untuk menyuntikkan agen
anestesi; Selain itu, memungkinkan suplementasi anestesi di kemudian
hari jika perlu.1
B. Anestesi Epidural
Anestesi epidural untuk seksio sesarea biasanya dilakukan dengan
menggunakan kateter, yang memungkinkan suplementasi anestesi, jika
perlu, dan memberikan rute yang sangat baik untuk pemberian opioid
pasca operasi. Setelah aspirasi negatif dan dosis uji negatif, volume
total 15 sampai 35 mL anestesi lokal disuntikkan perlahan dengan
penambahan 5 mL untuk meminimalkan risiko toksisitas anestesi lokal
sistemik. Lidokain 2% (biasanya dengan 1: 200.000 epinefrin) atau
kloroprokain 3% paling umum digunakan di Amerika Serikat.
Penambahan fentanil, 50 sampai 100 mcg, atau sufentanil, 10 sampai
20 mcg, sangat meningkatkan intensitas analgesik dan memperpanjang
durasinya tanpa mempengaruhi hasil akhir neonatal. Beberapa praktisi
juga menambahkan natrium bikarbonat (larutan 7,5% atau 8,4%) ke
larutan anestesi lokal (1 mEq natrium bikarbonat / 10 mL lidokain)
untuk meningkatkan konsentrasi basa bebas nonionisasi dan
menghasilkan onset yang lebih cepat dan penyebaran anestesi epidural
yang lebih cepat.1
Jika nyeri berkembang saat tingkat sensorik surut, anestesi lokal
tambahan diberikan secara bertahap 5 mL untuk mempertahankan
tingkat sensorik T4. Anestesi “tidak merata” sebelum persalinan bayi
dapat diobati dengan 10 sampai 20 mg ketamin intravena yang
dikombinasikan dengan 1 sampai 2 mg midazolam atau 30% nitrous
oxide.1
Setelah melahirkan, suplementasi opioid intravena juga dapat
digunakan, asalkan sedasi berlebihan dan kehilangan kesadaran
dihindari. Nyeri yang tetap tidak tertahankan meskipun tingkat
sensorik tampaknya memadai dan terbukti tidak responsif terhadap
tindakan ini memerlukan anestesi umum dengan intubasi endotrakeal.
Mual dapat diobati secara intravena dengan antagonis reseptor 5-HT3,

34
seperti ondansetron, 4 mg. Morfin epidural, 5 mg, pada akhir operasi
memberikan pereda nyeri yang baik hingga sangat baik pasca operasi
selama 6 hingga 24 jam. Peningkatan insiden (3,5-30%) dari infeksi
labialis herpes simpleks rekuren 2 sampai 5 hari setelah pemberian
morfin epidural telah dilaporkan. Analgesia pasca operasi juga dapat
diberikan dengan infus epidural terus menerus dari fentanil, 25 sampai
75 mcg / jam, atau sufentanil, 5 sampai 10 mcg / jam, dengan
kecepatan pengiriman volume sekitar 10 mL / jam. Epidural
butorphanol, 2 mg, juga dapat meredakan nyeri pasca operasi yang
efektif, tetapi mengantuk yang ditandai sering merupakan efek
samping.1
C. Kombinasi Spinal Epidural
Teknik untuk CSE dijelaskan pada bagian sebelumnya tentang
Gabungan Analgesia Spinal & Epidural untuk persalinan dan
persalinan pervaginam. Untuk operasi caesar, CSE menggabungkan
manfaat blokade anestesi spinal yang cepat, andal, dan intens dengan
utilitas fleksibel dari kateter epidural. Kateter juga memungkinkan
suplementasi anestesi dan dapat digunakan untuk analgesia pasca
operasi. Seperti disebutkan sebelumnya, obat yang diberikan epidural
harus dititrasi dengan hati-hati karena lubang dural yang dibuat oleh
jarum spinal dapat memfasilitasi pergerakan obat epidural ke CSF dan
dengan demikian meningkatkan efeknya.1
Indikasi untuk operasi caesar darurat termasuk perdarahan masif
(plasenta previa atau akreta, solusio plasenta, atau ruptur uterus),
prolaps tali pusat, dan gawat janin yang parah. Perbedaan harus dibuat
antara keadaan darurat sebenarnya yang membutuhkan pengiriman
segera (sebelumnya disebut sebagai "kecelakaan C-section") dan
keadaan di mana beberapa penundaan mungkin dilakukan. Komunikasi
yang erat dengan dokter kandungan diperlukan untuk menentukan
apakah janin, ibu, atau keduanya dalam bahaya. Pilihan teknik anestesi
ditentukan dengan pertimbangan keselamatan ibu (evaluasi jalan napas
dan risiko aspirasi), masalah teknis, dan keahlian pribadi ahli anestesi.1

35
Kriteria yang mengarah pada diagnosis status janin yang tidak
meyakinkan harus ditinjau ulang, karena evaluasi janin mungkin
didasarkan pada kriteria dengan akurasi prediksi yang buruk dan status
janin dapat berubah. Informasi ini diperlukan untuk memilih teknik
anestesi yang akan memberikan hasil terbaik bagi ibu dan janin.
Pemberian anestesi regional yang cepat merupakan pilihan yang
dianjurkan terutama untuk pasien dengan dugaan kesulitan jalan napas,
risiko tinggi aspirasi, atau keduanya. Pilihan ini mungkin bermasalah
pada pasien yang sangat hipovolemik atau hipotensi. Jika anestesi
umum dipilih, denitrogenasi yang adekuat dapat dicapai dengan cepat
dengan empat napas maksimal 100% oksigen saat monitor dipasang.
Ketamin, 1 mg / kg, dapat diganti dengan propofol pada pasien
hipotensi atau hipovolemik. Sangat disarankan untuk segera memiliki
laringoskop video dan peralatan jalan napas alternatif lainnya. Tabel
41-5 daftar tanda-tanda gawat janin yang diterima secara umum, istilah
yang tidak tepat dan didefinisikan dengan buruk.1
Dalam kebanyakan kasus, diagnosis terutama didasarkan pada
pemantauan detak jantung janin. Karena pola detak jantung janin yang
mengkhawatirkan memiliki insiden hasil positif palsu yang relatif
tinggi, interpretasi yang cermat terhadap parameter lain, seperti pH
kulit kepala janin atau oksimetri nadi janin, mungkin juga diperlukan.
Selain itu, pemantauan janin di ruang operasi dapat membantu
menghindari induksi anestesi umum yang tidak perlu untuk gawat
janin ketika waktu tambahan untuk penggunaan anestesi regional
memungkinkan. Dalam kasus tertentu di mana persalinan segera tidak
mutlak wajib, anestesi epidural (dengan kloroprokain 3% atau lidokain
2% alkalin) atau anestesi spinal mungkin sesuai.1

BAB III
LAPORAN KASUS

Tanggal: 15-09-2021

36
Jam: 10:00
Nama : Triyuti
Umur : 35 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
No. RM : 61.10.24
Spesialis Anestesi : dr. Nafilah Afriyani, Sp. An
Spesialus Bedah : dr. Kurniawan, Sp. OG
Diagnosis Prabedah : G4P2A1 dengan KET
Jenis Pembedahan : Sectio Caesaria
Diagnosis Pascabedah : Post Sectio Caesaria

Keadaan Prabedah
BB : 56 Kg
TB : 158 cm
Gol. Darah :B
Rh : (+)
TD : 110/70 mmHg
Nadi : 87 x/menit
Suhu : 36,5 0C
Hb : 10 g/dl
Ht : 30%
Alergi : Tidak

Pemeriksaan Fisik
Jalan Nafas: Normal
 Buka mulut > 2 jari
 Jarak Thyromental > 3 jari
 Mallampati I
 Gerakan Leher Maksimal

Anamnesis (Autoanamnesis):

37
Os datang ke PONEK RSUD Palembang Bari dengan keluhan nyeri perut
bagian bawah sejak 1 minggu yang lalu, nyeri menjalar hingga ke pinggang dan
paha sebelah kanan. Nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk dan terus menerus.
Pasien juga mengeluhkan adanya perdarahan pervaginam yang dirasakan pasien
sejak 2 minggu terakhir. Awalnya perdarahan banyak, namun sekarang hanya
berupa flek-flek, dan berwarna kehitaman. Pasien juga mengeluh mual muntah.
Pasien mengaku melakukan test kehamilan dan hasilnya positif.
Riwayat penyakit dahulu:
- Hipertensi (-)
- Diabetes Melitus (-)
- Asma (-)
- Alergi obat (-)

Pemeriksaan Fisik & Penunjang


Kepala: Normocephali
Leher: Pembesarah KGB (-)
Thorax: Jantung: BJ I dan II Normal, murmur (-), gallop (-);
Paru: Vesikuler (+/+), wheezing (-), Rhonki (-)
Abdomen: Cembung, nyeri perut bawah (+)
Ekstremitas: Akral hangat, CRT < 2 detik

Status Fisik ASA:


ASA II
Penyulit anestesi: tidak ada

Checklist sebelum induksi:


 Ijin operasi
 Cek mesin anestesi
 Cek suction unit
 Persiapan obat-obatan

Teknik Anestesi

38
Regional : Spinal

Monitoring
- EKG Lead
- SpO2
- Urine Catether

Infus Perifer : Tempat Ukuran


RL tangan kiri G20

Posisi
Terlentang

Premedikasi
Inj. Ondansentron 4 mg/2mL

Ventilasi
Spontan

Teknik Regional
Tipe : Spinal
Daerah Pemasangan L4-L5
Jarum/No : Spinocan 25G
Kateter : Ya

Hasil
 Total blok

Obat-obatan/infus
- Inj. Bupivacaine 0,5% 2 ml
- Oxytocin 20 mg/IU
- Ephedrin HCL 9 ml

39
Observasi Tanda-Tanda Vital
Tekanan
Pukul Nadi SpO2 Cairan Infus
Darah

10:15 120/80 92 100 Ringer Laktat


10.20 120/80 90 100 Ringer Laktat
10.25 120/75 84 100 Ringer Laktat
10.30 120/70 85 100 Ringer Laktat
10.35 120/79 83 100 Ringer Laktat
10.40 110/80 82 100 Ringer Laktat
10.45 110/70 87 100 Asering
10.50 110/85 78 100 Asering
10.55 120/81 73 100 Asering
11.00 120/86 84 100 Asering
11.05 120/71 78 100 Asering
11.10 120/78 88 100 Asering
11.15 120/79 90 100 Asering

Pemantauan
SpO2 : 99%
Infus : 700 ml
Darah :-
Urin : 100 ml
Perdarahan : 400 ml

Lama Pembiusan: 1 jam


Lama Pembedahan: 1 jam

40
CATATAN KAMAR PEMULIHAN
Data masuk
Jam 11: 20 WIB
Pernafasan: Spontan (adekuat bersuara)
Kesadaran: Sadar betul
BROMAGE Score: 2
1. Gerakan penuh tungkai :0
2. Tak mampu ekstensi tungkai :1
3. Tak mampu fleksi lutut :2
4. Tak mampu fleksi pergelangan kaki: 3
* Score < 2 boleh pindah ruangan
TOTAL : 2

Pukul Tekanan Darah Nadi


11:20 126/80 90
11:35 124/80 90
11:50 120/80 89
11:05 120/80 88
11:20 118/79 80

Keluar kamar pulih


Jam 11: 20
BROMAGE Score: 2
1. Gerakan penuh tungkai :0
2. Tak mampu ekstensi tungkai :1
3. Tak mampu fleksi lutut :2
4. Tak mampu fleksi pergelangan kaki: 3
* Score < 2 boleh pindah ruangan
TOTAL : 0
Ke: Ruang Rawat

INSTRUKSI PASCA BEDAH


Bila kesakitan : Ketorolac 200 mg IV

41
Bila mual/muntah : Ondansetron 2 mg
Antibiotik : Sesuai instruksi dokter
Obat-obatan lain : Sesuai instruksi dokter
Infus : Sesuai instruksi dokter
Minum : Sesuai instruksi dokter
Pemantauan Tanda Vital dan GCS : Tiap 60 menit selama 24 jam

42
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesis didapatkan pasien Ny. T, 35 tahun, pasien hamil


anak keempat datang ke PONEK Bari Palembang dengan keluhan nyeri perut bagi
an bawah symphisis. Pasien ditetapkan pada klasifikasi ASA II. Berdasarkan
American Society Anesthesiology, klasifikasinya adalah sebagai berikut.1

Indikasi pada tindakan sectio caesarea pada kasus ini adalah kehamilan
ektopik terganggu. Persiapan operasi dimulai dari sebelum dilakukan tindakan
pembedahan, pasien disarankan untuk puasa 8 jam sebelum tindakan. Periode
puasa minimum untuk operasi caesar elektif tetap kontroversial tetapi biasanya
direkomendasikan 6 jam untuk makanan ringan dan 8 jam untuk makanan berat.
Pemberian profilaksis antasida bening (15-30 mL natrium sitrat 0,3 M secara oral)
setiap 30 menit sebelum operasi caesar dapat membantu mempertahankan pH
lambung lebih besar dari 2,5 dan dapat menurunkan kemungkinan pneumonitis
aspirasi yang parah.1

43
Pada kasus ini pasien diberikan premedikasi berupa Ondansentrone 4 mg/ 2
ml. Tujuan dari pemberian obat ini adalah untuk mengurangi keluhan mual saat
dilakukan tindakan anestesi. Aspirasi isi lambung adalah kejadian langka dan
berpotensi fatal yang dapat mempersulit anestesi. Berdasarkan penelitian pada
hewan, sering dinyatakan bahwa aspirasi dengan volume 25 mL pada pH kurang
dari 2,5 menyebabkan pneumonia aspirasi. Banyak faktor yang membuat pasien
berisiko mengalami aspirasi, termasuk perut "penuh", obstruksi usus, hernia,
obesitas, kehamilan, penyakit refluks, operasi darurat, dan kedalaman anestesi
yang tidak memadai. Banyak pendekatan digunakan untuk mengurangi potensi
aspirasi perioperatif. Banyak dari intervensi ini, seperti menahan tekanan krikoid
(manuver Sellick) dan induksi cepat, mungkin hanya memberikan perlindungan
terbatas. Tekanan krikoid dapat dilakukan secara tidak benar dan gagal untuk
menutup esofagus. Bahkan ketika teknik diterapkan dengan benar, efek
menguntungkan pada outcome masih belum terbukti. Agen anestesi dapat
menurunkan tonus sfingter esofagus bagian bawah dan menurunkan atau
menghilangkan refleks muntah, secara teoritis meningkatkan risiko aspirasi.
Selain itu, pasien dengan anestesi yang tidak memadai dapat muntah dan jika jalan
nafas tidak terlindungi, aspirasi dapat terjadi. Agen-agen ini termasuk
antihistamin, antasida, dan metoclopramide.1
Serotonin, 5-hydroxytryptamine (5-HT), muncul dalam jumlah besar di
trombosit dan saluran GI (sel enterochromaffin dan pleksus mienterika). Ini juga
merupakan neurotransmitter penting di berbagai area sistem saraf pusat. Serotonin
dibentuk oleh hidroksilasi dan dekarboksilasi triptofan. Monoamine oxidase
menonaktifkan serotonin menjadi asam 5-hydroxyindoleacetic (5-HIAA).
Fisiologi serotonin sangat kompleks karena sedikitnya terdapat tujuh tipe reseptor,
dan kebanyakan dengan banyak subtipe. Reseptor 5-HT3 memediasi muntah dan
ditemukan di saluran GI dan otak. Reseptor 5-HT2A bertanggung jawab untuk
kontraksi otot polos dan agregasi trombosit, reseptor 5-HT4 di saluran GI
memediasi sekresi dan peristaltik, dan reseptor 5-HT6 dan 5-HT7 terletak
terutama di sistem limbik di mana mereka tampak berperan pada keadaan depresi.
Semua kecuali reseptor 5-HT3 digabungkan dengan protein G dan mempengaruhi
adenylyl cyclase atau phospholipase C; efek dari reseptor 5-HT3 dimediasi

44
melalui saluran ion. Efek serotonin pada gastrointestinal dapat menyebabkan
kontraksi otot polos langsung (melalui reseptor 5-HT2) dan pelepasan asetilkolin
yang diinduksi serotonin di pleksus myenterika (melalui reseptor 5-HT3) sangat
meningkatkan gerak peristaltik. Sekresi tidak terpengaruh.1
Ondansetron, granisetron, tropisetron, dan dolasetron secara selektif
memblokir reseptor serotonin 5-HT3, dengan sedikit atau tidak ada efek pada
reseptor dopamin (reseptor 5-HT3, yang terletak di perifer (aferen vagal
abdominal) dan di sentral (zona pemicu kemoreseptor di area postrema dan
nukleus traktus solitarius), tampaknya memainkan peran penting dalam inisiasi
refleks muntah Reseptor 5-HT 3 dari zona pemicu kemoreseptor di area postrema
berada di luar sawar otak. Zona pemicu kemoreseptor diaktifkan oleh zat-zat
seperti anestesi dan opioid dan memberi sinyal pada nukleus traktus solitarius,
menghasilkan mual muntah paska operasi. Rangsangan emetogenik dari saluran
GI juga merangsang terjadinya mual muntah pasca operasi.1
Teknik yang dilakukan adalah spinal anestesi. Keuntungan tambahan
anestesi regional pada kehamilan dan persalinan adalah 1. Kurangnya paparan
neonatal terhadap obat-obatan khususnya yang berpotensi depresan. 2. Penurunan
risiko aspirasi paru ibu. 3. Seorang ibu yang terjaga dapat mengalami pengalaman
kelahiran anaknya. 4. Terdapat pilihan menggunakan opioid spinal untuk
menghilangkan nyeri post operasi. Walaupun menggunakan teknik anestesi spinal,
seseorang harus siap untuk memberikan anestesi umum kapan saja selama
prosedur. Keuntungan Anestesi umum adalah 1. Onset yang sangat cepat, 2.
Kontrol terhadap jalan nafas dan ventilasi, 3. Kenyamanan yang lebih besar untuk
ibu melahirkan dengan rasa cemas, dan 4. Risiko hipotensi lebih kecil daripada
anestesi regional. Anestesi umum juga memfasilitasi tatalaksana jika terjadi
komplikasi hemoragik parah seperti plasenta akreta. Kerugian utamanya adalah
risiko aspirasi paru, potensi ketidakmampuan untuk intubasi atau ventilasi pasien,
dan depresi janin yang diinduksi obat. 1 Terlepas dari jenis anestesi, neonatus yang
dilahirkan lebih dari tiga menit setelah insisi uterus memiliki nilai skor apgar yang
lebih rendah. Post operasi, pasien dilakukan monitoring di ruang recovery room
selama 60 menit dan langsung di pindahkan di ruang rawat.

45
Agen anestesi spinal yang diberikan pada pasien ini adalah bupivacaine
0,5%. Bupivacaine termasuk golongan amida. Anestesi lokal amida
dimetabolisme (N-dealkilasi dan hidroksilasi) oleh enzim P-450 mikrosomal di
hati. Laju metabolisme amida tergantung pada agen spesifiknya (prilocaine>
lidocaine> mepivacaine> ropivacaine> bupivacaine) tetapi secara keseluruhan
secara konsisten lebih lambat daripada hidrolisis ester pada agen anestesi lokal
ester. Penurunan fungsi hati (misalnya dengan sirosis) atau aliran darah hati
(misalnya, gagal jantung kongestif, penyekat β, atau penyekat reseptor H2) akan
mengurangi laju metabolisme amida dan berpotensi mempengaruhi pasien
berisiko lebih besar mengalami toksisitas sistemik. Metabolit anestesi lokal yang
larut dalam air bergantung pada pembersihan ginjal. 1
Injeksi bupivacaine intravaskular yang tidak disengaja selama anestesi
regional dapat menyebabkan toksisitas kardiovaskular berat, termasuk depresi
ventrikel kiri, blok jantung atrioventrikular, dan aritmia yang mengancam jiwa
seperti takikardia ventrikel dan fibrilasi. Kehamilan, hipoksemia, dan asidosis
pernapasan merupakan faktor risiko predisposisi. Anak-anak kecil juga mungkin
berisiko mengalami keracunan. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa
bupivakain dikaitkan dengan perubahan konduksi yang lebih nyata dan risiko
aritmia terminal yang lebih besar daripada dosis lidokain yang setara.
Mepivacaine, ropivacaine, dan bupivacaine masing-masing memiliki karbon kiral
dan oleh karena itu dapat ada di salah satu dari dua isomer optik (enansiomer).
Isomer optik R (+) dari bupivakain memblok lebih jelas dan berdisosiasi lebih
lambat dari saluran Na jantung daripada isomer optik S (-) (levobupivacaine atau
ropivacaine). Resusitasi dari toksisitas jantung yang diinduksi bupivakain
seringkali sulit dan resisten terhadap obat resusitasi standar. Beberapa laporan
klinis menunjukkan bahwa pemberian bolus dari emulsi lipid nutrisi pada 1,5
mL / kg dapat menyadarkan pasien keracunan bupivakain yang tidak sesuai terapi
standar. Kami menganjurkan bahwa lipid menjadi pengobatan lini pertama untuk
toksisitas kardiovaskular akibat anestesi lokal dan kami prihatin bahwa laporan
kasus menunjukkan penundaan penggunaan pengobatan yang hampir bebas risiko
ini meskipun pedoman American Society of Regional Anesthesia and Pain

46
Medicine (ASRA) tentang anestesi lokal toksisitas sistemik tersedia dalam bentuk
cetak, online, dan dalam aplikasi seluler.1
Perawatan pasien pasca bedah yaitu lakukan observasi dengan mengukur
tekanan darah, nadi, frekuensi pernapasan secara teratur dan perhatikan bila ada
keadaan abnormal dan perdarahan yang berlanjut. Pada jam pertama setelah
anestesi, merupakan saat yang paling berbahaya bagi pasien. Reflek perlindungan
jalan napas masih terkena, walaupun pasien tampak sudah bangun, dan efek sisa
obat yang diberikan dapat mendepresi pernapasan. Dapat digunakan skala
bromage. Pasien boleh dipindahkan ke ruangan jika nilai skala bromage kurang da
ri 2. Pada pasien ditemukan pasien dapat mengangkat tungkai bawah dengan nilai
0, hal ini menandakan pasien dalam kondisi stabil dan diperbolehkan pindah ke
ruang perawatan.

BAB V
KESIMPULAN

Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari laporan kasus ini adalah:
1. Jenis anestesi yang dilakukan pada kasus adalah anestesi regional dengan
teknik anestesi spinal.
2. Obat-obatan yang digunakan dalam premedikasi adalah Ondansentron 4
mg. Pada induksi dengan bupivacaine 0,5% dengan dosis 15 mg IV.
3. Saat tahap operatif berlangsung, dilakukan pemeriksaan tanda vital pasien
dengan tujuan mendapatkan informasi fungsi organ vital selama
perianesthesia.
4. Post operasi pasien dimonitoring di ruang pemulihan dan dinilai
menggunakan Bromage Score. Nilai Bromage pasien adalah 0 yang
artinya pasien dapat dipindahkan dan dirawat di bangsal perawatan bedah
untuk dimonitoring sampai keadaan umumnya membaik dan kemudian
dapat dipulangkan.

47
48
DAFTAR PUSTAKA

1. Morgan, E., Mikhail, M., Murray, M,. Clinical anesthesiology. Edisi ke-6
New York: McGraw-Hill, 2018; page; 528-580 & 1330-1356.
2. Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Jakarta:
PT. Bina Pustaka, 2013.
3. Cunningham F, Leveno K, Bloom S, Hauth J, Gilstrap L, Wenstrom K,
dalam William Obstetrics, edisi ke-22, New York: McGraw-Hill, 2005 : 761-
808.
4. Kementrian Kesehatan RI. 2020. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2019.
Jakarta: Kemenkes RI.
5. Dewi, P. T., & Risilwa, M. (2017). Kehamilan Ektopik Terganggu : Sebuah
Tinjauan Kasus. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala, 17(1), 26–32.

49

Anda mungkin juga menyukai