Anda di halaman 1dari 43

ASUHAN KEPERAWATAN PERIANESTESI

REGIONAL ANESTESI SUB ARACHNOID BLOCK


PADA Ny. F DENGAN SECTIO CAESAREA DI IBS RSUD AMBARAWA

Disusun untuk Memenuhi Tugas Praktik Klinik Keperawatan Anestesi IV

Disusun oleh :

1. Eka Putri Arthaningsih F. (P07120214007)


2. Mona Indah Muntholib (P07120214021)
3. Tegar Khusnul Qotimah (P07120214036)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN YOGYAKARTA
JURUSAN KEPERAWATAN
2018
LEMBAR PENGESAHAN

ASUHAN KEPERAWATAN PERIANESTESI


REGIONAL ANESTESI SUB ARACHNOID BLOCK
PADA Ny. F DENGAN SECTIO CAESAREA DI IBS RSUD AMBARAWA

Disusun oleh :

4. Eka Putri Arthaningsih F. (P07120214007)


5. Mona Indah Muntholib (P07120214021)
6. Tegar Khusnul Qotimah (P07120214036)

Telah diperiksa dan disetujui pada: April 2018

Mengetahui,

Pembimbing Lapangan Pembimbing Akademik

Evi Notanubun Ida Mardalena, S.Kep, Ns., M.Si


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Anestesi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan rasa sakit ketika
dilakukan pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa sakit
pada tubuh (Majid dkk, 2011). Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada
suatu operasi terdapat beberapa tahap harus dilaksanakan yaitu pra anestesi yang
terdiri dari persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi, menentukan
prognosis dan persiapan pada hari operasi. Tahap penatalaksanaan anestesi yang
terdiri dari Premedikasi, masa anestesi, dan pemeliharaan, Serta tahap pemulihan
dan perawatan post anestesi.
Salah satu konsep pelayanan kesehatan modern yang berkembang saat ini
adalah bentuk pelayanan di bidang medis, yang mempunyai kaitan erat dengan
penggunaan peralatan dan pemanfaatan teknologi dalam pelaksanaannya, misalnya
Anestesia. Pemberian anestesi dilakukan sebagai upaya untuk menghilangkan nyeri
dengan sadar (regional anestesi) atau tanpa sadar (general anestesi) guna
menciptakan kondisi optimal bagi pelaksanaan pembedahan (Soenarjo & Jatmiko,
2010; Sabiston, 2011). Penggunaan teknik regional anestesi masih menjadi pilihan
untuk bedah sesar, operasi daerah abdomen, dan ekstermitas bagian bawah karena
teknik ini membuat pasien tetap dalam keadaan sadar sehingga masa pulih lebih
cepat dan dapat dimobilisasi lebih cepat (Marwoto & Primatika, 2013).
Pelayanan kesehatan merupakan indikator yang sangat penting untuk
pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang menyeluruh dan optimal. Salah satu
indikator utama derajat kesehatan suatu negara adalah Angka Kematian Ibu (AKI).
Angka Kematian Ibu adalah jumlah wanita yang meninggal mulai dari saat hamil
hingga 6 minggu setelah persalinan per 100.000 persalinan. Kematian Maternal
dijadikan ukuran keberhasilan terhadap pencapaian target MDGs-5, yaitu penurunan
75 % rasio kematian maternal. Di negara-negara sedang berkembang frekuensi
dilaporkan berkisar antara 0,3% – 0,7 %, sedangkan di negara – negara maju angka
tersebut lebih kecil yaitu 0,05 % – 0,1 %. (Adriaansz. G. 2006).
Sectio caesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan
membuka dinding perut dan dinding uterus (Sarwono, 2009). Istilah sectio caesarea
berasal dari kata latin caedere yang artinya memotong, pengertian ini semula
dijumpai dalam Roman Law (Lex Regia) dan emperior’s Law (Lex Caesarea) yaitu
undang-undang yang menghendaki supaya janin dalam kandungan ibu-ibu yang
meninggal harus dikeluarkan dari dalam rahim.
Seperti yang diketahui bahwa sectio caesarea adalah suatu persalinan buatan,
dimana janin dilahirkan emalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim
dengan syarat dalam keadaan utuh dan berat rahim diatas 500 gram (Saifudin, 2002).
Melahirkan dengan sectio caesarea seharusnya dilakukan dengan jalan operasi.
Indikasi meds ada dua faktor yang mempengaruhi yaitu faktor janin dan faktor ibu.
Faktor janin terdiri dari bayi terlalu besar, kelainan letak, ancaman gawat janin,
janin abnormal, faktor plasenta, kelainan tali pusat dan bayi kembar, sedangkan
faktor ibu tediri dari usia, jumlah anak yang dilahirkan (paritas), tulang panggul,
riwayat persalinan yang lalu dengan sectio caesarea.

B. Rumusan Masalah
Pada bagian ini, penulis mengambil kasus pada pasien pada pasien Ny. F
dengan diagnosa medis G2P1A0 dengan Serotinus 40 minggu yang akan di lakukan
tindakan sectio caesaria di Instalasi Bedah Sentral (IBS) RSUD Ambarawa.

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum penulisan asuhan keperawatan anestesi ini adalah untuk
mendapatkan pengalaman yang nyata dalam memberikan asuhan keperawatan
anestesi mulai dari pre operasi, intra operasi atau durante operasi dan post
operasi, pada klien yang dilakukan sectio caesaria dengan regional anestesi sub
arachnoid block.
2. Tujuan Khusus
a. Memberikan gambaran mengenai pengkajian asuhan keperawatan
perianestesia pada pasien sectio caesaria dengan regional anestesi sub
arachnoid block.
b. Memberikan gambaran mengenai diagnosa keperawatan yang timbul pada
asuhan keperawatan perianestesia pada pasien sectio caesaria dengan
regional anestesi sub arachnoid block.
c. Memberikan gambaran mengenai perencanaan keperawatan pada asuhan
keperawatan perianestesia pada pasien sectio caesaria dengan regional
anestesi sub arachnoid block.
d. Memberikan gambaran mengenai implementasi keperawatan pada asuhan
keperawatan perianestesia pada pasien sectio caesaria dengan regional
anestesi sub arachnoid block.
e. Memberikan gambaran mengenai evaluasi keperawatan pada asuhan
keperawatan perianestesia pada pasien sectio caesaria dengan regional
anestesi sub arachnoid block.

D. Waktu dan Tempat


Pelaksanaan kegiatan asuhan keperawatan perianestesi dilakukan pada
tanggal 17 April 2018, tempat pelaksanaan asuhan keperawatan perianestesi di
lakukan di Instalasi Bedah Sentral ( IBS ) RSUD Ambarawa.
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Konsep Teori Subarachniod Blok (SAB)


1. Pengertian
Spinal anestesi atau Subarachniod Blok (SAB) adalah salah satu teknik
anestesi regional yang dilakukan dengan cara menyuntikkan obat anestesi lokal
ke dalam ruang subarachnoid untuk mendapatkan analgesi setinggi dermatom
tertentu dan relaksasi otot rangka. Untuk dapat memahami spinal anestesi yang
menghasilkan blok simpatis, blok sensoris dan blok motoris maka perlu
diketahui neurofisiologi saraf, mekanisme kerja obat anestesi lokal pada SAB
dan komplikasi yang dapat ditimbulkannya. Derajat anestesi yang dicapai
tergantung dari tinggi rendah lokasi penyuntikan, untuk mendapatkan blockade
sensoris yang luas, obat harus berdifusi ke atas, dan hal ini tergantung banyak
faktor antara lain posisi pasien selama dan setelah penyuntikan, barisitas dan
berat jenis obat. (Gwinnutt, 2011).
2. Indikasi (Pramono, 2016)
a. Bedah ekstremitas bawah
b. Bedah panggul
c. Tindakan sekitar rektum-perinium
d. Bedah obstetri-ginekologi
e. Bedah urologi
f. Bedah abdomen bawah
g. Pada bedah abdomen atas dan bedah anak biasanya dikombinasikan dengan
anestesi umum ringan
3. Kontra Indikasi (Latief, 2010)
a. Absolut
1) Pasien menolak
2) Infeksi tempat suntikan
3) Hipovolemik berat, syok
4) Gangguan pembekuan darah, mendapat terapi antikoagulan
5) Tekanan intracranial yang meninggi
6) Hipotensi, blok simpatik menghilangkan mekanisme kompensasi
7) Fasilitas resusitasi minimal atau tidak memadai
b. Relatif
1) Infeksi sistemik (sepsis atau bakterimia)
2) Kelainan neurologis
3) Kelainan psikis
4) Pembedahan dengan waktu lama
5) Penyakit jantung
6) Nyeri punggung
7) Anak-anak karena kurang kooperatif dan takut rasa baal
4. Teknik anestesi spinal
Anestesi spinal kebanyakan menggunakan blokade sentral, seperti pada
operasi seksio sesaria, hernia dan operasi ortopedi daerah perut ke bawah. Obat
analgetik berupa anestetik lokal seperti bupivakain dan lidokain diberikan
melalui ruang subaraknoid di kolomna vertebralis. Anatomi tulang punggung
dapat digambarkan sebagai berikut:
a. 7 vertebra servikalis
b. 12 vertebra torakalis
c. 5 vertebra lumbal
d. 5 vertebra sacral
e. 4-5 vertebra koksigeal
Sebagai titik acuan (landmark), dipakai garis lurus yang menghubungkan
kedua krista iliaka tertinggi yang akan memotong prosesus spinosus vertebra
L4 atau antara L4-L5. Medulla spinalis diperdarahi oleh arteri spinalis anterior
dan arteri spinalis posterior. Medulla spinalis dikelilingi oleh cairan
serebrospinalis dan di bungkus meningen (durameter, lemak dan pleksus
venosus). Pada orang dewasa, medulla spinalis berakhir setinggi L1, sementara
pada anak L2 dan pada bayi L3 sakus.
5. Penatalaksanaan anestesi dan reaminasi (Mangku & Senapathi, 2010)
a. Evaluasi
1) Penliaian status pasien
2) Evaluasi pemeriksaan fisik dan penujang
3) Evaluasi khusus terhadap fungsi parum, kardiovaskuler dan saraf otot
berkaitan dengan usia dan rencana anestesi blok spinal.
b. Persiapan praoperatif
1) Persiapan rutin
2) Persiapan khusus : donor darah dan kanulasi vena sentral untuk
memantau intoksikasi air (dilakukan pada kasus resiko tinggi terjadinya
penyulit payah jantung kongestif)
c. Premedikasi
Tidak diberikan premedikasi
d. Pemantauan selama anestesi
Pemantauan rutin sesuai dengan standar pemantauan dasar intra operatif.
Pemantauan khusus terhadap kasus reseksi trans-uretrae disertai dengan
resiko tinggi payah jantung dilakukan pemantauan tekanan vena sentral,
pemeriksaan kadar natrium plasma, pemeriksaan Hb dan Ht.
e. Terapi cairan dan transfusi darah
Perdarahan <20% dari perkiraan volume darah pasien berikan cairan
pengganti kristaloid atau koloid, tetapi apabila >20% berikan transfusi darah.
f. Pemulihan anestesi
Sesuai dengan pilihan anestesi.
g. Pasca bedah
1) Pasien tanpa resiko
a) Dirawat di RR sesuai tata laksana pasca anestesi
b) Perhatian terhadap usaha penanggulangan nyeri luka operasi dan nyeri
akibat tarikan fiksasi urin
c) Perhatian terhadap kelacaran aliran cairan irigasi buli-buli untuk
mencegah sumbatan pada kateter akibat bekuan darah
d) Pasien dikirim kembali ke ruangan setelah memenuhi kriteria
pemulihan
2) Pasien dengan resiko tinggi
Dirawat ICU untuk perawatan dan terapi lebih lanjut.
6. Prosedur
a. Persiapan peralatan
Persiapan peralatan meliputi peralatan monitor, tekanan darah, nadi,
oksimetri denyut (pulse oximeter) dan EKG, peralatan resusitasi / anestesi
umum, jarum spinal. Pakailah jarum yang kecil (no. 25, 27 atau 29). Makin
besar nomor jarum, semakin kecil diameter jarum tersebut, sehingga untuk
mengurangi komplikasi sakit kepala (Post Duran Puncture Headache),
dianjurkan dipakai jarum kecil.
b. Menentukan posisi pasien
Pasien dapat diposisikan pada posisi duduk, dengan kepala menunduk
kebawah. Dengan posisi ini lebih mudah melihat columna vertebralis, tetapi
pada pasien-pasien yang telah mendapat premedikasi mungkin akan pusing
dan diperlukan seorang asisten untuk memegang pasien supaya tidak jatuh.
Posisi ini digunakan terutama bila diinginkan sadle block. Posisi tidur
miring biasanya dilakukan pada pasien yang sudah kesakitan dan sulit untuk
duduk.
c. Prosedur dari anestesi spinal adalah sebagai berikut (Morgan, 2006):
1) Inspeksi dan palpasi daerah lumbal yang akan ditusuk, sebab bila ada
infeksi atau terdapat tanda kemungkinan adanya kesulitan dalam
penusukan, maka pasien tidak perlu dipersiapkan untuk spinal anestesi.
2) Kulit didensinfeksi dengan larutan antiseptik seperti betadine atau
alkohol.
3) Suntikan diberikan menghadap kebawah /kaudal, di segmen lumbal 4-5.
7. Komplikasi
Komplikasi anestesi spinal adalah hipotensi, hipoksia, kesulitan bicara, batuk
kering yang persisten, mual muntah, nyeri kepala setelah operasi, retansi urine
dan kerusakan saraf permanen (Bunner dan Suddart, 2002).
B. Konsep Teori Sectio caesarea
1. Pengertian
Sectio caesaria adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan
melalui suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim dengan syarat
rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram (Sarwono, 2009).
Sectio Caesaria ialah tindakan untuk melahirkan janin dengan
berat badan diatas 500 gram melalui sayatan pada dinding uterus yang
utuh (Muchtar, 2005)
Sectio caesaria adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan
membuka dinding perut dan dinding rahim (Mansjoer, 2002)
2. Jenis-jenis
a. Sectio cesaria transperitonealis profunda
Sectio cesaria transperitonealis propunda dengan insisi di segmen bawah
uterus. insisi pada bawah rahim, bisa dengan teknik melintang atau
memanjang. Keunggulan pembedahan ini adalah:
1) Pendarahan luka insisi tidak seberapa banyak.
2) Bahaya peritonitis tidak besar.
3) Perut uterus umumnya kuat sehingga bahaya ruptur uteri dikemudian
hari tidak besar karena pada nifas segmen bawah uterus tidak seberapa
banyak mengalami kontraksi seperti korpus uteri sehingga luka dapat
sembuh lebih sempurna.
b. Sectio cesaria klasik atau section cecaria korpora
Pada sectio cacaria klasik ini di buat kepada korpus uteri, pembedahan ini
yang agak mudah dilakukan,hanya di selenggarakan apabila ada halangan
untuk melakukan section cacaria transperitonealis profunda. Insisi
memanjang pada segmen atas uterus.
c. Sectio cesaria ekstra peritoneal
Section cacaria eksrta peritoneal dahulu di lakukan untuk mengurangi
bahaya injeksi perporal akan tetapi dengan kemajuan pengobatan terhadap
injeksi pembedahan ini sekarang tidak banyak lagi di lakukan. Rongga
peritoneum tak dibuka, dilakukan pada pasien infeksi uterin berat.
d. Sectio caesarea Hysteroctomy
Setelah sectio cesaria, dilakukan histeroktomi dengan indikasi:
a) Atonia uteri
b) Plasenta accrete
c) Myoma uteri
d) Infeksi intra uteri berat
3. Etiologi
Manuaba (2002), indikasi ibu dilakukan sectio caesarea adalah ruptur uteri
iminen, perdarahan antepartum, ketuban pecah dini. Sedangkan indikasi dari
janin adalah fetal distres dan janin besar melebihi 4.000 gram. Dari beberapa
faktor sectio caesarea diatas dapat diuraikan beberapa penyebab sectio caesarea
sebagai berikut:
a. CPD (Chepalo Pelvik Disproportion)
Chepalo Pelvik Disproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu
tidak sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat menyebabkan
ibu tidak dapat melahirkan secara alami. Tulang-tulang panggul merupakan
susunan beberapa tulang yang membentuk rongga panggul yang merupakan
jalan yang harus dilalui oleh janin ketika akan lahir secara alami. Bentuk
panggul yang menunjukkan kelainan atau panggul patologis juga dapat
menyebabkan kesulitan dalam proses persalinan alami sehingga harus
dilakukan tindakan operasi. Keadaan patologis tersebut menyebabkan
bentuk rongga panggul menjadi asimetris dan ukuran-ukuran bidang panggul
menjadi abnormal.
b. PEB (Pre-Eklamsi Berat)
Pre-eklamsi dan eklamsi merupakan kesatuan penyakit yang langsung
disebabkan oleh kehamilan, sebab terjadinya masih belum jelas. Setelah
perdarahan dan infeksi, pre-eklamsi dan eklamsi merupakan penyebab
kematian maternal dan perinatal paling penting dalam ilmu kebidanan.
Karena itu diagnosa dini amatlah penting, yaitu mampu mengenali dan
mengobati agar tidak berlanjut menjadi eklamsi.
c. KPD (Ketuban Pecah Dini)
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda
persalinan dan ditunggu satu jam belum terjadi inpartu. Sebagian besar
ketuban pecah dini adalah hamil aterm di atas 37 minggu, sedangkan di
bawah 36 minggu.
d. Bayi Kembar
Tidak selamanya bayi kembar dilahirkan secara caesar. Hal ini karena
kelahiran kembar memiliki resiko terjadi komplikasi yang lebih tinggi
daripada kelahiran satu bayi. Selain itu, bayi kembar pun dapat mengalami
sungsang atau salah letak lintang sehingga sulit untuk dilahirkan secara
normal.
e. Faktor Hambatan Jalan Lahir
Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang tidak
memungkinkan adanya pembukaan, adanya tumor dan kelainan bawaan
pada jalan lahir, tali pusat pendek dan ibu sulit bernafas.
1) Kelainan Letak Janin
2) Kelainan pada letak kepala
3) Letak kepala tengadah
Bagian terbawah adalah puncak kepala, pada pemeriksaan dalam teraba
UUB yang paling rendah. Etiologinya kelainan panggul, kepala
bentuknya bundar, anaknya kecil atau mati, kerusakan dasar panggul.
4) Presentasi muka
Letak kepala tengadah (defleksi), sehingga bagian kepala yang terletak
paling rendah ialah muka. Hal ini jarang terjadi, kira-kira 0,27-0,5 %.
5) Presentasi dahi
Posisi kepala antara fleksi dan defleksi, dahi berada pada posisi
terendah dan tetap paling depan. Pada penempatan dagu, biasanya
dengan sendirinya akan berubah menjadi letak muka atau letak belakang
kepala.
6) Letak Sungsang
Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak memanjang
dengan kepala difundus uteri dan bokong berada di bagian bawah
kavum uteri. Dikenal beberapa jenis letak sungsang, yakni presentasi
bokong, presentasi bokong kaki, sempurna, presentasi bokong kaki
tidak sempurna dan presentasi kaki (Saifuddin, 2002).
f. Kehamilan lewat bulan (serotinus) merupakan kehamilan yang
berlangsung lebih dari perkiraan hari taksiran persalinan yang dihitung dari
hari pertama haid terakhir (HPHT), dimana usia kehamilannya telah
melebihi 40 minggu.
4. Patofisiologi
SC merupakan tindakan untuk melahirkan bayi dengan berat di atas 500 gr
dengan sayatan pada dinding uterus yang masih utuh. Indikasi dilakukan
tindakan ini yaitu distorsi kepala panggul, disfungsi uterus, distorsia jaringan
lunak, placenta previa dll, untuk ibu. Sedangkan untuk janin adalah gawat janin.
Janin besar dan letak lintang setelah dilakukan SC ibu akan mengalami adaptasi
post partum baik dari aspek kognitif berupa kurang pengetahuan. Akibat kurang
informasi dan dari aspek fisiologis yaitu produk oxsitosin yang tidak adekuat
akan mengakibatkan ASI yang keluar hanya sedikit, luka dari insisi akan menjadi
post de entris bagi kuman. Oleh karena itu perlu diberikan antibiotik dan
perawatan luka dengan prinsip steril. Nyeri adalah salah utama karena insisi yang
mengakibatkan gangguan rasa nyaman.
Sebelum dilakukan operasi pasien perlu dilakukan anestesi bisa bersifat
regional dan umum. Namun anestesi umum lebih banyak pengaruhnya terhadap
janin maupun ibu anestesi janin sehingga kadang-kadang bayi lahir dalam
keadaan upnoe yang tidak dapat diatasi dengan mudah. Akibatnya janin bisa mati,
sedangkan pengaruhnya anestesi bagi ibu sendiri yaitu terhadap tonus uteri
berupa atonia uteri sehingga darah banyak yang keluar. Untuk pengaruh terhadap
nafas yaitu jalan nafas yang tidak efektif akibat sekret yan berlebihan karena
kerja otot nafas silia yang menutup. Anestesi ini juga mempengaruhi saluran
pencernaan dengan menurunkan mobilitas usus.
Seperti yang telah diketahui setelah makanan masuk lambung akan terjadi
proses penghancuran dengan bantuan peristaltik usus. Kemudian diserap untuk
metabolisme sehingga tubuh memperoleh energi. Akibat dari mortilitas yang
menurun maka peristaltik juga menurun. Makanan yang ada di lambung akan
menumpuk dan karena reflek untuk batuk juga menurun. Maka pasien sangat
beresiko terhadap aspirasi sehingga perlu dipasang pipa endotracheal. Selain itu
motilitas yang menurun juga berakibat pada perubahan pola eliminasi yaitu
konstipasi. (Saifuddin, Mansjoer & Prawirohardjo, 2002)
5. Pathway SC

Sumber : Nurarif, Amin Huda dan Kusuma, Hardi.2013. Aplikasi NANDA NIC-NOC 2013. Yogyakarta : Mediaction
6. Teknik Penatalaksanaan
a. Bedah Caesar Klasik/ Corporal.
1) Buatlah insisi membujur secara tajam dengan pisau pada garis tengah korpus
uteri diatas segmen bawah rahim. Perlebar insisi dengan gunting sampai
sepanjang kurang lebih 12 cm saat menggunting lindungi janin dengan dua jari
operator.
2) Setelah cavum uteri terbuka kulit ketuban dipecah. Janin dilahirkan dengan
meluncurkan kepala janin keluar melalui irisan tersebut.
3) Setelah janin lahir sepenuhnya tali pusat diklem (dua tempat) dan dipotong
diantara kedua klem tersebut.
4) Plasenta dilahirkan secara manual kemudian segera disuntikkan uterotonika
kedalam miometrium dan intravena.
5) Luka insisi dinding uterus dijahit kembali dengan cara :
a) Lapisan I
Miometrium tepat diatas endometrium dijahit secara silang dengan
menggunakan benang chromic catgut no.1 dan 2
b) Lapisan II
Lapisan miometrium diatasnya dijahit secara kasur horizontal (lambert)
dengan benang yang sama.
c) Lapisan III
Dilakukan reperitonealisasi dengan cara peritoneum dijahit secara jelujur
menggunakan benang plain catgut no.1 dan 2
- Eksplorasi kedua adneksa dan bersihkan rongga perut dari sisa-sisa
darah dan air ketuban
- Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis.
b. Bedah Caesar Transperitoneal Profunda
1) Plika vesikouterina diatas segmen bawah rahim dilepaskan secara melintang,
kemudian secar tumpul disisihkan kearah bawah dan samping.
2) Buat insisi secara tajam dengan pisau pada segmen bawah rahim kurang lebih
1 cm dibawah irisan plika vesikouterina. Irisan kemudian diperlebar dengan
gunting sampai kurang lebih sepanjang 12 cm saat menggunting lindungi
janin dengan dua jari operator.
3) Setelah cavum uteri terbuka kulit ketuban dipecah dan janin dilahirkan dengan
cara meluncurkan kepala janin melalui irisan tersebut.
4) Badan janin dilahirkan dengan mengaitkan kedua ketiaknya.
5) Setelah janin dilahirkan seluruhnya tali pusat diklem (dua tempat) dan
dipotong diantara kedua klem tersebut.
6) Plasenta dilahirkan secara manual kemudian segera disuntikkan uterotonika
kedalam miometrium dan intravena.
7) Luka insisi dinding uterus dijahit kembali dengan cara :
a) Lapisan I
Miometrium tepat diatas endometrium dijahit secara silang dengan
menggunakan benang chromic catgut no.1 dan 2
b) Lapisan II
Lapisan miometrium diatasnya dijahit secara kasur horizontal (lambert)
dengan benang yang sama.
c) Lapisan III
Peritoneum plika vesikouterina dijahit secara jelujur menggunakan
benang plain catgut no.1 dan 2
- Eksplorasi kedua adneksa dan bersihkan rongga perut dari sisa-sisa
darah dan air ketuban
- Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis.
c. Bedah Caesar Ekstraperitoneal
1) Dinding perut diiris hanya sampai pada peritoneum. Peritoneum kemudia
digeser kekranial agar terbebas dari dinding cranial vesika urinaria.
2) Segmen bawah rahim diiris melintang seperti pada bedah Caesar
transperitoneal profunda demikian juga cara menutupnya.
d. Histerektomi Caersaria (Caesarea Hysterectomy)
1) Irisan uterus dilakukan seperti pada bedah Caesar klasik/corporal demikian
juga cara melahirkan janinnya.
2) Perdarahan yang terdapat pada irisan uterus dihentikan dengan menggunakan
klem secukupnya.
3) Kedua adneksa dan ligamentum rotunda dilepaskan dari uterus.
4) Kedua cabang arteria uterina yang menuju ke korpus uteri di klem (2) pada
tepi segmen bawah rahim. Satu klem juga ditempatkan diatas kedua klem
tersebut.
5) Uterus kemudian diangkat diatas kedua klem yang pertama. Perdarahan pada
tunggul serviks uteri diatasi.
6) Jahit cabang arteria uterine yang diklem dengan menggunakan benang sutera
no. 2.
7) Tunggul serviks uteri ditutup dengan jahitan ( menggunakan chromic catgut
(no.1 atau 2) dengan sebelumnya diberi cairan antiseptic.
8) Kedua adneksa dan ligamentum rotundum dijahitkan pada tunggul serviks
uteri.
9) Dilakukan reperitonealisasi serta eksplorasi daerah panggul dan visera
abdominis.
10) Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Elektroensefalogram (EEG)
Untuk membantu menetapkan jenis dan fokus dari kejang.
b. Pemindaian CT
Untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.
c. Magneti resonance imaging (MRI)
Menghasilkan bayangan dengan menggunakan lapangan magnetik dan gelombang
radio, berguna untuk memperlihatkan daerah – daerah otak yang itdak jelas terliht
bila menggunakan pemindaian CT.
d. Pemindaian positron emission tomography (PET)
Untuk mengevaluasi kejang yang membandel dan membantu menetapkan lokasi
lesi, perubahan metabolik atau alirann darah dalam otak.
e. Uji laboratorium
1) Fungsi lumbal : menganalisis cairan serebrovaskuler
2) Hitung darah lengkap: mengevaluasi trombosit dan hematocrit
3) Panel elektrolit
4) Skrining toksik dari serum dan urin
5) AGD
6) Kadar kalsium darah
7) Kadar natrium darah
8) Kadar magnesium darah
8. Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada ibu SC adalah :
a. Infeksi puerperial
Kenaikan suhu selama beberapa hari dalam masa nifas dibagi menjadi:
1) Ringan, dengan suhu meningkat dalam beberapa hari
2) Sedang, suhu meningkat lebih tinggi disertai dengan dehidrasi dan perut
sedikit kembung
3) Berat, peritonealis, sepsis dan usus paralitik
b. Perdarahan
Perdarahan banyak bisa terjadi jika pada saat pembedahan cabang-cabang arteri
uterine ikut terbuka atau karena atonia uteri.
c. Komplikasi-komplikasi lainnya antara lain luka kandung kencing, embolisme paru
yang sangat jarang terjadi.
d. Kurang kuatnya parut pada dinding uterus, sehingga pada kehamilan berikutnya
bisa terjadi ruptur uteri.Yang sering terjadi pada ibu bayi adalah kematian
perinatal
9. Penatalaksanaan
Penatalakanaan yang diberikan pada pasien Post SC diantaranya:
a. Penatalaksanaan secara medis
1) Analgesik diberikan setiap 3 – 4 jam atau bila diperlukan seperti Asam
Mefenamat, Ketorolak, Tramadol.
2) Pemberian tranfusi darah bila terjadi perdarahan partum yang hebat.
3) Pemberian antibiotik seperti Cefotaxim, Ceftriaxon dan lain-lain. Walaupun
pemberian antibiotika sesudah Sectio Caesaria efektif dapat dipersoalkan,
namun pada umumnya pemberiannya dianjurkan.
4) Pemberian cairan parenteral seperti Ringer Laktat dan NaCl.
b. Penatalaksanaan secara keperawatan
1) Periksa dan catat tanda – tanda vital setiap 15 menit pada 1 jam pertama dan
30 menit pada 4 jam kemudian.
2) Perdarahan dan urin harus dipantau secara ketat
3) Mobilisasi Pada hari pertama setelah operasi penderita harus turun dari tempat
tidur dengan dibantu paling sedikit 2 kali. Pada hari kedua penderita sudah
dapat berjalan ke kamar mandi dengan bantuan.
4) Pemulangan Jika tidak terdapat komplikasi penderita dapat dipulangkan pada
hari kelima setelah operasi

C. Asuhan Keperawatan Peri Anestesi


Asuhan Keperawatan adalah proses atau rangkaian kegiatan praktik keperawatan yang
diberikan secara langsung kepada klien/pasien di berbagai tatanan pelayanan kesehatan.
Dilaksanakan berdasarkan kaidah-kaidah keperawatan sebagai suatu profesi yang
berdasarkan ilmu dan kiat keperawatan, bersifat humanistik dan berdasarkan pada
kebutuhan objektif klien untuk mengatasi masalah yang dihadapi.
1. Pre Anestesi
a. Pengkajian Pre Anestesi dilakukan sejak pasien dinyatakan akan dilakukan
tindakan pembedahan baik elektif maupun emergensi. Pengkajian pre anestesi
meliputi :
1) Identitas pasien
2) Riwayat kesehatan pasien dan riwayat alergi
3) Pemeriksaan fisik pasien meliputi : Tanda-tanda vital pasien, pemeriksaan
sistem pernapasan (breathing), sistem kardiovaskuler (bleeding),sistem
persyarafan (brain), sistem perkemihan dan eliminasi (bowel), sistem tulang,
otot dan integument (bone).
4) Pemeriksaan penunjang berupa laboratorium, rontgen, CT-scan, USG, dll.
5) Kelengkapan berkas informed consent.
b. Analisa Data
Data hasil pengkajian dikumpulkan dan dianalisa sehingga dapat menilai
klasifikasi ASA pasien. Data yang telah di analisa digunakan untuk menentukan
diagnosa keperawatan, tujuan, perencanaan/implementasi dan evaluasi pre
anestesi.
c. Diagnosa, Tujuan, Perencanaan/implementasi dan Evaluasi Pre Anestesi
1) Dx : Cemas b/d kurang pengetahuan masalah pembiusan
Tujuan : Cemas berkurang/hilang.
Kriteria hasil :
- Pasien menyatakan tahu tentang proses kerja obat anestesi/pembiusan.
- Pasien menyatakan siap dilakukan pembiusan.
- Pasien mengkomunikasikan perasaan negatif secara tepat.
- Pasien taampak tenang dan kooperatif.
- Tanda-tanda vital normal.
Rencana tindakan :
- Kaji tingkat kecemasan.
- Orientasikan dengan tim anestesi/kamar operasi.
- Jelaskan jenis prosedur tindakan anestesi yang akan dilakukan.
- Beri dorongan pasien untuk mengungkapkan perasaan.
- Dampingi pasien untuk mengurangi rasa cemas.
- Ajarkan tehnik relaksasi napas dalam.
- Kolaborasi untuk memberikan obat penenang.
Evaluasi :
- Pasien mengatakan paham akan tindakan pembiusan atau anestesi.
- Pasien mengatakan siap dilakukan prosedur anestesi dan operasi.
- Pasien lebih tenang.
- Ekspresi wajah cerah.
- Pasien kooperatif ditandai tanda-tanda vital dalam batas normal.

2) Dx : Resiko gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit b/d vasodilatasi


pembuluh darah dampak obat anestesi.
Tujuan : keseimbangan cairan dalam ruang intrasel dan ekstrasel tubuh
tercukupi.
Kriteria hasil :
- Pasien menyatakan tidak haus/tidak lemas.
- Akral kulit hangat.
- Haemodinamik normal.
- Masukan dan keluaran cairan seimbang.
- Urine output 1-2 cc/kgBB/jam.
- Hasil laborat elektrolit darah normal.
Rencana tindakan :
- Kaji tingkat kekurangan volume cairan.
- Kolaborasi dalam pemberian cairan dan elektrolit.
- Monitor masukan dan keluaran cairan dan elektrolit.
- Monitor hemodinamik pasien.
- Monitor perdarahan.
Evaluasi :
- Kebutuhan volume cairan seimbang.
- Lokasi tusukan infus tidak bengkak dan tetesan infus lancar.
- Cairan masuk dan keluar pasien terpantau.
- Hemodinamik normal.
- Laboratorium.
2. Intra Anestesi
a. Pengkajian Intra Anestesi dilakukan sejak pasien. Pengkajian Intra anestesi
meliputi :
1) Persiapan pasien, alat anestesi dan obat-obat anestesi.
2) Pelaksanaan anestesi
3) Monitoring respon dan hemodinamik pasien yang kontinu setiap 5 menit
sampai 10 menit.

b. Analisa Data
Data yang telah di analisa digunakan untuk menentukan diagnosa keperawatan,
tujuan, perencanaan/implementasi dan evaluasi intra anestesi.
c. Diagnosa, Tujuan, Perencanaan/implementasi dan Evaluasi intra anestesi
1) Dx : Komplikasi potensial syok kardiogenik b/d sekunder obat anestesi
(RA).
Tujuan : Pompa jantung dan sirkulasi kardiovaskuler dapat efektif.
Kriteria hasil :
- Tekanan darah sistolik dan diastolik dalam batas normal.
- Denyut jantung dalam batas normal
- Hipotensi aorta statis tidak ada.
- Pasien menyatakan tidak pusing.
- Denyut nadi perifer kuat dan teratur.
- Rencana tindakan:
- Atur posisi pasien.
- Kaji toleransi aktifitas : awal napas pendek, nyeri, palpitasi.
- Kaji tekanan darah, adanya sianosis, status pernapasan.
- Beri oksigen.
- Evaluasi respon pasien terhadap terapi oksigen.
- Kolaborasi dengan dokter.
Evaluasi :
- Komplikasi syok kardiogeniktidak terjadi
- Tekanan darah stabil atau normal
- Warna kulit normal.
- Tidak pusing.
- Tidak mual muntah.
2) Dx : Gangguan rasa nyaman mual muntah b/d pengaruh sekunder obat
anestesi.
Tujuan : Mual muntah berkurang.
Kriteria hasil :
- Pasien menyatakan mual berkurang.
- Pasien tidak muntah.
- Pasien menyatakan bebas dari mual dan pusing.
- Hemodinamik stabil dan akral kulit hangat.
Rencana tindakan:
- Atur posisi pasien dan tingkatkan keseimbangan cairan.
- Pantau tanda vital dan gejala mual muntah.
- Pantau turgor kulit.
- Pantau masukan dan keluaran cairan.
- Kolaborasi dengan dokter.
Evaluasi :
- Perasaan pasien lega, tidak pusing dan terbebas dari rasa mual.
- Akral kulit hangat tidak pucat/sianosis.
- Nadi teratur dan kuat
- Status hemodinamik stabil.
3) Dx : Hipotermi b/d berada atau terpapar di lingkungan dingin.
Tujuan : Pasien menunjukan termoregulasi.
Kriteria hasil :
- Kulit hangat dan suhu tubuh dalam batas normal.
- Perubahan warna kulit tidak ada.
- Pasien tidak menggigil kedinginan.
Rencana tindakan:
- Mempertahankan suhu tubuh selama pembiusan atau operasi sesuai yang
diharapkan.
- Pantau tanda-tanda vital.
- Beri penghangat.
Evaluasi :
- Suhu tubuh normal.
- Tanda-tanda vital stabil.
- Pasien tidak menggigil.
- Warna kulit tidak ada perubahan.

a. Pengkajian Post Anestesi dilakukan sejak pasien selesai dilakukan tindakan


pembedahan dan pasien akan dipindahkan ke ruang pemulihan. Pengkajian Post
anestesi meliputi :
1) Keadaan umum pasien dan tanda-tanda vital.
2) Status respirasi dan bersihan jalan napas.
3) Penilaian pasien dengan skala Aldert (untuk anestesi general) dan skala
Bromage (untuk anestesi regional)
4) Instruksi post operasi.
b. Analisa Data
Data yang telah di analisa digunakan untuk menentukan diagnosa keperawatan,
tujuan, perencanaan/implementasi dan evaluasi intra anestesi.
c. Diagnosa, Tujuan, Perencanaan dan Evaluasi Post Anestesi
1) Dx : Nyeri akut b/d agen cidera fisik (operasi)
Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang
Kriteria hasil :
- Pasien menyatakan nyeri berkurang atau hilang.
- Pasien mampu istirahat.
- Ekspresi wajah tenang dan nyaman.
Rencana tindakan:
- Kaji drajat, lokasi, durasi, frekuensi dan karakteristik nyeri.
- Gunakan tehnik komunikasi terapeutik.
- Ajarkan tehnik relaksasi.
- Kolaborasi dengan dokter.
Evaluasi :
- Rasa nyeri berkurang atau hilang.
- Hemodinamik normal.
- Pasien bisa istirahat dan ekspresi wajah tenang.
2) Dx : Hambatan mobilitas ekstremitas bawah b/d pengaruh sekunder obat
anestesi.
Tujuan : Selama 3-4 jam pasien mampu menggerakan ekstremitas bawah
(sendi dan otot).
Kriteria hasil :
- Tidak ada tanda-tanda neuropati.
- Mampu menggerakan ekstremitas bawah.
Rencana tindakan:
- Atur posisi pasien.
- Bantu pergerakan ekstremitas bawah.
- Ajarkan proses pergerakan dan ajarkan tehnik pergerakan yang aman.
- Latihan angkat atau gerakan ekstremitas bawah.
- Lakukan penilaian bromage scale.
Evaluasi :
- Hambatan pergerakan ekstremitas bawah normal.
- Mampu menggerakan kedua ekstremitas bawah (kaki)
- Mamp mengangkat ekstremitas bawah (kaki)
- Neuropati hilang.
BAB III
PENATALAKSANAAN ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Identitas Pasien
Nama : Ny. F
Umur : 37 th
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku bangsa : Jawa
Alamat : Plereng, 002/004 Tuntang, Ambarawa
No RM : 1459XXX
Diagosa pre operasi : G2P1A0 serotinus 40minggu
Tindakan operasi : Sectio Caesaria
Tanggal operasi : 16 April 2018
Dokter bedah : dr. Hary Sp. OG
Dokter anestesi : dr. Ferra Sp. An
2. Anamnesa
a. Keluhan utama : Pasien mengatakan perut terasa mules mules, cemas karena akan
dilakukan tindakan operasi, pasien mengatakan ini baru pertama kalinya ia
dioperasi.
b. Riwayat penyakir sekarang : Pasien dengan G2P1A0 serotinus 40minggu. Pasien
mengatakan tidak ada keluhan, gerak janin aktif dan sudah merasakan ada
kenceng-kenceng dan pasien dianjurkan untuk operasi. Pasien menyatakkan
dirujuk dari bidan karena bayinya tak kunjung lahir dan sudah lewat dari HPL
tanggal 4 April 2018.
c. Riwayat penyakit dahulu : pasien mengatakan tidak menderita DM, Hipertensi,
ataupun asma saat kehamilan
d. Riwayat penyakit keluarga : pasien mengatakan tidak ada anggota keluarga yang
mempunyai riwayat penyakit hipertensi, asma dan DM.
e. Riwayat kehamilan :
Anak Jenis Lahir BB Lahir Usia Tahun Lahir
Kelamin Sekarang
1 Laki-laki Spontan 3100grm 12tahun 2006

f. Riwayat Ginekologi : Pasien menyatakkan tidak pernah mengalami gangguan


kesehatan reproduksi sebelum hamil maupun setelah hamil. Pasien menyatakkan
setelah kelahiran anak pertamanya ia menggunakan IUD selama 5 tahun.
3. Pemerikasaan Fisik
a. Kesadaran umum dan tanda vital
Kesadaran : Compos Mentis BB sebelum hamil : 55 kg
GCS : E4.V5.M6 BB saat hamil : 65kg
TD : 140/83 mmHg TB : 156 cm
N : 80 x/mnt RR: 20 x/mnt
SpO2 : 99 %
b. Status Generalis
 Kepala : Mesocephal,tidak ada hematoma
 Mata : Konjungtiva anemiss-/-, sclera ikterik -/-, pupil isokor 3/3, reaksi +/+
 Hidung : Patensi +/+, simetris, secret (-), nafas cuping hidung (-)
 Mulut : Malampati 1, buka mulut 3cm, sianosis (-), gigi goyang(-), gigi tidak
ada yang tanggal.
 Telinga : Pendegaran baik, secret (-)
 Leher : JVP tidak meningkat, gerak leher bebas, trakea ditengah
 Thoraks : bentuk normal, tidak tampak benjolan atau tumor.
 Pulmo
Inspeksi : Pengembangan paru kanan dan kiri sama
Palpasi : Fremitus atau getaran suara raba kanan kiri sama
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Suara nafas vesicular +/+, wheezing-/-, ronckhi -/-,
 Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : Bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, mur-mur (-)
 Abdomen
Inspeksi : Dinding perut membesar karena ada janin, hiperpigmentasi.
Auskultasi : DJJ (+) 144x/menit
Palpasi : Punggung janin dikiri ibu (PUKI)
Perkusi : Pada kandung kemih terdengar suara redup
 Ekstremitas
 Atas : tidak ada kelemahan otot atau kontraktur dan kekuatan kanan
sama dengan kiri, tangan kiri terpasang cairan infus asering 20 tpm
 Bawah : tak ada kelemahan otot, odema (+)
 Genetalia : terpasang kateter, urine bag, urine ± 200 cc warna kuning jernih.

4. Psikologis
Pasien mengatakan belum pernah dilakukanoperasi sebelumnya. Pasien
menyatakkan cemas. Pasien terlihat gelisah dan terus bertanya-tanya tentang prosedur
operasi maupun pembiusan kepada perawat.
5. Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium: tanggal 15 April 2018
 Darah rutin
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 12,6 12,0-15,6 g/dl
Hematokrit 35 33-45%
Leukosit 9,4 3,6-11,0ribu/ul
Trombosit 176 150-450ribu/ul
Eritrosit 3,9 3,80-5,20juta/ul
Gol darah B
Masa perdarahan 2.00 1-3 menit
Masa Pembekuaan 3.00 2-6 menit
GDS 77 70-200 mg/dl
SGOT 17 0-35 u/l
SGPT 27 0-45 u/l
Albumin 3,2 2,5-3,5 g/dl
Kreatinin 0,32 0,6-11 mg/dl
Ureum 21 <50 mg/dl

 Hasil laboratorium tanggal 15 April 2018


 Kimia klinik :
Hasil
Pemeriksaan NIlai Normal

Glukosa sewaktu 77 70-200 mg/dl


HbsAg Negatif Negatif
HIV Negatif Negatif

b. USG
Pemeriksaan USG tanggal 26 Mei 2018, kesan:
- TBJ: 3250 gr (UK 40 minggu)
- Presentasi kepala, placenta letak rendah, AK cukup

6. Diagnosis Anestesi
Perempuan 24 tahun, diagnosa medis G2P1A0 dengan PLR Riwayat SC
direncanakan dilakukan Sectio Caesaria status fisik ASA II direncanakan regional
anestesi dengan teknik SAB. Saran : informed consent, puasa 8 jam, premedikasi di OK,
pasang IV line no 20.

B. Persiapan penatalaksanaan anestesi


1. Persiapan Alat
a. Mesin anestesi dihubungkan dengan sumber gas dan mengecek ulang
kelengkapan serta fungsinya, pastikan vaporizer sudah terisi agen, absobser
tidak berubah warna, dan sambungkan dengan sumber listrik.
b. Pastikan bag mask, circuit, konektor sesuai tempatnya
c. Siapkan monitor lengkap dengan manset,finger sensor dan lead ekg
d. Persiapan STATICS
 Stetoskop, Laringoskop
 Tube : ETT No. 6.5, 7, 7.5 ; LMA No. 3, 4
 Airway : OPA, NPA
 Tape
 Introducer
 Conector : Face mask, bag
 Suction
e. Persiapan alat regional anestesi dengan tehnik SAB, alat yang dipersiapkan :
jarum ukuran 26G, spuit 3cc dan 5cc, sarung tangan steril.
f. Siapkan lembar laporan durante anestesi.
2. Persiapan obat
a. Obat antiperdarahan (fibrinolitik) : Traneksamat 100mg/ml
b. Obat untuk SAB : Bucain Spinal 20mg/ 4ml
c. Antimetik : Ondansebtron 4mg/ml
d. Obat oksitosik atau relaksan uterus : Oxytocin 10ui/ ml, Methilergometrin
0,2mg/ ml
e. Obat induksi : Propofol 200mg/20ml, Fentanyl 50 mcg/10ml
f. Obat emergency :
 Sulfas atropine 1 amp:0,25mg/1cc
 Adrenaline 1 amp:1mg/1cc
 Ephedrine 1 amp:50mg/1cc
 Dexamethason 2 amp:5mg/1cc
g. Cairan infus
 Kristaloid : Ringer Laktat 1000cc
 Koloid : Gelafusal 500cc
3. Persiapan pasien
a. Pasien tiba di IBS pkl: 09:00
b. Serah terima pasien dengan petugas ruangan, periksa status pasien termasuk
informed consent, dan obat-obatan yang telah diberikan diruang perawatan.
c. Memindahkan pasien ke brancard IBS
d. Memperkenalkan diri kepada pasien, mengecek ulang identitas pasien, nama,
alamat dan menanyakan ulang puasa makan dan minum, riwayat penyakit dan
alergi, serta berat badan saat ini.
e. Memeriksa kelancaran infus dan alat kesehatan yang terpasang pada pasien.
f. Menanyakan keluhan pasien saat di ruang penerimaan IBS, dari pasien
mengatakan takut dan cemas menjalani operasi, pasien mengatakan kedinginan.
g. Observasi keadaan pasien, kemudian pindah pasien dari ruang penerimaan ke
ruang operasi.
4. Penatalaksanaan anestesi
Penatalaksanaan anestesi di mulai dari memasang APD (alat pelindung diri),
alat monitor, manset, finger Sensor, memberi premedikasi, memberitahu pasien
akan di bius, menganjurkan pasien untuk berdoa, memulai persiapan melakukan
regional anestesi SAB, menyuntikan obat-obatan maintenance, pengakhiran
anestesi dan oksigenasi sampai dengan perawatan di recovery room.
Pasien dipindahkan di meja operasi dilakukan pemasangan monitor tekanan darah,
saturasi oksigen, hasil pengukuran monitor :
TD : 133/72 mmHg; N : 88x/mnt; Spo2: 99 %; RR : 22x/mnt; pernapasan
spontan dengan nasal kanul 3 lt/mnt
a. Pemberian Obat SAB
Pasien dilakukan anestesi regional SAB posisi duduk area tusukan pada
Lumbal 2-3 dengan bucain spinal 20mg dan Fentanyl 25mcg. Setelah
diberikan obat bucain spinal 20mg dilakukan pemeriksaan tanda vital
TD : 113/73 mmHg; N : 78x/mnt; Spo2: 99 %; RR : 20x/mnt; pernapasan
spontan dengan nasal kanul 3 lt/mnt. Pasien sudah mulai tidak terasa dan kaki
kesemutan.
b. Pasien mulai dilakukan insisi pkl 09.00 WIB yang sebelumnya dilakukan time
out.
c. Saat ditengah-tengah operasi tensi kemudian turun menjadi 98/60 dan nadi
meningkat 94, diberikan ephedrine 10mg/ml, setelah itu diobservasi nadi dan
tensi menjadi 114/72 dan 90x/menit.
d. Pada saat intra anestesi pasien menggigil, pasien menyatakkan kedinginan.
e. Setelah bayi berhasil dikeluarkan dari perut ibu kemudian diberikan oxytocin
10iu/ml dan methilergometrin 0,2mg/ml.
f. Pasien selesai operasi dilakukan sign out.
g. Pukul 10.00 WIB dan dipindahkan ke recovery room.
5. Maintanance
Maintanance menggunakan:
 O2 : 3 lt/mnt dengan nasal kanul.
 Balance cairan:
Stress operasi (SO) = 8 x 65 = 520 cc (operasi berat)
Maintance (M) = 2 x 65 = 130 cc
Pengganti Puasa (PP) = 8 jam x 130 = 1040 cc
Kebutuhan jam 1 : M + 1/2PP + SO = 1170 cc
Jam 2 : M + 1/4PP + SO = 910 cc ;
Jam 3 : M + 1/4PP + SO = 910 cc
Jam 4 : M + SO = 650 cc

6. Monitoring Selama Operasi


Jam JAM
TD N SPO2 O2 Respirasi Tindakan
Loading infus RL 500 ml
Pemberian Obat Pre-Medikasi:
08.50 130/88 90 99% 3 lt/mnt 20 Ondansentron 4 mg
Ranitidin 50 mg
Ketorolac 30 mg
Pemberian obat bucain spinal
09.00 133/72 88 98% 3 lt/mnt 22
20mg/ 4ml + Fentanyl 25 mcg
09.05 113/73 78 99% 3 lt/mnt 20
09.10 98/60 94 99% 3 lt/mnt 18 Pemberian ephedrine 10 mg
09.15 114/72 90 97% 3 lt/mnt 20
Pemberian Oxytocin 10ui/ml
09.20 124/66 80 99% 3 lt/mnt 22
dan methilergometrin 0,2 mg/ml
09.25 113/68 86 99% 3 lt/mnt 20
09.30 108/76 92 97% 3 lt/mnt 18
09.35 120/83 88 98% 3 lt/mnt 18 Infus gelafusal 500 ml
09.40 103/76 78 99% 3 lt/mnt 20
09.45 115/75 88 98% 3 lt/mnt 22
09.50 120/87 86 99% 3 lt/mnt 22 .
09.55 124/79 88 99% 3 lt/mnt 20
10.00 120/82 84 99% 3 lt/mnt 20 Pasien di pindahkan di RR

7. Pengakhiran Anestesi
a. Operasi selesai jam 10.40 wib, napas spontan
b. Pasien menggunakan nasal kanul dengan oksigen 3 lt/mnt
c. Monitor tanda vital sebelum pasien di bawa ke ruang pemulihan TD: 120/82
mmHg; N:84 x/mnt; SPO2 : 98 %; RR: 20 x/mnt.
d. Pasien dipindahkan ke recovery room dan dilakukan monitor selama 30 menit
lalu dipindahkan ke ruangan.
8. Pemantauan di Recovery Room
Pasien di RR dilakukan pemantauan tanda vital dan pengawasan post operasi
apakah ada tanda-tanda perdarahan, perubahan hemodinamik akibat operasi dan
anestesi, keluhan pasien post operasi dan pengawasan terhadap alat kesehatan yang
terpasang pada pasien (infus, kateter, drain dan irigasi).
Jam JAM
TD N SPO2 O2 Respirasi Tindakan
Pasien tiba di RR dilakukan
10.00 118/75 85 99% 3 lt/mnt 22
monitor tanda vital
10.05 123/74 80 99% 3 lt/mnt 19
10.10 126/65 77 99% 3 lt/mnt 20
10.15 119/74 88 99% 3 lt/mnt 18
10.20 120/65 88 99% 3 lt/mnt 22
3 lt/mnt Pemberian Infus RL 500cc/drip
10.25 121/75 90 99% 20
Tramadol 100mg (15tpm)
3 lt/mnt Pasien di pindahkan ke ruang
10.30 120/85 87 99% 18
bangsal

C. Analisa Data
No Tgl/Jam Data Masalah Etiologi
Pre Anestesi
1 16/04/2018 S : Pasien mengatakan cemas Cemas Kurang
08.30 karena pertama kalinya ia pengetahuan
diperasi.
O : Pasien tampak gelisah,
keringat dingin, pasien terus
bertanya-tanya tentang
pembedahan
TD : 140/83 mmHg;
N : 90 x/mnt; SpO2 : 99%;
RR : 20 x/mnt
Intra Operasi
2 16/04/2018 S : Pasien menyatakkan agak Resiko Syok Pengaruh
09.10 pusing Kardiogenik Sekunder Obat
O: anestesi
TD : 98/60 mmHg regional
N : 98 x/ mnt
SpO2 : 99%
RR: 18

3 16/04/2018 S : Pasien mengatakan Hipotermi Terpapar di


09.30 kedinginan lingkungan
O : Pasien tampak menggigil dingin
kedinginan, kulit teraba dingin
N : 86 x/mnt
RR: 22 x/mnt
S :35,9’C
SpO2 : 97%;

Post Anestesi
16/04/2018 S : Pasien mengatakan kedua Hambatan Pengaruh
4 10.00 kaki terasa lemas mobilitas sekunder obat
O : Pasien post anestesi ekstremitas anestesi
Pasien, pasien belum mampu bawah
menggerakan ekstremitas bawah.

D. Diagnosa Keperawatan
1. Pre Anestesi
 Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan masalah keadaan post operasi
2. Intra Anestesi
 Resiko syok kardiogenik berhubungan dengan pengaruh sekunder obat anestesi
regional
 Hipotermi berhubungan dengan berada atau terpapar dengan udara dingin
3. Post Anestesi
 Hambatan mobilitas ekstremitas bawah berhubungan dengan efek anestesi (RA)
A. Perencanaan Keperawatan

NO DIAGNOSA TUJUAN RENCANA INTERVENSI RASIONAL


KEPERAWATAN
1 Cemas berhubungan Setelah dilakukan tindakan  Kaji tingkat kecemasan  Mengetahui tingkat kecemasan
dengan kurang keperawatan selama 15  Orientasikan dengan tim operasi dapat menentukan tindakan
pengetahuan masalah menit cemas pasien dan kamar operasi keperawatan.
pembiusan dan operasi berkurang/hilang dengan  Jelaskan tindakan jenis tindakan  Pengenalan akan tim dan
kriteria : anestesi yanga akan dilakukan lingkungan operasi mengurangi
 Pasien menyatakan tahu  Dampingi pasien dalam kecemasan pasien
tentang proses kerja obat mengurangi rasa cemas.  Pengetahuan yang cukup tentang
anestesi  Ajarkan tehnik relaksasi tindakan pembiusan mengurangi
 Pasien menyatakan  Kolaborasi dalam pemberian kecemasan
siapdilakukan pembiusan obat  Pendampingan kepada pasien
 Pasien tampak tenang meningkatkan rasa nyaman dan
dan kooperatif aman.
Eka  Tehnik relaksasi yang benar
Eka mengurangi kecemasan pasien
 Pemberian obat yang tepat
mengurangi kecemasan pasien

Eka
NO DIAGNOSA TUJUAN RENCANA INTERVENSI RASIONAL
KEPERAWATAN
2 Resiko syok kardiogenik Setelah dilakukan tindakan  Atur posisi pasien  Posisi yang tepat membuat pasien
berhubungan dengan obat keperawatan selama intra  Monitor tekanan darah, nadi dan menjadi lebih nyaman
anestesi (RA) operasi pompa jantung dan pernapasan  Tekanan darah, nadi dan
sirkulasi efektif, dengan  Beri oksigenasi pernapasan menunjukan
kriteria :  Evaluasi repon pasien terhadap perubahan hemodinamik pasien
 Tekanan darah sistolik, terapi oksigen  Oksigenasi yang cukup
diastolik dalam batas  Kolaborasi dalam pemberian mengurangi beban jantung
normal oksigenasi dan cairan  Respon pasien terhadap terapi
(100/60-150/100 mmHg) menentukan tindakan
 Nadi dalam batas normal keperawatan selanjutya
(60-100x/mnt) Mona  Pemberian cairan dan oksigenasi
 Pasien menyatakan tidak mencegah terjadinya syok
pusing
 Denyut nadi perifer kuat
dan teratur
Mona

Mona
NO DIAGNOSA TUJUAN RENCANA INTERVENSI RASIONAL
KEPERAWATAN
3 Hipotermi berhubungan Setelah dilakukan tindakan  Mempertahankan suhu ruangan  Suhu ruangan yang sesuai
dengan berada atau keperawatan selama 10 selama pembiusan atau operasi meminimalkan pasien terpapar
terpapar dengan udara menit pasien menunjukan sesuai yang diharapkan udara yang terlalu dingin
dingin termoregulasi, dengan  Pantau tanda vital  Tanda-tanda vital menunjukan
kriteria :  Beri pengahangat perubahan termoregulasi pasien
 Kulit hangat  Pengahangat membantu pasien
 Perubahan warna kulit Ega mencapai termoregulasi
tidak ada
 Pasien tidak mengigil
Ega

Ega
NO DIAGNOSA TUJUAN RENCANA INTERVENSI RASIONAL
KEPERAWATAN
4 Hambatan mobilitas Pasien aman selama proses  Atur posisi pasien  Posisi yang aman dan nyaman
ekstremitas bawah anestesi dan post anestesi  Bantu pergerakan ekstremitas meminimalkan pasien dari cidera
berhubungan dengan efek dengan kriteria : bawah  Pergerakan ekstremitas bawah
anestesi (RA)  Pasien tenang  Ajarkan dan dukung pasien akan mempercepat penyembuhan
 Pasien aman tidak jatuh dalam latihan pergerakan dari pengaruh anestesi
 Pasien mampu untuk  Ajarkan teknik pergerakan yang  Pergerakan ekstremitas bawah
bergerak yang bertujuan aman akan mempercepat penyembuhan
dan berkomunikasi  Latihan mengangkat atau dari pengaruh anestesi
menggerakan ekstremitas bawah  Pergerakan yang aman akan
 Lakukan penilaian bromage mengurangi resiko cedera
Eka skor  Bromage skor menentukan pasien
bisa dipindah ke ruangan atau
belum
Mona

Ega
B. Implementasi dan Evaluasi Keperawatan

TANGGAL IMPLEMENTASI KEPERAWATAN EVALUASI


WAKTU
16/04/2018 Pre Operasi S : Pasien mengatakan paham dan mengerti akan
08.30 Dx : Cemas b.d kurang pengetahuan tentang tindakan pembiusan tindakan anestesi, dan siap dilakukan tindakan
 Memberikan pendidikan kesehatan kepada pasien di ruang penerimaan operasi.
mengenai tindakan, jenis anestesi yang dilakukan dan keadaan post O : KU sedang kesadaran CM
operasi Pasien tampak lebih tenang, pasien kooperatif
 Mengorientasikan tim dan kamar operasi TD: 120/80 mmHg; N: 80x/mnt; RR: 22x/mnt
 Mendampingi pasien selama di ruang penerimaan A : masalah teratasi
 Mengajarkan tehnik relaksasi P : Lanjutkan intervensi pendampingan pasien di
 Mengkaji tingkat kecemasan pasien meja operasi, pindahkan pasien dari ruang
penerimaan ke meja operasi
Ega
Eka

Intra Operasi
Dx : Resiko Potensial Syok Kardiogenik b.d pengaruh obat-obat RA S : Pasien mengatakan pusing
09.00  Mengatur posisi pasien di meja operasi O : KU sedang kesadaran CM
 Memonitor keluhan, TD,Nadi, SpO2, dan Respirasi pasien serta TD: 126/66 mmHg; N: 80x/mnt; RR: 22x/mnt
mencatat dalam catatan monitor pasien di lembar rekam medis pasien SpO2 : 99%,
TANGGAL IMPLEMENTASI KEPERAWATAN EVALUASI
WAKTU
 Kolaborasi dengan dokter anestesi dalam pemberian oksigen dan cairan Pasien terpasang infus di tangan kiri RL 20-30
pada pasien tpm
 Memberikan ephedrine 10mg sesuai anjuran dokter Denyut nadi perifer kuat dan teratur
A : masalah teratasi sebagian, potensial syok
kardiogenik masih bisa terjadi selama tindakan
Ega operasi
P : Lanjutkan intervensi sampai dengan pasien
selesai dilakukan tindakan di kamar operasi

Eka

Dx : Hipotermi b.d terpapar udara dingin S : Pasien mengatakan sudah tidak terlalu dingin
09.25  Mengatur suhu ruangan dengan menurunkan suhu AC di kamar operasi O : warna kulit pasien tidak tampak ada
menjadi 250 C perubahan, kulit teraba hangat, pasien tidak
 Memantau tanda vital menggigil
 Memberikan selimut penghagat disekitar leher dan kedua tangan TD: 124/79 mmHg; N: 88x/mnt; RR: 20x/mnt
SpO2 : 99%
Mona A : masalah teratasi sebagian, resiko hipotermi
masih ada selama pasien menjalani tindakan di
TANGGAL IMPLEMENTASI KEPERAWATAN EVALUASI
WAKTU
kamar operasi
P : lanjutkan intervensi sampai dengan pasien
selesai tindakan di kamar operasi
Ega
Post Operasi
Dx : Hambatan Mobilitas Fisik b.d efek obat anestesi S : Pasien mengatakan kedua kaki masih terasa
10.00  Pasien selesai tindakan di meja operasi, memindahkan pasien lemas, belum bisa digerakan
menggunakan tempat tidur kemudian dibawa ke RR O: KU sedang kesadaran CM, pasien tampak
 Memposisikan pasien di tempat tidur tenang, ekspresi wajah rileks, pengaman tempat
 Membantu pergerakan ekstremitas bawah tidur terpasang dengan baik dan benar
 Melakukan penilaian bromage skor TD: 119/74 mmHg; N: 88x/mnt; RR: 18x/mnt
SpO2 : 99%
Nilai bromage 2
Ega A : masalah teratasi sebagian,mobilitas fisik belum
maksimal karena masih ada efek anestesi
P : Lanjutkan intervensi di ruang perawatan
sampai dengan ekstremitas bawah bergerak
maksimal.
Mona
JURNAL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan jurnal yang berjudul “Efek Pemberian Cairan Koloid dan Kristaloid
Terhadap Tekanan Darah Pada Pasien Seksio Sesarea Dengan Anestesi Spinal di RSUD
Ulin Banjarmasin” didapatkan kesimpulan bahwa dari hasil uji statistik, cairan
kristaloid dan koloid sama efektifnya dalam mempertahankan tekanan darah pada
pasien seksio caesarea dengan anestesi spinal.
Kontroversi mengenai penggunaan cairan koloid dan kristaloid hingga saat ini
terus terjadi. Pendukung cairan koloid berpendapat bahwa dengan menjaga tekanan
onkotik plasma, koloid akan lebih efektif dalam mengembalikan volume intravaskular
dan curah jantung. Disisi lain, para pendukung kristaloid mempertahankan bahwa cairan
kristaloid sebenarnya sama efektifnya dengan cairan koloid. Pendapat ini dipertahankan
mengingat efek samping dan biaya yang dikeluarkan untuk cairan koloid sangat besar.
Hasil penelitian tersebut mendukung penggunaan cairan kristaloid karena terbukti sama
efektifnya dengan cairan koloid dalam mempertahankan tekanan darah pada pasien
seksio caesarea dengan anestesi spinal.
Penatalaksanaan anestesi di IBS RSUD Ambarawa pada pasien seksio caesarea
dengan anestesi spinal dilakukan preloading cairan menggunakan cairan kristaloid.
Cairan tersebut efektif dalam mempertahankan hemodinamik pasien. Sedangkan cairan
koloid hanya digunakan saat durante operasi pada pasien yang mengalami
ketidakstabilan hemodinamik. Ekspansi volume plasma dalam bentuk koloid atau
kristaloid akan bekerja untuk mengembalikan volume intravaskular dengan
meningkatkan tekanan onkotik pada ruang intravaskular. Dimana air akan berpindah ke
dalam ruang intravaskular yang menyebabkan peningkatan sirkulasi volume. Hal
tersebut akan meningkatkan tekanan vena sentral, cardiac output, stroke volume (SV),
tekanan darah, pengeluaran urin, dan perfusi kapiler. Sehingga, penatalaksanaan
anestesi pada pasien seksio caesarea dengan anestesi spinal di IBS RSUD Ambarawa
telah sejalan dengan penelitian tersebut.

Anda mungkin juga menyukai