Anda di halaman 1dari 24

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

“PENGKAJIAN DAN MANAJEMEN NYERI PADA PASIEN SADAR DAN TIDAK


SADAR”

OLEH KELOMPOK 4 :
ALFIYAH MUTMAINNAH (R01181344)
ANUGERAH CHRISTY MARAMPA’ (R011181504)
GITA APRILYA (R011181030)
DINDA SEMUEL (R011181008)
WIWI SAPUTRI (R011181322)
LILIS KARLINA (R011181050)

KELAS RB 2018
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena dengan berkat dan
rahmat-Nya makalah yang berjudul “Pengkajian dan manajemen nyeri pada pasien sadar dan
tidak sadar” dapat selesai pada tepat waktu.

Makalah ini berisi uraian mengenai bagaimana pengkajian yang dilakukan pada
pasien sadar dan tidak sadar dan manajemen nyeri yang dapat dilakukan.

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada dosen pembimbing mata kuliah
Keperawatan Gawat Darurat, Ns. Suhatman A. Hakim, M.Kep. serta teman-teman yang telah
ikut berpartisipasi dalam penyusunan makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, sehingga saran dan
kritik yang membangun diperlukan dalam makalah ini. Kami pun berharap agar para
pembaca dapat menambah wawasan melalui makalah ini.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Makassar, 17 Februari 2021

Penyusun
DAFTAR ISI
SAMPUL i

KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 1
1.3 Tujuan 2
BAB II PEMBAHASAN 3
2.1 Pengertian Nyeri 3
2.2 Penyebab Nyeri 4
2.3 Mekanisme Nyeri 5
2.4 Pengkajian 5
2.5 Langkah-Langkah Melakukan Pengkajian 7
2.6 Manajemen Nyeri Pasien Sadar 12
2.7 Manajemen Nyeri Pasien Tidak Sadar 14
BAB III PENUTUP 16
2.1 Kesimpulan 16
2.2 Saran 16
DAFTAR PUSTAKA 17

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Nyeri adalah suatu kondisi dimana seseorang merasakan perasaan yang tidak
nyaman atau tidak menyenangkan yang berhubungan oleh kerusakan jaringan yang
telah rusak atau yang berpotensi untuk rusak. Pada pasien dengan penurunan
kesadaran mengalami ketidakmampuan untuk melaporkan nyeri sendiri secara verbal
maka perlu dilakukan observasi perilaku nyeri dan gejala fisiologis menjadi indikator
penting untuk menilai nyeri pada pasien. Manajemen yang tepat dari nyeri tergantung
pada pengkajian nyeri yang sistematis dan akurat (Herr et al., 2006).
Nyeri juga dapat dirasakan pada pasien dengan penurunan kesadaran.
Penurunan kesadaran adalah hilangnya kesadaran atau berkurangnya kewaspadaan
atau orientasi seseorang terhadap lingkungan sekitarnya. Penurunan kesadaran
merupakan gangguan kesadaran yang dapat menjadi indikasi kondisi gawat darurat
medis yang memerlukan penanganan segera. Masalah keperawatan yang sering terjadi
pada pasien dengan penurunan kesadaran adalah perubahan perfusi jaringan,
gangguan pernafasan, hambatan mobilitas fisik, gangguan aktivitas menelan,
hambatan komunikasi dan nyeri.
Kompleksnya pengkajian nyeri di area keperawatan kritis memerlukan
pengkajian nyeri yang komprehensif sebagai evaluasi yang objektif melalui
pengamatan pada indikator rasa nyeri. Namun, tidak ada alat yang sempurna untuk
mengevaluasi rasa nyeri. Penggunaan skala nyeri berdasarkan indikator perilaku
direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa mengkomunikasikan rasa nyerinya,
dengan mengamati fungsi motorisnya (Barr et al., 2013).
2.1 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian nyeri?
2. Apa saja klasifikasi nyeri?
3. Apa penyebab nyeri?
4. Bagaimana mekanisme dari nyeri?
5. Bagaimana pengkajian nyeri?
6. Bagaimana manajemen nyeri pada pasien sadar?
7. Bagaimana manajemen nyeri pada pasien tidak sadar?

1
3.1 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian nyeri
2. Untuk mengetahui klasifikasi nyeri
3. Untuk mengetahui penyebab nyeri
4. Untuk mengetahui mekanisme dari nyeri
5. Untuk mengetahui pengkajian nyeri
6. Untuk mengetahui manajemen nyeri pada pasien sadar
7. Untuk mengetahui manajemen nyeri pada pasien tidak sadar

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Nyeri
Nyeri adalah pengalaman yang kompleks untuk pasien. The International
Association For The Stady Of Pain mendefinisikan nyeri sebagai : “pengalam
sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan actual
atau potensial, atau kerusakan semisal itu.
McCaffery dan Beebe mendefinisikan nyeri sebagai apapun yang dikatakan
oleh orang yang mengalami nyeri. “nyeri adalah pengalaman yang hampir pernah di
rasakan oleh semua orang, pengalaman tersebut bersifat subjektif dan setiap orang
mempersepsikan nyeri dengan cara yang berbeda.
2.2 Klasifikasi Nyeri
1. Nyeri berdasarkan waktu berlangsungnya
A. Nyeri Akut
Nyeri akut biasanya datang tiba-tiba dan durasinya terbatas.
Kondisi ini sering kali disebabkan oleh kerusakan jaringan seperti
tulang, otot, atau organ, dan permulaannya sering kali disertai dengan
kecemasan atau tekanan emosional.
B. Nyeri Kronis
Nyeri kronis berlangsung lebih lama daripada nyeri akut dan
umumnya agak resisten terhadap perawatan medis. Biasanya dikaitkan
dengan penyakit jangka panjang, seperti osteoartritis. Dalam beberapa
kasus, seperti dengan fibromyalgia, itu salah satu karakteristik
penyakit. Nyeri kronis dapat disebabkan oleh jaringan yang rusak,
tetapi seringkali disebabkan oleh kerusakan saraf.
2. Nyeri berdasarkan proses terjadinya
A. Nyeri nosiseptif
Nyeri nosiseptif terjadi bila ada kerusakan atau cedera pada
jaringan tubuh. Cedera yang menyebabkan nyeri nosiseptif meliputi
memar, luka bakar, patah tulang, dan nyeri yang disebabkan oleh
keseleo.
B. Nyeri psikogenik

3
Nyeri psikogenik yakni nyeri yang dipengaruhi oleh faktor
psikologis. Beberapa jenis gangguan mental atau emosional dapat
menyebabkan, memperberat, atau memperpanjang rasa nyeri jenis ini.
C. Nyeri neuropatik
Sedangkan nyeri neuropatik timbul karena adanya kelainan
pada saraf. Seseorang yang mengalami nyeri jenis ini akan merasakan
sensasi perih di sepanjang jalur saraf yang terkena atau merasakan
kebas atau mati rasa.
3. Berdasarkan sumbernya, nyeri dibagi menjadi:
A. Nyeri Kutan (Cutaneus Pain).
Nyeri berasal dari kulit dan jaringan subkutan. Lokasi sumber
nyeri biasanya diketahui dengan pasti dan nyeri biasanya tajam serta
rasa terbakar.
B. Nyeri Somatis Dalam (Deep Somatic Pain)
Nyeri berasal dari otot, tendon, sendi, pembuluh darah atau
tulang. Sifat nyeri biasanya menyebar.
C. Nyeri Visera (Visceral Pain).
Nyeri berasal dari organ internal, misalnya: Ulser pada
lambung, appendicitis atau batu ginjal. Sensasi nyeri disalurkan dari
organ melalui saraf simpatis atau parasimpatis ke susunan saraf pusat.
D. Psychogenic Pain; dipengaruhi oleh pengalaman fisik dan mental
seseorang.
2.3 Penyebab Nyeri
1. Kondisi akut
 Pembedahan (insisi, adanya drain, tube, perangkat keras otopedi)
 Trauma (fraktur, laserasi)
 Kondisi medis (parenkreatitis, colitis ulseratif, migraine)
 Kondisi psikologi (kecemasan) yang dapat meningkatkan persepsi
nyeri, memperpanjang rasa nyeri dan menurunkan ambang nyeri
2. Prosedur (suction, paracentesis, pemasangan atau pencabutan kateter)
3. Immobilitas
4. Kondisi nyeri kronis, seperti kondisi musculoskeletal (arthritis, low back pain,
fibromyalgia) dan kondisi lainnya (kanker, stroke, neuropati diabetikum)

4
2.4 Mekanisme Nyeri
Mekanisme timbulnya nyeri didasari oleh proses multiple yaitu nosiseptor,
sensitisasi perifer, perubahan fenotip, senntisisasi sentra, eksitabilitas etopik,
reorganisasi structural, dan penurunan inhibisi. Antara stimulus cedera jaringan dan
pengalaman subjektif nyeri terdapat empat proses tersendiri yaitu :
1. Transduksi adalah suatu proses dimana akhiran syaraf aferen menerjemahkan
stimulus (misalnya tusukan jarum) ke dalam impuls nosiseptif. Ada tiga tipe
serabut saraf yang terlibat dalam proses ini, yaitu serabut A-beta, A-delta, dan
C. serabut yang berespon secara maksimal terhadap stimulus non noksius
dikelompokkan sebagai serabut penghantar nyeri, atau nosiseptor. Silent
neciceptor juga terlibat dalam proses transduksi, dimana serabut saraf aferen
yang tidak berespon terhadap stimulus eksternal tanpa adanya mediator
inflamasi.
2. Transmisi adalah suatu proses dimana impuls disalurkan menuju kornu
dorsalis medula spinalis, kemudian sepanjang traktus sensorik menuju otak.
Neuron aferen primer merupakan pengirim dan penerima aktif dari sinyal
elektrik dan kimiawi. Aksonnya berakhir di kornu dorsalis medulla spinalis
dan selanjutnya berhubungan dengan banyak neuron spinal.
3. Modulasi adalah proses amplifikasi sinyal neural terkait nyeri. Proses ini
terutama terjadi di kornu dorsalis medulla spinalis, dan mungkin juga terjadi di
level lainnya. Serangkaian reseptor opioid seperti mu, kappa, dan delta dapat
ditemukan di kornu dorsalis. Hasil dari proses inhibisi desendens ini adalah
penguatan atau bahkan penghambatan sinyal nosiseptif di kornu dorsalis.
4. Persepsi nyeri adalah kesadaran akan pengalaman nyeri. Persepsi merupakan
hasil dari interaksi proses transduksi, transmisi, modulasi, aspek psikologis,
dan karakteristik individu lainnya. Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang
berfungsi untuk menerima rangsangan nyeri. Organ tubuh yang berperan
sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon
hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak.
2.5 Pengkajian
Tantangan dalam mengkaji nyeri yang bersifat subjektif adalah sikap objektif
perawat gawat darurat yang dapat mempengaruhi pendekatan ketika merawat pasien
nyeri tanpa menghakimi subjektifitas pasien dapat membina hubungan saling percaya
dan meningkatkan komunikasi antara perawat dan pasien. pengkajian nyeri pasien

5
dimulai pada saat pasien tiba di UGD dan berlanjut selama pasien di IGD. Frekuensi
pengkajian ulang di tentukan oleh kondisi pasien dan interfensi yang diberikan untuk
menghilangkan nyeri. Setiap pasien yang datang ke IGD harus di lakukan pengkajian
nyeri dan intensitasnya, terlepas dari keluhan utama dan alasan pasien datang ke IGD.
1. Langkah - langkah Melakukan Pengkajian Secara Umum
A. Persiapan
Dalam melakukan pengkajian keperawatan gawat darurat di Instalasi
Gawat Darurat ada beberapa hal yang perlu kita lakukan antara lain :
 Menyiapkan peralatan yang diperlukan dan menggunakan alat
proteksi diri (APD) untuk menjaga keamanan perawat ataupun
pasien. Peralatan yang diperlukan terdiri dari :tensimeter,
stetoskop, thermometer, pen light, jam tangan, sarung tangan,
celemek/apron, masker, tutup kepala, dan format asuhan
keperawatan.
 Memperkenalkan diri pada pasien atau keluarga yang
mendampingi.
B. Pelaksanaan Pengkajian Keperawatan Gawat Darurat
Data subyektif yang ditanyakan, meliputi
 Identitas pasien
Identitas pasien meliputi : nama, usia, pendidikan, pekerjaan,
agama dan alamat. Anda bisa bertanya langsung pada pasien
apabila pasien sadar atau pada keluarga apabila pasien bayi
atau tidak sadar.
 Keluhan utama yang dirasakan oleh pasien saat ini.
 Riwayat penyakit/keluhan yang sekarang dirasakan atau yang
berhubungan dengan sakit yang diderita sekarang.
 Usaha pengobatan yang telah dilakukan untuk mengatasi
keluhan
Data Obyektif
 Anda perhatikan/amati keadaan umum pasien : Kaji kesadaran
pasien, apakah pasien dalam kondisi sadar penuh
(composmentis), apatus, delirium, somnolen, stupor, koma.

6
 Kaji jalan nafas (Airway) : Anda lakukan observasi pada
gerakan dada,, apakah ada gerakan dada atau tidak. Apabila ada
gerakan dada spontan berarti jalan nafas lancar atau paten,
sedang apabila tidak ada gerakan dada walaupun diberikan
bantuan nafas artinya terjadi sumbatan jalan nafas.
 Kaji fungsi paru (breathing): Anda kaji/observasi kemapuan
mengembang paru, adakah pengembangan paru spontan atau
tidak. Apabila tidak bisa mengembang spontan maka
dimungkinkan terjadi gangguan fungsi paru sehingga akan
dilakukan tindakan untuk bantuan nafas.
 Kaji sirkulasi (Circulation) : Anda lakukan pengkajian denyut
nadi dengan melakukan palpasi pada nadi radialis, apabila tidak
teraba gunakan nadi brachialis, apabila tidak teraba gunakan
nadi carotis. Apabila tidak teraba adanya denyutan
menunjukkan gangguan fungsi jantung.
 Kaji Disability yaitu tingkat kesadaran pasien dengan
menggunakan GCS 6) Lakukan pengukuran tanda-tanda vital :
tekanan darah, nadi, suhu, jumlah pernafasan.
 Lakukan pemeriksaan fisik (data focus) sesuai dengan keluhan
pasien.
 Lakukan kolaborasi untuk pemeriksaan penunjang seperti :
EKG, foto rontgen dan pemeriksaan analisa gas darah.
C. Pelaporan / Dokumentasi
Dokumen yang harus diselesaikan meliputi laporan triage dan
laporan pengkajian gawat darurat serta tugas lainnya dan kemudian
dilaporkan ke pembimbing klinik baik institusi maupun rumah sakit.
2. Alat Pengkajian Nyeri
Alat pengkaji nyeri memberikan informasi tentang pengalaman
subjektif pasien terhadap nyeri. Alat tersebut memiliki standar basa yang sama
untuk menggambrkan tingkat keparahan nyeri dan memungkinkan perawat
gawat darurat untuk mendokumentasikan level nyeri dan membandingkan
level tersebut dari waktu ke waktu.

7
Semua IGD harus menetapkan standar pengkaji nyeri dan tindakan
yang perlu dilakukan berdasarkan urutan teknik pengkajian. Tidak ada satu
pun alat yang dapat di gunakan untuk semua populasi. Menentukan alat
pengkajian nyeri yang akan di gunakan dan untuk pasien yang mana dapat
membantu mencapai tujuan melakukan tindakan berbasis bukti, pengkajian
nyeri yang konsisten pada berbagai populasi yang dapat terjadi di IGD.
Pada kondisi tertentu khususnya pada kondisi gawat darurat, pasien
beresiko untuk merasakan nyeri yang diakibatkan oleh banyak faktor. Dalam
melakukan pengkajian nyeri ada beberapa metode yang dilakukan, diantaranya
yaitu :
A. Skala Nyeri Verbal
Pada umumnya skala dibagi atas skala kategorik (tidak sakit,
sakit ringan, sakit sedang, dan sakit berat) ataupun penggunaan skala
yang digambarkan sebagai garis horizontal atau vertical yang ujung-
ujungnya diberi nilai 0 menandakan tidak nyeri dan 10 menandakan
nyeri yang hebat
 Verbal Rating Scale
Verbal Rating Scale dari beberapa nomor yang
menggambarkan tingkat nyeri pada pasien. Jenis pengukuran
nyeri ini telah lama dipergunakan dan merupakan pengukuran
nyeri dalam bentuk sederhana. Dalam pengukurannya pasien
dapat ditanya bagaimana sifat dari nyeri yang dirasakan.
Tenaga medis dapat memilih nomor skor tingkat nyeri tersebut
dari apa yang dirasakan pasien. Skor tersebut terdiri dari empat
poin yaitu :
0 = Tidak nyeri
1 = Nyeri yang ringan yang dilaporkan pasien ketika ditanya
2 = Nyeri sedang yang dilaporkan pasien ketika ditanya
3 = Nyeri dihubungkan dengan respon suara, tangan ,
wajah merintih atau menangis

 Visual Analog Scale

8
VAS adalah suatu instrumen yang digunakan untuk
menilai intensitas nyeri dengan menggunakan sebuah tabel
garis 10 cm dengan pembacaan skala 0–100 mm
Cara penilaiannya adalah penderita menandai sendiri
dengan pensil pada nilai skala yang sesuai dengan intensitas
nyeri yang dirasakannya setelah diberi penjelasan dari peneliti
tentang makna dari setiap skala tersebut. Penentuan skor VAS
dilakukan dengan mengukur jarak antara ujung garis yang
menunjukkan tidak nyeri hingga ke titik yang ditunjukkan
pasien.

 Numeric Rating Scale


Numerical Rating Scale (NRS) hampir sama dengan
Visual Analog Scale, tetapi memiliki angka-angka sepanjang
garisnya, kisaran angka 0-10 dan pasien diminta untuk
menunjukkan rasa nyeri yang dirasakannya dimulai dari 0
digambarkan sebagai tidak ada nyeri dan 10 sebagai sangat
nyeri. Instrument ini digunakan pada pasien anak dan dewasa
yang dapat memahami dan mengikuti instruksi.

B. Skala Nyeri Non-Verbal


Skala nyeri non verbal digunakan untuk pasien yang
mengalami limitasi verbal baik karena usia, kognitif, maupun karena
berada dibawah pengaruh obat sedasi dan didalam mesin ventilator.
Berdasarkan guidelines yang dikeluarkan AHCPR tahun 1992
menyatakan penggunaan baik fisiologis dan respon tingkah laku
terhadap nyeri untuk dilakukan penilaian ketika self-report tidak
dilakukan.
 Skala FLACC (Face, Legs, Activity, Cry, Dan Consolability)

9
FLACC (face, legs, activity, cry, dan consolability)
mengkaji lima kategori yang terdap pada singkatan nama
instrument dan memberikan skor 0-2 untuk setiap kategori
Skala ini merupakan skala perilaku yang telah dicoba pada
anak usia 2 bulan sampai 7 tahun instrument ini juga sekarang
telah valid digunakan untuk orang dewasa.
Kriteria Skor = 0 Skor = 1 Skor = 2
Face Tidak ada Terkadang Dagung sering
ekspresi atau meringis, bergetar, rahang
senyum menarik diri, mengeras
dan tidak
tertarik
Legs Posisi normal Gelisah, Menendang atau
atau rileks tenang kaki diangkat
Activity Berbaring, Menggeliat, Melengkung,
posisi normal, bergerak maju kaku,
bergerak dengan mundur, menyentak
mudah tegang
Cry Tidak menangis Erangan dan Menangis terus,
merintih, berteriak atau
menangis menangis
sesekali terisak-isak,
sering mengeluh
Consolability Tenang, rileks Tenang dengan Sulit untuk
sentuhan, ditenangkan
pelukan, diajak atau didiamkan
bicara, mudah
teralihkan

 Behavioural Pain Scale (BPS)


Behavioural Pain Scale adalah instrument penilaian
nyeri yang digunakan untuk menilai nyeri pasien yang
tersedatif. Skala ini sudah divalidasi. BPS terdiri dari tiga
penilaian, yaitu ekspresi wajah, pergerakan ekstremitas, dan
komplians dengan mesin ventilator. Setiap subskala diskoring

10
dari 1 (tidak ada respon) hingga 4 (respon penuh). Oleh karena
itu skor berkisar dari 3 (tidak nyeri) hingga 12 (nyeri maksimal)

 Pain Assesment in Advance Dementia (PAINAD)


PAINAD (pain assessment in advanced dementia) skala
menggunakan pernapasan, vokalisasi negative, ekspresi wajah,
bahasa tubuh, dan rewel. Total skor berkisar 0-10 poin. Skala
ini menggunakan pernapasan, vokalisasi negative, ekspresi
wajah, bahasa tubuh dan rewel

 PIPP (Premature Infant Pain Profile)

11
PIPP (Premature Infant Pain Profile), pengkajian untuk
bayi premature dan neonatus, menggunakan usia kehamilan,
denyut jantung, saturasi oksigen, prilaku, alis, mata, dan
nasolabial. PIPP-R mencakup 3 indikator yaitu indikator
perilaku (termasuk aspek tonjolan alis, tekanan mata, dan
nasolabial alur), indikator fisiologis (termasuk saturasi oksigen
dan detak jantung) dan faktor kontekstual (termasuk usia
kehamilan dan kondisi perilaku). Dalam PIPP-R, skor item
individu dan total skor dimodifikasi untuk menunjukkan
bagaimana usia kehamilan (GA) dan keadaan perilaku (BS)
dihipotesiskan untuk mempengaruhi fisiologis dan variabel
perilaku. Dalam PIPP-R, indikator kontekstual baru diberikan
nilai jika indikator lain menunjukkan nilai lebih dari 0. Jika
bayi mendapat oksigen, skor saturasi oksigen diberikan
maksimal nilai.

 Critical-Care Pain Observation Tool (CPOT)


CPOT merupakan alat ukur nyeri yang cukup aplikatif
untuk digunakan di area perawatan kritis karena memiliki
definisi operasional yang jelas pada setiap butir observasinya.

12
Instrument ini digunakan pada pasien yang dalam pengaruh
sedasi atau tidak sadar dan pasien yang dirawat di unit ICU
dengan menggunakab ventilator. Cara penggunaannya pasien
diukur dengan cara mengkaji gerakan tubuh, ekspresi wajah
pasien, ketegangan otot, mengikuti ventilator dan penggunaan
obat kemudiaan dicocokkan pada table

2.6 Manajemen Pada Pasien Sadar


1. Manajemen Farmakologi Nyeri
A. Analgestik
Pemberian analgestik merupakan metode penenganan nyeri
yang paling umum dan sangat efektif, ada tiga tipe analgestik yaitu
non-opioid, opioid, koanalgestik (adjuvants).
 Analgestik non-opioid
Analgestik non-opioid yang efektif dalam
penetalaksanaan nyeri ringan sampai sedang. Analgestik non-
opioid mencakup asetaminofen dan obat anti inflamasi non-
steroid (nonsteroidal anti-inflammatory drugs/NSAIDs).

13
Asetaminofen/parasetamol (Tylenol) memiliki sifat
analgestik-antipiretik, namun kurang memiliki efek
antiinflamasi karena obat ini merupakan inhibitor COX yang
lemah apabila terdapat peroksida dalam konsentrasi yang tinggi
seperti yang dijumpai pada jaringan perifer yang meradang.
Kelebihan dari obat ini bahwa tidak menimbulkan efek pada
kardiovaskular, pernafasan, tidak menimbulkan gangguan
asam-basa, gangguan fungsi trombosit, atau aktivitas COX-1 di
lambung dan ginjal. Kekurangan utama dari obat ini adalah
dapat menyebabkan kerusakan hati fatal dalam dosis yang
berlebihan
Obat yang termasuk dalam NSAIDs (nonsteroidal anti-
inflammatory drugs) seperti aspirin dan ibuprofen, yang
menurunkan rasa nyeri untuk nyeri akut, ringan hingga sedang
yang timbul sesekali, seperti nyeri yang berhubungan dengan
ketegangan otot, sakit kepala, pasca oprasi ringan. NSAIDs
bekerja dengan cara menghambat sintesis prostaglandin
sehingga sel-sel berespon terhadap peradangan/inflamasi.
Kebanyakan obat ini bekerja pada reseptor saraf perifer untuk
mengurangi transmisi stimulasi nyeri.
 Analgestik Opioid
Analgesik opioid atau narkotik secara umumnya
digunakan untuk nyeri yang sedang sampai berat, seperti nyeri
pasca operasi dan nyeri malign. Ini bekerja pada sistem saraf
pusat untuk menghasilkan kombinasi efek yang mendepresi dan
menstimulasi. Analgesik narkotika, apabila diberikan secara
oral atau injeksi, bekerja pada pusat otak yang paling tinggi dan
medulla spinalis melalui ikataan dan reseptor opiat untuk
memodifikasi persepsi nyeri dan reaksi terhadap nyeri. Morfin
sulfat merupakan derivat opium dan memiliki karakteristik efek
analgesik sebagai berikut:
 Meningkatkan ambang nyeri, sehingga menurunkan
presepsi nyeri.

14
 Mengurangi kecemasan dan ketakutan, yang merupakan
komponen reaksi terhadap nyeri.
 Menyebabkan orang tertidur walaupun sedang
mengalami nyeri berat.
Bahaya morfin sulfat dan analgesik narkotik
adalah berpotensi mendepresi fungsi sistem saraf dan
vital. Opiat menyebabkan depresi pernapasan melalui
depresi pusat pernapasan di dalam batang otak. Klien
juga mengalami efek samping, seperti mual, muntah,
konstipasi, dan perubahan proses mental.
 Analgestik Adjuvants (koanalgestik)
Koanalgestik merupakan obat yang awalanya
dikembangkan untuk mengobati kondisi selin nyeri namun
kemudian ditemukan memiliki kandungan analgestik. Sebagai
contoh antidepresan trisiklik (northriptyline) telah berhasil
dalam mengobati nyeri neuropatik, kortikosterid dapat
mengurangi nyeri yang berhubungan dengan inflamasi dan
metastase tulang, bisfosfonat dan kalsitoin yang diberikan
untuk nyeri pada tulang. Contoh lainnya antidepresan,
antikonvulsan, agonis α2, dll
2. Manajemen Nyeri Non Farmakologi
Terapi dasar nyeri di IGD adalah terapi farmakologis. Namun karna nyeri
merupakan respons dari pengalaman fisik dan emosional, tambahah
intervensi nonfarmakologis yang dapat mengatasi emosi negative
seperti ketakutan dan cemas harus dilakukan untuk meningkatkan
keefektifan intervensi nonfarmakologi. Beberapa intevensi yang
dapat dilakukan:
 Menempatkan pasien pada posisi nyaman
 Immobilisasi daerah yang terluka untuk mengurangi nyeri lebih
 Berikan kompres hangat, untuk mengurangi nyeri akibat infiltrasi jalur
intravena
 Berikan kompres dingin untuk patah tulang dan sprain untuk
mengurangi nyeri pada pembengkakan

15
 Minta pasien untuk focus pada hal lain selain rasa nyeri (distraksi)
teknik distraksi sesuai usia
2.7 Manajemen Pada Pasien Tidak Sadar
Penanganan terhadap nyeri secara umum dilakukan dengan cara Non-
Farmakologis dan Farmakologis. Dibawah ini cara penanganan nyeri berdasarkan
tingkat berat ringatnya nyeri yang dirasakan pasien
1. Nyeri Ringan (Skala 1-3)
Pada pasien dengan nyeri ringan atau skala 1-3, secara umum
penanganannya dilakukan melalui tindakan Non-Farmakologi yang
disesuaikan menurut kemampuan pasien seperti tindakan dibawah ini:
A. Stimulasi Kulit
Teknik ini mendistraksi pasien dan memfokuskan perhatian
pada stimulas taktil jauh dari sensasi yang menyakitkan, sehingga
mengurangi persepsi nyeri. Beberapa tindakan yang mengurangi rasa
nyeri adalah:
 Massage: Suatu tindakan untuk memberikan rasa nyaman
kepada pasien sehingga dapat membantu relaksasi dan
menurunkan ketegangan otot.
 Kompres Panas atau Dingin. Seperti : bantalan pemanas,
kantong es, massage es, kompres panas atau dingin, secara
umum dapat meredakan nyeri dan meningkatkan pemulihan
area cidera.
 Stimulasi Kontra Lateral. Immobilisasi : Memberikan bebat
atau alat penyangga untuk nyeri pada area persendian dan
Posisioning : Memberikan posisi tidur yang nyaman sehingga
dapat mengurangi penekanan pada area cidera
2. Nyeri Sedang (Skala 4-6)
Pada pasien dengan nyeri sedang, penangannya dapat dilakukan
melalui tindakan Non-Farmakologi dan dikombinasi dengan Farmakologi.
Pada nyeri tingkat sedang ini perawat harus melakukan kolaborasi dengan
DPJP atau Dokter jaga
3. Nyeri Berat (Skala 7-10)

16
Pada pasien dengan nyeri berat, penanganannya secara umum
menggunakan Farmakologi. Manajemen nyeri pada pasien kritis memerlukan
pemilihan yang tepat obat-obatan dan rute. Dalam hal ini, pasien kritis lebih
rentan terhadap efek samping dan dosis yang lebih tinggi daripada pasien
umum. Menggunakan lebih dari satu obat dari kelas yang berbeda dapat
berbeda secara sinergis, menjaga dosis masing-masing rendah dan
menghindari efek samping. Yang menjadi andalan pengobatan di ICU adalah
opioid. Ini termasuk asetaminofen, obat anti inflamasi non steroid (NSAID),
dan inhibitor, anti depressan, trisiklik (TCA) seperti Amitriptyline, dan obat-
obatan anti neuropati seperti gabapentin sebaiknya dalam pemberian obat IV
opioid dianggap sebagai kelas obat pilihan pertama untuk mengobati nyeri
neuropatik pada pasien kritis.

17
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Nyeri itu sendiri adalah salah satu keluhan yang paling umum muncul di Unit
Gawat Darurat. Hal ini juga dapat menjadi indikasi kondisi gawat darurat medis yang
memerlukan penanganan segera. Dalam melakukan pengkajian nyeri ada beberapa
metode yang dilakukan, diantaranya yaitu skala verbal (verbal Rating Scale & Visual
Analog Scale) dan nonverbal (Skala FLACC meliputi Behavioural Pain Scale (BPS),
Pain Assessment in Advance Dementia (PAINAD), Critical-Care Pain Observation
Tool (CPOT)).
Manajemen nyeri yang diberikan pada pasien sadar adalah manajemen nyeri
Farmakologi dan manajemen nyeri Non-Farmakologi. Adapun manajemen nyeri pada
pasien tidak sadar dengan cara Non-Farmakologis dan Farmakologis berdasarkan
tingkat berat ringannya nyeri yang dirasakan pasien.
3.2 Saran
Diharapkan materi ini dapat menjadi bahan informasi dalam meningkatkan
wawasan pengetahuan bagaimana pengkajian dan manajemen pasien sadar dan tidak
sadar di Instalasi Gawat Darurat dalam melakukan praktek keperawatan dirumah sakit
dan pembelajaran di akademik.

18
DAFTAR PUSTAKA
Bahruddin, M. (2017). Patofisiologi Nyeri. Jurnal UMM, 13(1), 7-13.

Barr, J., Fraser, G.L., Puntillo, K.A., Ely, E.W., Gelinas, C., Dasta, J.F., et al. (2013). Clinical

practice guidelines for the management of pain, agitation, and delirium in adult ICU

patients. Crit Care Med, 41, 263–306.

Hicks R., WebMD (2016). Pain management guide. Nerve pain treatments.

https://www.webmd.com/pain-management/guide/default.htm

Herr, K., Coyne, P., Key, T., Manworren, R., McCaffery, M., & Merkel, S. (2006). Pain

assessment in the nonverbal patient: Position statement with clinical practice

recomendations. Pain Management Nursing, 7, 44–52.

Mardalena, I. (2019). Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.

Martin L., WebMD (2017). Pain Types and Classifications. https://www.webmd.com/pain-

management/guide/pain-types-and-classifications#1

Potter, Patricia A. dan Anne G. Perry, 2005, Fundamental Keperawatan. Edisi 4, Jakarta:

EGC

Priambodo, A. P., Ibrahim, K., & Nursiswati. (2016, Agustus). Pengkajian Nyeri pada Pasien

Kritis dengan Menggunakan Critical Pain Observation Tool (CPOT) di Intervensive

Care Unit (ICU). Jurnal UNPAD, 4(2), 162-169.

19
Wahyuningsih, I. S. (2019, April). Sensitivitas dan Spesifitas Critical Care Pain

Observational Tool (CPOT) sebagai Instrumen Nyeri pada Pasien Kritis Dewasa Paska

Pembedahan dengan Ventilator. Jurnal Keperawatan BSI, 7(1), 25-31.

20

Anda mungkin juga menyukai