Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN RASA NYAMAN NYERI DI


RUANG TERATAI RSUD BANGIL

FITRIANI KHUSNUL KHOTIMAH

202373005

PROGRAM STUDI ILMU


KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU
KESEHATAN UNIVERSITAS BINA
SEHAT PPNI
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan pendahuluan ini diajukan oleh:

Nama : Fitriani khusnul khotimah

NIM : 202373005

Program Studi : Profesi Ners

Judul Asuhan Keperawatan


: LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN
KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN RASA NYAMAN NYERI DI
RUANG TERATAI RSUD BANGIL

Telah diperiksa dan disetujui sebagai tugas dalam praktik klinik keperawatan dasar.

Pasuruan, 05 Desember 2023

Pembimbing Ruangan, Pembimbing Akademik,

(........................................................) (...............................................................)

Mengetahui,

Kepala Ruangan

(............................................................)
LAPORAN PENDAHULUAN
GANGGUAN RASA NYAMAN NYERI
1. Konsep Kebutuhan Gangguan Rasa Nyaman Nyeri
1.1 Definisi
Nyeri merupakan bagian dari pengalaman hidup sehari-hari. Nyeri mempunyai sifat
yang unik, karena di satu sisi nyeri menimbulkan derita bagi yang bersangkutan, tetapi disisi
lain nyeri juga menunjukkan suatu manfaat (Syaifudin,2011).
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang
berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial menyebabkan kerusakan jaringan
(Perry & Potter, 2010).
Nyeri bukan hanya merupakan modalitas sensori tetapi juga merupakan suatu
pengalaman. Menurut The International Association for the Study of Pain (IASP), nyeri
didefinisikan sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan
yang berhubungan dengan adanya atau potensi rusaknya jaringan atau keadaan yang

menggambarkan kerusakan jaringan tersebut. Berdasarkan definisi tersebut nyeri merupakan


suatu gabungan dari komponen objektif (aspek fisiologi sensorik nyeri) dan komponen
subjektif (aspek emosional dan psikologis).

2.1 Anatomi Fisiologi


Salah satu fungsi sistem saraf yang paling penting adalah menyampaikan informasi
tentang ancaman kerusakan tubuh. Saraf yang dapat mendeteksi nyeri tersebut dinamakan
nociception. Nociception termasuk menyampaikan informasi perifer dari reseptor khusus
pada jaringan (nociseptors) kepada struktur sentral pada otak. Sistem nyeri mempunyai
beberapa komponen (gambar 2.1) yaitu:
1) Reseptor khusus yang disebut nociceptors, pada sistem saraf perifer, mendeteksi dan
menyaring intensitas dan tipe stimulus noxious.(orde 1).
2) Saraf aferen primer (saraf A-delta dan C) mentransmisikan stimulus noxious ke CNS.
3) Kornu dorsalis medulla spinalis adalah tempat dimana terjadi hubungan antara serat
aferen primer dengan neuron kedua dan tempat kompleks hubungan antara lokal
eksitasi dan inhibitor interneuron dan traktus desenden inhibitor dari otak.
4) Traktus asending nosiseptik (antara lain traktus spinothalamikus lateralis dan ventralis)
menyampaikan signal kepada area yang lebih tinggi pada thalamus. (orde 2).
5) Traktus thalamo-kortikalis yang menghubungkan thalamus sebagai pusat relay
sensibilitas ke korteks cerebralis pada girus post sentralis. (orde 3).
6) Keterlibatan area yang lebih tinggi pada perasaan nyeri, komponen afektif
nyeri,ingatan tentang nyeri dan nyeri yang dihubungkan dengan respon motoris
(termasuk withdrawl respon).
7) Sistem inhibitor desenden mengubah impuls nosiseptik yang datang pada level
medulla spinalis (Syaifudin,2011).

Gambar 2.1. Lintasan sensibitlitas


2.3 Klasifikasi
Berdasarkan sumber nyeri, maka nyeri dibagi menjadi:
1) Nyeri somatik luar
Nyeri yang stimulusnya berasal dari kulit, jaringan subkutan dan membran mukosa.
Nyeri biasanya dirasakan seperti terbakar, jatam dan terlokalisasi
2) Nyeri somatik dalam
Nyeri tumpul (dullness) dan tidak terlokalisasi dengan baik akibat rangsangan pada
otot rangka, tulang, sendi, dan jaringan ikat.
3) Nyeri viseral
Nyeri karena perangsangan organ viseral atau membran yang menutupinya (pleura
parietalis, perikardium, peritoneum). Nyeri tipe ini dibagi lagi menjadi nyeri viseral
terlokalisasi, nyeri parietal terlokalisasi, nyeri alih viseral dan nyeri alih parietal.
Klasifikasi yang dikembangkan oleh IASP didasarkan pada lima aksis yaitu:
(1) Aksis I : Regio atau lokasi anatomi nyeri.
(2) Aksis II : Sistem organ primer di tubuh yang berhubungan dengan timbulnya
nyeri.
(3) Aksis III : Karekteristik nyeri atau pola timbulnya nyeri (tunggal, reguler,
kontinyu).
(4) Aksis IV : Awitan terjadinya nyeri.
(5) Aksis V : Etiologi nyeri.

Berdasarkan jenisnya nyeri juga dapat diklasifikasikan menjadi:


1) Nyeri nosiseptif
Karena kerusakan jaringan baik somatik maupun viseral. Stimulasi nosiseptor baik
secara langsung maupun tidak langsung akan mengakibatkan pengeluaran mediator
inflamasi dari jaringan, sel imun dan ujung saraf sensoris dan simpatik.
2) Nyeri neurogenik
Nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer pada sistem saraf
perifer. Hal ini disebabkan oleh cedera pada jalur serat saraf perifer, infiltrasi sel
kanker pada serabut saraf, dan terpotongnya saraf perifer. Sensasi yang dirasakan
adalah rasa panas dan seperti ditusuk-tusuk dan kadang disertai hilangnya rasa atau
adanya sara tidak enak pada perabaan. Nyeri neurogenik dapat menyebakan terjadinya
allodynia. Hal ini mungkin terjadi secara mekanik atau peningkatan sensitivitas dari
noradrenalin yang kemudian menghasilkan sympathetically maintained pain (SMP).
SMP merupakan komponen pada nyeri kronik. Nyeri tipe ini sering menunjukkan
respon yang buruk pada pemberian analgetik konvensional.
3) Nyeri psikogenik
Nyeri ini berhubungan dengan adanya gangguan jiwa misalnya cemas dan depresi.
Nyeri akan hilang apabila keadaan kejiwaan pasien tenang.

Berdasarkan timbulnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi:


1) Nyeri akut
Nyeri yang timbul mendadak dan berlangsung sementara. Nyeri ini ditandai dengan
adanya aktivitas saraf otonom seperti: takikardi, hipertensi, hiperhidrosis, pucat dan
midriasis dan perubahan wajah: menyeringai atau menangis. Bentuk nyeri akut dapat
berupa:
(1) Nyeri somatik luar : nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa.
(2) Nyeri somatik dalam : nyeri tumpul pada otot rangka, sendi dan jaringan ikat.
(3) Nyeri viseral : nyeri akibat disfungsi organ viseral.
2) Nyeri kronik
Nyeri berkepanjangan dapat berbulan-bulan tanpa tanda2 aktivitas otonom kecuali
serangan akut. Nyeri tersebut dapat berupa nyeri yang tetap bertahan sesudah
penyembuhan luka (penyakit/operasi) atau awalnya berupa nyeri akut lalu menetap
sampai melebihi 3 bulan. Nyeri ini disebabkan oleh :
(1) Kanker akibat tekanan atau rusaknya serabut saraf.
(2) Non kanker akibat trauma, proses degenerasi dll.

Berdasarkan penyebabnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi:


1) Nyeri onkologik.
2) Nyeri non onkologik.
Berdasakan derajat nyeri dikelompokan menjadi:
1) Nyeri ringan adalah nyeri hilang timbul, terutama saat beraktivitas sehari hari dan
menjelang tidur.
2) Nyeri sedang nyeri terus menerus, aktivitas terganggu yang hanya hilang bila penderita
tidur.
3) Nyeri berat adalah nyeri terus menerus sepanjang hari, penderita tidak dapat tidur dan
dering terjaga akibat nyeri (Hidayat, 2012).
Ada beberapa metode yang umumnya digunakan untuk menilai intensitas nyeri, antara
lain:
1) Verbal Rating Scale (VRSs)
Metode ini menggunakan suatu word list untuk mendiskripsikan nyeri yang dirasakan.
Pasien disuruh memilih kata-kata atau kalimat yang menggambarkan karakteristik
nyeri yang dirasakan dari word list yang ada. Metode ini dapat digunakan untuk
mengetahui intensitas nyeri dari saat pertama kali muncul sampai tahap penyembuhan.
Penilaian ini menjadi beberapa kategori nyeri yaitu:
(1) tidak nyeri (none)
(2) nyeri ringan (mild)
(3) nyeri sedang (moderate)
(4) nyeri berat (severe)
(5) nyeri sangat berat (very severe)
(6) Numerical Rating Scale (NRSs)
2) Metode ini menggunakan angka-angka untuk menggambarkan range dari intensitas
nyeri. Umumnya pasien akan menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan dari
angka 0-10. ”0”menggambarkan tidak ada nyeri sedangkan ”10” menggambarkan
nyeri yang hebat.

Gambar 2.2. Numeric pain intensity scale


3) Visual Analogue Scale (VASs)
Metode ini paling sering digunakan untuk mengukur intensitas nyeri. Metode ini
menggunakan garis sepanjang 10 cm yang menggambarkan keadaan tidak nyeri sampai
nyeri yang sangat hebat. Pasien menandai angka pada garis yang menggambarkan intensitas
nyeri yang dirasakan. Keuntungan menggunakan metoda ini adalah sensitif untuk
mengetahui perubahan intensitas nyeri, mudah dimengerti dan dikerjakan, dan dapat
digunakan dalam berbagai kondisi klinis. Kerugiannya adalah tidak dapat digunakan pada
anak-anak dibawah 8 tahun dan mungkin sukar diterapkan jika pasien sedang berada dalam
nyeri hebat.
No Pain The most intense pain imaginable
Gambar 2.3. Visual Analog scale

4) McGill Pain Questionnaire (MPQ)


Metode ini menggunakan check list untuk mendiskripsikan gejala-gejal nyeri yang
dirasakan. Metoda ini menggambarkan nyeri dari berbagai aspek antara lain sensorik, afektif
dan kognitif. Intensitas nyeri digambarkan dengan merangking dari ”0” sampai ”3”.
5) The Faces Pain Scale
Metoda ini dengan cara melihat mimik wajah pasien dan biasanya untuk menilai
intensitas nyeri pada anak-anak.

Gambar 2.4. Faces Pain Scale

2.4 Patofisiologi
Bila terjadi kerusakan jaringan/ancaman kerusakan jaringan tubuh, seperti
pembedahan akan menghasilkan sel-sel rusak dengan konsekuensi akan mengeluarkan zat-
zat kimia bersifat algesik yang berkumpul sekitarnya dan dapat menimbulkan nyeri. akan
terjadi pelepasan beberapa jenis mediator seperti zat-zat algesik, sitokin serta produk-produk
seluler yang lain, seperti metabolit eicosinoid, radikal bebas dan lain-lain. Mediator-
mediator ini dapat menimbulkan efek melalui mekanisme spesifik.
Tabel 2.1 Zat-zat yang timbul akibat nyeri
Zat Sumber Menimbulkan Efek pada aferen
nyeri primer
Kalium Sel-sel rusak ++ Mengaktifkan
Serotonin Trombosis ++ Mengaktifkan
Bradikinin Kininogen plasma +++ Mengaktifkan
Histamin Sel-sel mast + Mengaktifkan
Prostaglandin Asam arakidonat dan sel rusak ± Sensitisasi
Lekotrien Asam arakidonat dan sel rusak ± Sensitisasi
Substansi P Aferen primer ± Sensitisasi

Pathway
1. Stimulasi Kimia (Histamin, bradikirun, 2. Inflamasi
prostaglandin, bermacam-macam asam)
2. Pembengkakan Jaringan 3. Keletihan
3. Spasmus Otot 4. Kanker
4. Kehamilan 5. Agen Cedera ( Biologis)

Deformitus
( Edem, Lesi, Tanda Infeksi, Pus/Nanah )

Reseptor Nyeri
( A Delta Dan Serabut C )

Spinal Cord
Thalamus Cortrex Cerebral

Effector

MK : Rasa Nyeri

Sumber: Saputra (2013)


2.5 Manifestasi Klinis
Adapun manifestasi klinis dari nyeri adalah sebagai berikut:
1) Gangguam Tidur (insomnia)
2) Posisi Menghindari Nyeri
3) Gerakan Menghindari Nyeri
4) Berhati-hati pada bagian nyeri
5) Pikiran tidak terarah
6) Raut wajah kesakitan (meringis,menangis,merintih)
7) Nadi meningkat
8) Pernapasan meningkat
9) Perubahan Nafsu Makan
10) Produksi keringat berlebih
2.6 Penatalaksanaan Medis
2.6.1 Farmakologis
Kolaborasi dengan dokter, obat-obatan analgesik, narkotika rute oral atau parenteral
( IM, IV, SC ) untuk mengurangi nyeri secara cepat.
2.6.2 Non Farmakologis
1) Teknik Distraksi
Ini merupakan pengalih perhatian pasien dari rasa nyeri.
Tujuan: Mengalihkan perhatian pasien dari rasa nyeri.
Prosedur kerja:
(1) Perawat meminta pasien untuk bernapas lambat serta berirama.
(2) Perawat meminta pasien bernyanyi dengan irama sambil menghitung ketukan.
(3) Perawat meminta pasien untuk mendengarkan musik.
(4) Perawat mengajak pasien berimajinasi (guide imagery), prosedurnya:
a) Atur posisi pasien supaya nyaman.
b) Minta pasien untuk memikirkan hal-hal yang menyenangkan atau
pengalaman yang membantu menggunakan indera.
c) Minta pasien untuk tetap fokus pada bayangan menyenangkan, sambil
merelaksasikan tubuh.
d) Jika pasien tampak rileks, maka perawat tidak perlu bicara lagi.
e) Jika pasien menunjukkan tanda-tanda agitasi, gelisah atau tidak nyaman,
maka perawat harus segera menghentikan latihan serta memulai lagi ketika
pasien siap (Sutanto, 2017).
Massage (pijatan)
Beberapa teknik yang dapat dilakukan saat melakukan massage:
(1) Remasan, yaitu mengusap otot bahu. Ini dikerjakan secara bersama antara
pasien dan perawat.
(2) Selang-seling tangan, yaitu memijar punggung dengan tekanan pendek, cepat
serta bergantian tangan.
(3) Gesekan, yaitu pijat punguung dengan ibu jari, gerakannya memutar sepanjang
tulang punggung dari sacrum ke bahu.
(4) Eflurasi, yaitu memijat punggung dengan kedua tangan. Memberi tekanan lebih
halus, dengan gerakan ke atas untuk membantu aliran balik vena.
(5) Petriasi, yaitu menekan punggung secara horizontal. Tangan kita berpindah
dengan arah yang berlawanan (gerakan meremas).
(6) Tekanan menyikat, dilakukan secara halus dengan menekan punggung
menggunakan ujung-ujung jari untuk mengakhiri pijatan.
2) Teknik Relaksasi
Teknik ini didasarkan pada keyakinan bahwa tubuh merespons pada ansietas
(ketakutan). Hal inilah yang merangsang pikiran sehingga menyebabkan rasa nyeri.
Teknik relaksasi memiliki bergam jenis, salah satunya adalah relaksasi autogenik.
Relaksasi ini lebih mudah dilakukan serta tidak beresiko. Pada prinsipnya pasien
harus mampu berkonsentrasi sambil membaca mantra atau doa dalam hati, sambil
melakukan ekspirasi udara paru (Sutanto, 2017).
2. Rencana Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Rasa Nyaman Nyeri

2.1 Pengkajian

2.1.1 Identitas

Kaji identitas pasien dengan meliputi nama, alamat, umur, jenis kelamin, suku

bangsa, agama, bahasa yang dimengerti, tanggal MRS, No.Registrasi.

2.1.2 Keluhan Utama

Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur femur yang belum dilakukan

tindakan pembedahan.

2.1.3 Riwayat Kesehatan Saat Ini

Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang

nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap pasien. Ini bisa

berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan

kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena.

2.1.4 Riwayat Kesehatan Masa Lalu

Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi

petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit

tertentu seperti kanker tulang dan penyakit lain yang menyebabkan fraktur

patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes

dengan luka di kaki sangat beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik

dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang.


2.1.5 Riwayat Alergi

Mengkaji apakah pasien mempunyai riwayat alergi obat, makanan, minuman, dll.

2.1.6 Riwayat Keluarga

Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah

satu factor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis

yangsering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung

diturunkan secara genetik.

2.1.7 Pengkajian Data Bio-psiko-sosio-kultural-spiritual

1) Pola Pernafasan

Pada kasus fraktur post operasi yang keluhan gangguan pernafasan efek dari

pemberian obat anasthesi, nyeri akibat leka operasi.

2) Pola Nutrisi

Pada pasien close fraktur pre operasi sebaiknya mengkonsumsi nutrisi

melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan

lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola

nutrisi pasien bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal

dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama

kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan

faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu

juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.

3) Pola Eliminasi

Untuk kasus fraktur pre operasi perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi,
warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi

uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola

ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.

4) Aktivitas dan istirahat

Semua pasien pre operasi fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak,

sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur pasien. Selain itu

juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan,

kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.

Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan

pasien menjadi berkurang dan kebutuhan pasien perlu banyak dibantu oleh

orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas pasien terutama

pekerjaan pasien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk

terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain.

5) Psiko-sosial-spiritual

Pasien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena

pasien harus menjalani rawat inap

Dampak yang timbul pada pasien fraktur yaitu timbul ketakutan akan

kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk

melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang

salah (gangguan body image)

6) Pola Seksual dan Reproduksi

Dampak pada pasien fraktur yaitu, pasien tidak bisa melakukan hubungan

seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa
nyeri yang dialami pasien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya

termasuk jumlah anak, lama perkawinannya

7) Sistem nilai dan kepercayaan

Pada pasien fraktur pre operasi yang menjalani rawat inap perlu dikaji siapa

atau apa yang menjadi sumber kekuatannya.apakah Tuhan,agama,kepercayaan

penting untuk dirinya,kegiatan agama apa yang biasa dilakukan dan yang

ingin dilakukan selama di rumah sakit.

2.1.8 Pemeriksaan Fisik

Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk

mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu

untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi

hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.

2.1.8.1 Keadaan umum :

Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada

kasus fraktur biasanya akut. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada

gangguan baik fungsi maupun bentuk.

2.1.8.2 Kesadaran

Tingkat Kesadaran: apatis, stupor, koma, gelisah, komposmentis tergantung

pada keadaan klien.


2.1.8.3 Otot

Kekuatan otot: flaksia/lemah, tonus berkurang, tidak mampu bekerja.

2.1.8.4 Sistem saraf

Kaji mengenai keluhan: bingung, rasa terbakar, paresthesia, reflex menurun.

2.2 Diagnosa Keperawatan PREE OPERASI

2.2.1 Nyeri Akut berhubungan dengan Agen cedera fisik (trauma jaringan lunak) ditandai dengan

mengeluh nyeri, tampak meringis, bersikap protektif, frekuensi nadi meningkat.

2.2.2 Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas struktur tulang

dibuktikan dengan pasien tidak mampu menggerakkan kakinya.

2.2.3 Risiko Infeksi : Berisiko mengalami peningkatan terserang organisme patogenik Faktor Risiko
2.3 Rencana Asuhan Keperawatan Intervensi
Tujuan dan Kriteria Hasil SIKI
No Diagnosa Keperawatan
SLKI
.

1. Nyeri Akut Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nyeri


Penyebab keperawatan 3x24jam Observasi
a. Agen pencedera fisiologis jam diharapkan tingkat
(mis, inflamasi, iskemia, nyeri menurun dengan a. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
neoplasma) kriteria : Tingkat Nyeri frekuensi, kualitas, itensitas nyeri
b. Agen pencedera kimiawi 1. Keluhan nyeri menurun b. Identifikasi skala nyeri
(mis, terbakar, bahan kimia 2. Frekuensi nadi menurun c. Identifikasi respon nyeri non verbal
iritan) 3. Gelisah menurun d. Identifikasi faktor yang memperberat dan
c. Agen pencedera fisik (mis, 4. Tekanan darah membaik memperingan nyeri
abses, trauma, latihan fisik 5. Keluhan meringis menurun e. Identifikasi pengetahuan tentang nyeri
berlebihan) 6. Pola Tidur membaik f. Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon
Gejala dan Tanda nyeri
Mayor Subjektif g. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas
a. Mengeluh Nyeri hidup
Objektif h. Monitor keberhasilan terapi komplementer
a. Tampak meringis yang sudah diberikan
b. Bersikap protektif (mis, i. Monitor efek samping penggunaan analgetik
waspada, posisi menghindari Terapeutik
nyeri)
c. Gelisah a. Berikan teknik nonfarmakologis untuk
d. Frekuensi nadi meningkat mengurangi rasa nyeri (mis. TENS, hipnosis,
akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi
pijat, aromaterapi, teknik imajinasi
e. Sulit tidur terbimbing, kompres hangat/ dingin, terapi
Gejala dan Tanda Minor bermain).
Subjektif b. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa
□ (tidak tersedia) nyeri (mis. suhu ruangan, pencahayaan,
Objektif kebisingan)
a. Tekanan darah meningkat c. Fasilitasi istirahat dan tidur
b. Pola napas berubah d. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
c. Nafsu makan berubah pemilihan stategi meredakan nyeri
d. Proses berfikir terganggu Edukasi
e. Menarik diri
f. Berfokus pada diri sendiri a. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
g. diaforesis b. Jelaskan strategi meredakan nyeri
Kondisi Klinis Terkait c. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
a. Kondisi pembedahan d. Anjurkan menggunakan analgetik secara
b. Cedera traumatis tepat
c. Infeksi e. Ajarkan terknik non farmakologis untuk
d. Sindrom koroner akut mengurangi rasa nyeri
e. Glaukoma Kolaborasi

a. Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu


Pemberian analgesik
Observasi

a. Identifikasi karakteristik nyeri (mis. pencetus,


pereda, kualitas, lokasi, intensitas, frekuensi,
durasi)
b. Identifikasi riwayat alergi obat
c. Identifikasi kesesuaian jenis analgesik (mis.
narkotika, non-narkotik, atau NSAID) dengan
tingkat keparahan nyeri
d. Monitor tanda-tanda vital sebelum dan
sesudah pemberian analgesik
e. Monitor efektifitas analgesik
Terapeutik

a. Diskusikan jenis analgesik yang disukai


untuk mencapai analgesis optimal, jika perlu
b. Pertimbangkan penggunaan infus kontinu,
atau bolus oploid untuk mempertahankan
c. Tetapkan target efektifitas analgesik untuk
mengoptimalkan respons pasien
d. Dokumentasikan respons terhadap efek
analgesik dan efek yang tidak diinginkan
Edukasi

a. Jelaskan efek terapi dan efek samping obat


Kolaborasi

a. Kolaborasi pemberian dosis dan jenis


analgesik, sesuai indikasi
Pemantauan Nyeri
Observasi

a. Identifikasi faktor pencetus dan pereda nyeri


b. Monitor kualitas nyeri (mis. terasa tajam,
tumpul, diremas-remas, ditimpa beban
berat)
c. Monitor lokasi dan penyebaran nyeri
d. Monitor intensitas nyeri dengan
menggunakan skala
e. Monior durasi dan frekuensi nyeri
Terapeutik

a. Atur interval waktu pemantauan sesuai


dengan kondisi pasien
b. Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
a. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
b. Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
2 Gangguan Mobilitas Setelah dilakukan asuhan Dukung Mobilisasi
keperawatan selama 3 x 24 jam Observasi
Fisik Peyebab diharapkan mobilitas fisik
a. Penurunan kekuatan otot meningkat dengan kriteria hasil a. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan
: fisik lainnya
Gejala dan Tanda Mayor Mobilitas Fisik b. Identifikasi toleransi fisik melakukan
a. Mengeluh sulit a. Pergerakan ektremitas pergerakan
menggerakan ekstemitas, meningkat c. Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah
b. Kekuatan otot menurun, b. Kekuatan otot meningkat sebelum memulai mobilisasi
c. Rentang gerak c. Rentang gerak d. Monitor kondisi umum selama melakukan
ROM menurun (ROM) meningkat mobilisasi
Gejala dan tanda Minor d. Nyeri menurun Terapeutik
a. Enggan melakukan e. Kecemasan menurun
pergerakan a. Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan
f. Kaku sendi menurun
b. Sendi kaku alat bantu (mis, pagar tempat tidur)
g. Gerakan tidak terkoordinasi
c. Gerakan terbatas b. Fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu
menurun
d. Fisik lemah c. Libatkan keluarga untuk membantu pasien
h. Gerakan terbatas menurun
dalam pergerakan
i. Kelemahan fisik menurun
Edukasi

a. Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi


b. Anjurkan melakukan mobilisasi dini
c. Anjurkan mobilisasi sederhana yang harus
dilakukan (mis, duduk di tempat tidur,
duduk disisi tempat tidur, pindah dari tempat
tidur ke kursi)
Observasi

a. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik


lainnya
b. Identifikasi toleransi fisik melakukan
ambulansi
c. Monitor frekuensi jantung dan tekanan
darah sebelum memulai ambulansi
d. Monitor kondisi umum selama melakukan
ambulansi
Terapeutik

a. Fasilitasi aktivitas ambulansi dengan


alat bantu (mis, tongkat, kruk)
b. Fasilitasi melakukan mobilisasi fisik,
jika perlu
c. Libatkan keluarga untuk membantu
pasien dalam meningkatkan ambulansi
Edukasi

a. Jelaskan tujuan dan prosedur ambulansi


b. Anjurkan melakukan ambulansi dini
c. Ajarkan ambulansi sederhana yang harus
dilakukan (mis, berjalan dari tempat tidur
ke kursi roda, berjalan dari tempat tidur ke
kamar mandi, berjalan sesuai tolenransi)

Risiko Infeksi : Berisiko Pencegahan Infeksi


mengalami peningkatan Setelah dilakukan asuhan Observasi
terserang organisme keperawatan 3 x 24 jam a. Monitor tanda dan gejala infeksi local dan
patogenik Faktor Risiko diharapkan tingkat sistemik
a. Penyakit Krosnis infeksi menurun dengan Terapeutik
(mis, diabetes militus) hasil : a. Batasi jumlah pengunjung
b. Efek prosedur invasif a.Kebersihan tangan b. Berikan perawatan kulit pada area edema
c. Malnutrisi meningkat c. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak
b.Kebersihan badan meningkat
c.Nafsu makan meningkat
d. Peningkatan paparan d. Deman menurun dengan pasien dan lingkungan pasien
organisme patogen e. Kemerahan menurun d. Pertahankan teknik aseptik pada pasien
lingkungan f. Nyeri menurun berisiko tinggi
e. Ketidakadekuatan g. Bengkak menurun Edukasi
pertahanan tubuh h. Vesikel menurun a. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
primer i. Cairan berbau busuk b. Ajarkan cara mencuci tangan yang benar
f. Gangguan peristaltik menurun c. Ajarkan teknik batuk
g. Kerusakan integritas kulit j. Sputum berwarna hijau d. Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau
h. Perubahan sekresi pH menurun luka operasi
i. Penurunan sekresi siliaris k. Drainase purulen menurun e. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
j. Ketuban pecah lama l. Pluna menurun f. Anjurkan meningkatkan asupan cairan
k. Ketuban pecah sebelum m.Periode mengigil menurun Kolaborasi
waktunya n. Lelargi menurun a. Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu
l. Merokok o. Gangguan kognitif menurun Perawatan Luka
m. Statis cairan tubuh p. Kadar sel darah putih Observasi
n. Ketidakadekuatan membaik
pertahanan tubh q. Kultur darah membaik a. Monitor karakteristik luka (mis. drainase,
sekunder r. Kultur urine membaik warna, ukuran, bau)
o. Penurunan hemoglobin s. Kultur sputum membaik b. Monitor tanda-tanda infeksi
p. Imununosupresi t. Kultur area luka membaik Terapeutik
q. Leukopenia u. Kultur feses membaik
r. Supresi respon inflamasi v. Kadar sel darah putih a. Lepaskan balutan dan plester secara
s. Vaksinasi tidak adekuat perlahan
Kondisi Klinis Terkait b. Cukur rambut di sekitar daerah luka, jika
a. AIDS perlu
b. Luka bakar c. Bersihkan dengan cairan NaCl atau
c. Penyakit paru obstruksi pembersih nontoksik, sesuai kebutuhan
kronis d. Bersihkan jaringan nekrotik
d. Diabetes militus e. Berikan salep yang sesuai ke kulit/ lesi, jika
e. Tindakan invansif perlu
f. Kondisi penggunaan f.Pasang balutan sesuai jenis luka
terapi
steroid g. Pertahankan teknik steril saat melakukakn
g. Penyalahgunaan obat perawatan luka
h. Ketuban pecah sebelum h. Ganti balutan sesuai jumlah eksudat dan
waktunya drainase
i. Kanker i. Jadwalkan perubahan posisi setiap 2 jam
j. Gagal ginjal atau sesuai kondisi pasien
k. Imunosupresi j. Berikan diet dengan kalori 30-35
l. Lymphedema kkal/kgBB/hari dan protein 1,25-1,5
m. Laukosittopenia g/kgBB/hari
n. Gangguan fungsi hati k. Berikan suplemen vitamin dan mineral (mis.
vitamin A, vitamin C, Zinc, asam amino),
sesuai indikasi
l. Berikan terapi TENS (sirkulasi saraf
transkutaneous), jika perlu
Edukasi

a. Jelaskan tanda dan gejala infeksi


b. Anjurkan mengkonsumsi makanan tinggi
kalori dan protein
c. Ajarkan prosedur perawatan luka secara
mandiri
Kolaborasi

a. Kolaborasi prosedur debridement (mis.


enzimatik, biologis, mekanis, autolitik), jika
perlu
b. Kolaborasi pemberian antibiotik, jika perlu
2.4 Implementasi Keperawatan

Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat

untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi kestatus

kesehatan yang baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan. Proses

pelaksanaan implementasi harus berpusat kepada kebutuhan klien dan faktor-faktor

lain yang mempengaruhi kebutuhan keperawatan, strategi implementasikeperawatan

dan kegiatan komunikasi. Dalam pelaksanaannya terdapat tiga jenis implementasi

keperawatan, antara lain (Safitri, 2019):

a. Independent implementations

Independent implementation adalah implementasi yang diprakarsai sendiri oleh

perawat untuk membantu klien dalam mengatasi masalahnya sesuai dengan

kebutuhan, misalnya: membantu dalam memenuhi activity daily living (ADL),

memberikan perawatan diri. mengatur posisi tidur, menciptakan lingkungan yang

terapeutik, memberikan dorongan motivasi, pemenuhan kebutuhan psiko-sosio-

spiritual, perawatan alat invasive yang dipergunakan klien, melakukan

dokumentasi, dan lain-lain.

b. Interdependen Collaborative implementations

Interdependen collaborative implementations adalah tindakan keperawatan atas

dasar kerjasama sesama tim keperawatan atau dengan tim kesehatan lainnya,

seperti dokter. Contolnya dalam hal pemberian obat oral, obat injeksi, infus,

kateter urin, naso gastric tube (NGT), dan lain-lain. Keterkaitan dalam tindakan

kerjasama ini misalnya dalam pemberian obat injeksi, jenis obat, dosis, dan efek
samping merupakan tanggungjawab dokter tetapi benar obat, ketepatan jadwal

pemberian, ketepatan cara pemberian. ketepatan dosis pemberian, dan ketepatan

klien, serta respon klien setelah pemberian merupakan tanggung jawab dan

menjadi perhatian perawat.

c. Dependent implementations

Dependent implementation adalah tindakan keperawatan atas dasar rujukan dari

profesi lain, seperti ahli gizi, physiotherapies, psikolog dan sebagainya, misalnya

dalam hal IMP, pemberian nutrisi pada klien sesuai dengan diit yang telah dibuat

oleh ahli gizi, latihan fisik (mobilisasi fisik) sesuai dengan anjuran dari bagian

fisioterapi.

3.4 Evaluasi

Evaluasi dalam keperawatan adalah kegiatan dalam menilai tindakan keperawatan

yang telah ditentukan, untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan klien secara optimal

dan mengukur hasil dari proses keperawatan. Penilaian keberhasilan adalah tahap

yang menentukan apakah tujuan tercapai. Evaluasi selalu berkaitandengan tujuan,

apabila dalam penilaian ternyata tujuan tidak tercapai, maka perlu dicari penyebabnya

(Sitanggang, 2018)
DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan. Konsep dan Aplikasi Kebutuhan


Dasar Klien. Jakarta: Salemba Medika.

Syaifudin. 2011. Fisiologi Tubuh Manusia. Salemba Medika. Jakarta.

Hidayat, A. Aziz Alimul. 2009. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi


Konsep dan Proses Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika

Hidayat, A, Aziz Alimul. 2012. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta


: Salemba Medika
.
Potter, P.A, Perry, A.H. 2010. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,
Proses dan Praktik. Jakarta: EGC

Saputra. 2013. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: Rineka Cipta.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI.

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI.

Anda mungkin juga menyukai