Anda di halaman 1dari 50

ASUHAN KEPERAWATAN PERIANESTESI PADA Tn.

S
DENGAN GENERAL ANASTESI TEKNIK ENDOTRACHEAL TUBE (ETT)
ATAS INDIKASI CHOLELITIASIS DI IBS RS X

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Praktik Klinik Anestesi Dasar


Dosen Pembimbing: Sari Candra Dewi, SKM.,M.Kep

DISUSUN OLEH :

1. Sakinah Nuriftitah Rahmah (P07120318010)

2. Sarah Zafira Icha Lopa (P07120318011)

3. Nazifa Helfi (P07120318017)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN YOGYAKARTA

SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI

TAHUN AJARAN 2020/2021


LEMBAR PENGESAHAN

Asuhan Keperawatan Perianestesi Pada Tn. S Dengan General Anastesi Teknik


Endotracheal Tube (Ett) Atas Indikasi Cholelitiasis Di Ibs Rs X

Oleh :

1. Sakinah Nuriftitah Rahmah (P07120318010)

2. Sarah Zafira Icha Lopa (P07120318011)

3. Nazifa Helfi (P07120318017)

Telah diperiksa dan disetujui pada November 2020

Mengetahui,

Pembimbing Pendidikan

Sari Candra Dewi, SKM.,M.Kep


BAB I
PENDAHULUAN

Anestesi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan rasa sakit ketika


dilakukan pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa sakit, dalam
hal ini rasa takut perlu ikut dihilangkan untuk menciptakan kondisi optimal bagi
pelaksanaan pembedahan (Sabiston, 2011). General anestesi merupakan tindakan
menghilangkan rasa sakit secara sentral disertai hilangnya kesadaran (reversible).
Tindakan general anestesi terdapat beberapa teknik yang dapat dilakukan adalah general
anestesi denggan teknik intravena anestesi dan general anestesi dengan inhalasi yaitu
dengan face mask (sungkup muka) dan dengan teknik intubasi yaitu pemasangan
endotrecheal tube atau gabungan keduanya inhalasi dan intravena (Latief, 2007).

Intubasi Trakhea adalah tindakan memasukkan pipa trakhea kedalam trakhea


melalui rima glotis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakhea
antara pita suara dan bifurkasio trakhea (Latief, 2007). Tindakan intubasi trakhea
merupakan salah satu teknik anestesi umum inhalasi, yaitu memberikan kombinasi obat
anestesi inhalasi yang berupa gas atau cairan yang mudah menguap melalui alat/ mesin
anestesi langsung ke udara inspirasi.

Kolelitiasis saat ini menjadi masalah kesehatan masyarakat karena frekuensi


kejadiannya tinggi yang menyebabkan beban finansial maupun beban sosial bagi
masyarakat. Sudah merupakan masalah kesehatan yang penting di negara barat. Angka
kejadian lebih dari 20% populasi dan insiden meningkat dengan bertambahnya usia.
Cholelitiasis sangat banyak ditemukan pada populasi umum dan laporan menunjukkan
bahwa dari 11.840 yang dilakukan otopsi ditemukan 13,1% adalah pria dan 33,7%
adalah wanita yang menderita batu empedu.Di negara barat penderita cholelitiasis
banyak ditemukan pada usia 30 tahun, tetapi rata-rata usia tersering adalah 40–50 tahun
dan meningkat saat usia 60 tahun seiring bertambahnya usia, dari 20 juta orang di
negara barat 20% perempuan dan 8% laki-laki menderita cholelitiasis dengan usia lebih
dari 40 tahun (Cahyono, 2014). Sekitar 12% dari total penduduk dewasa di negara barat
menderita cholelitiasis jadi sekitar 20 juta jiwa yang menderita cholelitiasis, disetiap
tahunnya ditemukan pasien cholelitiasis sekitar 1 juta jiwa dan 500.000 jiwa menjalani
operasi pengangkatan batu empedu (cholesistektomi atau laparoscopy chole).
Cholelitiasis merupakan penyakit penting dinegara barat. (Sudoyo, 2006)
Di Indonesia, cholelitiasis baru mendapat perhatian setelah di klinis, sementara
publikasi penelitian tentang cholelitiasis masih terbatas. Berdasarkan studi kolesitografi
oral didapatkan laporan angka insidensi cholelitiasis terjadi pada wanita sebesar 76%
dan pada laki-laki 36%dengan usia lebih dari 40 tahun. Sebagian besar pasien dengan
batu empedu tidak mempunyai keluhan. Risiko penyandang batu empedu untuk
mengalami gejala dan komplikasi relatif kecil. Walaupun demikian, sekali batu empedu
mulai menimbulkan serangan nyeri kolik yang spesifik maka resiko untuk mengalami
masalah dan penyulit akan terus meningkat. (Cahyono, 2014)
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Penyakit


1. Definisi Cholelitiasis

Kolellitasis adalah inflamasi akut dari kandung empedu. Ini biasanya mengiritasi
lapisan kandung empedu. Ini dapat menjadi padat dalam duktus sistik yang
menyebabkan obstruksi dan inflamasi dinding empedu, mencetuskan infeksi. Kolelitasis
disebut juga dengan pembentukan batu (kalkuli atau batu empedu) di dalam kandung
empedu atau sistem saluran empedu (Smeltzer, 2009).

Kolelitasis adalah inflamasi kandung empedu yang bisa menjadi Kolesistisis


akut biasanya terjadi setelah obstruksi saluran sistik oleh batu. Obstruksi akan
meningkatkan tekanan di dalam kandung empedu, menyebabkan iskemia dinding dan
mukosa kandung empedu. Tertahannya empedu menyebabkan iritasi kimia dan sering
kali diikuti oleh terjadinya inflamsi bakteri. Iskemia dapat menyebabkan nekrosis dan
perforasi dinding kandung empedu (Pricilla, 2015)..

2. Anatomi Empedu

Kandung empedu adalah kantung otot kecil yang melekat ke saluran empedu,
terletak di lekukan lobus bawah kanan hati. Pada orang dewasa kandung empedu sekitar
10 cm panjangnya dan 4 cm lebarnya(Smith & Morton, 2001). . Empedu terdiri air,
kolesterol, garam empedu, lemak dan bilirubin serta produk limbah dari sel darah merah
yang rusak (Kumar & Clark, 2005).

Normal Kolelitiasis

3. Fisiologi Empedu
Kandung empedu merupakan sakus (kantong) yang berbentuk buah pir dan
melekat pada permukaan posterior hati oleh jaringan ikat. Kandung empedu memiliki
fundus atau ujung yang memanjang badan atau bagian utama, dan leher yang
bersambung dengan duktus sistikus. Kandung empedu memiliki lapisan jaringan seperti
struktur dasar saluran cerna dengan beberapa modifikasi (Elly Nurachman, 2011).

Empedu dibentuk secara terus menurus oleh hepatosit dan dikumpulkan dalam
kanalikulus serta saluran empedu. Empedu terutama tersususn dari air dan elektrilit,
seperti natrium, kalium, kalsium, klorida serta bikarbonat, dan juga mengandung dalam
jumlah yang berarti beberapa substansi seperti lesitin, kolesterol, bilirubin serta garam-
garam empedu. Empedu dikumpulkan dan disimpan dalam kandung empedu untuk
kemudian dialirkan ke dalam intestinum bila diperlukan bagi pencernaan (Arif
muttaqin, 2011).

Setelah terjadi konyugasi atau pengikatan dengan asam-asam amino (taurin dan
glisilin), garam empedu diekskresikan ke dalam empedu. Bersama dengan kolesterol
dan lesitin, garam empedu diperlukan untuk emulsifikasi lemak dalm intestinum. Proses
ini penting untuk proses pencernaan dan penyerapan yang efesien. Kemudian garam
empedu akan diserap kembali, terutama dalam ileum distal, ke dalam darah portal untuk
kembali ke hati dan sekali lagi diekresikan ke dalam empedu. Lintasan hepatosit-
empedu-intestinum dan kembali lagi kepada hepatosit dinamakan sirkulasi
enterohepatik (Arif Muttaqin, 2011).

Akibat adanya sirkulasi enterohepatik, maka dari seluruh garam empedu yang
masuk kedalam intestinum, hanya sebagian kecil yang akan diekskresikan ke dalam
fases. Keadaan ini menurunkan kebutuhan terhadap sintesis aktif garam empedu oleh
sel-sel hati (Arif Muttaqin, 2011).

Kandung empedu bentuknya seperti kantong, organ berongga yang panjangnya


sekitar 10 cm, terletak sedikit dalam suatu fosa yang menegaskan batas anatomi antara
lobus hati kanan dan kiri. Kandung empedu mempunyai fundus, korpus, infundibulum,
dan kolum. Fundus bentuknya bulat, ujung buntu dari kandung empedu yang
memanjang di atas tepi hati. Korpus merupakan bagian terbesar dari kandung empedu.
Kolum adalah bagian yang sempit dari kandung empedu yang terletak antara korpus dan
daerah duktus sistika (Schwartz, 2009).
Infundibulum yang juga dikenal sebagai kantong hartman adalah bulbus
diverticulum kecil yang terletak pada permukaan inferior dari kandung kemih, yang
secara klinis bermakna karena proksimitasnya terhadap duodenum dan dapat terimpeksi
ke dalamnya. Duktus sistikus menghubungkan kandung empedu ke duktus koledokus.
Katup spiral dari heister terletak di dalam duktus empedu. Pasokan darah ke kandung
empedu adalah melalui arteri kristika, secara khas merupakan cabang dari arteri
hepatica kanan, tetapi asal dari arteri kristika bervariasi. Segitiga calot dibentuk oleh
arteri kistika, duktus koledekus, dan duktus kistikus (Schwartz, 2009)

4. Etiologi Cholelitiasis

Penyebab yang pasti belum diketahui secara sempurna. Namun menurut


berbagai teori, terdapat beberapa kemungkinan penyebab terjadinya kolelitiasis.
Semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan
untuk terjadinya kolelitiasis, (Beckingham, 2001).

Faktor resiko tersebut antara lain :

a) Jenis Kelamin

Wanita mempunyai risiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dengan pria.
Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan ekskresi
kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan yang meningkatkan kadar esterogen
juga meningkatkan risiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil dan kontrasepsi dan
terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu
dan penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu.

b) Usia

Risiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya


usia. Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan orang dengan usia yang lebih muda.

c) Berat badan (BMI)


Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih
tinggi untuk terjadi kolelitiasis. Ini dikarenakan dengan tingginya BMI maka kadar
kolesterol dalam kandung empedu tinggi, dan juga mengurangi garam empedu serta
mengurangi kontraksi / pengosongan kandung empedu.

d) Makanan

Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah
operasi gastrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari
empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.

e) Nutrisi Intravena Jangka Lama

Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak


terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan / nutrisi yang melewati
intestinal. Sehingga risiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam
kandung empedu.

5. Patofisiologi Cholelitiasis

Menurut Corwin (2008) patofisiologi kolelitiasis yaitu perubahan komposisi


empedu. Perubahan komposisi ini membentuk inti, lalu lambat laun menebal dan
mengkristal. Proses pengkristalan dapat berlangsung lama, bisa sampai bertahun-tahun
dan akhirnya akan menghasilkan batu empedu, bila adanya peradangan pada kandung
empedu dapat mengakibatkan supersaturasi progresif, perubahan sususan kimia dan
pengendapan beberapa unsur konstituen seperti kolesterol, kalsium, bilirubin. Infeksi
bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian dalam pembentukan batu,
melalui peningkatan deskuamasi sel dan pembentukan mukus. Mukus meningkatan
viskositas dan unsur seluler atay bakteri dapat berperan sebagai pusat presipitasi.
Adanya proses infeksi ini terkait mengubah komposisi empedu dengan meningkatkan
reabsorpsi garam empedu dan lesitin.
Skema pathway cholelitiasis

6. Manifestasi Klinis Cholelitiasis

Pada manifestasi klinik ada yang tidak menimbulkan gejala dan tidak
menyebabkan nyeri namun dapat juga menunjukkan gejala – gejala gastro intestinal
ringan.

a) Mungkin akut dan kronis dengan distres epigastrik (begah, distensi abdomen,
nyeri tak jelas pada kuadran kanan atas setelah makan makanan yang banyak
mengandung lemak.
b) Jika saluran empedu tersumbat, maka kandung empedu mengalami distensi dan
akhirnya terinfekasi: mungkin terjadi demam dan teraba masa pada abdomen.
Kolik bilier dengan nyeri abdomen kanan atas menjalar ke punggung atau bahu
kanan, mual dan muntah beberapa jam setelah makan banyak.
c) Ikterik terjadi dengan tersumbatnya duktus komunis empedu.
d) Urine berwarna sangat gelap; feces warna pucat.
e) Defisiensi vitamin A, D, E, dan K (vitamin – vitamin yang larut dalam lemak).
f) Abses nekrosis dan perforasi dengan peritonitis dapat terjadi jika batu empedu
terus menyumbat saluran empedu.

Mual dan muntah sering menyertai tingkat lebih parah. Rasa sakit dapat mereda
spontan setelah beberapa jam atau bisa membutuhkan analgesik opiat. Nyeri disertai
dengan Demam biasanya menunjukkan kolesistitis akut (Beckingham, 2001).
Manifestasi klinik pada pasien kolelitiasis sangat bervariasi, ada yang mengalami gejala
asimptomatik dan gejala simptomatik. Pasien kolelitiasis dapat mengalami gejala: yang
disebabkan oleh penyakit kandung empedu itu sendiri dan gejala yang terjadi akibat
obstruksi pada jalan perlintasan empedu oleh batu empedu. Gejalanya bisa bersifat akut
atau kronis. Gangguan epigastrium, seperti rasa penuh, distensi abdomen dan nyeri yang
samar pada kuadran kanan atas abdomen dapat terjadi. Gangguan ini dapat terjadi bila
individu mengkonsumsi makanan yang berlemak atau yang digoreng (Smeltzer &
Bare, 2002).

Kolesistitis akut disebabkan ketika sebuah obstruksi terjadi pada duktus sistikus
(Kumar & Clark, 2005). Gejala yang paling umum dari seseorang dengan batu empedu
adalah rasa sakit di bawah tulang rusuk pada sisi kanan atau bahkan nyeri perut bagian
atas, dengan rasa sakit yang dialami di bagian belakang dekat kanan belikat
(Beckingham, 2001). Kolik bilier adalah istilah yang digunakan untuk rasa sakit terkait
dengan obstruksi sementara yang kistik atau saluran empedu (CBD) dengan batu
biasanya bergerak dari kandung empedu (Kumar & Clark, 2005).

7. Pemeriksaan Diagnostik
1) Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan diagnostik yang sering digunakan dan mudah dilakukan dengan


ultrasonografi yang mampu mendeteksi batu pada kandung empedu. Pemeriksaan
diagnostik yang dapat dilakukan pada pasien kolelitiasis adalah:

a. Ultrasonografi
Pemeriksaan USG telah menggantikan pemeriksaan kolesistografi oral karena
dapat dilakukan secara cepat dan akurat, dan dapat dilakukan pada penderita
disfungsi hati dan ikterus. Pemeriksaan USG dapat mendeteksi kalkuli dalam
kandung empedu atau duktus koledokus yang mengalami dilatasi, mendeteksi
batu 90 – 95 % (Masahiko et al, 2007)
b. Pemeriksaan CT Scan Abdomen
Dapat dilakukan jika terdapat kecurigaan akan penyakit kandung empedu dan
untuk menyingkirkan penyebab gejala yang lain. Namun, hanya 15-20% batu
empedu yang mengalami cukup kalsifikasi untuk dapat tampak melalui
pemeriksaan sinar-x (Mashiko et al, 2007)
c. Pemeriksaan Pencitraan Radio Nuklida Atau Koleskintografi
Koleskintografi menggunakan preparat radioaktif yang disuntikkan secara
intravena. Preparat ini kemudian diambil oleh hepatosit dan dengan cepat
diekskresikan ke dalam sistem bilier. Selanjutnya dilakukan pemindaian saluran
empedu untuk mendapatkan gambar kandung empedu dan percabangan bilier.
d. ERCP (Endoscopic Retrograde CholangioPancreatography)
Pemeriksaan ini meliputi insersi endoskop serat-optik yang fleksibel ke dalam
esofagus hingga mencapai duodenum pars desendens. Sebuah kanul dimasukkan
ke dalam duktus koledokus serta duktus pankreatikus, kemudian bahan kontras
disuntikkan ke dalam duktus tersebut untuk memungkinkan visualisasi serta
evaluasi percabangan bilier. ERCP juga memungkinkan visualisasi langsung
struktur bilier dan memudahkan akses ke dalam duktus koledokus bagian distal
untuk mengambil empedu. (Masahiko et al,2007)
e. Kolangiografi Transhepatik Perkutan
Pemeriksaan dengan cara menyuntikkan bahan kontras langsung ke dalam
percabangan bilier. Karena konsentrasi bahan kontras yang disuntikkan itu
relatif besar, maka semua komponen pada sistem bilier (duktus hepatikus,
duktus koledokus, duktus sistikus dan kandung empedu) dapat dilihat garis
bentuknya dengan jelas.
f. MRCP (Magnetic Resonance Cholangiopancreatography)
Merupakan teknik pencitraan dengan gema magnet tanpa menggunakan zat
kontras, instrumen, dan radiasi ion. Pada MRCP saluran empedu akan terlihat
sebagai struktur yang terang karena mempunyai intensitas sinyal tinggi,
sedangkan batu saluran empedu akan terlihat sebagai intensitas sinyal rendah
yang dikrelilingi empedu dengan intensitas sinyal tinggi, sehingga metode ini
cocok untuk mendiagnosis batu saluran empedu (Lesmana, 2006).
2) Pemeriksaan laboratorium
a. Darah lengkap : leukositosis sedang (akut)
b. Bilirubin dan amylase serum : meningkat
c. Enzim hati serum : AST (SGOT) ; ALT (SGPT) ; LDH agak meningkat ; alkalin
fosfat dan 5-nukleotidase : ditandai peningkatan obstruksi bilier.
d. Kadar protrombin : menurun bila obstruksi aliran empedu dalam usus
menurunkan absorpsi vitamin K.
e. Kalangopankreatografi retrograde endoskopik (ERCP) : memperlihatkan
percabangan bilier dengan kanulasi duktus koledukus melalui duodenum.
f. Kolangiografi transhepatik perkutaneus : pembedaan gambaran dengan
fluoroskopi antara penyakit kandung empedu dan kanker pankreas (bila ikterik
ada)
g. Scan CT : dapat menyatakan kista kandung empedu, diatasi duktus empedu, dan
membedakan antara ikterik obstruksi/ non obstruksi.
h. Scan hati (dengan zat radioaktif) : menunjukkan obstruksi percabangan bilier
i. Foto abdomen (multiposisi) : menyatakan gambaran radiologi (klarifikasi) batu
empedu, klarifikasi dinding atau pembesaran kandung empedu.
j. Foto dada : menunjukkan pernapasan yang menyebabkan penyebaran nyeri

8. Penatalaksanaan Cholelitiasis
1) Penatalaksanaan Medik
Menurut Brunner dan Suddarth (2013) penatalaksanaan medis kolelitasis :
a. Terapi Nutrisi
Diet segera setelah operasi biasanya berupa cairan rendah lemak dengan protein
dan karbohidrat tinggi dilanjutkan dengan makanan padat yang lembut, hindari
telur, krim, babi, makanan gorengan, keju, sayuran pembentukan gas, dan
alkohol.
b. Terapi Farmakologi
Pemberian obat oral untuk melarutkan batu kolesterol empedu dengan
chenodeoxycholic acis (CDCA) atau senodial; dan ursodeoxycholic acis atau
ursodiol (UDCA). Dipakai pada klien yang menolak yang menolak
kolesistektomi atau klien yang tidak disarankan untuk pembedahan, terhitung <
10 % klien dengan gejala ini. Kedua obat bertindak untuk mengurangi jumlah
kolesterol di dalam empedu. Angka keberhasilan tertinggi terjadi pada klien
dengan batu empedu radiolusen, kecil mengambang. Batu cenderung terjadi
kembali 30 – 50 % dengan waktu tiga sampai lima tahun lagi.
 Untuk menghancurkan batu : ursodiol/aktigal.
 Efek samping : diare, bersifat hepatotoksik, pada fetus sehingga
kontraindikasi pada ibu hamil.
 Mengurangi konten kolesterol dalam batu empedu : chenodiol/chenix.
 Untuk mengurangi gatal-gatal : cholestyramine (Questran)
 Menurunkan rasa nyeri : analgesik.
 Mengobati infeksi : antibiotik.

2) Penatalaksanaan Non-Bedah

Penanganan kolelitiasis non-bedah dengan cara melarutkan batu empedu yaitu:

a. Suatu metode melarutkan batu empedu dengan menginfuskan suatu bahan


pelarut (monooktanion atau metil tertier butil eter [MTBE]) ke dalam kandung
empedu. Pelarut tersebut dapat diinfuskan melalui jalur berikut ini: melalui
selang atau kateter yang dipasang perkutan langsung ke dalam kandung empedu;
melalui selang atau drain yang dimasukkan melalui saluran T-Tube untuk
melarutkan batu yang belum dikeluarkan pada saat pembedahan; melalui
endoskop ERCP; atau kateter bilier transnasal.
b. Metode Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL). Prosedur non-invasif
yang menggunakan gelombang kejut berulang (repeated shock waves) yang
diarahkan kepada batu empedu di dalam kandung empedu atau duktus koledokus
dengan maksud untuk memecah batu tersebut menjadi sebuah fragmen.
Gelombang kejut dihasilkan dalam media cairan oleh percikan listrik, yaitu
piezoelektrik, atau oleh muatan elektromagnetik (Smeltzer & Bare, 2002),
dimana sampai 1.500 gelombang kejut diarahkan pada batu sampai hancur,
digunakan sebagai pengobatan rawat jalan pada beberapa kasus. Klien yang
mempunyai kolelitiasis simtomatik kurang dari empat batu, masing – masing
diameter kurang dari 3 cm dan tanpa riwayat penyakit hati dan pankreas.
c. Endoscopi Retrograde Cholangio Pancreatography (ERCP), batu dalam saluran
empedu dikeluarkan dengan basket kawat atau balon ekstraksi melalui muara
yang sudah besar tersebut menuju lumen duodenum sehingga batu dapat keluar
bersama tinja atau dikeluarkan melalui mulut bersama skopnya. (Lesmana,
2006).
3) Penatalaksanaan Bedah
a. Kolesistektomi laparaskopi : dilakukan melalui insiasi atau tusukan kecil yang
dibuat menembus dinding abdomen di umbilikus. Rongga abdomen ditiup
dengan gas karbon monoksida untuk membantu pemasangan endoskopi.
b. Kolesistektomi : kantung empedu diangkat setelah asteri dan duktus sistikus
diligasi. Sebuah drain (penrose) ditempatkan dalam kandung empedu dan
dibiarkan menjulur ke luar lewat luka operasi untuk mengalirkan darah, cairan
serosanguinus dan getah empedu ke dalam kasa absorben.
c. Minikolesistektomi : kantung empedu dikeluarkan melalui sebuah insisi kecil
selebar 4cm.
d. Kolesistostomi (bedah atau perkutan) : kantung empedu dibuka, dan batu,
empedu, atau drainase purulent dikeluarkan
e. Koledokostomi : Insisi dilakukan pada duktus koledokus untuk mengeluarkan
batu. Setelah batu dikeluarkan biasanya dipasang sebuah kateter ke dalam
duktus tersebut untuk drainase getah empedu sampai edema mereda. Kateter ini
dihubungkan dengan selang drainase.

B. Konsep Dasar Penatalaksanaan Anestesi


1. Definisi General Anestesi

Anestesi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan rasa sakit ketika


dilakukan pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa sakit, dalam
hal ini rasa takut perlu ikut dihilangkan untuk menciptakan kondisi optimal bagi
pelaksanaan pembedahan (Sabiston, 2011).
General anestesi merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit secara sentral
disertai hilangnya kesadaran (reversible). Tindakan general anestesi terdapat beberapa
teknik yang dapat dilakukan adalah general anestesi dengan teknik intravena anestesi
dan general anestesi dengan inhalasi yaitu dengan face mask (sungkup muka) dan
dengan teknik intubasi yaitu pemasangan endotrecheal tube atau gabungan keduanya
inhalasi dan intravena (Latief, 2007). Anestesi umum menurut American Association of
Anestesiologist merupakan pemberian obat yang menginduksi hilangnya kesadaran
dimana pasien tidak arousable, meskipun dengan stimulasi yang sangat menyakitkan.
Kemampuan untuk mengatur fungsi pernafasan juga terganggu. Pasien seringkali
membutuhkan bantuan untuk menjaga patensi jalan nafas, dan tekanan ventilasi positif
dibutuhkan karena hilangnya ventilasi spontan atau hilangnya fungsi neuromuskular.
Fungsi kardiovaskular juga terganggu (ASA, 2013).

Anestesi umum dibagi menjadi tiga teknik yaitu teknik anestesi total intravena,
anestesi total inhalasi, dan anestesi kombinasi antara intravena dan inhalasi yang sering
disebut balance anestesia. Masing-masing dari teknik tersebut memiliki kekurangan dan
kelebihan. Pemilihan teknik seringkali ditentukan oleh karakteristik pasien sehingga
tepat penggunaan dan resiko efek samping yang paling minimal. Saat ini penggunaan
teknik ini sudah umum dan sering dikerjakan.

2. Teknik General Anestesi


1) General Anestesi Intravena
Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan menyuntikkan obat
anestesi parenteral langsung ke dalam pembuluh darah vena.
2) General Anestesi Inhalasi
Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan memberikan kombinasi
obat anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau cairan yang mudah menguap
melalui alat atau mesin anestesi langsung ke udara inspirasi.
3) Anestesi Imbang
Merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan kombinasi obat-obatan baik
obat anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi atau kombinasi teknik
general anestesi dengan analgesia regional untuk mencapai trias anestesi secara
optimal dan berimbang, yaitu:
 Efek hipnosis, diperoleh dengan mempergunakan obat hipnotikum atau
obat anestesi umum yang lain.
 Efek analgesia, diperoleh dengan mempergunakan obat analgetik opiat
atau obat general anestesi atau dengan cara analgesia regional.
 Efek relaksasi, diperoleh dengan mempergunakan obat pelumpuh otot
atau general anestesi, atau dengan cara analgesia regional.

3. Sistem Pemberian Obat-obatan Anestesi


1) Open drop method
Cara ini dapat digunakan untuk anestesik yang menguap, peralatan sangat
sederhana dan tidak mahal. Zat anestetik diteteskan pada kapas yang diletakkan
di depan hidung penderita sehingga kadar yang dihisap tidak diketahui, dan
pemakaiannya boros karena zat anestetik menguap ke udara terbuka.
2) Semi open drop method
Hampir sama dengan open drop, hanya untuk mengurangi terbuangnya zat
anestetik digunakan masker. Karbondioksida yang dikeluarkan sering terhisap
kembali sehingga dapat terjadi hipoksia. Untuk menghindarinya dialirkan
volume fresh gas flow yang tinggi minimal 3x dari minimal volume udara
semenit.
3) Semi closed method
Udara yang dihisap diberikan bersama oksigen murni yang dapat ditentukan
kadarnya kemudian dilewatkan pada vaporizer sehingga kadar zat anestetik
dapat ditentukan. Udara napas yang dikeluarkan akan dibuang ke udara luar.
Keuntungannya dalamnya anestesi dapat diatur dengan memberikan kadar
tertentu dari zat anestetik, dan hipoksia dapat dihindari dengan memberikan
volume fresh gas flow kurang dari 100% kebutuhan.
4) Closed method
Cara ini hampir sama seperti semi closed hanya udara ekspirasi dialirkan melalui
soda lime yang dapat mengikat CO2, sehingga udara yang mengandung anestetik
dapat digunakan lagi.
Dalam memberikan obat-obatan pada penderita yang akan menjalani operasi
maka perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai premedikasi, induksi, maintenance,
dan lain-lain.

4. Persiapan Pra Operasi


1) Kunjungan Pra Anestesi

Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif/darurat) harus


dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif dilakukan 1-2 hari
sebelumnya, dan pada bedah darurat sesingkat mungkin. Kunjungan pra anestesi pada
pasien yang akan menjalani operasi dan pembedahan baik elektif dan darurat mutlak
harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan kunjungan pra
anestesi adalah:

a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.


b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai dengan
fisik dan kehendak pasien.
c. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology)

Klasifikasi ASA

Klasifikasi ASA Keterangan


Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan faal,
ASA I
biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.
Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang
ASA II sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka
mortalitas 16%.
Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian
ASA III
terbatas. Angka mortalitas 38%.
Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, tidak
ASA IV selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ,
angina menetap. Angka mortalitas 68%.
ASA V Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi hampir
tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa
operasi / dengan operasi. Angka mortalitas 98%.
ASA VI Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil (didonorkan)
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri dari
Emergency
kegawatan otak, jantung, paru, ibu dan anak.

2) Pemeriksaan praoperasi anestesi


a. Anamnesis
a) Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, alamat, dll.
b) Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.
c) Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat menjadi
penyulit anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit paru kronis
(asma bronkhial, pneumonia, bronkhitis), penyakit jantung, hipertensi,
dan penyakit ginjal.
d) Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat, dan obat
yang sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi dengan obat
anestetik seperti kortikosteroid, obat antihipertensi, antidiabetik,
antibiotik, golongan aminoglikosid, dan lain lain.
e) Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari tanggal, jenis
pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif pasca
bedah.
f) Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan
anestesi seperti merokok, minum alkohol, obat penenang, narkotik
g) Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti hipertensi maligna.
h) Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum,
pernafasan, kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi,
neurologi, endokrin, psikiatrik, ortopedi dan dermatologi.
b. Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan psikis : gelisah,takut, kesakitan
b) Keadaan gizi : malnutrisi atau obesitas
c) Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi cairan
yang diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah pembedahan.
d) Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta suhu
tubuh.
e) Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui adanya
trismus, keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan fleksi ekstensi
leher, deviasi ortopedi dan dermatologi. Ada pula pemeriksaan
mallampati, yang dinilai dari visualisasi pembukaan mulut maksimal dan
posisi protusi lidah. Pemeriksaan mallampati sangat penting untuk
menentukan kesulitan atau tidaknya dalam melakukan intubasi.
Penilaiannya yaitu:
 Mallampati I : palatum molle, uvula, dinding posterior oropharynk,
tonsilla palatina dan tonsilla pharingeal
 Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula, dinding posterior
uvula
 Mallampati III : palatum molle, dasar uvula
 Mallampati IV : palatum durum saja
f) Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung
g) Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi
h) Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia, atau
tanda regurgitasi.
i) Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis,
adanya jari tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat pungsi
vena atau daerah blok saraf regional
c. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang lain
a. Lab rutin :
 Pemeriksaan lab. Darah
 Urine : protein, sedimen, reduksi
 Foto rongten ( thoraks )
 EKG
b. Pemeriksaan khusus, dilakukan bila ada indikasi
 EKG pada anak
 Spirometri pada tumor paru
 Tes fungsi hati pada ikterus
 Fungsi ginjalpada hipertensi
 AGD, elektrolit.

Beberapa pemeriksaan preanestesi beserta indikasinya

No. Tes Indikasi


1, Darah Lengkap Anemia dan penyakit hematologik lainnya

Penyakit ginjal

Pasien yang menjalani kemoterapi


2. Ureum, creatinin dan Penyakit ginjal
konsentrasi elektrolit
Penyakit metabolik misalnya; diabetes mellitus

Nutrisi abnormal

Riwayat diare, muntah

Obat-obatan yang merubah keseimbangan elektrolit


atau menunjukkan efek toksik dari adanya
abnormalitas elektrolit seperti digitalik, diuretic,
antihipertensi, kortikosteroid, hipoglikemik agent.
3. Konsentrasi glukosa darah Diabetes Mellitus

Penyakit hati yang berat


4. Elektrokardiografi Penyakit jantung, hipertensi atau penyakit paru
kronik

Diabetes Mellitus
5. Chest X-ray Penyakit respirasi

Penyakit kardiovaskuler
6. Arterial blood gases Pasien sepsis

Penyakit paru

Pasien dengan kesulitan respirasi

Pasien obesitas
Pasien yang akan thorakotomi
7. Test fungsi paru Pasien yang akan operasi thorakotomi

Penyakit paru sedang sampai berat seperti COPD,


bronchiectasis
8. Skreen koagulasi Penyakit hematologic

Penyakit hati yang berat

Koagulopati

Terapi antikoagulan, misal: antikoagulan oral


(warfarin) atau heparin
9. Test fungsi hati Penyakit hepatobilier

Riwayat penyahgunaan alcohol

Tumor dengan metastase ke hepar


10. Tes fungsi thyroid Bedah thyroid

Riwayat penyakit thyroid

Curiga abnormalitas endokrin seperti tumor pituitari

Hasil pemeriksaan normal adalah valid selama periode waktu, jarak dari yang 1 minggu
(FBC, ureum, creatinin, konsentrasi elektrolit, glukosa darah), 1 bulan (ECG), sampai 6
bulan (chest X-ray). Pemeriksaan sebaiknya diulang dalam keadaan berikut;

 Timbul gejala seperti nyeri dada, diare, muntah


 Penilaian untuk efektivitas terapi seperti suplemen potassium untuk
hipokalemia, terapi insulin untuk hiperglikemia, dialysis untuk pasien dengan
gagal ginjal, produk darah untuk koreksi koagulopati.

3) Persiapan Alat

Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah:

a) Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan


b) Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya
c) Alat-alat resusitasi (STATICS)
d) Obat-obat anestesia yang diperlukan.
e) Obat-obat resusitasi, misalnya; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium
bikarbonat dan lain-lainnya.
f) Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.
g) Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG dipasang.
h) Alat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan indikasi, misalnya; “Pulse
Oxymeter” dan “Capnograf”.
i) Kartu catatan medic anestesia
j) Selimut penghangat khusus untuk bayi dan orang tua.

Komponen STATICS

Komponen STATICS
S Scope Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan
jantung. Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade)
yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup
terang.
T Tubes Pipa trakea, pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa
balon (cuffed) dan >5 tahun dengan balloon (cuffed).
A Airways Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau
pipa hidung-faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini
menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk
mengelakkan sumbatan jalan napas.
T Tapes Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau
tercabut.
I Introducer Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic
(kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu
supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
C Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anastesia.
S Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.
5. Premedikasi Anestesi

Premedikasi diberikan berdasarkan atas keadaan psikis dan fisiologis pasien


yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan demikian maka
pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu dengan
mempertimbangkan umur pasien, berat badan, status fisik, derajat kecemasan, riwayat
pemakaian obat anestesi sebelumnya, riwayat hospitalisasi sebelumnya, riwayat
penggunaan obat tertentu yang berpengaruh terhadap jalannya anestesi, perkiraan
lamanya operasi, macam operasi, dan rencana anestesi yang akan digunakan

Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun tujuan dari
premedikasi antara lain :

a. Memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.


b. Menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
c. Membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
d. Memberikan analgesia, misal : fentanyl, pethidin
e. Mencegah muntah, misal : droperidol, ondansentron
f. Memperlancar induksi, misal : pethidin
g. Mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
h. Menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : tracurium, sulfas
atropin.
i. Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan
hiosin.

Pada kasus ini digunakan obat premedikasi ondansentron 4 mg/i.v

Ondansetron merupakan obat selektif terhadap reseptor antagonis 5-


Hidroksi-Triptamin (5-HT3) di otak dan mungkin juga pada aferen vagal
saluran cerna. Di mana selektif dan kompetitif untuk mencegah mual dan
muntah setelah operasi dan radioterapi. Ondansentron memblok reseptor di
gastrointestinal dan area postrema di CNS (Philip et al., 2002). Ondansetron
dapat diberikan secara oral dan parenteral. Pada pemberian oral, dosis yang
diberikan adalah 4-8 mg/kgBB. Pada intravena diberikan dosis tunggal
ondansetron 0,1 mg/BB sebelum operasi atau bersamaan dengan induksi
(Goodman dan Gilman, 2001).

Pada pemberian oral, obat ini diabsorbsi secara cepat. Ondansetron di


eliminasi dengan cepat dari tubuh. Metabolisme obat ini terutama secara
hidroksilasi dan konjugasi dengan glukoronida atau sulfat di hati (Sulistia et al.,
2007). Pada disfungsi hati terjadi penurunan kadar plasma dan berpengaruh pada
dosis yang diberikan. Kadar serum dapat berubah pada pemberian bersama
fenitoin fenobarbital dan rifampin (Omoigui, 1997). Efek ondansetron terhadap
kardiovaskuler sampai batas 3 mg/kgBB masih aman, clearance ondansetron
pada wanita dan orang tua lebih lambat dan bioavailabilitasnya 60%, ikatan
dengan protein 70-76%, metabolisme di hepar, diekskresi melalui ginjal dan
waktu paruh 3,5-5,5 jam. Mula kerja kurang dari 30 menit, lama aksi 6-12 jam
(John, 2005; Pranowo, 2006; Kovac, 2000). Ondansetron adalah golongan
antagonis reseptor serotonin (5-HT3) merupakan obat yang selektif menghambat
ikatan serotonin dan reseptor 5-HT3. Obat-obat anestesi akan menyebabkan
pelepasan serotonin dari sel-sel mukosa enterochromafin dan dengan melalui
lintasan yang melibatkan 5-HT3 dapat merangsang area postrema menimbulkan
muntah. Pelepasan serotonin akan diikat reseptor 5-HT3 memacu aferen vagus
yang akan mengaktifkan refleks muntah. Serotonin juga dilepaskan akibat
manipulasi pembedahan atau iritasi usus yang merangsang distensi
gastrointestinal (Pranowo, 2006).

Efek antiemetik ondansetron terjadi melalui:

 Blokade sentral pada area postrema (CTZ) dan nukleus traktus solitarius melalui
kompetitif selektif di reseptor 5-HT3
 Memblok reseptor perifer pada ujung saraf vagus yaitu dengan menghambat
ikatan serotonin dengan reseptor pada ujung saraf vagus (White, 1999; Tong,
2003).

Ondansetron digunakan untuk pencegahan mual dan muntah yang


berhubungan dengan operasi dan pengobatan kanker dengan radioterapi dan
sitostatika. Ondansetron biasa diberikan secara oral dan intravena atau
intramuskuler. Awal kerja diberi 0,1-0,2 mg/kgBB secara perlahan melalui
intravena atau infus untuk 15 menit sebelum tindakan operasi. Dan disusul
pemberian oral dengan dosis 4-8 mg/kgBB tiap 12 jam selama 5 hari (Sulistia,
2007).

6. Intubasi Nasal

Suatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam trakea, sehingga jalan nafas
bebas hambatan dan nafas mudah dikendalikan.

Intubasi trakea bertujuan untuk :

a) Mempermudah pemberian anestesi.


b) Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas.
c) Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.
d) Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.
e) Pemakaian ventilasi yang lama.
f) Mengatasi obstruksi laring akut.
7. Induksi Anestesi

Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai tercapainya stadium


pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan tahap pemeliharaan anestesi untuk
mempertahankan atau memperdalam stadium anestesi setelah induksi.

Pada kasus ini digunakan obat induksi anestesi propofol 100 mg/i.v

Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat dalam air


dan emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur dan 2,25%
glyserol. Dosis yang dianjurkan 2,5 mg/kgBB untuk induksi tanpa premedikasi.
Propofol memiliki kecepatan onset yang sama dengan barbiturat intravena
lainnya, namun pemulihannya lebih cepat dan pasien dapat diambulasi lebih
cepat setelah anestesi umum. Selain itu, secara subjektif, pasien merasa lebih
baik setelah postoperasi karena propofol mengurangi mual dan muntah
postoperasi. Propofol digunakan baik sebagai induksi maupun mempertahankan
anestesi dan merupakan agen pilihan untuk operasi bagi pasien rawat jalan. Obat
ini juga efektif dalam menghasilkan sedasi berkepanjangan pada pasien dalam
keadaan kritis. Penggunaan propofol sebagai sedasi pada anak kecil yang sakit
berat (kritis) dapat memicu timbulnya asidosis berat dalam keadaan terdapat
infeksi pernapasan dan kemungkinan adanya skuele neurologik

. Pemberian propofol (2mg/kg) intravena menginduksi anestesi secara


cepat. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi jarang disertai
plebitis atau trombosis. Anestesi dapat dipertahankan dengan infus propofol
yang berkesinambungan dengan opiat, N2O dan/atau anestetik inhalasi lain.
Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang cukup berarti selama
induksi anestesi karena menurunnya resitensi arteri perifer dan venodilatasi.
Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira 80% tetapi efek ini
disebabkan karena vasodilatasi perifer daripada penurunan curah jantung.
Tekanan sistemik kembali normal dengan intubasi trakea.

Setelah pemberian propofol secara intravena, waktu paruh distribusinya


adalah 2-8 menit, dan waktu paruh redistribusinya kira-kira 30-60 menit.
Propofol cepat dimetabolisme di hati 10 kali lebih cepat daripada thiopenthal
pada tikus. Propofol diekskresikan ke dalam urin sebagai glukoronid dan sulfat
konjugat, dengan kurang dari 1% diekskresi dalam bentuk aslinya. Klirens tubuh
total anestesinya lebih besar daripada aliran darah hepatik, sehingga
eliminasinya melibatkan mekanisme ekstrahepatik selain metabolismenya oleh
enzim-enzim hati. Propofol dapat bermanfaat bagi pasien dengan gangguan
kemampuan dalam memetabolisme obat-obat anestesi sedati yang lainnya.
Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak, metabolisme
otak dan tekanan intrakranial akan menurun. Keuntungan propofol karena
bekerja lebih cepat dari tiopental dan konvulsi pasca operasi yang minimal.

Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini didistribusikan


cepat dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi sebagai akibat depresi
langsung pada otot jantung dan menurunnya tahanan vaskuler sistemik. Propofol
tidak mempunyai efek analgesik. Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih
sadar lebih cepat dan jarang terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang rendah
propofol memiliki efek antiemetik.

Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi


pernafasan, apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem
kardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi. Pada
susunan syaraf pusat adanya sakit kepala, pusing, euforia, kebingungan, dll.
Pada daerah penyuntikan dapat terjadi nyeri sehingga saat pemberian dapat
dicampurkan lidokain (20-50 mg).

8. Obat Pelumpuh Otot

Obat golongan ini menghambat transmisi neuromuscular sehingga menimbulkan


kelumpuhan pada otot rangka. Menurut mekanisme kerjanya, obat ini dibagi menjadi 2
golongan yaitu obat penghambat secara depolarisasi resisten, misalnya suksinil kolin,
dan obat penghambat kompetitif atau nondepolarisasi, misal kurarin.

Dalam anestesi umum, obat ini memudahkan dan mengurangi cedera tindakan
laringoskopi dan intubasi trakea, serta memberi relaksasi otot yang dibutuhkan dalam
pembedahan dan ventilasi kendali.

Obat pelumpuh otot yang digunakan dalam kasus ini adalah atracurium 20 mg/i.v

Atracurium merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relatif


baru yang mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman
Leontice leontopetaltum. Beberapa keunggulan atrakurium dibandingkan dengan
obat terdahulu antara lain adalah :

a) Metabolisme terjadi dalam darah (plasma) terutama melalui suatu reaksi


kimia unik yang disebut reaksi kimia hoffman. Reaksi ini tidak bergantung
pada fungsi hati dan ginjal.
b) Tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang.
c) Tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna.

Mula dan lama kerja atracurium bergantung pada dosis yang dipakai. Pada
umumnya mulai kerja atracurium pada dosis intubasi adalah 2-3 menit, sedang lama
kerja atracurium dengan dosis relaksasi 15-35 menit. Pemulihan fungsi saraf otot
dapat terjadi secara spontan (sesudah lama kerja obat berakhir) atau dibantu dengan
pemberian antikolinesterase. Nampaknya atracurium dapat menjadi obat terpilih
untuk pasien geriatrik atau pasien dengan penyakit jantung dan ginjal yang berat.
Kemasan dibuat dalam 1 ampul berisi 5 ml yang mengandung 50 mg
atracurium besilat. Stabilitas larutan sangat bergantung pada penyimpanan pada
suhu dingin dan perlindungan terhadap penyinaran.

 Dosis intubasi : 0,5 – 0,6 mg/kgBB/iv


 Dosis relaksasi otot : 0,5 – 0,6 mg/kgBB/iv
 Dosis pemeliharaan : 0,1 – 0,2 mg/kgBB/ iv
9. Pemeliharaan Anestesi
1) Nitrous Oksida (N2O)
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif,
tidak berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak, dan tidak
bereaksi dengan soda lime absorber (pengikat CO 2). Mempunyai sifat anestesi
yang kurang kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas
ini tidak larut dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh
karena itu pada operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan zat
relaksasi otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas
terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena Nitrous Oksida mendesak
oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh. Hipoksi difusi dapat dicegah dengan
pemberian oksigen konsentrasi tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai.
Penggunaan biasanya dipakai perbandingan atau kombinasi dengan oksigen.
Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 adalah
sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%
2) Sevoflurane
Merupakan gas anestesi halogenasi eter, dikemas dalam bentuk cairan,
tidak berwarna, tidak eksplosif, tidak berbau, dan tidak iritatif sehingga baik
untuk induksi inhalasi. Proses induksi dan pemulihannya paling cepat dari
semua obat-obatan anestesi inhalasi yang ada pada saat ini. Penggunaan untuk
pemeliharaan sekitar 1 – 2%.
3) Isoflurane
Merupakan gas anestesi halogenasieter, dikemas dalam bentuk cairan,
tidak berwarna, tidak eksplosif, tidak mengandung pengawet, dan relatif tidak
larut dalam darah tapi cukup iritatif terhadap jalan nafas sehingga dapat
menimbulkan batuk. Penggunaan gas ini untuk pemeliharaan 0.5 – 2.5%.
4) Monitoring IntraOperasi
Hal-hal yang perlu dimonitor ketika durante operasi, antara lain :
a) Tekanan Darah
b) Frekuensi Nadi
c) SpO2
d) Intake dan output cairan
e) Jumlah Perdarahan

10. Terapi Cairan

Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati jumlah
dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk :

a) Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi.
b) Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang diberikan.

Pemberian cairan operasi dibagi menjadi 3, yaitu:

1) Pra operasi

Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah, penghisapan
isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada ileus obstruktif,
perdarahan, luka bakar dan lainlain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam
adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan
bertambah 10-15 %.

2) Selama operasi

Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan pada
dewasa untuk operasi :

 Ringan = 4 ml/kgBB/jam.
 Sedang = 6 ml/kgBB/jam
 Berat = 8 ml/kgBB/jam.
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari 10 %
EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid. Apabila perdarahan lebih dari 10
% maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran.

3) Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan selama
operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.

11. Pemulihan

Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi
yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan untuk
observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar merupakan batu loncatan
sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di
ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari
komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.

Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan perlu
dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan pembedahan. Beberapa
cara skoring yang biasa dipakai untuk anestesi umum yaitu cara Aldrete dan Steward,
dimana cara Steward mula-mula diterapkan untuk pasien anak-anak, tetapi sekarang
sangat luas pemakaiannya, termasuk untuk orang dewasa. Sedangkan untuk regional
anestesi digunakan skor Bromage.

Aldrete Scoring System

No. Kriteria Skor


Aktivitas  Mampu menggerakkan ke-4  2
ekstremitas atas perintah atau secara
motorik
sadar.
 1
 Mampu menggerakkan 2 ekstremitas
atas perintah atau secara sadar.  0
 Tidak mampu menggerakkan
ekstremitas atas perintah atau secara
sadar.
Respirasi  Nafas adekuat dan dapat batuk  2
 Nafas kurang adekuat / distress /  1
hipoventilasi
 Apneu/tidak bernafas
 0
Sirkulasi  Tekanan darah berbeda ± 20% dari  2
semula
 Tekanan darah berbeda ± 20-50%
 1
dari semula
 Tekanan darah berbeda >50% dari
 0
semula
Kesadaran  Sadar penuh  2
 Bangun jika dipanggil  1
 Tidak ada respon atau belum sadar  0
Warna kulit  Kemerahan atau seperti semula  2
 Pucat  1
 Sianosis  0
Aldrete score ≥ 8, tanpa nilai 0, maka dapat dipindah ke ruang perawatan.

Steward Scoring System

No. Kriteria Skor


1. Kesadaran  Bangun  2
 Respon terhadap stimuli  1
 Tak ada respon  0
2. Jalan napas  Batuk atas perintah atau  2
menangis
 Mempertahankan jalan
 1
nafas dengan baik
 Perlu bantuan untuk
mempertahankan jalan nafas  0
3. Gerakan  Menggerakkan anggota  2
badan dengan tujuan
 Gerakan tanpa maksud
 1
 Tidak bergerak
 0
Steward score ≥5 boleh dipindah ruangan.
BAB III
TINJAUAN KASUS
A. Pengkajian
Hari / tanggal : Selasa, 3 November 2020
Jam : 09.30 WIB
Tempat : RS X
Metode : Wawancara, observasi, pemeriksaan fisik, studi dokumen
Sumber data : Pasien, petugas kesehatan, rekam medik pasien
Oleh : Perawat A

1. Identitas Pasien
Nama : Tn. S
Umur : 51 Tahun
Jenis Kelamin : Lelaki
Agama : Islam
Status Pernikahan : Menikah
Alamat : Yogyakarta
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Wiraswsta
Diagnosis Medis : Cholelitiasis
Rencana Tindakan : Laparascopy
Dokter Bedah : dr. B, Sp.B.
Dokter Anestesi : dr. M, Sp.An.
No. Rekam Medis : 8742**
TAHAP PRE ANESTESI

1. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama
Pasien mengeluh perut nyeri, semakin nyeri untuk beraktivitas (P), nyeri
seperti diremas remas (Q), tidak menjalar (R), skala 6 (S), nyeri hilang
timbul (T). Pasien nampak menyeringai menahan nyeri.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengatakan nyeri perut sejak 1 hari yang lalu.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengatakan belum pernah menjalani operasi sebelumnya, memiliki
riwayat hipertensi dengan pengobatan rutin. Pasien juga memiliki riwayat
TB dengan pengobatan rutin 6 bulan di tahun 2019.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengatakan memiliki riwayat hipertensi dalam keluarganya.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum dan Tanda-Tanda Vital
Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4 M6 V5
Tekanan Darah : 146/77 mmHg
Heart Rate : 118 x/menit
Respiration Rate : 18 x/menit
Suhu : 36,6ºC
SpO2 : 100%
b. Antropometri
Berat Badan : 95 kg
Tinggi Badan : 158 cm
c. Status Generalis
1) Kepala : bentuk mesocepal, tidak ada benjolan
2) Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
3) Telinga : pendengaran baik, tidak terdapat serumen
4) Hidung : tidak ada sekret
5) Mulut : tidak memakai gigi palsu, tidak ada gigi goyang, tidak
memakai kawat gigi, malampati I, dapat membuka mulut
6) Wajah : tidak ada lesi
7) Leher : gerak leher bebas, leher pendek dan berlemak, tidak
terdapat peningkatan vena jugularis, tidak terdapat pembesaran kelenjar
tiroid
8) Kulit : turgor kulit baik
9) Thoraks
(a) Paru-Paru
Inspeksi : pengembangan paru kanan dan kiri sama
Palpasi : Fremitus raba kanan kiri sama
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Suara napas vesicular +/+, wheezing -/-, ronckhi -/-
(b) Jantung
Inspeksi : tidak ada kelainan
Palpasi : tidak ada kelainan
Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi :Bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, mur-mur (-)
10) Abdomen
Inspeksi : tidak ada benjolan, lesi, bentuk cembung
Auskultasi : bunyi usus normal
Perkusi : timpani
Palpasi : nyeri tekan (+)
11) Genitalia : terpasang DC
12) Ekstremitas
(a) Atas
Tidak ada edema, terpasang infus makro, cairan ringer laktat di
tangan kiri, tetesan lancar
(b) Bawah
Tidak ada edema
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium :
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal

HEMATOLOGI

Eritrosit (RBC) 4,1 10^6/uL 3,80-5,20

Hemoglobin L 11,6 g/dL 11,7-15,5


(HBG)
Hematokrit (HCT) L 34 % 35-47

Trombosit (PLT) 232 10^3/uL 150-400

Leukosit (WBC) 6,1 10^3/uL 3,6-11,0

PROFIL CT/BT

Masa Pembekuan/CT 4.00 menit 3-6

Masa pendarahan/BT 2.30 menit 1-3

4. Kesimpulan : Status Fisik ASA II dengan Hipertensi


5. Rencana Anestesi: General Anestesi dengan Endotracheal Tube (ETT)
6. Konversi : Tidak ada
7. Persiapan Pasien
a) Mengecek kelengkapan status Pasien
b) Mengklarifikasi lama pasien puasa
c) Memposisikan pasien
d) Mengukur tanda-tanda vital
e) Mengklarifikasi riwayat asma, diabetes mellitus, hipertensi, dan alergi
8. Persiapan Mesin
a) Mengecek sumber gas
b) Mengecek isi volatil agent
c) Mengecek kondisi absoben
d) Melakukan kalibrasi mesin anestesi

9. Persiapan Alat :
a) S (Scope) : Laryngoscope dan stesoscope
b) T (Tube) : Endotracheal Tube (ETT) No. 6,5; 7,0; 7,5
c) A (Airway) : Oropharyngeal Airway, nasal kanul
d) T (Tape) : Plester/hepafix ± 20 cm 2 lembar
e) I (Introducer) : Mandril atau stilet
f) C (Conector)
g) S (Suction) : Mesin dan selang suction
h) Spuit 3 ml, 5ml, 10ml, 20 ml
i) Transfusi set
j) Abocath no 18
k) Elektroda EKG
10. Persiapan obat
a) Obat Premedikasi
-Dexketoprofen 50 mg/i.v
-Ondansentron 4 mg/i.v
b) Obat Induksi
Propofol 100 mg/i.v
c) Obat Analgetik
-Fentanyl 100 mcg/i.v
-Tramadol 100 mg/i.v
d) Obat Pelumpuh otot
Atracarium 20 mg/i.v
e) Obat Emegency
-
11. Persiapan Cairan
a) Cairan Kristaloid : Ringer Laktat 500 ml
b) Cairan Koloid :-
12. Pelaksanaan Anestesi
a. Pasien tiba di ruang penerimaan IBS pukul 09.30 WIB
b. Serah terima pasien dengan petugas ruangan, memeriksa status pasien
termasuk informed consent, dan obat-obatan yang telah diberikan di ruang
perawatan
c. Memindahkan pasien ke brankar IBS
d. Memperkenalkan diri kepada Pasien, mengecek ulang identitas pasien,
nama, alamat, dan menanyakan ulang puasa makan dan minum, dan alergi,
serta berat badan saat ini
e. Memeriksa kelancaran infus dan alat kesehatan yang terpasang pada Pasien
f. Menanyakan keluhan pasien saat di ruang penerimaan IBS
g. Melaporkan kepada dokter anestesi hasil pemeriksaan di ruang penerimaan
dari kolaborasi dengan dokter anestesi pasien dipindahkan ke meja operasi

ANALISIS DATA
No. Data Masalah Penyebab

1. DS : Nyeri Akut Agen cedera Biologis

Tn. S mengeluh perut nyeri,


semakin nyeri untuk
beraktivitas (P), nyeri
seperti diremas remas (Q),
tidak menjalar (R), skala 6
(S), nyeri hilang timbul (T).

DO :

Pasien nampak menyeringai


menahan nyeri

TD :146/77 mmHg
Heart Rate : 118 x/menit
Respiration Rate : 18
x/menit
2. DS : Tn. S Belum pernah Ansietas Stressor Operasi
menjalani operasi
sebelumnya
DO : -

B. Diagnosis dan Perencanaan


No. Diagnosis Keperawatan Tujuan Perencanaan Tindakan
Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan NOC I : Kontrol NIC I : Manajemen Nyeri
dengan Agen cedera Nyeri
Aktivitas
Biologis
Kriteria Hasil :
1. Lakukan pengkajian nyeri
1. Mengetahui faktor secara menyeluruh meliputi
penyebabnyeri lokasi, durasi,kualitas,
keparahan nyeri dan
2.Mengetahui
faktor pencetus nyeri.
permulaan terjadinya
nyeri 2. Observasi
ketidaknyamanan
3.Menggunakan
nonverbal.
tindakan pencegahan
3. Ajarkan untuk teknik
4. Melaporkan gejala
nonfarmakologi
5. Melaporkan kontrol misalrelaksasi,
nyeri  guideimajeri, terapi

NOC II:Tingkat Nyeri musik,distraksi.

Kriteria Hasil : 4. Kendalikan faktor


lingkungan yangdapat
1. Melaporkan nyeri
mempengaruhi respon
berkurangatau hilang
pasien terhadap
2. Frekuensi nyeri ketidaknyamanan misal
berkurang suhu,lingkungan, cahaya,
kegaduhan.
3. Lamanya nyeri
berlangsung 5. Kolaborasi : pemberian
Analgetiksesuai indikasi
4. Ekspresi wajah saat
nyeri5. Posisi tubuh NIC II : Manajemen
melindungi Analgetik
Skala Penilaian NOC: Aktivitas

1. Tidak pernah 1. Tentukan


dilakukan lokasi,karakteristik,
kualitasdan tingkat
2. Jarang dilakukan
nyerisebelum
3. Kadang dilakukan mengobati pasien.

4. Sering dilakukan 2. Cek obat meliputi jenis,

5. Selalu dilakukan dosis, danfrekuensi


pemberian analgetik.

3. Tentukan jenis analgetik (


Narkotik, Non-Narkotik)
disamping tipe dan tingkat
nyeri.

4. Tentukan Analgetikyang
tepat, cara pemberian
dandosisnya secara tepat.

5. Monitor tanda- tanda
vital sebelum dan setelah
pemberian analgetik

.
2. Cemas berdasarkan Setelah dilakukan - Kaji tingkat kecemasan
kurang pengetahuan keperawatan cemas - Orientasikan dengan tim
masalah berkurang/hilang anestesi/kamar operasi
pembiusan/operasi - Pasien menyatakan - Jelaskan jenis prosedur
tahu tentang proses tindakan anestesi yang
kerja obat akan dilakukan
- Pasien menyatakan - Beri dorongan pasien
siap dilakukan untuk menggungkapkan
pembiusan perasaan
-Pasien - Dampingi pasien untuk
mengkomunikasikan mengurangi rasa cemas
perasaan negative - Ajarkan teknik relaksasi
secara tepat - Kolaborasi untuk
- Pasien tampak pemberian obat penenang
tenang dan kooperatif
- Tanda-Tanda vital
normal
TAHAP INTRA ANESTESI
1. Jenis Pembedahan : Cholilestasis dengan laparoscopy
2. Jenis Anestesi : General anestesi
3. Teknik Anestesi : Intubasi Endotracheal Tube (ETT) No. 7,,5
4. Mulai Anestesi : Pukul 10.00 WIB
5. Mulai Operasi : Pukul 10.15 WIB
6. Posisi : Supine
7. Obat-Obatan
a. Premedikasi : Ondansetron 4 mg/i.v, Tramadol 100 mg/i.v,
Dexketoprofen 50 mg/i.v
b. Analgetik Narkotik : Fentanyl 100 mcg/i.v
c. Induksi : Propofol 130 mg/i.v
d. Pelumpuh Otot : Atracurium 20 mg/i.v
e. Medikasi Tambahan : Atracurium 10 mg/i.v/ 20 menit
9. Maintenance : sevoflurane 2 cc vol%, N2O : O2 (1 lpm : 1 lpm)
10. Respirasi : Kontrol Ventilator
11. Cairan Durante Operasi : Ringer Laktat 500 ml
12. Estimasi Perdarahan : ± 100 ml

13. Urin Output : 150 ml


14. Selesai Operasi : 12.15 WIB
15. Selesai Anestesi : 12.30 WIB

A. Monitoring Intra Anestesi

Saturasi
Tekanan Heart
Oksigen RR
Pukul Tindakan Darah Rate
SpO2 (x/menit)
(mmHg) (x/menit)
(%)
09.50  Memindahkan pasien ke meja 141/78 83 100 16
operasi dan memposisikan
supine
 Memasang manset, finger
sensor
09.55  Memberikan injeksi obat 144/76 87 100 16
premedikasi : Ondansentron 4
mg/i.v, Dexketoprofen 50
mg/i.v dan obat analgetik
Tramadol 100 mg/i.v, Fentanyl
100 mcg/i.v
10.00  Memberikan injeksi obat 151/84 83 100 16
induksi : Propofol 100 mg/i.v
dan obat pelumpuh otot :
Atracurium 20 mg/i.v
 Mengganjal bahu pasien
 Memberikan oksigenasi O2
100% 2 lpm melalui facemask
 Memberikan agent anestesi :
sevoflurane 3 cc vol%
10.02  Pasien tersedasi, reflek bulu 151/84 81 95
mata -/-
 Mengintubasi ETT No. 7,5
10.05  Memasang OPA 151/84 81 100 16
 Mengubah N2O:O2 (1 lpm :
1lpm)
 Mengatur pernapasan
menggunakan mesin anestesi
mode ventilator kontrol
10.10 Memantau tanda-tanda vital 144/81 82 100
10.15 Time out, Operasi dimulai 137/79 78 100 16
10.20  Maintenance agent anestesi 121/83 72 100 16
sevoflurane 2 cc vol%
10.25 Memantau tanda-tanda vital 127/82 76 100 16
10.30 Memantau tanda-tanda vital 125/80 79 100 16
10.35 Memantau tanda-tanda vital 122/83 81 100 16
10.40 Memantau tanda-tanda vital 118/76 83 100 16
10.45 Memantau tanda-tanda vital 118/81 87 100 16
10.50 Memantau tanda-tanda vital 116/73 87 100 16
10.55  Memberikan injeksi obat 110/68 74 98 16
pelumpuh otot : Atracurium 10
mg/i.v
11.00 Memantau tanda-tanda vital 112/65 77 99 16
11.05 Memantau tanda-tanda vital 117/74 81 99 16
11.10 Memantau tanda-tanda vital 118/78 80 99 16
11.15  Memberikan injeksi obat 110/68 80 98 16
pelumpuh otot : Atracurium 10
mg/i.v
11.20 Memantau tanda-tanda vital 117/71 81 99 16
11.25 Memantau tanda-tanda vital 114/68 85 99 16
11.30 Memantau tanda-tanda vital 119/77 82 99 16
11.35  Memberikan injeksi obat 113/72 79 98 16
pelumpuh otot : Atracurium 10
mg/i.v
11.40 Memantau tanda-tanda vital 116/82 80 99 16
11.45 Memantau tanda-tanda vital 119/86 78 99 16
11.50 Memantau tanda-tanda vital 118/83 82 100 16
11.55 Memantau tanda-tanda vital 122/86 87 100 16
12.00  Sign Out, dilakukan penutupan 121/82 84 100 16
area operasi
12.05 Memantau tanda-tanda vital 120/80 81 100 16
12.10 Memantau tanda-tanda vital 118/79 83 100 16
12.15  Operasi selesai 123/83 88 99 16
 Mengubah mode ventilator
menjadi manual spontan
 Menghentikan pemberian
saevofluran dan N2O
 Memberikan oksigenasi 100 %
O2 3 lpm
12.20  Melakukan suction 122/84 86 95 16
12.25  Pernapasan spontan 127/81 89 98 16
 Mengekstubasi ETT dalam
keadaan pengaruh anestesi
(dalam)
 Memberikan oksigenasi O2
100 % 3 lpm menggunakan
facemask
12.30  Merangsang respon pasien : 131/87 84 99 16
pasien respon terhadap
rangsangan panggilan
 Melepas OPA
 Memindahkan pasien ke ruang
pemulihan

ANALISIS DATA

No. Data Masalah Penyebab


Intra Anestesi
1. DS : - Resiko Perdarahan Prosedur Pembedahan

DO :

- Perdarahan ± 100 ml
- Penyakit penyerta
hipertensi

DS : - Resiko Aspirasi Prosedur Pembiusan


DO :
- Terpasang ETT ukuran
7.5
- Dibawah pengaruh obat
anestesi general

B. Diagnosis dan Perencanaan

No. Diagnosis Keperawatan Tujuan Perencanaan Tindakan


Keperawatan
1. Risiko Pendarahan NOC NIC
- Monitor ketat tanda tanda
- Blood
perdarahan
koagulation
- Monitor vital sign
- Blood lose - Identifikasi penyebab
severity pendarahan

Kriterial hasil : - Monitor status cairan


- Tidak ada yang meliputi intake da
hematuria dan output
hematemesisi - Instruksi pasien untuk
membatasi aktivitas
- Kehilangan darah
yang terlihat

- Tekanan darah
dalam batas
normal sistol dan
diastole

- Plasma,PT,PTT
dalam batas
normal

2. Resiko Aspirasi b/d Setelah dilakukan - Atur posisi pasien


penurunan tingkat keperawatan tidak - Pantau tanda-tanda
kesadaran akan terjadi aspirasi aspirasi
yang dibuktikan - Pantau tingkat
dengan kemampuan kesadaran : reflek batuk,
kognitif dan status reflek muntah,
neurologis yang tidak kemampuan menelan
berbahaya - Pantau status paru

- Mampu menelan - Bersihkan jalan napas


- Kolaborasi dengan
- Bunyi paru yang
dokter
bersih

- Tonus otot yang


adekuat
TAHAP POST ANESTESI
A. Pengkajian
1. Identitas Pasien
Nama : Tn.S
Umur : 51 tahun
Tanggal : 11 Maret 2020
Pukul : 12.35 WIB
2. Keadaan Umum
- Pasien dalam keadaan lemas
- Pasien belum sadar penuh (kesadaran apatis)
- Pernapasan spontan
- Terpasang nasal kanul O2 2 liter per menit
- Tangan kanan terpasang infus RL 20 tetes per menit
3. Monitoring Post Anestesi
Saturasi
Tekanan Heart
Oksigen RR
Pukul Tindakan Darah Rate
SpO2 (x/menit)
(mmHg) (x/menit)
(%)
12.40 Memantau tanda-tanda vital 118/77 83 98 18
12.45 Memantau tanda-tanda vital 114/72 87 99 18
12.50 Memantau tanda-tanda vital 116/73 89 99 18

4. Penilaian Aldrette Skor


Waktu
Parameter Skor
5’ 10’ 15’ 30’
Tekanan darah menyimpang <20% dari normal 2 V V V
Sirkulasi Tekanan darah menyimpang 20%-50% dari normal 1
Tekanan darah menyimpang >50% dari normal 0
Sadar penuh 2 V
Kesadaran Respon terhadap panggilan 1 V V
Tidak ada respon 0
SpO2 >92% (dengan udara bebas) 2 V V V
Oksigenasi SpO2 >90% (dengan suplemen oksigen) 1
SpO2 <90% (dengan suplemen oksigen) 0
Bisa tarik napas dalam dan batuk bebas 2 V V V
Pernapasan Dispneu atau limitasi bernapas 1
Apneu/ Tidak bernapas 0
Menggerakkan 4 ekstrimitas 2 V V
Aktivitas Menggerakkan 2 ekstrimitas 1 V
Tidak mampu menggerakkan ekstrimitas 0
Total skor 8 9 10

ANALISIS DATA
No. Data Masalah Penyebab
Post Anestesi
1. DS : - Risiko Kecelakaan Efek Obat Anestesi
cedera Umum
DO :

Pasien dalam keadaan


lemas, pasien belum sadar
sepenuhnya (kesadaran
apatis)

2. DS : - Resiko Infeksi Prosedur Pembedahan

DO :

- Pembedahan
Laparoscopy
- Terpasang ETT

B. Diagnosis dan Perencanaan Keperawatan

No. Diagnosis Tujuan Perencanaan Tindakan


Keperawatan Keperawatan
1. Risiko kecelakaan Pasien aman selama - Tingkat keamanan dan
cedera berdasarkan efek dan setelah pembiusan : ketajaman
anestesi umum - Jaga posisi imobil
- Pasien sadar setelah
- Ubah tempat atau tubuh
anestesi (AS=8-10)
pasien untuk
- Kemampuan untuk meningkatkan fungsi
melakukan gerakan fisiologis dan psikologis
yang bertujuan - Cegah risiko injuri jatuh
- Pasang pengaman
- Kemampuan untuk
tempat tidur
bergerak atau
- Pantau penggunaan obat
berkomunikasi
anestesi dan efek yang
- Pasien aman tidak timbul.
jatuh

2. Risiko infeksi b.d NOC yang disarankan : NIC yang disarankan :


prosedur
Setelah dilakukan - Monitor tanda dan
pembedahan
tindakan keperawatan gejala infeksi sistemik
Risiko infeksi teratasi dan local
dengan kriteria:
- Monitor hasil angka
Klien terbebas dari
leukosit dan hasil lab
tanda dan gejala
lainnya
infeksi
- Batasi pengunjung
- Pertahankan teknik
aseptik pada pasien
yang beresiko
- Inspeksi kulit dan
membran mukosa akan
adanyakemerahan &
hangat& atau drainage
- Inspeksi kondisi luka
operasi
- Ajarkan pasien dan
keluarga tentang tanda-
tanda infeksi dan
melaporkannya pada
petugas kesehatan
- Ajarkan pasien dan
keluarga tentang cara
untukmenghindari
infeksi

Anda mungkin juga menyukai