TINJAUAN TEORI
Kolellitasis adalah inflamasi akut dari kandung empedu. Ini biasanya mengiritasi
lapisan kandung empedu. Ini dapat menjadi padat dalam duktus sistik yang menyebabkan
obstruksi dan inflamasi dinding empedu, mencetuskan infeksi. Kolelitasis disebut juga
dengan pembentukan batu (kalkuli atau batu empedu) di dalam kandung empedu atau sistem
saluran empedu (Smeltzer, 2009).
Kolelitasis adalah inflamasi kandung empedu yang bisa menjadi Kolesistisis akut
biasanya terjadi setelah obstruksi saluran sistik oleh batu. Obstruksi akan meningkatkan
tekanan di dalam kandung empedu, menyebabkan iskemia dinding dan mukosa kandung
empedu. Tertahannya empedu menyebabkan iritasi kimia dan sering kali diikuti oleh
terjadinya inflamsi bakteri. Iskemia dapat menyebabkan nekrosis dan perforasi dinding
kandung empedu (Pricilla, 2015).
Kolelitiasis atau dikenal sebagai penyakit batu empedu merupakan penyakit yang
terdapat batu di dalam kandung empedu atau di dalam saluran kandung empedu yang pada
umumnya komposisi utamanya adalah kolesterol, (William, 2003). Kandung empedu
merupakan organ berbentuk buah pir kecil yang terletak di perut sebelah kanan dan
tersembunyi di bawah hati, yang menyimpan cairan empedu yang dihasilkan oleh hati. Ketika
makanan masuk ke dalam lambung, kandung empedu akan berkontraksi dan mengeluarkan
cairan empedu yang berwarna hijau kecoklatan ke dalam usus halus.
2. Anatomi Empedu
Kandung empedu adalah kantung otot kecil yang melekat ke saluran empedu, terletak
di lekukan lobus bawah kanan hati. Pada orang dewasa kandung empedu sekitar 10 cm
panjangnya dan 4 cm lebarnya(Smith & Morton, 2001). . Empedu terdiri air, kolesterol,
garam empedu, lemak dan bilirubin serta produk limbah dari sel darah merah yang rusak
(Kumar & Clark, 2005).
Normal Kolelitiasis
3. Fisiologi Empedu
Kandung empedu merupakan sakus (kantong) yang berbentuk buah pir dan melekat
pada permukaan posterior hati oleh jaringan ikat. Kandung empedu memiliki fundus atau
ujung yang memanjang badan atau bagian utama, dan leher yang bersambung dengan duktus
sistikus. Kandung empedu memiliki lapisan jaringan seperti struktur dasar saluran cerna
dengan beberapa modifikasi (Elly Nurachman, 2011).
Empedu dibentuk secara terus menurus oleh hepatosit dan dikumpulkan dalam
kanalikulus serta saluran empedu. Empedu terutama tersususn dari air dan elektrilit, seperti
natrium, kalium, kalsium, klorida serta bikarbonat, dan juga mengandung dalam jumlah yang
berarti beberapa substansi seperti lesitin, kolesterol, bilirubin serta garam-garam empedu.
Empedu dikumpulkan dan disimpan dalam kandung empedu untuk kemudian dialirkan ke
dalam intestinum bila diperlukan bagi pencernaan (Arif muttaqin, 2011).
Setelah terjadi konyugasi atau pengikatan dengan asam-asam amino (taurin dan
glisilin), garam empedu diekskresikan ke dalam empedu. Bersama dengan kolesterol dan
lesitin, garam empedu diperlukan untuk emulsifikasi lemak dalm intestinum. Proses ini
penting untuk proses pencernaan dan penyerapan yang efesien. Kemudian garam empedu
akan diserap kembali, terutama dalam ileum distal, ke dalam darah portal untuk kembali ke
hati dan sekali lagi diekresikan ke dalam empedu. Lintasan hepatosit-empedu-intestinum dan
kembali lagi kepada hepatosit dinamakan sirkulasi enterohepatik (Arif Muttaqin, 2011).
Akibat adanya sirkulasi enterohepatik, maka dari seluruh garam empedu yang masuk
kedalam intestinum, hanya sebagian kecil yang akan diekskresikan ke dalam fases. Keadaan
ini menurunkan kebutuhan terhadap sintesis aktif garam empedu oleh sel-sel hati (Arif
Muttaqin, 2011).
Kandung empedu bentuknya seperti kantong, organ berongga yang panjangnya sekitar
10 cm, terletak sedikit dalam suatu fosa yang menegaskan batas anatomi antara lobus hati
kanan dan kiri. Kandung empedu mempunyai fundus, korpus, infundibulum, dan kolum.
Fundus bentuknya bulat, ujung buntu dari kandung empedu yang memanjang di atas tepi hati.
Korpus merupakan bagian terbesar dari kandung empedu. Kolum adalah bagian yang sempit
dari kandung empedu yang terletak antara korpus dan daerah duktus sistika (Schwartz, 2009).
Infundibulum yang juga dikenal sebagai kantong hartman adalah bulbus diverticulum
kecil yang terletak pada permukaan inferior dari kandung kemih, yang secara klinis bermakna
karena proksimitasnya terhadap duodenum dan dapat terimpeksi ke dalamnya. Duktus
sistikus menghubungkan kandung empedu ke duktus koledokus. Katup spiral dari heister
terletak di dalam duktus empedu. Pasokan darah ke kandung empedu adalah melalui arteri
kristika, secara khas merupakan cabang dari arteri hepatica kanan, tetapi asal dari arteri
kristika bervariasi. Segitiga calot dibentuk oleh arteri kistika, duktus koledekus, dan duktus
kistikus (Schwartz, 2009)
4. Etiologi Cholelitiasis
Penyebab yang pasti belum diketahui secara sempurna. Namun menurut berbagai
teori, terdapat beberapa kemungkinan penyebab terjadinya kolelitiasis. Semakin banyak
faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya
kolelitiasis, (Beckingham, 2001).
a) Jenis Kelamin
Wanita mempunyai risiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dengan pria. Ini
dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan ekskresi kolesterol
oleh kandung empedu. Kehamilan yang meningkatkan kadar esterogen juga
meningkatkan risiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil dan kontrasepsi dan terapi
hormon (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan
penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu.
b) Usia
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi
untuk terjadi kolelitiasis. Ini dikarenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol
dalam kandung empedu tinggi, dan juga mengurangi garam empedu serta mengurangi
kontraksi / pengosongan kandung empedu.
d) Makanan
Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operasi
gastrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat
menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
5. Patofisiologi Cholelitiasis
Pada manifestasi klinik ada yang tidak menimbulkan gejala dan tidak menyebabkan
nyeri namun dapat juga menunjukkan gejala – gejala gastro intestinal ringan.
a) Mungkin akut dan kronis dengan distres epigastrik (begah, distensi abdomen, nyeri
tak jelas pada kuadran kanan atas setelah makan makanan yang banyak mengandung
lemak.
b) Jika saluran empedu tersumbat, maka kandung empedu mengalami distensi dan
akhirnya terinfekasi: mungkin terjadi demam dan teraba masa pada abdomen. Kolik
bilier dengan nyeri abdomen kanan atas menjalar ke punggung atau bahu kanan, mual
dan muntah beberapa jam setelah makan banyak.
c) Ikterik terjadi dengan tersumbatnya duktus komunis empedu.
d) Urine berwarna sangat gelap; feces warna pucat.
e) Defisiensi vitamin A, D, E, dan K (vitamin – vitamin yang larut dalam lemak).
f) Abses nekrosis dan perforasi dengan peritonitis dapat terjadi jika batu empedu terus
menyumbat saluran empedu.
Mual dan muntah sering menyertai tingkat lebih parah. Rasa sakit dapat mereda
spontan setelah beberapa jam atau bisa membutuhkan analgesik opiat. Nyeri disertai dengan
Demam biasanya menunjukkan kolesistitis akut (Beckingham, 2001). Manifestasi klinik
pada pasien kolelitiasis sangat bervariasi, ada yang mengalami gejala asimptomatik dan
gejala simptomatik. Pasien kolelitiasis dapat mengalami gejala: yang disebabkan oleh
penyakit kandung empedu itu sendiri dan gejala yang terjadi akibat obstruksi pada jalan
perlintasan empedu oleh batu empedu. Gejalanya bisa bersifat akut atau kronis. Gangguan
epigastrium, seperti rasa penuh, distensi abdomen dan nyeri yang samar pada kuadran kanan
atas abdomen dapat terjadi. Gangguan ini dapat terjadi bila individu mengkonsumsi makanan
yang berlemak atau yang digoreng (Smeltzer & Bare, 2002).
Kolesistitis akut disebabkan ketika sebuah obstruksi terjadi pada duktus sistikus
(Kumar & Clark, 2005). Gejala yang paling umum dari seseorang dengan batu empedu
adalah rasa sakit di bawah tulang rusuk pada sisi kanan atau bahkan nyeri perut bagian atas,
dengan rasa sakit yang dialami di bagian belakang dekat kanan belikat (Beckingham, 2001).
Kolik bilier adalah istilah yang digunakan untuk rasa sakit terkait dengan obstruksi sementara
yang kistik atau saluran empedu (CBD) dengan batu biasanya bergerak dari kandung
empedu (Kumar & Clark, 2005).
7. Pemeriksaan Diagnostik
1) Pemeriksaan Penunjang
a. Ultrasonografi
Pemeriksaan USG telah menggantikan pemeriksaan kolesistografi oral karena dapat
dilakukan secara cepat dan akurat, dan dapat dilakukan pada penderita disfungsi hati
dan ikterus. Pemeriksaan USG dapat mendeteksi kalkuli dalam kandung empedu atau
duktus koledokus yang mengalami dilatasi, mendeteksi batu 90 – 95 % (Masahiko et
al, 2007)
b. Pemeriksaan CT Scan Abdomen
Dapat dilakukan jika terdapat kecurigaan akan penyakit kandung empedu dan untuk
menyingkirkan penyebab gejala yang lain. Namun, hanya 15-20% batu empedu yang
mengalami cukup kalsifikasi untuk dapat tampak melalui pemeriksaan sinar-x
(Mashiko et al, 2007)
c. Pemeriksaan Pencitraan Radio Nuklida Atau Koleskintografi
Koleskintografi menggunakan preparat radioaktif yang disuntikkan secara intravena.
Preparat ini kemudian diambil oleh hepatosit dan dengan cepat diekskresikan ke
dalam sistem bilier. Selanjutnya dilakukan pemindaian saluran empedu untuk
mendapatkan gambar kandung empedu dan percabangan bilier.
d. ERCP (Endoscopic Retrograde CholangioPancreatography)
Pemeriksaan ini meliputi insersi endoskop serat-optik yang fleksibel ke dalam
esofagus hingga mencapai duodenum pars desendens. Sebuah kanul dimasukkan ke
dalam duktus koledokus serta duktus pankreatikus, kemudian bahan kontras
disuntikkan ke dalam duktus tersebut untuk memungkinkan visualisasi serta evaluasi
percabangan bilier. ERCP juga memungkinkan visualisasi langsung struktur bilier dan
memudahkan akses ke dalam duktus koledokus bagian distal untuk mengambil
empedu. (Masahiko et al,2007)
e. Kolangiografi Transhepatik Perkutan
Pemeriksaan dengan cara menyuntikkan bahan kontras langsung ke dalam
percabangan bilier. Karena konsentrasi bahan kontras yang disuntikkan itu relatif
besar, maka semua komponen pada sistem bilier (duktus hepatikus, duktus koledokus,
duktus sistikus dan kandung empedu) dapat dilihat garis bentuknya dengan jelas.
f. MRCP (Magnetic Resonance Cholangiopancreatography)
Merupakan teknik pencitraan dengan gema magnet tanpa menggunakan zat kontras,
instrumen, dan radiasi ion. Pada MRCP saluran empedu akan terlihat sebagai struktur
yang terang karena mempunyai intensitas sinyal tinggi, sedangkan batu saluran
empedu akan terlihat sebagai intensitas sinyal rendah yang dikrelilingi empedu
dengan intensitas sinyal tinggi, sehingga metode ini cocok untuk mendiagnosis batu
saluran empedu (Lesmana, 2006).
2) Pemeriksaan laboratorium
a. Darah lengkap : leukositosis sedang (akut)
b. Bilirubin dan amylase serum : meningkat
c. Enzim hati serum : AST (SGOT) ; ALT (SGPT) ; LDH agak meningkat ; alkalin
fosfat dan 5-nukleotidase : ditandai peningkatan obstruksi bilier.
d. Kadar protrombin : menurun bila obstruksi aliran empedu dalam usus menurunkan
absorpsi vitamin K.
e. Kalangopankreatografi retrograde endoskopik (ERCP) : memperlihatkan percabangan
bilier dengan kanulasi duktus koledukus melalui duodenum.
f. Kolangiografi transhepatik perkutaneus : pembedaan gambaran dengan fluoroskopi
antara penyakit kandung empedu dan kanker pankreas (bila ikterik ada)
g. Scan CT : dapat menyatakan kista kandung empedu, diatasi duktus empedu, dan
membedakan antara ikterik obstruksi/ non obstruksi.
h. Scan hati (dengan zat radioaktif) : menunjukkan obstruksi percabangan bilier
i. Foto abdomen (multiposisi) : menyatakan gambaran radiologi (klarifikasi) batu
empedu, klarifikasi dinding atau pembesaran kandung empedu.
j. Foto dada : menunjukkan pernapasan yang menyebabkan penyebaran nyeri
8. Penatalaksanaan Cholelitiasis
1) Penatalaksanaan Medik
Menurut Brunner dan Suddarth (2013) penatalaksanaan medis kolelitasis :
a. Terapi Nutrisi
Diet segera setelah operasi biasanya berupa cairan rendah lemak dengan protein dan
karbohidrat tinggi dilanjutkan dengan makanan padat yang lembut, hindari telur,
krim, babi, makanan gorengan, keju, sayuran pembentukan gas, dan alkohol.
b. Terapi Farmakologi
Pemberian obat oral untuk melarutkan batu kolesterol empedu dengan
chenodeoxycholic acis (CDCA) atau senodial; dan ursodeoxycholic acis atau ursodiol
(UDCA). Dipakai pada klien yang menolak yang menolak kolesistektomi atau klien
yang tidak disarankan untuk pembedahan, terhitung < 10 % klien dengan gejala ini.
Kedua obat bertindak untuk mengurangi jumlah kolesterol di dalam empedu. Angka
keberhasilan tertinggi terjadi pada klien dengan batu empedu radiolusen, kecil
mengambang. Batu cenderung terjadi kembali 30 – 50 % dengan waktu tiga sampai
lima tahun lagi.
Untuk menghancurkan batu : ursodiol/aktigal.
Efek samping : diare, bersifat hepatotoksik, pada fetus sehingga kontraindikasi
pada ibu hamil.
Mengurangi konten kolesterol dalam batu empedu : chenodiol/chenix.
Untuk mengurangi gatal-gatal : cholestyramine (Questran)
Menurunkan rasa nyeri : analgesik.
Mengobati infeksi : antibiotik.
2) Penatalaksanaan Non-Bedah
a. Suatu metode melarutkan batu empedu dengan menginfuskan suatu bahan pelarut
(monooktanion atau metil tertier butil eter [MTBE]) ke dalam kandung empedu.
Pelarut tersebut dapat diinfuskan melalui jalur berikut ini: melalui selang atau kateter
yang dipasang perkutan langsung ke dalam kandung empedu; melalui selang atau
drain yang dimasukkan melalui saluran T-Tube untuk melarutkan batu yang belum
dikeluarkan pada saat pembedahan; melalui endoskop ERCP; atau kateter bilier
transnasal.
b. Metode Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL). Prosedur non-invasif yang
menggunakan gelombang kejut berulang (repeated shock waves) yang diarahkan
kepada batu empedu di dalam kandung empedu atau duktus koledokus dengan
maksud untuk memecah batu tersebut menjadi sebuah fragmen. Gelombang kejut
dihasilkan dalam media cairan oleh percikan listrik, yaitu piezoelektrik, atau oleh
muatan elektromagnetik (Smeltzer & Bare, 2002), dimana sampai 1.500 gelombang
kejut diarahkan pada batu sampai hancur, digunakan sebagai pengobatan rawat jalan
pada beberapa kasus. Klien yang mempunyai kolelitiasis simtomatik kurang dari
empat batu, masing – masing diameter kurang dari 3 cm dan tanpa riwayat penyakit
hati dan pankreas.
c. Endoscopi Retrograde Cholangio Pancreatography (ERCP), batu dalam saluran
empedu dikeluarkan dengan basket kawat atau balon ekstraksi melalui muara yang
sudah besar tersebut menuju lumen duodenum sehingga batu dapat keluar bersama
tinja atau dikeluarkan melalui mulut bersama skopnya. (Lesmana, 2006).
3) Penatalaksanaan Bedah
a. Kolesistektomi laparaskopi : dilakukan melalui insiasi atau tusukan kecil yang dibuat
menembus dinding abdomen di umbilikus. Rongga abdomen ditiup dengan gas
karbon monoksida untuk membantu pemasangan endoskopi.
b. Kolesistektomi : kantung empedu diangkat setelah asteri dan duktus sistikus diligasi.
Sebuah drain (penrose) ditempatkan dalam kandung empedu dan dibiarkan menjulur
ke luar lewat luka operasi untuk mengalirkan darah, cairan serosanguinus dan getah
empedu ke dalam kasa absorben.
c. Minikolesistektomi : kantung empedu dikeluarkan melalui sebuah insisi kecil selebar
4cm.
d. Kolesistostomi (bedah atau perkutan) : kantung empedu dibuka, dan batu, empedu,
atau drainase purulent dikeluarkan
e. Koledokostomi : Insisi dilakukan pada duktus koledokus untuk mengeluarkan batu.
Setelah batu dikeluarkan biasanya dipasang sebuah kateter ke dalam duktus tersebut
untuk drainase getah empedu sampai edema mereda. Kateter ini dihubungkan dengan
selang drainase.
Anestesi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan rasa sakit ketika dilakukan
pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa sakit, dalam hal ini rasa
takut perlu ikut dihilangkan untuk menciptakan kondisi optimal bagi pelaksanaan
pembedahan (Sabiston, 2011).
General anestesi merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit secara sentral disertai
hilangnya kesadaran (reversible). Tindakan general anestesi terdapat beberapa teknik yang
dapat dilakukan adalah general anestesi dengan teknik intravena anestesi dan general anestesi
dengan inhalasi yaitu dengan face mask (sungkup muka) dan dengan teknik intubasi yaitu
pemasangan endotrecheal tube atau gabungan keduanya inhalasi dan intravena (Latief, 2007).
Anestesi umum menurut American Association of Anestesiologist merupakan pemberian
obat yang menginduksi hilangnya kesadaran dimana pasien tidak arousable, meskipun
dengan stimulasi yang sangat menyakitkan. Kemampuan untuk mengatur fungsi pernafasan
juga terganggu. Pasien seringkali membutuhkan bantuan untuk menjaga patensi jalan nafas,
dan tekanan ventilasi positif dibutuhkan karena hilangnya ventilasi spontan atau hilangnya
fungsi neuromuskular. Fungsi kardiovaskular juga terganggu (ASA, 2013).
Anestesi umum dibagi menjadi tiga teknik yaitu teknik anestesi total intravena,
anestesi total inhalasi, dan anestesi kombinasi antara intravena dan inhalasi yang sering
disebut balance anestesia. Masing-masing dari teknik tersebut memiliki kekurangan dan
kelebihan. Pemilihan teknik seringkali ditentukan oleh karakteristik pasien sehingga tepat
penggunaan dan resiko efek samping yang paling minimal. Saat ini penggunaan teknik ini
sudah umum dan sering dikerjakan.
Dalam memberikan obat-obatan pada penderita yang akan menjalani operasi maka
perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai premedikasi, induksi, maintenance, dan lain-lain.
No Tes Indikasi
.
1, Darah Lengkap Anemia dan penyakit hematologik lainnya
Penyakit ginjal
Pasien yang menjalani kemoterapi
2. Ureum, creatinin dan Penyakit ginjal
konsentrasi elektrolit Penyakit metabolik misalnya; diabetes mellitus
Nutrisi abnormal
Riwayat diare, muntah
Obat-obatan yang merubah keseimbangan elektrolit atau
menunjukkan efek toksik dari adanya abnormalitas
elektrolit seperti digitalik, diuretic, antihipertensi,
kortikosteroid, hipoglikemik agent.
3. Konsentrasi glukosa darah Diabetes Mellitus
Penyakit hati yang berat
4. Elektrokardiografi Penyakit jantung, hipertensi atau penyakit paru kronik
Diabetes Mellitus
5. Chest X-ray Penyakit respirasi
Penyakit kardiovaskuler
6. Arterial blood gases Pasien sepsis
Penyakit paru
Pasien dengan kesulitan respirasi
Pasien obesitas
Pasien yang akan thorakotomi
7. Test fungsi paru Pasien yang akan operasi thorakotomi
Penyakit paru sedang sampai berat seperti COPD,
bronchiectasis
8. Skreen koagulasi Penyakit hematologic
Penyakit hati yang berat
Koagulopati
Terapi antikoagulan, misal: antikoagulan oral (warfarin)
atau heparin
9. Test fungsi hati Penyakit hepatobilier
Riwayat penyahgunaan alcohol
Tumor dengan metastase ke hepar
10. Tes fungsi thyroid Bedah thyroid
Riwayat penyakit thyroid
Curiga abnormalitas endokrin seperti tumor pituitari
Hasil pemeriksaan normal adalah valid selama periode waktu, jarak dari yang 1 minggu
(FBC, ureum, creatinin, konsentrasi elektrolit, glukosa darah), 1 bulan (ECG), sampai 6 bulan
(chest X-ray). Pemeriksaan sebaiknya diulang dalam keadaan berikut;
3) Persiapan Alat
Komponen STATICS
Komponen STATICS
S Scope Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai
dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
T Tubes Pipa trakea, pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon
(cuffed) dan >5 tahun dengan balloon (cuffed).
A Airways Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa
hidung-faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini menahan
lidah saat pasien tidak sadar untuk mengelakkan sumbatan
jalan napas.
T Tapes Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau
tercabut.
I Introducer Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel)
yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa
trakea mudah dimasukkan.
C Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anastesia.
S Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.
5. Premedikasi Anestesi
Premedikasi diberikan berdasarkan atas keadaan psikis dan fisiologis pasien yang
ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan demikian maka pemilihan obat
premedikasi yang akan digunakan harus selalu dengan mempertimbangkan umur pasien,
berat badan, status fisik, derajat kecemasan, riwayat pemakaian obat anestesi sebelumnya,
riwayat hospitalisasi sebelumnya, riwayat penggunaan obat tertentu yang berpengaruh
terhadap jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi, macam operasi, dan rencana anestesi
yang akan digunakan
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun tujuan dari
premedikasi antara lain :
Blokade sentral pada area postrema (CTZ) dan nukleus traktus solitarius melalui
kompetitif selektif di reseptor 5-HT3
Memblok reseptor perifer pada ujung saraf vagus yaitu dengan menghambat ikatan
serotonin dengan reseptor pada ujung saraf vagus (White, 1999; Tong, 2003).
6. Intubasi Nasal
Suatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam trakea, sehingga jalan nafas bebas
hambatan dan nafas mudah dikendalikan.
Pada kasus ini digunakan obat induksi anestesi propofol 100 mg/i.v
Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat dalam air dan
emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur dan 2,25% glyserol.
Dosis yang dianjurkan 2,5 mg/kgBB untuk induksi tanpa premedikasi. Propofol
memiliki kecepatan onset yang sama dengan barbiturat intravena lainnya, namun
pemulihannya lebih cepat dan pasien dapat diambulasi lebih cepat setelah anestesi
umum. Selain itu, secara subjektif, pasien merasa lebih baik setelah postoperasi
karena propofol mengurangi mual dan muntah postoperasi. Propofol digunakan baik
sebagai induksi maupun mempertahankan anestesi dan merupakan agen pilihan untuk
operasi bagi pasien rawat jalan. Obat ini juga efektif dalam menghasilkan sedasi
berkepanjangan pada pasien dalam keadaan kritis. Penggunaan propofol sebagai
sedasi pada anak kecil yang sakit berat (kritis) dapat memicu timbulnya asidosis berat
dalam keadaan terdapat infeksi pernapasan dan kemungkinan adanya skuele
neurologik
Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini didistribusikan cepat
dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi sebagai akibat depresi langsung pada
otot jantung dan menurunnya tahanan vaskuler sistemik. Propofol tidak mempunyai
efek analgesik. Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih sadar lebih cepat dan
jarang terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang rendah propofol memiliki efek
antiemetik.
Dalam anestesi umum, obat ini memudahkan dan mengurangi cedera tindakan
laringoskopi dan intubasi trakea, serta memberi relaksasi otot yang dibutuhkan dalam
pembedahan dan ventilasi kendali.
Obat pelumpuh otot yang digunakan dalam kasus ini adalah atracurium 20 mg/i.v
Atracurium merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relatif baru
yang mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman Leontice
leontopetaltum. Beberapa keunggulan atrakurium dibandingkan dengan obat terdahulu
antara lain adalah :
a) Metabolisme terjadi dalam darah (plasma) terutama melalui suatu reaksi kimia
unik yang disebut reaksi kimia hoffman. Reaksi ini tidak bergantung pada fungsi
hati dan ginjal.
b) Tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang.
c) Tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna.
Mula dan lama kerja atracurium bergantung pada dosis yang dipakai. Pada
umumnya mulai kerja atracurium pada dosis intubasi adalah 2-3 menit, sedang lama kerja
atracurium dengan dosis relaksasi 15-35 menit. Pemulihan fungsi saraf otot dapat terjadi
secara spontan (sesudah lama kerja obat berakhir) atau dibantu dengan pemberian
antikolinesterase. Nampaknya atracurium dapat menjadi obat terpilih untuk pasien
geriatrik atau pasien dengan penyakit jantung dan ginjal yang berat.
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati jumlah dan
komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk :
a) Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi.
b) Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang diberikan.
1) Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah, penghisapan isi
lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada ileus obstruktif, perdarahan,
luka bakar dan lainlain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg
BB / jam. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan bertambah 10-15 %.
2) Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan pada dewasa
untuk operasi :
Ringan = 4 ml/kgBB/jam.
Sedang = 6 ml/kgBB/jam
Berat = 8 ml/kgBB/jam.
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari 10 % EBV
maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka
dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran.
3) Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan selama operasi
ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.
11. Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi yang
biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan untuk observasi
pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar merupakan batu loncatan sebelum pasien
dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian
pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena
operasi atau pengaruh anestesinya.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan perlu
dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan pembedahan. Beberapa cara
skoring yang biasa dipakai untuk anestesi umum yaitu cara Aldrete dan Steward, dimana cara
Steward mula-mula diterapkan untuk pasien anak-anak, tetapi sekarang sangat luas
pemakaiannya, termasuk untuk orang dewasa. Sedangkan untuk regional anestesi digunakan
skor Bromage.