Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN KASUS

OBAT ANESTESI LOKAL


DALAM MANAJEMEN NYERI

Oleh :

Naomi Valencia Simbolon (1902612189)


Kadek Tia Indah Purwitasari (1902612192)
Latha Ghanesan (1902612216)

Pembimbing:
dr. Christopher Ryalino, Sp.An

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN


KLINIK MADYA
DEPARTEMEN/KSM ILMU ANESTESI
DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
RSUP SANGLAH
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat-Nya maka tinjauan pustaka dengan topik “Obat Anestesi Lokal
dalam Manajemen Nyeri” ini dapat selesai pada waktunya.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-
pihak yang telah membantu penyelesaian Laporan Kasus ini dalam rangka
mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar.

Untuk itu, ucapan terima kasih penulis tujukan kepada:

1. Dr. IMG Widnyana, Sp.An, KAR selaku Kepala Bagian/SMF dan dr. I Gusti
Agung Gede Utara Hartawan, Sp.An, MARS, SH selaku Koordinator
Pendidikan di departemen Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar yang telah
memberikan saya kesempatan untuk belajar di bagian ini.
2. dr. Christopher Ryalino, Sp.An selaku pembimbing yang telah memberikan
bimbingan, kritik, dan saran dalam pembuatan laporan kasus ini.
3. Dokter-dokter residen yang juga turut membimbing dalam pembelajaran
mengenai tinjauan pustaka ini.
4. Seluruh pihak yang membantu penulis dalam penyusunan laporan kasus ini.
Penulis menyadari laporan ini masih jauh dari sempurna dan banyak
kekurangan, sehingga saran dan kritik pembaca yang bersifat membangun
sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan laporan kasus ini. Semoga tulisan
ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Denpasar, 25 Juni 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengatar ....................................................................................................... i

Daftar Isi.............................................................................................................. ii

BAB I Pendahuluan ............................................................................................ 1

BAB II Laporan Kasus......................................................................................... 4

BAB III Pembahasan ......................................................................................... 11

Daftar Pustaka ................................................................................................... 18

ii
BAB I

PENDAHULUAN
Nyeri merupakan bagian dari pengalaman hidup sehari-hari. Nyeri
mempunyai sifat yang unik karena di satu sisi nyeri menimbulkan derita bagi yang
bersangkutan, tetapi disisi lain nyeri juga menunjukkan suatu manfaat. Nyeri bukan
hanya merupakan modalitas sensori tetapi juga merupakan suatu pengalaman.
Menurut The International Association for the Study of Pain (IASP), nyeri
didefinisikan sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan yang berhubungan dengan adanya atau potensi rusaknya jaringan
atau keadaan yang menggambarkan kerusakan jaringan tersebut.1,2 Berdasarkan
definisi tersebut nyeri merupakan suatu gabungan dari komponen objektif (aspek
fisiologi sensorik nyeri) dan komponen subjektif (aspek emosional dan
psikologis).3,4
Rasa nyeri merupakan keluhan yang paling sering membawa seorang
pasien kepada seorang dokter. Nyeri hampir selalu merupakan manifestasi dari
semua proses patologis. Usaha penganggulangan nyeri akut post operatif akibat
trauma atau bedah dilakukan untuk memperpendek fase akut paska trauma atau
bedah sehingga proses penyembuhan luka dapat terjadi lebih cepat. Terdapat empat
mekanisme perjalanan nyeri, yaitu empat proses elektri-fisiologik. Pertama adalah
transduksi, kedua adalah transmisi, ketiga adalah modulasi, dan keempat adalah
persepsi. Transduksi merupakan tahap pertama dimulai ketika adanya konversi dari
impuls atau rangsangan yang diterima oleh nosiseptor/reseptor nyeri misalnya
mekanik, suhu, dan kimia. Reseptor tersebut akan dilanjutkan ke tahap transmisi
sebagai potensial aksi. Transmisi adalah adanya komunikasi dan juga hantaran dari
ujung reseptor perifer ke medula spinalis, kemudian dilanjutkan ke talamus melalui
spinothalamic tract hingga akhirnya sampai ke korteks serebri. Modulasi adalah
dari korteks akan memberikan feedback kembali ke medula spinalis, akan di
inhibisi atau diperbesar rangsangannya. Persepsi adalah hasil akhir dari proses
transuksi, transmisi, modulasi yang akhirnya menghasilkan suatu rasa nyeri.3,4

1
2

Penilaian nyeri merupakan suatu hal yang penting untuk mengevaluasi


intensitas nyeri. Ada beberapa cara untuk membantu mengetahui akibat nyeri
menggunakan skala assesement nyeri antaranya adalah Visual Analog Scale (VAS).
Numeric Rating Scale (NRS), Wong Baker Pain Rating Scale, McGill Pain
Questionnaire dan Pain Diary. Pada laporan kasus ini, skala assesement nyeri yang
digunakan adalah NRS . Dengan menggunakan NRS , pasien diberikan penjelasan
terlebih dahulu apabila tidak ada nyeri diberi angka 0 dan nyeri terhebat yang tidak
tertahan lagi diberi angka 10. Kemudian pasien diminta menentukan derajat
nyerinya dalam cakupan antara 0 sampai 10. Untuk mempermudah biasanya
diberikan gambar skala 0-10 pada pasien untuk diminta menentukan angka derajat
nyeri yang dirasa pasien.1,3
Tatalaksana nyeri, secara garis besar stategi farmakologi mengikuti ”WHO
Three Step Analgesic Ladder” yaitu pada tahap pertama dengan menggunakan obat
analgetik nonopiat seperti NSAID. Tahap kedua, dilakukan jika pasien masih
mengeluh nyeri. Maka diberikan obat-obat seperti pada tahap pertama ditambah
opiat secara intermiten. Tahap ketiga, dengan memberikan obat pada tahap kedua
ditambah opiat yang lebih kuat. Penanganan nyeri berdasarkan patofisiologi nyeri
pada proses transduksi dapat diberikan obat anestesi lokal dan atau obat anti radang
non steroid, pada transmisi impuls saraf dapat diberikan obat-obatan anesteti lokal,
pada proses modulasi diberikan kombinasi anesteti lokal, narkotik, dan atau
klonidin, dan pada persepsi diberikan anesteti umum, narkotik, atau parasetamol.1
Pada dasarnya ada 3 kelompok obat yang mempunyai efek analgetika yang
dapat digunakan untuk menanggulangi nyeri yaitu obat analgetika nonnarkotika,
obat analgetik narkotik dan kelompok obat anestesi lokal.1 Pada laporan kasus ini,
akan lebih terfokus pada obat anestesi lokal pada manajemen nyeri. Anestesi lokal
adalah obat yang menghasilkan blockade konduksi atau blockade natrium pada
dinding saraf secara sementara terhadap rangsang transmisi sepanjang saraf jika
digunakan pada saraf sentral atau perifer. Anestesi lokal setelah keluar dari saraf
diikuti oleh pulihnya konduksi saraf secara spontan dan lengkap tanpa diikuti oleh
kerusakan saraf. Anestesi lokal diinjeksikan pada permukaan tubuh untuk
menghasilkan konduksi anestesi. 3
3

Anestesi lokal akan berdifusi masuk ke dalam saraf dan menghambat serta
memperlambat sinyal terhadap rasa nyeri, kontraksi otot, regulasi dari sirkulasi
darah dan fungsi tubuh lainnya. Biasanya obat dengan dosis atau konsentrasi yang
naikkan menghambat semua sensasi (nyeri, sentuhan, suhu, dan lain-lain) serta
kontrol otot. Dosis atau konsentrasi akan menghambat sensasi nyeri dengan efek
yang minimal pada kekuatan otot. Anestesi lokal dapat memblok hampir setiap
saraf antara akhir dari saraf perifer dan sistem saraf pusat. Teknik perifer yang
paling bagus adalah anestesi lokal pada permukaan kulit atau tubuh. Anestesi lokal
dibagi menjadi dua golongan yaitu golongan ester (-COOC-) seperti kokain,
benzokain (amerikain), ametocaine, prokain (nevocaine), tetrakain(pontocaine),
kloroprokain (nesacaine) dan golongan amida (-NHCO-) lidokain (xylocaine,
lignocaine), mepivakain (carbocaine), prilokain(citanest), bupivakain (marcaine),
etidokain (duranest), dibukain (nupercaine), ropivakain (naropin), levobupivacaine
(chirocaine).3
Obat anestesia lokal yang diberikan secara epidural atau intratekal dapat
dikombinasikan dengan opioid. Cara ini dapat menghasilkan efek sinergistik.
Analgesia yang dihasilkan lebih adekuat dan durasi lebih panjang. Obat yang
diberikan intratekal hanyalah obat yang direkomendasikan dapat diberikan secara
intratekal. Obat anestesi lokal tidak boleh langsung disuntikkan ke dalam pembuluh
darah. Memberikan analgesia tambahan untuk semua jenis operasi dapat
menghasilkan analgesia tanpa mempengaruhi kesadaran. Teknik sederhana seperti
infiltrasi lokal ke pinggir luka pada akhir prosedur akan menghasilkan analgesia
singkat. Blok saraf, pleksus atau regional bisa dikerjakan dalam beberapa jam atau
hari jika digunakan teknik kateter.
Penatalaksanaan terhadap nyeri yang hebat dan berkepanjangan yang
mengakibatkan penderitaan yang sangat berat bagi pasien pada hakikatnya tidak
saja tertuju pada usaha untuk mengurangi atau memberantas rasa nyeri itu, namun
juga bertujuan untuk menjangkau mutu kehidupan pasien, sehingga pasien dapat
menikmati kehidupan yang normal dalam keluarga maupun lingkungannya.
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Istiana
No RM : 20008655
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 47 Tahun
Kewarganegaraan : WNI
Agama : Islam
Status Perkawinan : Menikah
Alamat : Jl. Pulau Ayu Gg. 17 Br. Pedungan
Diagnosis : Kista Ovarium Curiga Ganas + Hipertensi Tidak
Terkontrol
Tindakan : Unilateral Selphingo-Oophorectomy – Frozen
Section
MRS : 20/06/2021 pukul 11.10 WITA
2.2 Anamnesis
Pasien datang sadar dengan keluhan nyeri dan muncul benjolan pada
perut bagian bawah sejak 2 tahun yang lalu. Awalnya benjolan dirasakan
seperti telur ayam namun lama kelamaan membesar hingga saat ini seperti
kepala bayi. Perdarahan dari jalan lahir dijumpai. Perdarahan saat
berhubungan disangkal. Riwayat penurunan BB disangkal. Mual muntah
disangkal. Keluhan demam, batuk, pilek, dan sesak nafas dalam 2 minggu
terakhir disangkal.
Riwayat sosial :
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga yang masih dapat melakukan
aktivitas sedang tanpa keluhan nyeri dada ataupun sesak nafas.
Riwayat penyakit dahulu :
Riwayat hipertensi sejak 2 tahun yang lalu, tidak rutin minum obat. Riwayat
penyakit DM, asma dan penyakit sistemik lainnya tidak ada.

4
5

Riwayat operasi :
1990 / Tumor Jinak Payudara / GA / Tanpa Komplikasi
Riwayat alergi :
Riwayat alergi makanan dan obat disangkal.
Riwayat merokok dan alkohol :
Tidak ada
2.3 Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
BB: 50 kg, TB: 160 cm, BMI: 22 kg/m2, Suhu axilla: 36,2oC, NRS diam
0/10, NRS bergerak 0/10, METS 6
SSP : GCS E4M5V6
Kardiovaskular : tekanan darah 160/90 mmHg, laju nadi 80x permenit,
reguler, bunyi jantung 1 dan 2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-).
Respirasi : laju nafas 18x permenit, vesikular pada kedua lapang paru,
rhonki dan wheezing tidak ada, saturasi oksigen 99% room air.
Abdomen : supel, bising usus (+) normal
Urogenital : BAK (+) spontan
Musculoskeletal : akral hangat, fleksi dan defleksi leher baik, mallampati
III, gigi goyang tidak ada, gigi geligi tidak utuh
2.4 Pemeriksaan Penunjang
Darah Lengkap (14/06/2021)
• WBC 13.71 x 103 uL (4,1-11,0)
• HGB 11.10 g/dL (13.5-17,5)
• HCT 36.90% (41-53)
• PLT 363X103 uL (150-440)
Faal Hemostasis (14/06/2021)
• PT 10.1 detik (10,8-14,4)
• APTT 24.0 detik (24-36)
• INR 0.88 (0,9 – 1,1)
6

Kimia Klinik (14/06/2021)


• SGOT 24.7 U/L (5,00-34,00)
• SGPT 11.60 U/L (11,00-34,00)
• BUN 13.42 mg/dL (8,00-23,00)
• SC 0.80 mg/dL (0,57-11,1)
• e-LFG 87,79 (>=90)
• GDS 108mg/dL
• Na 140 mmol/L (136-145)
• K 3,28 mmol/L (3,5-5,1)
• Albumin 3,97 g/dL
Swab OP/NP SARS-COV2 (18/06/2021)
Negatif
Foto Thorax PA (28/04/2021)
CTR 52%. Kardiomegali. Pulmo tak tampak kelainan.
USG Abdomen Atas Bawah (05/05/2021)
Simple cyst ginjal kanan
Massa kistik bersepta dengan komponen solid pada cavum pelvis,
mengesankan kista ovarium ukuran diameter terluas +/- 13,3 cm pada
cavum pelvis
Hepar, gb, lien, pankreas, ginjal kiri, buli , uterus, dan paraaorta tidak
tampak kelainan.
Echocardiography (19/03/2021)
Dimensi ruang jantung normal. LV Concentric Hypertrophy. LV dan RV
sistolik normal (EF BP 75%). Fungsi Diastotik LV normal. TR mild, low
probability of PH. eRAP 8 mmHg.
2.5 Permasalah dan Kesimpulan
Permasalahan Aktual:
• KV: CAD ec Hipertensi Stage I terkontrol dengan klinis 130-140/70-80
mmHg, HR 70-80 x/menit. Thorax CTR 52%, Cardiomegaly.
Echocardiography (19/03/2021) : Dimensi ruang jantung normal. LV
Concentric Hypertrophy. LV dan RV sistolik normal (EF BP 75%).
7

Fungsi Diastolik LV normal. TR mild, low probability of PH. eRAP 8


mmHg
• Abdomen: Massa abdomen dengan USG Abdomen Atas Bawah
(05/05/2021) : Simpe cyst ginjal kanan; Massa dengan komponen solid
pada cavum pelvis, mengesankan kista ovarium ukuran diamater terluas
+/- 13.3 cm pada cavum pelvis
• UG : mild renal impairment (BUN 13.42 ; Kreatinin 0.8; e-LFG 87.79 )
• Anemia: Hb 11,1 g/dl

Permasalahan Potensial
Perdarahan, instabilitas hemodinamik
Permasalahan Pembedahan
Lokasi : Abdomen
Posisi : Supine
Durasi : 3-4 jam
Kesimpulan: Status Fisik ASA III
2.6 Persiapan Pra Anastesi
Informed consent tindakan anestesi, puasa pre operatif dengan durasi 10
jam, STATICS, obat anestesi dan emergency, IV line bore besar 2 jalur,
infus warmer, komponen darah siap pakai (amprah darah 4 kolf: crossmatch
2 koll, Set Epidural Kit)
2.7 Manajemen Operasi
• Teknik Anestesi : GA-OTT + Epidural Analegisa
• Pramedikasi : Midazolam 2 mg IV
Dilakukan Pemasangan Kateter epidural setinggi L2-3, kateter masuk 5
cm di dalam ruang epidural, target tip kateter T12, Target dermatome
T6-L1, Target Viserotome T8-L1. Dilakukan test dose. Regimen
Bupivacaine 0.25% dengan volume 12 ml.
Posisikan head up 30, Panggul kanan diganjal bantal, preoksigenasi 02
100%
• Analgetik : Fentanyl 125 mcg IV
• Induksi : Propofol titrasi hingga pasien terhipnosis
8

• Fasilitas Intubasi : Atraciurium 40 mg IV.


Intubasi dengan ETT no 7.0 cuffed, konfirmasi letak ETT
• Pemeliharaan
O2: Compressed air; propofol 50-150 mcg/kgBB/menit ; Top Up
Bupivacaine 0,25% dengan volume 10 ml
• Medikasi lain : Ondansetron 8 mg IV
2.8 Pasca Operasi
Analgetik : Epidural Bupivacaine 0,1% + Morfin 1 mg volume 10 ml
setiap 10-12 jam
Parasetamol 500 mg tiap 6 jam PO
Perawatan : Backup RTI + Ventilator
9

No Tanggal Perkembangan Kondisi Pasien Intruksi

1. 22 Juni S : mengantar pasien OK IBS - Head up 30o


2021 ke RTI Timur dengan - IVFD RL 20 tpm
permasalahan CAD, HHD ec
- Diet Lunak
Hipertensi stage II tidak
terkontrol. Pasien kontak - Oral hygiene
adekuat. - Ceftriaxone 2 gr tiap 24 jam
O : Tekanan darah 142/88,
- Paracetamol 1000 mg tiap 8 jam
NRS 3/10 dan TTV lain dalam
batas normal dengan KU cukup - Omeprazole 40 mg tiap 1 jam
diserta kondisi pasien yang - Epidural bupivacain 0,08% +
sadar baik. Luka operasi pada
morfin 0,3 mg + clonidin 15mg
area abdomen tertutup perban,
rembesan (-). vol 10 ml tiap 12 jam
A : post op TAH-BSO-FZ - Asetosal 80 mg tiap 24 jam PO
dengan GA-OTT + Epidural - Bisoprolol 1,25 mg tiap 24 jam
Analgesia
P : Closed monitoring PO
- Simvastatin 20 mg tiap 24 jam
PO
- Amlodipin 10 mg tiap 24 jam
PO
- Condesartan 8 mg tiap 24 jam
PO

2. 23 Juni S : Pasien sadar. Nyeri minimal - Head up 30o


2021 (+), lemas (+), mual (-), - IVFD RL 20 tpm
muntah (-), Pasien dipindahkan
- Diet Lunak
ke ruangan Cempaka 2
Ginekologi, Kamar 201-Bed 2- OH Chlorhexidine tiap 12 jam
O : KU pasien sedang, dengan- Epidural Bupivacain 0,08% +
tanda vital tekanan darah
morfin 0,3 mg + clonidin 15
145/82 mmHg dan NRS 3/10,
ttv lain stabil serta kesadaran mg Vol 10 mL tiap 12 jam
yang penuh. - Ceftriaxone 2 gr tiap 24 jam
A : post op TAH-BSO-FZ
- Paracetamol 1000 mg tiap 8 jam
dengan GA-OTT + Epidural
Analgesia
P : Closed monitoring
10

3. 24 Juni S : Pasien sadar. Tingat nyeri - Head up 30o


2021 menurun, lemas (+), mual (-), - IVFD RL 20 tpm
muntah (-)
- Diet Lunak
O : KU pasien sedang, dengan
tanda vital tekanan darah - OH Chlorhexidine tiap 12 jam
125/83 mmHg dan NRS 2/10, - Epidural Bupivacain 0,08% +
ttv lain stabil serta kesadaran
morfin 0,3 mg + clonidin 15
yang penuh.
A : post op TAH-BSO-FZ mg Vol 10 mL tiap 12 jam
dengan GA-OTT + Epidural - Ceftriaxone 2 gr tiap 24 jam
Analgesia
- Paracetamol 1000 mg tiap 8 jam
P : Closed monitoring

4. 25 Juni S : Pasien sadar. Nyeri luka - Pasien lepas epidural dan pulang
2021 operasi berkurang. - Rawat jalan dan control poli
O : KU pasien sedang, dengan
rutin
tanda vital tekanan darah
120/80 mmHg dan NRS 2/10, - Paracetamol 500 mg tablet tiap 8
ttv lain stabil serta kesadaran jam
yang penuh.
- Omeprazole 20 mg kapsul
A : post op TAH-BSO-FZ hari
ke 3
P : Rencana Pulang
BAB III

PEMBAHASAN

Nyeri menurut The International Association for the Study of Pain


(IASP) diartikan sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat adanya kerusakan atau ancaman kerusakan jaringan.5
Nyeri akut merupakan sensibel nyeri yang mempunyai manfaat seperti
menjadi mekanisme proteksi, mekanisme defensif, dan membantu
menegakkan diagnosis dari suatu penyakit. Namun, disisi lain, nyeri
tetaplah merupakan gejala yang mengganggu bagi siapapun, dan wajib
ditanggulangi oleh karena dapat menimbulkan perubahan biokimia,
metabolisme dan fungsi sistem organ. Dalam dunia kedokteran, nyeri
merupakan masalah yang bukan hanya berkaitan dengan kerusakan
struktural dari sistem saraf dan jaringan saja, tetapi juga menyangkut
kelainan transmiter yang berfungsi dalam proses penghantaran impuls saraf
yang mempengaruhi morbiditas, mortilitas, dan mutu kehidupan.5,6
Rangkaian proses yang menyertai kerusakan jaringan (sebagai
sumber stimuli nyeri) sampai dirasakannya persepi nyeri adalah suatu
proses elektrofisiologi yang disebut sebagai nosisepsi. Dalam proses
elektrofisiologik nosisepsi ini, terlibat empat proses didalamnya, yakni:7
1. Transduksi, merupakan proses stimuli nyeri yang diterjemahkan atau
diubah menjadi suatu aktivitas listrik pada ujung-ujung saraf.
2. Transmisi, merupakan proses penyaluran impuls melalui saraf sensoris
yang terjadi setelah proses transduksi.
3. Modulasi, merupakan proses interaksi antara sistem analgesik endogen
dengan impuls nyeri yang masuk ke kornu posterior medula spinalis.
4. Persepsi, adalah hasil akhir dari proses sebelumnya yang pada akhirnya
menghasilkan suatau perasaan yang subyekti yang dikenal sebagai
persepi nyeri.

Pada pasien paska bedah, nyeri merupakan salah satu komplikasi


yang sering terjadi. Penanggulangan nyeri paska bedah yang efektif

11
12

merupakan salah satu hal yang penting dan menjadi problema bagi ahli
anestesi.6 Jika nyeri tidak dikendalikan, hal tersebut memperpanjang proses
penyembuhan dengan menyebabkan komplikasi pernapasan, ekskresi,
peredaran darah, dan sistemik lainnya. Nyeri merupakan masalah yang
sangat subjektif sehingga mengukur intensitas nyeri merupakan masalah
yang relatif sulit. Dengan skala penilaian nyeri yaitu 0 (tidak nyeri), 1-3
(nyeri ringan), 4-7 (nyeri sedang), dan 8-10 (nyeri berat).2,6
Nyeri paskabedah adalah suatu bentuk nyeri nosiseptif akut yang
disertai respon inflamasi lokal akibat adanya kerusakan jaringan, baik
karena penyakit dasarnya maupun karena proses pembedahan sendiri.
American Society of Anesthesiologists (ASA) merekomendasikan
pendekatan multimodal pada manajemen nyeri akut setelah operasi.
Analgasia multimodal adalah penggunaan kombinasi berbagai golongan
obat (multimodal) yang memiliki mekanisme kerja farmakologi yang
berbeda untuk menghasilkan efek aditif atau sinergis dalam mengurangi
nyeri paska bedah. Dengan pendekatan ini, efek analgesik yang diinginkan
dapat dikurangi, sehingga efek samping obat juga berkurang.8
Analgesia multimodal biasanya dilakukan dengan melibatkan dua
atau lebih jenis kelompok obat, seperti obat-obat anestesi lokal,
parasetamol, OAINS selektif dan non-selektif, steroid, ketarmin, serta
agonis alfa-2. Selain menghasilkan skor nyeri yang lebih rendah, analgesia
multimodal juga menyebabkan kebutuhan opioid lebih kecil dengan efek
samping yang lebih rendah, skor kepuasan pasien yang lebih tinggi, dan
dimulainya rehabilitasi medik yang lebih awal dibandingkan dengan
pemberian opioid tunggal.8
13

Gambar 1. Multimodal analgesia.9


Obat-obat anestesi lokal adalah obat yang dapat menyebabkan blok
konduksi saraf perifer apabila obat ini disuntikkan di daerah perjalanan
serabut saraf dengan dosis tertentu tanpa menimbulkan kerusakan permanen
pada serabut saraf tersebut.2 Berdasarkan struktur molekuknya terdapat dua
golongan obat anestesi lokal, yaitu golongan ester dan amida. Derivat ester
terdiri dari kokain, prokain, klorprokain dan derivat amide contohnya
lidokain, prilokain, mepivakain, bupivakain, dan etidokain.8
Analgesia atau anestesia regional adalah tindakan analgesia yang
dilakukan dengan menyuntikkan obat anestetika lokal pada lokasi serat saraf
yang menginervasi regio tertentu yang menyebabkan hambatan konduksi
impuls aferen yang bersifat temporer. Analgesia epidural salah satu jenis
anestesia regional, adalah salah satu metode yang paling efektif untuk
menangani nyeri perioperatif dan sangat ideal untuk pasien yang menjalani
operasi di regio toraks, abdomen, pelvis, dan ekstremitas bawah. Analgesia
epidural diberikan melalui kateter epidural dan obat-obat yang paling umum
diberikan adalah opioid dan anestesi lokal yang dapat digunakan baik untuk
analgesia intraoperatif dan paska bedah, baik dengan atau tanpa anestesi
umum. Epidural dapat memfasilitasi ambulasi yang lebih dini dan
menurunkan kejadian ileus paska bedah.8
14

Pengaruh analgesia epidural yang diberikan tergantung dari jenis


obat apa yang disuntikkan dan di level mana ujung kateter ditempatkan.
Umumnya, obat yang digunakan adalah opioid, anestetik lokal, atau
kombinasi keduanya. Penggunan kombinasi antara anestetik lokal dan
opioid sering lebih unggul daripada hanya pengunaan satu obat saja dalam
hal kontrol nyeri dan pengurangan efek samping terapi.8
Dalam manajemen nyeri pada kasus ini, pasien diberikan analgesia
regional dengan menggunakan obat anastetik lokal berupa Bupivakain yang
merupakan golongan amida. Obat ini dipilih sesuai dengan kriteria yang
digunakan untuk memilih obat yaitu lamanya operasi. Pada pasien ini
dilakukan operasi dalam waktu kurang lebih 4 jam (lebih dari 1 jam)
sehingga dipilih Bupivakain. Salah satu sifat yang paling disukai dari
Bupivakain selain dari kerjanya yang panjang adalah sifat menghambat
sensoris yang lebih dominan dari motorisnya sehingga obat ini sering
digunakan untuk analegesia selama persalinan dan paska bedah.8,9
Bupivakain merupakan salah satu obat anestesi lokal yang dikenal
dengan rumus 1-butyl-N-(2,6-dimethylphenyl)-piperidecarboxamide
hydrochloride. Secara komersial Bupivakain tersedia dalam 5 mg/ml
solutions. Bupivakain dapat melewati sawar darah otak dan uri tetapi hanya
dalam jumlah kecil. Bila diberikan dalam dosis ulangan, takifilaksis yang
terjadi lebih ringan bila dibandingkan dengan lidokain.6,9
Penyebaran obat anestesi lokal pada tulang belakang dipengaruhi
oleh karakteristik fisik cerebro spinal fluid (CSF) dan sifat cairan anestesi
lokal (hiperbarik, hipobarik atau isobarik) yang disuntikkan, teknik yang
digunakan serta gambaran umum pasien. Obat-obat lokal anestesi
berdasarkan barisitas dan sensitas dapat di golongkan menjadi tiga
golongan, yaitu:6
a. Hiperbarik
Sediaan obat lokal anestesi termasuk bupivakain 0,5% dengan berat
jenis obat lebih besar daripada berat jenis cairan serebrospinal, sehingga
dapat terjadi perpindahn obat ke dasar akibat gaya gravitasi. Agar obat
anestesi lokal benar-benar hiperbarik pada semua pasien maka baritas
15

paling rendah harus 1,0015 gr/ml pada suhu 37o C. Pada anestesi spinal
bila berat jenis obat lebih besar dari CSF (hiperbarik) maka akan terjadi
perpindahan obat ke dasar akibat gravitasi sehingga akan mempengaruhi
pergerakan ekstremitas bawah setelah pasien sadar.6,10
b. Isobarik
Obat anestesi isobarik densitasnya sama dengan densitas cairan
serebrospinal pada suhu 37o C sehingga obat akan berada di tingkat yang
sama di tempat penyuntikan. Tetapi karena terdapat variari densitas
cairan serebrospinal, maka obat akan menjadi isobarik untuk semua
pasien jika densitasnya berada pada rentang standar deviasi 0,999 –
1,001 gr/ml.6,10
c. Hipobarik
Sediaan obat lokal anestesi dengan berat jenis obat lebih rendah dari
berat jenis cairan serebrospinal sehingga obat akan berpindah dari area
penyuntikan ke atas. Densitas cairan serebrospinal pada suhu 37o C
adalah 1,003 gr/ml. Perlu diketahui variasi normal cairan serebrospinal
sehingga obat yang sedikit hipobarik belum tentu menjadi hipobarik
bagi pasien yang lainnya. Jika berat jenis obat lebih kecil (hipobarik)
maka obat akan berada ditingkat yang sama pada tempat
penyuntikan.6,10

Selain itu, pada pasien juga diberikan dengan kombinasi analgesia


golongan opioid yaitu Morfin. Opioid terutama bekerja pada medula
spinalis dan supraspinalis melalui reseptor spesifik yang mengurangi
pelepasan neurotransmiter dan menghentikan propagasi sinyal nyeri. Opioid
intravena harus diserap secara sistemik sebelum berefek pada medula
spinalis dan korteks serebri yang menyebabkan pemberian opioid intravena
memiliki angka kejadian efek samping yang lebih tinggi. Sedangkan pada
analgesia epidural, opioid diberikan melalui kateter epidural yang langsung
pada tempat kerjanya sehingga dosis yang dibutuhkan relatif lebih kecil dan
efek samping yang munculpun dapat diminimalkan.8
Obat adjuvan lainnya yang diberikan pada pasien ini adalah Clonidin
yang merupakan obat golongan agonis alpha-2 adrenoseptor. Pada terminal
16

aferen primer (spinal dan perifer) terdapat reseptor alpha-2-agonis, di


neurona lamina pada tulang belakang daj di nuklesu supra-spinal (lokus
seruleus). Meskipun tidak terdapat reseptor tersebut pada akson saraf
perifer, klonidin dapat meningkatkan efek anestesi lokal pada blok saraf
perifer dengan bekerja pada serat C dan Aδ sehingga menurunkan konduksi
pada serat tersebut. Selain itu klonidin juga memiliki efek vasokonstriktor
(efek alfa 1-adrenergik), yang mengurangi pengeluran anestesi lokal dari
jaringan perineural.11
Manajemen nyeri pada pasien ini menggunakan pendekatan
multimodal sesuai dengan menggunakan kombinasi obat anestesi lokal
(Bupivakain), opioid (Morfin), dan Clonidin yang memiliki mekanisme
kerja farmakologi yang berbeda sehingga menghasilkan skor nyeri yang
lebih rendah, skor kepuasan pasien yang lebih tinggi dengan efek samping
yang lebih rendah.8
BAB IV
SIMPULAN
Nyeri didefinisikan sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional
yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya atau potensi
rusaknya jaringan atau keadaan yang menggambarkan kerusakan jaringan
tersebut. Berdasarkan definisi tersebut nyeri merupakan suatu gabungan
dari komponen objektif (aspek fisiologi sensorik nyeri) dan komponen
subjektif (aspek emosional dan psikologis). Tatalaksana nyeri, secara garis
besar stategi farmakologi mengikuti ”WHO Three Step Analgesic Ladder”
yaitu pada tahap pertama dengan menggunakan obat analgetik nonopiat
seperti NSAID. Tahap kedua, dilakukan jika pasien masih mengeluh nyeri.
Maka diberikan obat-obat seperti pada tahap pertama ditambah opiat secara
intermiten. Tahap ketiga, dengan memberikan obat pada tahap kedua
ditambah opiat yang lebih kuat.
Pada pasien ini, manajemen nyeri menggunakan pendekatan
multimodal sesuai dengan menggunakan kombinasi obat anestesi lokal
(Bupivakain) dan opioid (Morfin) yang memiliki mekanisme kerja
farmakologi yang berbeda sehingga menghasilkan skor nyeri yang lebih
rendah, skor kepuasan pasien yang lebih tinggi dengan efek samping yang
lebih rendah.
Pendekatan multimodal memiliki mekanisme yang berbeda
mendapatkan efek ynag aditif dan sinergis dalam upaya menurunkan efek
samping yang berhubungan dengan penggunaana opiod daripada
digunakan sebagai monoterapi. Penggunaan teknik multimodal
memberikan beberapa manfaat bagi pasien dan sistem kesehatan
diantaranya dapat mengurangi efek samping (seperti mual muntah ,
konstipasi, retensi urin), mencegah nyeri akut menjadi nyeri kronik,
mempeercepat pemulihan pasien dan memperpendek waktu tinggal di
rumah sakit.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Morgan, G.E., Pain Management, In: Clinical Anesthesiology 2nded.


Stamford:Appleton and Lange, 1996, 274-316.
2. Mangku, G., Diktat Kumpulan Kuliah, Bagian/SMF Anestesiologi dan
Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, 2002.
3. Latief, S.A., Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi II, Bag Anestesiologi dan
Terapi Intensif FK UI, Jakarta, 2001.
4. Hamill, R.J., The Assesment of Pain, In: Handbook of Critical Care Pain
Management, New York, McGrow-Hill Inc, 1994, 13-25
5. Scholz J, Finnerup NB, Attal N, Aziz Q, Baron R, Bennett MI, Benoliel R,
Cohen M, Cruccu G, Davis KD, Evers S, First M, Giamberardino MA,
Hansson P, Kaasa S, Korwisi B, Kosek E, Lavand'homme P, Nicholas M,
Nurmikko T, Perrot S, Raja SN, Rice ASC, Rowbotham MC, Schug S,
Simpson DM, Smith BH, Svensson P, Vlaeyen JWS, Wang SJ, Barke A,
Rief W, Treede RD; Classification Committee of the Neuropathic Pain
Special Interest Group (NeuPSIG). The IASP classification of chronic pain
for ICD-11: chronic neuropathic pain. Pain. 2019 Jan;160(1):53-59. doi:
10.1097/j.pain.0000000000001365. PMID: 30586071; PMCID:
PMC6310153.
6. Schwenk ES, Kasper VP, Smoker JD, Mendelson AM, Austin MS, Brown
SA, Hozack WJ, Cohen AJ, Li JJ, Wahal CS, Baratta JL, Torjman MC,
Nemeth AC, Czerwinski EE. Mepivacaine versus Bupivacaine Spinal
Anesthesia for Early Postoperative Ambulation. Anesthesiology. 2020 Oct
1;133(4):801-811. doi: 10.1097/ALN.0000000000003480. PMID:
32852904.
7. Buku Ajar Neurologi. 2nd ed. Jakarta: Penerbit Kedokteran Indonesia;
2017.
8. Rehatta M, Hanindito E, Tantri A, Redjeki I. Anestesiologi dan Terapi
Intensif. 1st ed. Jakarta: Gramedia; 2019.
9. Wylde V, Dennis J, Beswick AD, Bruce J, Eccleston C, Howells N, Peters
TJ, Gooberman-Hill R. Systematic review of management of chronic pain

18
19

after surgery. Br J Surg. 2017 Sep;104(10):1293-1306. doi: 10.1002/bjs.10601.


Epub 2017 Jul 6. PMID: 28681962; PMCID: PMC5599964
10. Kresnoadi, Erwin. 2019. The Difference Duration between Analgesia
Bupivacaine Hyperbaric Morphine and Bupivacaine Hyperbaric Epinephrine
Intrathecal toward Post Surgery of Sectio Caesaria Patient in Bhayangkara
Mataram Hospital. PainMedicine Journal. DOI: 10.31636/pmjua.v4i1.1
11. Fernandes H. Clonidine in Anesthesiology: A Brief Review. Biomedical
Journal of Scientific & Technical Research. 2018;7(2).
20

Anda mungkin juga menyukai