Anda di halaman 1dari 27

BAB I

TINJAUAN TEORI

A. Konsep Dasar Penyakit


1. Definisi Cholelitiasis

Kolellitasis adalah inflamasi akut dari kandung empedu. Ini biasanya mengiritasi
lapisan kandung empedu. Ini dapat menjadi padat dalam duktus sistik yang menyebabkan
obstruksi dan inflamasi dinding empedu, mencetuskan infeksi. Kolelitasis disebut juga
dengan pembentukan batu (kalkuli atau batu empedu) di dalam kandung empedu atau sistem
saluran empedu (Smeltzer, 2009).

Kolelitasis adalah inflamasi kandung empedu yang bisa menjadi Kolesistisis akut
biasanya terjadi setelah obstruksi saluran sistik oleh batu. Obstruksi akan meningkatkan
tekanan di dalam kandung empedu, menyebabkan iskemia dinding dan mukosa kandung
empedu. Tertahannya empedu menyebabkan iritasi kimia dan sering kali diikuti oleh
terjadinya inflamsi bakteri. Iskemia dapat menyebabkan nekrosis dan perforasi dinding
kandung empedu (Pricilla, 2015).

Kolelitiasis atau dikenal sebagai penyakit batu empedu merupakan penyakit yang
terdapat batu di dalam kandung empedu atau di dalam saluran kandung empedu yang pada
umumnya komposisi utamanya adalah kolesterol, (William, 2003). Kandung empedu
merupakan organ berbentuk buah pir kecil yang terletak di perut sebelah kanan dan
tersembunyi di bawah hati, yang menyimpan cairan empedu yang dihasilkan oleh hati. Ketika
makanan masuk ke dalam lambung, kandung empedu akan berkontraksi dan mengeluarkan
cairan empedu yang berwarna hijau kecoklatan ke dalam usus halus.

2. Anatomi Empedu

Kandung empedu adalah kantung otot kecil yang melekat ke saluran empedu, terletak
di lekukan lobus bawah kanan hati. Pada orang dewasa kandung empedu sekitar 10 cm
panjangnya dan 4 cm lebarnya(Smith & Morton, 2001). . Empedu terdiri air, kolesterol,
garam empedu, lemak dan bilirubin serta produk limbah dari sel darah merah yang rusak
(Kumar & Clark, 2005).
Normal Kolelitiasis

3. Fisiologi Empedu

Kandung empedu merupakan sakus (kantong) yang berbentuk buah pir dan melekat
pada permukaan posterior hati oleh jaringan ikat. Kandung empedu memiliki fundus atau
ujung yang memanjang badan atau bagian utama, dan leher yang bersambung dengan duktus
sistikus. Kandung empedu memiliki lapisan jaringan seperti struktur dasar saluran cerna
dengan beberapa modifikasi (Elly Nurachman, 2011).

Empedu dibentuk secara terus menurus oleh hepatosit dan dikumpulkan dalam
kanalikulus serta saluran empedu. Empedu terutama tersususn dari air dan elektrilit, seperti
natrium, kalium, kalsium, klorida serta bikarbonat, dan juga mengandung dalam jumlah yang
berarti beberapa substansi seperti lesitin, kolesterol, bilirubin serta garam-garam empedu.
Empedu dikumpulkan dan disimpan dalam kandung empedu untuk kemudian dialirkan ke
dalam intestinum bila diperlukan bagi pencernaan (Arif muttaqin, 2011).

Setelah terjadi konyugasi atau pengikatan dengan asam-asam amino (taurin dan
glisilin), garam empedu diekskresikan ke dalam empedu. Bersama dengan kolesterol dan
lesitin, garam empedu diperlukan untuk emulsifikasi lemak dalm intestinum. Proses ini
penting untuk proses pencernaan dan penyerapan yang efesien. Kemudian garam empedu
akan diserap kembali, terutama dalam ileum distal, ke dalam darah portal untuk kembali ke
hati dan sekali lagi diekresikan ke dalam empedu. Lintasan hepatosit-empedu-intestinum dan
kembali lagi kepada hepatosit dinamakan sirkulasi enterohepatik (Arif Muttaqin, 2011).

Akibat adanya sirkulasi enterohepatik, maka dari seluruh garam empedu yang masuk
kedalam intestinum, hanya sebagian kecil yang akan diekskresikan ke dalam fases. Keadaan
ini menurunkan kebutuhan terhadap sintesis aktif garam empedu oleh sel-sel hati (Arif
Muttaqin, 2011).

Kandung empedu bentuknya seperti kantong, organ berongga yang panjangnya sekitar
10 cm, terletak sedikit dalam suatu fosa yang menegaskan batas anatomi antara lobus hati
kanan dan kiri. Kandung empedu mempunyai fundus, korpus, infundibulum, dan kolum.
Fundus bentuknya bulat, ujung buntu dari kandung empedu yang memanjang di atas tepi hati.
Korpus merupakan bagian terbesar dari kandung empedu. Kolum adalah bagian yang sempit
dari kandung empedu yang terletak antara korpus dan daerah duktus sistika (Schwartz, 2009).

Infundibulum yang juga dikenal sebagai kantong hartman adalah bulbus diverticulum
kecil yang terletak pada permukaan inferior dari kandung kemih, yang secara klinis bermakna
karena proksimitasnya terhadap duodenum dan dapat terimpeksi ke dalamnya. Duktus
sistikus menghubungkan kandung empedu ke duktus koledokus. Katup spiral dari heister
terletak di dalam duktus empedu. Pasokan darah ke kandung empedu adalah melalui arteri
kristika, secara khas merupakan cabang dari arteri hepatica kanan, tetapi asal dari arteri
kristika bervariasi. Segitiga calot dibentuk oleh arteri kistika, duktus koledekus, dan duktus
kistikus (Schwartz, 2009)

4. Etiologi Cholelitiasis

Penyebab yang pasti belum diketahui secara sempurna. Namun menurut berbagai
teori, terdapat beberapa kemungkinan penyebab terjadinya kolelitiasis. Semakin banyak
faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya
kolelitiasis, (Beckingham, 2001).

Faktor resiko tersebut antara lain :

a) Jenis Kelamin

Wanita mempunyai risiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dengan pria. Ini
dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan ekskresi kolesterol
oleh kandung empedu. Kehamilan yang meningkatkan kadar esterogen juga
meningkatkan risiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil dan kontrasepsi dan terapi
hormon (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan
penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu.
b) Usia

Risiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.


Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan
dengan orang dengan usia yang lebih muda.

c) Berat badan (BMI)

Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi
untuk terjadi kolelitiasis. Ini dikarenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol
dalam kandung empedu tinggi, dan juga mengurangi garam empedu serta mengurangi
kontraksi / pengosongan kandung empedu.

d) Makanan

Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operasi
gastrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat
menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.

e) Nutrisi Intravena Jangka Lama

Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi


untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan / nutrisi yang melewati intestinal. Sehingga
risiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu.

5. Patofisiologi Cholelitiasis

Menurut Corwin (2008) patofisiologi kolelitiasis yaitu perubahan komposisi empedu.


Perubahan komposisi ini membentuk inti, lalu lambat laun menebal dan mengkristal. Proses
pengkristalan dapat berlangsung lama, bisa sampai bertahun-tahun dan akhirnya akan
menghasilkan batu empedu, bila adanya peradangan pada kandung empedu dapat
mengakibatkan supersaturasi progresif, perubahan sususan kimia dan pengendapan beberapa
unsur konstituen seperti kolesterol, kalsium, bilirubin. Infeksi bakteri dalam saluran empedu
dapat berperan sebagian dalam pembentukan batu, melalui peningkatan deskuamasi sel dan
pembentukan mukus. Mukus meningkatan viskositas dan unsur seluler atay bakteri dapat
berperan sebagai pusat presipitasi. Adanya proses infeksi ini terkait mengubah komposisi
empedu dengan meningkatkan reabsorpsi garam empedu dan lesitin.
Skema pathway cholelitiasis

6. Manifestasi Klinis Cholelitiasis

Pada manifestasi klinik ada yang tidak menimbulkan gejala dan tidak menyebabkan
nyeri namun dapat juga menunjukkan gejala – gejala gastro intestinal ringan.

a) Mungkin akut dan kronis dengan distres epigastrik (begah, distensi abdomen, nyeri
tak jelas pada kuadran kanan atas setelah makan makanan yang banyak mengandung
lemak.
b) Jika saluran empedu tersumbat, maka kandung empedu mengalami distensi dan
akhirnya terinfekasi: mungkin terjadi demam dan teraba masa pada abdomen. Kolik
bilier dengan nyeri abdomen kanan atas menjalar ke punggung atau bahu kanan, mual
dan muntah beberapa jam setelah makan banyak.
c) Ikterik terjadi dengan tersumbatnya duktus komunis empedu.
d) Urine berwarna sangat gelap; feces warna pucat.
e) Defisiensi vitamin A, D, E, dan K (vitamin – vitamin yang larut dalam lemak).
f) Abses nekrosis dan perforasi dengan peritonitis dapat terjadi jika batu empedu terus
menyumbat saluran empedu.

Mual dan muntah sering menyertai tingkat lebih parah. Rasa sakit dapat mereda
spontan setelah beberapa jam atau bisa membutuhkan analgesik opiat. Nyeri disertai dengan
Demam biasanya menunjukkan kolesistitis akut (Beckingham, 2001). Manifestasi klinik
pada pasien kolelitiasis sangat bervariasi, ada yang mengalami gejala asimptomatik dan
gejala simptomatik. Pasien kolelitiasis dapat mengalami gejala: yang disebabkan oleh
penyakit kandung empedu itu sendiri dan gejala yang terjadi akibat obstruksi pada jalan
perlintasan empedu oleh batu empedu. Gejalanya bisa bersifat akut atau kronis. Gangguan
epigastrium, seperti rasa penuh, distensi abdomen dan nyeri yang samar pada kuadran kanan
atas abdomen dapat terjadi. Gangguan ini dapat terjadi bila individu mengkonsumsi makanan
yang berlemak atau yang digoreng (Smeltzer & Bare, 2002).

Kolesistitis akut disebabkan ketika sebuah obstruksi terjadi pada duktus sistikus
(Kumar & Clark, 2005). Gejala yang paling umum dari seseorang dengan batu empedu
adalah rasa sakit di bawah tulang rusuk pada sisi kanan atau bahkan nyeri perut bagian atas,
dengan rasa sakit yang dialami di bagian belakang dekat kanan belikat (Beckingham, 2001).
Kolik bilier adalah istilah yang digunakan untuk rasa sakit terkait dengan obstruksi sementara
yang kistik atau saluran empedu (CBD) dengan batu biasanya bergerak dari kandung
empedu (Kumar & Clark, 2005).

7. Pemeriksaan Diagnostik
1) Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan diagnostik yang sering digunakan dan mudah dilakukan dengan


ultrasonografi yang mampu mendeteksi batu pada kandung empedu. Pemeriksaan diagnostik
yang dapat dilakukan pada pasien kolelitiasis adalah:

a. Ultrasonografi
Pemeriksaan USG telah menggantikan pemeriksaan kolesistografi oral karena dapat
dilakukan secara cepat dan akurat, dan dapat dilakukan pada penderita disfungsi hati
dan ikterus. Pemeriksaan USG dapat mendeteksi kalkuli dalam kandung empedu atau
duktus koledokus yang mengalami dilatasi, mendeteksi batu 90 – 95 % (Masahiko et
al, 2007)
b. Pemeriksaan CT Scan Abdomen
Dapat dilakukan jika terdapat kecurigaan akan penyakit kandung empedu dan untuk
menyingkirkan penyebab gejala yang lain. Namun, hanya 15-20% batu empedu yang
mengalami cukup kalsifikasi untuk dapat tampak melalui pemeriksaan sinar-x
(Mashiko et al, 2007)
c. Pemeriksaan Pencitraan Radio Nuklida Atau Koleskintografi
Koleskintografi menggunakan preparat radioaktif yang disuntikkan secara intravena.
Preparat ini kemudian diambil oleh hepatosit dan dengan cepat diekskresikan ke
dalam sistem bilier. Selanjutnya dilakukan pemindaian saluran empedu untuk
mendapatkan gambar kandung empedu dan percabangan bilier.
d. ERCP (Endoscopic Retrograde CholangioPancreatography)
Pemeriksaan ini meliputi insersi endoskop serat-optik yang fleksibel ke dalam
esofagus hingga mencapai duodenum pars desendens. Sebuah kanul dimasukkan ke
dalam duktus koledokus serta duktus pankreatikus, kemudian bahan kontras
disuntikkan ke dalam duktus tersebut untuk memungkinkan visualisasi serta evaluasi
percabangan bilier. ERCP juga memungkinkan visualisasi langsung struktur bilier dan
memudahkan akses ke dalam duktus koledokus bagian distal untuk mengambil
empedu. (Masahiko et al,2007)
e. Kolangiografi Transhepatik Perkutan
Pemeriksaan dengan cara menyuntikkan bahan kontras langsung ke dalam
percabangan bilier. Karena konsentrasi bahan kontras yang disuntikkan itu relatif
besar, maka semua komponen pada sistem bilier (duktus hepatikus, duktus koledokus,
duktus sistikus dan kandung empedu) dapat dilihat garis bentuknya dengan jelas.
f. MRCP (Magnetic Resonance Cholangiopancreatography)
Merupakan teknik pencitraan dengan gema magnet tanpa menggunakan zat kontras,
instrumen, dan radiasi ion. Pada MRCP saluran empedu akan terlihat sebagai struktur
yang terang karena mempunyai intensitas sinyal tinggi, sedangkan batu saluran
empedu akan terlihat sebagai intensitas sinyal rendah yang dikrelilingi empedu
dengan intensitas sinyal tinggi, sehingga metode ini cocok untuk mendiagnosis batu
saluran empedu (Lesmana, 2006).

2) Pemeriksaan laboratorium
a. Darah lengkap : leukositosis sedang (akut)
b. Bilirubin dan amylase serum : meningkat
c. Enzim hati serum : AST (SGOT) ; ALT (SGPT) ; LDH agak meningkat ; alkalin
fosfat dan 5-nukleotidase : ditandai peningkatan obstruksi bilier.
d. Kadar protrombin : menurun bila obstruksi aliran empedu dalam usus menurunkan
absorpsi vitamin K.
e. Kalangopankreatografi retrograde endoskopik (ERCP) : memperlihatkan percabangan
bilier dengan kanulasi duktus koledukus melalui duodenum.
f. Kolangiografi transhepatik perkutaneus : pembedaan gambaran dengan fluoroskopi
antara penyakit kandung empedu dan kanker pankreas (bila ikterik ada)
g. Scan CT : dapat menyatakan kista kandung empedu, diatasi duktus empedu, dan
membedakan antara ikterik obstruksi/ non obstruksi.
h. Scan hati (dengan zat radioaktif) : menunjukkan obstruksi percabangan bilier
i. Foto abdomen (multiposisi) : menyatakan gambaran radiologi (klarifikasi) batu
empedu, klarifikasi dinding atau pembesaran kandung empedu.
j. Foto dada : menunjukkan pernapasan yang menyebabkan penyebaran nyeri

8. Penatalaksanaan Cholelitiasis
1) Penatalaksanaan Medik
Menurut Brunner dan Suddarth (2013) penatalaksanaan medis kolelitasis :
a. Terapi Nutrisi
Diet segera setelah operasi biasanya berupa cairan rendah lemak dengan protein dan
karbohidrat tinggi dilanjutkan dengan makanan padat yang lembut, hindari telur,
krim, babi, makanan gorengan, keju, sayuran pembentukan gas, dan alkohol.
b. Terapi Farmakologi
Pemberian obat oral untuk melarutkan batu kolesterol empedu dengan
chenodeoxycholic acis (CDCA) atau senodial; dan ursodeoxycholic acis atau ursodiol
(UDCA). Dipakai pada klien yang menolak yang menolak kolesistektomi atau klien
yang tidak disarankan untuk pembedahan, terhitung < 10 % klien dengan gejala ini.
Kedua obat bertindak untuk mengurangi jumlah kolesterol di dalam empedu. Angka
keberhasilan tertinggi terjadi pada klien dengan batu empedu radiolusen, kecil
mengambang. Batu cenderung terjadi kembali 30 – 50 % dengan waktu tiga sampai
lima tahun lagi.
 Untuk menghancurkan batu : ursodiol/aktigal.
 Efek samping : diare, bersifat hepatotoksik, pada fetus sehingga kontraindikasi
pada ibu hamil.
 Mengurangi konten kolesterol dalam batu empedu : chenodiol/chenix.
 Untuk mengurangi gatal-gatal : cholestyramine (Questran)
 Menurunkan rasa nyeri : analgesik.
 Mengobati infeksi : antibiotik.

2) Penatalaksanaan Non-Bedah

Penanganan kolelitiasis non-bedah dengan cara melarutkan batu empedu yaitu:

a. Suatu metode melarutkan batu empedu dengan menginfuskan suatu bahan pelarut
(monooktanion atau metil tertier butil eter [MTBE]) ke dalam kandung empedu.
Pelarut tersebut dapat diinfuskan melalui jalur berikut ini: melalui selang atau kateter
yang dipasang perkutan langsung ke dalam kandung empedu; melalui selang atau
drain yang dimasukkan melalui saluran T-Tube untuk melarutkan batu yang belum
dikeluarkan pada saat pembedahan; melalui endoskop ERCP; atau kateter bilier
transnasal.
b. Metode Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL). Prosedur non-invasif yang
menggunakan gelombang kejut berulang (repeated shock waves) yang diarahkan
kepada batu empedu di dalam kandung empedu atau duktus koledokus dengan
maksud untuk memecah batu tersebut menjadi sebuah fragmen. Gelombang kejut
dihasilkan dalam media cairan oleh percikan listrik, yaitu piezoelektrik, atau oleh
muatan elektromagnetik (Smeltzer & Bare, 2002), dimana sampai 1.500 gelombang
kejut diarahkan pada batu sampai hancur, digunakan sebagai pengobatan rawat jalan
pada beberapa kasus. Klien yang mempunyai kolelitiasis simtomatik kurang dari
empat batu, masing – masing diameter kurang dari 3 cm dan tanpa riwayat penyakit
hati dan pankreas.
c. Endoscopi Retrograde Cholangio Pancreatography (ERCP), batu dalam saluran
empedu dikeluarkan dengan basket kawat atau balon ekstraksi melalui muara yang
sudah besar tersebut menuju lumen duodenum sehingga batu dapat keluar bersama
tinja atau dikeluarkan melalui mulut bersama skopnya. (Lesmana, 2006).
3) Penatalaksanaan Bedah
a. Kolesistektomi laparaskopi : dilakukan melalui insiasi atau tusukan kecil yang dibuat
menembus dinding abdomen di umbilikus. Rongga abdomen ditiup dengan gas
karbon monoksida untuk membantu pemasangan endoskopi.
b. Kolesistektomi : kantung empedu diangkat setelah asteri dan duktus sistikus diligasi.
Sebuah drain (penrose) ditempatkan dalam kandung empedu dan dibiarkan menjulur
ke luar lewat luka operasi untuk mengalirkan darah, cairan serosanguinus dan getah
empedu ke dalam kasa absorben.
c. Minikolesistektomi : kantung empedu dikeluarkan melalui sebuah insisi kecil selebar
4cm.
d. Kolesistostomi (bedah atau perkutan) : kantung empedu dibuka, dan batu, empedu,
atau drainase purulent dikeluarkan
e. Koledokostomi : Insisi dilakukan pada duktus koledokus untuk mengeluarkan batu.
Setelah batu dikeluarkan biasanya dipasang sebuah kateter ke dalam duktus tersebut
untuk drainase getah empedu sampai edema mereda. Kateter ini dihubungkan dengan
selang drainase.

B. Konsep Dasar Penatalaksanaan Anestesi


1. Definisi General Anestesi

Anestesi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan rasa sakit ketika dilakukan
pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa sakit, dalam hal ini rasa
takut perlu ikut dihilangkan untuk menciptakan kondisi optimal bagi pelaksanaan
pembedahan (Sabiston, 2011).

General anestesi merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit secara sentral disertai
hilangnya kesadaran (reversible). Tindakan general anestesi terdapat beberapa teknik yang
dapat dilakukan adalah general anestesi dengan teknik intravena anestesi dan general anestesi
dengan inhalasi yaitu dengan face mask (sungkup muka) dan dengan teknik intubasi yaitu
pemasangan endotrecheal tube atau gabungan keduanya inhalasi dan intravena (Latief, 2007).
Anestesi umum menurut American Association of Anestesiologist merupakan pemberian
obat yang menginduksi hilangnya kesadaran dimana pasien tidak arousable, meskipun
dengan stimulasi yang sangat menyakitkan. Kemampuan untuk mengatur fungsi pernafasan
juga terganggu. Pasien seringkali membutuhkan bantuan untuk menjaga patensi jalan nafas,
dan tekanan ventilasi positif dibutuhkan karena hilangnya ventilasi spontan atau hilangnya
fungsi neuromuskular. Fungsi kardiovaskular juga terganggu (ASA, 2013).

Anestesi umum dibagi menjadi tiga teknik yaitu teknik anestesi total intravena,
anestesi total inhalasi, dan anestesi kombinasi antara intravena dan inhalasi yang sering
disebut balance anestesia. Masing-masing dari teknik tersebut memiliki kekurangan dan
kelebihan. Pemilihan teknik seringkali ditentukan oleh karakteristik pasien sehingga tepat
penggunaan dan resiko efek samping yang paling minimal. Saat ini penggunaan teknik ini
sudah umum dan sering dikerjakan.

2. Teknik General Anestesi


1) General Anestesi Intravena
Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan menyuntikkan obat anestesi
parenteral langsung ke dalam pembuluh darah vena.
2) General Anestesi Inhalasi
Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan memberikan kombinasi obat
anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau cairan yang mudah menguap melalui alat
atau mesin anestesi langsung ke udara inspirasi.
3) Anestesi Imbang
Merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan kombinasi obat-obatan baik obat
anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi atau kombinasi teknik general
anestesi dengan analgesia regional untuk mencapai trias anestesi secara optimal dan
berimbang, yaitu:
 Efek hipnosis, diperoleh dengan mempergunakan obat hipnotikum atau obat
anestesi umum yang lain.
 Efek analgesia, diperoleh dengan mempergunakan obat analgetik opiat atau
obat general anestesi atau dengan cara analgesia regional.
 Efek relaksasi, diperoleh dengan mempergunakan obat pelumpuh otot atau
general anestesi, atau dengan cara analgesia regional.

3. Sistem Pemberian Obat-obatan Anestesi


1) Open drop method
Cara ini dapat digunakan untuk anestesik yang menguap, peralatan sangat sederhana
dan tidak mahal. Zat anestetik diteteskan pada kapas yang diletakkan di depan hidung
penderita sehingga kadar yang dihisap tidak diketahui, dan pemakaiannya boros
karena zat anestetik menguap ke udara terbuka.
2) Semi open drop method
Hampir sama dengan open drop, hanya untuk mengurangi terbuangnya zat anestetik
digunakan masker. Karbondioksida yang dikeluarkan sering terhisap kembali
sehingga dapat terjadi hipoksia. Untuk menghindarinya dialirkan volume fresh gas
flow yang tinggi minimal 3x dari minimal volume udara semenit.
3) Semi closed method
Udara yang dihisap diberikan bersama oksigen murni yang dapat ditentukan kadarnya
kemudian dilewatkan pada vaporizer sehingga kadar zat anestetik dapat ditentukan.
Udara napas yang dikeluarkan akan dibuang ke udara luar. Keuntungannya dalamnya
anestesi dapat diatur dengan memberikan kadar tertentu dari zat anestetik, dan
hipoksia dapat dihindari dengan memberikan volume fresh gas flow kurang dari
100% kebutuhan.
4) Closed method
Cara ini hampir sama seperti semi closed hanya udara ekspirasi dialirkan melalui soda
lime yang dapat mengikat CO2, sehingga udara yang mengandung anestetik dapat
digunakan lagi.

Dalam memberikan obat-obatan pada penderita yang akan menjalani operasi maka
perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai premedikasi, induksi, maintenance, dan lain-lain.

4. Persiapan Pra Operasi


1) Kunjungan Pra Anestesi

Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif/darurat) harus


dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif dilakukan 1-2 hari
sebelumnya, dan pada bedah darurat sesingkat mungkin. Kunjungan pra anestesi pada pasien
yang akan menjalani operasi dan pembedahan baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan
untuk keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan kunjungan pra anestesi adalah:

a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.


b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai dengan fisik
dan kehendak pasien.
c. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society Anesthesiology)
Klasifikasi ASA

Klasifikasi ASA Keterangan


Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan faal,
ASA I
biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.
Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang sebagai
ASA II
akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka mortalitas 16%.
Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian
ASA III
terbatas. Angka mortalitas 38%.
Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, tidak
ASA IV selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ, angina
menetap. Angka mortalitas 68%.
Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi hampir tak
ASA V ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa operasi /
dengan operasi. Angka mortalitas 98%.
ASA VI Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil (didonorkan)
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri dari
Emergency
kegawatan otak, jantung, paru, ibu dan anak.

2) Pemeriksaan praoperasi anestesi


a. Anamnesis
a) Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, alamat, dll.
b) Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.
c) Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat menjadi penyulit
anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit paru kronis (asma bronkhial,
pneumonia, bronkhitis), penyakit jantung, hipertensi, dan penyakit ginjal.
d) Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat, dan obat yang
sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi dengan obat anestetik
seperti kortikosteroid, obat antihipertensi, antidiabetik, antibiotik, golongan
aminoglikosid, dan lain lain.
e) Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari tanggal, jenis
pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif pasca bedah.
f) Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan anestesi
seperti merokok, minum alkohol, obat penenang, narkotik
g) Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti hipertensi maligna.
h) Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum, pernafasan,
kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi, neurologi, endokrin,
psikiatrik, ortopedi dan dermatologi.
b. Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan psikis : gelisah,takut, kesakitan
b) Keadaan gizi : malnutrisi atau obesitas
c) Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi cairan yang
diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah pembedahan.
d) Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta suhu
tubuh.
e) Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui adanya trismus,
keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan fleksi ekstensi leher, deviasi
ortopedi dan dermatologi. Ada pula pemeriksaan mallampati, yang dinilai dari
visualisasi pembukaan mulut maksimal dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan
mallampati sangat penting untuk menentukan kesulitan atau tidaknya dalam
melakukan intubasi. Penilaiannya yaitu:
 Mallampati I : palatum molle, uvula, dinding posterior oropharynk, tonsilla
palatina dan tonsilla pharingeal
 Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula, dinding posterior uvula
 Mallampati III : palatum molle, dasar uvula
 Mallampati IV : palatum durum saja
f) Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung
g) Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi
h) Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia, atau tanda
regurgitasi.
i) Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis, adanya jari
tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat pungsi vena atau daerah
blok saraf regional
c. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang lain
a. Lab rutin :
 Pemeriksaan lab. Darah
 Urine : protein, sedimen, reduksi
 Foto rongten ( thoraks )
 EKG
b. Pemeriksaan khusus, dilakukan bila ada indikasi
 EKG pada anak
 Spirometri pada tumor paru
 Tes fungsi hati pada ikterus
 Fungsi ginjalpada hipertensi
 AGD, elektrolit.

Beberapa pemeriksaan preanestesi beserta indikasinya

No Tes Indikasi
.
1, Darah Lengkap Anemia dan penyakit hematologik lainnya
Penyakit ginjal
Pasien yang menjalani kemoterapi
2. Ureum, creatinin dan Penyakit ginjal
konsentrasi elektrolit Penyakit metabolik misalnya; diabetes mellitus
Nutrisi abnormal
Riwayat diare, muntah
Obat-obatan yang merubah keseimbangan elektrolit atau
menunjukkan efek toksik dari adanya abnormalitas
elektrolit seperti digitalik, diuretic, antihipertensi,
kortikosteroid, hipoglikemik agent.
3. Konsentrasi glukosa darah Diabetes Mellitus
Penyakit hati yang berat
4. Elektrokardiografi Penyakit jantung, hipertensi atau penyakit paru kronik
Diabetes Mellitus
5. Chest X-ray Penyakit respirasi
Penyakit kardiovaskuler
6. Arterial blood gases Pasien sepsis
Penyakit paru
Pasien dengan kesulitan respirasi
Pasien obesitas
Pasien yang akan thorakotomi
7. Test fungsi paru Pasien yang akan operasi thorakotomi
Penyakit paru sedang sampai berat seperti COPD,
bronchiectasis
8. Skreen koagulasi Penyakit hematologic
Penyakit hati yang berat
Koagulopati
Terapi antikoagulan, misal: antikoagulan oral (warfarin)
atau heparin
9. Test fungsi hati Penyakit hepatobilier
Riwayat penyahgunaan alcohol
Tumor dengan metastase ke hepar
10. Tes fungsi thyroid Bedah thyroid
Riwayat penyakit thyroid
Curiga abnormalitas endokrin seperti tumor pituitari

Hasil pemeriksaan normal adalah valid selama periode waktu, jarak dari yang 1 minggu
(FBC, ureum, creatinin, konsentrasi elektrolit, glukosa darah), 1 bulan (ECG), sampai 6 bulan
(chest X-ray). Pemeriksaan sebaiknya diulang dalam keadaan berikut;

 Timbul gejala seperti nyeri dada, diare, muntah


 Penilaian untuk efektivitas terapi seperti suplemen potassium untuk hipokalemia,
terapi insulin untuk hiperglikemia, dialysis untuk pasien dengan gagal ginjal, produk
darah untuk koreksi koagulopati.

3) Persiapan Alat

Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah:

a) Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan


b) Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya
c) Alat-alat resusitasi (STATICS)
d) Obat-obat anestesia yang diperlukan.
e) Obat-obat resusitasi, misalnya; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium bikarbonat dan
lain-lainnya.
f) Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.
g) Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG dipasang.
h) Alat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan indikasi, misalnya; “Pulse
Oxymeter” dan “Capnograf”.
i) Kartu catatan medic anestesia
j) Selimut penghangat khusus untuk bayi dan orang tua.

Komponen STATICS

Komponen STATICS
S Scope Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai
dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
T Tubes Pipa trakea, pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon
(cuffed) dan >5 tahun dengan balloon (cuffed).
A Airways Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa
hidung-faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini menahan
lidah saat pasien tidak sadar untuk mengelakkan sumbatan
jalan napas.
T Tapes Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau
tercabut.
I Introducer Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel)
yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa
trakea mudah dimasukkan.
C Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anastesia.
S Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

5. Premedikasi Anestesi

Premedikasi diberikan berdasarkan atas keadaan psikis dan fisiologis pasien yang
ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan demikian maka pemilihan obat
premedikasi yang akan digunakan harus selalu dengan mempertimbangkan umur pasien,
berat badan, status fisik, derajat kecemasan, riwayat pemakaian obat anestesi sebelumnya,
riwayat hospitalisasi sebelumnya, riwayat penggunaan obat tertentu yang berpengaruh
terhadap jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi, macam operasi, dan rencana anestesi
yang akan digunakan

Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun tujuan dari
premedikasi antara lain :

a. Memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.


b. Menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
c. Membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
d. Memberikan analgesia, misal : fentanyl, pethidin
e. Mencegah muntah, misal : droperidol, ondansentron
f. Memperlancar induksi, misal : pethidin
g. Mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
h. Menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : tracurium, sulfas atropin.
i. Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan hiosin.

Pada kasus ini digunakan obat premedikasi ondansentron 4 mg/i.v

Ondansetron merupakan obat selektif terhadap reseptor antagonis 5-Hidroksi-


Triptamin (5-HT3) di otak dan mungkin juga pada aferen vagal saluran cerna. Di
mana selektif dan kompetitif untuk mencegah mual dan muntah setelah operasi dan
radioterapi. Ondansentron memblok reseptor di gastrointestinal dan area postrema di
CNS (Philip et al., 2002). Ondansetron dapat diberikan secara oral dan parenteral.
Pada pemberian oral, dosis yang diberikan adalah 4-8 mg/kgBB. Pada intravena
diberikan dosis tunggal ondansetron 0,1 mg/BB sebelum operasi atau bersamaan
dengan induksi (Goodman dan Gilman, 2001).

Pada pemberian oral, obat ini diabsorbsi secara cepat. Ondansetron di


eliminasi dengan cepat dari tubuh. Metabolisme obat ini terutama secara hidroksilasi
dan konjugasi dengan glukoronida atau sulfat di hati (Sulistia et al., 2007). Pada
disfungsi hati terjadi penurunan kadar plasma dan berpengaruh pada dosis yang
diberikan. Kadar serum dapat berubah pada pemberian bersama fenitoin fenobarbital
dan rifampin (Omoigui, 1997). Efek ondansetron terhadap kardiovaskuler sampai
batas 3 mg/kgBB masih aman, clearance ondansetron pada wanita dan orang tua lebih
lambat dan bioavailabilitasnya 60%, ikatan dengan protein 70-76%, metabolisme di
hepar, diekskresi melalui ginjal dan waktu paruh 3,5-5,5 jam. Mula kerja kurang dari
30 menit, lama aksi 6-12 jam (John, 2005; Pranowo, 2006; Kovac, 2000).
Ondansetron adalah golongan antagonis reseptor serotonin (5-HT3) merupakan obat
yang selektif menghambat ikatan serotonin dan reseptor 5-HT3. Obat-obat anestesi
akan menyebabkan pelepasan serotonin dari sel-sel mukosa enterochromafin dan
dengan melalui lintasan yang melibatkan 5-HT3 dapat merangsang area postrema
menimbulkan muntah. Pelepasan serotonin akan diikat reseptor 5-HT3 memacu
aferen vagus yang akan mengaktifkan refleks muntah. Serotonin juga dilepaskan
akibat manipulasi pembedahan atau iritasi usus yang merangsang distensi
gastrointestinal (Pranowo, 2006).

Efek antiemetik ondansetron terjadi melalui:

 Blokade sentral pada area postrema (CTZ) dan nukleus traktus solitarius melalui
kompetitif selektif di reseptor 5-HT3
 Memblok reseptor perifer pada ujung saraf vagus yaitu dengan menghambat ikatan
serotonin dengan reseptor pada ujung saraf vagus (White, 1999; Tong, 2003).

Ondansetron digunakan untuk pencegahan mual dan muntah yang


berhubungan dengan operasi dan pengobatan kanker dengan radioterapi dan
sitostatika. Ondansetron biasa diberikan secara oral dan intravena atau intramuskuler.
Awal kerja diberi 0,1-0,2 mg/kgBB secara perlahan melalui intravena atau infus untuk
15 menit sebelum tindakan operasi. Dan disusul pemberian oral dengan dosis 4-8
mg/kgBB tiap 12 jam selama 5 hari (Sulistia, 2007).

6. Intubasi Nasal

Suatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam trakea, sehingga jalan nafas bebas
hambatan dan nafas mudah dikendalikan.

Intubasi trakea bertujuan untuk :

a) Mempermudah pemberian anestesi.


b) Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas.
c) Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.
d) Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.
e) Pemakaian ventilasi yang lama.
f) Mengatasi obstruksi laring akut.
7. Induksi Anestesi

Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai tercapainya stadium


pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan tahap pemeliharaan anestesi untuk
mempertahankan atau memperdalam stadium anestesi setelah induksi.

Pada kasus ini digunakan obat induksi anestesi propofol 100 mg/i.v
Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat dalam air dan
emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur dan 2,25% glyserol.
Dosis yang dianjurkan 2,5 mg/kgBB untuk induksi tanpa premedikasi. Propofol
memiliki kecepatan onset yang sama dengan barbiturat intravena lainnya, namun
pemulihannya lebih cepat dan pasien dapat diambulasi lebih cepat setelah anestesi
umum. Selain itu, secara subjektif, pasien merasa lebih baik setelah postoperasi
karena propofol mengurangi mual dan muntah postoperasi. Propofol digunakan baik
sebagai induksi maupun mempertahankan anestesi dan merupakan agen pilihan untuk
operasi bagi pasien rawat jalan. Obat ini juga efektif dalam menghasilkan sedasi
berkepanjangan pada pasien dalam keadaan kritis. Penggunaan propofol sebagai
sedasi pada anak kecil yang sakit berat (kritis) dapat memicu timbulnya asidosis berat
dalam keadaan terdapat infeksi pernapasan dan kemungkinan adanya skuele
neurologik

. Pemberian propofol (2mg/kg) intravena menginduksi anestesi secara cepat.


Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi jarang disertai plebitis
atau trombosis. Anestesi dapat dipertahankan dengan infus propofol yang
berkesinambungan dengan opiat, N2O dan/atau anestetik inhalasi lain. Propofol dapat
menyebabkan turunnya tekanan darah yang cukup berarti selama induksi anestesi
karena menurunnya resitensi arteri perifer dan venodilatasi. Propofol menurunkan
tekanan arteri sistemik kira-kira 80% tetapi efek ini disebabkan karena vasodilatasi
perifer daripada penurunan curah jantung. Tekanan sistemik kembali normal dengan
intubasi trakea.

Setelah pemberian propofol secara intravena, waktu paruh distribusinya adalah


2-8 menit, dan waktu paruh redistribusinya kira-kira 30-60 menit. Propofol cepat
dimetabolisme di hati 10 kali lebih cepat daripada thiopenthal pada tikus. Propofol
diekskresikan ke dalam urin sebagai glukoronid dan sulfat konjugat, dengan kurang
dari 1% diekskresi dalam bentuk aslinya. Klirens tubuh total anestesinya lebih besar
daripada aliran darah hepatik, sehingga eliminasinya melibatkan mekanisme
ekstrahepatik selain metabolismenya oleh enzim-enzim hati. Propofol dapat
bermanfaat bagi pasien dengan gangguan kemampuan dalam memetabolisme obat-
obat anestesi sedati yang lainnya. Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal.
Aliran darah ke otak, metabolisme otak dan tekanan intrakranial akan menurun.
Keuntungan propofol karena bekerja lebih cepat dari tiopental dan konvulsi pasca
operasi yang minimal.

Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini didistribusikan cepat
dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi sebagai akibat depresi langsung pada
otot jantung dan menurunnya tahanan vaskuler sistemik. Propofol tidak mempunyai
efek analgesik. Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih sadar lebih cepat dan
jarang terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang rendah propofol memiliki efek
antiemetik.

Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi pernafasan,


apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem kardiovaskuler berupa
hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi. Pada susunan syaraf pusat adanya
sakit kepala, pusing, euforia, kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi
nyeri sehingga saat pemberian dapat dicampurkan lidokain (20-50 mg).

8. Obat Pelumpuh Otot

Obat golongan ini menghambat transmisi neuromuscular sehingga menimbulkan


kelumpuhan pada otot rangka. Menurut mekanisme kerjanya, obat ini dibagi menjadi 2
golongan yaitu obat penghambat secara depolarisasi resisten, misalnya suksinil kolin, dan
obat penghambat kompetitif atau nondepolarisasi, misal kurarin.

Dalam anestesi umum, obat ini memudahkan dan mengurangi cedera tindakan
laringoskopi dan intubasi trakea, serta memberi relaksasi otot yang dibutuhkan dalam
pembedahan dan ventilasi kendali.

Obat pelumpuh otot yang digunakan dalam kasus ini adalah atracurium 20 mg/i.v

Atracurium merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relatif baru
yang mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman Leontice
leontopetaltum. Beberapa keunggulan atrakurium dibandingkan dengan obat terdahulu
antara lain adalah :

a) Metabolisme terjadi dalam darah (plasma) terutama melalui suatu reaksi kimia
unik yang disebut reaksi kimia hoffman. Reaksi ini tidak bergantung pada fungsi
hati dan ginjal.
b) Tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang.
c) Tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna.

Mula dan lama kerja atracurium bergantung pada dosis yang dipakai. Pada
umumnya mulai kerja atracurium pada dosis intubasi adalah 2-3 menit, sedang lama kerja
atracurium dengan dosis relaksasi 15-35 menit. Pemulihan fungsi saraf otot dapat terjadi
secara spontan (sesudah lama kerja obat berakhir) atau dibantu dengan pemberian
antikolinesterase. Nampaknya atracurium dapat menjadi obat terpilih untuk pasien
geriatrik atau pasien dengan penyakit jantung dan ginjal yang berat.

Kemasan dibuat dalam 1 ampul berisi 5 ml yang mengandung 50 mg atracurium


besilat. Stabilitas larutan sangat bergantung pada penyimpanan pada suhu dingin dan
perlindungan terhadap penyinaran.

 Dosis intubasi : 0,5 – 0,6 mg/kgBB/iv


 Dosis relaksasi otot : 0,5 – 0,6 mg/kgBB/iv
 Dosis pemeliharaan : 0,1 – 0,2 mg/kgBB/ iv
9. Pemeliharaan Anestesi
1) Nitrous Oksida (N2O)
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif, tidak
berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak, dan tidak bereaksi
dengan soda lime absorber (pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang kurang
kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larut
dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh karena itu pada
operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan zat relaksasi otot. Terhadap
SSP menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan,
hal ini terjadi karena Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan
tubuh. Hipoksi difusi dapat dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi
beberapa menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya dipakai perbandingan
atau kombinasi dengan oksigen. Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam
kombinasi N2O : O2 adalah sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%
2) Sevoflurane
Merupakan gas anestesi halogenasi eter, dikemas dalam bentuk cairan, tidak
berwarna, tidak eksplosif, tidak berbau, dan tidak iritatif sehingga baik untuk induksi
inhalasi. Proses induksi dan pemulihannya paling cepat dari semua obat-obatan
anestesi inhalasi yang ada pada saat ini. Penggunaan untuk pemeliharaan sekitar 1 –
2%.
3) Isoflurane
Merupakan gas anestesi halogenasieter, dikemas dalam bentuk cairan, tidak
berwarna, tidak eksplosif, tidak mengandung pengawet, dan relatif tidak larut dalam
darah tapi cukup iritatif terhadap jalan nafas sehingga dapat menimbulkan batuk.
Penggunaan gas ini untuk pemeliharaan 0.5 – 2.5%.
4) Monitoring IntraOperasi
Hal-hal yang perlu dimonitor ketika durante operasi, antara lain :
a) Tekanan Darah
b) Frekuensi Nadi
c) SpO2
d) Intake dan output cairan
e) Jumlah Perdarahan

10. Terapi Cairan

Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati jumlah dan
komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk :

a) Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi.
b) Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang diberikan.

Pemberian cairan operasi dibagi menjadi 3, yaitu:

1) Pra operasi

Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah, penghisapan isi
lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada ileus obstruktif, perdarahan,
luka bakar dan lainlain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg
BB / jam. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan bertambah 10-15 %.

2) Selama operasi

Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan pada dewasa
untuk operasi :

 Ringan = 4 ml/kgBB/jam.
 Sedang = 6 ml/kgBB/jam
 Berat = 8 ml/kgBB/jam.

Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari 10 % EBV
maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka
dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran.

3) Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan selama operasi
ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.

11. Pemulihan

Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi yang
biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan untuk observasi
pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar merupakan batu loncatan sebelum pasien
dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian
pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena
operasi atau pengaruh anestesinya.

Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan perlu
dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan pembedahan. Beberapa cara
skoring yang biasa dipakai untuk anestesi umum yaitu cara Aldrete dan Steward, dimana cara
Steward mula-mula diterapkan untuk pasien anak-anak, tetapi sekarang sangat luas
pemakaiannya, termasuk untuk orang dewasa. Sedangkan untuk regional anestesi digunakan
skor Bromage.

Aldrete Scoring System

No. Kriteria Skor


Aktivitas  Mampu menggerakkan ke-4 ekstremitas  2
motorik atas perintah atau secara sadar.
 Mampu menggerakkan 2 ekstremitas atas  1
perintah atau secara sadar.
 0
 Tidak mampu menggerakkan ekstremitas
atas perintah atau secara sadar.
Respirasi  Nafas adekuat dan dapat batuk  2
 Nafas kurang adekuat / distress /  1
hipoventilasi
 Apneu/tidak bernafas  0
Sirkulasi  Tekanan darah berbeda ± 20% dari  2
semula
 Tekanan darah berbeda ± 20-50% dari  1
semula
 Tekanan darah berbeda >50% dari  0
semula
Kesadaran  Sadar penuh  2
 Bangun jika dipanggil  1
 Tidak ada respon atau belum sadar  0
Warna kulit  Kemerahan atau seperti semula  2
 Pucat  1
 Sianosis  0

Aldrete score ≥ 8, tanpa nilai 0, maka dapat dipindah ke ruang perawatan.

Steward Scoring System

No. Kriteria Skor


1. Kesadaran  Bangun  2
 Respon terhadap stimuli  1
 Tak ada respon  0
2. Jalan napas  Batuk atas perintah atau  2
menangis
 Mempertahankan jalan nafas  1
dengan baik
 Perlu bantuan untuk  0
mempertahankan jalan nafas
3. Gerakan  Menggerakkan anggota badan  2
dengan tujuan
 Gerakan tanpa maksud  1
 Tidak bergerak  0

Steward score ≥5 boleh dipindah ruangan.


DAFTAR PUSTAKA

1. Rizki, Nurhikmah, Dessy Abdullah. 2018. Hubungan Peningkatan IMT dengan


Kejadian Kolelitiasis. Jurnal Kesehatan Saintika Meditory. Universitas Baiturrahmah.
Volume 2 Nomor 1. https://jurnal.syedzasaintika.ac.id. Diakses pada Rabu, 4
November 2020
2. Febyan, dkk. 2017. Karakteristik Penderita Kolelitiasis Berdasarkan Faktor Risiko di
Rumah Sakit Umum Daerah Koja. Jurnal Kedokt Meditek Volume 23, No. 63 Juli-
September 2017. http://ejournal.ukrida.ac.id/ojs/index.php/Meditek/article/view/1565.
Diakses pada Rabu, 4 November 2020

Anda mungkin juga menyukai