Anda di halaman 1dari 46

KONSEP HOSPITALISASI DAN KONSEP BERMAIN

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 1

ALIFAH UMMU ZAKIYAH (R011181044) ANNISA NUR RAMADHANI (R011181332)

ANDI BASMALAH H (R011181020) ISYATIR RODHIAH (R011181342)

FARAH FATHIAH (R011181048) FADHILLA IDRUS (R011181356)

GABRELA ANASTASIA B (R011181040) YASMIN PUTRI ISLAMAY (R011181350)

INTAN SYARIF (R011181310) ANDI NILAWATI (R011181302)

WAODE SITTI ALIF M (R011181314) FACHRUDDIN NURDIN (R011181346)

NUR AZIZAH (R011181338)

KELAS REGULER B

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2020

i
KATA PENGANTAR

Alhamudlillah, Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha
Esa karena atas Berkat, Rahmat, dan Anugerah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah berjudul Konsep Hospitalisasi Pada Anak
dan Konsep Bermain. Shalawat dan salam juga semoga senantiasa tercurah
kepada manusia terbaik di bumi, Nabi Allah, Muhammad SAW.

Dalam penyusunan makalah ini kami mendapatkan banyak bantuan dari


rekan-rekan, oleh karenanya ucapan terima kasih yang tak terhingga kami
haturkan. Makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Keperawatan Anak Semester 4. Makalah ini diharapkan dapat memberi
pengetahuan bagi pembaca dan bisa bermanfaat.

Kami sadar, masih sangat banyak kekurangan yang terdapat dalam


penyusunan makalah ini, karena itu kritik dan saran yang membangun sangat
kami harapkan untuk menjadi pelajaran dan perbaikan pada penulisan makalah
selanjutnya.

Makassar, Maret 2020

Penyusun

ii
DAFTAR IS
KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1
1. Latar Belakang.....................................................................................................1
2. Rumusan masalah................................................................................................3
3. Tujuan Masalah...................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................5
1. Konsep Hospitalisasi pada Anak.........................................................................5
1.1. Definisi Hospitalisasi....................................................................................5
1.2. Reaksi Anak, Orang Tua, dan Saudara Kandung Terhadap
Hospitalisasi Anak....................................................................................................6
1.3. Efek Hospitalisasi pada Anak....................................................................11
1.4. Peran Perawat untuk meminimalkan Stres Hospitalisasi.......................12
2. Konsep Bermain.................................................................................................16
2.1. Pengertian bermain....................................................................................16
2.2. Fungsi Bermain..........................................................................................18
2.3. Jenis-jenis Permainan................................................................................22
2.4. Bermain terapeutik sesuai dengan tingkatan usia...................................25
2.5. Tahapan Perkembangan Bermain Anak..................................................33
2.6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Bermain Pada Anak.......................34
2.7. Pedoman untuk Keamanan Bermain........................................................35
2.8. Alat Permainan Edukatif (APE)...............................................................36
2.9. Bermain di Rumah Sakit...........................................................................38
BAB III PENUTUP........................................................................................................40
1. Kesimpulan.........................................................................................................40
2. Saran...................................................................................................................41
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................42

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Hospitalisasi adalah suatu proses karena alasan berencana maupun darurat
yang mengharuskan anak dirawat atau tinggal di rumah sakit untuk mendapatkan
perawatan yang dapat menyebabkan beberapa perubahan psikis pada anak.
Perubahan psikis terjadi dikarenakan adanya suatu tekanan atau krisis pada anak.
Jika seorang anak di rawat di rumah sakit, maka anak tersebut akan mudah
mengalami krisis yang disebabkan anak mengalami stres akibat perubahan baik
terhadap status kesehatannya maupun lingkungannya dalam kebiasaan sehari-hari.
Selain itu, anak mempunyai sejumlah keterbatasan dalam mekanisme koping
untuk mengatasi masalah maupun kejadian-kejadian yang sifatnya menekan
(Nursalam, Susilaningrum, dan Utami,2005)

Bermain adalah cerminan kemampuan fisik, intelektual, emosional dan sosial


dan bermain merupakan media yang baik untuk belajar karena dengan bermain
anak akan berkata-kata, belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan, melakukan
apa yang dapat dilakukan dan mengenal waktu, jarak, serta suara (Wong, 2004).
Bermain di Rumah Sakit, Bermain bagi anak merupakan suatu kebutuhan. Dengan
bermain maka pertumbuhan dan perkembangan anak akan terstimulasi. Saat anak
dalam keadaan sakit dan harus di rawat di rumah sakit, maka kebutuhan bermain
harus tetap difasilitasi. Walaupun demikian tentu ada perbedaan antara bermain di
rumah dan bermain di rumah sakit, karena selain untuk mendukung fase tumbuh
kembang, bermain di rumah sakit juga dapat berfungsi sebagai terapi. Untuk
mendukung proses pengobatan, maka bermain di rumah sakit harus memenuhi
syarat yang telah di tentukan di antaranya:

a. Anak tidak banyak menggunakan energi, waktu bermain lebih singkat


untuk menghindari kelelahan. Alat permainan yang digunakan bersifat
sederhana. Contoh permainannya: menyusun balok, membuat kerajinan
tangan dan menonton televisi. Relatif aman dan terhindar dari infeksi
silang.

1
b. Sesuai dengan kelompok usia. Untuk rumah sakit yang mempunyai tempat
bermain, hendaknya waktu bermain perlu dijadwalkan dan dikelompokkan
sesuai dengan usia karena kebutuhan bermain berbeda antara masing-
masing tahap usia.
c. Tidak bertentangan dengan terapi..
Anak bermain pada dasarnya agar ia memperoleh kesenangan, sehingga
tidak akan merasa jenuh. Bermain tidak sekedar mengisi waktu tetapi
merupakan kebutuhan anak seperti halnya makan, perawatan dan cinta
kasih. Fungsi utama bermain adalah merangsang perkembangan sensoris-
motorik, perkembangan sosial, perkembangan kreativitas, perkembangan
kesadaran diri, perkembangan moral dan bermain sebagai terapi
(Soetjiningsih, 1995).

Untuk lebih jelasnya di bawah ini terdapat beberapa fungsi bermain pada
anak di antaranya:

a. Membantu perkembangan sensorik dan motorik


b. Membantu perkembangan kognitif
c. Meningkatkan sosialisasi anak
d. Meningkatkan kreatifitas
e. Meningkatkan kesadaran diri
f. Mempunyai nilai terapeutik
g. Mempunyai nilai moral pada anak
Dalam bermain kita mengenal beberapa sifat bermain pada anak, di
antaranya bersifat aktif dan bersifat pasif, sifat demikian akan memberikan jenis
permainan yang berbeda. Dikatakan bermain aktif jika anak berperan secara aktif
dalam permainan, selalu memberikan rangsangan dan melaksanakannya.
Sedangkan bermain pasif terjadi jika anakmemberikan respons secara pasif
terhadap permainan dan lingkungan yang memberikan respons secara aktif.
Melihat hal tersebut kita dapat mengenal macam-macam dari permainan di
antaranya (Nursalam, 2005):

2
a. Berdasarkan isinya

1) Bermain afektif sosial (Social affective play)

2) Bermain bersenang-senang (Sense of pleasure play)

3 Games atau permainan

4) Unoccupied behavior

5) Dramatic play.

b. Berdasarkan karakteristik sosial:

1) Onlooker play.

2) Solitary play

3) Parallel play

4) Associative play

5) Cooperative play

Menurut Supartini (2004), ada beberapa faktor yang mempengaruhi bermain,


yaitu:

a) Tahap perkembangan anak


b) Status kesehatan anak
c) Jenis kelamin anak
d) Lingkungan
e) Alat dan jenis permainan
2. Rumusan masalah

a. Bagaiaman konsep hospitalisasi anak?


b. Bagaimana reaksi anak, orang tua dan saudara kamdung terhadap
hospitalisasi anak
c. Bagaiaman efek hospitalisasi pada anak

3
d. Bagaimana peran perawat untuk meminimalkan sters hospitalisasi
e. Bagaiaman konsep bermain pada anak
f. Apa saja jenis permainan pada anak
g. Bagaiaman bermain sesuia usia anak
h. Bagaiamana tahapan perkembangan anak
i. Apa saja factor yang mempengaruhi bermain pada anak
j. Apa saja pedoman dan alat bermaina edukatif pada anak
k. Bagaiamana bermain di rumah sakit pada anak
3. Tujuan Masalah

a. Memahami konsep hospitalisasi anak


b. Mengetahui reaksi anak, orang tua dan saudara kamdung terhadap
hospitalisasi anak
c. Mengidentifikasi efek hospitalisasi pada anak
d. Mengidentifikasi peran perawat untuk meminimalkan sters hospitalisasi
e. Mengidentifikasi konsep bermain pada anak
f. Memahami jenis permainan pada anak
g. Mengidentifikasi bermain sesuia usia anak
h. Mengidentifikasi tahapan perkembangan anak
i. Memahami factor yang mempengaruhi bermain pada anak
j. Mengetahui pedoman dan alat bermaina edukatif pada anak
k. Mengidentifikasi bermain di rumah sakit pada anak

4
BAB II
PEMBAHASAN
1. Konsep Hospitalisasi pada Anak
1.1. Definisi Hospitalisasi

Hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang


berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit,
menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah.
Selama proses tersebut, anak dan orang tua dapat mengalami berbagai kejadian
yang menurut beberapa penelitian ditunjukan dengan pengalaman yang sangat
traumatik dan penuh dengan stres [ CITATION Sup04 \l 14345 ].

Menurut Nurlaila, Utami, & Cahyani (2018), kondisi sakit dan perawatan di
Rumah Sakit merupakan kondisi krisis bagi anak dan dapat menyebabkan stress.
Khususnya pada bayi dan anak usia toddler, stress hospitalisasi dapat disebabkan
karena :

a. Perubahan kegiatan dan lingkungan


b. Keterbatasan mekanisme koping pada anak untuk menghadapi stress
c. Kehilangan kontrol. Perasaan kehilangan kontrol pada anak di
lingkungan rumah sakit akan meningkatkan stress pada anak saat
menjalani rawat inap. Berbagai macam situasi yang menyebabkan anak
kehilangan kontrol adalah pembatasan kegiatan fisik dan terapi
pengobatan rutin
d. Nyeri. Takut adanya perlukaan tubuh dan nyeri sering kali menjadi
stressor bagi anak di Rumah Sakit. Pada perawatan di Rumah Sakit,
perawat sebaiknya memperhatikan adanya risiko cedera pada anak serta
reaksi nyeri pada berbagai tingkatan usia

5
1.2. Reaksi Anak, Orang Tua, dan Saudara Kandung Terhadap
Hospitalisasi Anak

1.1.1. Reaksi anak terhadap hospitalisasi


Pada umumnya, reaksi anak terhadap sakit adalah kecemasan karena
perpisahan, kehilangan, perlukaan tubuh, dan rasa nyeri.
Menurut [ CITATION Sup04 \l 14345 ]. Berikut ini reaksi anak terhadap sakit
dan dirawat di rumah sakit sesuai dengan tahapan perkembangan anak :
a. Masa bayi (0-1 Tahun)
Penyebab utama reaksi stress hospitalisasi pada usia 0 – 11 bulan adalah
karena dampak dari perpisahan dengan orang tua sehingga ada gangguan
pembentukan rasa percaya dan kasih sayang. Pada anak usia lebih dari 6 bulan
terjadi stranger anxiety atau cemas apabila berhadapan dengan orang yang tidak
dikenalnya dan cemas karena perpisahan. Reaksi yang sering muncul pada anak
adalah menangis, marah, dan banyak melakukan gerakan sebagai sikap stranger
anxiety. (Nurlaila, Utami, & Cahyani, 2018). Respon terhadap nyeri atau adanya
perlukaan biasanya menangis keras, pergerakan tubuh yang banyak dan ekspresi
wajah yang tidak menyenangkan.
Bila bayi berpisah dengan orang tua maka pembentukan rasa percaya dan
pembinaan kasih sayangnya terganggu. Pada bayi usia 6 bulan sulit untuk
memahami secara maksimal bagaimana reaksi bayi bila dirawat karena bayi
belum dapat mengungkapkan apa yang dirasakannya, sedangkan pada bayi
dengan usia yang lebih dari 6 bulan, akan banyak menunjukkan perubahan.
(Nurlaila, Utami, & Cahyani, 2018).
b. Masa Toddler ( 2-3 Tahun)
Anak usia ini, bereaksi terhadap hospitalisasi sesuai dengan sumber
stresnya. Sumber stres yang utama adalah cemas akibat perpisahan. Anak
secara verbal akan menyampaikan keinginan untuk selalu bersama orang tua
dan meminta orang tua untuk selalu bersamanya, serta mencari orang tua jika
tidak ada disampingnya. (Nurlaila, Utami, & Cahyani, 2018). Anak usia

6
toddler dalam menunjukkan perilaku sesuai dengan tahapan perkembangannya.
Adapun respon perilakunya sebagai berikut:
 Tahap Protes : menangis kuat, menjerit memanggil orang tua atau menolak
perhatian yang diberikan orang lain.
 Tahap Putus Asa : menangis berkurang, anak tidak aktif, kurang
menunjukkan minat untuk bermain dan makan, sedih, dan apatis.
 Tahap Pengingkaran : secara samar mulai menerima perpisahan, membina
hubungan secara dangkal, dan anak mulai terlihat menyukai
lingkungannya.

Terhadap perlakuan yang dihadapi atau nyeri yang dirasakan karena


mendapatkan tindakan invasif, anak akan meringis, menggigit bibirnya, dan
memukul. Namun anak dapat menunjukkan lokasi rasa nyeri dan
mengomunikasikannya.

c. Masa Pra Sekolah (3-6 Tahun)


Anak usia pra sekolah lebih dapat menoleransi periode perpisahan dengan
ornag tua. Anak usia ini juga lebih mudah beradaptasi dengan orang dewasa yang
baru dikenalnya. (Nurlaila, Utami, & Cahyani, 2018). Namun reaksi terhadap
perpisahan yang ditunjukkan anak usia pra sekolah adalah dengan menolak
makanan, sering bertanya (kapan orang tua akan datang mengunjungi) menarik
diri dari orang lain, menangis walaupun secara perlahan, dan tidak kooperatif
terhadap petugas kesehatan.
Perawatan di Rumah Sakit membuat anak kehilangan kontrol terhadap
dirinya karena mengharuskan adanya pembatasan aktifitas anak sehingga anak
merasa kehilangan kekuatan diri. Perawatan di Rumah Sakit sering di presepsikan
anak usia ini sebagai hukuman sehingga anak akan merasa malu, bersalah, atau
takut. Ketakutan anak terhadap perlakuan muncul karena anak menganggap
tindakan atau prosedur mengancam integritas tubuhnya, hal ini menimbulkan
reaski agresif dengan marah dan berontak, ekspresi verbal dengan mengucapkan
kata-kata marah, tidak mau bekerja sama dengan perawat, dan ketergantungan
terhadap orang tua.

7
d. Masa Sekolah (6-12 Tahun)
Anak usia sekolah mempunyai kemampuan koping yang lebih baik untuk
menghadapi stress hospitalisasi. (Nurlaila, Utami, & Cahyani, 2018). Perawatan
anak di Rumah Sakit memaksa anak untuk berpisah dengan lingkungan yang
dicintainya, yaitu keluarga dan terutama kelompok sosialnya yang menimbulkan
kecemasan. Anak merasa kehilangan kontrol karena adanya pembatasan aktifitas,
hal ini berdampak pada perubahan peran dalam keluarga, anak kehilangan
kelompok sosialnya karena ia biasa melakukan kegiatan bermain atau pergaulan
sosial, perasan takut mati, dan adanya kelemahan fisik. Reaksi terhadap perlakuan
atau rasa nyeri yaitu dengan ekspresi baik secara verbal maupun non verbal
karena anak sudah mampu mengkomunikasikannya. Anak usia ini sudah mampu
mengontrol perilakunya jika merasa nyeri, yaitu dengan menggigit bibir dan
memegang sesuatu dengan erat.
e. Masa Remaja (12-18 Tahun)
Pada masa remaja, identik dengan pencarian identitas pribadi dan
kebebasan. (Nurlaila, Utami, & Cahyani, 2018). Anak usia remaja yang dirawat di
Rumah Sakit akan merasa kehilangan dan timbul perasaan cemas karena berpisah
dengan teman sebayanya. Pembatasan aktifitas di Rumah Sakit membuat anak
kehilangan kontrol terhadap dirinya dan menjadi bergantung pada keluarga atau
petugas kesehatan di rumah sakit. Reaksi yang sering muncul terhadap
pembatasan aktifitas ini adalah dengan menolak perawatan atau tindakan yang
dilakukan padanya atau anak tidak mau kooperatif dengan petugas kesehatan atau
menarik diri dari keluarga, sesama pasien, dan petugas kesehatan.
1.1.2. Reaksi orang tua terhadap hospitalisasi anak
Menurut Supratini (2004), reaksi orang tua terhadap perawatan anak di
rumah sakit dan latar belakang yang menyebabkannya dapat diuraikan sebagai
berikut :
a. Perasaan cemas dan takut
Perasaan ini sering muncul pada saat orang tua melihat anak mendapat
prosedur menyakitkan, seperti pengambilan darah, injeksi, infus, dilakukan fungsi
lumbal, dan prosedur invasif lainnya.Perasaan cemas dapat muncul pada saat

8
pertama kali datang ke rumah sakit dan membawa anaknya untuk dirawat, merasa
asing dengan lingkungan Rumah Sakit. Bahkan, orang tua yang pernah
mempunyai pengalaman dirawat di Rumah Sakit akan merasa cemas karena
pengalaman sebelumnya yang menimbulkan trauma, traumatik ini bisa dialami
karena ada interaksi yang tidak baik dengan petugas kesehatan atau menjenguk
kerabat yang sakit dan meninggal di rumah sakit. Perilaku yang sering
ditunjukkan orang tua berkaitan dengan adanya perasaan cemas dan takut adalah
sering bertanya tentang hal yang sama secara berulang pada orang yang berbeda,
gelisah, ekspresi wajah tegang, dan bahkan marah.
b. Perasaan sedih
Perasaan ini muncul terutama pada saat anak dalam kondisi terminal dan
orang tua mengetahui bahwa tidak ada lagi harapan anaknya untuk sembuh.
Namun orang tua dituntut untuk berada disamping anaknya dan memberi
bimbingan spiritual pada anaknya, dan disisi lain meraka hadapi
ketidakberdayaannya karena perasaan terpukul dan sedih. Pada kondisi ini, orang
tua meanunjukkan perilaku isolasi atau tidak mau didekati oleh orang lain, bahkan
bisa tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan.
c. Perasaan Frustasi
Pada kondisi anak yang telah dirawat cukup lama dan dirasakan tidak
mengalami perubahan serta tidak adekuatnya dukungan psikologis yang diterima
orang tua baik dari keluarga maupun kerabat lainnya maka orang tua akan merasa
putus asa, bahkan frustasi. Hal ini, membuat perilaku orang tidak kooperatif,
putus asa, menolak tindakan, bahkan menginginkan pulang paksa.
1.1.3. Reaksi Saudara Kandung terhadap Perawatan Anak di Rumah Sakit
Pada kondisi tertentu orang tua akan lebih memprioritaskan anak yang
sedang sakit, terutama pada permulaan dirawat, pada fase akut perawatan, atau
pada kondisi sakit yang terminal. Kedua orang tua terpaksa harus tinggal untuk
menemani anak di rumah sakit, dan anak yang lainnya hanya ditemani pembantu,
kakek, nenek, dan/atau saudara yang lain. Selain kehadiran fisik orang tua di
rumah sakit, perhatian dalam bentuk lain, misalnya uang, makanan, dan hal yang
berhubungan dengan keperluan perawatan anak di rumah sakit menuntut orang tua

9
untuk memprioritaskannya dibanding keperluan anak yang lain karena bila tidak,
akan menghambat pengobatan atau perawatan yang sedang dijalankan.
Hal ini akan menimbulkan perasaan dan fikiran yang negatif saudaranya
dirumah, terutama pada anak yang lebih kecil dan seringkali orang tua kurang
menyadari hal ini.
Reaksi yang sering muncul pada saudara kandung terhadap kondisi ini
adalah :
 Rasa marah timbul karena jengkel terhadap orang tua yang dinilai tidak
memperhatikannya.
 Cemburu atau iri timbul karena dirasakan orang tuanya lebih
mementingkan saudaranya yang sedang ada di rumah sakit, dan ia tidak
dapat memahami kondisi ini dengan baik.
 Benci timbul tidak hanya pada saudaranya, tetapi juga pada situasi yang
dinilainya sangat tidak menyenangkan.
 Rasa bersalah dapat muncul karena anak berfikir mungkin saudaranya
sakit akibat kesalahannya. Ia mungkin akan mengingat kejadian yang
telah berlalu sebelum saudarnya sakit dan ia menghubungkan hal ini
dengan kesalahannya.
 Perasaan takut dan cemas tentang keberadaan saudaranya yang sedang
dirawat sering muncul karena ketidaktahuan tentang kondisi
saudaranya.
 Perasaan sepih dan sendiri muncul karena situasi dirumah dirasakan
tidak seperti biasanya ketika anggota keluarga lengkap berada dirumah,
dalam situasi penuh kehangatan, bercengkraman dengan orang tua dan
saudaranya.

Dalam Penelitan Moghaddam dalam Jurnal Iranian Journal of Pediatric (2011)


menunjukkan bahwa hospitalisasi pada anak-anak dapat membawa perubahan
negatif dan tekanan mental dan spiritual pada anak-anak dan orang tua mereka,
serta mengancam kesehatan mereka. Perhatian mengenai kegawatan penyakit

10
pada anak-anak, lingkungan rumah sakit, hubungan timbal balik, masalah
personal orang tua dan masalah emosional.

1.3. Efek Hospitalisasi pada Anak

Menurut Nurlaila, Utami, & Cahyani (2018), terdapat beberapa efek yang
terjadi dalam hospitalisasi pada anak, yaitu :
1.1.4. Faktor risiko individu
Sejumlah risiko membuat beberapa anak lebih rentan daripada yang lainnya
terhadap penyebab stress di Rumah Sakit, antara lain :
1) Tempramen yang Sulit
Anak-anak bertempramen sulit biasanya sangat aktif, peka rangsang, dan
mempunyai kebiasaan yang tidak teratur. Anak dengan tipe tempramen ini
lambat beradaptasi dengan rutinitas, orang, atau situasi baru. Ekspresi mood
biasanya kuat dan terutama negatif. Mereka sering menimbulkan tantrum
kekerasan.
2) Kurangnya kecocokan antara anak dengan orang tua
3) Usia (khususnya anak usia 6 bulan, sampai dengan 5 tahun)
4) Anak laki-laki
5) Kecerdasan di bawah rata-rata
6) Berbagai macam penyebab hospitalisasi dan waktu lamanya hospitalisasi
(frekuensi hospitalisasi). (Nurlaila, Utami, & Cahyani, 2018)
1.1.5. Perubahan pada Populasi Anak di Rumah Sakit
Alasan anak dirawat di rumah sakit saat ini sudah berbeda dibandingkan
dengan dua decade yang lalu. Terlepas dari tren yang berkembang tentang
penyakit yang diderita anak selama dirawat di rumah sakit, sebagian besar anak
dirawat di rumah sakit dengan masalah yang lebih serius dan kompleks daripada
anak yang dirawat di rumah sakit pada masa lalu. Focus perawatan anak dalam
beberapa tahun terakhir adalah pada peningkatan lama rawat inap karena
perawatan medis dan masalah yang kompleks serta diagnosis yang sulit dipahami
dan masalah psikososial anak yang rumit. (Nurlaila, Utami, & Cahyani, 2018)

11
1.1.6. Manfaat Hospitalisasi pada Anak
1) Memberikan kesempatan kepada keluarga untuk memperlajari reaksi
anak terhadap stress hospitalisasi. Hal ini akan membantu
perkembangan keluarga dan pasien
2) Hospitalisasi sebagai media untuk belajar bagi keluarga
3) Meningkatkan kemampuan kontrol diri dengan memberikan
kesempatan pasien dan keluarga mengambil keputusan
4) Meningkatkan pengalaman pasien dan keluarga melalui interaksi
pasien dengan pasien lainnya. (Nurlaila, Utami, & Cahyani, 2018)

1.4. Peran Perawat untuk meminimalkan Stres Hospitalisasi

a. Mencegah atau meminimalkan perpisahan


Tujuan perawatan primer di rumah sakit adalah untuk mencegah perpisahan
terutama untuk anak dibawah usia 5 tahun. Rumah sakit hendaknya tidak
menganggap orang tua sebagai pengunjung dan mengizinkan orang tua bersama
anak sepanjang waktu. Beberapa Rumah Sakit menggunakan konsep family
centered care. Orang tua merupakan partner dalam perawatan anak di rumah sakit.
(Nurlaila, Utami, & Cahyani, 2018).
Untuk mencegah atau meminimalkan dampak perpisahan dapat dilakukan
dengan cara :
1. Melibatkan orang tua berperan aktif dalam perawatan anak dengan cara
membolehkan mereka untuk tinggal bersama anak selama 24 jam
(rooming in).
2. Jika tidak mungkin untuk rooming in, beri kesempatan orang tua untuk
melihat anak setiap saat dengan maksud mempertahankan kontak
antarmereka.
3. Modifikasi ruang perawatan dengan cara membuat situasi ruang rawat
seperti dirumah, diantaranya dengan membuat dekorasi ruangan yang
bernuansa anak.
4. Mempertahankan kontak dengan kegiatan sekolah, diantaranya dengan
memfasilitasi pertemuan dengan guru, teman sekolah dan membantunya

12
melakukan surat-menyurat dengan siapa saja yang anak inginkan.
(Nurlaila, Utami, & Cahyani, 2018)
b. Meminimalkan Kehilangan Kontrol dan Otonomi
Perasaan kehilangan kontrol disebabkan oleh perpisahan, pembatasan fisik,
perubahan rutinitas, ketergantungan, dan kaitan dengan perann dalam keluarga.
Strategi untuk meminimalkan kehilangan kontrol selama di rumah sakit dapat
dilakukan dengan cara memberikan kebebasan dalam pergerakan anak,
memfasilitasi rutinitas kegiatan anak, dan mendorong kebebasan anak. Perawat
dapat melakukan prosedur pemeriksaan fisik dengan anak berada di pangkuan
ibunya. Saat prosedur yang menimbulkan nyeri, orang tua bisa menndampingi dan
mengawasi anak. Faktor lingkungan juga dapat membatasi gerakan seperti anak
ditempatkan di boks, adanya infus di ekstremitas yang membatasi gerakannya.
Untuk meningkatkan pergerakan, anak bisa difasilitasi menggunakan kursi roda,
kereta dorong yang dapat mendukung kebebasan dalam berpindah tempat.
Intervensi keperawatan untuk meminimalkan kehilangan kontrol juga dapat
dilakukan melalui menyusun jadwal rutinitas anak selama di rumah sakit.
Perawat, orang tua, dan anak bersama-sama menyusun jadwal harian, aktivitas
ditulis, bisa dipasang di ruang kamar anak dan berikan jadwal anak untuk bermain
secara mandiri. Perawatan diri secara mandiri oleh anak juga dapat meminimalkan
kehilangan kontrol. Anak melakukan kegiatan sehari-hari secara mandiri sesuai
kemampuannya seperti makan, mandi, memilih baju, serta kegiatan belajar.
Perasaan kehilangan kontrol dapat disebabkan karena kurangnya pengetahuan
anak dan keluarga mengenai perawatan di rumah sakit. Perawat sebaiknya
memberikan pendidikan kesehatan mengenai kondisi sakit anak serta perawatan
yang dibutuhkan kepada anak dan keluarga. (Nurlaila, Utami, & Cahyani, 2018)
c. Mencegah atau Meminimalkan ketakutan dan Cedera Tubuh
Anak yang menjalani perawatan di rumah sakit merasakan takut terhadap
adanya perlukaan tubuh, prosedur yang mengakibatkan rasa nyeri,
ketidakmampuan, dan kematian. Secara umum, persiapan anak untuk menghadapi
prosedur yang menyebabkan nyeri dapat menurunkan ketakutan. (Nurlaila, Utami,

13
& Cahyani, 2018). Untuk meminimalkan rasa takut terhadap cedera tubuh dan
rasa nyeri dapat dilakukan dengan cara :
1. Mempersiapkan psikologis anak dan orang tua untuk tindakan prosedur yang
menimbulkan rasa nyeri, yaitu dengan menjelaskan apa yang dilakukan dan
memberikan dukungan psikologis pada orang tua.
2. Lakukan permainan terlebih dahulu sebelum melakukan persiapan fisik anak,
misalnya dengan cara bercerita, menggambar, menonton video kaset dengan
cerita yang berkaitan dengan tindakan atau prosedur yang akan dilakukan
pada anak.
3. Pertimbangkan untuk menghadirkan orang tua pada saat anak dilakukan
tindakan atau prosedur yang menimbulkan rasa nyeri apabila mereka tidak
dapat menahan diri, bahkan menangis bila melihatnya. Dalam kondisi ini,
tawarkan pada anak dan orang tua untuk mempercayakan pada perawat
sebagai pendamping anak selama prosedur tersebut dilakukan.
4. Tunjukkan sikap empati sebagai pendekatan utama dalam mengurangi rasa
takut akibat prosedur yang menyakitkan.
5. Pada tindakan pembedahan elektif, lakukan persiapan khusus jauh hari
sebelumnya apabila memungkinkan. Misalnya, dengan mengorientasikan
kamar bedah, tindakan yang akan dilakukan, dan petugas yang akan
menangani anak melalui cerita, gambar, atau menonton film video yang
menggambarkan kegiatan operasi tersebut. Tentunya terlebih dahulu perlu
dilakukan pengkajian yang akurat tentang kemampuan psikologis anak dan
orang tua untuk menerima informasi ini dengan terbuka.Lakukan pula latihan
relaksasi pada fase operasi sebagai persiapan untuk perawatan pascaoperasi.
d. Menyediakan aktivitas yang Mendukung Perkembangan
Salah satu tujuan utama perawatan anak di rumah sakit adalah
meminimalkan masalah perkembangan pada anak. Anak yang harus menjalani
perawatan di rumah sakit dalam jangka waktu yang lama atau berulang berisiko
untuk mengalami keterlambatan perkembangan atau regresi. Perawat memberikan
kesempatan pada anak untuk terlibat dalam aktivitas yang mendukung stimulasi

14
perkembangan dan membantu mengurangi gangguan perkembangan pada anak.
(Nurlaila, Utami, & Cahyani, 2018).
e. Terapi bermain untuk meminimalkan stress
Menurut Nurlaila, Utami, & Cahyani (2018), bermain adalah salah satu
aspek terpenting dalam kehidupan anak dan alat yang paling efektif untuk
mengurangi stress pada anak bermain penting untuk kesehatan mental, emosional,
dan sosial anak. Kebutuhank aktivitas bermain anak juga tidak terhenti saat anak
sakit dan harus menjalani perawatan di rumah sakit. Fungsi aktivitas bermain di
rumah sakit :
1. Memberikan pengalihan dan relaksasi
2. Membantu anak merasa lebih nyaman di lingkungan asing
3. Mengurangi stress akibat perpisahan dan perasaan ingin pulang ke
rumah
4. Sebagai tempat menyalurkan ide kreatif
5. Mendorong interaksi positif dengan orang lain
6. Sarana untuk mencapai tujuan terapeutik
7. Sebagai tempat anak untuk berperan aktif dan meminimalkan
kehilangan kontrol
f. Memaksimalkan manfaat hospitalisasi
1. Membantu perkembangan orang tua dan anak dengan cara memberi
kesempatan orang tua mempelajari tumbuh kembang anak dan reaksi anak
terhadap stresor yang dihadapi selama dalam perawatan di rumah sakit.
2. Hospitalisasi dapat dijadikan media untuk belajar orang tua. Untuk itu,
perawat dapat memberi kesempatan pada orang tua untuk belajar tentang
penyakit anak, terapi yang didapat, dan prosedur keperawatan yang dilakukan
pada anak, tentunya sesuai dengan kapasitas belajarnya.
3. Untuk meningkatkan kemampuan kontrol diri dapat dilakukan dengan
memberi kesempatan pada anak mengambil keputusan, tidak terlalu
bergantung pada orang lain dan percaya diri. Tentunya hal ini hanya dapat
dilakukan oleh anak yang lebih besar dan bukan bayi. Berikan selalu

15
penguatan yang positif dengan selalu memberikan pujian atas kemampuan
anak dan orang tua dan dorong terus untuk meningkatkannya.
4. Fasilitasi anak untuk tetap menjaga sosialisasinya dengan sesama pasien yang
ada, teman sebaya atau teman sekolah. Beri kesempatan padanya untuk saling
kenal dan membagi pengalamannya. Demikian juga interaksi dengan petugas
kesehatan dan sesama orang tua harus difasilitasi oleh perawat karena selama
di rumah sakit orang tua dan anak mempunyai kelompok sosial yang baru.
(Nurlaila, Utami, & Cahyani, 2018).
g. Memberikan Dukungan kepada Anggota Keluarga
Fokus perawatan anak adalah family centered care karena asuhan
keperawatan pada anak tidak akan optimal jika tanpa keterlibatan keluarga.
Family centered care karena asuhan keperawatan pada anak tidak akan optimal
jika tanpa keterlibatan keluarga. Family centerd care mendukung keluarga dengan
menetapkan prioritas nilai dan kebutuhan mereka, mengembangkan kolaborasi,
dan memberdayakan kemampuan keluarga dalam perawatan anak. Perawat dapat
menyediakan dukungan emosional untuk anggota keluarga dengan cara ada
bersama keluarga untuk menjadi pendengan saat keluarga menyampaikan
perasaan secara verbal maupun non verbal. Dukungan perawat diberikan dalam
semua aspek yaitu budaya, sosial, ekonomi, dan nilai norma.
Salah satu intervensi keperawatann yang penting adalah menyediakan
informasi yang dibutuhkan keluarga seperti penyakit, perawatan dan prognosis,
reaksi anak secara fisik terkait penyakitnya, serta kemungkinan reaksi emosional
keluarga menghadapi situasi krisis. [ CITATION Nur18 \l 1033 ].

2. Konsep Bermain
2.1. Pengertian bermain

Bermain merupakan kegiatan yang dilakukan untuk kepentingan diri sendiri,


dilakukan dengan cara-cara yang menyenangkan, tidak diorientasikan pada hasil
akhir, fleksibel aktif dan positif (Smith and Pellegrini, 2008).

16
Bermain juga merupakan suatu aktivitas dimana anak dapat melakukan atau
mempraktekkan keterampilan, memberikan ekspresi terhadap pemikiran, menjadi
kreatif, serta mempersiapkan diri untuk berperan dan berperilaku dewasa
(Hidayat, 2005, dalam Nining, 2016).

Bermain sama dengan bekerja pada orang dewasa, dan merupakan aspek
terpenting dalam kehidupan anak serta merupakan satu cara yang paling efektif
untuk menurunkan stres pada anak dan penting untuk kesejahteraan mental dan
emosional anak (Nursalam, 2005).

Bermain mencerminkan kemampuan fisik, intelektual, emosional dan sosial


anak dan merupakan media yang baik untuk belajar karena dengan bermain anak
akan berkata-kata, belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan, melakukan apa
yang dapat dilakukan dan mengenal waktu, jarak, serta suara (Wong, 2008).

Selain itu bermain membantu anak mengembangkan rasa harga diri.


Alasannya adalah karena dengan bermain anak memperoleh kemampuan untuk
menguasai tubuh mereka, menguasai, dan memahami benda-benda, serta belajar
ketermapilan sosial, anak bermain karena mereka berinteraksi guna belajar
mengkreasikan pengetahuan. Bermain merupakan cara dan jalan anak berpkir dan
menyelesaikan masalah. Anak bermain karena mereka membutuhkan pengalaman
langsung dalam interaksi sosial gara mereka memperoleh dasar kehidupan
(Erikson, 1963).

Anak bermain karena mereka punya energi lebih. Energi ini mendorong
mereka untuk melakukan aktivitas sehingga mereka terbebas dari perasaan
tertekan. Hal ini berarti, tanpa bermain, anak akan mengalami masalah serius
karena energi mereka tidak tersalurkan (Catron & Allen, 1999).

Bermain bagi anak adalah sarana melepaskan kenangan dan perasaan


(Sigmund Freud, 1920).

17
2.2. Fungsi Bermain

Tujuan anak bermain pada dasarnya untuk memperoleh kesenangan,


sehingga tidak akan merasa jenuh. Bermain bagi anak bukan sekedar mengisi
waktu tetapi merupakan kebutuhan seperti halnya makan, perawatan dan cinta
kasih. Fungsi utama bermain adalah merangsang perkembangan sensoris-motorik,
perkembangan sosial, kreativitas, kesadaran diri, moral anak dan bermain sebagai
terapi (Wong, 2008).

Untuk lebih jelasnya di bawah ini terdapat beberapa fungsi bermain pada
anak di antaranya:

1. Membantu perkembangan sensorik dan motorik


Pada saat melakukan permainan, aktivitas sensoris-motorik merupakan
komponen terbesar yang digunakan anak saat bermain. Bermain aktif sangat
diperlukan untuk perkembangan fungsi otot anak. Semakin besar seorang anak
bertumbuh dan berkembang mereka akan memodifikasi cara bermainnya sehingga
kompleksitas dan koordinasinya bertambah [ CITATION Ani19 \l 1033 ].
Cara yang dapat dilakukan adalah dengan merangsang sensorik dan motorik
terutama pada bayi. Rangsangan bisa berupa taktil, audio dan visual. Anak yang
sejak lahir telah dikenalkan atau dirangsang visualnya maka di kemudian hari
kemampuan visualnya akan lebih menonjol seperti lebih cepat mengenal sesuatu
yang baru dilihatnya. Demikian juga pendengaran, apabila sejak bayi dikenalkan
atau dirangsang melalui suara-suara maka daya pendengaran dikemudian hari
lebih cepat berkembang dibandingkan tidak ada stimulasi sejak dini (Nining,
2016).

2. Membantu perkembangan kognitif


Perkembangan kognitif dapat dirangsang melalui permainan. Hal ini dapat
terlihat pada saat anak sedang bermain. Anak akan mencoba melakukan
komunikasi dengan bahasa anak, mampu memahami obyek permainan seperti
dunia tempat tinggal, mampu membedakan khayalan dan kenyataan, mampu

18
belajar warna, memahami bentuk ukuran dan berbagai manfaat benda yang
digunakan dalam permainan. Dengan demikian maka fungsi bermain pada model
demikian akan meningkatkan perkembangan kognitif selanjutnya (Nining, 2016).
Bermain juga berfungsi sebagai alat komunikasi terutama pada anak-anak
yang belum dapat mengekspresikan perasaannya secara verbal. Perawat dapat
mengkaji perasaan dan pikiran anak melalui ekspresi non verbal yang ditunjukkan
selama permainan atau melalui interaksi yang dilakukan antara anak-orang tua
atau dengan teman bermainnya [ CITATION Ani19 \l 1033 ].

3. Meningkatkan sosialisasi anak


Proses sosialisasi dapat terjadi melalui permainan. Sebagai contoh pada usia
bayi ia akan merasakan kesenangan terhadap kehadiran orang lain dan merasakan
ada teman yang dunianya sama. Pada usia toddler anak sudah mencoba bermain
dengan sesamanya dan ini sudah mulai proses sosialisasi satu dengan yang lain.
Pada usia toddler anak biasanya sering bermain peran seperti berpura-pura
menjadi seorang guru, menjadi seorang anak, menjadi seorang bapak, menjadi
seorang ibu dan lain-lain. Kemudian pada usia prasekolah ia sudah mulai
menyadari akan keberadaan teman sebaya sehingga anak mampu melakukan
sosialisasi dengan teman dan orang lain (Nining, 2016).
Dari proses sosialisasi tersebut anak akan belajar mengenai memberi dan
menerima. Setelah hubungan sosial itu berkembang anak juga belajar
memecahkan masalah dengan hubungan tersebut. Pemecahan masalah ini mulai
berkembang pada usia toddler dan pra-sekolah dan berkembang pesat saat anak
memasuki usia sekolah dan remaja [ CITATION Ani19 \l 1033 ].

4. Meningkatkan kreatifitas
Bermain juga dapat berfungsi dalam peningkatan kreatifitas, dimana anak
mulai belajar merealisasikan idenya dengan menciptakan sesuatu dari permainan
yang ada dan mampu memodifikasi objek yang akan digunakan dalam permainan
sehingga anak akan lebih kreatif melalui model permainan ini, seperti bermain
bongkar pasang mobil-mobilan [ CITATION Ani19 \l 1033 ].

19
5. Meningkatkan kesadaran diri
Bermain pada anak akan memberikan kemampuan pada anak untuk
mengekplorasi tubuh dan merasakan dirinya sadar akan orang lain yang
merupakan bagian dari individu yang saling berhubungan. Anak belajar mengatur
perilaku dan membandingkan perilakunya dengan perilaku orang lain (Nining,
2016).
Dengan membandingkan perilakunya dengan orang lain, selanjutnya anak
akan mencoba peran-peran baru dan dampak tingkah lakunya terhadap orang lain.
Misalnya, ketika seorang anak mengambil mainan temannya sehingga temannya
menangis, anak akan belajar bahwa terdapat tingkah laku dari dirinya yang bisa
menyakiti orang lain. Dalam hal ini orang tua berperan penting untuk
menanamkan nilai moral dan etika sehingga anak lebih memahami dampak positif
dan negative tingkah lakunya untuk diri sendiri dan orang lain [ CITATION Ani19 \l
1033 ].

6. Mempunyai nilai terapeutik


Terutama saat dirawat di rumah sakit, anak seringkali merasa marah, takut,
cemas, sedih, dan nyeri. Bermain dapat menjadikan diri anak lebih senang dan
nyaman sehingga stress dan ketegangan dapat dihindarkan. Anak dapat
mengalihkan rasa sakitnya pada permainannya (distraksi) dan relaksasi melalui
rasa senang yang timbul dari permainan yang ia lakukan [ CITATION Ani19 \l 1033 ] .
Dengan demikian bermain dapat menghibur diri anak terhadap dunianya.

7. Mempunyai nilai moral pada anak


Bermain juga dapat memberikan nilai moral tersendiri kepada anak. Pada
permainan tertentu seperti sepak bola, anak belajar benar atau salah karena dalam
permainan tersebut ada aturan-aturan yang harus ditaati dan tidak boleh dilanggar.
Apabila melanggar, maka konsekuensinya akan mendapat sanksi. Anak juga
belajar benar atau salah dari budaya di rumah, di sekolah dan ketika berinteraksi

20
dengan temannya. Sehingga anak akan dengan mudah menyesuaikan diri dengan
aturan-aturan yang berlaku di masyarakat [ CITATION Ani19 \l 1033 ].

Sedangkan menurut [ CITATION Won03 \l 1033 ] fungsi bermain adalah:

1. Untuk perkembangan sensori-motorik


a. memperbaiki ketermapilan motorik kasar dan halus serta koordinasi
b. meningkatkan perkembangan semua indera
c. mendorong eksplorasi pada sifat fisik dunia
d. memberikan pelampiasan kelebihan energi
2. Untuk perkembangan intelektual
a. Memberikan sumber-sumber yang beranekaragam untuk pembelajaran
b. Eksplorasi dan manipulasi bentuk, ukuran tekstur, warna
c. Pengalaman dengan angka
d. Kesempataan untuk mempraktikkan dan memperluas keterampilan
berbahasa
e. Memberikan kesempatan untuk melatih pengalaman masa lalu dalam upaya
mengasimilasinya ke dalam persepsi hubungan baru
f. Membantu anak memahami dunia dimana mereka hidup dan membedakan
antar fantasi dan realita
3. Untuk perkembangan sosialisasi dan moral
a. Mengajarkan peran orang dewasa, termasuk perilaku peran seks
b. Mengembangkan keterampilan sosial
c. Mendorong interkasi dan perkembangan sikap yang positif terhadap orang
lain
4. Meningkatkan kreativitas
a. Memberikan saluran ekspresif untuk ide dan minta kreatif
b. Memungkinkan fantasi dan imajinasi
c. Meningkatkn perkembangan bakat dan minat khusus
5. Meningkatkan kesadaran diri
a. Memudahkan perkembangan identitas diri

21
b. Mendorong pengaturan perilaku sendiri
c. Memberikan perbandingan antara kemampuan sendiri dan dan orang lain
6. Melahirkan nilai teraputik
a. Memberikan pelepasan stress dan ketegangan
b. Memungkinkan ekspresi emosi dan pelepasan impuls yang tidak dapat
diterima dalam bentuk yang secara sosial dapat diterima
c. Mendorong percobaan dan pengujian situasi yang menakutkan dengan cara
yang aman
d. Memudahkan komunikasi verbal tidak langsung dan non verbal tentang
kebutuhan, rasa takut dan keinginan

2.3. Jenis-jenis Permainan

Dalam bermain kita mengenal beberapa sifat bermain pada anak, di


antaranya bersifat aktif dan bersifat pasif, sifat demikian akan memberikan jenis
permainan yang berbeda. Dikatakan bermain aktif jika anak berperan secara aktif
dalam permainan, selalu memberikan rangsangan dan melaksanakannya.
Sedangkan bermain pasif terjadi jika anak memberikan respons secara pasif
terhadap permainan dan lingkungan yang memberikan respons secara aktif.
Melihat hal tersebut kita dapat mengenal macam-macam dari permainan di
antaranya (Nursalam, 2005 dalam Nining, 2016):

1. Berdasarkan isinya
a. Bermain afektif sosial (Sosial affective play)
Inti permainan ini adalah adanya hubungan interpersonal yang
menyenangkan antara anak dengan orang lain. Misalnya, bayi akan
mendapatkan kesenangan dan kepuasan dari hubungan yang
menyenangkan dengan orang tuanya dan/atau orang lain. Contoh: bermain
“cilukba”, berbicara sambil tersenyum/ tertawa, atau sekedar memberikan
tangan pada bayi untuk menggenggamnya (Nining, 2016).
b. Bermain bersenang-senang (Sense of pleasure play)

22
Permainan ini menggunakan alat yang dapat menimbulkan rasa
senang pada anak dan biasanya mengasyikan. Misalnya: dengan
menggunakan pasir, anak akan membuat gunung-gunungan atau benda-
benda apa saja yang dapat dibentuknya dangan pasir. Ciri khas permainan
ini adalah anak akan semakin lama semakin asyik bersentuhan dengan alat
permainan ini dan dengan permainan yang dilakukannya sehingga susah
dihentikan (Nining, 2016).
c. Bermain keterampilan (skill play)
Sesuai dengan sebutannya, permainan ini meningkatkan keterampilan
anak, khususnya motorik kasar dan motorik halus. Misalnya:
memindahkan benda dari satu tempat ke tempat lain, dan anak akan
terampil naik sepeda. Jadi, keterampilan tersebut diperoleh melalui
pengulangan kegiatan permainan yang dilakukan (Nining, 2016).
d. Games atau permainan
Games dan permainan adalah jenis permainan yang menggunakan alat
tertentu dengan menggunakan perhitungan atau skor. Permainan ini bisa
dilakukan oleh anak sendiri atau dengan temannya. Banyak sekali jenis
permainan ini mulai dari yang sifatnya tradisional maupun modern.
Misalnya: ular tangga, congklak, puzzle (Nining, 2016).
e. Unoccupied behavior
Pada saat tertentu, anak sering terlihat mondar mandir, tersenyum,
tertawa, jinjit-jinjit, bungkuk-bungkuk, memainkan kursi, meja, atau apa
saja yang ada di sekitarnya. Jadi, sebenarnya anak tidak memainkan alat
permainan tertentu, dan situasi atau objek yang ada di sekelilingnya yang
digunakan sebagai alat permainan (Nining, 2016).
f. Dramatic play
Sesuai dengan sebutannya, pada permainan ini anak memainkan peran
sabagai orang lain melalui permainanya. Anak berceloteh sambil
berpakainan meniru orang dewasa, misalnya ibu guru, ibunya, ayahnya,
kakaknya dan sebagainya yang ingin ia tahu. Apabila anak bermain
dengan temannya, akan terjadi percakapan di antara mereka tentang peran

23
orang yang mereka tiru. Permainan ini penting untuk proses identifikasi
anak terhadap peran tertentu (Nining, 2016).

2. Berdasarkan karakteristik sosial:


a. Onlooker play
Pada jenis permainan ini, anak hanya mengamati temannya yang
sedang bermain, tanpa ada inisiatif untuk ikut berpartisipasi dalam
permainan. Jadi, anak tersebut bersifat pasif, tetapi ada proses
pengamatan terhadap permainan yang sedang dilakukan temannya
(Nining, 2016).
b. Solitary play
Pada permainan ini, anak tampak berada dalam kelompok permainan,
tetapi anak bermain sendiri dengan alat permainan yang dimilikinya dan
alat permainan tersebut berbeda dengan alat permainan yang digunakan
temannya. Tidak ada kerja sama ataupun komunikasi dengan teman
sepermainanya (Nining, 2016).
c. Parallel play
Pada permainan ini, anak dapat menggunakan alat permainan yang
sama tetapi antara satu anak dengan anak lain tidak terjadi kontak satu
sama lain sehingga antara anak satu dengan anak lain tidak ada sosialisasi
satu sama lain. Biasanya permainan ini dilakukan oleh anak toddler
(Nining, 2016).
d. Associative play
Pada permainan ini sudah terjadi komunikasi antara satu anak dengan
anak lain tetapi tidak terorganisasi, tidak ada pemimpin atau yang
memimpin permainan dan tujuan permainan tidak jelas. Contoh
permainan jenis ini adalah bermain boneka, bermain hujan-hujanan, dan
bermain masak-masakan (Nining, 2016).
e. Cooperative play

24
Aturan permainan dalam kelompok tampak lebih jelas pada permainan
jenis ini juga tujuan dan pemimpin permainan. Anak yang memimpin
permainan mengatur dan mengarahkan anggotanya untuk bertindak
dalam permainan sesuai dengan tujuan yang diharapkan dalam
permainan tersebut. Misalnya, pada permainan sepak bola, ada anak yang
memimpin permainan, aturan main harus dijalankan oleh anak dan
mereka harus dapat mencapai tujuan bersama yaitu memenangkan
permainan dengan memasukan bola ke gawang lawan mainnya (Nining,
2016).

2.4. Bermain terapeutik sesuai dengan tingkatan usia

Bermain terapeutik merupakan modal efektif yang dapat membantu anak


menghadapi kekhawatiran dan ketakutan. Di saat bersamaan, perawat dapat
mengidentifikasi kebutuhan sekaligus perasaan anak. Bermain terapeutik ini
ditujukan terutama untuk mengurangi rasa takut dan cemas akibat hospitalisasi
anak [ CITATION Ani19 \l 1033 ]. Dari hal ini anak-anak juga dapat diperkenalkan
mengenai status kesehatan mereka dan memungkinkan mereka mengatasi masalah
[ CITATION Ter131 \l 1033 ].

Adapun menurut (Koller, 2008) tujuan bermain terapeutik adalah :

1. Psychological and Behavioral Outcomes


 Mengurangi rasa takut
 Mengurangi homesick
 Mengurangi kecemasan
 Meningkatkan perkembangan kognitif
2. Psychological Outcomes
Tujuannya mengurangi respon fisiologis seperti peningkatan tekanan darah,
nadi, palm sweating (tangan berkeringat) dan gerak berlebih.

25
Berdasarkan tahapan usia, pola bermain anak-anak berbeda. Bayi umur 5-6
bulan sudah mulai mampu kontak sosial aktif. Ia akan minta perhatian ornag
dewasa dengan membuat suara atau menyentuhnya. Jika bayi dikumpulkan
dengan teman sebayanya dan disediakan mainan, salah seorang akan
menguasainya dan jika kawannya merebut mainannya, ia akan marah. Anak
berumur satu tahun sudah dapat bermain bersama-sama, tetapi tidak dapat
berlangsung lama. Pada umur 2 tahun, ia mulai dapat bermain bersama lebih
lama. Anak yang berumur 6 tahun jika bermain bersama anak yang lebih kecil,
kelompok tersebut akan dipimpin oleh anak yang tertua.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam aktivitas bermain [ CITATION Nga05 \l


1033 ]:

1. Ekstra energi. Untuk bermain diperlukan ekstra energi, anak yang sakit kecil
keinginannya untuk bermain.
2. Waktu. Anak haru mempunyai cukup waktu untuk bermain.
3. Alat permainan. Untuk bermain diperlukan alat permainan yang sesuai dengan
umur dan taraf perkembangannya
4. Ruangan untuk bermain. Yang penting ada tempat untuk bermain; dapat
diruang tamu, di halaman atau ditempat tidurnya
5. Pengetahauan cara bermain. Anak belajar bermain mulai dengan mencoba-
coba sendiri, meniru teman atau diberitahu caranya oleh orang lain. Cara yang
terakhir akan lebih baik karena anak akan mendapat pengetahuan cara
menggunakan mainan lebih luas
6. Teman sebaya. Untuk bermain anak memerlukan teman. Apakah itu saudara,
oramg tua, atau temannya. Kalau ia bermain sendiri ia tidak mendapatkan
kesempatan belajar dari temannya atau kurang mendapatkan kesenangan. Jika
permainan dilakukan dengan orangtuanya akan menambah keakraban dan
orang tua dapat melihat kelainan yang ada pada anaknya.

26
Teknik bermain pada anak yang berbeda pada setiap rentang usia membuat
orang tua harus memantau perkembangan anak. Teknik bermain yang biasa
digunakan terutama dalam memantau perkembangan mental, emosional, dan
kognitif menurut (Ball & Bindler, 2010) yaitu :
 Stories. Minta anak menceritakan pengalaman atau rasa sakit yang ia
rasakan.
 Drawing. Minta anak menggambarkan dirinya dengan keluarga, atau
prosedur yang ia jalani di rumah sakit dengan warna.
 Music. Memutar musik untuk mengevaluasi respon anak.
 Puppets. Meminta anak menjawab pertanyaan dengan media boneka
sebagai lawan bicaranya.
 Dramatic play. Bermain peran dengan boneka dan beberapa alat peraga
kesehatan dengan pengawasan perawat. Salah satu penerapannya yaitu
Shadow Buddies yang dibuat oleh Shadow Buddies Foundation, dimana
boneka didesain sebagai lawan bicara yang memiliki penyakit yang sama
dengan anak. Boneka ini didesain memiliki luka yang sama dengan anak,
sehingga pada metode ini kita berusaha menyampaikan bahwa anak
tersebut akan baik-baik saja. Hal ini akan membentuk mekanisme koping
yang baik pada anak [ CITATION Ter131 \l 1033 ].
 Pets. Mengevaluasi sikap dan emosi yang ditunjukkan anak pada hewan.

A. Bermain di masa bayi


1) Stimulasi visual

Usia 1 bulan
a. Lihat bayi pada jarak dekat
b. Gantungkan onjek terang berkilat dalam jarak 20-25cm

Usia 2-3 bulan

a. Berikan objek terang

27
b. Bawa bayi ke berbagai ruangan
c. Tempatkan bayi pada kursi bayi untuk pandangan vertical pada lingkungan

Usia 4-6 bulan


a. Tempatkan bayi didepan cermin
b. Mainan yang dianjurkan: mobil mainan anak-anak, cermin yang tidak mudah
pecah, lihat pelindung benturan

Usia 6-9 bulan

a. Berikan pada bayi mainan yang besar dengan warna terang


b. Tempatkan cermin yang tidak dapat pecah dimana bayi dapat melihat dirinya
c. Mainkan ciluk ba
d. Buat wajah lucu

Usia 9-12 bulan

a. Tunjukkan pada bayi gambar yang besar di dalam buku


b. Bawa bayi ketempat dimana ada binatang, banyak orang
c. Mainkan bola dengan menggelindingkan
d. Mainan yang dianjurkan: mainan bongkar pasang, bola besar, cangkir dan
sendok, buku dengan cerita dan gambar yang terang dan besar

2) Stimulasi auditorius

Usia 1 bulan
a. Bicara pada bayi; bernyanyi dengan suara lembut
b. Mainkan kotak music, radio, televise

Usia 2-3 bulan

a. Bicara pada bayi


b. Masukkan dalam kebersamaan keluarga

28
c. Pajankan pada berbagi kebisingan lingkungan
d. Gunakan mainan yang jika digoyangkan akan mengeluarkan suara

Usia 4-6 bulan

a. Bicara pada bayi: ulangi bunyi yang dibuat bayi


b. Tertawa bila bayi tertawa
c. Panggila bayi dengan namanya
d. Remas kertas yang berbeda di telinga bayi

Usia 6-9 bulan

a. Panggil bayi dengan namanya


b. Ulangi kata sederhana seperti “dada”, mama, daag-daag
c. Bicara dengan jelas
d. Sebutkan nama bagian tubuh, orang dan makanan
e. Barikan perintah sederhana
f. Tunjukkan bagaimana menepuk tangan

Usia 9-12 bulan

a. Bacakan untuk bayi cerita nina bobo sederhana


b. Tunjukkan dan sebutkan bagian tubuh
c. Tiru bunyi binatang

3) Stimulasi taktil

Usia 1 bulan
a. Gendong, belai dan sayang
b. Pertahankan agar bayi hangat
c. Mungkin suka di bedong

Usia 2-3 bulan

29
a. Belai bayi sambil memandikan, pada penggantian popok
b. Sisir rambut dengan sikat halus

Usia 4-6 bulan

a. Berikan pada bayi mainan rumahan yang lembut dengan berbagi tekstur
b. Biarkan mencembur disaat mandi

Usia 6-9 bulan

a. Biarkan bayi bermain dengan kain


b. Berikan mangkok yang berisi makanan dengan ukuran dan tekstur yang
berbeda untuk dirasakan
c. Biarakn bayi menangkap air mengalir
d. Anjurkan anak untuk berenang di bak besar

Usia 9-12 bulan

a. Berikan pada bayi makanan yang dipegan dengan tekstur yang berbeda
b. Biarkan bayi memeberantakan makanan
c. Biarkan bayi merasakan objek dingin atau hangat
d. Biarkan bayi merasakan angin sepoi-sepoi

4) Stimulasi kinetik

Usia 1 bulan
a. Ayun bayi, tempatkan di kereta

Usia 2-3 bulan

a. Gunakan pengayunan bayi


b. Bawa ke mobil untuk berkendara
c. Latih tubuh dengan menggerakkan ekstremitas dalam; gerakan berenang

Usia 4-6 bulan

30
a. Gunakan ayunan
b. Posisikan bayi dipangkuan sambil memegang dalam posisi berdiri
c. Sokong bayi dalam posisi duduk, biarkan bayi condong kedepan untuk
menjaga keseimbangan
d. Tempatkan bayi dilanti untuk merangkak, berguling, duduk

Usia 6-9 bulan

a. Naikkan, katakan “naik”. Turunkan, katakana “turun”


b. Tempatkan mainan diluar jangkauan, dorong bayi untuk mengambilnya

Usia 9-12 bulan

a. Berikan mainan besar yang dapat ditarik-dorong


b. Kembalikan pada posisi yang berbeda

B. Bermain di masa toddler


1) Perkembangan fisik
a. Beri ruang untuk mendorong aktivitas fisik
b. Beri kotak mainan, ayunan dan alat bermain
c. Mainan yang diajurkan: kuda-kudaan, mainan yang dapat dikendarai,
bola, balok, papan ketuk, ember dan sekop kecil, adonan mainan.

2) Perkembangan sosial
a. Berikan replica alat-alat orang dewasa dan alat untuk bermain imitative
b. Izinkan anak untuk bermain dengan beberapa hal actual yang digunakan
di dunia orang dewasa
c. Anjurkan untuk bermain imitative
d. Berikan mainan dan aktivitas yang memungkinkan ekspresi perasaan

31
e. Mainan yang dianjurkan: music dan tape recorder, dompet, mainan
rumah tangga, telepon mainan, wayang, boneka-bonekaan
3) Perkembangan mental dan kreativitas
a. Berikan permainan air
b. Anjurkan untuk membentuk, menggambar dan mewarnai
c. Bacakan cerita yang sesuai dengan usia
d. Pantau tontonan televisi
e. Mainan yang dianjurkan: pzzle kayu, buku gambar, kertas, cat jari,
krayon, program tv yang tepat

C. Bermain di masa pra sekolah


1) Perkembangan fisik
a. Memberikan ruang untuk anak berlari, melompat dan memanjat
b. Ajarkan anak untuk berenang
c. Ajarkan olahraga dan aktivitas sederhana
d. Mainan yang dianjurkan: papan jungkat jungkit, perosotan, ayunan,
sepeda roda tiga, mengarungi kolam,

2) Perkembangan sosial
a. Anjurkan interaksi dengan anak-anak tetangga
b. Halangi anak jika ia menjadi destruktif
c. Daftarakan anak ke sekolah khusus untuk anak-anak prasekolah
d. Mainan yang dianjurkan: rumah mainan, boneka, mobil-mobilan, baju
mainan untuk berdandan, peralatan dokter dan perawat, paku, palu dan
gergaji, alat-alat dandan

3) Perkembangan mental dan kreativitas


a. Anjurkan usaha yang kreatif denganb bahan mentah
b. Membaca cerita
c. Pantau tontonan televise

32
d. Hadirkan teater dan peristiwa budaya lainnya yang sesuai dengan usia
anak
e. Ajak anak berjalan-jalan sejenak ke taman, pantai, museum
f. Mainan yang diajurkan: buku-buku, puzzle, mainan bermusik, papan tulis
dan kapur

D. Bermain di masa sekolah


Anak usia sekolah seringkali mengalami regresi perkembangan akibat
hospitalisasi. Ia sering mendemonstrasikan sikap kecemasan dan kerusakan tubuh.
Boneka bisa digunakan untuk mengilustrasikan penyebab dan pengobatan.
Bermain, buku, pekerjaan rumah, kerajinan tangan, rekaman tape, dan komputer
dapat meningkatkan kepercayaan diri anak usia sekolah [ CITATION Ani19 \l 1033 ].

2.5. Tahapan Perkembangan Bermain Anak

Secara umum tahapan perkembangan bermain anak menurut Hurlock dapat


diamati perkembangannya sejak lahir, adapun tahapan perkembangan bermain
adalah sebagai berikut [ CITATION Pra \l 1033 ]:

1. Tahap eksplorasi
Hingga bayi berusia 3 bulan, permainan mereka terdiri atas melihat orang
dan benda serta melakukan usaha acak untuk menggapai benda yang diacungkan
di hadapnnya. Selanjutnya, mereka dapat mengendalikan tangan sehingga cukup
memungkinkan bagi mereka untuk mengambil. Memegang, dan mepelajari benda
kecil. Setelah mereka dapat merangkak atau berjalan mulai memperhatikan apa
saja yang berada dalam jarak jangkauannya
2. Tahap permainan
Bermain barang mainan dimuali pada tahun pertama dan mencapai puncak
pada umur 5-6 tahun. Pada mulanya anak hanya mengeksplorasi mainannya.
Antara 2 atau 3 tahun mereka membayangkan bahwa mempunyai sifat hidup
dapat bergerak, berbicara dan merasaka. Dengan berkembangnya kecerdasan anak

33
mereka tidak lagi menggap benda mati sebagi sesuatu yang hidup dan hal ini
mengurangi minatnya pada barang mainan. Faktor lain yang mendrong
penyusutan minat dengan barang mainan adlah bahwa barang mainan adalah
sifatnya meyendiri sedangkan anak menginginkan teman
3. Tahap bermain
Setelah masuk sekolah, jenis permainan mereka sangat beragam. Semula
mereka meneruskan bermain dengan barang mainan terutama bila senidrian selain
itu mereka merasa tertarik dengan permainan, olahraga, hobby, dan bentuk
permainan lainnya.
4. Tahap melamun
Semakin mendekati masa puber, mereka mulai kehilangan minat dalam
permainan yang sebelumnya disenangi dan banyak mengahbiskan waktunya
melamun. Melamun yang merupakan ciri khas anak remaja.

2.6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Bermain Pada Anak

Menurut Supartini (2004), ada beberapa faktor yang mempengaruhi


bermain, yaitu:

1. Tahap perkembangan anak


Aktifitas bermain yang dilakukan anak harus sesuai dengan tahapan
pertumbuhan dan perkembangannya. Artinya, permainan anak usia bayi tidak lagi
efektif untuk pertumbuhan dan perkembangan anak usia sekolah, begitupun
sebaliknya. Permainan adalah alat stimulasi pertumbuhan dan perkembangan anak
sehingga jenis dan alat permainannya pun harus sesuai dengan karakteristik anak
untuk tiap-tiap tahap usianya (Nining, 2016).
2. Status kesehatan anak
Untuk melakukan aktifitas bermain diperlukan energi. Walaupun demikian,
bukan berarti anak tidak perlu bermain pada saat sedang sakit. Kebutuhan bermain
pada anak sama halnya dengan kebutuhan bekerja pada orang dewasa. Yang

34
terpenting pada saat kondisi anak sedang menurun atau anak terkena sakit, bahkan
dirawat di rumah sakit, orang tua dan perawat harus jeli memilihkan permainan
yang dapat dilakukan anak sesuai dengan prinsip bermain pada anak yang sedang
dirawat di rumah sakit (Nining, 2016).
3. Jenis kelamin anak
Ada beberapa pandangan tentang konsep gender dalam kaitanya dengan
permainan anak. Permainan adalah salah satu alat untuk membantu mengenal
identitas diri sehingga sebagian alat permainan anak perempuan tidak dianjurkan
untuk digunakan oleh anak laki-laki (Nining, 2016).
4. Lingkungan
Terselanggaranya aktifitas bermain yang baik untuk perkembangan anak
salah satunya dipengaruhi oleh nilai moral, budaya, dan lingkungan fisik rumah.
Fasilitas bermain tidak selalu harus yang dibeli di toko atau mainan jadi, tetapi
lebih diutamakan yang dapat menstimulus imajinasi dan kreatifitas anak, bahkan
sering kali mainan tradisonal yang dibuat sendiri dari atau berasal dari benda-
benda di sekitar kehidupan anak lebih merangsang anak untuk kreatifitas (Nining,
2016).
5. Alat dan jenis permainan
Orang tua harus bijaksana dalam memberikan alat permainan untuk anak.
Pilih yang sesuai dengan tahapan tumbuh kembang anak. Label yang tertera pada
mainan harus dibaca terlebih dahulu sebelum membelinya, apakah mainan
tersebut sesuai dengan usia anak. Orang tua dan anak dapat memilih mainan
bersama-sama, tetapi harus diingat bahwa alat permainan harus aman bagi anak.
Oleh karena itu, orang tua harus membantu anak memilihkan mainan yang aman
(Nining, 2016).

2.7. Pedoman untuk Keamanan Bermain

Menurut Soetjiningsih (1995), agar anak-anak dapat bermain dengan


maksimal, maka diperlukan hal-hal seperti:

35
1. Ekstra energi
Untuk bermain diperlukan energi ekstra. Anak-anak yang sakit kecil
kemungkinan untuk melakukan permainan.
2. Waktu
Anak harus mempunyai waktu yang cukup untuk bermain sehingga stimulus
yang diberikan dapat optimal.
3. Alat permainan
Untuk bermain, alat permainan harus disesuaikan dengan usia dan tahap
perkembangan anak serta memiliki unsur edukatif bagi anak.
4. Ruang untuk bermain
Bermain dapat dilakukan di mana saja, di ruang tamu, halaman, bahkan di
tempat tidur.
5. Pengetahuan cara bermain
Dengan mengetahui cara bermain maka anak akan lebih terarah dan
pengetahuan anak akan lebih berkembang dalam menggunakan alat
permainan tersebut.
6. Teman bermain
Teman bermain diperlukan untuk mengembangkan sosialisasi anak dan
membantu anak dalam menghadapi perbedaan. Bila permainan dilakukan
bersama dengan orangtua, maka hubungan orangtua dan anak menjadi lebih
akrab.

2.8. Alat Permainan Edukatif (APE)

Alat permainan edukatif merupakan alat permainan yang dapat memberikan


fungsi permainan secara optimal dan perkembangan anak, dimana melalui alat
permainan ini anak akan selalu dapat mengembangkan kemampuan fisiknya,
bahasa, kemampuan kognitifnya dan adaptasi sosialnya. Dalam mencapai fungsi
perkembangan secara optimal, maka alat permainan ini harus aman, ukurannya
sesuai dengan usia anak, modelnya jelas, menarik, sederhana dan tidak mudah

36
rusak. Pada kenyataannya masyarakat kadang kurang memahami penggunaan alat
permainan edukatif ini. Banyak orang tua membeli mainan tanpa memperdulikan
kegunaannya sehingga terkadang harganya mahal tetapi tidak sesuai dengan umur
anak (Nining, 2016).

Untuk mengetahui alat permainan edukatif, di bawah ini beberapa contoh


alat permainan yang bersifat edukatif seperti:

a. Permainan sepeda roda tiga atau dua, bola, mainan yang ditarik dan
didorong. Jenis ini mempunyai fungsi pendidikan dalam pertumbuhan fisik
atau motorik kasar.
b. Untuk mengembangkan motorik halus alat-alat permainan dapat berupa
gunting, pensil, bola, balok, lilin dan sebagainya.
c. Buku bergambar, buku cerita, puzzle, boneka, pensil warna, radio dan lain-
lain dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan kognitif atau
kecerdasan anak.
d. Alat permainan seperti buku gambar, buku cerita, majalah, radio, tape dan
televisi dapat digunakan dalam mengembangkan kemampuan bahasa.
e. Alat permainan seperti gelas plastik, sendok, baju, sepatu, kaos kaki dapat
digunakan dalam mengembangkan kemampuan menolong diri sendiri
f. Alat permainan seperti kotak, bola dan tali, dapat digunakan untuk
mengembangkan tingkah laku sosial (Nining, 2016).

Selain penggunaan alat permainan secara edukatif, peran orang tua atau
pembimbing dalam bermain sangat penting. Orang tua harus memahami dan
memiliki kemampuan tentang jenis alat permainan dan kegunaannya, sabar dalam
bermain, tidak memaksakan, mampu mengkaji kebutuhan bermain seperti kapan
harus berhenti dan kapan harus dimulai serta memberikan kesempatan untuk
mandiri. Peran orang tua lainnya dalam kegiatan bermain anak adalah:

a. Memotivasi
Dengan memberikan motivasi, anak akan semakin percaya diri dan yakin
akan kemampuan yang ia miliki.

37
b. Mengawasi
Pengawasan dalam bermain juga mutlak diperlukan apapun jenis
permainannya, hal ini dilakukan untuk mencegah hal-hal yang tidak
diinginkan seperti jatuh saat bermain.
c. Mitra
Peran orang tua sebagai mitra bermain akan memunculkan rasa
kekompakan dan melatih anak untuk bisa bekerja sama saat bermain
(Nining, 2016).

2.9. Bermain di Rumah Sakit

Bermain bagi anak merupakan suatu kebutuhan. Dengan bermain maka


pertumbuhan dan perkembangan anak akan terstimulasi. Saat anak dalam keadaan
sakit dan harus di rawat di rumah sakit, maka kebutuhan bermain harus tetap
difasilitasi. Walaupun demikian tentu ada perbedaan antara bermain di rumah dan
bermain di rumah sakit, karena selain untuk mendukung fase tumbuh kembang,
bermain di rumah sakit juga dapat berfungsi sebagai terapi. Untuk mendukung
proses pengobatan, maka bermain di rumah sakit harus memenuhi syarat-syarat
yang telah ditentukan, di antaranya ialah:

a. Anak tidak banyak menggunakan energi, waktu bermain lebih singkat untuk
menghindari kelelahan. Alat permainan yang digunakan bersifat sederhana.
Contoh permainannya: menyusun balok, membuat kerajinan tangan dan
menonton televisi.
b. Relatif aman dan terhindar dari infeksi silang.
c. Sesuai dengan kelompok usia.
Untuk rumah sakit yang mempunyai tempat bermain, hendaknya waktu
bermain perlu dijadwalkan dan dikelompokkan sesuai dengan usia karena
kebutuhan bermain berbeda antara masing-masing tahap usia.
d. Tidak bertentangan dengan terapi.

38
e. Apabila program terapi mengharuskan anak untuk untuk beristirahat, maka
aktivitas bermain hendaknya dilakukan di tempat tidur. Anak tidak
diperbolehkan turun dari tempat tidur, meskipun ia kelihatannya mampu
(Nining, 2016).

Keuntungan bermain di rumah sakit bagi anak:

a. Meningkatkan hubungan antara klien (anak dan keluarga) dan perawat.


b. Aktivitas bermain yang terprogram akan memulihkan perasaan mandiri
pada anak.
c. Permainan pada anak di rumah sakit tidak hanya memberikan rasa senang
pada anak, tetapi juga akan membantu anak mengekspresikan perasaan dan
pikiran cemas, takut, sedih, tegang dan nyeri.
d. Permainan yang terapeutik akan dapat meningkatkan kemampuan anak
untuk mempunyai tingkah laku yang positif.[ CITATION Yul16 \l 1057 ]

39
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan
yang berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah
sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke
rumah. Reaksi anak terhadap hospitalisasi berbeda-beda dikategorikan
sesuai umurnya. Sedangkan reaksi orang tua terhadap hospitalisasi anak
ada perasaan cemas dan takut, perasaan sedih, dan perasaan frustasi.
Hospitalisasi juga memiliki sejumlah risiko membuat beberapa anak lebih
rentan daripada yang lainnya terhadap stress dirumah sakit. Peran perawat
untuk meminimalkan stress hospitalisasi, antara lain: (1) mencegah atau
meminimalkan perpisahan, (2) Men-cegah atau meminimalkan ketakutan
dan cedera tubuh, (3) Menyediakan aktivitas yang mendukung
perkembangan, (4) Terapi bermain untuk meminimalkan stress, dan
lainnya.
Bermain adalah cerminan kemampuan fisik, intelektual, emosional
dan sosial dan bermain merupakan media yang baik untuk belajar karena
dengan bermain anak akan berkata-kata, belajar menyesuaikan diri dengan
lingkungan, melakukan apa yang dapat dilakukan dan mengenal waktu,
jarak, serta suara (Wong, 2004). Fungsi bermain adalah untuk membantu
perkembangan sensoris dan motorik, membantu perkembangan kognitif,
meningkatkan sosialisasi anak, meningkatkan kreatifitas, meningkatkan
kesadaran diri, mempunyai nilai terapeutik, dan mempunyai nilai moral
pada anak. Bermain juga dilakukan sesuai dengan tingkatan usia yang
memiliki manfaatnya. Adapun peran orang tua atau pembimbing dalam
kegiatan bermain anak adalah memotivasi, mengawasi dan sebagai mitra
untuk anak. Bermain juga dilakukan di rumah sakit untuk mendukung
proses pengobatan, maka bermain di rumah sakit harus memenuhi syarat-
syarat yang telah ditentukan.

40
2. Saran
Penulis tentunya masih menyadari bahwa makalah ini masih ada
kekurangan. Penulis akan memperbaiki sesuai dengan kritik yang
membangun dari para pembaca.

41
DAFTAR PUSTAKA

Aizah, S., & Wati, S. E. (2014). Upaya Menurunkan Tingkat Stress Hospitalisasi
dengan Aktivitas Mewarnai Gambar pada Anak Usia 4-6 Tahun di ruang
Angrek RSUD Gambiran Kediri. Jurnal, 25(1).

Bsiri-Moghaddam, K., Basiri-Moghaddam, M., Sadeghmoghaddam, L., &


Ahmadi, F. (2011). The concept of hospitalization of children from the
view point of parents and children. Iranian Journal of Pediatrics, 21(2),
201–208.

Koller, D. (2008). Bermain terapeutik in Pediatric Health Care: The Essence of


Child Life Practice. http://www.childlife.org/files/EBPPlayStatement-
Complete.pdf. dalam buku Buku Ajar Konsep dan Aplikasi Keperawatan
Anak oleh Oktiawati & Julianti, 2019.

Kyle, T., & Carman, S. (2013). Essentials of Pediatric Nursing 2nd Edition.
Philadelphia: Wolters Kluwer Health.

Ngastiyah. (2005). Perawatan ANAK SAKIT. Jakarta: ECG.

Nining, Y. (2016). Keperawatan Anak. Jakarta Selatan: Badan Pengembangan dan


Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan.

Nurlaila, Utami, W., & Cahyani, T. (2018). Buku Ajar Keperawatan Anak.
Yogyakarta: Leutika Prio.

Oktiawati, A., & Julianti, E. (2019). Buku Ajar Konsep dan Aplikasi Keperawatan
Anak. Jakarta Timur: CV. Trans Info Media.

Pratiwi, W. (2007, Agustus 2). KONSEP BERMAIN PADA ANAK USIA DINI.
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam , 106.

42
Supratini , Y. (2004). Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. (M. Ester,
Ed.) Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Utami, Y. (2014, mei). Dampak Hospitalisasi Terhadap Perkembangan Anak.


Jurnal Ilmiah WIDYA, 2(2)

Wong, D. L. (2003). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC.

Wong, D. L. (2008). Buku ajar keperawatan pediatrik Wong. Jakarta: EGC.

43

Anda mungkin juga menyukai