Anda di halaman 1dari 36

HIPOTENSI PADA SPINAL ANESTESIA

Oleh :

Anay Tullah, dr
1301-2121-0005

REFERAT I

Untuk memenuhi salah satu syarat kenaikan semester pada


Program Pendidikan Dokter Spesialis Anestesi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS PADJADJARAN B
ANDUNG
2022

HIPOTENSI PADA SPINAL ANESTESIA

HIPOTENSION IN SPINAL ANESTHESIA

PAGE \* MERGEFORMAT ii
Oleh :

Anay Tullah, dr
1301-2121-0005

REFERAT I

Untuk memenuhi salah satu syarat kenaikan semester pada Program Pendidi
kan Dokter Spesialis Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Univ
ersitas Padjadjaran

Telah disetujui oleh Pembimbing pada tanggal seperti tertera di bawah ini

Bandung, Maret 2022

Pembimbing,

Mohamad Andy Prihartono , dr., SpAn, M.Kes, KMN, KAR, FIIPM

PAGE \* MERGEFORMAT ii
Daftar Isi
Lembar Pengesahan ................................................................................................ii
Abstrak....................................................................................................................vi
Abstract .................................................................................................................vii
BAB I.......................................................................................................................1
BAB II......................................................................................................................3
2.2 Neurodevelopmental Nyeri.......................................................................5
2.3 Pertimbangan Khusus pada Bayi dan Anak..............................................6
2.4 Penilaian Nyeri pada Bayi dan Anak........................................................7
2.4.1 Instrumen Penilaian Subjektif...................................................................9
2.4.1.2 Wong-Baker Faces Pain Rating Scale...............................................9
2.4.1.4 Faces Pain Scale-Revised (FPS-R)..................................................10
2.4.1.5 Poker Chip Tool...............................................................................11
2.4.1.6 Metode Pengukuran untuk Bayi.......................................................11
2.4.2 Instrumen Penilaian Observasional...................................................11
2.4.2.1 FLACC Pain Assessment Tool........................................................11
2.4.2.2 Procedure Behaviour Checklist (PBCL)..........................................12
2.4.2.3 Children’s Hospital of Eastern Ontario Pain Scale (CHEOPS).......13
2.4.2.4 Comfort Scale..................................................................................13
2.4.2.5 Premature Infant Pain Profile (PIPP)..............................................15
2.5 Penanganan Nyeri....................................................................................16
2.5.1 Non Farmakologis............................................................................16
2.5.2 Terapi Farmakologis.........................................................................17
2.5.2.1 Analgesik Opioid..............................................................................17
2.5.2.1.1 Pertimbangan Khusus Opioid...........................................................20
2.5.2.2 Anagesik Non-Opioid.......................................................................20
2.5.2.2.1 Acteaminophen.................................................................................20
2.5.2.2.2 Obat Non Steroid Anti-Inflamasi.....................................................22
2.4.2.3 Analgesi Regional............................................................................25
BAB III..................................................................................................................27
Daftar Pusaka.........................................................................................................28

iv
Daftar Tabel

Table 1. Face, Legs, Activty and Consolability (FLACC)....................................12


Tabel 2. COMFORT Scale....................................................................................14
Table 3. Premature Infant Pain Profile (PIPP)...................................................15
Table 4. Jenis dan mekanisme golongan opioid....................................................18
Table 5. Dosis Oral dan Intravena Opioid pada Pediatrik.....................................19
Table 6. Dosis Intravena Opioid............................................................................19
Table 7. Nonstreoidal Anti Inflammatory Drugs (NSAIDS)..................................24

Daftar Gambar

Gambar 1. Skala Analog Visual...........................................................................10


Gambar 2. Wong-Baker Faces Pain Rating Scale................................................10
Gambar 3. Faces Pain Scale-Revised (FPS-R).....................................................10

v
HIPOTENSI PADA SPINAL ANESTESIA

Anay Tullah, Mohamad Andy Prihartono


Departemen Anestesi dan terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Rumah Sakit dr. Hasan Sadikin

Abstrak

Anestesi spinal (intratekal) merupakan penyuntikan obat anestesi lokal secara


langsung ke dalam cairan serebrospinal (CLS), didalam ruang subaracnoid.
Komplikasi hemodinamik pada anestesi spinal yang paling sering
terjadi adalah hipotensi. Hal ini merupakan perubahan fisiologis yang sering
terjadi pada anestesi spinal. Hipotensi terjadi akibat blokade simpatis terhadap
aktivitas vasomotor pembuluh darah.

Kata Kunci: Nyeri, Pediatrik, Manajemen Nyeri, Analgetik

vi
HIPOTENSION IN SPINAL ANESTHESIA

Anay Tullah, Mohamad Andy Prihartono


Department of Anesthesia and Intensive therapy
Padjadjaran University Faculty of Medicine
Dr. Hasan Sadikin

Abstract

Keywords: Pain, Pediatric, Pain Management, Analgesia

vii
BAB I

Pendahuluan

Anestesi spinal merupakan salah satu tehnik anestesi dengan menyuntikan

sejumlah obat lojkal anestesi ke dalam ruang subarachnoid. Tehnik ini

mempunyai onset yang cepat, tingkat keberhasilan yang tinggi, simple, efektif,

dan relative mudah di lakukan. Tetapi selain itu, anestesi spinal juga memiliki

beberapa komplikasi yang sering terjadi, diantaranya efek terhadap hemodinamik

yaitu hipotensi.

Komplikasi hemodinamik pada anestesi spinal yang paing terjadi adalah

hipotensi. Hal ini merupakan perubahan fisiologis yang sering terjadi pada

anestesi spinal.

Insidensi kejadian hipotensi pada anestesi spinal mencapai 8-33%,

1
2
BAB II

Pembahasan

2.1 Fisiologi Nyeri

Mekanisme timbulnya nyeri didasari oleh proses multipel yaitu nosisepsi,

sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral, eksitabilitas ektopik,

reorganisasi struktural, dan penurunan inhibisi. Antara stimulus cedera jaringan

dan pengalaman subjektif nyeri terdapat empat proses tersendiri : tranduksi,

transmisi, modulasi, dan persepsi.1,2,4

Transduksi adalah suatu proses dimana akhiran saraf aferen

menerjemahkan stimulus (misalnya tusukan jarum) ke dalam impuls nosiseptif.

Ada tiga tipe serabut saraf yang terlibat dalam proses ini, yaitu serabut A-beta, A-

delta, dan C. Serabut yang berespon secara maksimal terhadap stimulasi non

noksius dikelompokkan sebagai serabut penghantar nyeri, atau nosiseptor. Serabut

ini adalah A-delta dan C. Silent nociceptor, juga terlibat dalam proses transduksi,

merupakan serabut saraf aferen yang tidak bersepon terhadap stimulasi eksternal

tanpa adanya mediator inflamasi. .2,4

Transmisi adalah suatu proses dimana impuls disalurkan menuju kornu

dorsalis medula spinalis, kemudian sepanjang traktus sensorik menuju otak.

Neuron aferen primer merupakan pengirim dan penerima aktif dari sinyal elektrik

dan kimiawi. Aksonnya berakhir di kornu dorsalis medula spinalis dan

selanjutnya berhubungan dengan banyak neuron spinal. .2,4

3
4

Modulasi adalah proses amplifikasi sinyal neural terkait nyeri (pain related

neural signals). Proses ini terutama terjadi di kornu dorsalis medula spinalis, dan

mungkin juga terjadi di level lainnya. Serangkaian reseptor opioid seperti mu,

kappa, dan delta dapat ditemukan di kornu dorsalis. Sistem nosiseptif juga

mempunyai jalur desending berasal dari korteks frontalis, hipotalamus, dan area

otak lainnya ke otak tengah (midbrain) dan medula oblongata, selanjutnya menuju

medula spinalis. Hasil dari proses inhibisi desendens ini adalah penguatan, atau

bahkan penghambatan (blok) sinyal nosiseptif di kornu dorsalis.2,4

Persepsi nyeri adalah kesadaran akan pengalaman nyeri. Persepsi

merupakan hasil dari interaksi proses transduksi, transmisi, modulasi, aspek

psikologis, dan karakteristik individu lainnya. Reseptor nyeri adalah organ tubuh

yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan

sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya

terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga

Nociseptor. Secara anatomis, reseptor nyeri (nociseptor) ada yang bermiyelin dan

ada juga yang tidak bermiyelin dari syaraf aferen.2,4


5

2.2 Neurodevelopmental Nyeri

Komponen struktural untuk merespon nyeri sudah didapatkan pada sekitar usia

kehamilan 25 minggu sedangkan jalur penghambatan endogen baru berkembang

sepenuhnya setelah lahir dari kandungan. Reseptor opioid dan reseptor

lainnyasudah tersebar secara luas pada saat janin dan neonatus. Stimulasi nyeri

yang signifikan tanpa analgesia yang tepat, tidak hanya akan menyebabkan rasa

sakit yang tidak dapat diterima pada saat intervensi tetapi akan menghasilkan

“memori rasa sakit” pada bayi dan anak.2,4

Pada sisten saraf perifer, serabut C sudah berkembang penuh walaupun

koneksi kortikal pada level tanduk dorsal masih belum berkembang, namun

serabut A beta sudah dapat merespon sinyal yang dengan intensitas rendah yang

menyebabkan persepsi nyeri pada neonatus akan sulit dibedakan. Kombinasi dari

bidang reseptif yang melebar, diskriminasi sensorik yang lebih rendah dan jalur

penghambatan yang masih imatur sistem saraf pada bayi dan anak akan

mengalami sensasi rasa sakit yang lebih di banding dewasa.2,4,5


6

2.3 Pertimbangan Khusus pada Bayi dan Anak

Penangangan nyeri pada bayi dan anak, penting untuk dipahami meskipun

sebagian besar sistem organ utama secara anatomis sudah baik berkembang saat

lahir, namun kematangan fungsional mereka sering tertunda. Dibulan-bulan

pertama kehidupan bayi baru lahir baik prematur dan cukup bulan sistem ini akan

cepat matang, sebagian besar bayi dan anak akan mendekati kematangan

fungsional setingkat dengan orang dewasa sampai dengan usia 3 bulan.5,6

Prinsip-prinsip umum fisiologi bayi baru lahir dan pengaruhnya terhadap

farmakologi opioid dan anestesi lokal ini sangat berketerkaitan. Kebanyakan

analgesik (termasuk opioid dan anestesi lokal) terkonjugasi di hati. Bayi baru

lahir, dan khususnya bayi prematur mengalami keterlambatan pematangan enzim

sistem yang terlibat dalam konjugasi obat, termasuk sulfation, glukuronidasi, dan

oksidasi. Beberapa di antaranya sistem enzim hati, termasuk sitokrom P450

subtipe, dan oksidase dengan fungsi campuran, matang pada tingkat yang

bervariasi selama 1 sampai 6 bulan pertama kehidupan. Kecepatan filtrasi

glomerulus menurun pada awal-awal minggu kehidupan, terutama pada bayi

prematur tapi umumnya cukup matang untuk membersihkan obat dan metabolit

pada usia 2 minggu. Bayi yang baru lahir memiliki persentase tubuh yang lebih

tinggi dengan kandungan air yang lebih berat dengan lebih sedikit lemak

dibandingkan pada dewasa. Hal ini menyebabkan, obat yang larut dalam air sering

kali memiliki volume distribusi yang lebih besar. Bayi baru lahir mengalami

penurunan konsentrasi plasma baik albumin dan alfa-1 asam glikoprotein dari

anak-anak yang lebih tua dan orang dewasa. Hal ini akan menyebabkan
7

konsentrasi obat yang tidak terikat akan lebih tinggi (aktif), dan dengan demikian

efek obat ataupun toksisitas obat yang lebih besar. Bayi yang baru lahir terutama

bayi prematur, memiliki respon ventilasi yang berkurang terhadap hipoksemia dan

hypercarbia menyebabkan respon ventilasi ini dapat lebih terganggu oleh obat

depresan SSP seperti opioid dan benzodiazepin.5,6,7

2.4 Penilaian Nyeri pada Bayi dan Anak

Penilaian nyeri adalah langkah pertama yang paling penting untuk mengelola nyer

i. Penilaian nyeri pada pasien bayi dan anak memiliki tantangan tersendiri. Bayi

dan anak usia kecil bergantung pada pengasuh untuk dapat menginterpretasikan

perilaku dan tanda tanda nyeri. Ada beberapa instrumen atau ukuran penilaian nye

ri yang dapat digunakan. Memilih instrumen yang sesuai bisa jadi sulit karena keb

anyakan pasien pediatrik secara kognitif masih belum mampu mebahasakan keluh

an nyeri yang dirasa. Umtuk itu diperlukan pemilihana instrumen mana yang paln

g sesuai dengan keadaan bayi atau anak. Instrumen penilaian nyeri ini terbagi me

njadi berbagai jenis berdasarkann parameter yang dinilai antara lain parameter sub

ektif (skala numerik, analog visual dan verbal), perilaku (aktivitas perilaku seperti

menangis atau perubahan aktivitas anggota tubuh), fisiologis (seperti detak jantun

g dan tekanan darah), biokimia, neurofisiologis (elektromiogram, Near Infrared

Spectroscopy, dan elektroensefalogram).1,2

Instrumen penilaian nyeri yang baik harus memiliki validitas, reliabilitas y

ang baik dengan bias minimal. Agar valid, instrumen penilaian nyeri harus dapat

mengukur aspek tertentu dari nyeri anak (misalnya, intensitas), harus bebas dari bi
8

as respon, yaitu instrumen tidak mengarahkan responden pada jawaban tertentu. S

elain itu, instrumen penilaian nyeri harus praktis dan tidak rumit. Instrumen penila

ian nyeri dipergunakan untuk memfasilitasi pengambilan keputusan klinis.7,8

Penilaian subjektif sering kali merupakan metode paling akurat untuk meni

lai nyeri. Jenis alat ini mengandalkan kemampuan kognitif anak untuk memahami

apa yang diminta dan mengintegrasikannya ke dalam ekspresi perasaan mereka. K

arena sifat subjektif dari pengalaman nyeri harus memperhitungkan respons pasie

n terhadap rangsangan, penilaian subkektif ini dapat menggabungkan parameter in

i lebih baik daripada metode lain. 1,2

Terdapat sejumlah cara yang sudah dikenal dalam penilaian nyeri pada

bayi dan anak. Beberapa di antaranya adalah diringkas di bawah ini dan terbagi

menjadi penilaian subjektif dan observasional. 1,2,7,8


9

2.4.1 Instrumen Penilaian Subjektif

2.4.1.1 Visual Analogue Scale (VAS)

Skala analog visual menilai intensitas nyeri dalam bentuk baris horizontal dengan

"tidak ada rasa sakit" di awal berujung ke "rasa sakit yang paling berat" di

ujungnya. Pasien menggambar garis sesuai dengan intensitas nyeri yang dirasa.

Digunakan pada pasien dengan usia diatas 3 tahun dan dewasa.1,2,3

Gambar 1. Skala Analog Visual

2.4.1.2 Wong-Baker Faces Pain Rating Scale

Merupakan instrumen penilaian subjektif dengan skala berdasarkan gambar wajah

yang menggambarkan nyeri akut. Terdapat enam wajah yang menggambarkan

intensitas nyeri dari tidak ada nyeri hinga nyeri paling parah. Tiap gambar disertai

dengan angka untuk mrnggambarkan tingkat nyeri dan juga deskripsi kata dan

penilaian nilai numerik untuk setiap wajah. Dapat digunakakn untuk kelompok

usia 3-18 tahun. 1,2,3


10

Gambar 1. Wong-Baker Faces Pain Rating Scale

2.4.1.4 Faces Pain Scale-Revised (FPS-R)

Penilaian subjektif dengan skala wajah untuk menggambarkan nyeri akut. Enam

wajah kartun berbeda dari ekspresi nyeri netral hingga tinggi. Wajah-wajah ini

dapat diberi nomor 0, 2, 4, 6, 8, dan 10. Digunakan untuk kelompok usia 4-16

tahun.

Gambar 2. Faces Pain Scale-Revised (FPS-R)


11

2.4.1.5 Poker Chip Tool

Merupakan penilaian subjekti untuk mewakili intensitas rasa sakit. Anak diminta

memilih yang mana chip mewakili rasa sakit yang mereka alami dengan satu chip

menunjukkan nyeri terendah dan keempat chip menunjukkan nyeri terberat yang

dialami anak. Digunakan untuk kelompok usia 4-7 tahun.1,2,3

2.4.1.6 Metode Pengukuran untuk Bayi

Alat ukur yang paling sering digunakan pada bayi antara lain Premature Infant

Pain Profile (PIIP) dan CRIES postoperative pain scale. PIIP ini meliputi

penilaian usia gestasi, perubahan denyut jantung, perubahan saturasi O2, adanya

kernyitan mata, tonjolan alis dan kerutan pada nasolabial. Adapun FLACC scale

(Faces, Legs, Activity, Cry and Consolability) dapat digunakan dalam penilaian

nyeri postoperatif untuk usia 2 bulan sampai dengan 7 tahun.1,2,3

2.4.2 Instrumen Penilaian Observasional

2.4.2.1 FLACC Pain Assessment Tool

Menggabungkan lima kategori perilaku nyeri: wajah ekspresi; gerakan kaki;

aktivitas; menangis; dan penghiburan. Masing-masing dari lima ini didefinisikan

secara operasional kategori diberi skor dari 0 sampai 2; menghasilkan kisaran

kemungkinan dari 0 hingga nilai total 10. FLACC menyediakan kerangka kerja

sederhana untuk mengukur perilaku nyeri pada anak-anak yang secara verbal

tidak mampu mengungkapan ada dan beratnya nyeri.1,2,3


12

Table 1. Face, Legs, Activty and Consolability (FLACC)


No Kategori Skor Total

0 1 2

1 Wajah Tidak ada Terkadang Sering menggertakan


ekspresi khususm menangis/menarik diri dagu dan mengatupkan
senyum rahang
2 Kaki Normal, rileks Gelisah tegang Menendang, kaki
tertekuk,
melengkungkan
punggung
3 Aktivitas Berbaring tenang, Menggeliat, tidak bisa Kaku atau menghentak
posisi normak, diam, kaku mengerang
mudah bergerak
4 Menangis Tidak menangis Meirntih. merengek, Terus menangis, sering
kadang –kadang mengeluh
mengeluh

5 Konstability Rileks Dapat ditenangkan dengan Sulit di bujuk


sentuhan, pelukan,
bujukan
Total skor
Skala ini terdiri dai 5 penilaian dengan skor total 0 (tidak nyeri) dan 10 (nyeri hebat). Hsil skor
perilakunya adalah 0 (rileks dan nyaman), 1-3 (nyeri ringan/ketidaknyamanan ringan, 4-6 nyeri sedang, 7-
10 nyeri hebat/ketidaknyamanan berat.

2.4.2.2 Procedure Behaviour Checklist (PBCL)

Ukuran observasi nyeri dan kecemasan selama prosedur medis invasif. Perilaku

yang dinilai dalam PBCL termasuk ketegangan otot, berteriak, menangis,

menahan diri, rasa sakit diucapkan, kecemasan diucapkan, mengulur-ulur kata,

dan perlawanan fisik. Delapan perilaku yang didefinisikan secara operasional

dinilai berdasarkan kejadian dan intensitas (skala 1-5). Digunakan untuk

kelompok usia 3-18 tahun.1,2,3


13

2.4.2.3 Children’s Hospital of Eastern Ontario Pain Scale (CHEOPS)

Ukuran pengamatan nyeri pasca operasi pada anak-anak. CHEOPS menilai enam

perilaku yang meliputi menangis, wajah, verbal, batang tubuh, sentuhan dan kaki.

Setiap perilaku diberi kode pada skala 0 sampai 3 berdasarkan intensitas.

Digunakan pada usia kelompok 1–12 tahun.1,2,3

2.4.2.4 Comfort Scale

Merupakan instrumen penilaian nyeri yang dapat digunakan di perawatan intensif.

Comfort Scale menilai delapan domain yang dianggap sebagai indikasi nyeri

termasuk kewaspadaan, ketenangan / agitasi, respons pernapasan, gerakan fisik,

tekanan darah arteri rata-rata, detak jantung, tonus otot dan ketegangan wajah.

Setiap dimensi diberi skor antara 1 dan 5, dan skor ditambahkan ke menghasilkan

ukuran sedasi. Digunakan untuk kelompok usia 0–18 tahun.1,2,3

Tabel 2. COMFORT Scale


14

Level sedasi : 8-16 sedasi dalam. 17 – 26 sedasi optimal. 27-40 sedasi tidak adekuat.
15

2.4.2.5 Premature Infant Pain Profile (PIPP)

Memiliki tujuh indikator nyeri dimana setiap item dinilai dengan 4 poin skal yang

mencakup dimensi fisiologis (detak jantung, saturasi oksigen) dan perilaku

(ekspresi wajah, meremas mata, alis menonjol, alur nasolabial, dan tangisan).1,2,3

Table 3. Premature Infant Pain Profile (PIPP)


16

2.5 Penanganan Nyeri

2.5.1 Non Farmakologis

Pencegahan nyeri merupakan langkah pertama yang penting dalam

mengendalikan nyeri baik secara nonfarmakologis dan farmakologis. Komposisi

dari faktor sosial, psikologis dan dinamika keluarganya mempengaruhi kepekaan

nyeri dan efisiensi terapeutik. Adanaya kenangan mengenai pengalaman nyeri

sebelumnya dan sosialisasi seputar prosedur menyakitkan semuanya

mempengaruhi reaksi selanjutnya terhadap nyeri. 1,3,7

Pendekatan multimodal dan interdisipliner untuk manajemen nyeri pada

anak-anak memberikan hasil yang efektif untuk pencegahan dan penanganan nyeri

anak. Intervensi non farmakologis antara lain dengan pendekatan kognitif dan

perilaku serta terapi manipulatif. Terapi kognisi dan perilaku ini antar lain seperti

psikoterapi, terapi bermain, penjelasaan yang disesuaikan dengan kognisi anak,

meditasi dan hipnosis. Terapi manipulatif antara lain akupuntur, akupresur,

stimulasi dingin dan panas, yoga dan transcutaneus electrical nerve stimulation

dapat menjadi alternatif untuk pencegahan yang bersifat non farmakologis.1,3,7

Penting untuk memastikan bahwa pendekatan non farmakologis sesuai dan

tidak berlawanan dengan kondisi medis, budaya, atau keyakinan agama anak.

Peran orang tua sangat penting untuk mendukung kecemasan anak selama

tindakan atau prosedur pada anak. Pendekatan non farmakologis ini merupakan

penanganan tambahan untuk penangan nyeri pada anak.1,3,7


17

2.5.2 Terapi Farmakologis

2.5.2.1 Analgesik Opioid

Opioid mewakili kelas agen yang memiliki sifat analgesik yang sangat baik.

Digunakan untuk nyeri ringan hingga berat dan seringkali mudah dititrasi.

Sebagai landasan dari sebagian besar resimen pengobatan nyeri, dengan

mekanisme farmakologis yang sudah banyak diketahui. Opioid menargetkan

serangkaian reseptor terbatas di sistem saraf. Opioid mengikat µ, κ, δ, dan

reseptor opioid nociceptin (NOP) / orphanin FQ peptide reseptor pada neuron

sensorik primer. Ada beberapa subkelompok dari setiap jenis reseptor opioid,

yang terkadang menunjukkan perbedaan halus dalam tanggapan mereka (60).

Reseptor ini terletak di sel saraf di sumsum tulang belakang, ganglia basal,

amigdala, medula ventral rostral, dan daerah PAG di otak. Reseptor opioid juga

ditemukan pada sel endotel kardiovaskular dan di membran beberapa sel imun.

Ada tiga kelas opioid yang mengikat reseptor opioid: alami (morfin dan kodein),

semisintetik (hidromorfon dan oksikodon), dan sintetis (fentanil, alfentanil,

sufentanil, metadon, dan meperidin).1,10,11


18

Opioid juga diklasifikasikan berdasarkan aksinya sebagai agonis penuh,

agonis parsial, dan antagonis agonis campuran. Opioid berikatan dengan

reseptornya, protein G spesifik yang terletak pada neuron presinaptik dan post

sinaptik yang digabungkan dengan protein G yang diaktifkan. Aktivasi ini

menyebabkan serangkaian kejadian: penghambatan adenyl cyclase dan

penghambatan pelepasan glutamat, substansi P, dan kalsitonin. Pengikatan opioid

pada neuron presinaptik mendorong supresi saluran kalsium, dan pengikatan pada

neuron postsynaptic menekan pengeluaran kalium. Hal ini menyebabkan

hiperpolarisasi membran dan selanjutnya menghambatan transmisi saraf

sepanjang neuron nyeri yang mengekspresikan reseptor opioid. Opioid dapat

diberikan dengan berbagai cara: secara oral, intramuskular, subkutan, rektal,

intratekal, epidural, sublingual, intranasal, dan transdermal. Potensi agen lain

sering dinilai relatif terhadap morfin karena morfin dianggap sebagai “gold

standard” untuk analgesik. Pemilihan opioid akan bergantung pada sejumlah

faktor antara lain profil efek samping, cara pemberian, adanya alergi, sensitivitas,

dan kebutuhan analgesik dari tiap anak.1,2,10,11

Table 4. Jenis dan mekanisme golongan opioid1


Nama Obat Mekanisme Natural/semisintesis/sintetis
Morfin Agonis Natural
Hidromorfin Agonis Semi Sintesis
Codein Agonis Natural
Oxycodone Agonis Semi Sintesis
Fentanyl Agonis Sintesis
Sulfentanil Agonis Sintesis
Remifentanil Agonis Sintesis
Metadon Agonis Sintesis
Tramadol Agonis Parsial Sintesis
Naloxone Antagonis Semi Sintesis
19

Efek samping yang umum untuk semua opioid antara lain depresi

pernapasan, bronkokonstriksi, mioklonus, kekakuan dinding dada, pruritus,

depresi sistem kekebalan, muntah, mual, konstipasi, sedasi, halusinasi, disforia,

toleransi, retensi urin, dan hiperalgesia. Efek samping obat ini dapat terjadi begitu

jelas sehingga beberapa pasien tidak mampu mentolerir efek samping opioid

dibandingkan dengan nyeri yang dirasanya.10,11

Table 5. Dosis Oral dan Intravena Opioid pada Pediatrik1


Equipotent Bioavalaibility % Waktu Paru
Dosis Oral Dosis IV h
Morfin 0,2 mg/kg (acute) 0,1 mg/kg q2-4h 20-40 2-3 h
q3-4h
Fentanyl 0,015 mg/kg/dose 0,001 mg/kg q5 min-qh NA 20-30 h

Oxycodone 0,1 mg/kg q3-4h NA 60-80 2-4 h

Codein 0,5-1,0 mg/kg q3-4 NA 40-70 2,5-3 h


h
Hydrocodone 0,1 mg’kg q3-4h NA 60-80 3,8-6 h

Table 6. Dosis Intravena Opioid1


Obat Dosis Oral Dosis IV Lo Dosis IV Kon Bolus selanjutnya
ading tinu < 50kg > 50 kg
Morfin 80mcg.kg 4hrly 0,05-0,2 mg/ 5-40 mcg/kg/h 0,05-0,2 mg/ 5-8 mg q2-4h
(1month – 1yr) kg kg q2-4h
200 – 400mcg.kg 4
hourly (>1yr)
Fentanil 0,015 mg/kg/dose 1-3mcg/kg 0,25-2 mcg/kg 0,5-1 mcg/kg 25-50 mcg/kg
/h q1-2h q1-2h
Remifentanil - 0,05-0,2 mcg/
kg/min
Alfentanil - 5-10 mcg/kg 1-4 mcg/kg/m
/min in

Hydomorphon 0,03-0,03/mg/kg q4-6 0,01-0,03 m 2-6 mcg/kg/h 0,02 mg q2-4 1mg q2-4h
e h cg/kg h
Oxycodone 0,1-0,15 mg/kg q4-6h
Tramadol 1-2 mg/kg q4-6h
Codeine 0,5 – 1 mg/kg q4-6h
20

2.5.2.1.1 Pertimbangan Khusus Opioid

Neonatus pernah dianggap lebih sensitif terhadap efek pernapasan negatif dari

morfin dikarenakan sawar darah-otak yang lebih berpori, namun peneitian ini

didasarkan pada penelitian pada tikus dan dianggap tidak dapat disamakan dan

tidak berlaku untuk neonatus manusia. Bayi dan anak-anak memiliki kemiripan

kerentanan terhadap depresi pernafasan yang disebabkan oleh paparan opioid.

Penelitian farmakokinetik ekstensif telah menunjukkan bahwa klirens morfin

menurun pada neonatus dan mencapai tingkat dewasa pada usia 6 bulan.10,11,12

Eliminasi dari waktu paruh morfin berbanding terbalik dengan usia bila

dibandingkan dengan orang dewasa, waktu paruh eliminasi morfin diperpanjang

pada neonatus baik prematur dan cukup bulan. Pemantauan pernapasan dan / atau

saturasi terus menerus dianjurkan pada neonatus dan bayi di bawah usia 6 bulan,

dan juga pada anak-anak dengan permasalahan fungsi kardiopulmoner. 10,1112

2.5.2.2 Anagesik Non-Opioid

2.5.2.2.1 Acteaminophen

Acetaminophen (APAP) adalah turunan organik para-aminofenol, produk

sampingan anilin oksidatif, yang bekerja untuk menghambat sintesis

prostaglandin pusat dan perifer. Juga terlibat dalam metabolisme oksida nitrat dan

berperan dalam mengurangi perkembangan hiperalgesia. APAP diberikan dalam

sejumlah formulasi berbeda dan dikombinasikan dengan banyak obat lain,

termasuk opioid. Berguna dalam mengobati demam, mencegah peradangan, dan

menghasilkan analgesia ringan. 10,11,12


21

APAP memiliki sifat hemat opioid; Namun, bila diberikan dalam

kombinasi dengan opioid, APAP tidak menurunkan efek samping terkait opioid

kecuali jika dosis opioid dikurangi. Dosis maksimum harian bervariasi sesuai usia

dan rute pemberian. Absorbsi oral biasanya sangat baik, tetapi ketika diberikan

secara rektal, APAP memiliki kecepatan absorpsi yang sangat bervariasi. 10,11,12

Studi farmakokinetik pada bayi dan anak-anak menyarankan dosis

pemberian rektal 40 mg per kg, diikuti dengan 20 mg per kg setiap 6 jam. Dosis

oral adalah 15 mg per kg setiap 4 sampai 6 jam, dengan dosis harian maksimum

berkisar dari 35 mg per kg untuk bayi prematur, 60 mg per kg untuk bayi

prematur dan cukup bulan dengan usia lebih dari 32 minggu pasca konsepsi, dan

90 mg per kg pada anak-anak. lebih tua dari 3 bulan. APAP intravena

memberikan alternatif yang sangat baik untuk memberikan analgesik nonopioid

yang juga memiliki sifat antipiretik dan mengurangi mual dan muntah pasca

operasi. 10,11,12

Rute oral atau rektal memiliki efek yang berbeda, data farmakokinetik

menunjukkan tingkat plasma yang dapat diprediksi melebihi ambang batas

minimum yang dilaporkan 10 mg per L untuk menghilangkan rasa sakit. 10,11,12

Pemberian intravena APAP memiliki profil keamanan yang sangat baik

dan dapat digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan kelas obat lain untuk

meredakan nyeri dan peradangan. Dosis yang dianjurkan adalah 12,5 mg per kg

IV q4h tidak melebihi 3,75 g per hari untuk anak kurang dari 50 kg. Untuk anak-

anak dengan berat lebih dari atau sama dengan 50 kg, dosisnya sama dengan pada

orang dewasa. 10,11,12


22

Jika digunakan pada bayi usia 1 bulan sampai kurang dari 2 tahun,

dosisnya harus disesuaikan ke bawah sebesar 33%. Pada pasien dengan penyakit

hati dan insufisiensi ginjal harus digunakan dengan sangat hati-hati. 10,11,12

2.5.2.2.2 Obat Non Steroid Anti-Inflamasi

Non Steroid Anti-Inflammatory Drugs (NSAID) mengacu pada kelas senyawa

yang menghambat enzim siklooksigenase (COX) dan menghalangi pembentukan

prostaglandin. Beberapa isoform dari enzim COX telah diidentifikasi. Isoform

enzimatik COX-1 selalu aktif (konstitutif) dan ditemukan di banyak bagian tubuh,

termasuk otak, saluran pencernaan, ginjal, dan trombosit. COX-2 terutama

merupakan enzim yang dapat diinduksi yang bertanggung jawab untuk

pembentukan prostanoid. 1,2,11,12

Fosfolipid membran menghasilkan asam arakidonat. Senyawa ini

dioksidasi oleh COX menjadi prostaglandin-G2 yang kemudian diubah menjadi

berbagai prostanoid yang memodulasi nyeri dan peradangan. Leukotrien juga

disintesis dari asam arakidonat. Mereka meningkatkan kemotaksis neutrofil,

bronkokonstriksi, kebocoran kapiler, dan peradangan. 1,2,11,12

NSAID mengurangi sintesis prostaglandin dan leukotrien dengan

menghambat sintetase COX, tipe 1 dan 2. Penghambat COX-1 dan -2 berikatan

dengan enzim COX dan memblokir asam arakidonat agar tidak menyatu dengan

situs aktif enzim. 1,2,11,12


23

Sebagian besar NSAID yang tersedia secara komersial menghambat COX-

1, dan memiliki jumlah aktivitas yang terbatas melawan enzim COX-2. Inhibitor

COX-2 (coxib) bekerja dengan lebih selektif, bertindak baik secara sentral

maupun di pinggiran untuk memodulasi nosisepsi. Obat COX-2 juga mampu

menghambat penyakit neuroinflamasi dan neurodegeneratif. Peradangan perifer

menyebabkan peningkatan prostanoid SSP, yang terlibat dalam pengembangan

sensitisasi sentral, yaitu hiperalgesia dan alodinia. Ada beberapa laporan

mengenai perdarahan GI dan insufisiensi ginjal yang terkait dengan COX-2 pada

anak-anak. Studi populasi penghambat COX-1 dan COX-2 menunjukkan

peningkatan risiko penyakit kardiovaskular pada penggunaan kronis namun

sampai saat ini, tidak ada penelitian skala besar yang menunjukkan peningkatan

tingkat komplikasi kardiovaskular pada populasi anak. 1,2,11,12

NSAID digunakan untuk mengobati demam dan nyeri ringan hingga

sedang. NSAID memiliki efek hemat opioid dan sering digunakan dalam

kombinasi dengan opioid. NSAID sangat efektif dalam pengobatan nyeri pasca

operasi dari ortopedi, gigi, dan prosedur ginekologi utama. NSAID lebih efektif

daripada opioid dalam pengobatan nyeri akibat kejang, metastasis tulang, dan

nyeri kepala.11

Efek simpang meliputi: bronkospasme, toksisitas hati, retensi air, disfungsi

platelet reversibel, hiperkalemia, hipertensi, disfungsi ginjal, dan perdarahan GI.

Banyak dari NSAID telah dicatat memiliki efek “analgesic ceiling”; Artinya, tidak

ada peningkatan analgesia dengan pemberian obat tambahan. 1,2,11,12


24

Ketika diberikan dalam kombinasi dengan opioid atau APAP, NSAID

mengurangi kejadian efek samping opioid seperti kejang otot atau sembelit.

Pemberian NSAID atau APAP sepanjang waktu merupakan bagian penting dari

rencana analgesik pasca operasi yang baik, tetapi hati-hati harus digunakan saat

meresepkan inhibitor COX-1 pada periode perioperatif karena efeknya pada

adhesi platelet. Hal ini terutama berlaku untuk operasi yang melibatkan

permukaan mukosa yang besar, pasien dengan defek koagulasi atau menerima

obat lain yang mempengaruhi koagulasi, pasien trauma, dan dengan pasien yang

memiliki penyakit ginjal atau hati yang parah. 1,2,11,12

Table 7. Nonstreoidal Anti Inflammatory Drugs (NSAIDS)1

Obat Dosis Rute COX-2/COX-1 r Interval dosis


mg/kgbb atio
Ibuprofen < 20 kg: 5-10 mg/ PO 2,6 6-8
6jam
>20 kg: 200 mg/6j
am
Naproxen 5-7 mg PO 3 8-12
Acetaminophen 10-15 dosis awal PO - 4-6
20-40 Rectal
15-20 setelah dosis
awal
Acetaminophen iv 12,5 mg/kg (max 7 IV - 4
mg/kg/hari)
Keterolac 0,5 mg/kg IV 294 6-8
15-30 mg pemberi PO 6
an tifak lebih dari
hari atau 120mg/h
ari
Celecoxib 2-4 mg PO 0,11 12
25

2.4.2.3 Analgesi Regional

Analgesia regional merupakan cara yang efektif dan aman untuk mengontrol nyeri

pada anak-anak dan memainkan peran penting dalam terapi nyeri multimodal.

Beberapa keuntungan anestesi regional untuk mengontrol nyeri antara lain

penggunaan opioid yang lebih sedikit, pengembalian fungsi usus yang lebih cepat,

peningkatan fungsi pernapasan pasca operasi dan hemat biaya.1,3

Pada blokade regional penghambatan saraf simpatis dan vasodilatasi atau

blokade motorik lengkap dapat disesuaikan dengan jumlah dari konsentrasi

anestesi lokal yang di berikan. Bupivakain dapat digunakan untuk infus anestesi

lokal pada konsentrasi 0,0625% sampai 0,125%. Kecepatan infus tidak boleh

melebihi 0,4 mg / kg / jam pada anak di atas usia 6 bulan atau 0,25 mg / kg / jam

pada bayi di bawah usia 6 bulan. Bayi yang berusia kurang dari 6 bulan memiliki

peningkatan risiko akumulasi obat saat infus berlangsung lebih dari 48 jam.

Mereka juga mengalami penurunan kadar glikoprotein asam α1, protein plasma

yang mengikat bupivakain sehingga akan lebih banyak anestesi lokal bebas yang

bersirkulasi dalam plasma meningkatkan risiko toksisitas sistemik anestesi lokal

(LAST).3,8

Levobupivacaine, levoenansiomer bupivacaine, memiliki ambang

toksisitas yang lebih tinggi. Ropivacaine (0,1% hingga 0,2%) juga memiliki

ambang toksik yang lebih besar (mungkin 20% hingga 30% lebih tinggi daripada

bupivakain) dan dapat menghasilkan blokade motorik yang lebih sedikit daripada

bupivakain, meskipun efek ini belum jelas tidaknya pada anak-anak.1,3,8


26

Tanda-tanda toksisitas termasuk kegelisahan, iritabilitas SSP, disritmia

dapat berkembang menjadi kejang dan depresi atau henti jantung. Dapat dicegah

dengan deteksi sedini mungkin dan obat harus segera dihentikan. Pengobatan

toksisitas jantung harus mencakup pemberian emulsi lipid intravena (20%; 1 mL /

kg selama 3 menit), diulang sesuai kebutuhan hingga 3 mL per kg, dilanjutkan

dengan infus 0,25 mL / kg / menit sampai pemulihan hemodinamik tercapai.

Ambang batas kejang dapat dinaikkan dengan benzodiazepin atau obat penenang

atau anestesi lain.1,3

Opioid dapat ditambahkan ke anestesi lokal di blok neuraksial sentral

karena mereka bekerja secara sinergis dengan anestesi lokal. Opioid biasanya

ditambahkan ke infus kontinu termasuk hidromorfon, fentanil, dan morfin.

Fentanyl, dengan kelarutan lemaknya yang lebih tinggi, sangat ideal untuk

memblokir area segmental. Hidromorfon dan morfin, yang kurang lipofilik, akan

menyebar dengan cara yang lebih rostral dan penyebaran yang lebih luas.1,3
BAB III

Simpulan

Penanganan nyeri pada anak-anak selama ini selalu menjadi masalah, hal ini dikar

enakan nyeri dan penanganannya adalah masalah sulit dan kompleks dengan adan

ya perubahan kondisi baik fisik dan psikologis pada anak. Management nyeri seba

iknya direncanakan sebelum intervensi atau prosedur dilakukan mencakup penceg

ahan, penilaian nyeri, pemilihan terapi baik farmakologis non farmakologis dan ju

ga terapi komplementer lain disesuaikan dengan kondisi anak. Sehingga dapat

mencapai tujuan terapi untuk kontrol nyeri yang aman dan juga efektif bagi pasien

bayi dan anak.

27
Daftar Pusaka

1. Corrie TM., David MP. Pediatric Pain Management. Dalam: Robert SH,

Thomas JM. A Practical Approach to Pediatric Anesthesia. Edisi ke-2.

Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2008. hlm. 152-167.

2. Saeda N, Michael JE Neil. Pediatric Pain: Physiology, Assesment and

Pharmacology. Anesthesia Tutorial of The Week 289. 2013.

3. Christine G, Charkles B. Chapter 37: Pain Management in Children.

Dalam: George AG, Dean BA. Gregory’s Pediatric Anesthesia. Edisi ke-6.

New Jersey: John Wiley & Sons; 2020. hlm. 929-954.

4. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Regional Anesthesia and Pain Man

agement. Dalam: Morgan GE, Mikhail MS, Clinical Anesthesiology. Edisi

ke-5. New York; McGraw-Hill. 2013. hlm. 937-1106.

5. Ted Lin, Tim Smith, Colin Pinnock. Physiology of Pain. Dalam: Ted Lin,

Tim Smith, Colin Pinnock. Fundamentals of Anaesthesia. Edisi ke-4.

United Kingdom; Cambridge University Press. 2016. hlm. 431-454.

6. Lisgelia Santana. Chapter 17 : Pathophysiology of Pain. Dalam : Alan DK,

Charles JF and James HD. Essentials of Pediatric Anesthesiology. Edisi

ke-3. United Kingdom; Cambridge University Press. 2015. hlm. 213-225.

7. Constance SH. Pediatric Pain Management. Dalam: Continuing Medical

Education. Chicago; American Medical Association. 2010.

8. Jerrold Lerman and Charles JC. Post Operative Care and Pain

management. Dalam : Jerrold Lerman, Charkes JC. Manual of Pediatric


29

Anesthesia. Edisi ke-7. Switzerland: Springer International Publishing;

2016. hlm. 211-226.

9. Andrea Messeri, Marinella Astuto. Procedural Sedation and Analgesia in

Children. Dalam: Antonio Gullo, Ida Salvo. Pediatric Anesthesia,

Intensive Care and Pain: Standardization in Clinical Practice. Edisi ke-7.

Italia. Springer-Verlag; 2013. hlm. 47-61

10. Glynn Williams. Perioperative analgesic pharmacology in children.

Dalam. Update in Anaesthesia Volume 20. [Online Journal] 2015

[diunduh 1 September 2020] Hlm 72-76. Tersedia dari:

http://www.wfsahq.org.

11. Joseph PC, Rita Agarwal, Charles Berde. The Society for Pediatric

Anesthesia recommendations for the use of opioids in children during the

perioperative period. Pediatric Anesthesia. 2019;29:547–571.

12. Lonnqvist PA and Morton NS. Postoperative analgesia in infants and

children. British Journal of Anaesthesia. 2005.95(1):59–68.

Anda mungkin juga menyukai