Anda di halaman 1dari 47

ASUHAN KEPERAWATAN ANESTESI PADA PADA GERIATRIK

ASKAN PADA PEMBEDAHAN KHUSUS

KELOMPOK 1
ANESTESIOLOGI B

DEA AGASHA (17D10063)


I GEDE ARTA WIRA KUSUMA (17D10072)
I KETUT YOGA SUPUTRA (17D10075)
LUH GEDE SINTYA PRABAWATI (17D10079)
NI MADE KUSUMASTUTI (17D10098)
NI PUTU NINE INDAH KRISNAWATI (17D10103)
NI WAYAN MITA AGUSTINI (17D10106)
PUTRINDA KURNIA RAMBU N (17D10109)
YULIUS PRAMUDITA ARIYANTO (17D10114)

INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI


SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN ANESTESI
2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan kesehatan dan kemudahan kepada kami untuk mengerjakan tugas
mata kuliah Asuhan Keperawatan pada Pembedahan Khusus yang berjudul
ASUHAN KEPERAWATAN ANESTESI PADA GERIATRIK.
Makalah ini dibuat untuk mengetahui mengenai Asuhan Keperawatan
Anestesi pada Geriatrik, sehingga semua orang dapat memahaminya. Makalah
yang kami buat ini tentunya masih banyak kekurangan, oleh karena itu kami
mengharapkan saran dan masukan yang bersifat konstruktif demi
kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada
semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah
ini.

Denpasar , 30 September 2019

Kelompok 1

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ......................................................................................................... i


Daftar Isi.................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ...............................................................................................1

1.2 Tujuan ............................................................................................................2

1.3 Rumusan Masalah ..........................................................................................2


BAB II PEMBAHASAN MATERI
2.1 Pengertian Spinal Anestesi ............................................................................3
2.2 Anestesi Spinal pada Pasien Geriastri ...........................................................5
2.3 Perubahan Anatomi dan Fisiologi pada Geriatri ...........................................5
2.4 Anestesi pada Pasien Diabetes Mellitus ........................................................7
2.5 Pertimbangan Anestesi ...............................................................................10
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN ANESTESI
3.1 Kasus ...........................................................................................................14
A. Pengkajian .............................................................................................15
B. Pemeriksaan Fisik ..................................................................................20
C. Masalah Anestesi ...................................................................................28
D. Metodologi Keperawatan Anestesi .......................................................29
E. Catatan Perkembangan ..........................................................................40
BAB IV PENUTUP
4.1. Kesimpulan .................................................................................................43
Daftar Pustaka ........................................................................................................44

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anestesi spinal adalah injeksi obat anestesi lokal ke dalam ruang intratekal yang
menghasilkan analgesia. Pemberian obat lokal anestesi ke dalam ruang intratekal atau
ruang subaraknoid di regio lumbal antara vertebra L2-3, L3-4 untuk menghasilkan onset
anestesi yang cepat dengan derajat kesuksesan yang tinggi.
Anestesi spinal dihasilkan oleh injeksi larutan anestesi lokal ke dalam ruang
subarakhnoid lumbal. Larutan anestesi lokal dimasukkan ke dalam cairan serebrospinal
lumbal, bekerja pada lapisan superfisial dari korda spinalis, tetapi tempat kerja yang utama
adalah serabut preganglionik karena mereka meninggalkan korda spinal pada rami anterior.
Karena serabut sistem saraf simpatis preganglionik terblokade dengan konsentrasi anestesi
lokal yang tidak memadai untuk mempengaruhi serabut sensoris dan motoris, tingkat
denervasi sistem saraf simpatis selama anestesi spinal meluas kira-kira sekitar dua segmen
spinal sefalad dari tingkat anestesi sensoris. Untuk alasan yang sama, tingkat anestesi
motorik rata-rata dua segmen dibawah anestesi sensorik.
Pasien geriatrik memiliki tingkat kematian dan morbiditas tertinggi pada populasi
operasi dewasa. Hal ini diakibatkan perubahan anatomis dan fisiologis tubuh sejalan
dengan usia. Efek samping anestesi pada pasien geriatri kemungkinan terjadi lebih besar
karena adanya keterbatasan fungsi tubuh. Morbiditas dan mortalitas meningkat sesuai
dengan peningkatan usia. Rekomendasi perioperatif pada pasien geriatri adalah
menghindari obat-obat yang beresiko meningkatkan delirium, pemberian cairan, kalori
adekuat, masalah transportasi, terapi fisik dan segera mungkin dapat melakukan aktifitas
sehari hari. Pasien geriatri membutuhkan perhatian ekstra saat penilaian perioperatif,
tatalaksana terperinci saat intraoperatif yang bervariasi dan mengetahui status penyakit
penyerta serta kewaspadaan terhadap pemberian titrasi dan dosis dari obat-obat yang
digunakan.

1
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa itu Spinal Anestesi ?
1.2.2 Bagaimana Anestesi Spinal pada Pasien Geriatri ?
1.2.3 Bagaimana Perubahan Anatomi dan Fisiologi pada Geriatri ?
1.2.4 Bagaimana Anestesi Pada Pasien Diabetes Mellitus ?
1.2.5 Bagaimana pertimbangan Anestesi ?

1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui Spinal Anestesi ?
1.3.2 Untuk mengetahui Anestesi Spinal pada Pasien Geriatri ?
1.3.3 Untuk mengetahui Perubahan Anatomi dan Fisiologi pada Geriatri ?
1.3.4 Untuk mengetahui Anestesi Pada Pasien Diabetes Mellitus ?
1.3.5 Untuk mengetahui pertimbangan Anestesi ?

2
BAB II
PEMBAHASAN MATERI

2.1 Pengertian Spinal Anestesi


Anestesi spinal adalah injeksi obat anestesi lokal ke dalam ruang intratekal yang
menghasilkan analgesia. Pemberian obat lokal anestesi ke dalam ruang intratekal atau
ruang subaraknoid di regio lumbal antara vertebra L2-3, L3-4 untuk menghasilkan onset
anestesi yang cepat dengan derajat kesuksesan yang tinggi.
Anestesi spinal dihasilkan oleh injeksi larutan anestesi lokal ke dalam ruang
subarakhnoid lumbal. Larutan anestesi lokal dimasukkan ke dalam cairan serebrospinal
lumbal, bekerja pada lapisan superfisial dari korda spinalis, tetapi tempat kerja yang
utama adalah serabut preganglionik karena mereka meninggalkan korda spinal pada rami
anterior. Karena serabut sistem saraf simpatis preganglionik terblokade dengan
konsentrasi anestesi lokal yang tidak memadai untuk mempengaruhi serabut sensoris dan
motoris, tingkat denervasi sistem saraf simpatis selama anestesi spinal meluas kira-kira
sekitar dua segmen spinal sefalad dari tingkat anestesi sensoris. Untuk alasan yang sama,
tingkat anestesi motorik rata-rata dua segmen dibawah anestesi sensorik.
Spinal anestesi mempunyai beberapa keuntungan antara lain, perubahan metabolik
dan respon endokrin akibat stress dapat dihambat, komplikasi terhadap jantung, otak,
paru dapat minimal, relaksasi otot dapat maksimal pada daerah yang terblok sementara
pasien dalam keadaan sadar. Selain keuntungan ada juga kerugian dari cara ini yaitu
berupa komplikasi yang meliputi hipotensi, mual dan muntah, PDPH (Post Dural
Puncture Headache), nyeri pinggang dan lainnya.
Jenis obat anestesi lokal yang ideal adalah obat dengan mula kerja cepat, lama kerja
serta tinggi blokade yang dapat diperkirakan agar sesuai dengan perkiraan durasi operasi
yang kemudian akan dilakukan.

3
Dosages and Actions of Commonly Used Spinal Anesthetic Agents

Doses (mg) Duration (min)


Drug Preparation Perineum, Lower Upper
Plain Epinephrine
Lower Limbs Abdomen Abdomen

Procaine 10% solution 75 125 200 45 60

0.75% in
Bupivacai
8.25% 4–10 12–14 12–18 90–120 100–150
ne
dextrose

1% solution in
Tetracaine 4–8 10–12 10–16 90–120 120–240
10%glucose

Lidocaine 5% in
25–50 50–75 75–100 60–75 60–90
7.5%glucose

Ropivacai
0.2–1%
ne 8–12 12–16 16–18 90–120 90–120
solution

Berbagai parameter farmakokinetik anestesi lokal dapat secara signifikan diubah


oleh gangguan hati atau penyakit ginjal, penambahan epinefrin, faktor yang
mempengaruhi pH urin, aliran darah ginjal, cara pemberian obat, dan usia pasien. Waktu
paruh dari Bupivakain Hidroklorida pada orang dewasa adalah 2,7 jam dan pada neonatus
8,1 jam.
Anestesi lokal jenis amida seperti Bupivakain Hidroklorida dimetabolisme terutama
di hati melalui konjugasi dengan asam glukuronat. Pasien dengan penyakit hati, terutama
mereka dengan penyakit hati yang berat, mungkin lebih rentan terhadap potensi toksisitas
anestesi lokal jenis amida. Pipecoloxylidine adalah metabolit utama Bupivakain
Hidroklorida. Ginjal adalah organ ekskresi utama untuk kebanyakan anestetik lokal dan
metabolitnya. Ekskresi urin dipengaruhi oleh perfusi kemih dan faktor yang
mempengaruhi pH urin. Hanya 6% dari Bupivakain diekskresikan tidak berubah dalam
urin.

4
2.2 Anestesi pada Geriatri
Efek samping anestesi pada pasien geriatri kemungkinan terjadi lebih besar karena
adanya keterbatasan fungsi tubuh. Morbiditas dan mortalitas meningkat sesuai dengan
peningkatan usia. Rekomendasi perioperatif pada pasien geriatri adalah menghindari obat-
obat yang beresiko meningkatkan delirium, pemberian cairan, kalori adekuat, masalah
transportasi, terapi fisik dan segera mungkin dapat melakukan aktifitas sehari hari. Pasien
geriatri membutuhkan perhatian ekstra saat penilaian perioperatif, tatalaksana terperinci
saat intraoperatif yang bervariasi dan mengetahui status penyakit penyerta serta
kewaspadaan terhadap pemberian titrasi dan dosis dari obat-obat yang digunakan.
Sejauh ini tidak ada alat, obat dan teknik anestesi yang dikatakan terbaik untuk pasien
geriatri. Fakta dan penelitian ilmiah yang menyarankan penggunaan anestesi regional pada
pasien geriatri karena teknik yang sederhana, aman, pemulihan cepat dan efek samping
minimal dibandingkan anestesi umum. Pada geriatri seringkali terjadi degeneratif massa
otot dan secara mikroskopik terjadi penebalan celah penghubung neuromuskular. Arthritis,
osteoporosis, kelemahan dan kekakuan ligamen, cenderung mudah terjadi fraktur dan
dislokasi sendi pada tiap gerakan dan posisi intraoperatif sehingga menjadi penyulit
anestesi epidural dan spinal.

2.3 Perubahan Anatomi dan Fisiologi pada Geriatri


Perubahan pada suatu sistem fisiologi akan mempengaruhi dan memberikan
konsekuensi pada proses penuaan yaitu pada struktur dan fungsi fisiologis (Mauk, 2010).
Efek perubahan fisiologis secara umum adalah penurunan mekanisme homeostatik dan
penurunan respon immunologi (Stanhope & Lancaster ;2004). Perubahan fisik pada lansia
yaitu :
2.3.1 Sistem Kardiovaskular
Penurunan yang terjadi di tandai dengan penurunan tingkat aktivitas yang
mengakibatkan penurunan tingkat aktivitas, yang mengakibatkan penurunan
kebutuhan darah yang terorganisasi (Stanley & Beare, 2007)
2.3.2 Sistem Respirasi
Impliksi klinis menyebabkan kerentanan lansia untuk mengalami kegagalan
respirasi, kanker paru, emboli pulmonal dan penyakit kronis seperti asma dan
penyakit obstruksi menahun (Stanley & Beare ;2007).

5
Sedangkan menurut Ebersol (2010) penambahan usia kemampuan pegas
dinding dada dan kekuatan otot pernafasan akan menurun, sendi – sendi tulang iga
akan menjadi kaku dan akan mengakibatkan penurunan laju ekspirasi paksa satu
detik sebesar 0,2 liter / dekade serta berkurang kapasitas vital.
2.3.3 Sistem Sensori
Lansia dengan kerusakan fungsi pendengaran dapat memberikan respon yang
tidak sesuai sehingga dapat menimbulkan rasa malu dan gangguan komunikasi
verbal Watson (2003 dalam Stanley & Beare, 2007). Sedangkan menurut Ebersol
(2010) perubahan pada sistem pendengaran terjadi penurunan pada membrane
timpani (atropi) sehingga terjadi gangguan pendengaran. Tulang – tulang
pendengaran mengalami kekakuan.
2.3.4 Sistem Muskulosekeletal
Perubahan normal sistem muskuloskeletal terkait usia pada lansia, termasuk
penurunan tinggi badan, redistribusi masa otot dan lemak subkutan, peningkatan
porositas tulang, atropi otot, pergerakan yang lambat, pengurangan kekuatan dan
kekakuan sendi-sendi.
Perubahan pada otot, tulang dan sendi mengakibatkan terjadinya perubahan
penampilan, kelemahan dan lambatnya pergerakan yang menyertai penuaan (Stanley
& Beare, 2007). Kekuatan motorik lansia cenderung kaku sehingga menyebabkan
sesuatu yang dibawa dan dipegangnya akan menjadi tumpah atau jatuh (Stuart,
2009).
2.3.5 Sistem Perkemihan
Pada lansia yang mengalami stress atau saat kebutuhan fisiologi meningkat
atau terserang penyakit, penuaan pada saat sistem renal akan sangat mempengaruhi
Stanley & Beare (2007). Proses penuaan tidak langsung menyebabkam masalah
kontinensia, kondisi yang sering terjadi pada lansia yang dikombinasikan dengan
perubahan terkait usia dapat memicu inkontinensia karena kehilangan irama di urnal
pada produksi urine dan penurunan filtrasi ginjal Watson, (2003 dalam Stanley &
Beare 2007). Sedangkan menurut Stuart (2009) berkurangnya kemampuan ginjal
untuk mengeluarkan sisa metabolisme melalui urine serta penurunan kontrol untuk
berkemih sehingga terjadi kontinensia urine pada lansia.

6
2.3.6 Sistem Saraf
Perubahan sistem persyarafan menurut Stanley & Beare (2007) terdapat
beberapa efek penuaan pada sistem persyarafan, banyak perubahan dapat diperlambat
dengan gaya hidup sehat. Sedangkan menurut Potter & Perry (2009) lansia akan
mengalami gangguan persarafan terutama lansia akan mengalami keluhan seperti
perubahan kualitas dan kuantitas tidur. Lansia akan mengalami kesulitan,kesulitan
untuk tetap terjaga, kesulitan untuk kembali tidur setelah terbangun di malam hari.
2.3.7 Sistem Pencernaan
Hilangnya sokongan tulang turut berperan terhadap kesulitan – kesulitan yang
berkaitan dengan penyediaan sokongan gigi yang adekuat dan stabil pada usia lebih
lanjut Stanley & Beare (2007). Perubahan fungsi gastrointestinal meliputi
perlambatan peristaltik dan sekresi, mengakibatkan lansia mengalami intoleransi
pada makanan tertentu dan gangguan pengosongan lambung dan perubahan pada
gastrointestinal.
2.3.8 Sistem Integumen
Menurut Watson (2003 dalam Stanley & Beare 2007) penuaan terajadi
perubahan khususnya perubahan yang terlihat pada kulit seperti atropi, keriput dan
kulit yang kendur dan kulit mudah rusak.
Perubahan yang terlihat sangat bervariasi, tetapi pada prinsipnya terjadi karena
hubungan antara penuaan intrinsik atau secara alami dan penuaan ektrinsik atau
karena lingkungan. Sedangkan menurut Stuart (2009) perubahan yang tampak pada
kulit, dimana kulit menjadi kehilangan kekenyalan dan elastisitasnya.

2.4 Anestesi Pada Pasien Diabetes Mellitus


Diabetes mellitus ditandai oleh kerusakan metabolisme karbohidrat yang disebabkan
oleh defisiensi insulin atau kemampuan reaksi insulin, yang menimbulkan hiperglikemi
dan glukosuria. Dignosis berdasarkan peningkatan glukosa plasma puasa ( > 140 mg/dl )
atau glukosa darah ( 126 mg/dl ).
Nilai kadar gula darah berkisar 12 – 15% lebih rendah dari glukosa plasma, demikian
juga ketika pengujian pada whole blood, perhitungan glukosa terbaru, dan pada glukosa
plasma. Diabetes diklasifikasikan meliputi empat tipe :

7
Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus

Diagnosis (based on blood glucose level)

Fasting 126 mg/dL (7.0 mmol/L)

Glucose 200 mg/dL (11.1 mmol/L)


tolerance test

Classification

Type I Absolute insulin deficiency secondary to immune-mediated or idiopathic

Type II Adult onset secondary to resistance/relative deficiency

Type III Specific types of diabetes mellitus secondary to genetic defects

Type IV Gestational

Penurunan aktivitas hormon insulin mengakibatkan terjadinya katabolisme dari asam


lemak bebas menjadi benda keton (acetoacetate dan β-hydroxybutyrate), sebagian dari yang
ada adalah asam lemah. Akumulasi dari asam organik ini mengakibatkan suatu anion-gap
acidosis metabolisme DKA (Diabetic Keto Asidosis). DKA dapat dengan mudah dicirikan
dari Asidosis Laktat, dimana hal ini dapat terjadi pada waktu bersamaan; Asidosis laktat
dicirikan dengan peningkatan laktat plasma ( > 6 mmol/L ) dan tidak ditemukan di urine dan
keton plasma (walaupun mereka dapat terjadi secara bersamaan dan ketosis pada kelaparan
dapat terjadi asidosis laktat). Pada peminum alkohol, ketoacidosis dapat dibedakan dengan
adanya riwayat terakhir konsumsi alkohol berat (pesta minum minuman keras yang
memabukan) pada pasien non-diabetik dengan suatu kadar glukosa darah yang sedikit
meningkat. Pada keadaan seperti itu pasien juga mempunyai peningkatan tidak sebanding
pada hydroxybutyrate dengan acetoacetate.
Infeksi merupakan penyebab yang paling umum pada DKA, dimana pada beberapa
pasien, terutama pada anak remaja, adalah manifestasi pertama dari diabetes mellitus type I.
Maifestasi klinik meliputi tachypnea (mencoba untuk melakukan kompensasi terhadap
acidosis metabolisme), sakit abdominal yang menyerupai suatu abdomen akut, mual dan
muntah, dan perubahan sensoris. Pengobatan DKA tergantung pada koreksian pertama yang
sering penting hypovolemia, hyperglycemia, dan defisit dari kalium tubuh, dengan infuse
kontinyu suatu cariran isotonic dan kalium, dan infuse insulin.

8
Tujuan dari penurunan kadar glukosa pada ketoacidosis harus 75–100 mg/dL/jam atau
10%/jam. Pengobatan dapat dimulai dengan suatu pemberian infuse 0,1 U/Kg/jam atau nilai
glukosa darah kurang 60 kali 0.1 U/jam. Pada pasien ini sering terjadi resistensi terhadap
terapi insulin, dan rata-rata dibutuhkan dosis yang lebih tinggi jika glukosa tidak menurun.
Seperti glukosa yang bergerakkan keintrasel, demikian juga kalium. Jika dikoreksi, hal ini
dapat dengan cepat mendorong kearah suatu tingkatan hypokalemia yang kritis, penggantian
yang sangat cepat pada hyperkalemi dapat menyebabkan suatu hal yang sama dalam
mengancap kehidupan. Kalium, Glukosa Darah, dan serum keton harus dimonitor terus,
minimal setiap 2 jam dan lebih baik setiap jam.
Beberapa liter dari normal saline (1–2 L pada jam pertama, yang diikuti oleh 200–500
mL/jam) yang secara khas diperlukan untuk mengoreksi dehidrasi tersebut. Cairan RL harus
dihindari ketika hati dengan cepat mengkonversi laktat ke bikarbonat; karena menyebabkan
lemahnya perfusi pada jaringan, Volume penyebaran dari normal salin adalah sangat aman.
Ketika glukosa plasma mencapai 250 mg/dL, Infus D5W yang ditambahkan insulin untuk
mengurangi kemungkinan terjadinya hipoglikemi dan untuk menyediakan suatu sumber
hormon insulin dan glukosa yang terus-menerus yang pada akhirnya untuk menormalkan
metabolisme intrasel. Pasien mungkin memerlukan NGT untuk dekompresi gaster dan kateter
kandung empedu untuk memonitor pengeluaran air kencing.
Koreksi pada asidosis berat (pH < 7,1) dengan bicarbonat sering tidak diperlukan,
seperti koreksi asidosis dengan volume yang berlebihan dan menormalkan keadaan
hiperglikeminya. Ketoacidosis bukanlah suatu bentuk dari koma nonketotik hyperosmolar,
mungkin disebabkan hormon insulin yang cukup tersedia untuk mencegah perubahan benda-
benda keton. Sebagai gantinya, suatu diuresis hyperglycemic mengakibatkan dehidrasi dan
hyperosmolaritas.
Dehidrasi berat cepat menimbulkan gagal ginjal, asidosis laktat, dan kecenderungan
membentuk thromboses intravascular. Hyperosmolaritas, sering melebihi 360 mOsm/L, yang
mengubah keseimbangan air di cerebral, yang menyebabkan perubahan status mental dan
kejang. Hyperglycemia berat menyebabkan suatu factitious hyponatremia: setiap peningkatan
100 mg/dL glukosa plasma menurunkan konsentrasi sodium plasma sekitar 1,6 mEq/L. Terapi
meliputi resusitasi cairan dengan normal saline, dosis hormon insulin yang relatif kecil, dan
penambahan kalium.

9
Hypoglycemia pada penderita DM adalah berlebihnya hormon insulin relative terhadap
intake karbohidrat. Lebih lanjut, pada beberapa pasien tidak mampu mengkonter dengan
pengeluaran glucagon atau epinephrine terhadap terjadinya hypoglycemia (counterregulatory
failure)). Ketergantungan otak pada glukosa sebagai suatu sumber energi membuatnya
sebagai organ yang paling peka terhadap hypoglycemia. Jika hypoglycemia tidak diobati,
terjadi perubahan status mental cepat dari lightheadedness atau kebingungan sampai terjadi
kejang dan koma yang permanen. Manfestasi sistemik dari hipoglikemi diakibatkan oleh
pengeluaran katekolamin dan meliputi diaphoresis, tachycardia, dan gelisah.
Kebanyakan dari tanda dan gejala dari hypoglycemia akan hilang/tersembunyi oleh
anesthesia umum. Walaupun kadar glukosa plasma normal adalah tidak jelas dan tergantung
pada umur dan jenis kelamin, hypoglycemia dapat secara biasanya dianggap kurang dari 50
mg/dL. Pengobatan hypoglycemia adalah dengan memberikan 50% glukosa intravena (setiap
mililiter 50% glukosa akan menaikkan glukosa darah kira-kira 2 mg/dL pada pasien dengan
BB 70-kg).

2.5 Pertimbangan Anestesi


2.5.1 Preoperative
Kadar Hemoglobin A1c dapat membantu mengidentifikasi pasien yang
mempunyai resiko besar terjadi hyperglycemia perioperative dan oleh karena itu
peningkatan komplikasi dan hasil yang buruk. Morbiditas Perioperative pada pasien
DM dihubungkan dengan preoperative kerusakan dari end-organ, walaupun
sepertiga sampai setengah pada pasien DM type II mungkin tidak acuh bahwa
mereka mempunyai itu.
Paru-paru, Kardiovaskular, dan sistem renal memerlukan penilaian yang ketat.
Suatu Rongent thorak preoperative pada penderita DM lebih mungkin terjadi
pembesaran jantungkongesti pembuluh darah paru, atau efusi pleura. EKG
preoperatif pada pasien DM juga terjadi peningkatan insiden abnormalitas dari
segment ST dan segmen gelombang T. Myocardial ischemia mungkin jelas terihat
pada EKG di samping riwayat yang tidak ada/negatif (silent myocardial ischemia
dan infark).
Pasien DM dengan hipertensi, 50% nya menderita neuropathy otonom diabetik.
Refleksi gangguan fungsi sisten saraf otonom meningkat sejalan dengan
peningkatan usia, DM lebih dari 10 tahun, CAD, atau blokade β-adrenergic.

10
Neuropathy Otonomi pada penderita DM dapat membatasi kemampuan kerja
jantung untuk melakukan kompensasi terhadap perubahan volume intravaskuler dan
dapat mempengaruhi ketidak stabilan kardiovaskuler (seperti pada hipotensi
postinduksi) dan bahkan kematian berhubungan dengan kematian jantung yang
mendadak, insidennya mungkin meningkat dengan penggunaan angiotensin-
converting enzyme inhibitors atau angiotensin receptor blockers. Lebih lanjut,
gangguan fungsi otonomik berperan terhadap perlambatan pengosongan lambung
(gastroparesis).
Premedikasi dengan suatu antacid dan metoclopramide akan sangat bijaksana
pada pasien DM yang gemuk dengan tanda dari disfungsi otonom jantung.
Bagaimanapun, disfungsi otonom dapat mempengaruhi tractus gastrointestinal
tanpa tanda tanda-tanda keterlibatan jantung.
Gangguan ginjal dimanifestasikan dengan proteinuria dan kemudian peningkatan
kreatinin serum. Dengan kriteria ini, pasien DM tipe I paling sering mengalami
gangguan ginjal pada usia 30 tahunan. Karena tingginya kejadian infeksi yang
dihubungkan dengan system kekebalan, perhatian yang tegas pada tehnik aseptic
harus dilakukan pada pemasangan semua kateter intravena dan monitoring invasive.
Hiperglikemi kronik dapat memicu terjadinya glikosilasi / glycosylation pada
protein jaringan dan sindrom keterbatasan pergerakan sendi / limited-mobility joint
syndrome. Pada preoperative, pasien DM harus selalu di evaluasi secara rutin
terhadap kemampuan pergerakan dari sendi temporomandibular dan tulang leher
untuk membantu dalam menghadapi kesulitan intubasi, dimana kejadian ini terjadi
sekitar 30% pada penderita DM tipe I.

2.5.2 Intraoperatif
Tujuan utama dari manajemen gula darah intraoperatif adalah menghindari
terjadinya hipoglikemi. Walaupun mencoba untuk mempertahankan kondisi euglikemi
adalah hal yang kurang hati-hati, tidak dapat diterimanya hilangnya gula darah kontrol
(>180mg/dL) juga membawa suatu resiko. Hiperglikemi telh dihubungkan dengan
keadaan hiperosmolaritas, infeksi/peradangan dan luka yang sulit sembuh. Yang lebih
penting, ia dapat memperburuk neurologis setelah suatu episoda iskemik serebral dan
hasil setelah tindakan bedah jantung atau setelah akut miokard infark.

11
Kecuali hiperglikemi diobati secara agresif pada DM tipe, kontrol hasil metabolik,
terutama yang berhubungan dengan pembedahan besar atau sepsis. Pengawasan yang
ketat bermanfaat pada pasien yang akan menjalani pembedahan kardio pulmonary
bypass dengan memperbaiki kontraktilias dan pemisahan dang dengan menurunnya
infeksi dan komplikasi neurologis. Kontrol ketat pada pasien hamil dengan DM telah
memperlihatkan perbaikan hasil pada bayi. Meskipun demikian, seperti dicatat
sebelumnya, bahwa ketergantungan otak terhadap glukosa sebagai sumber energi yang
membuat hal ini menjadi penting, sehingga terjadinya hipoglikemi harus dihindari.
Adanya beberapa regimen pada manajemen perioperatif untuk pasien DM. Yang
paling sering, pasien menerima suatu fraksi (biasanya setengah) dari total dosis insulin
dosis pada bentuk insulin kerja intermediate. Untuk menurunkan resiko terjadinya
hipoglikemi, insulin diberikan setelah akses vena terpasang dan diperiksa kadar gula
darah pagi hari. Sebagai contoh, seorang pasien yang normal mendapatkan Insulin NPH
(neutral protamine Hagedorn; intermediate-acting) dosis 30 U dan 10 U dari regular
atau insulin Lispro (short-acting) atau analog insulin setiap pagi dan setiap yang gula
darahnya kurang 150mg/dL mendapatkan 15 U (setengah dari 30, setengah dari dosis
normal pagi hari) dari NPH secara subkutan atau IM sebelum pembedahan bersama
dengan infus dekstrosa 5% (1,5 mL/kg/jam). Penyerapan insulin subkutan atau IM
tergantung dari pada aliran darah dijaringan, bagaimanapun, dan selama pembedahan
dapat tidak diramalkan. Penggunaan dari jalur intravena dengan jarum infus yang kecil
untuk pemberian cairan dextrose guna mencegah terjadinya pengaruh dengan cairan
intraoperatif dan obat yang lain.
Tambahan dekstrosa dapat diberikan jika pasien menjadi hipglikemi ( < 100 mg/dL
). Tetapi, hiperglikemi intraoperatif ( > 150-180 mg/dL ) diterapi dengan cairan insuliln
reguler IV sesuai dengan skala yang ada. Satu unit insulin regular yang diberikan pada
dewasa biasanya kadar glukosa lebih rendah pada 25 – 30 mg/dL. Ini harus ditekankan
bahwa dosis-dosis ini adalah perkiraan dan tidak berlaku bagi pasien dalam keadaan
Katabolic ( misalnya, sepsis, hyperthermia).
Target umum untuk mempertahankan gula darah intraoperatif adalah 120 – 150
mg/dL. Walau beberapa telah diatas target dari 120 mg/dL. Kontrol yang ketat dengan
tehnik intravena kontinous mungkin lebih tepat untuk DM type I. Penambahan 20mEg
KCl pada setiap 1 liter cairan harus lebih diperhatikan, insulin menyebabkan potassium
(Kalium) pindah ke intraseluler.

12
Efek dari penyerapan insulin oleh spuit intravena dapat diminimalkan dengan
flushing jalur sebelum dimulainya infuse. Beberapa anestesi juga menyarankan
penempatan infuse insulin pada botol gelas untuk meminimalkan penyerapan oleh
plastic intravenous bag. Karena kebutuhan insulin setiap individu sangat bervariasi
sekali, banyak formula yang harus diperhatikan hanya sebagai guidline saja.
Jika pasien pada preoperatif sedang meminum obat hipoglicemik oral sebagai
pengganti insulin, obat dapat dilanjutkan sampai hari akan dioperasi, tetapi pada
sulfonylureas dan metformin harus dihentikan 24 – 48 jam sebelum operasi karena
mereka mempunyai half life / masa paruh yang panjang. Mereka dapat dimulai lagi
postoperatif ketika pasien sudah dapat minum per oral. Metformin dimulai jika fungsi
renal dan hepar tetap adekuat. Karena aksi kerja yang lama, suatu infus glukosa dimulai
dan gula darah terus dimonitor sebagai insulin dengan kerja yang intermediat telah
diberikan. Efek obat oral hipoglikemi dengan lama kerja yang singkat dapat memanjang
pada gangguan ginjal. Banyak pasien-pasien ini memerlukan insulin dari luar selama
masa intraoperatif dan postoperatif. Hal ini disebabkan oleh stress menghadapi
pembedahan yang menyebabkan peningkatan dalam counterregulatory hormon (seperti,
catecholamines, glucocorticoids, growth hormone) dan mediator inflasi seperti faktor
nekrosis tumor dan interleukin. Setiap penambahan ini menjadi stress hiperglikemi,
dengan peningkatan kebutuhan insulin. Namun, beberapa DM tipe II akan bertoleransi
kecil, prosedur pembedahan yang ringan tanpa memerlukan insulin dari luar.

2.5.3 Post-operative
Pemantauan yang ketat pada pasien DM terhadap kadar gula darahnya harus tetap
diperiksa postoperatif secara terus-menerus. Satu alasan untuk hal ini adalah variasi
individu pada onset dan lama nya kerja dari preparat insulin. Untuk contohnya, onset
kerja dari insulin reguler mungkin kurang dari 1 jam, tetapi lama kerjanya lebih dari 6
jam. Insulin NPH mempunyai ciri pada onset kerja kurang dari 2 jam, tetapi kerjanya
dapat lebih lama dari 24 jam. Alasan lain pemantauan yang ketat adalah progresivitas
dari stress hiperglikemi dalam masa recovery. Jika volume laktatnya besar, terkandung
pada IVFD yang diberikan intraoperatif, kadar gula cenderung meningkat 24 – 48 jam
post operatif dimana hepar merubah laktat menjadi glukosa. Pasien DM rawat jalan
mungkin diperlukan izin untuk dirawat semalam jika mual dan muntahnya tetap ada
yang berasal dari gastroparesis mencegah intake oral.

13
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN ANESTESI

3.1 Kasus
Laki-Laki (Tn. B) usia 50 tahun datang dengan keluhan nyeri disertai bengkak
pada kaki sebelah kiri sejak 1 bulan yang lalu. nyeri dan bengkak disertai keluar
nanah dan berbau. pasien memiliki riwayat DM sejak 2 bulan yang lalu dan tidak
pernah kontrol atau berobat. tidak ada riwayat hipertensi, sakit ginjal, riwayat sakit
yang sama dan tidak ada riwayat operasi sebelumnya. diagnosis medis pasien ulkus
diabetikum di region cruris dan pedis sinistra. saat ini pasien akan dilakukan
debridement pada area kaki. jenis anestesi regional anestesi. hasil pemeriksaan fisik :
- keadaan umum : Baik
- kesadaran : Composmentis
- Tekanan darah : 120/60mmHg
- Nadi : 82x/menit
- respirasi : 20x/menit
- Suhu : 37,1
- Berat Badan : 53 kg
- Tinggi Badan : 155 cm

1. Anestesi spinal (intratekal,intradural,subdural,subaracnoid) ialah pemberian obat


anestestik lokal kedalam ruang subaracnoid. Teknik ini sederhana,cukup efekitf dan
mudah dikerjakan.
2. Pasien termasuk dalam ASA II yang mana pasien mengalami penyakit sistemik sedang
berupa diabetes dan belum mengancam jiwa.

14
FORMAT ASUHAN KEPERAWATAN ANESTESI
KEBUTUHAN DASAR MANUSIA
( PENGKAJIAN DOROTHEA OREM )
DENGAN GANGGUAN DIABETES MELITUS
RUANG APEL RS SANGLAH

A. Pengkajian
1. PengumpulanData
a. Identitas
1) IdentitasPasien
Nama : Tn. B
Umur : 50 th
Jeniskelamin : laki-laki
Agama : Hindu
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : wiraswasta
SukuBangsa : Indonesia
Status perkawinan` : kawin
Golongandarah :B
Alamat : Jl XXX
No.CM :222XXX
Diagnosa medis :ulkus diabetikum di region cruris dan pedis sinistra.
Tanggalmasuk : 20 september 2019
Tanggal pengkajian:20 september 2019
2) Identitas PenanggungJawab
Nama : Ny. T Pendidikan : SMA
Umur : 50 th Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Jeniskelamin : Perempuan SukuBangsa : Indonesia
Agama : Hindu Hubungan dg Klien : Istri
Alamat : Jl XXX

15
b. Riwayat Kesehatan
1) KeluhanUtama
Pasien mengatakan nyeri disertai bengkak pada kaki sebelah kiri
2) Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengatakan sejak 1 bulan yang lalunyeri dan bengkak disertai keluar
nanah dan berbau. Pasien memiliki riwayat DM sejak 2 bulan yang lalu dan tidak
pernah kontrol atau berobat. Tidak ada riwayat hipertensi, sakit ginjal, riwayat
sakit yangsamadan tidak ada riwayat operasi sebelumnya.
3) Riwayat PenyakitDahulu
Pasien memiliki riwayat DM sejak 2 bulan yang lalu dan tidak pernah kontrol atau
berobat.
4) Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengatakan tidak memiliki riwayat keluarga atau riwayat penyakit
keturunan
5) Riwayat Kesehatan
- Adakah penyakit keturunan?Tidak ada
- Sebelumnya pernah masuk Rumah Sakit? Jika iya, menderita penyakit
apa?Tidak
- Bagaimana pengobatannya, tuntas atau tidak?Tidak tuntas
- Obat apa saja yang pernah digunakan?
- Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya.Tidak pernah
- Kebiasaan-kebiasaan pasien (perokok berat, pemakai alkohol atau obat-
obatan)
Pasien tidak pernah merokok, minum alkohol ataupun menggunakan obat-
obatan terlarang sebelumnya
- Riwayat alergi
Pasien tidak memiliki riwayat alergi
c. Pola Kebutuhan Dasar ( Data Bio-psiko-sosio-kultural-spiritual)
1) Udara atau oksigenasi :
- Gangguan pernafasan : tidak ada gangguan pernapasan
- Alat bantu pernafasan : tidak ada

16
- Sirkulasi udara : baik
- Letak tempat tinggal : rendah

2) Air
a) Sebelum sakit :
- Konsumsi air : secukupnya
- Kondisi air : bersih
- Skala mandi : 2x/hari
b) Saat sakit :
Minum air
- Frekuensi : secukupnya
- Jenis :-
- Cara : oral
- Keluhan .. :-
3) Nutrisi/ makanan
a) Sebelum sakit :
- Frekuensi : sedang
- Jenis : nasi beserta lauk pauk
- Porsi : sedang
- Diet khusus :-
- Makanan yang disukai : sup ayam
- Pantangan :-
- Napsu makan : baik
b) Saat sakit :
- Frekuensi : kurang
- Jenis : bubur
- Porsi : sedikit
- Diet khusus :-
- Makanan yang disukai : sup ayam
- Pantangan :-
- Napsu makan : berkurang

17
1) Eliminasi
a) BAB
- Sebelum sakit :
 Frekuensi : 1-2 kali/hari
 Konsistensi : Lunak
 Warna : Coklat
 Bau : khas
 Cara : mandiri
 Keluhan : Tidak ada
- Saat Sakit
 Frekuensi : 1-2 kali/hari
 Konsistensi : Keras
 Warna : Coklat
 Bau : Tidak sedap
 Cara : dibantu
 Keluhan : Tidak ada

b) BAK
- Sebelum sakit:
 Frekuensi : 6-8 kali/hari
 Konsistensi : Cair
 Warna : Kuning
 Bau : Khas
 Cara : mandiri
 Keluhan : Tidak ada
- Saat sakit :
 Frekuensi : 10-12 kali/hari
 Konsistensi : Cair
 Warna : Kuning
 Bau : Khas
 Cara :
 Keluhan : Tidak ada

18
2) Pola aktivitas dan istirahat
a) Aktivitas
Kemampuan Perawatan Diri 0 1 2 3 4
Makan dan minum 
Mandi 
Toileting 
Berpakaian 
Berpindah 
0: mandiri, 1: Alat bantu, 2: dibantu orang lain, 3: dibantu orang lain dan
alat, 4: tergantung total

Istirahat Dan Tidur


 Sebelum sakit
- Apakah frekuensi waktu anda beraktivitas lebih banyak dari pada waktu
anda beristirahat?Tidak
- Apakah anda pernah mengalami insomnia?Tidak
- Berapa jam anda tidur: malam8 jam, siang tida tidur
 Saat sakit
- Apakah anda pernah mengalami insomnia?Iya
- Berapa jam anda tidur: malam4 jam, siang tidak tidur
3) Interaksi sosial
- Kegiatan Lingkungan :pasien aktif dalam kegiatan sosial
- Interaksi Sosial :Baik
- Keterlibatan Kegiatan Sosial :Baik
4) Pemeliharaan kesehatan
- Kebersihan kamar mandi :Baik
- Konsumsi vitamin : tidak konsumsi
- Imunisasi :-
- Olahraga : Tidak rutin
- Upaya keharmonisan keluarga :Ada
- Sters dan adaptasi : Kurang

19
5) Kesejahteraan dan peningkatan fungsi manusia
- Hubungan dengan lingkungan masyarakat, keluarga, kelompok, teman:
kurang baik

B. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum
Kesadaran : komposmetis
GCS : verbal: 5 Psikomotor:6 Mata :4
Penampilan : tampak sakit sedang
Tanda-tanda Vital : Nadi = 86x/menit, Suhu = 37,00 C, TD =90/60mmHg,
RR=24x/menit
2) Pemeriksaan Kepala
 Inspeksi :
Bentuk kepala : (normal bulat ), kesimetrisan ( + ). hidrochepalus ( - ), Luka ( - ),
darah (-).
 Palpasi : Nyeri tekan ( - ).
3) Pemeriksaan Wajah :
-Inspeksi : Perhatikan ekspresi wajah: meringis,Warna dan kondisi wajah: pucat dan
normal
-struktur wajah: normal ,
- Kelumpuhan otot-otot fasialis ( - )
4) Pemeriksaan Mata
 Inspeksi :
a. Kelengkapan dan kesimetrisan mata ( + )
b. Ekssoftalmus ( - ), Endofthalmus ( - )
c. Kelopak mata / palpebra : oedem ( - ), ptosis ( - ),
peradangan ( - ) luka ( - ), benjolan ( - )
d. Bulu mata : sehat dan tidak rontok
e. Konjunctiva dan sclera : normal (tidak ada perubahan warna)
f. Warna iris : kecoklatan
g. Reaksi pupil terhadap cahaya : isokor ( + )
h. Kornea : warna bening
i. Nigtasmus ( - ), Strabismus ( - )

20
j. Pemeriksaan Visus
Dengan Snelen Card : OD : 6 OS :6
Tanpa Snelen Card : Ketajaman Penglihatan ( Baik )

k. Pemeriksaan lapang pandang : normal


 Palpasi
Pemeriksaan tekanan bola mata : tidak ada nyeri atau benjolan pada bola mata
5). Pemeriksaan Telinga
 Inspeksi dan palpasi
a. Amati bagian telinga luar : bentuk simetris (ki/ka) Warna (normal), lesi (- ), nyeri
tekan ( - ), peradangan ( - ), penumpukan serumen ( - ).
b. perdarahan ( - ), perforasi ( - ).
c. Uji kemampuan kepekaan telinga :
- Tes bisik (normal)
- Dengan arloji (normal)
- Uji weber : seimbang
- Uji rinne : hantaran tulang lebih lemah dibanding dengan hantaran udara
- Uji swabach : sama
6). Pemeriksaan Hidung
 Inspeksi dan palpasi
- Amati bentuk tulang hidung dan posisi septum nasi ( simetris dan tidak ada
pembengkakan)
- Amati meatus : perdarahan ( - ), Kotoran (- ), Pembengkakan ( - ), pembesaran /
polip ( - )
7. Pemeriksaan Mulut dan Faring
a. Inspeksi dan Palpasi
- Amati bibir : normal ,warna bibir (pucat), lesi ( - ), Bibir pecah ( - ),
- Amati gigi ,gusi, dan lidah : Caries ( - ), Kotoran ( - ), Gigi palsu ( -), Gingivitis
(-)
- Lidah :Warna lidah : keputihan, Perdarahan ( - ), Abses ( - ).
- Orofaring atau rongga mulut : Bau mulut : tidak sedap, uvula ( simetris ),
Benda asing : ( tidak ada)

21
- Tonsil : Adakah pembesaran tonsil, T 0
- Perhatikan suara klien : (tidak )
8. Pemeriksaan Leher
 Inspeksi dan palpasi amati dan rasakan :
a. Bentuk leher (simetris), peradangan ( - ), jaringan parut ( - ), perubahan
warna ( - ), massa ( - )
b. Kelenjar tiroid, pembesaran ( - )
c. Vena jugularis : pembesaran ( - ), tekanan : normal
d. Pembesaran kelenjar limfe ( - ), kelenjar tiroid ( - ), posisi trakea (simetris)
9. Pemeriksaan Payudara dan Ketiak
 Inspeksi
- Ukuran payudara normal, bentuk (simetris ), pembengkakan (- ).
- Kulit payudara : warna (normal), lesi ( - ), Areola : perubahan warna ( - )
- Putting : cairan yang keluar ( - ), ulkus ( - ), pembengkakan ( - )
 Palpasi
- Nyri tekan ( - ), dan kekenyalan (kenyal), benjolan massa ( - )
10. Pemeriksaan Torak
a. Pemeriksaan Thorak dan Paru
 Inspeksi
- Bentuk torak (Normal), susunan ruas tulang belakang (normal), bentuk dada
(simetris), keadaan kulit elastis
- Retrasksi otot bantu pernafasan : Retraksi intercosta (+), retraksi suprasternal
( + ), Sternomastoid ( + ), pernafasan cuping hidung ( - ).
- Pola nafas :
- (Eupnea / Takipneu / Bradipnea / Apnea / Chene Stokes / Biot’s / Kusmaul)
- Amati : cianosis ( - ), batuk (tidak ada batuk ).
 Palpasi
Pemeriksaan taktil / vocal fremitus : getaran antara kanan dan kiri teraba (sama
).
 Perkusi
Area paru : ( sonor )

22
 Auskultasi
- Suara nafas
 Area Vesikuler : ( bersih) , Area Bronchial : ( bersih)
 Area Bronkovesikuler ( bersih)
- Suara Ucapan
 Terdengar : Bronkophoni ( - ), Egophoni ( - ), Pectoriloqy ( - )
- Suara tambahan
 Terdengar : Rales ( - ), Ronchi ( - ), Wheezing ( - ), Pleural fricion
rub ( - )
b. Pemeriksaan Jantung
 Inspeksi
Ictus cordis ( - ),
 Palpasi
Pulsasi pada dinding torak teraba : ( Lemah )
 Perkusi
Batas-batas jantung normal adalah :
Batas atas : ICS II
Batas bawah : ICS V
Batas Kiri : ICS V Mid Clavikula Sinistra
Batas Kanan : ICS IV Mid Sternalis Dextra
 Auskultasi
BJ I terdengar (tunggal ), ( keras), ( reguler)
BJ II terdengar (tunggal), (keras), ( reguler)
Bunyi jantung tambahan : BJ III ( - ), Gallop Rhythm ( -), Murmur ( - )
11. Pemeriksaan Abdomen
a. Inspeksi
- Bentuk abdomen : ( simetris )
- Massa/Benjolan ( - ), Kesimetrisan ( - ),
- Bayangan pembuluh darah vena (-)
b. Auskultasi
Frekuensi peristaltic usus12 x/menit ( N = 5 – 35 x/menit, Borborygmi ( - )
c. Palpasi
- Palpasi Hepar :

23
Nyeri tekan (\- ), pembesaran (- ), perabaan (lunak), permukaan (halus), tepi hepar (
hepar tidak teraba).
- Palpasi Lien :
Pembesaran lien : ( - )
- Palpasi Appendik :
 Titik Mc. Burney . nyeri tekan ( - ), nyeri lepas ( - ), nyeri menjalar
kontralateral ( - ).
 Acites atau tidak : Shiffing Dullnes ( - ) Undulasi ( - )
- Palpasi Ginjal :
Nyeri tekan( - ), pembesaran ( - ). (N = ginjal tidak teraba).
12. Pemeriksaan Genetalia
a. Genetalia Pria
 Inspeksi :
Rambut pubis (bersih ), lesi ( - ), benjolan ( - )
Lubang uretra : penyumbatan ( - ), Hipospadia ( - ), Epispadia ( - )
 Palpasi
Penis : nyeri tekan ( - ), benjolan ( - ), cairan (tidak ada)
Scrotum dan testis : beniolan ( - ), nyeri tekan ( - ),
Kelainan-kelainan yang tampak pada scrotum :
Hidrochele ( - ), Scrotal Hernia (- ), Spermatochele (-) Epididimal
Mass/Nodularyti ( - ) Epididimitis ( - ), Torsi pada saluran sperma ( - ), Tumor
testiscular ( - )
 Inspeksi dan palpasi Hernia :
Inguinal hernia ( - ), femoral hernia ( - ), pembengkakan ( - )
13. Pemeriksaan Anus
 Inspeksi
Atresia ani ( - ),
tumor ( - ),
haemorroid ( - ),
perdarahan ( - )
Perineum : jahitan ( - ), benjolan ( - )
 Palpasi
Nyeri tekan pada daerah anus ( - ) pemeriksaan Rectal Toucher (-)

24
14. Pemeriksaan Ekstremitas
a. Ekstremitas Atas : edema (-); hiperemis (-); ulkus (-)
b. Ekstremitas Bawah : EDEMA (+) tungkai bawah kiri, ulkus (+) tungkai bawah
sampai telapk kaki kiri; CRT <2 detik tungkai kanan, sulit dinilai pada tungkai
kiri
15. Pemeriksaan Neurologis
a. Menguji tingkat kesadaran secara kuantitaif dengan GCS ( Glasgow Coma Scale )
1. Menilai respon membuka mata ( 4 )
2. Menilai respon Verbal ( 5 )
3. Menilai respon motorik ( 4 )
Pemeriksaan tingkat kesadaran secara kualitatif : (Compos mentis)
b. Memeriksa tanda-tanda rangsangan otak
Penigkatan suhu tubuh ( -), nyeri kepala ( -), kaku kuduk ( -), mual –muntah ( -)
kejang ( -) penurunan tingkat kesadaran ( + )
c. Memeriksa nervus cranialis
Nervus I , Olfaktorius (pembau ) …normal……..
Nervus II, Opticus ( penglihatan ).....normal..........
Nervus III, Ocumulatorius .......normal..............
Nervus IV, Throclearis ………normal………
Nervus V, Thrigeminus : - Cabang optalmicus : ......normal.............
- Cabang maxilaris : ..........normal...................
- Cabang Mandibularis : .....normal....................
Nervus VI, Abdusen ……normal……………..
Nervus VII, Facialis ...........normal..................
Nervus VIII, Auditorius ........normal..................
Nervus IX, Glosopharingeal ..........normal.......................
Nervus X, Vagus ………normal…………..
Nervus XI, Accessorius .............normal....................
Nervus XII, Hypoglosal .............normal.....................
d. Memeriksa fungsi motorik
Ukuran otot (simetris), atropi ( + ) kekuatan otot : ......5.............

25
e. Memeriksa fungsi sensorik
Kepekaan saraf perifer : benda tumpul ……normal………….., benda tajam
………normal………. Menguji sensasi panas / dingin
………normal……….kapas halus ……….. minyak wangi
……normal………………..
f. Memeriksa reflek kedalaman tendon
1. Reflek fisiologis
a. Reflek bisep ( + )
b. Reflek trisep ( + )
c. Reflek brachiradialis ( + )
d. Reflek patella ( + )
e. Reflek achiles ( + )
2. Reflek Pathologis
Bila dijumpai adanya kelumpuhan ekstremitas pada kasus-kasus tertentu.
a. Reflek babinski (-)
b. Reflek chaddok (-)
c. Reflek schaeffer (-)
d. Reflek oppenheim (-)
e. Reflek gordon (-)
a. DataPenunjang
1) Pemeriksaan Laboratorium
Jenis
Hasil Nilai Normal
Pemeriksaan
Darah Lengkap Hb: 14,8 Hb : 12 – 17 g/dl
Hematokrit: 46 Hematokrit : 34-52 %
Leukosit : 6,9 Leukosit : 4 – 10rb/ uL
Basofil : 2 Basofil : 0 – 1 %
RDW : 15,8 % RDW : 11,6 – 14,8 %
PPT : 16,4 PPT : 12 – 18
APTT : 35,1 APTT : 20-40
GDS : 236 GDS : 70-140 mg/dl
Ureum : 29 Ureum : 15-40

26
1. AnalisaData
No Symptom Etiologi Problem
Pre anestesi
1 DS :
- Klien mengeluh nyeri disertai bengkak
pada kaki sebelah kiri

DO :
- Klien terlihat meringis kesakitan Pembekakan jaringan Nyeri akut
- Klien terlihat melokalisasi nyeri
- TD : 120/60 mmHg
- HR : 82x/mnt
- RR : 20x/mnt
- Suhu : 37,1oC
2 DS :
- Klien mengatakan pola aktivitas dibantu
oleh keluarga
Intoleransi
Nyeri
DO : aktivitas
- Klien terlihat dibantu mandi, toileting,
berpakaian dan berpindah oleh
keluarganya
Intra anestesi
1 DS : -

Penurunan
DO :
Induksi anestesi spinal tekanan
- TD : 90/60 mmHg
darah
- HR : 110x/mnt
- RR : 30x/mnt
- Suhu : 36,5oC
2 DS : -
Resiko
Suhu lingkungan rendah
hipotermi

27
DO :
- Suhu ruangan operasi 20 oC
- Keadaan umum klien sedang
- Suhu : 36,5oC
DS:
-Klien mengatakan tidak bisa menggerakkan
kakinya
Gangguan
Efek sisa obat anestesi
mobilisasi
DO:
- Klien terlihat kesulitan menggerakkan
kakinya

C. Problem ( Masalah Kesehatan Anestesi )


1. Pre anestesi
- Nyeri akut
- Intoleransi aktivitas
2. Intra anestesi
- Penurunan tekanan darah
- Resiko hipotermi
3. Post anestesi
- Gangguan mobilisasi

28
D. Metodologi Keperawatan Anestesi
Nama : Tn. B No.CM : 222XXX
Umur: 50 th Dx : ulkus diabetikum di region cruris dan pedis sinistra.
Jeniskelamin : Laki-laki Ruang : Apel

1. Intervensi
Pre anestesi
No Problem (Masalah Perencanaan
Kesehatan Anestesi) Tujuan Intervensi Rasional
1 Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan 1. Observasi ttv 1. Memantau perkembangan
askan selama 1x30 menit 2. Kolaborasi pemberian tanda-tanda vital.
1. Pasien mengatakan analgetik petidin 2. Mengurangi rasa nyeri
nyeri yang dirasakan 3. Kaji PQRST 3. Mengetahui tingkat
berkurang intensitas nyeri

29
2 Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan tindakan 1. Observasi kehilangan / 1. Menunjukkan perubahan
askan selama 1x30 menit gangguan keseimbangan gaya neurology karena
diharapkan klien mampu jalan dan kelemahan otot defisiensi vitamin B12
meningkatkan ambulan atau mempengaruhi
aktivitas dengan 2. Observasi TTV sebelum dan keamanan pasien/ resiko
KH : sesudah aktivitas cidera
-KU baik
-akral hangat 3. Anjurkan klien istirahat bila 2. Manifestasi kardio
-sclera normal terjadi kelelahan dan pulmonal dr upaya jantung
-conjungtiva normal kelemahan,anjurkan pasien dan paru untuk membawa
melakukan aktivitas jumlah oksigen adekuat ke
semampunya jaringan.

4. Kolaborasi pemberian terapi 3. Meningkatkan aktivitas


infuse secara bertahap sampai
normal dan memperbaiki
tonus otot.
4. Mengganti cairan dan
elektrolit secara adekuat

30
Intra
No Problem (Masalah Perencanaan
Kesehatan Anestesi) Tujuan Intervensi Rasional
1 Penurunan TD Setelah dilakukan tindakan askan 1. Observasi ttv 1. Memantau perkembangan
selama 1x30 menit diharapkan 2. Kolaborasi pemberian cairan tanda-tanda vital.
tekanan darah pasien meningkat infus Nacl 2. Mengganti cairan dan
dalam rentang : 3. Kolaborasi dalam pemberian elektrolit secara adekuat
Sistole : 100-120mmhg efedrin 3. Meningkatkan TD pasien
Diastole : 70-80mmhg

Resiko Hipotermi Setelah dilakukan tindakan askan 1. Observasi TTV 1. Mngetahui hemodinamik
2 selama 1x30 menit diharapkan 2. Gunakan selimut hangat 2. Menghangatkan tubuh
resiko hipotermi teratasi dengan 3. Atur suhu ruangan pasien
kriteria hasil ttv pasien (suhu) 4. Kaji akral pasien dan warna 3. Mengetahui baik
dalam rentang 36,5 – 37,5 C bibir dan perifer pasien tidaknya perfusi jaringan.

31
Post
No Problem (Masalah Perencanaan
Kesehatan Anestesi) Tujuan Intervensi Rasional
1 Gangguan mobilisasi Setelah dilakukan tindakan askan 1. Observasi ttv 1. latihan mobilisasi dapat
Aldrete : >8 selama 1x30 menit klien mampu 2. Berikan posisi nyaman meningkatkan kemampuan
Bromage : <2 melakukan mobilisasi dengan 3. Ajarkan keluarga gerak pasien
mandiri maupun pasien untuk
mobilisasi
4. bantu klien untuk
melakukan latihan
mobilisasi

32
2. Tindakan Keperawatan
Pre Operasi
No Problem (Masalah Kesehatan Anestesi) Tindakan Evaluasi

1. Nyeri akut 1. Mengobservasi ttv S:


2. Memberikan obat analgetik petidin pasienmasih mengeluh nyeri
O: TTV terkontrol
P : Nyeri
Q : tertusuk-tusuk
R : daerah abdomen
S:3
T : saat mobilisasi
A : teratasi
P : Hentikan intervensi
2 Intoleransi aktivitas 3. Mengobservasi TTV sebelum dan sesudah S :Pasien mengatakan sudah
aktivitas bisa beraktivitas sepenuhnya
4. Memberikan edukasi kepada pasien untuk
melakukan aktivitas O : Pasien terlihat beraktivitas
3. Menganjurkan klien istirahat bila terjadi kelelahan penuh
dan kelemahan,anjurkan pasien melakukan
aktivitas semampunya A : pertahankan kondisi pasien
4. Memberikan terapi infuse
P : Pertahankan intervensi

33
Intra Operasi
No Problem (Masalah Kesehatan Anestesi) Tindakan Evaluasi

1. Penurunan TD 1. Mengobservasi TTV terutama Tekanan Darah S:-


2. Melakukan tindakan delegatif dalam pemberian
cairan parenteral yaitu NaCl 0,9 % O:
3. Melakukan tindakan delegatif dalam pemberian - TD : 110/80 mmHg
obat efedrin A : pertahankan kondisi pasien
P : Pertahankan intervensi

34
2 Resiko hipotermi 1. Mengobservasi TTV S:-
2. Menggunakan selimut hangat
3. Mengatur suhu ruangan O:
4. Mengkaji akral pasien dan warna bibir dan perifer - Suhu pasien, akral
pasien teraba sedikit dingin,
dengan hasil TTV :
- Suhu : 36 oC
- TD : 120/90 mmHg
- Nadi : 80x/menit
- RR: 16x/menit
A : pertahankan kondisi pasien
P : pertahankan intervensi

35
Post Operasi
No Problem (Masalah Kesehatan Anestesi) Tindakan Evaluasi

1 Gangguan mobilisasi 1. Membantu klien untuk melakukan latihan S : Pasien mengatakan masih
mobilisasi (ROM) sakit dan susah untuk
melakukan mobilisasi
O :Pasien masih terlihat lemas
dalam melakukan aktivitas
fisik
A : Masalah belum teratasi
P : Lanjutkan intervensi

36
3. Evaluasi Keperawatan
No Masalah Kesehatan Anestesi Evaluasi
PRE OPEARSI
1. Nyeri akut S
- Pasien mengatakan nyeri yang dirasakan sudah menurun
O
- Pasien terlihat tidak meringis lagi
- TTV dalam batas normal
P : Nyeri
Q : tertusuk-tusuk
R : daerah abdomen
S:3
T : saat mobilisasi

A : masalah teratasi
P: pertahankan kondisi pasien

2. Intoleransi aktivitas S:
- Pasien mengatakan sudah mampu meningkatkan
ambulansi atau aktivitas
O
- Pasien terlihat KU baik
- Akral pasien teraba hangat

37
- Sklera pasien normal.
- Conjungtiva pasien normal.
A : masalah teratasi
P : pertahankan kondisi pasien

INTRA OPERASI
1. Penurunan Tekanan Darah S:-
O:
- TTV dalam batas normal
- Seimbangnya cairan dan elektrolit pasien.
A : masalah teratasi
P: pertahankan kondisi pasien

2 Resiko Hipotermi S:-


O:
- tidak ada tanda- tanda hipotermi
- TTV dalam batas normal.
- S : Suhu : 36 oC
A : masalah teratasi
P: Pertahankan kondisi pasien

38
POST OPERASI
Gangguan mobilisasi S:
1. Aldrete : 9 - pasien mengatakan belum bisa melakukan mobilisasi
Bromage : 2 sendiri
O:
- pasien terlihat sudah bisa melakukan mobilisasi dengan
bantuan
- kesakitan pasien saat melakukan mobilisasi berkurang
A : masalah teratasi sebagian
P : lanjutkan intervensi di ruangan

39
E. CATATAN PERKEMBANGAN
Nama : Tn. B No. CM: 222XXX
Umur : 50 th Ruang : Apel
Dx : ulkus diabetikum di region cruris post debridement

MasalahKeseha
No Tanggal CatatanPerkembangan Pelaksana
tanAnestesi
1. Nyeri Akut S TTD
- Pasien mengatakan nyerinya sudah berkurang
- Pasien mengatakan lebih nyaman dan tenang
O
- Pasien terlihat tidak meringis lagi
- Nyeri pasien sudah berkurang dengan skala
nyeri 1
- TTV :
TD : 120/80 mmHg
N : 88 x/menit
P : 24 x/menit
S : 36,5 0C
A : masalah teratasi
P: pertahankan kondisi pasien

2. Intoleransi S:
Aktivitas - Pasien mengatakan sudah mampu meningkatkan
ambulansi atau aktivitas
O
- Pasien terlihat KU baik
- Akral pasien teraba hangat
- Sklera pasien normal.
- Conjungtiva pasien normal.
A : masalah teratasi

40
3. Penurunan P : pertahankan kondisi pasien
Tekanan Darah
S:-

O:
- Seimbangnya cairan dan elektrolit pasien.
- TTV :
TD : 120/80 mmHg
N : 88 x/menit
P : 24 x/menit
S : 36,5 0C
A : masalah teratasi
P: pertahankan kondisi pasien

S:-
4. Hipotermi O:
- tidak ada tanda- tanda hipotermi
- TTV :
TD : 120/80 mmHg
N : 88 x/menit
P : 24 x/menit
S : 36,5 0C
A : masalah teratasi
P: Pertahankan kondisi pasien

S: pasien mengatakan sudah mampu


5. Gangguan meningkatkan mobilisasi
mobilisasi O:
- pasien terlihat sudah mampu meningkatkan
mobilisasi walaupun dengan bantuan
- kesakitan dalam melakukan mobilisasi

41
berkurang
A:
- masalah teratasi sebagian
- lanjutkan intervensi di ruangan
P : pertahankan kondisi pasien

42
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Anestesi spinal adalah injeksi obat anestesi lokal ke dalam ruang intratekal yang
menghasilkan analgesia. Pemberian obat lokal anestesi ke dalam ruang intratekal atau
ruang subaraknoid di regio lumbal antara vertebra L2-3, L3-4 untuk menghasilkan
onset anestesi yang cepat dengan derajat kesuksesan yang tinggi.
Efek samping anestesi pada pasien geriatri kemungkinan terjadi lebih besar karena
adanya keterbatasan fungsi tubuh. Morbiditas dan mortalitas meningkat sesuai dengan
peningkatan usia. Rekomendasi perioperatif pada pasien geriatri adalah menghindari
obat-obat yang beresiko meningkatkan delirium, pemberian cairan, kalori adekuat,
masalah transportasi, terapi fisik dan segera mungkin dapat melakukan aktifitas sehari
hari.

43
DAFTAR PUSTAKA

Ebersole, Priscilia hess & Theris Touhy (2010). Gerontological Nursing


Healthy aging. Second Edition. St. Louis, Missouri : Elsevier
Mosby.
Mauk, K. L. 2010. Gerontological Nursing Competencies for Care. Sudbury
: Janes and Barlet Publisher.
Stanley, M & Beare, P. G. (2007). Buku ajar keperawatan gerontik. Jakarta:
EGC
Carpenito, Lynda Juall. (2012). Buku Saku Diagnosis Keperawatan: EGC
Nanda. (2015). Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015-2017
Edisi 10 editor T Heather Herdman, Shigemi Kamitsuru.
Jakarta :EGC

44

Anda mungkin juga menyukai