Oleh :
Pembimbing:
dr. Christopher Ryalino, Sp.An
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat-Nya maka tinjauan pustaka dengan topik “Obat Anestesi Lokal
dalam Manajemen Nyeri” ini dapat selesai pada waktunya.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-
pihak yang telah membantu penyelesaian Laporan Kasus ini dalam rangka
mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar.
1. Dr. IMG Widnyana, Sp.An, KAR selaku Kepala Bagian/SMF dan dr. I Gusti
Agung Gede Utara Hartawan, Sp.An, MARS, SH selaku Koordinator
Pendidikan di departemen Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar yang telah
memberikan saya kesempatan untuk belajar di bagian ini.
2. dr. Christopher Ryalino, Sp.An selaku pembimbing yang telah memberikan
bimbingan, kritik, dan saran dalam pembuatan laporan kasus ini.
3. Dokter-dokter residen yang juga turut membimbing dalam pembelajaran
mengenai tinjauan pustaka ini.
4. Seluruh pihak yang membantu penulis dalam penyusunan laporan kasus ini.
Penulis menyadari laporan ini masih jauh dari sempurna dan banyak
kekurangan, sehingga saran dan kritik pembaca yang bersifat membangun
sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan laporan kasus ini. Semoga tulisan
ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Penulis
i
DAFTAR ISI
Daftar Isi.............................................................................................................. ii
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Nyeri merupakan bagian dari pengalaman hidup sehari-hari. Nyeri
mempunyai sifat yang unik karena di satu sisi nyeri menimbulkan derita bagi yang
bersangkutan, tetapi disisi lain nyeri juga menunjukkan suatu manfaat. Nyeri bukan
hanya merupakan modalitas sensori tetapi juga merupakan suatu pengalaman.
Menurut The International Association for the Study of Pain (IASP), nyeri
didefinisikan sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan yang berhubungan dengan adanya atau potensi rusaknya jaringan
atau keadaan yang menggambarkan kerusakan jaringan tersebut.1,2 Berdasarkan
definisi tersebut nyeri merupakan suatu gabungan dari komponen objektif (aspek
fisiologi sensorik nyeri) dan komponen subjektif (aspek emosional dan
psikologis).3,4
Rasa nyeri merupakan keluhan yang paling sering membawa seorang
pasien kepada seorang dokter. Nyeri hampir selalu merupakan manifestasi dari
semua proses patologis. Usaha penganggulangan nyeri akut post operatif akibat
trauma atau bedah dilakukan untuk memperpendek fase akut paska trauma atau
bedah sehingga proses penyembuhan luka dapat terjadi lebih cepat. Terdapat empat
mekanisme perjalanan nyeri, yaitu empat proses elektri-fisiologik. Pertama adalah
transduksi, kedua adalah transmisi, ketiga adalah modulasi, dan keempat adalah
persepsi. Transduksi merupakan tahap pertama dimulai ketika adanya konversi dari
impuls atau rangsangan yang diterima oleh nosiseptor/reseptor nyeri misalnya
mekanik, suhu, dan kimia. Reseptor tersebut akan dilanjutkan ke tahap transmisi
sebagai potensial aksi. Transmisi adalah adanya komunikasi dan juga hantaran dari
ujung reseptor perifer ke medula spinalis, kemudian dilanjutkan ke talamus melalui
spinothalamic tract hingga akhirnya sampai ke korteks serebri. Modulasi adalah
dari korteks akan memberikan feedback kembali ke medula spinalis, akan di
inhibisi atau diperbesar rangsangannya. Persepsi adalah hasil akhir dari proses
transuksi, transmisi, modulasi yang akhirnya menghasilkan suatu rasa nyeri.3,4
1
2
Anestesi lokal akan berdifusi masuk ke dalam saraf dan menghambat serta
memperlambat sinyal terhadap rasa nyeri, kontraksi otot, regulasi dari sirkulasi
darah dan fungsi tubuh lainnya. Biasanya obat dengan dosis atau konsentrasi yang
naikkan menghambat semua sensasi (nyeri, sentuhan, suhu, dan lain-lain) serta
kontrol otot. Dosis atau konsentrasi akan menghambat sensasi nyeri dengan efek
yang minimal pada kekuatan otot. Anestesi lokal dapat memblok hampir setiap
saraf antara akhir dari saraf perifer dan sistem saraf pusat. Teknik perifer yang
paling bagus adalah anestesi lokal pada permukaan kulit atau tubuh. Anestesi lokal
dibagi menjadi dua golongan yaitu golongan ester (-COOC-) seperti kokain,
benzokain (amerikain), ametocaine, prokain (nevocaine), tetrakain(pontocaine),
kloroprokain (nesacaine) dan golongan amida (-NHCO-) lidokain (xylocaine,
lignocaine), mepivakain (carbocaine), prilokain(citanest), bupivakain (marcaine),
etidokain (duranest), dibukain (nupercaine), ropivakain (naropin), levobupivacaine
(chirocaine).3
Obat anestesia lokal yang diberikan secara epidural atau intratekal dapat
dikombinasikan dengan opioid. Cara ini dapat menghasilkan efek sinergistik.
Analgesia yang dihasilkan lebih adekuat dan durasi lebih panjang. Obat yang
diberikan intratekal hanyalah obat yang direkomendasikan dapat diberikan secara
intratekal. Obat anestesi lokal tidak boleh langsung disuntikkan ke dalam pembuluh
darah. Memberikan analgesia tambahan untuk semua jenis operasi dapat
menghasilkan analgesia tanpa mempengaruhi kesadaran. Teknik sederhana seperti
infiltrasi lokal ke pinggir luka pada akhir prosedur akan menghasilkan analgesia
singkat. Blok saraf, pleksus atau regional bisa dikerjakan dalam beberapa jam atau
hari jika digunakan teknik kateter.
Penatalaksanaan terhadap nyeri yang hebat dan berkepanjangan yang
mengakibatkan penderitaan yang sangat berat bagi pasien pada hakikatnya tidak
saja tertuju pada usaha untuk mengurangi atau memberantas rasa nyeri itu, namun
juga bertujuan untuk menjangkau mutu kehidupan pasien, sehingga pasien dapat
menikmati kehidupan yang normal dalam keluarga maupun lingkungannya.
BAB II
LAPORAN KASUS
4
5
Riwayat operasi :
1990 / Tumor Jinak Payudara / GA / Tanpa Komplikasi
Riwayat alergi :
Riwayat alergi makanan dan obat disangkal.
Riwayat merokok dan alkohol :
Tidak ada
2.3 Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
BB: 50 kg, TB: 160 cm, BMI: 22 kg/m2, Suhu axilla: 36,2oC, NRS diam
0/10, NRS bergerak 0/10, METS 6
SSP : GCS E4M5V6
Kardiovaskular : tekanan darah 160/90 mmHg, laju nadi 80x permenit,
reguler, bunyi jantung 1 dan 2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-).
Respirasi : laju nafas 18x permenit, vesikular pada kedua lapang paru,
rhonki dan wheezing tidak ada, saturasi oksigen 99% room air.
Abdomen : supel, bising usus (+) normal
Urogenital : BAK (+) spontan
Musculoskeletal : akral hangat, fleksi dan defleksi leher baik, mallampati
III, gigi goyang tidak ada, gigi geligi tidak utuh
2.4 Pemeriksaan Penunjang
Darah Lengkap (14/06/2021)
• WBC 13.71 x 103 uL (4,1-11,0)
• HGB 11.10 g/dL (13.5-17,5)
• HCT 36.90% (41-53)
• PLT 363X103 uL (150-440)
Faal Hemostasis (14/06/2021)
• PT 10.1 detik (10,8-14,4)
• APTT 24.0 detik (24-36)
• INR 0.88 (0,9 – 1,1)
6
Permasalahan Potensial
Perdarahan, instabilitas hemodinamik
Permasalahan Pembedahan
Lokasi : Abdomen
Posisi : Supine
Durasi : 3-4 jam
Kesimpulan: Status Fisik ASA III
2.6 Persiapan Pra Anastesi
Informed consent tindakan anestesi, puasa pre operatif dengan durasi 10
jam, STATICS, obat anestesi dan emergency, IV line bore besar 2 jalur,
infus warmer, komponen darah siap pakai (amprah darah 4 kolf: crossmatch
2 koll, Set Epidural Kit)
2.7 Manajemen Operasi
• Teknik Anestesi : GA-OTT + Epidural Analegisa
• Pramedikasi : Midazolam 2 mg IV
Dilakukan Pemasangan Kateter epidural setinggi L2-3, kateter masuk 5
cm di dalam ruang epidural, target tip kateter T12, Target dermatome
T6-L1, Target Viserotome T8-L1. Dilakukan test dose. Regimen
Bupivacaine 0.25% dengan volume 12 ml.
Posisikan head up 30, Panggul kanan diganjal bantal, preoksigenasi 02
100%
• Analgetik : Fentanyl 125 mcg IV
• Induksi : Propofol titrasi hingga pasien terhipnosis
8
4. 25 Juni S : Pasien sadar. Nyeri luka - Pasien lepas epidural dan pulang
2021 operasi berkurang. - Rawat jalan dan control poli
O : KU pasien sedang, dengan
rutin
tanda vital tekanan darah
120/80 mmHg dan NRS 2/10, - Paracetamol 500 mg tablet tiap 8
ttv lain stabil serta kesadaran jam
yang penuh.
- Omeprazole 20 mg kapsul
A : post op TAH-BSO-FZ hari
ke 3
P : Rencana Pulang
BAB III
PEMBAHASAN
11
12
merupakan salah satu hal yang penting dan menjadi problema bagi ahli
anestesi.6 Jika nyeri tidak dikendalikan, hal tersebut memperpanjang proses
penyembuhan dengan menyebabkan komplikasi pernapasan, ekskresi,
peredaran darah, dan sistemik lainnya. Nyeri merupakan masalah yang
sangat subjektif sehingga mengukur intensitas nyeri merupakan masalah
yang relatif sulit. Dengan skala penilaian nyeri yaitu 0 (tidak nyeri), 1-3
(nyeri ringan), 4-7 (nyeri sedang), dan 8-10 (nyeri berat).2,6
Nyeri paskabedah adalah suatu bentuk nyeri nosiseptif akut yang
disertai respon inflamasi lokal akibat adanya kerusakan jaringan, baik
karena penyakit dasarnya maupun karena proses pembedahan sendiri.
American Society of Anesthesiologists (ASA) merekomendasikan
pendekatan multimodal pada manajemen nyeri akut setelah operasi.
Analgasia multimodal adalah penggunaan kombinasi berbagai golongan
obat (multimodal) yang memiliki mekanisme kerja farmakologi yang
berbeda untuk menghasilkan efek aditif atau sinergis dalam mengurangi
nyeri paska bedah. Dengan pendekatan ini, efek analgesik yang diinginkan
dapat dikurangi, sehingga efek samping obat juga berkurang.8
Analgesia multimodal biasanya dilakukan dengan melibatkan dua
atau lebih jenis kelompok obat, seperti obat-obat anestesi lokal,
parasetamol, OAINS selektif dan non-selektif, steroid, ketarmin, serta
agonis alfa-2. Selain menghasilkan skor nyeri yang lebih rendah, analgesia
multimodal juga menyebabkan kebutuhan opioid lebih kecil dengan efek
samping yang lebih rendah, skor kepuasan pasien yang lebih tinggi, dan
dimulainya rehabilitasi medik yang lebih awal dibandingkan dengan
pemberian opioid tunggal.8
13
paling rendah harus 1,0015 gr/ml pada suhu 37o C. Pada anestesi spinal
bila berat jenis obat lebih besar dari CSF (hiperbarik) maka akan terjadi
perpindahan obat ke dasar akibat gravitasi sehingga akan mempengaruhi
pergerakan ekstremitas bawah setelah pasien sadar.6,10
b. Isobarik
Obat anestesi isobarik densitasnya sama dengan densitas cairan
serebrospinal pada suhu 37o C sehingga obat akan berada di tingkat yang
sama di tempat penyuntikan. Tetapi karena terdapat variari densitas
cairan serebrospinal, maka obat akan menjadi isobarik untuk semua
pasien jika densitasnya berada pada rentang standar deviasi 0,999 –
1,001 gr/ml.6,10
c. Hipobarik
Sediaan obat lokal anestesi dengan berat jenis obat lebih rendah dari
berat jenis cairan serebrospinal sehingga obat akan berpindah dari area
penyuntikan ke atas. Densitas cairan serebrospinal pada suhu 37o C
adalah 1,003 gr/ml. Perlu diketahui variasi normal cairan serebrospinal
sehingga obat yang sedikit hipobarik belum tentu menjadi hipobarik
bagi pasien yang lainnya. Jika berat jenis obat lebih kecil (hipobarik)
maka obat akan berada ditingkat yang sama pada tempat
penyuntikan.6,10
17
DAFTAR PUSTAKA
18
19