Anda di halaman 1dari 66

ASUHAN KEPERAWATAN ANESTESI PADA Tn.

A DENGAN DIAGNOSA MEDIS


ICH, EDH, SAH DILAKUKAN KRANIOTOMI DENGAN GENERAL ANESTESI DI
IBS RSUD KOTA BEKASI
Disusun untuk Memenuhi Tugas Individu Praktik Klinik Neuroanestesi

Dosen Pembimbing: Abdul Gofur

Disusun Oleh:

Silvia (P07120620033)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES YOGYAKARTA
JURUSAN KEPERAWATAN
SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkat, rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan pendahuluan asuhan keperawatan anestesi ini
dengan baik. Laporan ini penulis susun untuk memenuhi tugas individu Praktik Klinik
Neuroanestesi dengan dosen pembimbing Bapak Abdul Gofur.

Dalam penyusunan laporan pendahuluan ini penulis mendapatkan banyak bantuan,


bimbingan dan saran serta dukungan dari berbagai pihak. Harapan penulis semoga laporan
pendahulan dengan judul “Asuhan Keperawatan Anestesi pada Tn. A dengan Diagnosa
Medis ICH, EDH, SAH Dilakukan Kraniotomi dengan General Anestesi di IBS RSUD Kota
Bekasi” ini dapat memberikan informasi dan menjadi acuan, petunjuk, serta pedoman kepada
para pembaca.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan ini terdapat banyak kekurangan. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak agar
laporan ini menjadi lebih sempurna.

Bekasi, September 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.....................................................................................................................i
Daftar Isi..............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan...........................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar Penyakit..................................................................................................3
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Anestesi ..............................................................27
C. Persiapan Tindakan General Anestesi...........................................................................40
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................................................................49

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Otak merupakan organ yang sangat vital bagi seluruh aktivitas dan fungsi
tubuh, karena di dalam otak terdapat berbagai pusat kontrol seperti pengendalian fisik,
intelektual, emosional, sosial, dan keterampilan. Walaupun otak berada dalam ruang
yang tertutup dan terlindungi oleh tulang-tulang yang kuat namun dapat juga
mengalami kerusakan. Salah satu penyebab dari kerusakan otak adalah terjadinya
trauma atau cedera kepala yang dapat mengakibatkan kerusakan struktur otak,
sehingga fungsinya juga dapat terganggu (Black & Hawks, dalam Tarwoto, 2012).

Trauma menjadi penyebab terbanyak kematian pada usia di bawah 45 tahun


dan lebih dari 50% merupakan trauma kapitis. Trauma kepala merupakan salah satu
masalah kesehatan yang dapat menyebabkan gangguan fisik dan mental yang
kompleks, defisit kognitif psikis intelektual dan lain-lain yang dapat bersifat
sementara ataupun menetap. Cedera kepala dapat menimbulkan risiko yang tidak
ringan. Risiko utama pasien yang mengalami cedera kepala adalah kerusakan otak
akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Cedera kepala merupakan penyebab
utama kematian dan biasanya menyebabkan cacat seumur hidup pada orang yang
bertahan hidup. Diantara jenis perdarahan dari cedera kepala, perdarahan
subarakhnoid merupakan masalah kesehatan dunia dengan tingkat kematian dan
tingkat kecatatan permanen yang tinggi.

Di Indonesia kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai


500.000 kasus. Diperkirakan lebih dari 30 % kasus cedera kepala berakibat fatal
sebelum datang ke rumah sakit dan 20 % kasus cedera kepala mengalami komplikasi
sekunder seperti iskemia serebral akibat hipoksia dan hipotensi, perdarahan serebral
serta edema serebral (Black & Hawks, dalam Tarwoto, 2012). Menurut Deem (2006,
dalam Tarwoto, 2012) pada keadaan normal otak membutuhkan 30 – 40 % oksigen
dari kebutuhan oksigen tubuh. Konsumsi oksigen otak yang besar ini disebabkan
karena otak tidak mempunyai cadangan oksigen, sehingga suplai oksigen yang masuk
akan habis terpakai. Kesimbangan oksigen otak dipengaruhi oleh cerebral blood flow
yang besarnya berkisar 15 – 20 % dari curah jantung (Black & Hawks, dalam
Tarwoto, 2012).

Dalam penulisan laporan ini penulis membahas tentang kasus cedera kepala
yang dilakukan pembedahan kraniotomi dengan teknik generalal anestesi dimana
angka kejadian penyakit ini cukup tinggi dan menjadi penyebab utama dari morbiditas
dan mortalitas di dunia.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana asuhan keperawatan anestesi pada Tn. A dengan diagnosa medis
ICH, EDH, SAH dilakukan kraniotomi dengan general anestesi di IBS RSUD Kota
Bekasi?
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Membantu meningkatkan wawasan dan pengetahuan mahasiswa/mahasiswi,
tenaga kesehatan dan pembaca tentang manajemen asuhan keperawatan anestesi
pada kasus pembedahan kraniotomi dengan general anestesi.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui konsep dasar penyakit pada ICH, EDH, dan SAH
b. Untuk mengetahui konsep dasar asuhan keperawatan anestesi pada
pembedahan kraniotomi
c. Untuk mengetahui persiapan-persiapan pada tindakan general anestesi dan
intubasi ETT

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Penyakit


1. Anatomi Fisiologi
a. Anatomi Kepala

Gambar 1. Lapisan kulit kepala


1) Skin atau kulit adalah lapisan yang bersifat tebal dan mengandung rambut serta
kelenjar keringat (Sebacea) (Japardi, 2004:3).
2) Connective tissue atau jaringan subkutis merupakan jaringan ikat lemak yang
memiliki septa-septa, kaya akan pembuluh darah terutama di atas Galea.
Pembuluh darah tersebut merupakan anastommistis antara arteri karotis interna
dan eksterna, tetapi lebih dominan arteri karotis eksterna (Japardi, 2004:3).
3) Aponeurosis galea merupakan lapisan terkuat, berupa fascia yang melekat pada
tiga otot (Japardi, 2004:3), yaitu:
a) ke anterior – m. frontalis
b) ke posterior – m. occipitslis
c) ke lateral – m. temporoparietalis
Ketiga otot ini dipersarafi oleh nervus fasialis (N. VII)
4) Loose areolar tissue atau jaringan ikat longgar adalah lapisan yang mengandung
vena emissary yang merupakan vena tanpa katup (valveless vein), yang
menghubungkan SCALP, vena diploica, dan sinus vena intrakranial (misalnya
Sinus sagitalis superior). Jika terjadi infeksi pada lapisan ini, akan mudah
menyebar ke intrakranial. Hematoma yang tebentuk pada lapisan ini disebut
Subgaleal hematom, yakni hematoma yang paling sering ditemukan setelah
cedera kepala (Japardi, 2004:3).

3
5) Pericranium (perikranium) merupakan periosteum yang melapisi tulang
tengkorak, melekat erat terutama pada sutura karena melalui sutura ini
periosteum akan langsung berhubungan dengan endosteum (yang melapisi
permukaan dalam tulang tengkorak) (Japardi, 2004:3).
6) Duramater adalah selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan
ikat tebal dan kuat. Pada bagian tengkorak terdiri dari periost (selaput) tulang
tengkorak dan durameter propia bagian dalam. Duramater ditempat tertentu
mengandung rongga yang mengalirkan darah dari vena otak. Rongga ini
dinamakan sinus vena. Diafragma sellae adalah lipatan berupa cincin dalam
duramater menutupi sel tursika sebuah lekukan pada tulang stenoid yang berisi
kelenjar hipofisis.
7) Araknoidea adalah selaput tipis yang membentuk sebuah balon yang berisi
cairan otak yang meliputi susunan saraf sentral. Otak dan medulla spinalis
berada dalam balon yang berisi cairan itu. Kantong-kantong araknoid ke bawah
berakhir di bagian sacrum, medulla spinalis berhenti setinggi lumbal I-II. Di
bawah lumbal II kantong berisi cairan hanya terdapat saraf-saraf perifer yang
keluar dari media spinalis. Pada bagian ini tidak ada medulla spinalis. Hal ini
dimanfaatkan untuk pengambilan cairan otak yang disebut pungsi lumbal.
8) Piameter adalah selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak,
piamater yang berhubungan dengan araknoid melalui struktur jaringan ikat
yang disebut trebekhel.
b. Otak
Otak merupakan alat tubuh yang sangat penting dan sebagai pusat pengatur
dari segala kegiatan manusia. Otak terletak di dalam rongga tengkorak. Otak
manusia mencapai 2% dari keseluruhan berat tubuh, mengonsumsi 25% oksigen
dan menerima 1,5% curah jantung. Bagian utama otak adalah otak besar
(Cerebrum), otak kecil (Cerebellum), dan batang otak.

4
Gambar 2. Anatomi Otak Manusia
1) Otak Besar (Cerebrum)
Otak besar merupakan pusat pengendali kegiatan tubuh yang disadari,
yaitu berpikir, berbicara, melihat, bergerak, mengingat, dan mendengar. Otak
besar dibagi menjadi dua belahan, yaitu belahan kanan dan belahan kiri.
Masing-masing belahan pada otak tersebut disebut hemister. Otak besar
belahan kanan mengatur dan mengendalikan kegiatan tubuh sebelah kiri,
sedangkan otak belahan kiri mengatur dan mengendalikan bagian tubuh
sebelah kanan (Pearce, 2007).
2) Otak Kecil (Cerebellum)
Otak kecil terletak di bagian belakang otak besar, tepatnya di bawah
otak besar. Otak terdiri atas dua lapisan, yaitu lapisan luar berwarna kelabu dan
lapisan dalam berwarna putih. Otak kecil dibagi menjadi dua bagian, yaitu
belahan kiri dan belahan kanan yang dihubungkan oleh jembatan varol. Otak
kecil berfungsi sebagai pengatur keseimbangan tubuh dan mengkoordinasikan
kerja otot ketika seseorang akan melakukan kegiatan dan pusat keseimbangan
tubuh.
Otak kecil dibagi tiga daerah yaitu otak depan, otak tengah, dan otak
belakang. Otak depan meliputi: Hipotalamus, merupakan pusat pengatur suhu,
selera makan, keseimbangan cairan tubuh, rasa haus, tingkah laku, kegiatan
reproduksi, meregulasi pituitari. Talamus, merupakan pusat pengatur sensori,
menerima semua rangsan yang berasal dari sensorik cerebrum. Kelenjar
pituitary, sebagai sekresi hormon. Otak tengah dengan bagian atas merupakan
lobus optikus yang merupakan pusat refleks mata. Otak belakang, terdiri atas

5
dua bagian yaitu otak kecil dan medulla oblongata. Medula oblongata berfungsi
mengatur denyut jantung, tekanan darah, mengatur pernapasan, sekresi ludah,
menelan, gerak peristaltik, batuk, dan bersin (Pearce, 2007).
3) Batang Otak
Batang otak merupakan struktur pada bagian posterior (belakang) otak.
Batang otak merupakan sebutan untuk kesatuan dari tiga struktur yaitu medulla
oblongata, pons dan mesencephalon (otak tengah).
a) Medula Oblongata
Medula oblongata merupakan sumsum lanjutan atau sumsum
penghubung, terbagi menjadi dua lapis, yaitu lapisan dalam dan luar
berwarna kelabu karena banyak mengandung neuron. Lapisan luar
berwarna putih, berisi neurit dan dendrit. Panjangnya sekitar 2,5 cm dan
menjulur dari pons sampai medulla spinalis dan terus memanjang. Bagian
ini berakhir pada area foramen magnum tengkorak. Pusat medulla adalah
nuclei yang berperan dalam pengendalian fungsi seperti frekuensi jantung,
tekanan darah, pernapasan, batuk, menelan dan muntah. Nuclei yang
merupakan asal syaraf cranial IX, X, XI dan XII terletak di dalam medulla.
Fungsi sumsum tulang belakang adalah mengatur reflex fisiologis, seperti
kecepatan napas, denyut jantung, suhu tubuh, tekanan, darah, dan kegiatan
lain yang tidak disadari (Pearce, 2007).
b) Pons
Pons terletak di bagian atas dari batang otak, antara medulla oblongata
dan talamus, dan dalam banyak hal bertindak sebagai penghubung antara
kedua daerah. Pons dibuat terutama dari “materi putih,” yang berbeda, baik
secara fungsional dan biologis, dari “abu abu” dari serebral otak, dan
umumnya berukuran cukup kecil, sekitar satu inci (2,5 cm) di kebanyakan
orang dewasa. Ukuran dan lokasi membuat ide untuk mengendalikan dan
mengarahkan banyak sinyal syaraf, yang sebagian besar berhubungan
dengan wajah dan sistem pernapasan (Pearce, 2007).
Tiga fungsi utama dari pons adalah sebagai jalur untuk mentransfer
sinyal antara otak besar dan otak kecil; membantu mengirimkan sinyal
syaraf kranial keluar dari otak dan ke wajah dan telinga; dan
mengendalikan fungsi yang tidak disadari seperti respirasi dan kesadaran.
Meskipun pons adalah bagian kecil dari otak itu adalah salah satu yang

6
sangat penting. Lokasi pons di batang otak, cocok untuk melakukan sinyal
masuk dan keluar, dan berfungsi sebagai titik asal bagi banyak saraf kranial
yang penting. Kegiatan mengunyah, menelan, bernapas, dan tidur
menggunakan pons. Pons juga memainkan peran dalam pendengaran,
berfungsi sebagai titik asal untuk empat dari dua belas syaraf kranial utama
yaitu: trigeminal yang abdusen, wajah, dan vestibulokoklear. Karena
berfungsi sebagai jalur untuk syaraf ini dan membawa sinyal mereka ke
korteks utama. Sebagian besar sinyal ini berhubungan dengan fungsi wajah,
termasuk gerakan dan sensasi di mata dan telinga (Pearce, 2007).
4) Otak Tengah (Mesensefalon)
Otak tengah merupakan penghubung antara otak depan dan otak
belakang, bagian otak tengah yang berkembang adalah lobus optikus yang
berfungsi sebagai pusat refleksi pupil mata, pengatur gerak bola mata, dan
refleksi akomodasi mata.
c. Fisiologis Cairan Otak (TIK)
Tekanan intrakrania (TIK) adalah tekanan relatif di dalam rongga kepala yang
dihasilkan oleh keberadaan jaringan otak, cairan serebrospinal (CSS), dan volume
darah yang bersirkulasi di otak (Satyanegara, 2014:225). Menurut hipotesa Monro-
Kellie, adanya peningkatan volume pada satu komponen haruslah
dikompensasikan dengan penurunan volume salah satu dari komponen lainnya.
Dengan kata lain, terjadinya peningkatan tekanan intrakranial selalu diakibatkan
oleh adanya ketidakseimbangan antara volume intrakranial dengan isi kranium
(Krisanty, Paula dkk, 2009:71).
Tabel 1. Perbandingan volume komponen penyusun rongga intrakranial

Isi Volume Volume Total

Otak 1400 ml 80%

Darah 150 ml 10%

Cairan serebro spinal 150 ml 10%

Total 1700 ml 100%

Adanya suatu penambahan massa intrakranial, maka sebagai kompenasasi


awal adalah penurunan volume darah vena dan cairan serebro spinal secara

7
resprokal. Keadaan ini dikenal sebagai doktrin Monro-Kellie Burrows, yang telah
dibuktikkan melalui berbagai penelitian eksperimental maupun klinis (kecuali
pada anak-anak dimana sutura tulang tengkoraknya masih belum menutup,
sehingga masih mampu mengakomodasi penambahan volume intrakranial). Sistem
vena akan menyempit bahkan kolaps dan darah akan diperas keluar melalui vena
jugularis atau melaui vena-vena emisaria dan kulit kepala. Kompensasi selanjunya
adalah CSS juga akan terdesak melalui foramen magnum ke arah rongga
subarachnoid spinalis. Mekanisme kompenasi ini hanya berlangsung sampai batas
tertentu yang disebut sebagai titik batas kompensasi dan kemudian akan terjadi
peningkatan tekanan intrakranial yang hebat secara tiba-tiba. Parenkim otak dan
darah tidak ikut serta dalam mekanisme kompenasi tersebut di atas (Satyanegara,
2014:225).
Kenaikan TIK lebih dari 10 mmHg dikategorikan sebagai keadaan yang
patologis (hipertensi intrakranial), keadaan ini berpotensi merusak 14 otak serta
berakibat fatal. Secara garis besar kerusakan otak akibat tekanan tinggi intrakranial
(TTIK) terjadi melalui dua mekanisme, yaitu pertama adalah sebagai akibat
gangguan aliran darah serebral dan kedua adalah sebaga akibat proses mekanisme
pergeseran otak yang kemudian menimbulkan pergeseran dan herniasi jaringan
otak (Satyanegara, 2014:226).
2. Definisi
a. Perdarahan Intraserebral (ICH)
Perdarahan intraserebral adalah perdarahan parenkim otak akibat pecahnya
arteri intraserebral, biasanya karena cedera kepala berat. Ciri khas hematoma
intraserebral adalah hilang kesadaran dan nyeri kepala berat jika pasien sadar
kembali. Perdarahan intraserebral spontan nontraumatik didefinisikan sebagai
ekstravasasi spontan darah ke dalam parenkim otak yang dapat meluas ke
ventrikel otak atau pada kasus yang jarang dapat sampai ke ruang subarachnoid.
ICH dapat diklasifikasikan menjadi primer dan sekunder. ICH primer terjadi
akibat ruptur spontan pembuluh darah kecil yang telah mengalami kerusakan
akibat proses hipertensi kronis atau amyloid angiopathy dan kasusnya mencapai
sekitar 80% dari semua kasus ICH. ICH sekunder berkaitan dengan adanya
abnormalitas pembuluh darah (malformasi arterivena, aneurisma), gangguan
koagulasi, dan perdarahan pada tumor otak.

8
b. Perdarahan Epidural (EDH)
Hematom epidural atau lebih dikenal dengan istilah epidural hematoma (EDH)
merupakan salah satu jenis perdarahan intrakranial yang paling sering terjadi
karena fraktur tulang tengkorak oleh karena adanya cedera mekanik (trauma
kepala). Epidural hemorrhage (EDH) adalah perdarahan yang terjadi pada ruang
epidural, biasanya terjadi pada fossa kranii media karena adanya laserasi arteri
meningea media, walaupun bisa juga terjadi pada fossa anterior ataupun posterior.
Bentuknya biasanya lentikuler dan dibatasi oleh garis sutura di mana lapisan
perikranial dura melekat ke kranium. Secara klasik, pasien EDH memiliki lucid
interval, yakni periode adanya kesadaran yang jernih sebelum terjadinya
penurunan kesadaran. Sumber utama perdarahan hematoma epidural adalah
rupturnya arteri meningea media. Lokasi perdarahan epidural yang paling sering
adalah daerah temporoparietal dan daerah temporal pada 2-5% pasien dapat
terjadi bilateral.
c. Perdarahan Subaraknoid (SAH)
Perdarahan subaraknoid dapat diartikan sebagai proses pecahnya pembuluh
darah di ruang yang berada dibawah arakhnoid (subaraknoid). Kejadian ini
bervariasi dari 26% hingga 53% pada pasien dengan cedera kepala. Perdarahan
subarakhnoid ditandai dengan adanya ekstravasasi darah ke rongga subarakhnoid
yaitu rongga antara lapisan dalam (piamater) dan lapisan tengah (arakhnoid
matter) yang merupakan bagian selaput yang membungkus otak (meninges).
3. Etiologi
a. Perdarahan Intraserebral (ICH)
Faktor resiko paling penting dan paling sering untuk ICH adalah hipertensi,
yang rata-rata mencapai 60–70% dari semua kasus ICH. Faktor-faktor resiko lain
yang dapat memicu timbulnya ICH antara lain konsumsi alkohol,
hipokolesterolemia, pemakaian antikoagulan dan antitrombotik, penyalahgunaan
obat-obatan seperti kokain, obat-obat simpatomimetik serta genetik tertentu.
b. Perdarahan Epidural (EDH)
Perdarahan epidural utamanya disebabkan oleh gangguan struktur duramater
dan pembuluh darah kepala biasanya karena fraktur akibat trauma kapitis,
tengkorak retak. Fraktur yang paling ringan, ialah fraktur linear. Jika gaya
destruktifnya lebih kuat, bisa timbul fraktur yang berupa bintang (stelatum), atau

9
fraktur impresi yang dengan kepingan tulangnya menusuk ke dalam ataupun
fraktur yang merobek dura dan sekaligus melukai jaringan otak (laserasio). Pada
pendarahan epidural yang terjadi ketika pecahnya pembuluh darah, biasanya
arteri, yang kemudian mengalir ke dalam ruang antara duramater dan tengkorak.
Beberapa keadaan yang bisa menyebabkan EDH adalah misalnya benturan pada
kepala pada kecelakaan motor.
c. Perdarahan Subarakhnoid (SAH)
Etiologi yang paling sering menyebabkan perdarahan subarakhnoid adalah
ruptur aneurisma salah satu arteri di dasar otak dan adanya malformasi
arteriovenosa (MAV). Terdapat beberapa jenis aneurisma yang dapat terbentuk di
arteri otak seperti:
1) Aneurisma sakuler (berry), yaitu aneurisma yang terjadi pada titik bifurkasio
arteri intrakranial. Lokasi tersering aneurisma sakular adalah arteri
komunikans anterior (40%), bifurkasio arteri serebri media di fisura sylvii
(20%), dinding lateral arteri karotis interna (pada tempat berasalnya arteri
oftalmika atau arteri komunikans posterior 30%), dan basilar tip (10%).
Aneurisma dapat menimbulkan defisit neurologis dengan menekan struktur
disekitarnya bahkan sebelum rupture.
2) Aneurisma fusiformis, yaitu aneurisma yang terjadi pada segmen intrakranial
arteri karotis interna, trunkus utama arteri serebri media, dan arteri basilaris.
Aneurisma fusiformis dapat disebabkan oleh aterosklerosis dan/atau
hipertensi. Aneurisma fusiformis yang besar pada arteri basilaris dapat
menekan batang otak. Aliran yang lambat di dalam aneurisma fusiformis dapat
mempercepat pembentukan bekuan intraaneurismal terutama pada sisi-sisinya.
3) Aneurisma mikotik, yaitu aneurisma yang umumnya ditemukan pada arteri
kecil di otak.
4. Patofisiologi
a. Perdarahan Intraserebral (ICH)
Patofisiologi dari ICH banyak mengalami perubahan beberapa tahun terakhir
ini, dahulu dianggap sebagai suatu kejadian perdarahan yang cepat dan sederhana
dan saat ini dipahami sebagai suatu proses yang dinamis dan kompleks. Terdapat
dua hal baru yang penting dan dipahami saat ini, yang pertama adalah banyak dari
perdarahan tersebut akan terus berkembang dan membesar dalam beberapa jam
setelah onset gejala pertama yang dikenal dengan early hematoma growth, hal

10
kedua adalah edema dan cedera otak dapat timbul beberapa hari setelah ICH
sebagai akibat proses inflamasi yang disebabkan trombin dan produk akhir dari
proses pembekuan (perihematomal injury).
Hampir semua kasus menunjukkan adanya ekspansi hematoma dan hal ini
disebabkan oleh perdarahan yang masih aktif yang didukung oleh kondisi
hipertensi serta defisit koagulasi lokal. Hematoma memicu terjadinya cedera
sekunder berupa edema dan cedera otak melalui proses peradangan yang dikenal
sebagai cedera otak perihematomal. Edema awal timbul disekitar hematoma
terjadi akibat pelepasan dan akumulasi protein dari bekuan darah yang bersifat
osmotik. Edema vasogenik dan sitotoksik muncul beberapa hari kemudian akibat
disrupsi sawar darah otak, kegagalan pompa natrium, dan pelepasan mediator
karena adanya kerusakan dan kematian sel.
b. Perdarahan Epidural (EDH)
Pada EDH, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan duramater.
Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu cabang
arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur tulang
tengkorak di daerah bersangkutan. Hematom dapat pula terjadi di daerah frontal
atau oksipital. Arteri meningea media masuk di dalam tengkorak melalui foramen
spinosum melalui durameter dan tulang di permukaan dan os temporale.
Perdarahan yang terjadi menimbulkan EDH, desakan oleh hematoma akan
melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga hematom
bertambah besar.
Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada
lobus temporalis otak kearah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian
medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium. Keadaan ini
menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik yang dapat dikenal oleh tim
medis. Tekanan dari herniasi pada sirkulasi arteria yang mengatur formation
retikularis di medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini
terdapat nuklei saraf cranial ketiga (oculomotorius). Tekanan pada saraf ini
mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan
kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan kelemahan
respons motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda
Babinsky positif.

11
Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan terdorong
kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intrakranial yang besar. Timbul
tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan intrakranial antara lain gangguan tanda-
tanda vital dan fungsi pernafasan. Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka
darah akan terpompa terus keluar hingga makin lama makin besar. Ketika kepala
terbanting atau terbentur mungkin penderita pingsan sebentar dan segera sadar
kembali.
Dalam waktu beberapa jam, penderita akan merasakan nyeri kepala yang
progresif memberat, kemudian kesadaran berangsur menurun. Masa antara dua
penurunan kesadaran ini selama penderita sadar setelah terjadi kecelakaan disebut
lucid interval. Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer yang ringan
pada EDH. Kalau pada subdural hematoma cedera primernya hampir selalu berat
atau epidural hematoma dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid interval
karena pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase
sadar.
c. Perdarahan Subaraknoid (SAH)
Aneurisma intrakranial khas terjadi pada titik-titik cabang arteri serebral
utama. Hampir 85% dari aneurisma ditemukan dalam sirkulasi anterior dan 15%
dalam sirkulasi posterior. Secara keseluruhan, tempat yang paling umum adalah
arteri communicans anterior diikuti oleh arteri communicans posterior dan arteri
bifucartio cerebri. Dalam sirkulasi posterior, situs yang paling lebih besar adalah
di bagian atas bifurkasi arteri basilar ke arterie otak posterior.
Pada umumnya aneurisma terjadi pada sekitar 5% dari populasi orang dewasa,
terutama pada wanita. Penyebab pembentukan aneurisma intrakranial dan rupture
tidak dipahami; Namun, diperkirakan bahwa aneurisma intrakranial terbentuk
selama waktu yang relatif singkat dan baik pecah atau mengalami perubahan
sehingga aneurisma yang utuh tetap stabil. Pemeriksaan patologis dari aneurisma
ruptur diperoleh pada otopsi menunjukkan disorganisasi bentuk vaskular normal
dengan hilangnya lamina elastis internal dan kandungan kolagen berkurang.
Sebaliknya, aneurisma yang utuh memiliki hampir dua kali kandungan kolagen
dari dinding arteri normal, sehingga peningkatan ketebalan aneurisma
bertanggung jawab atas stabilitas relatif yang diamati dan untuk resiko ruptur
menjadi rendah. Meskipun masih terdapat kontroversi mengenai asosiasi ukuran
dan kejadian pecah, 7 mm tampaknya menjadi ukuran minimal pada saat ruptur.

12
Secara keseluruhan, aneurisma yang ruptur cenderung lebih besar daripada
aneurisma yang tidak ruptur.
Puncak kejadian aneurisma pada SAH terjadi pada dekade keenam kehidupan.
Hanya 20% dari aneurisma yang ruptur terjadi pada pasien berusia antara 15 dan
45 tahun. Tidak ada faktor predisposisi yang dapat dikaitaan dengan kejadian ini,
mulai dari tidur, kegiatan rutin sehari-hari, dan aktivitas berat. Hampir 50% dari
pasien yang memiliki SAH, ketika dianamnesis pasti memiliki riwayat sakit
kepala yang sangat berat atau sekitar 2-3 minggu sebelum perdarahan besar.
Puncak kejadian perdarahan berikutnya terjadi pada 24 jam pertama, tetapi tetap
ada risiko hari-hari berikutnya dapat mengalami perdarahan. Sekitar 20-25%
kembali ruptur dan mengalami perdarahan dalam 2 minggu pertama setelah
kejadian pertama. Kematian terjadi terkait perdarahan kedua hampir 70%.
5. Manifestasi Klinis
a. Perdarahan Intraserebral (ICH)
Tanda dan gejala klinis dari ICH dapat berupa defisit neurologis yang cepat
serta tanda klinis peningkatan tekanan intrakranial (TIK) seperti nyeri kepala,
muntah, penurunan kesadaran. Hampir semua pasien disertai peningkatan tekanan
darah dan dapat juga mengalami disautonomia seperti bradikardia, takikardia,
hiperventilasi, febris, dan hiperglikemia. Gejala klinis ini biasanya muncul pada
24 jam pertama dan disebabkan oleh kombinasi antara ekspansi perdarahan,
edema perihematoma, kejang dan hidrosephalus.
b. Perdarahan Epidural (EDH)
Gejala yang sangat menonjol pada epidural hematom adalah kesadaran
menurun secara progresif. Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali tampak
memar di sekitar mata dan di belakang telinga. Sering juga tampak cairan yang
keluar pada saluran hidung dan telinga. Setiap orang memiliki kumpulan gejala
yang bermacam-macam akibat dari cedera kepala. Banyak gejala yang timbul
akibat dari cedera kepala. Gejala klinis hematoma epidural yang sering tampak
yaitu sebagai berikut.
1) Lucid interval (+), awalnya pasien tidak sadar kemudian sadar dan kembali
tidak sadar.
2) Kesadaran makin menurun
3) Late hemiparesis
4) Pupil anisokor

13
5) Refleks Babinski (+) satu sisi
6) Fraktur di daerah temporal
7) Pada saat pasien sadar dapat ditemukan gejala defisit fokal (deserebrasi,
kejang, afasia
8) Nyeri kepala progresif
9) Saat pasien kembali tidak sadar sering terjadi spastisitas tungkai bilateral
10) Kadang ditemukan bradikardi (<60 x/menit), kenaikan tekanan darah sistolik
11) Hasil CT-scan otak pada pasien hematoma epidural adalah gambaran
hiperdens perdarahan bikonveks di tulang tengkorak dan dura umumnya di
daerah temporal
Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai hemiparese
atau serangan epilepsi fokal. Pada perjalanannya, pelebaran pupil akan mencapai
maksimal dan reaksi cahaya pada permulaan masih positif menjadi negatif. Hal
ini merupakan tanda sudah terjadi herniasi tentorial. Terjadi pula kenaikan
tekanan darah dan bradikardi. Pada tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma
dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil
tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian. Gejala-
gejala respirasi yang bisa timbul berikutnya, mencerminkan adanya disfungsi
rostrocaudal batang otak.
c. Perdarahan Subaraknoid (SAH)
Tanda klasik SAH, sehubungan dengan pecahnya aneurisma yang besar, meliputi:
1) Nyeri kepala yang hebat dan mendadak
2) Hilangnya kesadaran
3) Fotofobia
4) Meningismus
5) Mual dan muntah
Sebenarnya, sebelum muncul tanda dan gejala klinis yang hebat dan
mendadak tersebut, sudah ada berbagai tanda peringatan yang pada umumnya
tidak memperoleh perhatian sepenuhnya oleh penderita maupun dokter yang
merawatnya. Tanda-tanda peringatan tadi dapat muncul beberapa jam, hari,
minggu, atau lebih lama lagi sebelum terjadinya perdarahan yang hebat. Tanda-
tanda perigatan dapat berupa nyeri kepala yang mendadak dan kemudian hilang
dengan sendirinya (30-60%), nyeri kepala disertai mual, nyeri tengkuk dan
fotofobia (40-50%), dan beberapa penderita mengalami serangan seperti

14
“disambar petir”. Sementara itu, aneurisma yang membesar (sebelum pecah)
dapat menimbulkan tanda dan gejala seperti defek medan penglihatan, gangguan
gerak bola mata, nyeri wajah, nyeri orbital, atau nyeri kepala yang terlokalisasi.
6. Komplikasi
a. Perdarahan Epidural (EDH)
Hematoma epidural dapat memberikan komplikasi yaitu berupa:
1) Edema serebri, merupakan keadaan gejala patologis, radiologis di mana
keadaan ini mempunyai peranan yang sangat bermakna pada kejadian
pergeseran otak (brain shift) dan peningkatan tekanan intrakranial.
2) Kompresi batang otak
b. Perdarahan Subaraknoid (SAH)
Vasospasme dan perdarahan ulang adalah komplikasi paling sering pada
perdarahan subarachnoid. Tanda dan gejala vasospasme dapat berupa status
mental, deficit neurologis fokal. Vasospasme akan menyebabkan iskemia serebral
tertunda dengan dua pola utama, yaitu infark kortikal tunggal dan lesi multiple
luas. Perdarahan ulang mempunyai mortalitas 70%. Selain vasopasme dan
perdarahan ulang, komplikasi lain yang dapat terjadi adalah hidrosefalus,
hiponatremia, hiperglikemia dan epilepsi.
7. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
a. Pemeriksaan Fisik
1) Perdarahan Epidural (EDH)
a) Pemeriksaan Kesadaran
Tingkat kesadaran penderita dapat dinilai dengan cara yang biasa dipakai
(sadar, somnolent, sopor, coma) atau dengan menggunakan metode AVPU
atau Skala Koma Glasgow (GCS).
 Evaluasi dengan menggunakan metode AVPU, yaitu:
- A: Alert, sadar
- V: Vocal, adanya respon terhadap stimuli vokal
- P: Painful, adanya respon hanya pada rangsang nyeri
- U: Unresponsive, tidak ada respon sama sekali.
 Evaluasi dengan Skala Koma Glasgow (GCS)

1. Membuka Mata (eye) Nilai

Spontan 4

15
Terhadap bicara (suruh pasien membuka mata) 3

Dengan rangsang nyeri (tekan pada saraf supraorbital 2


atau kuku jari)

Tidak ada reaksi (dengan rangsang nyeri pasien tidak 1


membuka mata)

2. Respon Bicara (verbal)

Baik dan tidak disorientasi (dapat menjawab dengan 5


kalimat yang tidak baik dan tahu dimana ia berada, tahu
waktu, hari, bulan)

Kacau atau confused (dapat bicara dalam kalimat, namun 4


ada disorientasi waktu dan tempat)

Tidak tepat (dapat mengucapkan kata-kata, namun tidak 3


berupa kalimat dan tidak tepat)

Mengerang (tidak menggunakan kata, hanya suara 2


mengerang)

Tidak ada jawaban 1

3. Respon Gerakan (motoric)

Menurut perintah 6

Mengetahui lokasi nyeri (berikan rangsang nyeri, 5


misalnya menekan dengan jari pada supraorbita. Bila
oleh rasa nyeri pasien mengangkat tangannya sampai
melewati dagu untuk maksud menapis rangsangan
tersebut berarti ia dapat mengetahui lokasi nyeri)

Reaksi menghindar 4

Reaksi flexi (dekortikasi) 3

Reaksi ekstensi (deserbrasi) 2

Tidak ada reaksi 1

Interpretasi
- Nilai tertinggi : E + M + V = 13 - 15 (responsiveness)
- Nilai sedang : E + M + V = 9 - 12
- Nilai terendah : E + M + V = 3 - 8 (coma)
2) Perdarahan Subaraknoid (SAH)

16
Pemeriksaan klinis bertujuan untuk menilai gangguan fungsi saraf
kranialis, tingkat kesadaran, kekuatan motorik dan ada tidaknya tanda
perangsangan meningeal serta refleks yang meningkat. Pada pasien
subarachnoid hemoragik biasanya dijumpai kaku kuduk positif dan kerniq
yang positif yang merupakan ciri khas dari subarachnoid hemoragik dan
digunakan untuk membedakan dengan ICH. Perdarahan retina berupa
perdarahan subhialid merupakan gejala karakteristik perdarahan subarakhnoid.
Pada 10% penderita mengalami edema papil beberapa jam setelah pendarahan.

b. Pemeriksaan Penunjang
1) Perdarahan Intraserebral (ICH)
Pemeriksaan penunjang pada Intra Cerebral Hematom menurut Sudoyo (2006)
adalah sebagai berikut.
a) Angiografi
b) Ct scanning
c) Lumbal pungsi
d) MRI
e) Thorax photo
f) Laboratorium
g) EKG
2) Perdarahan Epidural (EDH)
a) Foto Polos Kepala
Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai
EDH. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral dengan sisi yang
mengalami trauma pada film untuk mencari adanya fraktur tulang yang
memotong sulcus arteria meningea media.
b) Computed Tomography (CT-Scan)
Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan
potensi cedara intrakranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu
bagian saja (single) tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral),
berbentuk bikonfeks, paling sering di daerah temporoparietal. Densitas
darah yang homogen (hiperdens), berbatas tegas, midline terdorong ke sisi
kontralateral. Terdapat pula garis fraktur pada area epidural hematoma.
c) Magnetic Resonance Imaging (MRI)

17
MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang
menggeser posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan
duramater. MRI juga dapat menggambarkan batas fraktur yang terjadi.
MRI merupakan salah satu jenis pemeriksaan yang dipilih untuk
menegakkan diagnosis.
3) Perdarahan Subaraknoid (SAH)
a) CT Scan
Pemeriksaan CT scan tanpa kontras adalah pilihan utama karena
sensitivitasnya tinggi dan mampu menentukan lokasi perdarahan lebih
akurat; sensitivitasnya mendekati 100% jika dilakukan dalam 12 jam
pertama setelah serangan tetapi akan turun pada 1 minggu setelah
serangan.
b) Pungsi Lumbal
Jika hasil pemeriksaan CT scan kepala negatif, langkah diagnostic
selanjutnya adalah pungsi lumbal. Pemeriksaan pungsi lumbal sangat
penting untuk menyingkirkan diagnosis banding. Beberapa temuan pungsi
lumbal yang mendukung diagnosis perdarahan subarachnoid adalah adanya
eritrosit, peningkatan tekanan saat pembukaan, dan atau xantokromia.
Jumlah eritrosir meningkat, bahkan perdarahan kecil kurang dari 0,3 mL
akan menyebabkan nilai sekitar 10.000 sel/mL. Xantokromia adalah warna
kuning yang memperlihatkan adanya degradasi produk eritrosit, terutama
oksihemoglobin dan bilirubin di cairan serebrospinal.
c) Angiografi
Digital-substraction cerebral angiography merupakan baku emas untuk
deteksi aneurisma serebral, tetapi CT angiografi lebih sering digunakan
karena non-invasif serta sensitivitas dan spesifitasnya lebih tinggi. Evaluasi
teliti terhadap seluruh pembuluh darah harus dilakukan karena sekitar 15%
pasien memiliki aneurisma multiple. Foto radiologic yang negative harus
diulang 7-14 hari setelah onset pertama. Jika evaluasi kedua tidak
memperlihatkan aneurisma, MRI harus dilakukan untuk melihat
kemungkinan adanya malformasi vascular di otak maupun batang otak.
8. Penatalaksanaan Medis
a. Perdarahan Intraserebral (ICH)

18
Penatalaksanaan pasien dengan perdarahan intraserebral dilakukan secara
berkesinambungan mulai dari ruang gawat darurat, kamar operasi, ruang
perawatan intensif maupun sampai pada tahap rehabilitasi di ruangan atau
poliklinis. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan hasil yang maksimal mengingat
angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada pasien-pasien dengan ICH.
1) Penatalaksanaan di Ruang Gawat Darurat
Penatalaksanaan di ruang gawat darurat difokuskan pada pengelolaan
jalan napas, pernapasan dan sirkulasi (ABC’s control), kontrol tekanan darah,
pengelolaan tekanan intrakranial, terapi anti kejang, identifikasi dan
pengelolaan koagulopati. Penurunan kesadaran memicu hilangnya refleks-
refleks protektif normal yang menjaga patensi jalan napas. Kegagalan
mengetahui adanya gangguan jalan napas dapat mengakibatkan komplikasi
berupa aspirasi, hipoksemia, hiperkarbia. Pasien dengan skor GCS dibawah 8
sebaiknya dilakukan intubasi untuk mencegah komplikasi tersebut. Proses
intubasi sebaiknya tidak menggunakan obat dan tehnik yang dapat
meningkatkan TIK dan mempertimbangkan adanya resiko aspirasi yang dapat
terjadi. Laju napas dan volume tidal diatur untuk mendapatkan kondisi
normokapnia. Hiperventilasi yang agresif dengan hasil PaCO2 dibawah 28
mmHg dihindari karena dapat menyebabkan vasokonstriksi serebral hebat dan
memicu terjadinya iskemia. Peningkatan tekanan darah yang ekstrim setelah
ICH harus dikendalikan secara hati-hati. Pengendalian tekanan darah berguna
dalam menurunkan resiko ekspansi hematoma namun tetap diperhatikan
pemeliharaan tekanan perfusi otak (TPO) yang adekuat, karena penurunan
tekanan darah berlebih dapat memicu terjadinya iskemia.
2) Pembedahan dan Penatalaksanaan Anestesi
Intervensi pembedahan dapat berupa evakuasi hematoma, pemasangan
drain ventrikular eksternal (EVD), intraventrikular trombolisis ataupun
pembedahan stereotactic minimal invasif, yang masing-masing memiliki
tujuan dalam membantu memperbaiki kondisi pasien. Evakuasi hematoma
bertujuan untuk mengurangi efek massa, mencegah pelepasan produk
neuropatik dari hematoma, dan mencegah interaksi berkepanjangan antara
hematoma dan jaringan otak normal yang dapat memicu proses patologis.
Penelitian internasional Surgical Trial in Intracerebral Hemorrhage (STICH)
bahkan menunjukkan bahwa intervensi pembedahan dalam 72 jam pertama

19
gagal menunjukkan adanya peningkatan luaran dibandingkan pasien yang
dilakukan pendekatan medikal saja.
Sasaran utama penatalaksanaan anestesi pasien dengan perdarahan
intraserebral adalah mengendalikan TIK dan pemeliharaan tekanan perfusi
otak, melindungi jaringan saraf dari iskemia dan cedera, stabilitas sistem
kardiovaskular serta menyediakan kondisi pembedahan yang adekuat (slack
brain). Untuk dapat mencapai sasaran diatas maka diperlukan pendekatan
sesuai prinsip neuroanestesi pada umumnya yaitu antara lain
a) Jalan napas yang selalu bebas sepanjang waktu
b) Ventilasi kendali untuk mendapatkan oksigenasi adekuat dan
normokapnea
c) Menghindari peningkatan atau penurunan tekanan darah yang berlebih,
menghindari faktor mekanis yang meningkatkan tekanan vena serebral,
menjaga kondisi normoglikemia, isoosmoler selama anestesi
d) Menghindari obat dan tehnik anestesi yang dapat meningkatkan TIK dan
memberi obat yang mempunyai efek proteksi otak
3) Penatalaksanaan di Ruang Perawatan Intensif
Pasien dengan penurunan kesadaran yang memerlukan bantuan
pernapasan, monitoring kardiovaskular dan tekanan intrakranial seperti pada
kasus ini memerlukan pengelolaan terapi di ruang perawatan intensif (RPI).
Namun pengawasan ketat di lingkungan RPI juga diperlukan pada pasien-
pasien yang tidak menggunakan bantuan pernapasan, paling tidak selama 24
jam pertama karena adanya resiko deteriorasi neurologis selama periode ini.
Terdapat bukti yang substansial bahwa penatalaksanaan di neuro–RPI untuk
pasien ICH memberikan luaran yang lebih baik. Perawatan di RPI mencakup
beberapa hal antara lain sebagai berikut.
a) Pemberian bantuan pernapasan mekanik dan sedasi
b) Pengaturan tekanan darah
c) Pengaturan dan pengawasan TIK
d) Pengelolaan cairan dan nutrisi
e) Pengawasan gula darah dan suhu tubuh
f) Pencegahan terhadap resiko peptic ulcer dan deep vein thrombosis
g) Terapi antikejang (bila diperlukan)
b. Perdarahan Epidural (EDH)

20
1) Pembedahan
Indikasi bedah pada hematoma epidural adalah sebagai berikut.
a) Volume hematoma 30 cm3 pada hasil CT-scan dengan GCS berapapun.
b) Pada pasien dengan GCS <9 harus dilakukan evakuasi pembedahan
secepatnya.
c) Hematoma epidural yang progresif
Hasil operasi biasanya baik kecuali pada fraktur yang panjang dan laserasi
sinus venosus. Prevalensi hematoma epidural bilateral adalah 2-5%. Pada
pasien koma biasanya terdapat refleks Babinski bilateral, spastisitas, rigiditas
menunjukkan kompresi mesensefalon dan prognosisnya buruk. Pada pasien
seperti ini pembedahan tidak boleh ditunda. Mortalitas operasi evakuasi
hematoma epidural adalah 10%.
2) Terapi Konservatif
Bila volume hematoma <30 cm3, ketebalan <15 mm dan midline shift
<5 mm pada pasien dengan GCS >8 dan tanpa defisit neurologi dapat
dilakukan terapi konservatif dengan pemeriksaan CT scan serial. Hal yang
perlu diperhatikan adalah risiko pembesaran lesi. CT-scan untuk follow up
pada pasien yang tidak dioperasi harus dilakukan dalam 6-8 jam. Sekitar 23%
kasus hematoma epidural mengalami pembesaran paling sering dalam 8 jam
setelah trauma. Pembesaran tidak terjadi lagi 36 jam setelah trauma.
c. Perdarahan Subaraknoid (SAH)
Tujuan penatalakasanaan pertama dari perdarahan subarakhnoid adalah
identifikasi sumber perdarahan dengan kemungkinan bisa diintervensi dengan
pembedahan atau tindakan intravascular lain. Jalan napas harus dijamin aman dan
pemantauan invasive terhadap central venous pressure dan atau pulmonary artery
pressure, seperti juga terhadap tekanan darah arteri, harus terus dilakukan. Untuk
mencegah penigkatan tekanan intrakranial, manipulasi pasien harus dilakukan
secara hati-hati dan pelan-pelan, dapat diberikan analgesik dan pasien harus
istirahat total. SAH yang disertai dengan peningkatan tekanan intrakranial harus
diintubasi dan hiperventilasi. Pemberian ventilasi harus diatur untuk mencapai
PCO2 sekitar 30-35 mmHg.
Beberapa obat yang dapat diberikan untuk menurunkan tekanan intrakranial
seperti:

21
1) Osmotic agents (mannitol) dapat menurunkan tekanan intrakranial secara
signifikan (50% dalam 30 menit pemberian).
2) Loop diuretics (furosemide) dapat juga menurnukan tekanan intrakranial
3) Intravenous steroid (dexamethasone) untuk menurunkan tekanan intrakranial
masih kontroversial tapi direkomendasikan oleh beberapa penulis lain.
Setelah itu tujuan selanjutnya adalah pencegahan perdarahan ulang,
pencegahan dan pengendalian vasospasme, serta manajemen komplikasi medis
dan neurologis lainnya. Tekanan darah harus dijaga dalam batas normal dan jika
perlu diberi obat-obat antihipertensi intravena, seperti labetalol dan nikardipin.
Akan tetapi, rekomendasi saat ini menganjurkan penggunaan obat-obat anti
hipertensi pada SAH jika MABP diatas 130 mmHg.
9. Prognosis
a. Cedera Kepala Ringan (CKR)
Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3%-5% yang
memerlukan tindakan operasi dan sisanya dirawat secara konservatif. Prognosis
pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan secara tepat
dan cepat (Priguna, 2009).
b. Perdarahan Intraserebral (ICH)
Tiga prediktor utama yang menentukan prognosis pada kasus perdarahan
intraserebral adalah ukuran perdarahan, lokasi dari perdarahan dan status
kesadaran dari penderita. Ekspansi perdarahan juga mengindikasikan prognosis
yang buruk dengan hematoma ukuran yang luas. Ukuran dan lokasi lesi pada
gambaran imaging sangat bermanfaat sebagai informasi prognosis. Pada
perdarahan putaminal, lesi lebih dari 140 mm2 pada satu slice menunjukkan
outcome yang buruk. Perdarahan thalamus, lesi lebih dari 3.3 cm dengan diameter
yang maksimal juga menunjukkan prognosis yang buruk, begitu juga dengan lesi
serebellar lebih dari 3 cm. Adanya hidrosefalus pada penderita dengan perdarahan
supratentorial juga sebagai tanda prognosis yang buruk (Caplan,2009).
Pada saat fase akut perdarahan intraserebral, efek massa yang berasal dari
hematoma menunjukkan risiko yang lebih besar untuk terjadinya kematian
dibandingkan ukuran stroke iskemik. Tidak seperti perdarahan subarakhnoid,
pengulangan perdarahan intraserebral selama penyakit akut jarang terjadi. Fakta
yang sederhana ini memberikan petunjuk untuk pengobatan perdarahan

22
intraserebral dimana secara agresif untuk mempertahankan perluasan hematoma
untuk mencegah kematian dan mengurangi morbiditas (Caplan,2009).
c. Perdarahan Epidural (EDH)
Prognosis Epidural Hematom tergantung pada:
1) Lokasinya (infratentorial lebih jelek)
2) Besarnya
3) Kesadaran saat masuk kamar operasi
Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik,
karena kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Prognosis sangat buruk
pada pasien yang mengalami koma sebelum operasi.

d. Perdarahan Subaraknoid (SAH)


Sekitar 10% penderita SAH meninggal sebelum tiba di RS dan 40%
meninggal tanpa sempat membaik sejak awitan. Tingkat mortalitas pada tahun
pertama sekitar 60%. Apabila tidak ada komplikasi dalam 5 tahun pertama sekitar
70%. Apabila tidak ada intervensi bedah maka sekitar 30% penderita meninggal
dalam 2 hari pertama, 50% dalam 2 minggu pertama, dan 60% dalam 2 bulan
pertama.
Pendapat lain mengemukakan bahwa prognosis pasien-pasien SAH tergantung
lokasi dan jumlah perdarahan serta ada tidaknya komplikasi yang menyertai.
Disamping itu usia tua dan gejala-gejala yang berat memperburuk prognosis.
Seseorang dapat sembuh sempurna setelah pengobatan tapi beberapa orang juga
meninggal walaupun sudah menjalani treatment. Sedangkan prognosis yang baik
dapat dicapai jika pasien-pasien ditangani secara agresif seperti resusitasi
preoperative yang agresif, tindakan bedah sedini mungkin, penatalaksanaan
tekanan intrakranial dan vasospasme yang agresif serta perawatan intensif
perioperative dengan fasilitas dan tenaga medis yang mendukung.
Adapun beberapa penanganan yang dapat dilakukan sendiri di rumah pasca
pengobatan, seperti:
1) Mengkonsumsi obat secara teratur
2) Rajin memeriksakan tekanan darah
3) Mengkonsumsi makanan yang sehat
4) Minum banyak cairan

23
5) Menghindari kebiasan merokok

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Anestesi


1. Pengkajian Keperawatan
a. Pengkajian Primer
1) Airway, yaitu mengkaji kepatenan jalan nafas, observasi adanya lidah jatuh,
adanya benda asing pada jalan nafas (bekas muntahan, darah, sekret yang
tertahan), adanya edema pada mulut, faring, laring, disfagia, suara stridor,
gurgling atau wheezing yang menandakan adanya masalah jalan nafas.
2) Breathing, yaitu mengkaji keefektifan pola nafas, respiratory rate,
abnormalitas pernafasan, bunyi nafas tambahan, penggunaan otot bantu nafas,
adanya nafas cuping hidung, saturasi oksigen.
3) Circulation, yaitu mengkaji heart rate, tekanan darah, kekuatan nadi, capillary
refill, akral, suhu tubuh, warna kulit, kelembaban kulit, perdarahan eksternal
jika ada.
4) Disability, yaitu berisi pengkajian kesadaran dengan Glasgow Coma Scale
(GCS), ukuran dan reaksi pupil.
5) Exposure, yaitu berisi pengkajian terhadap suhu serta adanya injury atau
kelainan lain, kondisi lingkungan yang ada di sekitar pasien.
b. Pengkajian Sekunder
1) Identitas pasien dan keluarga (penanggung jawab) yang meliputi nama, umur,
jenis kelamin, agama, alamat, golongan darah, hubungan pasien dengan
keluarga.
2) Riwayat kesehatan: tingkat kesadaran Glasgow Coma Scale (GCS) (< 15),
muntah, dispnea atau takipnea, sakit kepala, wajah simetris atau tidak, lemah,
luka pada kepala, akumulasi pada saluran nafas kejang.
3) Riwayat penyakit dahulu: haruslah diketahui dengan baik yang berhubungan
dengan sistem persyarafan maupun penyakit sistem sistemik lainnya.
Demikian pula riwayat penyakit keluarga terutama yang mempunyai penyakit
keturunan atau menular.
4) Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari pasien atau keluarga sebagai data
subjektif. Data - data ini sangat berarti karena dapat mempengaruhi prognosa
pasien.
c. Data Fokus

24
1) Breathing
Pengkajian breathing meliputi: pergerakan otot dada, pemakaian otot bantu
napas, frekuensi nadi tekanan dan irama nadi, suara tambahan, batuk ada
(produktif, tidak produktif) atau tidak, sputum (warna dan konsistensi),
pemakaian alat bantu napas.
2) Blood
Pengkajian blood meliputi: suara jantung, irama jantung, capillary refill time
(CRT), jugularis vena pressure (JVP), edema.
3) Brain
Pengkajian brain meliputi: pengkajian tingkat kesadaran (tingkat keterjagaan
klien dan respon terhadap lingkungan), pengkajian fungsi serebral (status
mental, fungsi intelektual, lobus frontalis, hemisfer), pengkajian saraf kranial,
pemeriksaan kepala (raut muka, bibir, mata, sclera, kornea, gerakan bola mata,
reflek kornea, persepsi sensori).
4) Bladder
Pengkajian bladder meliputi: urin (jumlah, bau, warna), penggunaan kateter,
kesulitan BAK (oliguri, poliuri, dysuri, hematuri, nocturi).
5) Bowel
Pemeriksaan bowel meliputi: mukosa bibir, lidah, keadaan gigi, nyeri telan,
distensi abdomen, peristaltik usus, mual, muntah, hematemesis, melena,
penggunaan NGT, diare, konstipasi, asites.
6) Bone
Pengkajian bone meliputi: turgor kulit, perdarahan kulit, ikterus, akral,
pergerakan sendi, fraktur, luka.
d. Pemeriksaan Fisik
Aspek neurologis yang dikaji adalah: tingkat kesadaran, biasanya GCS <15,
disorientasi orang, tempat dan waktu, perubahan nilai tanda-tanda vital, kaku
kuduk, hemiparese.
e. Pemeriksaan Laboratorium
1) AGD:PO2, pH, HCO3
Untuk mengkaji keadekuatan ventilasi (mempertahankan AGD dalam rentang
normal untuk menjamin aliran darah serebral adekuat) atau untuk melihat
masalah oksigenasi yang dapat meningkatkan TIK.
2) Elektrolit serum

25
Cedera kepala dapat dihubungkan dengan gangguan regulasi natrium, retensi
Na berakhir dapat beberapa hari, diikuti diuresis Na, peningkatan letargi,
konfusi dan kejang akibat ketidakseimbangan elektrolit.
3) Hematologi, meliputi leukosit, Hb, albumin, globulin, protein serum
4) CSS, untuk menentukan kemungkinan adanya perdarahn subarachnoid (warna,
komposisi, tekanan)
5) Pemeriksaan toksikologi, untuk mendeteksi obat yang mengakibatkan
penurunan kesadaran.
6) Kadar antikonvulsan darah, untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup
efektif mengatasi kejang.
f. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Price (2008) pemeriksaan penunjang pada pasien cedera kepala adalah:
1) CT-Scan, berguna untuk mendiagnosis dan memantau lesi intrakranial atau
mengevaluasi dan menentukan luasnya cedera neurologis. Radiogram
dilakukan dengan komputer setiap interval 1 derajat dalam suatu busur sebesar
180 derajat. CT-Scan telah dapat menggantikan echoensefalogrofi dan
memiliki kemampuan diagnostic yang jauh lengkap.
2) Magnetic Resonance Imaging (MRI), digunakan sama seperti CT-Scan dengan
atau tanpa kontras radioaktif.
3) Cerebral Angiography, menunjukkan anomali sirkulasi cerebral, seperti
perubahan pada jaringan otak sekunder menjadi uedem, perdarahan dan
trauma.
4) Serial Elektroensefalografi (EEG), dapat melihat perkembangan gelombang
yang patologis.
5) SinarX-Ray, mendeteksi perubahan struktur tulang.
6) Brain system Auditory Evoked Response (BAER), mengoreksi batas fungsi
korteks dan otak kecil.
7) Possitron Emission Tomography (PET), mendeteksi perubahan aktifitas
metabolisme otak.
2. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul
a. Pre Operasi
1) Nyeri akut b.d agen cedera fisik
2) Ansietas b.d stressor operasi
3) Penurunan kapasitas adaptif intrakranial b.d cedera kepala

26
b. Intra Operasi
1) Ketidakefektifan pola nafas b.d disfungsi neuromuskuler dampak sekunder
obat general anestesi dan pelumpuh otot
2) Risiko perdarahan b.d tindakan operatif
3) Risiko syok hipovolemik b.d perdarahan yang banyak
4) Hipotermi b.d paparan suhu ruangan operasi
c. Post Operasi
1) Pola nafas tidak efektif b.d depresi pusat nafas di otak
2) Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d penumpukan sputum
3) Gangguan perfusi jaringan serebral b.d peningkatan tekanan intrakranial
4) Risiko ketidakseimbangan cairan b.d prosedur pembedahan mayor dan
perdarahan
5) Nyeri akut b.d agen injuri fisik
6) Resiko infeksi b.d luka, port d’ entry

27
3. Rencana Keperawatan
a. Pre Operasi

No Diagnosa NOC NIC Rasional


. Keperawatan

1. Nyeri akut b.d Setelah dilakukan - Lakukan pengkajian nyeri - Mengetahui kualitas nyeri yang dirasakan klien
agen cedera tindakan keperawatan secara komprehensif - Meningkatkan relaksasi atau menurunkan tegangan
fisik selama 1x3 jam - Berikan posisi yang otot
diharapkan nyeri dapat nyaman - Napas dalam dapat menghirup O2 secara adekuat
teratasi dengan kriteria - Ajarkan tehnik non sehingga otot-otot menjadi relaksasi sehingga dapat
hasil: farmakologi (relaksasi mengurangi rasa nyeri.
- Pasien mampu nafas dalam) - Sebagai profilaksis untuk dapat menghilangkan rasa
mengenali nyeri - Kolaborasi dengan dokter nyeri.
- TTV dalam batas terkait pemberian
normal analgesik untuk
- Pasien mampu mengurangi nyeri
mengontrol nyeri
- Tidak ada gangguan
pola tidur

2. Ansietas b.d Setelah dilakukan - Evaluasi tingkat ansietas, - Ketakutan dapat terjadi karena nyeri hebat, penting
stressor operasi tindakan keperawatan, catat verbal dan non pada prosedur diagnostik dan pembedahan.
diharapkan kecemasan verbal pasien. - Dapat meringankan ansietas terutama ketika
klien berkurang dengan - Jelaskan dan persiapkan pemeriksaan tersebut melibatkan pembedahan.
kriteria hasil: untuk tindakan prosedur - Membatasi kelemahan, menghemat energi dan
sebelum dilakukan meningkatkan kemampuan koping.
- Melaporkan ansietas
- Jadwalkan istirahat - Mengurangi kecemasan klien
menurun sampai
adekuat dan periode
tingkat teratasi menghentikan tidur.
- Klien tampak rileks - Anjurkan keluarga untuk
menemani disamping
klien.
3. Penurunan Setelah dilakukan - Kaji tingkat kesadaran - Untuk mencegah atau meminimalkan komplikasi
kapasitas adaptif asuhan keperawatan, dan status neurologis neorologis. Perubahan kesadaran menunjukkan
intrakranial b.d penurunan kapasitas - Monitor tanda-tanda vital peningkatan TIK dan berguna menentukan lokasi
cedera kepala adaptif intrakranial terutama tekanan darah dan perkembanagan penyakit.
dapat teratasi dengan - Monitor peningkatan - Suatu keadaan normal bila sirkulasi serebral
kriteria hasil: tekanan intrakranial terpelihara dengan baik atau fluktuasi ditandai
(nyeri kepala, muntah dengan tekanan darah sistemik. Dengan peningkatan
- Pasien tidak
proyektil, papil edema) tekanan darah (diatolik) maka diikuti dengan
mengeluh sakit
- Lakukan head up/elevasi peningkatan tekanan darah intrakranial. Adanya
kepala
kepala 30o -45o peningkatan tensi, bradikardia, disritmia, dispnea
- Tidak terjadi tanda-
- Hindari fleksi leher merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK.
tanda peningkatan
ekstrim - Perubahan kepala pada satu sisi dapat menimbulkan
TIK
- Berikan terapi oksigen penekanan pada vena jugularis dan menghambat
- Pasien tidak terlihat
dan lakukan kolaborasi aliran darah otak (menghambat drainase pada vena
gelisah
pemberian obat-obatan serebral).
- TD: 100-140/70-90
untuk menurunkan edema - Aktivitas/ stimulasi yang kontinu dapat
mmHg
serebral sesuai instruksi, meningkatkan tekanan intrakranial (TIK)
- RR: 16-24x/menit
seperti osmotik diuretik - Meningkatkan/ memperbaiki aliran darah serebral
- N: 60-100x/mnt
dan selanjutnya dapat mencegah pembekuan.
- MAP: 70-100
mmHg
- ICP: 5-15 mmHg

32
b. Intra Operasi

No. Diagnosa NOC NIC Rasional


Keperawatan

1. Ketidakefektifan Setelah dilakukan - Posisikan pasien - Untuk memberikan ventilasi yang adekuat dalam
pola nafas b.d tindakan untuk pemberian tidal volume.
disfungsi keperawatan intra memaksimalkan - Untuk mencegah adanya obstruksi yang dapat
neuromuskuler anestesi, diharapkan ventilasi menimbulkan tidak adekuatnya pengaliran volume
dampak pola nafas efektif - Pasang oropharyngeal dan menimbulkan penyebaran udara yang tidak
sekunder obat dengan kriteria airway adekuat.
general anestesi hasil: - Pasang dan atur - Membantu memberikan ventilasi yang adekuat bila
dan pelumpuh - Frekuensi peralatan ada gangguan pada ventilator.
otot pernapasan oksigenasi - Memberikan data untuk pengamatan perubahan pada
dalam rentang - Pantau tanda-tanda vital kondisi pasien.
normal (16- 20
x/menit)
- Tidak ada
sianosis
- Tidak ada suara
nafas abnormal
- Tanda-tanda vital
(TD: 110/80-
130/80 mmHg;
HR: 80-
100x/menit;
SpO2: 98-100%)

33
2. Risiko Setelah dilakukan - Monitor TTV - Perawat perlu terus mengobaservasi vital sign untuk
perdarahan b.d tindakan keperawatan, - Monitor keadaan umum memastikan tidak terjadi presyok / syok.
tindakan risiko perdarahan pasien - Untuk memonitor kondisi pasien selama perawatan
operatif pasien teratasi dengan - Jelaskan pada pasien dan terutama saat terjadi perdarahan
kriteria hasil: keluarga tanda - Dengan melibatkan psien dan keluarga maka tanda-
- TTV dalam batas perdarahan, dan segera tanda perdarahan dapat segera diketahui dan
laporkan jika terjadi tindakan yang cepat dan tepat dapat segera
normal
perdarahan diberikan.
- Irama napas normal
- Cairan intravena diperlukan untuk mengatasi
- pH darah normal
kehilangan cairan tubuh secara hebat.
- Na, K dbn
- Untuk mengetahui tingkat kebocoran pembuluh
darah yang dialami pasien dan untuk acuan
melakukan tindakan lebih lanjut.

3. Risiko syok Setelah dilakukan - Monitor TTV dan - Memastikan tanda-tanda vital klien masih dalam
hipovolemik b.d tindakan keperawatan perdarahan pada daerah batas normal.
perdarahan yang selama 1x1 jam syok pembedahan setelah - Mempertahankan atau mengganti cairan tubuh,
banyak hipovolemik tidak dilakukan insisi memperbaiki keseimbangan asam basa, dan
terjadi dengan kriteria - Berikan cairan IV memperbaiki volume komponen darah.
hasil: kristaoloid sesuai dengan - Untuk memulihkan tonus vasomotor dan
- Tidak ada tanda- kebutuhan memperbaiki fungsi jantung serta dukungan nutrisi
tanda syok - Berikan medikasi untuk memnuhi kebutuhan metabolik yang sering
hipovolemik vasoaktif meningkat dalam kondisi syok.
- TTV dalam batas
normal (TD 110-
120/70-80 mmHg,
Nadi 60-100 x/mnt,

34
dan SpO2 98-100%)

4. Hipotermi b.d Setelah dilakukan - Monitor suhu - Suhu dibawah normal dapat berakibat fatal
paparan suhu tindakan keperawatan, - Monitor warna dan suhu - Menjaga suhu dan menghindari dingin yang
ruangan operasi hipotermi pasien kulit berkaitan
teratasi dengan kriteria - Monitor tekanan darah, - Peningkatan denyut nadi, penurunan tekanan vena,
hasil: nadi dan RR dan penurunan TD dapat mengindikasi hipovolemi
- Monitor penurunan yang mengarah pada penurunan perfusi jaringan
- Suhu tubuh dalam
tingkat kesadaran - Memberi kehangat dan menghindari hipotermi yang
rentang normal
- Monitor intake dan output lebih parah.
- Nadi dan RR dalan
- Selimuti pasien
rentang normal
- Tidak ada
perubahan warna
kulit dan tidak ada
pusing.

35
c. Post Operasi

No. Diagnosa NOC NIC Rasional


Keperawatan

1. Pola nafas tidak Setelah dilakukan - Monitor respirasi dan - Memberikan data untuk pengamatan perubahan
efektif b.d depresi tindakan keperawatan status oksigen pada kondisi pasien.
pusat nafas di otak selama 1x3 jam, pola - Cek pemasangan tube. - Untuk memberikan ventilasi yang adekuat dalam
nafas efektif dengan - Observasi ratio inspirasi pemberian tidal volume.
kriteria hasil: dan ekspirasi. - Pada fase ekspirasi biasanya 2x lebih panjang dari
- Perhatikan kelembaban inspirasi, tapi dapat lebih panjang sebagai
- Penggunaan otot
dan suhu pasien. kompensasi terperangkapnya udara terhadap
bantu napas tidak
- Cek selang ventilator gangguan pertukaran gas.
ada
setiap waktu (15 menit). - Keadaan dehidrasi dapat mengeringkan sekresi /
- Sianosis tidak ada
- Siapkan ambu bag tetap cairan paru sehingga menjadi kental dan
atau tanda-tanda
berada di dekat pasien. meningkatkan risiko infeksi.
hipoksia tidak ada
- Adanya obstruksi dapat menimbulkan tidak
- Gas darah dalam
adekuatnya pengaliran volume dan menimbulkan
batas-batas normal.
penyebaran udara yang tidak adekuat.
- Membantu memberikan ventilasi yang adekuat
bila ada gangguan pada ventilator.

2. Bersihan jalan Setelah dilakukan - Kaji dengan ketat (tiap 15 - Obstruksi dapat disebabkan pengumpulan sputum,
nafas tidak efektif tindakan keperawatan, menit) kelancaran jalan perdarahan, bronchospasme atau masalah terhadap
b.d penumpukan ketidakefektifan napas. tube.
sputum bersihan jalan nafas - Evaluasi pergerakan dada - Pergerakan yang simetris dan suara napas yang
teratasi dengan kriteria dan auskultasi dada (tiap bersih indikasi pemasangan tube yang tepat dan

36
hasil: 1 jam). tidak adanya penumpukan sputum.
- Lakukan pengisapan - Pengisapan lendir tidak selalu rutin dan waktu
- Suara napas bersih
lendir dengan waktu <15 harus dibatasi untuk mencegah hipoksia.
- Tidak terdapat
detik bila sputum banyak. - Meningkatkan ventilasi untuk semua bagian paru
suara sekret pada
- Lakukan fisioterapi dada dan memberikan kelancaran aliran serta pelepasan
selang dan bunyi
setiap 2 jam. sputum.
alarm karena
peninggian suara
mesin
- Sianosis tidak ada

3. Gangguan perfusi Setelah dilakukan - Monitor tekanan - Mengetahui status neurologis pasien saat ini.
jaringan serebral tindakan keperawatan intrakranial dan catat - Peningkatan sistolik dan penurunan diastolik serta
b.d peningkatan selama 1x3 jam, status neurologis penurunan tingkat kesadaran dan tanda-tanda
tekanan diharapkan pasien tidak menggunakan GCS. peningkatan tekanan intrakranial. Adanya
intrakranial menunjukkan - Monitor tanda-tanda vital pernapasan yang irreguler indikasi terhadap
peningkatan tekanan tiap 30 menit. adanya peningkatan metabolisme sebagai reaksi
intrakranial dengan - Pertahankan posisi kepala terhadap infeksi. Untuk mengetahui tanda-tanda
kriteria hasil: pada posisi 15-30o dan keadaan syok akibat perdarahan.
tidak menekan. - Perubahan kepala pada satu sisi dapat
- Tanda-tanda vital
- Observasi kejang dan menimbulkan penekanan pada vena jugularis dan
dalam batas normal
lindungi pasien dari menghambat aliran darah otak, untuk itu dapat
- Tidak ada ortostatik
cedera akibat kejang. meningkatkan tekanan intrakranial.
hipertensi
- Berikan oksigen sesuai - Kejang terjadi akibat iritasi otak, hipoksia, dan
- GCS dalam batas
dengan kondisi pasien. kejang dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
normal
- Berikan obat-obatan yang - Dapat menurunkan hipoksia otak.
diindikasikan dengan - Membantu menurunkan tekanan intrakranial
tepat dan benar secara biologi / kimia seperti osmotik diuretik
(kolaborasi). untuk menarik air dari sel-sel otak sehingga dapat

37
menurunkan oedem otak, steroid (dexametason)
untuk menurunkan inflamasi, menurunkan oedema
jaringan. Obat anti kejang untuk menurunkan
kejang, analgetik untuk menurunkan rasa nyeri
efek negatif dari peningkatan tekanan intrakranial.
Antipiretik untuk menurunkan panas yang dapat
meningkatkan pemakaian oksigen otak.

4. Risiko Setelah dilakukan - Monitor berat badan - Mengetahui adanya peningkatan berat badan
ketidakseimbanga tindakan keperawatan, - Monitor serum elektrolit abnormal karena penumpukan cairan
n cairan b.d risiko - Monitor tanda-tanda vital - Mengetahui keseimbangan serum dan elektrolit
prosedur ketidakseimbangan - Monitor tekanan darah dalam darah sehingga bisa diberikan intervensi
pembedahan cairan tidak terjadi ortostatik dan perubahan - Memantau perubahan TTV karena perubahan
mayor dan dengan kriteria hasil: ritme jantung jumlah cairan
perdarahan - Tekanan darah - Monitor hemodinamik - Mengetahui adanya penumpukan cairan karena
dalam batas normal - Monitor turgor kulit, perubahan tekanan darah dan ritme jantung
- Tekanan arteri membran mukosa - Perubahan jumlah cairan akan mengubah tekanan
radial dalam batas - Monitor warna dan hemodinamik
normal kualitas urin - Apabila mukosa kering artinya pasien mengalami
- Hematokrit dalam - Kolaborasi pemberian kekurangan cairan
batas normal cairan intravena jika - Membantu kebutuhan cairan dalam tubuh
- Turgor kulit elastis diinstruksikan
- Membran mukosa
lembab
- Intake dan output
cairan seimbang
dalam 24 jam
- Tidak ditemukan

38
hipertensi ortostatik
- Tidak ada edema di
peripheral

5. Nyeri akut b.d Setelah dilakukan - Kaji keadaan umum dan - Untuk mengetahui keluhan klien saat ini untuk
agen injuri fisik tindakan keperawatan, tanda-tanda vital klien. menentukan intervensi selanjutnya.
nyeri akut dapat teratasi - Kaji karakteristik nyeri - Untuk mengetahui tingkat rasa nyeri yang
dengan kriteria hasil: secara komprehensif dirasakan untuk menegakkan intervensi
- Nyeri kepala (lokasi, karakteristik, selanjutnya.
berkurang (skala intensitas/keparahan - Sikap klien yang menunjukkan kegelisahan
nyeri < 3) nyeri, faktor menunjukkan rasa tidak nyaman sehingga perawat
- Ekspresi wajah presipitasinya). harus memberikan terapi atau tindakan untuk
klien rileks - Observasi mengurangi nyeri.
- Tanda-tanda vital ketidaknyamanan non - Peningkatan rasa nyeri akan mengakibatkan pasien
dalam batas normal verbal. kekurangan oksigen sehingga dengan pemberian
(TD: 90-130/60-90 - Berikan lingkungan yang oksigen pada nasal kanul akan mengurangi
mmHg, N: 60-100 nyaman, tenang, dan beri keluhan nyeri pada pasien.
x/menit, RR: 16-24 aktifitas perlahan. - Teknik relaksasi nafas dalam ini mampu
x/menit, S: 36,5- - Berikan oksigen mengurangi rasa nyeri.
37,50 C). tambahan dengan nasal - Dalam pemberian analgetik ini mampu
kanul atau masker. mengurangi rasa nyeri sehingga pasien merasa
- Ajarkan teknik non nyaman dan nyeri hilang.
farmakologi (relaksasi
nafas dalam)
- Kolaborasi dengan dokter
dalam pemberian terapi
farmakologi (analgesik)

6. Risiko infeksi b.d Setelah dilakukan - Berikan perawatan - Teknik steril dapat mengurangi terjadinya risiko

39
luka, port d’ entry tindakan keperawatan, dengan teknik steril. infeksi.
risiko infeksi tidak - Observasi daerah yang - Untuk mengetahui kondisi luka untuk menghindari
terjadi dengan kriteria mengalami luka, adanya penyebaran infeksi.
hasil: peradangan (tanda-tanda - Antibiotik dapat menekan proses infeksi.
- Tanda-tanda vital infeksi). - Suhu dapat mengidentifikasi terjadinya proses
dalam batas normal - Berikan obat antibiotik infeksi.
- Suhu tubuh tidak sesuai program.
meningkat - Monitor suhu tubuh
- Nilai leukosit 4,5- secara teratur.
11ribu/ μ L

40
C. Persiapan Tindakan General Anestesi
Anestesi dapat dibagi dua macam, yaitu anestesi umum dan anestesi regional.
Anestesi umum masih dibagi lagi menurut cara pemberiannya yaitu inhalasi dan
parenteral. Pada kasus ini anestesi yang digunakan adalah anestesi umum yaitu tindakan
menghilangkan rasa nyeri atau sakit secara sentral yang disertai hilangnya kesadaran dan
bersifat reversible (dapat pulih kembali). Komponen trias anestesi yang ideal terdiri dari
hipnotik, analgesia, dan relaksasi otot.
Obat anestesi umum yang ideal mempunyai sifat-sifat antara lain pada dosis yang
aman mempunyai daya analgesik relaksasi otot yang cukup, cara pemberian mudah,
mulai kerja obat yang cepat dan tidak mempunyai efek samping yang merugikan. Selain
itu obat tersebut harus tidak toksik, mudah dinetralkan, mempunyai batas keamanan yang
luas. Dalam memberikan obat-obat anestesi pada penderita yang akan menjalani operasi
maka perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai premedikasi, induksi, maintenance, dan
lain-lain.
1. Macam-Macam Teknik Anestesi
a. Open drop method
Cara ini dapat digunakan untuk anestetik yang menguap, peralatan sangat
sederhana dan tidak mahal. Zat anestetik diteteskan pada kapas yang diletcikkan di
depan hidung penderita sehingga kadar yang dihisap tidak diketahui, dan
pemakaiannya boros karena zat anestetik menguap ke udara terbuka.
b. Semi open drop method
Hampir sama dengan open drop, hanya untuk mengurangi terbuangnya zat
anestetik, digunakan masker. Karbondioksida yang dikeluarkan sering terhisap
kembali sehingga dapat terjadi hipoksia. Untuk menghindarinya dialirkan volume
fresh gas flow yang tinggi minimal 3x dari minimal volume udara semenit.
c. Semi closed method
Udara yang dihisap diberikan bersama oksigen mumi yang dapat ditentukan
kadarnya kemudian dilewatkan pada vaporizer sehingga kadar zat anestetik dapat
ditentukan. Udara panas yang dikeluarkan akan dibuang ke udara luar.
Keuntungannya dalamnya anestesi dapat diatur dengan memberikan kadar tertentu
dan zat anestetik, dan hipoksia dapat dihindari dengan memberikan volume fresh
gas flow kurang dari 100 % kebutuhan.

1
d. Closed method
Cara ini hampir sama seperti semi closed hanya udara ekspirasi dialirkan
melalui soda lime yang dapat mengikat C02, sehingga udara yang mengandung
anestetik dapat digunakan lagi
2. Tahap Pra Anestesi
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif/darurat) harus
dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif dilakukan 1-2
hari sebelumnya, dan pada bedah darurat sesingkat mungkin. Kunjungan pra anestesi
pada pasien yang akan menjalani operasi dan pembedahan baik elektif dan darurat
mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan pra
anestesi adalah:
a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai dengan
fisik dan kehendak pasien.
c. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology)
1) ASA I: Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan faali,
biokimiawi,dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.
2) ASA II: Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang
sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka mortalitas
16%.
3) ASA III: Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian
terbatas. Angka mortalitas 38%.
4) ASA IV: Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, tidak
selalu sembuh dengan operasi. Misalnya insufisiensi fungsi organ, angina
menetap. Angka mortalitas 68%.
5) ASA V: Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi hampir
tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa operasi/dengan
operasi. Angka mortalitas 98%.
6) ASA VI: Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil (didonorkan).
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri dari kegawatan
otak, jantung, paru, ibu dan anak.
Pada pra anestesi ini juga dilakukan pemberian premedikasi. Premedikasi anestesi
adalah pemberian obat sebelum anestesi.

2
Adapun tujuan dari premedikasi antara lain:
a. memberikan rasa nyaman bagi pasien, misalnya diazepam.
b. menghilangkan rasa khawatir, misalnya diazepam
c. membuat amnesia, misalnya diazepam, midazolam
d. memberikan analgesia, misalnya fentanil, pethidine
e. mencegah muntah, misalnya droperidol, ondansentron
f. memperlancar induksi, misalnya pethidine
g. mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misalnya pethidine
h. menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misalnya tracurium, sulfas atropin.
i. mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misalnya sulfas atropin dan hiosin.
Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis pasien yang
ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan demikian maka pemilihan
obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu dengan mempertimbangkan umur
pasien, berat badan, status fisik, derajat kecemasan, riwayat pemakaian obat anestesi
sebelumnya, riwayat hospitalisasi sebelumnya, riwayat penggunaan obat tertentu yang
berpengaruh terhadap jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi, macam operasi,
dan rencana anestesi yang akan digunakan.
Pada kasus ini digunakan obat premedikasi:
a. Fentanil
Fentanil merupakan salah satu preparat golongan analgesik opioid dan
termasuk dalam opioid potensi tinggi dengan dosis 100-150 mcg/kgBB, termasuk
sufentanil (0,25-0,5 mcg/kgBB). Bahkan sekarang ini telah ditemukan
remifentanil, suatu opioid yang poten dan sangat cepat onsetnya, telah digunakan
untuk meminimalkan depresi pernapasan residual. Opioid dosis tinggi yang
deberikan selama operasi dapat menyebabkan kekakuan dinding dada dan laring,
dengan demikian dapat mengganggu ventilasi secara akut, sebagaimana
meningkatnya kebutuhan opioid potoperasi berhubungan dengan perkembangan
toleransi akut. Maka dari itu, dosis fentanil dan sufentanil yang lebih rendah telah
digunakan sebagai premedikasi dan sebagai suatu tambahan baik dalam anestesi
inhalasi maupun intravena untuk memberikan efek analgesi perioperative.
Sebagai analgesik, potensinya diperkirakan 80 kali morfin. Lamanya efek
depresi nafas fentanil lebih pendek dibanding meperidin. Efek euphoria dan
analgetik fentanil diantagonis oleh antagonis opioid, tetapi secara tidak bermakna
diperpanjang masanya atau diperkuat oleh droperidol, yaitu suatu neuroleptik

3
yang biasanya digunakan bersama sebagai anestesi IV. Dosis tinggi fentanil
menimbulkan kekakuan yang jelas pada otot lurik, yang mungkin disebabkan
oleh efek opioid pada tranmisi dopaminergik di striatum. Efek ini di antagonis
oleh nalokson. Fentanil biasanya digunakan hanya untuk anestesi, meski juga
dapat digunakan sebagai anelgesi pasca operasi. Obat ini tersedia dalam bentuk
larutan untuk suntik dan tersedia pula dalam bentuk kombinasi tetap dengan
droperidol. Fentanil dan droperidol (suatu butypherone yang berkaitan dengan
haloperidol) diberikan bersama-sama untuk menimbulkan analgesia dan amnesia
dan dikombinasikan dengan nitrogen oksida memberikan suatu efek yang disedut
sebagai neurolepanestesia.
3. Tahap Intra Anestesi
Pada tahap intra anestesi dilakukan induksi, yakni memasukkan zat anestesi
sampai tercapainya stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan tahap
pemeliharaan anestesi untuk mempertahankan atau memperdalam stadium anestesi
setelah induksi. Pada intra anestesi dilakukan monitoring yang meliputi frekuensi
nadi; tekanan darah; banyaknya pendarahan; SaO2, PaO2, PaCO2; dan intake dan output
cairan.
a. Induksi
Pada kasus ini digunakan obat induksi:
1) Propofol
Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat dalam air
dan emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur dan 2,25%
glyserol. Dosis yang dianjurkan 2,5 mg/kgBB untuk induksi tanpa
premedikasi. Propofol memiliki kecepatan onset yang sama dengan barbiturat
intravena lainnya, namun pemulihannya lebih cepat dan pasien dapat
diambulasi lebih cepat setelah anestesi umum. Selain itu, secara subjektif,
pasien merasa lebih baik setelah postoperasi karena propofol mengurangi
mual dan muntah postoperasi. Propofol digunakan baik sebagai induksi
maupun mempertahankan anestesi dan merupakan agen pilihan untuk operasi
bagi pasien rawat jalan. Obat ini juga efektif dalam menghasilkan sedasi
berkepanjangan pada pasien dalam keadaan kritis. Penggunaan propofol
sebagai sedasi pada anak kecil yang sakit berat (kritis) dapat memicu
timbulnya asidosis berat dalam keadaan terdapat infeksi pernapasan dan
kemungkinan adanya skuele neurologik.

4
Pemberian propofol (2mg/kg) intravena menginduksi anestesi secara
cepat. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi jarang
disertai plebitis atau trombosis. Anestesi dapat dipertahankan dengan infus
propofol yang berkesinambungan dengan opiat, N2O dan/atau anestetik
inhalasi lain. Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang
cukup berarti selama induksi anestesi karena menurunnya resitensi arteri
perifer dan venodilatasi. Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-
kira 80% tetapi efek ini disebabkan karena vasodilatasi perifer daripada
penurunan curah jantung. Tekanan sistemik kembali normal dengan intubasi
trakea.
Setelah pemberian propofol secara intravena, waktu paruh
distribusinya adalah 2-8 menit, dan waktu paruh redistribusinya kira-kira 30-
60 menit. Propofol cepat dimetabolisme di hati 10 kali lebih cepat daripada
thiopenthal pada tikus. Propofol diekskresikan ke dalam urin sebagai
glukoronid dan sulfat konjugat, dengan kurang dari 1% diekskresi dalam
bentuk aslinya. Propofol tidak mempunyai efek analgesik. Dibandingkan
dengan tiopental waktu pulih sadar lebih cepat dan jarang terdapat mual dan
muntah. Pada dosis yang rendah propofol memiliki efek antiemetik.
Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi
pernafasan, apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem
kardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi.
Pada susunan syaraf pusat adanya sakit kepala, pusing, euforia, kebingungan,
dll. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi nyeri sehingga saat pemberian
dapat dicampurkan lidokain (20-50 mg)
b. Obat Pelumpuh Otot
Obat golongan ini menghambat transmisi neuromuskular sehingga
menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Menurut mekanisme kerjanya, obat
ini dibagi menjadi 2 golongan yaitu obat penghambat secara depolarisasi resisten,
misalnya suksinil kolin, dan obat penghambat kompetitif atau nondepolarisasi,
misal kurarin. Dalam anestesi umum, obat ini memudahkan dan mengurangi
cedera tindakan laringoskopi dan intubasi trakea, serta memberi relaksasi otot
yang dibutuhkan dalam pembedahan dan ventilasi kendali.
Obat pelumpuh otot yang digunakan dalam kasus ini yaitu:
1) Roculax

5
Roculax merupakan obat pelumpuh otot yang mekanisme kerjanya
bersaing terhadap reseptor kolinergik pada motor end-plate. Pemulihan fungsi
neuromuskuler baik. Mula kerja cepat sampai sedang tergantung dosisnya,
dan lama kerjanya sedang. Terutama dieliminasi oleh hati. Roculax berfungsi
sebagai tambahan pada anestesi umum untuk mempermudah intubasi
endotrakea dan memberikan relaksasi otot rangka selama pembedahan. Efek
samping paling umum yang ditimbulkan berupa mual, muntah,
bronkospasme, reaksi alergi, edema pada lokasi injeksi, dan nyeri pada lokasi
injeksi.
Dosis Roculax:
a) Dewasa dosis awal intubasi endotrakeal 0,6-1,2 mg/kgBB IV
Pemeliharaan 0,1-0,2 mg/kgBB IV
b) Anak-anak dosis awal intubasi endotrakeal 0,6 mg/kgBB IV
Dosis pemeliharaan 0,075-0,125 mg/kgBB IV
c. Intubasi Endotrakheal
Intubasi endotrakheal atau endotracheal tube (ETT) adalah suatu tindakan
memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui rima glottis dengan
mengembangkan cuff, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan
trakea antara pita suara dan biurkasio trakea. sehingga jalan nafas bebas
hambatan dan nafas mudah dikendalikan.
Tujuan dilakukannya intubasi endotrakheal yaitu:
1) Mempermudah pemberian anestesi
2) Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan
kelancaran pernapasan
3) Mencegah kemungkinan aspirasi lambung (pada keadaan tidak sadar,
lambung penuh dan tidak ada refleks batuk)
4) Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial
5) Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
Adapun indikasi pemasangan ETT yaitu:
1) Henti jantung dan sedang dilakukan kompresi jantung luar
2) Pasien-pasien dengan ventilasi yang tidak adekuat
3) Melindungi airway (koma, reflexia, henti jantung)
4) Pasien yang tidak dapat diventilasi secara adekuat dengan cara-cara yang
konvensional pada pasien yang tidak sadar.

6
Alat-alat yang harus dipersiapkan pada pemasangan intubasi ETT yaitu sebagai
berikut.
1) Laringoskop: periksa lampu dan cara memasang blade (terdapat 2 jenis blade
yaitu lengkung dan lurus)
2) Endotracheal tube: pipa terbuka di kedua ujungnya, bagian proksimal
(konektor) dan bagian distal (cuff) yang dapat dikembangkan melalui
one.way inflating valve
3) Stylet: berfungsi untuk membantu agar ETT dapat dibentuk sesuai kebutuhan
4) Spuit 10 cc: untuk mengembangkan cuff
5) Forceps magill
6) Lubricant
7) Suction unit
d. Manintenance (pemeliharaan)
1) Sevoflurane
Sevofluran (ultane) merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari
anestesi lebih cepat dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat
dan tidak merangsang jalan nafas, sehingga digemari untuk induksi anestesia
inhalasi disamping halotan. Efek terhadap kardiovaskuler cukup stabil, jarang
menyebabkan aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat seperti isofluran dan
belum adala laporan toksik terhadap hepar. Setelah pemberian dihentikan
sevofluran sepat dikeluarkan oleh badan.
e. Terapi Cairan
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati
jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan pre operatif bertujuan
untuk memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama
operasi, dan mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang
diberikan.
Pemberian cairan operasi dibagi:
1) Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah,
penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada
ileus obstriktif, perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan cairan untuk
dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml/kg BB/jam. Setiap kenaikan suhu 10 oC
kebutuhan cairan bertambah 10-15 %.

7
2) Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan
pada dewasa untuk operasi:
a) Ringan= 4 ml/kgBB/jam.
b) Sedang = 6 ml / kgBB/jam
c) Berat = 8 ml / kgBB/jam.
Bila terjadi perdarahan selama operasi, dimana perdarahan kurang dari
10% EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak 3 kali
volume darah yang hilang. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat
dipertimbangkan pemberian plasma /koloid / dekstran dengan dosis 1-2 kali
darah yang hilang.
3) Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan deficit cairan
selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.
4. Tahap Post Anestesi
Post anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dari anestesi
anestesi umum yang secara rutin dikelola di kamar pulih (Recovery Room), yaitu
ruangan untuk observasi pasien atau anestesi. Ruang pulih sadar merupakan batu
loncatan sebelum pasien dipindahkan kebangsal atau masih memerlukan
perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi
dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh
anestesinya.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam Recovery Room yaitu :
a. Gangguan pernafasan, ada atau tidaknya obstruksi jalan nafas baik parsial atau
pun total.
b. Gangguan kardiovaskuler, setelah di pindahkan ke kamar pulih tekanan darah
pasien selalu dipantau (hipotensi/hipertensi).
c. Gelisah, gelisah pasca operasi dapat disebabkan karena hipoksia, asidosis,
hipotensi, kesakitan, efek samping obat (ketamin)
d. Mual-muntah, apabila psien mengalami mual-muntah segera berikan obat
(ondansentron).
e. Menggigil (shivering), apabila pasien menggigil segera beri cairan hangat dan
selimuti pasien.

8
Selama pasien berada di ruang pemulihan, pasien dinilai tingkat pulih
sadarnya untuk kriteria pemindahan ke ruang biasa (bangsal). Jika aldrete score ≥
8, tanpa nilai 0, maka dapat dipindah ke ruang perawatan.
Tabel 2. Aldrete Scoring System

No. Kriteria Skor

1. Aktivitas  Mampu menggerakkan ke-4 ekstremitas 2


motorik atas perintah atau secara sadar.

 Mampu menggerakkan 2 ekstremitas atas 1


perintah atau secara sadar.
 Tidak mampu menggerakkan ekstremitas 0
atas perintah atau secara sadar.

2. Respirasi  Nafas adekuat dan dapat batuk 2

 Nafas kurang adekuat/distress/hipoventilasi 1

 Apneu/tidak bernafas 0

3. Sirkulasi  Tekanan darah berbeda ± 20% dari semula 2

 Tekanan darah berbeda ± 20-50% dari 1


semula
 Tekanan darah berbeda >50% dari semula 0

4. Kesadaran  Sadar penuh 2

 Bangun jika dipanggil 1

 Tidak ada respon atau belum sadar 0

5. Warna kulit  Kemerahan atau seperti semula 2

 Pucat 1

 Sianosis 0

9
BAB III
TINJAUAN KASUS
A. Pengkajian
Hari/Tanggal : Rabu, 22 September 2021
Waktu : 09.00 WIB
Tempat : IBS RSUD Kota Bekasi
Metode : Wawancara, observasi, pemeriksaan fisik, studi
dokumen
Sumber Data : Klien, tim kesehatan, status kesehatan klien
Oleh : Silvia
Rencana tindakan : Kraniotomi

1. Identitas Pasien
Nama : Tn. A
Umur : 28 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Suku bangsa : Jawa
Alamat : Bekasi
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Diagnosa pre operasi : ICH, EDH, SAH

10
Tindakan operasi : Kraniotomi
Tanggal operasi : Rabu, 22 September 2021
Dokter Bedah : dr. Dito, Sp.BS
Dokter Anestesi : dr. Langgeng, Sp.An
No. Rekam Medis : 12-56-xx

2. Identitas penanggungjawab
Nama : Ny. A
Umur : 26 tahun
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Hubungan dengan pasien : Istri

3. Anamnesa
a. Keluhan utama
Klien mengalami penurunan kesadaran (GCS 12, E3V4M5).
b. Riwayat penyakit sekarang
Klien dibawa ke IGD pada tanggal 22 September 2021 rujukan dari RS H
pasca KLL pada tanggal 20 September 2021, pasien datang dalam keadaan
penurunan kesadaran dan fraktur femur dekstra.
c. Riwayat penyakut dahulu
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit Hipertensi, DM, TBC, Asma atau
HIV, tetapi memiliki riwayat penyakit anemia.
d. Riwayat penyakit keluarga
Keluarga mengatakan tidak memiliki riwayat penyakit hipertensi, jantung,
diabetes mellitus, kanker maupun penyakit menular lainnya.
4. Status Gizi
a. BB : 70 kg
b. TB : 175 cm
c. IMT : 22,85 kg/m2 (normal)
5. Pemeriksaan Fisik
a. Breath
- RR 20 x/menit
- Tidak ada sumbatan jalan nafas
- Pasien tidak sesak nafas

11
- Suara nafas vesikuler
- Tidak tampak pernafasan cuping hidung
- Tidak tampak retraksi dada
b. Blood
Sebelum Transfer
- TD: 120/70 mmHg
- Nadi: 108 x/menit
Setelah Transfer
- TD: 125/76 mmHg
- Nadi 100 x/menit
- Hasil EKG: NSR
c. Brain
- Kesadaran: Apatis
- GCS: 12 E3V4M5
d. Bladder
- Produksi urin: terpasang kateter dengan produksi urin 100 cc dalam lima
jam (normal).
e. Bowel
- Tidak ada pembesaran hepar
- Terdengar bising usus 10 x/mnt
f. Bone
- Tampak close fraktur femur dekstra tertutup spalek.
- Tidak ada kelainan tulang belakang
6. Status Psikologis
- Tidak terkaji
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium: tanggal 22 September 2021

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal


Hemoglobin 10.8 12.3-17.5 g/dl
Leukosit 15.150 4.4 – 11.3 ribu/ul
Trombosit 244 150-400 ribu/ul
Na 140 135-145 mmol/l
K 4.5 3,5-5,3 mmol/l

12
Cl 99 98-107 mmol/L
Hematokrit 32 40-52 %
Creatinin 1,18 0,70-1,20 mg/dl
Ureum 39,75 19-44 mg/dl
PTT 10,8 9,9-11,8 detik
APTT 39,8 26,4-37,5 detik
Golongan Darah A

b. Head Msct tampilan Axial tanpa bahan kontras: tanggal 22 September 2021
Klinis:
- Tampak soft tissue swelling di regio occipitale sinistra
- Pada window tulang tak tampak discontinuitas
- Gyri, sulci, dan fissura silvii tak prominen
- Batas cortex dan medula tak menegas maupun mengabur
- Tampak lesi hyperdens (HU =/- 70) berbentuk spheris di regio occipitale
sinistra
- Tampak lesi hyperdens (HU =/- 70) berbentuk amorf multiple di regio
frontal dekstra
- Tampak lesi hyperdens (HU =/- 70) di intra ventrikel lateralis dekstra,
ventrikel III dan IV
- Sistema di tengah, tak terdeviasi
- Air cellulae mastoide dan SPN normolusen
Kesan:
- Soft tissue swelling extracranial di regio occipitale sisnistra
- ICH di regio frontal dekstra
- EDH di regio occipitale sisnistra
- IVH di intra ventrikel lateralis dekstra, ventrikel III dan IV
8. Diagnosa anestesi
Pasien usia 28 tahun, dengan diagnosa medis ICH, EDH, SAH akan
dilakukan tindakan Kraniotomi dengan status fisik ASA II Emergency
direncanakan General anestesi dengan Intubasi ETT.

B. Persiapan Penatalaksanaan Anestesi

13
1. Persiapan Alat
a. Persiapan alat general anestesi. Alat yang dipersiapkan yaitu, stetoskop,
laringoskop, plaster, stilet, magil forceps, selang suction, ETT ukuran 6,5 mm,
7mm dan 7,5mm, mesin anestesi dengan agen sevoflurane dan isoflurane yang
terisi cukup, face mask ukuran 4, dan OPA.
b. Persiapan bedside monitor yaitu tekanan darah dan pulse oxymetri
c. Siapkan lembar laporan durante anestesi
2. Persiapan Obat
a. Obat untuk Premedikasi: Fentanyl 100 mcg
b. Obat untuk Induksi: Propofol 100 mg
c. Obat Muscle Relaxan: Roculax 40 mg
d. Agen Inhalasi: Sevoflurane vol 2%
e. Obat Analgetik: Tramadol 100 mg
f. Obat Koagulan: Asam Traneksamat 1000 mg + vit k 10 mg
g. Obat-obatan lain: Dexamethasone 10 mg, Ondansetron 4 mg
h. Cairan infus dan tranfusi: Kristaloid (RL 500 cc, NaCl 1000 cc)
3. Persiapan Pasien
a. Pasien tiba di IBS pukul: 12.20 WIB
b. Serah terima pasien dari petugas ruangan dengan petugas penerimaan ruang
IBS, periksa status pasien termasuk informed consent, surat persetujuan
operasi, surat persetujuan anestesi, hasil pemeriksaan lab, hasil pemeriksaan
penunjang, dan obat-obatan yang telah diberikan di ruang perawatan.
c. Memindahkan pasien ke brankar IBS
d. Memperkenalkan diri kepada pasien, mengecek ulang identitas pasien, nama,
alamat dan menanyakan ulang terakhir makan dan minum, riwayat penyakit
(-) dan alergi (-), riwayat operasi (-), serta berat badan saat ini.
e. Memasang monitor tanda vital (monitor tekanan darah, nadi, saturasi oksigen,
frekuensi pernapasan)
TD: 125/76 mmHg; N: 100x/mnt; SpO2: 100 %; RR: 20x/mnt
f. Memeriksa kelancaran infus
g. Melakukan pemeriksaan pulmo pasien
- Inspeksi: dada simetris, pasien dalam bernapas menggunakan pernapasan
abdomen.
- Palpasi: vokal fremitus sama kanan dan kiri

14
- Perkusi: suara sonor
- Auskultasi: Wheezing -/-
h. Melaporkan kepada penata anestesi hasil pemeriksaan di ruang penerimaan
i. Pada jam 12.25 WIB pasien dipindahkan ke meja operasi.
4. Penatalaksanaan Anestesi
Penatalaksanaan anestesi di mulai dari memasang alat pelindung diri
(APD), bed site monitor (manset, finger sensor pulse oxymetri), memberitahu
pasien akan dibius, menganjurkan pasien untuk berdoa, memulai persiapan
dengan menyuntikan obat-obatan premedikasi dan obat induksi, memberikan pre
oksigenasi 100% dengan face mask dan agen Sevoflurance vol 2%, menyuntikkan
obat musscle relaxant (Roculax 40 mg), memasang intubasi oral ETT no. 7,
memasang OPA no. 3, memberikan oksigenasi 50:50 (O 2 3 lpm, Air 3 lpm), agen
Sevoflurane 2% pengakhiran anestesi, manajement airway sampai dengan pasien
dipindahkan ke ICU. Pasien dilakukan induksi pukul 12.30 WIB, mulai dilakukan
insisi pukul 12.40 WIB, pasien selesai operasi pukul 14.20, pukul 14.30 WIB dan
dipindahkan ke Intensive Care Unit (ICU).

C. Pengkajian Daurante Anestesi


1. Anestesi mulai: pukul 12.30 WIB
2. Anestesi selesai: pukul 14.30 WIB
3. Operasi mulai: 12.40 WIB
4. Operasi selesai: 14.20 WIB
Maintanance
- O2: Air (50:50) = O2 3 lpm:Air 3 lpm
- agen Sevoflurace dengan volume 2%
Kebutuhan Cairan
- Maintenance (M) = 2 x 70 = 140 cc
- Stress operasi (SO) = 8 x 140 = 1120 cc (operasi berat)
- Pengganti Puasa (PP) = 6 jam x 70 = 420 cc
- Kebutuhan Cairan: Jam 1: M + 1/2PP + SO = 1470 cc
Jam 2: M + 1/4PP + SO = 1365 cc
Jam 3: M + 1/4PP + SO = 1365 cc
Tabel Monitoring Durante Anestesi

15
JAM TD N SPO2 O2 Tindakan
Diberikan infus NaCl dan NaCl
12.30 121/80 172 99% 6 lpm 0,9%
(2 jalur), Diberikan Fentanyl
100 mcg
12.35 117/78 171 100% 6 lpm Diberikan propofol 100 mg
3 lpm + sevo vol
12.40 119/76 165 100% Diberikan Roculax 40 mg
2% + Air 3 lpm
3 lpm + sevo vol Melakukan intubasi dengan oral
12.45 122/79 150 100% ETT no 7 mm dan laringoskop
2% + Air 3 lpm
conmark no 3
3 lpm + sevo vol
12.50 128/80 135 100% Diberikan ondancentron 4mg
2% + Air 3 lpm
3 lpm + sevo vol Diberikan Asam Tranexamat
12.55 128/73 122 100% 1000 mg + vit k 10 mg dreep
2% + Air 3 lpm
infus NaCl
3 lpm + sevo vol
13.00 125/70 110 100%
2% + Air 3 lpm
3 lpm + sevo vol
13.05 120/72 111 100% Diberikan Tramadol 100 mg
2% + Air 3 lpm dreep infus NaCl
3 lpm + sevo vol
13.10 124/70 108 100%
2% + Air 3 lpm
3 lpm + sevo vol
13.15 128/72 107 100% Diberikan dexamethasone 10
2% + Air 3 lpm mg
3 lpm + sevo vol
13.20 122/71 105 100%
2% + Air 3 lpm
3 lpm + sevo vol
13.25 125/69 103 100% Diberikan Roculax 10 mg
2% + Air 3 lpm
3 lpm + sevo vol
13.30 126/72 100 100% Diberikan infus RL dan NaCl
2% + Air 3 lpm 0,9% (2 jalur)
3 lpm + sevo vol
13.35 120/65 102 100%
2% + Air 3 lpm
3 lpm + sevo vol
13.40 123/69 102 100%
2% + Air 3 lpm
3 lpm + sevo vol
13.45 118/70 104 100%
2% + Air 3 lpm
13.50 114/75 100 100% 3 lpm + sevo vol

16
JAM TD N SPO2 O2 Tindakan
2% + Air 3 lpm
3 lpm + sevo vol
13.55 115/77 108 100%
2% + Air 3 lpm
3 lpm + sevo vol
14.00 110/70 106 100%
2% + Air 3 lpm
3 lpm + sevo vol
14.05 116/78 100 100%
2% + Air 3 lpm
3 lpm + sevo vol
14.10 114/72 101 100%
2% + Air 3 lpm
3 lpm + sevo vol
14.15 112/63 102 99%
2% + Air 3 lpm
3 lpm + sevo vol Diberikan infus NaCl dan NaCl
14.20 115/73 104 99% 0,9%
2% + Air 3 lpm
(2 jalur)
3 lpm + sevo vol
14.25 112/61 105 99%
2% + Air 3 lpm
14.30 115/62 102 100% 6 lpm Pasien dipindahkan ke ICU

D. Pengkajian Post Anestesi


1. Input cairan kristaloid 1500 cc
2. Jumlah perdarahan 200 cc, urine output 100 cc (Kuning Pekat)
3. Monitor tanda vital sebelum pasien di bawa ke ICU TD: 118/70 mmHg; N:114
x/mnt; SpO2: 100 %; RR: 20 x/mnt.
4. Aldrate Score 5, terpasang oral ETT dengan bantuan nafas BVM
5. Pasien dipindahkan ke Intensive Care Unit (ICU)

E. Analisa Data
No. Data Masalah Penyebab
PRE ANESTESI
1. DS: - Nyeri Akut Agen Cedera Fisik
DO: (SDKI, Hal 172)
- Tampak close fraktur femur
dekstra tertutup spalek
- Soft tissue swelling
extracranial di regio

17
occipitale sisnistra
- ICH di regio frontal dekstra
- EDH di regio occipitale
sisnistra
- IVH di intra ventrikel
lateralis dekstra, ventrikel III
dan IV
- TD: 125/76 mmHg; Nadi
100 x/menit; RR 20x/mnt
2. DS: - Penurunan Cedera Kepala
DO: Kapasitas Adaptif
- Tampak soft tissue swelling Intrakranial
di regio occipitale sinistra (SDKI, Hal 149)
- Tampak lesi hyperdens (HU
=/- 70) berbentuk spheris di
regio occipitale sinistra
- Tampak lesi hyperdens (HU
=/- 70) berbentuk amorf
multiple di regio frontal
dekstra
- Tampak lesi hyperdens (HU
=/- 70) di intra ventrikel
lateralis dekstra, ventrikel III
dan IV
- GCS 12: E3V4M5 (apatis)
- TD: 125/76 mmHg; Nadi 100
x/menit; RR 20x/mnt
DURANTE ANESTESI
1. DS: - Risiko Nausea Efek Obat
DO: (SDKI, Hal 170) Anestesi:
- Klien diberikan obat anestesi Propofol,
Propofol 100 mg, Roculax Sevoflurane
40 mg, Fentanyl 100 mcg,
Sevoflurane 2%
2. DS: Risiko Syok Perdarahan pada
- Klien memiliki riwayat Hipovolemik Tindakan
penyakit anemia (SDKI, Hal 92) Pembedahan
DO:
- Hb 10,8 g/dL
- Terjadi perdarahan 200 cc
- TD: 128/73 mmHg, N:
122x/mnt; SPO2 100%
POST ANESTESI

18
1. DS: - Risiko Prosedur
DO: Ketidakseimbangan Pembedahan
- Jumlah perdarahan 200 cc Cairan Mayor dan
- Urine output 100 cc (kuning (SDKI, Hal 87) Perdarahan

pekat)
- Input cairan kristaloid 1500
cc
- TD: 118/70 mmHg; N:114
x/mnt; SpO2: 100 %; RR: 20
x/mnt

F. Diagnosa Keperawatan dan Prioritas Masalah Keperawatan


1. Pre Anestesi
a. Nyeri akut b.d Agen cedera fisik
b. Penurunan kapasitas adaptif intrakranial b.d Cedera kepala
2. Durante Anestesi
a. Risiko nausea b.d Efek obat anestesi: Propofol, Sevoflurane
b. Risiko syok hipovolemik b.d Perdarahan pada tindakan pembedahan
3. Post Anestesi
a. Risiko ketidakseimbangan cairan b.d Prosedur pembedahan mayor dan
perdarahan

19
G. Perencanaan, Intervensi dan Evaluasi

Diagnosa Keperawatan Tujuan Rencana Tindakan Implementasi Evaluasi

Pre Anestesi

Nyeri akut b.d Agen Rabu, 22 September Rabu, 22 Rabu, 22 September Rabu, 22 September Pukul:
cedera fisik Pukul: 10.00 WIB September Pukul: Pukul: 10.00 WIB 10.15 WIB
10.00 WIB
Setelah dilakukan a. Kaji tingkat
a. Mengkaji tingkat nyeri S: -
tindakan keperawatan nyeri, durasi,
secara komprehensif
selama 1x3 jam lokasi dan O:
b. Mengajarkan tehnik
diharapkan nyeri dapat intensitas.
non farmakologi - Klien terlihat lebih tenang
teratasi dengan kriteria b. Ajarkan teknik
(relaksasi nafas dalam) dan mampu melakukan
hasil: relaksasi nafas
c. Memberikan posisi nafas dalam
- Pasien mampu dalam.
yang nyaman - Hasil pengukuran TTV:
mengenali nyeri c. Berikan posisi
d. Mengobservasi tanda- TD: 125/76mmHg
- TTV dalam batas nyaman pada
tanda vital. Nadi: 100x/menit
normal pasien.
RR: 20x/mnt
- Pasien mampu d. Observasi tanda-
mengontrol nyeri tanda vital. A: Nyeri teratasi
- Tidak ada gangguan
pola tidur P: Hentikan intervensi

Penurunan kapasitas Rabu, 22 September Rabu, 22 Rabu, 22 September Rabu, 22 September Pukul:
adaptif intrakranial b.d Pukul: 10.20 WIB September Pukul: Pukul: 10.20 WIB 10.30 WIB
Cedera kepala 10.20 WIB

20
Setelah dilakukan asuhan a. Kaji tingkat
keperawatan, penurunan kesadaran dan
a. Mengkaji tingkat S: -
kapasitas adaptif status neurologis
kesadaran dan status
intrakranial dapat teratasi b. Monitor tanda- O:
neurologis
dengan kriteria hasil: tanda vital
b. Memonitor tanda-tanda - Kesadaran: Apatis
terutama tekanan
- Pasien tidak vital terutama tekanan - GCS: E3V4M5
darah
mengeluh sakit darah - Hasil pengukuran TTV:
c. Monitor
kepala c. Memonitor peningkatan RR 20x/menit
peningkatan
- Tidak terjadi tanda- tekanan intrakranial TD 125/76mmHg
tekanan
tanda peningkatan (nyeri kepala, muntah HR 100x/mnt
intrakranial (nyeri
TIK proyektil, papil edema)
kepala, muntah A: Penurunan kapasitas
- Pasien tidak terlihat d. Melakukan head
proyektil, papil
gelisah up/elevasi kepala 30-45 adaptif intrakranial teratasi
edema)
- TD: 100-140/70-90 derajat
d. Lakukan head sebagian
mmHg e. Memberikan terapi
up/elevasi kepala
RR: 16-24x/menit oksigen P: Lanjutkan intervensi
30-45 derajat
N: 60-100x/mnt
e. Berikan terapi - Berikan O2 3lpm
MAP: 70-100 mmHg
oksigen
ICP: 5-15 mmHg

21
Intra Anestesi

Risiko nausea b.d Efek Rabu, 22 September Rabu, 22 Rabu, 22 September Rabu, 22 September Pukul:
obat anestesi: Propofol, Pukul: 12.40 WIB September Pukul: Pukul: 12.40 WIB 13.00 WIB
Sevoflurane 12.40 WIB
a. Kaji tingkat
Setelah dilakukan a. Mengkaji tingkat S: -
mual
tindakan keprerawatan mual
b. Kelola terapi O:
risiko mual teratasi b. Memberikan injeksi
pemberian
dengan kriteria: ondancetron 4 mg iv -
Tidak tampak alergi
ondansetron 4
setelah pemberian
a. Tidak terjadi mg.
ondancetron.
mual
A: Risiko mual teratasi
b. Tidak terjadi
aspirasi sebagian
P: Monitor vital sign pasien
setiap 5 menit

Risiko syok hipovolemik Rabu, 22 September Rabu, 22 Rabu, 22 September Rabu, 22 September Pukul:
b.d Perdarahan pada Pukul: 13.00 WIB September Pukul: Pukul: 13.00 WIB 13.30 WIB
tindakan pembedahan 13.00 WIB
a. Monitor TTV dan
Setelah dilakukan a. Memonitor TTV dan S: -
perdarahan pada
tindakan keperawatan, perdarahan pada daerah
daerah O:
syok hipovolemik tidak pembedahan setelah
pembedahan
terjadi dengan kriteria dilakukan insisi - HR: 110x/mnt
setelah dilakukan
hasil: b. Memberikan infus RL - Sp O2 100%
insisi
- Tidak ada tanda- dan NaCl 0,9% (2 jalur) - TD: 125/70 mmHg
b. Berikan cairan IV
c. Memberikan Asam

22
tanda syok kristaoloid sesuai Tranexamat 1000 mg + - Jumlah perdarahan 200
hipovolemik dengan vit k 10 mg dreep infus cc, urine output 100 cc
- TTV dalam batas kebutuhan NaCl (kuning pekat)
normal (TD 110- c. Berikan medikasi A: Risiko syok hipovolemik
120/70-80 mmHg, vasoaktif
teratasi sebagian
Nadi 60-100 x/mnt,
dan SpO2 98-100%) P: Monitor vital sign pasien
setiap 5 menit

Post Anestesi

Risiko ketidakseimbangan Rabu, 22 September Rabu, 22 Rabu, 22 September Rabu, 22 September Pukul:
cairan b.d Prosedur Pukul: 14.30 WIB September Pukul: Pukul: 14.30 WIB 14.30 WIB
pembedahan mayor dan 14.30 WIB
perdarahan
a. Monitor tanda-
Setelah dilakukan a. Memonitor tanda-tanda S: -
tanda vital
tindakan keperawatan, vital
b. Monitor tekanan O:
risiko ketidakseimbangan b. Memonitor tekanan
darah ortostatik
cairan tidak terjadi darah ortostatik dan - Input cairan kristaloid
dan perubahan
dengan kriteria hasil: perubahan ritme 1500 cc
ritme jantung
a. Tekanan darah dalam jantung - Jumlah perdarahan 200
c. Monitor
batas normal c. Memonitor cc, urine output 100 cc
hemodinamik
b. Tekanan arteri radial hemodinamik (kuning pekat)
d. Monitor turgor
dalam batas normal d. Memonitor turgor kulit, - Hasil pengukuran TTV:
kulit, membran
c. Hematokrit dalam membran mukosa RR 20x/menit
mukosa
batas normal e. Memonitor warna dan TD 118/70 mmHg
- Monitor warna
d. Turgor kulit elastis kualitas urin HR 114x/mnt
dan kualitas urin
e. Membran mukosa f. Memberikan infus NaCl Sp02 100%
- Kolaborasi

23
lembab pemberian cairan dan NaCl 0,9% A: Risiko ketidakseimbangan
f. Intake dan output intravena jika (2 jalur)
cairan teratasi sebagian
cairan seimbang diinstruksikan
dalam 24 jam P: Monitor input dan output
g. Tidak ditemukan
cairan
hipertensi ortostatik
h. Tidak ada edema di
peripheral

24
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penatalaksanaan asuhan keperawatan anestesi pada Tn. A yang dilakukan
tindakan kraniotomi dengan general anestesi di IBS RSUD Kota Bekasi didapatkan
diagnosa keperawatan anestesi dengan hasil evaluasinya, antara lain:
1. Pre Anestesi
a. Nyeri akut b.d agen cedera fisik teratasi
b. Penurunan kapasitas adaptif intrakranial b.d cedera kepala teratasi sebagian
2. Durante Anestesi
a. Risiko nausea b.d efek obat anestesi teratasi sebagian
b. Risiko syok hipovolemik b.d perdarahan pada tindakan pembedahan teratasi
sebagian
3. Post Anestesi
a. Risiko ketidakseimbangan cairan b.d prosedur pembedahan mayor dan
perdarahan teratasi sebagian

Untuk masalah keperawatan anestesi yang masih teratasi sebagian diperlukan


implementasi lanjutan sesuai dengan rencana keperawatan yang telah direncanakan.

B. Saran
1. Seorang penata anestesi harus mahir dalam melakukan pengkajian, merumuskan
diagnosa, menetapkan intervesi, melaksanakan implementasi dan mengevaluasi
respon pasien pada tahap pre anestesi, intra anestesi hingga post anestesi.
2. Penata anestesi harus segera tanggap terhadap tanda kegawatan yang terjadi pada
pasien dan dapat mencegah agar kegawatan tidak terjadi.
3. Penata anestesi harus bisa bermitra baik dengan dokter anestesi secara efektif.

25
DAFTAR PUSTAKA
Atmadja, A. S. (2016). Indikasi Pembedahan pada Trauma Kapitis. Cermin Dunia
Kedokteran, 43(1), 29-33.
Christanto, S., Umar, N., & Wrgahadibrata, A. H. (2014). Penatalaksanaan Perioperatif
Perdarahan Intraserebral. Jurnal Neuroanestesi Indonesia, 3(2), 112-20.
Dafriani, Putri. 2019. Buku Ajar Anatomi & Fisiologi untuk Mahasiswa Kesehatan. Padang:
CV. Berkah Prima
Latief, Said A., dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi Kedua. Jakarta: Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta.
Nasution, S. H. (2014). Mild Head Injury. Jurnal Medula, 2(04), 89-96.
Putri, A. U., dkk. (2019). Hubungan antara World Federation of Neurosurgical Societies
Subarachnoid Hemorrhage Grading scale dan Mortalitas Pada Pasien Cedera Kepala
dengan Perdarahan Subarachnoid. Jurnal Mahasiswa PSPD FK Universitas
Tanjungpura, 5(1).
Rohadi, R., & Wahyuhadi, J. (2014). Rapid Resolution of Acute Epidural Hematoma. Jurnal
Kedokteran, 3(4).
Setiawan, H., & Dirdjo, M. M. (2015). Analisis Praktik Klinik Keperawatan pada Pasien
Cedera Kepala Ringan (CKR) dengan Penggunaan Bantal pada Leher untuk
Menurunkan Tingkat Skala Nyeri Akut di Ruang Instalasi Gawat Darurat RSUD Abdul
Wahab Sjahranie Samarinda Tahun 2015.
Suarjaya, I. P. P., & Wargahadibrata, A. H. (2012). Manajemen Perioperatif Epidural
Hemorrhage Akibat Cedera Otak Traumatik. Jurnal Neuroanestesi Indonesia, 1(1), 10-
15.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta:
Dewan Pengurus Pusat PPNI

Anda mungkin juga menyukai