Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH ASKAN PEMBEDAHAN UMUM

“Transurethral Resection of the Prostate (TURP)”

“ (Dosen Pembimbing : I Ketut Setiabudi, S.ST.,M.Si.,M.Kes)

Oleh Kelompok 3 :

2014301055 Ansen Rut Kartika Tarigan


2014301056 Ayu Annisa Salsabila
2014301057 Deogradcya Almeyda Holly Queen D.C
2014301063 I Kadek Indra Pradana
2014301069 Intan Jeanetha Tambajong
2014301070 Irani Selestian Sapu Larung
2014301077 Maria Olen Mulyono
2014301085 Ni Putu Anandha Swari
2014301089 Noni Mardiana Kogoya
2014301102 Vivian Inggridiastrid Kumila

INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI

PRODI DIV KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI

TAHUN AJARAN 2021/2022

1
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat dan
hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah “Transurethral Resection of the Prostate
(TURP)””

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas dari bapak. I Ketut Setiabudi, S.ST.,M.Si.,M.Kes
pada mata kuliah ASKAN pembedahan Umum di Institut Teknologi Dan Kesehatan Bali.
Selain itu, penulis juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca
tentang asuhan kepenataan anestesi dalam pelayanannya.

Penulis juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu proses
penyusunan makalah ini.

Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberi manfaat kepada semua pihak, bagi kami
khususnya dan bagi teman-teman mahasiswa Institut Teknologi dan Kesehatan Bali pada
umumnya. Kami sadar bahwa makalah ini belum sempurna dan masih memiliki banyak
kekurangan.Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
semua pihak yang membaca.

Denpasar, Juni 2022

Kelompok 3

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................................2
DAFTAR ISI.............................................................................................................................................3
PEMBAHASAN.......................................................................................................................................4
A. Definisi......................................................................................................................................4
B. Tanda Dan Gejala....................................................................................................................4
C. Tindakan BHP.........................................................................................................................5
D. Pertimbangan Anestesi............................................................................................................7
E. Masalah Kesehatan................................................................................................................15
1. Analisa Data...........................................................................................................................15
2. Rencana Intervensi, implementasi, evaluasi........................................................................17
F. Critical Point..........................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................19

3
PEMBAHASAN

A. Definisi

Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah pembesaran kelenjar prostat nonkanker,


(Corwin, 2000).
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan.
Price&Wilson (2005).
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah pembesanan prostat yang jinak bervariasi
berupa hiperplasia kelenjar atauhiperplasia fibromuskular. Namun orang sering
menyebutnya dengan hipertropi prostat namun secarahistologi yang dominan adalah
hyperplasia (Sabiston, David C,2004)
BPH (Hiperplasia prostat benigna) adalah suatu keadaan di mana kelenjar prostat
mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat
aliran urin dengan menutup orifisium uretra. BPH merupakan kondisi patologis yang
paling umum pada pria. (Smeltzer dan Bare, 2002)

B. Tanda Dan Gejala

1. Gejala iritatif meliputi :


a. Peningkatan frekuensi berkemih
b. Nokturia (terbangun pada malam hari untuk miksi)
c. Perasaan ingin miksi yang sangat mendesak/tidak dapat ditunda (urgensi)
d. Nyeri pada saat miksi (disuria)

2. Gejala obstruktif meliputi :


a. Pancaran urin melemah
b. Rasa tidak puas sehabis miksi, kandung kemih tidak kosong dengan baik
c. Kalau mau miksi harus menunggu lama
d. Volume urin menurun dan harus mengedan saat berkemih
e. Aliran urin tidak lancar/terputus-putus
f. Urin terus menetes setelah berkemih
g. Waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urin dan
inkontinensia karena penumpukan berlebih.
h. Pada gejala yang sudah lanjut, dapat terjadi Azotemia (akumulasi

4
produk sampah nitrogen) dan gagal ginjal dengan retensi urin kronis
dan volume residu yang besar.
3. Gejala generalisata seperti seperti keletihan, anoreksia, mual dan muntah, dan rasa
tidak nyaman pada epigastrik
Berdasarkan keluhan dapat dibagi menjadi :

a. Derajat I : penderita merasakan lemahnya pancaran berkemih, kencing tak puas,


frekuensi kencing bertambah terutama pada malam hari
b. Derajat II : adanya retensi urin maka timbulah infeksi. Penderita akan mengeluh
waktu miksi terasa panas (disuria) dan kencing malam bertambah hebat.
c. Derajat III : timbulnya retensi total. Bila sudah sampai tahap ini maka bisa timbul
aliran refluk ke atas, timbul infeksi ascenden menjalar ke ginjal dan dapat
menyebabkan pielonfritis, hidronefrosis.

C. Tindakan BHP
1. Terapi bedah
Tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi. Indikasi absolut untuk terapi
bedah yaitu :
- Retensi urin berulang
- Hematuri
- Tanda penurunan fungsi ginjal
- Infeksi saluran kemih berulang
- Tanda obstruksi berat seperti hidrokel
- Ada batu saluran kemih

d. Prostatektomi
Pendekatan transuretral merupakan pendekatan tertutup. Instrumen bedah dan
optikal dimasukan secara langsung melalui uretra ke dalam prostat yang
kemudian dapat dilihat secara langsung. Kelenjar diangkat dalam irisan kecil
dengan loop pemotong listrik. Prostatektomi transuretral jarang menimbulakan
disfungsi erektil tetapi dapat menyebabkan ejakulasi retrogard karena
pengangkatan jaringan prostat pada kolum kandung kemih dapat menyebabkan
cairan seminal mengalir ke arah belakang ke dalam kandung kemih dan bukan

5
melalui uretra.

e. Prostatektomi Supra pubis.


Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen. Yaitu
suatu insisi yang dibuat kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat diangkat
dari atas.

f. Prostatektomi Perineal.
Adalah mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. Cara ini
lebih praktis dibanding cara yang lain, dan sangat berguna untuk biopsi
terbuka. Lebih jauh lagi inkontinensia, impotensi, atau cedera rectal dapat
mungkin terjadi dari cara ini. Kerugian lain adalah kemungkinan kerusakan
pada rectum dan spingter eksternal serta bidang operatif terbatas.

g. Prostatektomi retropubik.
Adalah insisi abdomen lebih rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara
arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih.
Keuntungannya adalah periode pemulihan lebih singkat serta kerusakan
spingter kandung kemih lebih sedikit. Pembedahan seperti prostatektomi
dilakukan untuk membuang jaringan prostat yang mengalami hiperplasi.
Komplikasi yang mungkin terjadi pasca prostatektomi mencakup perdarahan,
infeksi, retensi oleh karena pembentukan bekuan, obstruksi kateter dan
disfungsi seksual. Kebanyakan prostatektomi tidak menyebabkan impotensi,
meskipun pada prostatektomi perineal dapat menyebabkan impotensi akibat
kerusakan saraf pudendal. Pada kebanyakan kasus aktivitas seksual dapat
dilakukan kembali dalam 6 sampai 8 minggu karena saat itu fossa prostatik
telah sembuh. Setelah ejakulasi maka cairan seminal mengalir ke dalam
kandung kemih dan diekskresikan bersama uin. Perubahan anatomis pada
uretra posterior menyebabkan ejakulasi retrogard.

h. Insisi Prostat Transuretral ( TUIP ).


Yaitu suatu prosedur menangani BPH dengan cara memasukkan instrumen
melalui uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan kapsul prostat
untuk mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi kontriksi
6
uretral. Cara ini diindikasikan ketika kelenjar prostat berukuran kecil (30
gram/kurang) dan efektif dalam mengobati banyak kasus BPH. Cara ini dapat
dilakukan di klinik rawat jalan dan mempunyai angka komplikasi lebih rendah
di banding cara lainnya.

i. TURP ( TransUretral Reseksi Prostat )


TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra
menggunakan resektroskop, dimana resektroskop merupakan endoskop dengan
tabung 10-3-F untuk pembedahan uretra yang dilengkapi dengan alat
pemotong dan counter yang disambungkan dengan arus listrik. Tindakan ini
memerlukan pembiusan umum maupun spinal dan merupakan tindakan
invasive yang masih dianggap aman dan tingkat morbiditas minimal. TURP
merupakan operasi tertutup tanpa insisi serta tidak mempunyai efek merugikan
terhadap potensi kesembuhan. Operasi ini dilakukan pada prostat yang
mengalami pembesaran antara 30-60 gram, kemudian dilakukan reseksi.
Cairan irigasi digunakan secara terus-menerus dengan cairan isotonis selama
prosedur. Setelah dilakukan reseksi, penyembuhan terjadi dengan granulasi dan
reepitelisasi uretra pars prostatika (Anonim,FK UI,2005).
Setelah dilakukan TURP, dipasang kateter Foley tiga saluran no. 24 yang
dilengkapi balon 30 ml, untuk memperlancar pembuangan gumpalan darah dari
kandung kemih. Irigasi kanding kemih yang konstan dilakukan setelah 24 jam
bila tidak keluar bekuan darah lagi. Kemudian kateter dibilas tiap 4 jam sampai
cairan jernih. Kateter dingkat setelah 3-5 hari setelah operasi dan pasien harus
sudah dapat berkemih dengan lancar.

D. Pertimbangan Anestesi
1. Definisi Anestesi

Anestesi adalah menghilangnya rasa nyeri, dan menurut jenis kegunaannya


dibagi menjadi anestesi umum yang disertai hilangnya kesadaran, sedangkan
anestesi regional dan anestesi local menghilangya rasa nyeri disatu bagian tubuh
saja tanpa menghilangnya kesadaran (Sjamsuhidajat & De Jong, 2012)

Anestesi merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan


pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh

7
(Morgan, 2011)

Anestesi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan rasa ketika


dilakukan pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa sakit,
dalam hal ini rasa takut perlu ikut dihilangkan untuk menciptakan kondisi optimal
bagi pelaksanaan pembedahan (Sabiston, 2011).

Dari beberapa definisi anestesi menurut para ahli maka dapat disimpulkan
bahwa Anestesi merupakan suatu tindakan menghilangkan rasa sakit pada saat
pembedahan atau melakukan tindakan prosedur lainnya yang menimbulkan rasa
sakit dengan cara trias anestesi yaitu hipnotik, analgetik, relaksasi.

2. Teknik Anestesi
a. Anestesi General
Anestesi umum atau general anestesi menurut Mangku dan Senapathi (2017)
dapat dilakukan dengan 3 teknk, yaitu:
1) General Anestesi Intravena, teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan
menyuntikkan obat anestesi parenteral langsung ke dalam pembuluh darah vena.
2) General Anestesi Inhalasi, teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan
memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau cairan
yang mudah menguap melalui alat atau mesin anestesi langsung ke udara
inspirasi.
3) Balance Anesthesia Merupakan teknik anestesi dengan menggunakan kombinasi
obat-obatan baik anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi atau
kombinasi teknik general anestesi dengan analgesia regional untuk mencapai
trias anestesi secara optimal dan berimbang

b. Regional Anestesi

1) Pengertian anestesi spinal

Anestesi spinal adalah injeksi agen anestesi ke dalam ruang intratekal,


secara langsung ke dalam cairan serebrospinalis sekitar region lumbal di
bawah level L1/2 dimana medulla spinalis berakhir (Keat, dkk, 2013).
Spinal anestesi merupakan anestesia yang dilakukan pada pasien yang
masih dalam keadaan sadar untuk meniadakan proses konduktifitas pada
ujung atau serabut saraf sensori di bagian tubuh tertentu (Rochimah, dkk,

8
2011).
2) Tujuan Spinal Anestesi

Menurut Sjamsuhidayat & De Jong tahun 2010 Spinal anestesi dapat


digunakan untuk prosedur pembedahan, persalinan, penanganan nyeri akut
maupun kronik.
3) Kontra indikasi Spinal Anestesi

Menurut Sjamsuhidayat & De Jong tahun 2010 anestesi regional yang


luas seperti spinal anestesi tidak boleh diberikan pada kondisi hipovolemia
yang belum terkorelasi karena dapat mengakibatkan hipotensi berat.
Komplikasi yang dapat terjadi pada spinal anestesi menurut
Sjamsuhidayat & De Jong tahun 2010, ialah :
- Hipotensi terutama jika pasien tidak prahidrasi yang cukup
- Blokade saraf spinal tinggi, berupa lumpuhnya pernapasan dan
memerlukan bantuan napas dan jalan napas segera.

- Sakit kepala pasca pungsi spinal, sakit kepala ini bergantung pada
besarnya diameter dan bentuk jarum spinal yang digunakan.

4) Jenis – Jenis Obat Spinal Anestesi

Lidokain, Bupivakain, dan tetrakain adalah agen anestesi lokal yang


utama digunakan untuk blockade spinal. Lidokain efektif untuk 1 jam, dan
bupivacaine serta tetrakain efektif untuk 2 jam sampai 4 jam (Reeder, S.,
2011). Berikut ini uraian obat spinal anestesi :
(a) Lidokain

- Onset kerja : cepat

- Dosis maksimum : 3-5mg/kg

- Durasi kerja ; Pendek 60-180 menit tergantung penggunaan


- Efek samping : toksisitas kardiak lebih rendah
dibandingkan bupivakain
- Metabolisme : di hati, n-dealkylation yang diikuti dengan
hidrolisis untuk menghasilkan metablit yang dieksresikan
di urin 10

9
Lidocain sangat popular dan digunakan untuk blok saraf, infitrasi dan
anestesi regional intravena begitu juga topical, epidural dan itratekal.
Bagaimanapun juga ini termasuk antiaritmik kelas 1B dan dapat
digunakan untuk terapi takikardi.

(b) Bupivakain

- Onset kerja : blok nervous 40 menit, epidural 15-20 menit,


intratekal 30 detik
- Durasi kerja : blok saraf sampai 24 jam; pidural 3-4 jam;
intrakardial 2-3 jam
- Efek samping : lebih cenderung mengakibatkan toksisitas
kardiak berupa penurunan tekanan darah dibandingkan obat
anestesi lokal lainnya
- Eliminasi : N-dealkylation menjadi pipecolyoxylidine dan
metabolit lainnya yang diekskresikan di urin
Bupivakain lazim digunakan untuk spinal anestesi. Menggunakan plain
bupivacaine membuatnya dapat naik ke atas atau turun ke bawah, yang dapat
mengakibatkan peningkatan blok yang membahayakan fungsi respirasi dan
kardio. Jika dekstrosa ditambahkan akan menjadi berat (heavy) dan akan
mengalir lebih dapat diprediksi turun ke tulang belakang, hanya memengaruhi
saraf yang non esensial. Larutan plain dapat menyebabkan hipotensi yang
lebih sedikit tapi pasien harus tidur terlentang (Keat, dkk., 2013).

(c). Tetrakain
Tetrakain (pantocaine), suatu ester amino kerja – panjang, secara signifikan
lebih paten dan mempunyai durasi kerja lebih panjang daripada anestetik
lokal jenis ester lain yang umum digunakan. Obat ini banyak digunakan pada
spinal anestesi ketika durasi kerja obat yang panjang diperlukan. Tetrakain
juga ditambahkan pada beberapa sediaan anestetik topikal. Tetrakain jarang
digunakan pada blokade saraf perifer karena sering diperlukan dosis yang
besar, onsetnya yang lambat, dan berpotensi menimbulkan toksisitas
(Brunton, dkk, 2011).

10
3. Teknik analgesia spinal

Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada
garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di
atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan
posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan
menyebabkan menyebarnya obat.
(1) Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus.
Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang
stabil. Buat pasien membungkuk maximal agar processus spinosus mudah
teraba. Posisi lain adalah duduk.
(2) Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis krista iliaka,
misal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko
trauma terhadap medula spinalis.
(3) Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.

(4) Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-2% 2-
3ml
(5) Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G,
25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G
dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit
10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefal,
kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum
tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (QuinckeBabcock) irisan jarum
(bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring
bevel mengarah keatas atau kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor
yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resistensi
menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang
semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan- pelan (0,5ml/detik)
diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.
Kalau yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak
keluar, putar arah jarum 90º biasanya likuor keluar.
Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukan kateter

11
b) Komplikasi tindakan anestesi spinal

(1) Hipotensi berat Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa
dicegah dengan memberikan infus cairan elektrolit 1000ml atau koloid
500ml sebelum tindakan.
(2) Bradikardia Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia,terjadi akibat
blok sampai T-2.
(3) Hipoventilasi akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali
nafas
(4) Trauma pembuluh saraf

(5) Trauma saraf f. Mual-muntah

(6) Gangguan pendengaran

(7) Blok spinal tinggi atau spinal total

3. Teknik anestesi

. Teknik anestesi dengan GA biasanya digunakan untuk operasi yang


emergensi dimana tindakan tersebut memerlukan anestesi sescgera dan secepat
mungkin. Teknik anestesi GA juga diperlukan apabila terdapat kontraindikasi
pada teknik anestesi RA, misalnya terdapat peningkatan pada tekanan
intrakranial dan adanya penyebaran infeksi di sekitar vertebra.
Terdapat beberapa resiko dari GA yang dapat dihindari dengan
menggunakan teknik RA, oleh karena itu lebih disarankan penggunaan teknik
anestesi RA apabila waktu bukan menupakan suatu prioritas. Penggunaan RA
spinal dan RA epidural lebih disarankan untuk digunakan dibandingkan dengan
teknik GA pada sebagian kasus TURP. Salah satu alasan utama pemilihan
teknik anestesi RA dibandingkan dengan GA adalah adanya resiko gagalnya
intubasi trakea serta aspirasi dari isi lambung pada teknik anestesi GA. Selain
itu, GA juga meningkatkan kebutuhan resusitasi pada neonatus. Berikut teknik
dalam melakukan Regional anestesi dengan Sub -Arachnoid Block:
 Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di
atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit
perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit

12
pertama akan mneyebabkan menyebarnya obat.
 Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalnya dalam posisi decubitus lateral.
Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang
stabil. Buat pasien membungkuk maksimal agar prosesus spinosus mudah
teraba. Posisi lain ialah duduk.
 Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista iliaka dengan
tulang punggung ialah L4 atau L5. Tentukan tempat tusukan misalnya L2-
3, L3-4, atau L4-5. tusukan pada L1-2 atau diatasnya berisiko trauma
terhadap medula spinalis.
 Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.

 Beri Anestetik lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1,2%
2-3 ml.
 Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22 G, 23
G atau 25 G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27 G
atau 29 G, dianjurkan menggunakan penuntun jarum (intoducer), yaitu
jarum suntik biasa sepmrit 10 cc. tusukkan introdusr sedalam kirakira 2 cm
agak sedikit kearah sefal, kemudian masukan jarum spinal berikut
mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam
(Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat
durameter, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah ke atas atau ke
bawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat
timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resistensi mengilang, mandrin
jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat
dapat dimasukkan pelan-pelan (0.5 ml/detik) diselingi aspirasi sedikit,
hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda yakin ujung
jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar arah
jarum 90° biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat
dimasukkan kateter.
 Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah
hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik, jarak kulit ligamentum
flavum dewasa ± 6 cm.

4. Rumatan Anestesi

13
Rumatan anestesi yang digunakan sebagai berikut:

Premedikasi: Ondansetron 4mg/IV diberikan sebagai anti emetic pada


pasien yang akan dilakukan Regional anestesi dengan SAB.
Induksi: Bunascan 5 mg diberikan melalui SAB

5. Resiko

 Pernapasan
Gangguan pernapasan cepat menyebabkan kematian karena hipoksia
sehingga harus diketahui sedini mungkin dan segera di atasi. Penyebab
yang sering dijumpai sebagai penyulit pernapasan adalah sisa anastesi
(penderita tidak sadar kembali) dan sisa pelemas otot yang belum
dimetabolisme dengan sempurna, selain itu lidah jatuh kebelakang
menyebabkan obstruksi hipofaring. Kedua hal ini menyebabkan
hipoventilasi, dan dalam derajat yang lebih berat menyebabkan apnea.
 Sirkulasi
Penyulit yang sering di jumpai adalah hipotensi syok dan aritmia,
hal ini disebabkan oleh kekurangan cairan karena perdarahan yang tidak
cukup diganti. Sebab lain adalah sisa anastesi yang masih tertinggal dalam
sirkulasi, terutama jika tahapan anastesi masih dalam akhir pembedahan.
a. Regurgitasi dan Muntah
Regurgitasi dan muntah disebabkan oleh hipoksia selama anastesi.
Pencegahan muntah penting karena dapat menyebabkan aspirasi.
b. Hipotermi
Gangguan metabolisme mempengaruhi kejadian hipotermi, selain
itu juga karena efek obat-obatan yang dipakai. General anestesi juga
memengaruhi ketiga elemen termoregulasi yang terdiri atas elemen input
aferen, pengaturan sinyal di daerah pusat dan juga respons eferen, selain
itu dapat juga menghilangkan proses adaptasi serta mengganggu
mekanisme fisiologi pada fungsi termoregulasi yaitu menggeser batas
ambang untuk respons proses vasokonstriksi, menggigil, vasodilatasi, dan
juga berkeringat.

14
c. Gangguan Faal Lain

Diantaranya gangguan pemulihan kesadaran yang disebabkan oleh


kerja anestesi yang memanjang karena dosis berlebih relatif karena
penderita syok, hipotermi, usia lanjut dan malnutrisi sehingga sediaan
anestesi lambat dikeluarkan dari dalam darah.
d. Infeksi Puerpuralis

1) Ringan: dengan kenaikan suhu beberapa hari saja.

2) Sedang: dengan kenaikan suhu yang lebih tinggi disertai dehidrasi


atau perut sedikit kembung
3) Berat: dengan peritonitis, sepsis dan ileus paralitik. Hal ini sering kita
jumpai pada partus terlantar dimana sebelumnya telah
terjadi infeksi intrapartum karena ketuban yang telah pecah terlalu
lama.
e. Pendarahan

1) Banyak pembuluh darah yang terputus dan terbuka

2) Atonia Uteri

Luka pada kandung kemih, emboli paru dan keluhan kandung


kemih bila reperitonalisasi terlalu tinggi

E. Masalah Kesehatan
1. Analisa Data

No Symptom Etiologi Problem


I. PRE ANESTESI
2 Pasien akan menjalani operasi Tindakan pembedahan Resiko
dengan tindakan regional anestesi cidera agen
(factor resiko tindakan TURP anestesi
dengan teknik SAB) Tindakan RA

15
Efek obat RA

Resiko cidera agen


anestesi

II. INTRA ANESTESI

1 Pasien akan menjalani operasi TURP RK Trauma


dengan tindakan regional anestesi pembedahan
(factor resiko tindakan TURP
dengan teknik SAB) Tindakan RA(SAB)

Efek obat Regional


Anestesi

RK Trauma pembedahan

III. PASCA ANESTESI

1 Pasien pasca dilakukan Tindakan Teknik pembiusan Resiko Jatuh


TURP dengan jenis pembiusan
regional anestesi (SAB) factor
resiko TURP dengan tindakan SAB Efek obat anestesi

Blok pada saraf motorik

16
Risiko jatuh

17
2. Rencana Intervensi, Implementasi Evaluasi

No Problem(Masal Rencana Intervensi Jam Implementasi Evaluasi Nama &


ah) paraf
Tujuan Intervensi

Pre Anestesi

1 Resiko Setelah 1. Lakukan serah terima 17.10 1. Melakukan S:


Cedera Agen diberikan pasin dan kaji serah terima - Pasien
Anestesi asuhan kembali kelengkapan pasien dan mengatakan
keperawatan informed consent mengkaji terakhir makan
anestesi 1x 2. Mengevaluasi kembali jam 08.00 pagi
30 menit Pemeriksaan lab : kelengkapan
O:
diharapkan darah lengkap (wajib informed
tidak terjadi HB & HT), liver consent - Status fisik
17.11 ASA II
cedera function test, renal 2. Mengevaluasi
anestesi function test, serum Pemeriksaan - Pasien sudah

dengan elektrolit, faal lab : darah terbebas dari

kriteria hemostasis lengkap (wajib segala aksesoris


17.12
hasil: 3. Kaji status fisik ASA HB & HT), - Mesin &

4. Evaluasi puasa yang 3. Mengkaji status peralatan


1. TTV
dilakukan pasien dan fisik ASA anestesi, obat
dalam
mengganti cairan 4. Mengevaluasi obatan, serta

18
batas infus jika perlu puasa yang cairan telah
normal 5. Anjurkan pasien 17.13 dilakukan tersiapkan
melepaskan asesoris pasien, dan Pemeriksaan lab
- TD :
yang digunakan mengganti (didapatkan data
120/
6. Cek personal hygine cairan infus abnormal
80
(kebersihan diri dan 5. Menganjurkan diantaranya) :
mm
termasuk kuku) pasien atau
Hg - HGB = 10.5
7. Anjurkan pasien keluarga
- RR : g/dL (12-16)
17. 15
untuk mengganti menanggalkan
16- - HCT = 31.3%
pakaian dengan aksesoris yang
20x/ (dari rentang
pakaian operasi dan digunakan
meni normal 35-47 )
bantu pasien jika (anting, kalung,
t - PLT =107
diperlukan jam tangan)
- N: ribu/uL(150-
8. Hitung kebutuhan 6. Mengecek
60- 440)
cairan dan cairan personal
100x - RBC =3.04
puasa hygine pasien
/men 17.17 juta/uL(3.6-5.8)
9. Persiapan set spinal 7. Mengganti
it - PDW= 13.6 fL
10. Persiapan mesin pakaian dengan
- SpO (9-13)
anestesi baju operasi
2: - RDW-SD =
11. Persiapan STATICS 17.18 8. Menghitung
90- 49.7 fL (37-49)
12. Persiapan obat- kebutuhan
100 - MCV = 103.0
obatan : cairan dan

19
% - Obat anestesi cairan puasa fL
- S: local (40x56)/24 (80-100)
36- (bupivacain) (746cc/8 jam) MCH = 34.7 pg
37o - anestesi (induksi, 9. Persiapan set (26-34)
C inhalasi obat spinal (spinal - Large imm cell
2. Mampu parenteral, needle, spuit, = 2,1% (0-2)
menentu volatile agen, dan bupivacain,kas - % netrofil 73%
kan gas anestesi) a steril, (50-70)
status - obat emergensi korentang, - % limfosit 16.8
fisik (golongan betadin dan %(30-45)
ASA vasopresor) alkohol) - %
pasien - obat live saving 10. Menyiapkan A : Masalah resiko
dengan (golongan agonis mesin anestesi cedera agen anestesi
tepat alpha) 11. Menyiapkan tidak terjadi
3. Mampu - obat-obat anti STATICS
P : Pertahankan kondisi
menentu alergi, 12. Menyiapkan
pasien, lengkapi data
kan jenis antikoagulan, dan obat-obatan :
pasien, dan siapkan
atau antiemetik - Obat
pasien untuk diantar ke
teknik - obat pelumpuh anestesi
OK
anestesi otot dan local
yang antagonisnya (bupivicain
tepat 13. Persiapan

20
4. Mampu cairan( kristaloid, )
mempre koloid, darah) - anestesi
diksi 14. Meramalkan penyulit (Ketamin
adanya yang mungkin terjadi 1-2
penyulit (ex. Sulit intubasi, mg/kgBB
selama hipotensi dan IV :
proses hipertensi dan propofol ;
perianes aspirasi ) N2O).
tesi 15. Pindahkan pasien ke - obat
5. Mampu OK emergensi
menyiap (Lidocaine
kan obat 2%,
anestesi Efedrine,
yang Adrenaline,
diperluk atrakain)
an - obat live
6. Mampu saving
menyiap ( ephedrine
kan 10 mg)
mesin - obat
anestesi antilergi(de
dan xamethason

21
system e 10 mg),
aliran antikoagua
gasnya n (heparin
5000 unit
SC), dan
obat anti
emetik
(ondancetro
n 4 mg)
- menyiapka
n obat
pelumpuh
otot
(atracurium
o,5-0,6/mg
bb) dan
17.50
antagonisny
a(neostigmi
n)
13. Menyiapkan
cairan
(kristaloid,

22
koloid, darah)
14. Memindahkan
pasien ke OK
INTRA ANESTESI

1 RK trauma Setelah 1. Posisikan pasien tidur 17.40 1. Memberikan S:


pembedahan dilakukan miring ke kiri posisi pasien - pasien
tindakan 2. Pasang alat monitoring tidur miring ke mengatakan
keperawatan non invasive kiri kakinya tidak bisa
anestesi 1x4 3. Berikan selimut untuk 2. Memasang alat digerakkan
jam pasien monitoring non - pasien
diharapkan 4. Atur posisi pasien invasife mengatakan tidak
RK trauma duduk. Buat pasien 3. Memberikan merasakan nyeri
pembedahan membungkuk selimut untuk ketika diberi
tidak terjadi maksimal pasien cubitan pada
dengan 5. Tentukan tempat 4. Asistensi perut
kriteria tusukan tindakan SAB
O:
hasil: 6. Lakukan penusukan 5. melakukan tes
dengan spinocath fungsi 1. TTV pasien
1. TTV
7. Pasang spuit berisi keberhasilan 2. Pasien tampak
dalam
obat anestesi, lakukan anestesi regional rilex setelah
batas
aspirasi dan masukkan 6. memberikan dianestesi
normal

23
- TD : obat pelan-pelan posisi pasien 3. Pasien tidak
120/ 8. Lakukan tes fungsi 18.00 sesuai posisi menunjukkan
80 keberhasilan anestesi operasi(litotomi) tanda-tanda
mm regional 7. melakukan tarjadinya total
Hg 9. Posisikan pasien monitoring TTV blok
- RR : sesuai posisi operasi dan saturasi 4. TTV pasien
16- 10. Lakukan monitoring oksigen tiap 15 - TD :
20x/ TTV dan saturasi menit 120/80mmHg
meni oksigen tiap 15 menit 8. meminindahkan - N = 97 x/menit
t 11. Kolaborasi dengan pasien ke ruang - RR : 20x/menit
- N: dokkter anestesi terkait recovery - Suhu : 36 derajat
60- hasil monitoring celsius
100x 12. Setelah operasi selesai, - SaO2 : 99%
/men pindahkan pasien ke
it ruang recovery A: masalah RK trauma
- SpO fisik pembedahan tidak
2: terjadi
90-
P: pertahankan kondisi
100
pasien hingga operasi
- S:
selesai dilakukan
36-
37o

24
C
2. Pasien
tetap
dalam
derajat
blo
motorik
4
3. Tidak
terjadi
aktivitas
fungsion
al
motorik

1 Resiko jatuh Setelah 1. Monitoring TTV 22.17 1. Memonitoring S : pasien mengatakan


dilakukan 2. Lakukan penilaian TTV (TD, N, sudah merasa aman dan
tindakan steward score RR, Suhu, SaO2) nyaman
keperawatan 3. Berikan pengaman 2. Memberikan O:
2x30 menit pada tempat tidur pengaman pada
1. TTV pasien
pasca pasien tempat tidur

25
anestesi 4. Berikan gelang resiko pasien - TD : 121/75
diharapkan jatuh 3. Memberikan mmHg
pasien aman 5. Anjurkan posisi yang Menganjurkan - MAP : 90
dan nyaman pada pasien pasien untuk
- N : 90 x/menit
terhindar 6. Anjurkan pasien untuk membatasi
dari resiko membatasi geraknya - RR : 20 x/menit

jatuh pergerakannya 4. menganjurkan - SpO2 : 99%


dengan - 7. Latihan gerakkan dan memberikn
- S : 35,5oC
Kriteria ekstremitas posisi yang
2. Bromage score 2
Hasil: 8. Konsultasi dengan dr. nyaman pada
SpAn apabila kondisi pasien (Supinasi)
1. Tanda–
memburuk 5. Melakukan
tanda
penilaian A : masalah resiko jatuh
vital
bromage score tidak terjadi
dalam
batas
normal ; P : pertahankan kondisi
TD:110 pasien, lengkapi berkas
– pasien dan siapkan
120/70– pasien untuk dipindahkan
80 ke ruang rawat inap.
mmhg ;

26
Nadi:60

100x/me
nit ;
Suhu :
36-37°C
;
RR:16–
20
x/menit
2. Kesadar
an
pasien
Compos
mentis
3. Lingkun
gan
pasien
aman
4. Pasien
tidak

27
pusing
5. Pasien
tidak
jatuh
6. Bromag
e
score<2
7. Pasien
tampak
tidak
lemah

28
F. Critical Point
2. Pre Anestesi – Risiko Cedera Agen Anestesi
Risiko cedera agen anestesi sering kali menimbulkan kondisi dimana pasien bisa saja
mengalami cedera saat operasi berlangsung. Maka dari itu, point penting bagi penata
untuk sangat memerhatikan segala risiko yang berkaitan dengan anestesi pada pre
anestesi. Dengan melakukan segala pengkajian yang ada di awal, baik itu B6 maupun
pemeriksaan Head to toe. Lalu AMPLE, LEMON, puasa, maupun memeriksa status
fisik ASA pasien.
Selain itu, point penting di sini, kita sebagai penata perlu menyiapkan semua
perlengkapan anestesi mulai dari STATICS, kelengkapan mesin anestesi, monitor
anestesi hingga memperhatikan terapi cairan dan obat-obatan yang akan diberikan
pada pasien.

3. Intra Anestesi – Risiko Trauma Pembedahan


Risiko Komplikasi Trauma Pembedan adalah suatu hal yang sangat ditakutkan karena
hal ini akan menimbulkan luka dan goresan pada daerah yang akan dioperasi. Untuk
meminimalisir kerusakan pada jaringan kulit maupun daerah operasi pasca
pembedahan, penata harus memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan posisi
pasien, menempatkan alat monitoring, membantu dokter anestesi dalam melakukan
pembiusan untuk menghilangkan rasa nyeri saat operasi berlangsung.

4. Pasca Anestesi – Risiko Jatuh


Risiko jatuh menjadi masalah utama selepas pasien dioperasi. Biasanya terutama
untuk operasi menggunakan GA, banyak pasien yang kondisi tubuhnya belum stabil
sehingga menyebabkan kehilangan keseimbangan dan akhirnya itu akan menjadi
risiko jatuh terhadap pasien. Untuk meminimalisir hal tersebut, kita sebagai penata
harus segera memberikan penyangga bed setelah pasien dipindahkan ke Recovery
Room, memberikan pasien gelang kuning yang menandakan pasien tersebut berisiko
jatuh, dan terakhir memeriksa bromage, aldrete maupun steward score pasien.

29
DAFTAR PUSTAKA

Agung, dkk.2017..Hubungan Obesitas, merokok dan konsumsi alcohol dengan benigna


prostat hyperplasia (BPH) Di Poliklinik Bedah RSU Bina Sina Bukit Tinggi.Bukit Tinggi:
RSU Bina Sina Bukit Tinggi.
Ali, Zaidin.2014 .Dasar-Dasar Dokumentasi Keperawatan. Jakarta : EGC Dongoes, E
Marlyn , dkk . 2012. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC
Haryono, R. (2012). Keperawatan Medikal Bedah Kelainan Bawaan Sistem
pencernan.Yogyakarta:
Goesyen Publishing Khamriana, dkk.2015.. Asuhan Keperawatan Gangguan
SistemPerkemihan. Jakarta :
Salemba Medika Muttaqin,A & Sari,K. 2014. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem
Perkemihan.Jakarta :
Salemba Medika Nurarif & Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc. Edisi Revisi Jilid 2. Jogjakarta.
Andre, Terrence & Eugene.(2011). Case Files Ilmu Bedah.Edisi 3.Jakarta Karisma
Publishing Group.
Andarmayo, S. (2013).Konsep Dan Proses Keperawatan Nyeri, Ar-Ruzz, Yogyakarta.

Aprina, A., Yowanda, N. I., & Sunarsih, S. (2017). Relaksasi Progresif Terhadap
Intensitas Nyeri Post Operasi BPH (Benigna Prostate Hyperplasia). Jurnal Kesehatan, 8
(2), 289-295.

Arifiyanto, Davit. (2008). Asuhan Keperawatan Pasien Dengan Masalah BPH,


http://dafid –
pekajangan.Blogspot. Com / 2008 / 03 / askep – klien-bph-html retrieved at 5 januari
2011.

Arora P. et al. “Care Of Elderly Patients With Chronic Kidney Disease”. Int Urol Nephrol.
38 (2) : 363-70/(2006).
Artyanigsih, L. F. (2018). Asuhan Keperawatan Pada Tn.P Dengan Post Operasi BPH
(Benigna Prostate Hipertropi) Hari Kesatu Di Ruang Anggrek RSUD Sukoharjo (Dotoral
dissertation, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Asmadi. (2008), Konsep Dasar Keperawatan, Jakarta: EGC

Barbara, K. (2010). Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep Dan Praktik Edisi VII
Volume I. Jakarta : EGC.

Rusdiana, E. (2018). Asuhan Keperawatan Nyeri Akut Pada Pasien BPH (Benigna
Prostate Hyperplasia) Post TURP (Dotoral dissertation, Universitas Airlangga)

30
31

Anda mungkin juga menyukai