Anda di halaman 1dari 44

PROPOSAL PROYEK INOVASI

PELAKSANAAN ATRAUMATIC CARE UNTUK MENGURANGI


DISTRESS DAN NYERI ANAK SAAT PEMASANGAN INFUS DENGAN
TERAPI MENDEKAP DI RUANG INFEKSI GEDUNG A
RSUPN Dr. CIPTO MANGUNKUSUMO

Untuk Memenuhi Tugas


Mata Ajar Residensi Keperawatan Anak Lanjut II

DISUSUN OLEH

Eva Oktaviani 1406597002


Natalia Devi Oktarina 1406523162
Winda Darpianur 1406597425

PROGRAM SPESIALIS KEPERAWATAN ANAK


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
2016
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pelaksanaan asuhan keperawatan berbasis bukti merupakan keinginan bagi
semua perawat. Untuk membuat individu dan keluarganya berespon terhadap
masalah kesehatan, praktik keperawatan berbasis teori diperlukan untuk membuat
dan menerapkan intevensi keperawatan dalam mengetahui kebutuhan klien. Teori
akan membantu untuk menggambarkan, menjelaskan, memprediksi, dan
memperjelas asuhan keperawatan (Potter & Perry, 2009). Teori menghasilkan
pengetahuan keperawatan yang dapat digunakan dalam praktik. Integrasi teori ke
dalam praktik merupakan dasar profesi keperawatan (McEwen & Will, 2007
dalam Potter & Perry, 2009 ). Sebagai contoh teori Kolcaba yang menjelaskan
tentang kenyamanan. Teori ini mempunyai nilai dalam membantu keperawatan
menciptakan kenyamanan secara fisik, psikospritual, sosiokultural, dan
lingkungan (Kolcaba & DiMarco, 2005).

Kenyamanan adalah konsep sentral tentang kiat keperawatan. Berbagai teori


keperawatan menyatakan kenyamanan sebagai kebutuhan dasar klien yang
merupakan tujuan pemberian asuhan keperawatan. Kolcaba (1994)
mendefinisikan kenyamanan dengan cara yang konsisten pada pengalaman
subjektif klien. Kolcaba mendefinisikan kenyamanan sebagai suatu keadaan telah
terpenuhinya kebutuhan dasar manusia.

Teori Kolcaba termasuk dalam middle range theory. Menurut Kolcaba, teori
kenyamanan menjadi salah satu pilihan teori keperawatan yang dapat
diaplikasikan langsung di lapangan karena bersifat universal dan tidak terhalang
budaya yang dimiliki oleh setiap masyarakat, serta memiliki tingkat abstraksi
yang rendah (Peterson & Bredow, 2008). Hal ini menyebabkan teori kenyamanan
bisa dimodifikasi seluas-luasnya sesuai kebutuhan klien masing-masing (March
& McCormack, 2009).

1
Penerapan teori kenyamanan ini juga sejalan dengan prinsip keperawatan anak,
yaitu perawatan atraumatik. Salah satunya adalah mengurangi nyeri yang
dirasakan anak saat prosedur invasif seperti saat dilakukan pemasangan infus.
Anak yang menjalani perawatan di rumah sakit akan memperoleh tindakan
pengobatan dan perawatan sesuai dengan penyakit dan kebutuhan dasarnya.
Salah satu tindakan yang rutin dilakukan adalah tindakan pemasangan infus.
Tindakan ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit, transfusi
darah, nutrisi, pemberian obat dan atau kemoterapi melalui intravena (Potter &
Perry, 2005).

Pemasangan infus pada anak bukan hal yang mudah karena anak memiliki vena
yang kecil dan rapuh, sehingga sering ditemukan penusukan lebih dari satu kali
yang akan berdampak pada timbulnya cedera tubuh, nyeri, dan ketakutan pada
anak. Fenomena yang ditemukan di lapangan berdasarkan hasil observasi yang
dilakukan di Ruang Perawatan Infeksi Anak Gedung A Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM) adalah saat dilakukan pemasangan infus prinsip
kenyamanan dan perawatan atraumatik belum dilaksanakan secara efektif. Orang
tua belum sepenuhnya dilibatkan dalam perawatan anak saat tindakan invasif,
posisi supinasi dan pengekangan (restrain) saat pemasangan infus masih menjadi
pilihan, sehingga malah membuat anak semakin ketakutan, bahkan tidak sedikit
juga orang tua yang tidak tega melihat anaknya dilakukan pemasangan infus.
Pemberian posisi yang nyaman saat pemasangan infus juga belum menjadi SOP
ruangan, sehingga teknik kemampuan dan ketrampilan perawat menjadi dasar
keberhasilan penusukan dengan berbagai pilihan posisi. Ekspresi nyeri,
kecemasan, ketakutan baik verbal maupun nonverbal dapat terlihat pada anak
selama dilakukan pemasangan infus.

Mayoritas pasien yang dirawat di Ruang Perawatan Infeksi Anak Gedung A


RSCM berdasarkan dari hasil studi pendahuluan adalah dalam rentang kategori
usia toddler sampai prasekolah. Walco dan Goldscheider (2008) menjelaskan
bahwa anak usia 2,5-6 tahun memiliki tingkat distress lebih tinggi terhadap
respon nyeri sebesar 83% dibandingkan anak usia sekolah. Sumber nyeri saat
hospitalisai meliputi prosedur tindakan medis, tindakan keperawatan, dan
2
prosedur diagnostik (Mediani, Mardyah, & Rakhmawati, 2005). Selama
memberikan pelayanan medis sehari-hari di rumah sakit, tenaga kesehatan tidak
terlepas dengan kegiatan melakukan tindakn invasif (Wati, Pudjiadi, & Latief,
2012). Menurut Mediani et al. (2005), aktivitas perilaku anak selama prosedur
invasif yaitu pemasangan infus menunjukkan bahwa anak mengalami nyeri
terutama untuk kelompok usia 1-5 tahun (anak usia toddler dan prasekolah). Hal
ini dikarenakan anak usia toddler dan prasekolah belum mampu mentolerir rasa
nyeri yang dirasakannya. Perilaku distress yang ditunjukan anak merupakan cara
anak mengkomunikasikan rasa nyeri yang dirasakannya. Anak dengan kondisi
nyeri menunjukkan berbagai komplikasi seperti timbulnya kecemasan, gangguan
perilaku, psikososial, dan fisiologis (Sekriptini, 2013).

Salah satu prinsip utama dari perawatan atraumatik adalah mengurangi


perpisahan anak dan keluarga dan melibatkan peran serta keluarga dalam
perawatan anak begitu juga saat prosedur invasif. Pengekangan dan posisi yang
tidak nyaman dapat meningkatkan tekanan psikologis yang dialami anak dan
keluarga. Tekanan psikologis akan memberi dampak negatif pada proses
penyembuhan pasien. Dalam kondisi stres terjadi pelepasan hormon-hormon
stres, antara lain kortisol yang dapat menyebabkan penekanan pada sistem imun
anak (Guyton & Hall, 2007), sehingga anak mudah terkena infeksi sekunder yang
akan memperlama hari perawatan di rumah sakit. Meningkatnya lama hari
perawatan anak, menyebabkan munculnya perasaan cemas, takut, rasa bersalah,
tidak mampu, kehilangan kontrol, tidak berdaya, putus asa dari orang tua, bahkan
muncul perubahan fungsi peran orang tua yang mengakibatkan ketidakefektifan
manajemen terapeutik kepada pasien, seperti halnya keinginan untuk pulang
paksa, atau menolak terapi yang direkomendasikan.

Begitu luas dan kompleksnya dampak dari stres hospitalisasi menuntut perawat
untuk mengembangkan inovasi-inovasi dalam memberikan asuhan keperawatan
yang berkualitas dan memberikan rasa nyaman bagi anak dan keluarga. Salah
satu intervensi yang dapat dikembangkan dalam menerapkan perawatan
atraumatik saat pemasangan infus pada anak adalah terapi mendekap dan
pemberian posisi duduk. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kustati
3
(2013), menyebutkan bahwa terdapat perbedaan rata-rata skor distress pada anak
yang diberikan dekapan orang tua (2,30) dan skor distress anak yang tidak
mendapat dekapan orang tua (3,25). Terapi mendekap juga sejalan dengan
prinsip keperawatan anak lainnya yaitu memberdayakan keluarga dalam
intervensi yang diberikan (family centered care) (Hockenberry & Wilson, 2009).

Selain terapi mendekap, pemilihan posisi yang nyaman saat dilakukan tindakan
invasif juga dapat berpengaruh terhadap rasa nyaman anak dan meminimalkan
distress. Tujuan pemberian posisi yang nyaman adalah immobilisasi ekstremitas
anak saat dilakukan prosedur, memberikan rasa aman dan senang bagi anak
melalui kontak langsung dengan orang tua (The Childrens Mercy Hospital,
2012). Pemberian posisi duduk lebih menciptakan rasa kontrol, sehingga lebih
sedikit orang yang diperlukan untuk menyelesaikan prosedur. Posisi duduk
dikembangkan untuk mempromosikan kenyamanan bagi anak, imobilisasi yang
cukup, anak dapat diajak kerjasama dan kontrol diri anak dapat dipertahankan,
sehingga anak menjadi tenang saat prosedur.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dibuktikan secara ilmiah di atas,


mahasiswa bermaksud untuk mengkombinasikan dua intervensi, yaitu terapi
mendekap dan pemberian posisi duduk di Ruang Infeksi Anak Gedung A RSCM
untuk menurunkan skor nyeri yang dialami anak selama tindakan pemasangan
infus pada anak usia toddler sampai dengan prasekolah.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Proyek inovasi ini bertujuan untuk mengaplikasikan teori kenyamanan
Kolcaba dalam bentuk terapi mendekap guna menurunkan skor distress
dan nyeri saat pemasangan infus pada anak usia toddler sampai dengan
prasekolah di Ruang Perawatan Infeksi Anak Gedung A RSCM.

4
1.2.2 Tujuan Khusus
a. Teridentifikasinya rerata skor distress dan nyeri anak setelah dilakukan
pemberian terapi dekapan pada saat pemasangan infus pada kelompok
intervensi.
b. Teridentifikasinya rerata skor distress dan nyeri anak tanpa dilakukan
pemberian terapi dekapan pada saat pemasangan infus pada kelompok
kontrol.
c. Teridentifikasinya perbedaan rerata skor distress dan nyeri anak pada
saat dilakukan pemasangan infus antara kelompok intervensi dan
kontrol.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perawatan Atraumatik


2.1.1 Pengertian
Atraumatic care adalah asuhan terapeutik dalam lingkungan perawat melalui
penggunaan intervensi yang tidak menimbulkan trauma psikologis dan fisik
pada anak dan keluarganya. Atraumatic care dapat diberikan kepada anak dan
keluarga dengan mengurangi dampak psikologis dari tindakan yang diberikan.
Asuhan terapeutik dilakukan untuk pencegahan, diagnosis, penanganan atau
penembuhan kondisi akut dan kronis ang difokuskan dalam pencegahan
terhadap trauma yang merupakan bagian dalam keperawatan (Hockenberry &
Wilson, 2009).

2.1.2 Prinsip Perawatan Atraumatik


Ada tiga prinsip yang mendasari dalam mencapai tujuan tindakan atraumatic
care (Wong, D.L., Hockenberry, E.M., Wilson, D., Wilkelstein, M.L., &
Kline, N.E., 2009) yaitu :
a. Mencegah atau mengurangi perpisahan anak dan keluarga, meliputi:
perawatan dengan melibatkan keluarga atau orang tua dalam setiap
tindakan serta diperkenankan tinggal bersama pasien selama 24 jam yang
disebut dengan istilah family centered care (FCC); dan menggunakan
kelompok perawat dan asisten yang sama dalam setiap perawatan.
b. Meningkatkan pengendalian diri pada anak, meliputi: menghilangkan atau
mengurangi ketakutan dan ketidaktahuan; memberikan kesempatan untuk
melakukan pengendalian diri; memberikan peningkatan pengetahuan
keluarga terkait kondisi kesehatan anak dan ketrampilan untuk mengawasi
kondisi anak.
c. Mencegah atau mengurangi nyeri dan cedera pada tubuh.
1) Mengurangi atau menghindari prosedur yang menimbulkan nyeri,
meliputi: menggunakan jarum dengan ukuran kecil pada saat
injeksi; injeksi intra muskuler dilakukan di paha;

6
pemasangan kateter dengan menggunakan jelly xylocaine 2 % di
uretra. Selain itu tindakan nonfarmakologis juga dapat
digunakan dalam prinsip mencegah atau mengurangi cedera,
misalnya dengan teknik distraksi, teknik napas dalam, imagery.
2) Mencegah atau menghindari distress fisik, meliputi: penggunaan
parfum ruangan untuk meningkatkan kenyamanan dan
menghilangkan bau; memodifikasi lingkungan rumah sakit
seperti dirumah, yaitu dengan cara menata ruangan bernuansa
anak seperti: menghiasi ruangan dengan dinding bermotif
binatang, sprei atau alat tenun bermotif binatang dan bunga,
serta dinding ruangan dengan cat warna cerah.

2.2 Distress yang dialami Anak saat Hospitalisasi


Penyakit dan hospitalisasi merupakan krisis awal yang harus diatasi pada
anak. Anak sangat rentan terhadap stress akibat perubahan rutinitas
lingkungan. Mekanisme koping anak terbatas untuk mengatasi stress.
Kejadian yang dapat menimbulkan stress hospitalisasi meliputi perpisahan,
kehilangan kendali, cidera tubuh dan nyeri. Reaksi anak terhadap stress
dipengaruhi oleh usia perkembangan, pengalaman sakit mereka
sebelumnya, perpisahan atau hospitalisasi, keterampilan koping yang
dimiliki, keparahan diagnosis dan sistem pendukung yang ada
(Hockenberry & Wilson, 2009).

Menurut Pretzlik dan Slva (1999) dalam Lestari (2013), ada beberapa alat
ukur yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat distress pada anak,
diantaranya yaitu :
a. Procedure Behaviour Rating Scale (PBRS)
Alat ini menilai perilaku anak usia 8 bulan sampai 17 tahun pada saat
dilakukan prosedur tindakan. Penilaian dilakukan sebelum, saat dan
setelah prosedur tindakan dilakukan. Hasil penilaian diambil dari nilai
mean pada akumulasi penilaian. Terdapat 25 item yang menunjukkan
kriteria distress, misalnya berteriak, menangis, menolak dan penolakan
pemberian posisi.
7
b. Observation Scale for Behavioural Distress (OSBD)
Alat ini digunakan untuk anak usia 6 bulan sampai 20 tahun, penilaian
dilakukan sebelum, saat dan setelah dilakukan prosedur tindakan.
Terdapat 11 item yang menunjukkan adanya distress meliputi
menangis, ketakutan, restrain, menanyakan keadaannya dan
mengatakan kesakitan.
c. Children Fears Scale (CFS)
Instrumen yang tepat untuk mengkaji distres pra prosedur pemasangan
infus yaitu Children Fear Scale. Alat ini digunakan untuk mengukur
rasa takut anak pada anak yang sedang menjalani prosedur medis yang
menimbulkan respon menyakitkan. CFS terdapat 5 gambar wajah
dimulai dari wajah yang menunjukkan tidak takut sampai sangat takut.
Penilaian diambil dari gambar yang ditunjukkan anak dan orangtua
kemudian diambil nilai mean untuk menunjukkan nilai distress pada
anak, nilai terendah 0 dan nilai tertinggi 4 (McMurtry, Noel, Chambers
& McGrath 2011; Birmaher, Khetarpal, Cully, Brent, & McKenzie,
2012). Adapun gambar skala wajah Children Fear Scale dapat dilihat
sebagai berikut:

2.3 Nyeri pada Anak


Nyeri merupakan stimulus yang dirasakan oleh sensoris dan bersifat
subjektif, nyeri yang dialami seorang anak akan mempengaruhi dan
melibatkan perkembangan, fisiologis, psikologis dan faktor-faktor
situasional pada anak tersebut (American Academy of Pediatrics (AAP) &
American Pain Society (APS), 2013). Nyeri merupakan respon proteksi dari
potensi atau sedang terjadinya kerusakan jaringan tubuh (Matthew, 2003).

8
Nyeri pada anak biasanya direkam sebagai pengalaman traumatik yang tidak
menyenangkan.

Tindakan invasif atau intervensi yang menimbulkan nyeri merupakan salah


satu hal yang ingin diminimalisasi atau dihilangkan dalam prinsip
atraumatic care (Wong et al., 2009). Pengalaman nyeri yang menimbulkan
trauma dan distres sedapat mungkin tidak terjadi dalam setiap tindakan
invasif. Manne, dkk (1990) mengemukakan bahwa teknik pengalihan nyeri
yang tepat dapat secara signifikan mengurangi distres yang akan dialami.

Sejumlah cara penilaian nyeri telah dikembangkan untuk mengukur


nyeri pada anak. Pengukuran nyeri dibagi menjadi 2 kategori, yaitu:
pengukuran objektif (objective measures) digunakan untuk mengobservasi
skor parameter perilaku (behavioral measures), atau fisiologis ( physiologic
measures), dan pengukuran subjektif (subjective measures) yaitu laporan
diri ( self report measures) yang digunakan agar anak dapat mengukur
nyerinya (Hockenberry & Wilson, 2009; Potts & Mandleco, 2012).

Pengkajian perilaku sangat berguna untuk mengukur nyeri pada bayi dan
anak preverbal yaitu anak yang belum memiliki kemampuan
untuk mengkomunikasikan nyeri yang dirasakan, atau pada anak dengan
gangguan mental yang memiliki kemampuan yang terbatas dalam
menyampaikan kalimat yang memiliki arti. Pengukuran ini bergantung pada
observer dalam mengamati dan merekam perilaku anak misalnya vokalisasi
(suara), ekspresi wajah, dan gerak tubuh yang menunjukkan
ketidaknyamanan. Pengukuran nyeri melalui pengamatan perilaku seringkali
reliabel dalam mengukur nyeri akut, nyeri dari prosedur yang tajam seperti
injeksi dan pungsi lumbar, namun kurang reliabel saat mengukur nyeri
yang berkepanjangan (Hockenberry & Wilson, 2009). Terdapat beberapa
skala pengkajian perilaku nyeri yang sering digunakan,antara lain (James &
Ashwill, 2007; Hockenberry & Wilson, 2009; Potts & Mandleco, 2012):

9
Terdapat beberapa alat ukur yang dapat digunakan untuk mengukur skor
nyeri pada anak, diantaranya yaitu :
1) FLACC Pain Assessment Tool
Skala ini digunakan untuk mengkaji intensitas nyeri pada anak mulai usia
2 bulan - 8 tahun namun telah digunakan juga pada usia 0-18 tahun.
Skala ini terdiri dari 5 penilaian dengan skor total 0 untuk tidak ada nyeri
dan 10 untuk nyeri hebat. Penilaian tersebut adalah ekspresi muka (0-2),
gerakan kaki (0-2), aktivitas (0-2), menangis (0-2), kemampuan dihibur
(0-2).
Hasil skor perilakunya adalah :
0 : Tidak Nyeri
1-3 : nyeri ringan/ ketidaknyamanan ringan
4-6 : nyeri sedang
7-10 : nyeri hebat/ ketidaknyamanan berat
Tabel 2. Instrumen Pengkajian Nyeri FLACC

2) The Childrens Hospital of Eastern Ontario Pain Scale (CHEOPS)


Skala Ini digunakan untuk mengkaji intensitas nyeri pada anak usia 1-7
tahun namun telah digunakan juga pada usia 4 bulan 17 tahun. Skala ini
terdiri dari 6 kategori dengan skor total 4 untuk tidak ada nyeri dan 13
untuk nyeri hebat namun tidak ada indikasi rentang skor ringan, sedang,
dan berat.
10
Tabel 3. Instrumen Pengkajian Nyeri CHEOPS
Item Perilaku Skor
Tangisan Tidak menangis 1. Anak tidak menangis
Mengerang 2. Anak mengerang atau menangis tanpa suara
Merintih 2. Anak menangis, tapi tangisan lirih dan merengek
Menjerit 3. Anak menangis dengan kekuatan penuh, menangis
dengan diikuti keluhan atau tanpa keluhan
Wajah Biasa 1. Ekspresi wajah netral
Menyeringai 2. Ekspresi tampak negatif
Tersenyum 0. Ekspresi tersenyum
Ungkapan Tak ada keluhan 1. Anak tidak bicara
verbal lain 1. Anak mengeluh, tapi tidak disebabkan oleh nyeri (karena
ingin bersama ibu atau karena haus)
Keluhan nyeri dan 2. Anak mengeluh tentang nyeri
yang lainnya 2. Anak mengeluh tentang nyeri disertai keluhan lain (ingin
bertemu ibu atau yang lain)
Baik 0. Anak mengatakan hal positif tanpa mengeluh nyeri

Gerakan Netral 1. Badan tampak istirahat, tidak aktif


Bergeser 2. Badan tampak bergerak bergeser
Menguat 2. Badan tampak tegang dan kaku
Mengigil 2. Badan tampak berguncang tak beraturan
Naik 2. badan anak berubah posisi ke atas
Terbatasi 2. badan anak terbatasi

Sentuhan Tidak tersentuh 1. anak tidak tersentuh atau terkena luka


Meraih 2. anak meraih tetapi tak menyetuh luka
Menyentuh 2. anak menyentuh area luka
Memegang 2. anak memegang luka dengan bersemangat
Terbatas 2. Lengan terbatasi
Kaki Netral 1. kaki dalam berbagai posisi namun relaks, seperti berenang
ataupun gerakan lain
Menggeliat/menen 2. tampak gerakan yang sulit
dang
Menarik, 2. kaki tampak tegang atau menarik kaki mendekati tubuh
memegang 2. berdiri, membungkuk atau berlutut
Berdiri 2. kaki anak dipegangi
Terbatasi
Tabel 2.4. Pengkajian nyeri CHEOPS
3) FACES Pain Scale (anak usia 3 18 tahun)

Gambar 1. Pengkajian Nyeri Faces Pain Rating Scale


11
4) Physiologic Measures
Pengukuran fisiologis tidak dapat dipisahkan dari respon tubuh terhadap
nyeri dan bentuk stres lainnya pada tubuh. Perubahan fisiologis secara
mendalam/besar seringkali menyertai pengalaman nyeri.
Parameter fisiologis, antara lain denyut nadi, pernapasan, tekanan darah,
telapak tangan berkeringat, level kortisol, oksigen transkutaneus, tonus
vagal, dan konsentrasi endorphin. Parameter ini tidak menunjukkan
lokasi nyeri, tetapi memberikan informasi yang berguna mengenai
tingkat distres anak secara umum yang mengalami nyeri. Penilaian nyeri
secara fisiologis berguna pada infant dan anak yang tidak bisa
berkomunikasi secara verbal (Hockenberry & Wilson, 2009).

2.4 Terapi Dekapan


Terapi dekapan atau disebut juga dengan terapi memegang (comfort holding),
clinical holding atau imobilisasi merupakan tindakan untuk membatasi
gerakan anak (Brenner, Parahoo, & Taggarat, 2007). Terapi dekapan
merupakan salah satu bentuk restrain yang digunakan untuk membantu
pelaksanaan prosedur pada anak yang kurang kooperatif, untuk melarang
campur tangan anak dalam prosedur dan peralatan. Dampak pemberian
restrain pada beberapa literatur menggambarkan dampak psikologis bagi
anak. Oleh karena itu perlu prinsip restrain perlu diperhatikan, salah satunya
adalah mengkomunikasikan teknik restrain yang akan digunakan dan tidak
menyakiti anak. Restrain biasanya dilakukan tanpa kehadiran orang tua,
sehingga semakin menyebabkan distress yang meningkat pada anak. Namun,
saat ini terapi dekapan dilakukan sebaliknya, dengan menerapakan prinsip
family centered care memberdayakan orang tua dalam melakukan restrain
tersebut.

Terapi dekapan merupakan penggunaan posisi yang nyaman, aman, dan


temporer yang memberikan kontak fisik yang erat dengan orang tua atau
pengasuh (Hockenberry & Wilson, 2009). Terapi dekapan dilakukan dengan
memposisikan badan anak menghadap ke ibu, dimana dada anak bertemu
dengan dada ibu. Terapi dekapan berbeda dengan pembatasan aktivitas fisik
12
lainnya. Perbedaannya terletak pada tingkat kekuatan dan keterlibatan anak.
Terapi dekapan ini pernah diterapkan pada anak autis, dimana hasilnya dapat
membuat anak membuka hubungan dengan orang lain sehingga mengurangi
perilaku berlebihan atau agresivitas (Mercer, 2009). Terapi ini juga dapat
meningkatkan rasa nyaman dan meminimalkan dampak perpisahan dengan
orang tua sehingga dapat mengurangi distres yang timbul akibat hospitalisasi
(Giese, 2010).

Penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2013) menyebutkan bahwa ada


pengaruh dekapan keluarga dan pemberian posisi duduk terhadap distres anak
yang dilakukan pemasangan infus (p= 0,025). Hasil penelitian menunjukkan
rata-rata skor distres pada anak yang diberi dekapan keluarga saat
pemasangan infus sebesar 2,30 dan rata-rata skor distres pada anak yang tidak
diberi dekapan keluarga saat pemasangan infus sebesar 3,25.

Terapi dekapan dapat diberikan semua keadaan baik dilakukan pada anak
maupun dewasa yang menerima pengobatan. Menurut Royal College of
Nursing (2010) tindakan ini harus dengan seizin anak atau orang tua, terlebih
dahulu menjelaskan kepada anak dan keluarga, adanya kebijakan yang
dilakukan pada saat dilakukan terapi dekapan sebagai pembatasan fisik,
adanya keperacayaan diridari tenaga kesehatan yang terlatih dan aman, tepat
dalam melakukan pembatasan fisik dan dekapan pada anak.

Terapi dekapan tidak dapat terlepas dari pemberian posisi yang nyaman bagi
anak. Pemberian posisi ini merupakan teknik yang teat dalammembantu
meminimalkan dampak distres pada anak saat dilakukan prosedur invasif.
Pemberian posisi ini dapat dilakukan dalam berbagai macam tindakan invasif
diantaranya pemasangan infus, pengambilan sampel darah, pemasangan
NGT, imunisasi dan pemberian injeksi. Tujuan pemberian posisi yang
nyaman menurut The Children Mercy Hospital (2010) adalah untuk
imobilisasi ekstremitas anaksaat dilakukan prosedur, memberikan rasa aman
dan senang bagi anak, memberikan kenyamanan melalui kontak langsung

13
dengan orang tua. Orang tua berpartisiasi memberikan bantuan posisi bukan
dalam bentuk menahan secara negatif.
Beberapa posisi yang nyaman saat dilakukan terapi dekapan, diantaranya
adalah (American Family Children's Hospital, & Saint Joseph's Children's
Hospital) :
1. Posisi duduk dalam dekapan keluarga (Bear Hug Position)
Anak duduk dipangku ibu, ayah atau keluarga lain dengan chest to chest
straddle position, yaitu posisi anak berhadapan, dengan dada anak
bersandaran pada dada orang yang memangku, dengan posisi kaki anak
mengangkang pada pangkuan, lengan orang tua atau keluarga yang
memangku mendekap tubuh anak. Pada posisi ini anak tidak melihat
prosedur tindakan, sebagian daerah lengan dan kepala dilakukan dekapan.
Pada posisi ini biasanya 2 orang sebagai restrain (Two hold person).

14
2. Posisi duduk ke samping (Side sitting position)
Posisi ini diberikan pada anak yang lebih besar bila anak tidak dapat
duduk mengangkang pada perawat atau orang tua, gerakan tubuh dapat
diminimalkan tetapi kaki dapat berayun sehingga dapat bergerak bebas.

3. Posisi tidur membedong/meringkuk (Swaddle/ Snuggle position)


Posisi ini diberikan pada bayi dengan menempatkan orang tua atau
pengasuh berbaring menyamping di tempat tidur. Orang tua tetap menjaga
kontak mata dengan bayinya dan mendekap mulai dari kaki hingga
lengan. Orang tua dapat menggunakan lengannya atau selimut sebagai
penahan. Bahu dan ekstremitas daerah penusukan jarum bayi dalam posisi
stabil.

4.

Posisi Memeluk dari Belakang (Kangaroo Hug)


15
Posisi ini dilakukan dengan cara memeluk dari belakang tubuh pada
bagian atas dan di bawah pinggang anak. Kaki orang tua disilangkan di
atas kaki anak atau membungkus sekitar kaki anak dengan selimut. Posisi
ini dapat digunakan pada anak usia prasekolah dan sekolah.

5. Posisi sentuhan yang nyaman (Comfort Touch)


Posisi ini dapat digunakan pada anak usia sekolah dan remaja. Sentuhan
dapat dilakukan di tangan dan lengan. Keluarga dapat memijat dengan
lembut tubuh anak (kepala, wajah, lengan, kaki). Perawat yang akan
melakukan penusukan
16
memegang tangan anak di tempat tidur. Sebisa mungkin memberikan
posisi rileks bagi anak. Perawat juga dapat menganjurkan anak melalui
ibunya agar tetap melakukan relaksasi nafas dalam.

2.5 Teori Keperawatan Comfort Kolcaba


Kenyamanan menjadi suatu hal yang perlu dicapai dalam pemenuhan
pemberian asuhan keperawatan, kolcaba mengemukakan teori kenyamanan
ini. Teori Comfort Kolcaba dikembangkan pada tahun 1990-an yang
merupakan Middle Range Theory untuk praktik, pendidikan dan penelitian
di bidang kesehatan (Tomey & Alligood, 2006). Katharine Kolcaba
merupakan tokoh keperawatan yang kemudian membawa kembali konsep
kenyamanan sebagai landasan utama dalam memberikan pelayanan
kesehatan dalam sebuah teori yaitu Comfort Theory and Practice: a Vision
for Holistic Health Care and Research. (March, A. & McCormack, D.,
2009).
2.5.1 Konsep Teori Comfort Kolcaba
Definisi comfort atau kenyamanan adalah pengalaman yang diterima
oleh seseorang dari suatu intervensi. Hal ini merupakan pengalaman
langsung dan menyeluruh ketika kebutuhan terpenuhi (Peterson &
Bredow, 2010).

17
Gambar 2. Skema Hubungan antar Konsep dalam Teori Kenyamanan

Hubungan antar konsep dari teori kenyamanan bisa dideskripsikan sebagai


berikut : (1) Perawat mengidentifikasi kebutuhan kenyamanan klien dan
anggota keluarga, khususnya kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi oleh
support system eksternal, (2) Perawat menyusun rencana keperawatan untuk
memenuhi kebutuhan kenyamanan, (3) intervening variables diperhitungkan
dalam merancang intervensi dan menentukan keberhasilan intervensi, (4)
intervensi yang efektif dan dilakukan dengan caring yang hasilnya akan
langsung terlihat sebagai peningkatan rasa nyaman. Intervensi ini disebut
comfort measures. Sedangkan comfort care akan mengkaitkan semua
komponen, (5) Pasien dan perawat sepakat tentang HSBs (Health Seeking
Behavior) yang diinginkan, (6) Bila kenyamanan tercapai, pasien dan anggota
keluarga terikat oleh HSBs yang akan meningkatkan kenyamanan lebih
lanjut, (7) Bila pasien dan keluarga telah memiliki HSBs yang kuat sebagai
hasil dari comfort care, perawat dan keluarga akan lebih puas dengan
pelayanan kesehatan, dan (8) bila perawat dan klien puas terhadap institusi
pelayanan, masyarakat akan mengetahui kontribusi institusi tersebut terhadap
program kesehatan pemerintah.

Teori kenyamanan memiliki tiga unsur, yaitu :


1. Relief
Relief didefinisikan sebagai keadaan dimana rasa tidak nyaman berkurang
dengan latar belakang teoritikal ini dalam teori Orlando (1961) yaitu
filosofi keperawatan berdasarkan kebutuhan
18
2. Ease
Ease didefinisikan sebagai hilangnya rasa tidak nyaman yang spesifik
dengan latar belakang teoritikal Henderson (1966) tentang 13 kebutuhan
dasar manusia. Untuk berada dalam tingkat ease, pasien atau keluarga
tidak harus mempunyai pengalaman ketidaknyamanan spesifik
sebelumnya (misalnya kecenderungan nafas pendek pada anak dengan
asthma atau kecemasan akut pada anggota keluarga)
3. Transcendence
Transcendence didefinisikan sebagai keadaan dimana seseorang bangkit
dari ketidaknyamanan tersebut tidak dapat dihindari (misalnya anak
merasa percaya diri terhadap ambulasi walaupun dia tahu hal tersebut
akan memperparah nyeri). Transcendence merupakan turunan dari teori
yang dikembangkan oleh Peterson dan Zderad, 1975 dalam Tomey &
Alligood, 2006).

Terdapat empat aspek pengalaman holistik/menyeluruh berdasarkan teori


comfort Kolcaba meliputi kenyamanan fisik, psikospiritual, sosiokultural,
lingkungan. Pengkajian terhadap kebutuhan kenyamanan fisik, psikospiritual,
sosiokultural dan lingkungan dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Kebutuhan kenyamanan fisik
Kebutuhan kenyamanan fisik berhubungan dengan mekanisme sensasi
tubuh dan homeostasis, meliputi penurunan mekanisme fisiologis
beresiko karena suatu penyakit atau prosedur invasif. Terdapat dua
kebutuhan fisik yaitu kebutuhan fisik yang tak terlihat dimana pasien atau
keluarga tidak waspada (keseimbangan cairan dan elektrolit, oksigenasi
dan termoregulasi) dan kebutuhan fisik yang terlihat (nyeri, mual,
muntah, gestur tubuh, menangis). Beberapa cara untuk memenuhi
kebutuhan fisik diantaranya: (a) Memberikan obat (anti cemas,
analgesik) sesuai order; (b) Merubah posisi; (c) Backrub; (d)
Menggunakan kompres (panas/ dingin); dan (e) Sentuhan terapeutik.

19
2. Kebutuhan kenyamanan psikospiritual
Kebutuhan kenyamanan psikospiritual berhubungan dengan kewaspadaan
diri secara internal seperti harga diri, meliputi kebutuhan terhadap
kepercayaan diri, motivasi. Kebutuhan ini seringkali dipenuhi dengan
ketenangan jiwa yang berfokus pada transcendence seperti pijatan,
kebersihan mulut, pengunjung, sentuhan dan memfasilitasi kenyamanan
personal.
Beberapa cara untuk memenuhi kebutuhan psikospiritual diantaranya :
a. Mengenali kebutuhan akan interaksi
b. Tingkatkan sosialisasi dengan menyediakan tempat dan waktu
dengan orang lain
c. Libatkan keluarga dan orang lain pada rencana keperawatan
Pengkajian aspek psikospritual pada bayi dapat dilakukan dengan
melibatkan orangtua (family centered care). Orangtua dapat
memberikan pendekatan spritual pada bayi sesuai dengan agama
yang dianut, misal beragama islam maka orangtua dapat memberikan
terapi murottal sebagai bentuk perkenalan spritual pada bayi.
Sedangkan aspek psikologis, pengkajian pada bayi dapat dilakukan
dengan menilai temperamen bayi, perilaku bayi serta kemampuan
beradaptasi dengan menggunakan skala ukur temperamen.
3. Kebutuhan kenyamanan sosiokultural
Kebutuhan kenyamanan sosiospiritual berhubungan dengan hubungan
interpersonal, keluarga dan masyarakat, meliputi kebutuhan terhadap
ketenangan hati, dukungan, bahasa tubuh yang positif, dan perawatan dari
sudut pandang budaya. Kebutuhan ini termasuk perilaku dapat melakukan
(a can do attitude), pesan kesejahteraan (message of wellness) dan
jaminan tentang anda melakukan dengan baik (youre doing great)
yang dilakukan oleh perawat selama bertugas. Kebutuhan sosial juga
termasuk kebutuhan pendampingan finansial keluarga, pendampingan
tugas pekerjaan dan hubungan selama hospitalisasi jika dukungan
keluarga mempunyai keterbatasan. Discharge planning dapat membantu
memenuhi kebutuhan sosial transisi sebelum ke rumah

20
4. Kebutuhan kenyamanan lingkungan
Kebutuhan kenyamanan lingkungan berhubungan dengan latar belakang
eksternal berdasarkan pengalaman manusia seperti sinar, suara, tempat
tinggal, warna, suhu dan elemen sintesis alam. Kebutuhan ini meliputi
kerapian, lingkungan yang tenang, perabotan yang nyaman, bau
lingkungan yang minimal, keamanan, perhatian dan saran terhadap
adaptasi lingkungan di ruangan rumah sakit dan rumah pasien atau
keluarga. Perawat semestinya melakukan upaya
Beberapa cara untuk memenuhi kebutuhan lingkungan di antaranya :
a. Menurunkan kegaduhan
b. Mengurangi pencahayaan pada saat tidur
c. Memfasilitasi promosi kesehatan lingkungan lainnya.
Baris 1

Health care Nursing Intervention Enchanced Health Institusional


Health
need Intervention Variable comfort seeking Integrity
behaviour

Baris 2
Kepuasan
Kebutuhan Intervensi Usia Kenyamanan Internal, keluarga,
rasa nyaman kenyamanan perkembanga fisik, eksternal, lama rawat
anak dan n, dukungan psikopsiritual, meninggal berkurang,
keluarga sosial, lingkungan, dengan tindakan
diagnosis SES tenang medis
sosiokultural

Baris 3
Perawat
Kebutuhan Protokol Comfort percaya LOS
kenyamanan prosedur behavioural anak minimal,
pada tindakan checklist mendapat kebutuhan
Catatan usia
prosedur (CBC) kenyamanan sedassi
anak dan
invasif dan tidak berkurang,
kehadiran
nyeri kepuasan
keluarga
meningkat

Gambar 3. Kerangka kerja konseptual pada comfort theory pada anak

21
2.3.2 Aplikasi Comfort Theory dengan menggunakan Terai Dekapan

Penerapan teori keperawatan merupakan salah satu upaya memberikan


penanganan yang tepat bagi anak yang mengalami distres dan nyeri. Kolcaba
dan DiMarco (2005) memperkenalkan sebuah teori yaitu teori kenyamanan.
Kenyamanan merupakan suatu keadaan terpenuhinya kebutuhan dasar
manusia, meliputi dimensi fisik, psikospiritual, sosiokultural dan lingkungan.
Teori kenyamanan dipaparkan dalam beberapa aspek yaitu kebutuhan
perawatan kesehatan pasien, intervensi keperawatan yang dapat dilakukan,
faktor-faktor yang mempengaruhi kenyamanan, perilaku keluarga yang
mendukung pasien kepada kenyamanan, kenyamanan terkait pelayanan
kesehatan dan peningkatan kenyamanan (enhanced comfort).

Berbagai aspek kenyamanan ini tentunya dapat diterapkan dengan


mempertahankan prinsip perawatan atraumatik. Perawat mempunyai peran
penting dalam memberikan kenyamanan bagi anak dan seminimal mungkin
mencegah trauma fisik maupun psikologis anak. Prosedur pemasangan infus
dapat menimbulkan stres hospitalisasi pada anak. Terkait dampak
hospitaslisasi maka dapat dilakukan pencegahan dengan melakukan
pendekatan atraumatic care melalui pemberian terapi dekapan. Intervensi ini
melibatkan keluarga sebagai orang terdekat anak, sehingga dapat memberikan
kenyamanan.

22
BAB III
PENGKAJIAN DAN ANALISIS RUANGAN

3.1 Pengkajian
Kegiatan pengkajian dilakukan untuk mengidentifikasi kebutuhan atau
masalah yang terjadi di ruangan. Mahasiswa melakukan pengkajian dengan
cara wawancara dengan kepala ruangan, CI maupun perawat pelaksana. Selain
wawancara mahasiswa juga melakukan observasi tindakan terkait pemasangan
infus di ruang tindakan. Pelaksanaan pengkajian dilakukan pada minggu
kedua. Hasil dari pengkajian tersebut yaitu:

3.1.1 Pengkajian Ruangan


a. Kriteria Ruang Rawat Anak Gedung A lantai 1 dan lantai 2
Ruang Rawat Anak Gedung A lantai 1 dan lantai 2 terdiri atas 75
tempat tidur. Ruang Rawat Anak Gedung A lantai 1 terdiri dari 9
ruangan dan dibagi 4 ruangan untuk ruang rawat infeksi dan 5
ruangan untuk ruang rawat non infeksi, sedangkan Ruang Rawat
Anak Gedung A lantai 2 terdiri dari 4 ruangan. Ruang rawat infeksi
terdiri dari 27 tempat tidur dilantai bawah dan atas
b. Tenaga Perawat
Tenaga perawat di Ruang Rawat Anak Gedung A lantai 1 dan lantai
2 terdiri atas 66 orang perawat dengan klasifikasi jenjang spesialis
keperawatan anak sejumlah 1 orang, ners (S1) sejumlah 8 orang,
diploma (D3) berjumlah 56 orang dan SPK 1 orang.

3.1.2 Analisa Hasil Pengkajian


Data pengkajian yang diperoleh kemudian dianalisis dengan
menggunakan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity and
Threat). Hasil analisis SWOT adalah sebagai berikut:

23
24

a. Kekuatan (Strength)
1. Sumber Daya Manusia
a) Perawat memiliki pengetahuan dan keterampilan yang baik
terhadap perawatan anak, yang diperoleh melalui pendidikan dan
pelatihan di rumah sakit dan di luar rumah sakit.
b) Perawat memiliki skill yang baik dalam pemasangan infus anak
dan bayi.
c) Perawat memiliki keterbukaan terhadap hal baru terkait pemberian
keperawatan
d) Perawat memperhatikan kebutuhan aman dan nyaman pasien.

2. Pelayanan Keperawatan
a) Tindakan invasif menggunakan teknik steril seperti pemasangan
infus
b) Tersedianya SOP tindakan keperawatan yang dilakukan di
ruangan.
c) Perawat mendokumentasikan hasil pengkajian dan implementasi
keperawatan yang telah dilakukan

3. Sarana dan Prasarana


Setiap ruangan mempunyai:
a) Peralatan tindakan invasif berada pada kondisi siap pakai seperti
alat pemasangan infus, NGT, dll
b) Fasilitas pencegah infeksi di setiap ruangan: tempat cuci tangan,
sabun antiseptik, handrub (setiap bed pasien), tisu pengering dan
panduan teknik cuci tangan yang benar
c) Pemeliharaan sarana dan prasarana dengan baik

4. Lingkungan
a) Pengaturan dengan baik mengenai kebersihan, suhu, sirkulasi
udara dan pencahayaan ruangan dan diusahakan memenuhi standar
kebutuhan pasien.
b) Letak peralatan yang dibutuhkan mudah dijangkau.
25

b. Kelemahan (Weakness)
1. Sumber Daya Manusia
Rasio perawat dan pasien yang tidak sesuai. Setiap shift perawat yang
bertugas untuk 1 kamar berisi 6 pasien hanya 1 perawat, sehingga
rasio perawat dan pasien tidak ideal yaitu 1 perawat merawat 6-8
pasien.
2. Tingkat ketergantungan anak tinggi

c. Peluang (Opportunity)
1. Adanya mahasiswa S2 yang praktik residensi.
2. Adanya dukungan dari CCM dan kepala ruangan untuk melakukan
perubahan.

d. Ancaman (Threat)
1. Belum optimal implementasi terapi dekapan saat pemasangan infus
2. Beberapa orang tua pasien menjauh ketika pasien hendak dipasang
infus.
3. Penolakan dari perawat ataupun orang tua pasien untuk menerapkan
intervensi dekapan dan posisi duduk saat pemasangan infus
26

3.2 Bentuk Kegiatan


Tabel 3. Bentuk dan Jadwal Pelaksanaan Kegiatan
Hari/ Tanggal
Kegiatan
13/09 15/09 20/09 22/09 28/09 29/09 30/09 3-7/10 10/10 13/10
Pengkajian
Pembuatan
proposal
Konsultasi
proposal
Revisi proposal
Sosialisasi
proyek inovasi
Implementasi,
monitoring, &
evaluasi
Penyusunan
Laporan akhir
Seminar Hasil

3.3 Sasaran
Sasaran kegiatan ini adalah orang tua (keluarga) dan anak yang dipasang infus
berusia 1-6 tahun di ruang rawat infeksi gedung A lantai 1 dan 2 RSUPN Dr.
Cipto Mangunkusumo.
27

3.4 Strategi Pelaksanaan


a. PLAN (PERENCANAAN)
N0 KEGIATAN TUJUAN METODE PELAKSANA OUTPUT WAKTU
1. Identifikasi masalah dan Penentuan masalah Observasi Tim Temuan masalah 13-14 September
kesepakatan tema dengan dan mencari trend ruangan dan tema proyek 2016
pembimbing issue/EBP untuk inovasi
penyelesaian Wawancara
masalah
Konsultasi
dengan
pembimbing
2. Menentukan instrumen Menentukan latar Observasi di Tim Instrumen 15-16 September
pengukuran, mengumpulkan belakang dan ruang tindakan pengukuran skor 2016
data untuk studi pendahuluan urgensi masalah nyeri anak
yang akan dicari Pencatatan skor Skor nyeri anak
solusi nyeri pada kelompok
penyelesaiannya menggunakan intervensi dan
instrumen yang kelompok kontrol
telah disepakati
3. Menyusun proposal Penuangan ide dan Studi literatur Tim Proposal 19-20 September
gagasan 2016

3. Sosialisasi proyek inovasi Penyampaian ide Diskusi dan Tim Kesepakatan untuk 30 September
dan gagasan ke tanya jawab mencoba terapi 2016
kepala ruangan dan mendekap dan
28

perawat ruangan pemberian posisi


duduk
5. Penerapan terapi mendekap Menerapkan teori Menjelaskan Semua perawat Skor nyeri anak 3-7 Oktober 2016
dan posisi duduk kenyamanan, kepada orang dan mahasiswa saat dilakukan
perawatan tua tentang praktik yang pemasangan infus
atraumatik, dan terapi mendekap melakukan dengan terapi
family centered yang akan tindakan mendekap lebih
care dilakukan pemasangan rendah
infus
6. Rekapitulasi hasil observasi Mengetahui Deskripsi hasil Tim Hasil observasi 7-8 Oktober 2016
dan skor nyeri anak setelah perbedaan skor observasi lapangan selama
dilakukan terapi mendekap nyeri anak pada lapangan tindakan dilakukan
dan dilakukan analisis data kelompok
intervensi dan Perhitungan Skor nyeri anak
kelompok kontrol skor nyeri
untuk mengukur berdasarkan
keefektifan instrumen yang
intervensi dipakai
(FLACC)
7. Penyusunan laporan akhir Mengumpulkan Analisis data Tim Laporan akhir 10-11 Oktober
hasil poyek inovasi, dan Pembahasan proyek inovasi 2016
melakukan analisis
data, dan membahas
hasil yang diperoleh
29

8. Seminar Hasil Menyampaikan Pemaparan hasil Tim Laporan Akhir 13 Oktober 2016
hasil proyek inovasi proyek inovasi
kepada seluruh
perawat ruangan Diskusi/Tanya Masukan dari
jawab pembimbing
30

b. DO (PELAKSANAAN)
Penerapan terapi mendekap dan pemberian posisi duduk dimotori oleh
kelompok ruangan infeksi Residensi Keperawatan Anak Lanjut II
yang kemudian diikuti oleh perawat ruangan dan mahasiswa
keperawatan lain yang melakukan tindakan pemasangan infus di
Ruang Infeksi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Periode pelaksanaan tindakan tanggal 3 7 Oktober 2016 dan
diharapkan akan dilanjutkan oleh perawat ruangan.
Penerapan proyek inovasi dimulai dari tahap persiapan, meliputi: (1)
persiapan alat, yaitu persiapan pemasangan infus; (2) persiapan pasien
dan orang tua, yaitu menjelaskan prosedur terapi mendekap dan
meminta persetujuan orang tua untuk mau melakukannya; (3)
persiapan perawat, yaitu pengetahuan dan tentang terapi mendekap
dan kesiapan diri (mental dan spiritual perawat), tahap pelaksanaan,
dan evaluasi menggunakan instrumen FLACC.

c. CHECK (PENGUKURAN)
Keefektifan penerapan terapi mendekap dan pemberian posisi duduk
dinilai melalui lembar observasi lapangan, instrumen FLACC untuk
menentukan perbedaan skor nyeri pada kelompok intervensi dan
kelompok kontrol.
Hasil evaluasi pada kelompok intervensi dan kontrol akan diuji secara
statistik dan akan dilakukan analisis data sampai dengan penyusunan
kesimpulan.

d. ACT (TINDAK LANJUT)


Penerapan terapi mendekap dan pemberian posisi duduk dapat
dilanjutkan oleh perawat Ruang Infeksi setelah proyek inovasi ini
selesai.
Adanya kebijakan ruangan dalam penerapan terapi mendekap,
pemberian posisi duduk, ataupun intervensi-intervensi lain yang
memiliki prinsip perawatan atraumatik dan family centered care.
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
4.1.1 Distribusi Responden Berdasarkan Usia
Tabel 4.1
Distribusi Responden Berdasarkan Usia pada Kelompok
Kontrol dan Kelompok Intervensi, September - Oktober 2016 (n=20)

Variabel Kelompok n Mean SD

Usia Kontrol 10 2.6 1.47

Intervensi 10 2.6 1.26

Tabel 4.1 menunjukkan rerata usia anak pada kelompok kontrol adalah 2,6
tahun (SD= 1,47) dan rerata usia anak pada kelompok intervensi adalah 2,6
tahun (SD= 1,26).

4.1.2 Hasil Penilaian Tingkat Nyeri Anak yang mendapatkan


Pemasangan Infus Pada Kelompok Kontrol dan Intervensi

Gambar 4. Hasil Penilaian Skor Nyeri Anak yang dilakukan Pemasangan


Infus pada Kelompok Kontrol
Berdasarkan Gambar 4. di atas, dapat dilihat sebagian besar anak yang
memperoleh pemasangan infus pada kelompok kontrol, mengalami nyeri
berat, yaitu sebanyak 8 orang anak (80%), dan 2 orang (20%) yang
mengalami nyeri sedang, dan tidak ada seorang anak pun yang mengalami
nyeri ringan atau tidak nyeri.

Tingkat Nyeri pada


Kelompok Intervensi

0%
20%

80%

0= tidak nyeri 1-3= nyeri ringan


4-6=nyeri sedang 7-10=nyeri berat sekali

Gambar 5. Hasil Penilaian Skor Nyeri Anak yang mendapatkan Pemasangan


Infus pada Kelompok Intervensi

Berdasarkan Gambar 5. diperoleh data bahwa sebagian besar anak yang


memperoleh pemasangan infus pada kelompok intervensi, mengalami nyeri
sedang, yaitu sebanyak 8 orang anak (80%), dan 2 orang (20%) yang
mengalami nyeri berat, dan tidak ada seorang anak pun yang mengalami
nyeri ringan atau tidak nyeri.
4.1.3 Hasil Penilaian Perbedaan Skor Nyeri Anak yang dilakukan
Pemasangan Infus Pada Kelompok Kontrol dan Intervensi

Grafik 4. Sebaran Skor Nyeri pada Kelompok Kontrol dan


Kelompok Intervensi

4.1.4 Hasil Penilaian Perbedaan Skor Distres Anak yang dilakukan


Pemasangan Infus Pada Kelompok Kontrol dan Intervensi

5
4
3
2
1
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
KONTROL INTERVENSI

Grafik 5. Sebaran Skor Distres pada Kelompok Kontrol dan


Kelompok Intervensi
Tabel 4.2
Analisis Perbedaan Distres pada Kelompok Kontrol dan
Kelompok Intervensi

Variabel n Mean SD p value

Skor CFS
Kontrol 10 3.8 0.42 0.006*
Intervensi 10 2.8 0.92
*ada pengaruh (p value < 0.05)

Tabel 4.2 menunjukkan hasil analisis perbedaan skor distres pada kelompok
kontrol dan kelompok intervensi. Hasil p value skor distres pada kedua
kelompok adalah 0,006 (p value <0,05). Hal ini menunjukkan bahwa
terdapat pengaruh yang bermakna terapi mendekap terhadap distres anak
yang mendapatkan pemasangan infus.

4.1.5 Hasil Penilaian Perbedaan Skor Nyeri Anak yang dilakukan


Pemasangan Infus Pada Kelompok Kontrol dan Intervensi

Tabel 4.3
Analisis Perbedaan Distres pada Kelompok Kontrol dan
Kelompok Intervensi

Variabel n Mean SD p value

Skor FLACC
Kontrol 10 7.6 1.35 0.002*
Intervensi 10 5.7 0.95
*ada pengaruh (p value < 0.05)

Tabel 4.3 menunjukkan hasil analisis perbedaan skor nyeri pada kelompok
kontrol dan kelompok intervensi. Hasil p value skor nyeri pada kedua
kelompok adalah 0,002 (p value <0,05). Hal ini menunjukkan bahwa
terdapat pengaruh yang bermakna terapi mendekap terhadap nyeri anak
yang mendapatkan pemasangan infus.
4.2 Pembahasan
4.2.1 Gambaran Variabel Usia Responden
Usia termuda pada kelompok Toddler baik pada kelompok intervensi
maupun kontrol dalam penelitian ini adalah 1 tahun dan yang paling
besar adalah 3 tahun. Menurut Perkembangan Kognitif Piaget anak
usia toddler masuk ke dalam tahap sensorimotor. Pada tahap ini anak
memahami dunianya melalui gerak dan inderanya, serta mempelajari
permanensi objektif, menggunakan kata-kata dan tindakan sebagai
strategi untuk menciptakan hasil yang diinginkan. Anak-anak usia 1-3
tahun masih lemah dalam mempersepsikan diri mereka terhadap
penyakit. Penelitian yang dilakukan oleh Waisnawa, Natalia, dan
Rahayu (2010) mengenai penerapan atraumatik dengan tingkat
kooperatif anak pada usia 1-3 tahun saat dilakukan injeksi intravena
di RSUD Bantul menunjukkan hasil bahwa ada hubungan yang
bermakna antara penerapan atraumatic care dengan tingkat kooperatif
anak usia 1-3 tahun dengan koefisien positif yang berarti semakin
baik penerapan atraumatic care pada anak, maka respon kooperatif
akan berada pada tingkatan yang tinggi pada anak.

Usia termuda pada kelompok usia sekolah pada penelitian ini adalah
4 tahun dan yang tertua adalah 5 tahun. Menurut Perkembangan
Kognitif Piaget anak usia prasekolah masuk ke dalam tahap
praoperasional. Selama tahap ini, anak mulai memiliki kecakapan
motoric, proses berfikir meskipun dianggap jauh dari logis.
Animisme dan egosentris merupakan ciri khas dari tahap
preoperasional (Ranuh & Soetjiningsih, 2014). Penelitian yang
dilakukan oleh James, Ghai, dan Sharma membuktikan bahwa
penerapan atraumatic care seperti teknik distraksi dapat membantu
menurunkan nyeri saat dilakukan venipuncture. Hasil penelitian
membuktikan adanya penurunan skor nyeri yang signifikan setelah
anak menonton film kartun saat dilakukan venipuncture.
Perawat dalam melakukan asuhan keperawatan kepada anak sangat
dibutuhkan kerjasama atau kooperatif anak, sehingga proses asuhan
keperawatan dapat berjalan lancar. Anak-anak tidak dapat
diperkirakan dan tidak dapat diharapkan untuk bekerja sama secara
total ketika menerima tindakan prosedural secara invasif, bahkan
anak-anak yang tampak rileks dapat kehilangan kontrol ketika
mengalami stres akibat hospitalisasi (Wong et al, 2009). Oleh sebab
itu, dengan menentukan apa yang diketahui anak dan mampu
memahami penyakit mereka merupakan tahap pertama dalam
membantu mereka alasan hospitalisasi. Kegiatan pelaksanaan
pelayanan dan perawatan kesehatan anak yang dilaksanakan di rumah
sakit sebaiknya tidak hanya pada kesehatan murni pada anak sakit,
tetapi juga harus ada upaya untuk membantu meningkatkan tingkat
kooperatif anak yang memungkinkan anak untuk bisa bekerja sama
dengan perawat saat dilakukan tindakan prosedural.

4.2.2 Perbedaan Rerata Skor Distress dan Nyeri Setelah Dilakukan


Terapi Mendekap saat Dilakukan Pemasangan Infus antara
Kelompok Intervensi dan Kontrol
Hasil analisis rerata skor distress dengan menggunakan Mean
Whitney antara kelompok intervensi dan kontrol menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan rerata yang signfikan skor distress pada kelompok
yang diberi terapi dekapan dengan kelompok tanpa terapi dekapan.
Perbedaan rerata skor distress antara kedua kelompok terjadi karena
pemberian posisi yang nyaman dari orang tua meminimalkan
timbulnya distress anak saat dilakukan prosedur pemasangan infus.
Pelukan dan immobilisasi ekstremitas pada anak saat dilakukan
prosedur akan memberikan rasa aman dan senang serta kenyamanan
melalui kontak langsung dengan orang tua dan paritisipasi positif dari
orang tua (Spark, Setlik, & Luhman, 2007).

Keterlibatan orang tua dalam menurunkan skor distress anak sejalan


dengan penelitian yang dilakukan oleh Cavender, Goff, Hollon, &
Guzzeffa (2004) mengenai efektifitas persiapan orang tua, pemberian
posisi duduk, dan teknik distraksi yang dilakukan pada anak usia 4-11
tahun saat dilakukan venipuncture. Hasil dari penelitian Cavender et
al. (2004) membuktikan terjadi penurunan skor distress pada
kelompok intervensi yang dilakukan teknik distraksi dan keterlibatan
orang tua dengan pemberian dekapan dan posisi duduk saat dilakukan
venipuncture. Anak yang secara langsung dapat melihat prosedur
tindakan memiliki tingkat distress yang lebih rendah dibandingkan
dengan yang tidak bisa melihat saat prosedur berlangsung (Spark,
Setlik, & Luhman, 2007). Oleh karena itu, keterlibatan orang tua
diperlukan untuk mengontrol emosi dan ketakutan anak. Fase
recoveri setelah prosedur invasif selesai akan lebih cepat dengan
hadirnya orang tua dan pemberian dekapan.

Spark et al. (2007) membuktikan bahwa pemberian terapi dekapan


dan posisi duduk dapat menurunkan distress anak saat dilakukan
pemasangan infus dan orang tua merasa nyaman dan puas atas
keterlibatannya langsung selama prosedur dengan memberikan
manajemen nyeri dan dukungan emosional langsung kepada anaknya.
Perbedaan tingkat kepuasan secara signifkan juga diperoleh dari
pemberian dekapan orang tua dengan posisi duduk (upright)
dibandingkan dengan terlentang (supine) dengan nilai p sebesar
0,034.

Hasil analisis rerata skor nyeri dengan menggunakan independent t-


test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifkan skor
nyeri anak yang diberi terapi dekapan dengan tanpa dekapan saat
pemasangan infus. Terapi dekapan merupakan bagian dari restrain
yang dilakukan secara terapeutik holding. Dekapan yang dilakukan
oleh orang tua pada anak-anak merupakan salah satu teknik yang
digunakan untuk memfasilitasi keterlibatan orang tua selama tindakan
procedural invasif (Brenner, 2007). Kelompok intervensi yang
diberikan terapi dekapan saat pemasangan infus mayoritas
menunjukkan nyeri sedang dibandingkan tanpa terapi dekapan
dengan mayoritas nyeri berat. Hal ini menunjukkan bahwa
keterlibatan orang tua tidak berdampak negatif terhadap kinerja medis
dan staf yang berada bersama anak mereka serta menunjukkan
berkurangnya kecemasan orang tua (Baucher et al., 1996).

Pasien anak juga akan mengalami distress fisik dan psikologis.


Dalam kondisi stres, gelombang otak seseorang berada dalam
frekuensi beta (14-100 Hz). Dalam frekuensi ini seseorang sedang
berada dalam kondisi terjaga atau sadar penuh dan didominasi oleh
logika. Saat seseorang berada di gelombang ini, otak kiri sedang aktif
digunakan untuk berpikir, konsentrasi dan sebagainya, sehingga
gelombangnya meninggi. Gelombang tinggi ini merangsang otak
mengeluarkan hormon kortisol dan norepinefrin. Pengeluaran hormon
inilah yang menyebabkan munculnya perasaan cemas dan stress
(Sentanu, 2007).

Pengurangan nyeri merupakan kebutuhan dasar dan hak bagi setiap


anak (Wong et al., 2009). Saat nyeri yang dirasakan anak tidak diatasi
dengan baik maka akan memberikan dampak pada fisik dan
psikologis anak (Twycross, et al., 2009). Teori mengenai nyeri
menjelaskan bahwa ketika perawat menyuntikkan jarum hal tersebut
merangsang serabut saraf kecil (reseptor nyeri), sehingga
menyebabkan inhibitor neuron tidak aktif dan gerbang terbuka, pada
saat yang bersamaan anak diberikan terapi dekapan yang memberikan
efek menenangkan dan merangsang serabut saraf besar menyebabkan
inhibitor neuron dan projection neuron aktif. Inhibitor neuroan
mencegah projection neuron mengirimkan sinyak ke otak, sehingga
gerbang tertutup dan stimulasi nyeri yang diterima tidak sampai ke
otak (Suzanne, 2010).
4.2.3 Aplikasi Teori Keperawatan Dalam Praktik Keperawatan Anak
Salah satu teori keperawatan yang dapat diaplikasikan langsung
dalam praktik keperawatan adalah teori kenyamanan Kolcaba karena
memiliki tingkat abstraksi yang rendah dan bersifat universal.
Kenyamanan adalah konsep sentral tentang kiat keperawatan,
terutama dalam pemberian asuhan keperawatan anak (Kolcaba &
DiMarco, 2005). Penerapan teori kenyamanan ini juga sejalan dengan
prinsip keperawatan anak, yaitu perawatan atraumatik. Dalam
perawatan atraumatik, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana
asuhan keperawatan yang diberikan dapat mengurangi dampak
perpisahan dengan orang tua, meningkatkan pengendalian diri dan
mengurangi ketakutan atau kecemasan, dan mengurangi nyeri atau
cedera (Hockenberry & Wilson, 2009). Salah satunya adalah
mengurangi nyeri yang dirasakan anak saat prosedur invasif seperti
saat dilakukan pemasangan infus. Pemasangan infus merupakan
prosedur medis yang berhubungan dengan jarum yang harus dijalani
anak saat melakukan pengobatan di rumah sakit (Heden, Poder, Von
Essen, & Ljungman, 2013).

Ketidaknyamanan berikutnya adalah distress sosial, dimana anak


menolak berinteraksi dengan perawat sehingga perawat sulit untuk
memberikan intervensi berikutnya, bahkan anak kadang menolak
intervensi yang diberikan. Hal ini akan berpengaruh pada
meningkatnya lama penyembuhan dan lama hari perawatan. Hal ini
juga akan berpengaruh pada perubahan peran keluarga dan
mekanisme koping keluarga. Peningkatan lamanya proses
penyembuhan juga akan menghalangi kebiasaan spiritual pasien
dalam beribadah. Hal ini menunjukkan sangat luas dan kompleksnya
bila prinsip kenyamanan tidak diperhatikan selama pemberian asuhan
keperawatan.

Setelah proses pengkajian dilakukan, langkah selanjutnya dalam


proses keperawatan adalah menentukan diagnosis keperawatan dan
merencanakan intervensi kenyamanan. Intervensi kenyamanan yang
dipilih disini adalah terapi mendekap. Terapi mendekap merupakan
salah satu bentuk restrain dan pemilihan posisi yang nyaman saat
dilakukan tindakan invasif. Tujuan terapi mendekap ini untuk
membatasi gerakan anak dan dapat berpengaruh terhadap
kenyamanan anak dan meminimalkan distres (The Childrens Mercy
Hospital, 2012). Terapi mendekap merupakan penggunaan posisi
menggendong yang nyaman, aman, dan temporer yang memberikan
kontak fisik yang erat dengan orang tua atau pengasuh (Hockenberry
& Wilson, 2009). Terapi mendekap ini dapat mendukung atraumatik
care pada anak untuk mengurangi rasa neri dan distress pada saat
pemasangan infus.

Terapi mendekap berbeda dengan pembatasan aktivitas fisik lainnya.


Perbedaannya terletak pada tingkat kekuatan dan keterlibatan anak.
Pemberian posisi dekapan lebih menciptakan rasa kontrol, sehingga
lebih sedikit orang yang diperlukan untuk menyelesaikan prosedur.
Terapi mendekap ini pernah diterapkan pada anak autis, dimana
hasilnya dapat membuat anak membuka hubungan dengan orang lain
sehingga mengurangi perilaku berlebihan atau agresivitas (Mercer,
2009). Terapi ini juga dapat meningkatkan rasa nyaman dan
meminimalkan dampak perpisahan dengan orang tua sehingga dapat
mengurangi distress yang timbul akibat hospitalisasi (Giese, 2010).

4.3 Hambatan dalam Pelaksanaan Proyek Inovasi


a. Posisi ruangan yang kurang sesuai untuk dilakukan terapi dekapan
saat pemasangan infus, sehingga menimbulkan kesulitan dalam
penerapan terapi dekapan
b. Adanya ketidaksediaan orang tua untuk mendampingi anaknya karena
alasan takut atau tidak tega
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
1. Mayoritas skor nyeri pada kelompok yang diberikan terapi dekapan saat
pemasangan infus adalah nyeri sedang.
2. Mayoritas skor nyeri pada kelompok yang tidak diberikan terapi dekapan
saat pemasangan infus adalah nyeri berat.
3. Terdapat perbedaan rerata yang signifikan skor distress dan nyeri antara
kelompok intervensi dan kontrol saat pemasangan infus.

5.2 Saran
5.2.1 Bagi Rumah Sakit
Berdasarkan hasil dari proek inovasi ini diharapkan terapi dekapan
dapat menjadi salah satu standar operasional prosedur yang diterapkan
di ruang rawat anak gedung A lantai 1 untuk mendukung perawatan
atraumatik bagi anak yang akan dilakukan tindakan invasif, terutama
pemasangan infus.
5.2.2 Bagi Perawat
Perawat diharapkan mampu menerapkan perawatan atraumatik dengan
melakukan intervensi terapi mendekap untuk meminimalkan stres
hospitalisasi dan nyeri pada anak dan keluarga saat anak dilakukan
tindakan invasif, terutama pemasangan infus.
5.2.3 Bagi pasien dan keluarga
Pemberian terapi dekapan pada saat pemasangan infus akan
meningkatkan rasa nyaman pada anak dan mendukung family centered
care, sehingga diharapkan orang tua mampu meningkatkan
keberaniannya untuk melakukan terapi dekapan pada anak sehingga
anak akan merasa nyaman dan mempercepat proses penyembuhan
pada anak
DAFTAR REFERENSI

American Academy of Pediatrics. (2013). American academy of pediatrics.


Retrieved from www.aap.org.

American Family Children's Hospital. (). Comfort positioning for procedures for
pediatric patients. Diakses pada tanggal 28 september 2016 dari
http://www.uwhealth.org/

Ball, J. W., Bindler, R. C., & Cowen, K. J. (2012). Principles of pediatric


nursing: caring for children (5th Edition). New Jersey: Pearson Education,
Inc.
Birmaher, B., Khetarpal, S., Cully, M., Brent, D., & McKenzie, S. (2012). Screen
for child anxiety related emotional disorders (scared). Retrieved from
www.wpic.pitt.edu/research
Bray, Snodin, & Carter. (2015). Holding and restraining children for clinical
procedures within an acute care setting: An ethical consideration of the
evidence.

Geise, H. (2010). Positioning for comfort, St. Joseph Children Hospital. Retrieved
from: http://ministryhealth.org, diakses tanggal 20 November 2015.

Guyton, A.C., & Hall, J.E. (2007). Buku ajar fisiologi kedokteran, Edisi 11.
Jakarta: EGC.

Heden, L., Poder, U., Von Essen, L., & Ljungman, G. (2013). Parents
perceptions of their child's symptom burden during and after cancer
treatment. Journal of Pain and Symptom Management, 46(3), 366375.
http://doi.org/10.1016/j.jpainsymman.2012.09.012
Hockenberry & Wilson. (2009). Wongs nursing care of infants and children, (8th
ed.). St. Louis: Mosby, Inc.

Kolcaba, K.Y. (1994). A theory of holistic comfort for nursing. Journal of


Advance Nursing, 19, 1178-1184. Retrieved from:
http://thecomfortline.com/files/pdf/1994.

Kolcaba, K., & DiMarco, M., A. (2005). Comfort theory and its application to
pediatric nursing. Pediatric Nursing, 31(3), 187-194. Retrieved from
http://www.medscape.com/viewarticle/507387.

Kolcaba & Wilson, L. (2005). Practical application of comfort theory in the


perianesthesia setting. Journal of PeriAnasthesia Nursing, 19 (3), 164-173.
March, A. & McCormack, D. (2009). Nursing Theory-Directed Healthcare
Modifying Kolcabas Comfort Theory as an Institution-Wide Approach.
Holistic Nursing Practice. Retrieved from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19258847

McMurtry, C. M., Noel, M., Chambers, C. T., & McGrath, P. J. (2011).


Children's fear during procedural pain: Preliminary investigation of the
children's fear scale. Health Psychology, 30(6), 780
788 http://dx.doi.org/10.1037/a0024817
Peterson, S. J. & Bredow, T. S. (2008). Middle range theories: Application to
nursing research, (2nd ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Ponidjan, T. S. (2013). Efektifitas posisi duduk dalam dekapan keluarga terhadap


stres anak prasekolah yang dilakukan prosedur pengambilan spesimen darah
infus. Tesis Fakultas Ilmu Keperawatan UI. Tidak Dipublikasikan.

Potter & Perry, (2009). Fundamentals of nursing, (7th ed.). Missouri : Mosby
Elsevier, Inc.

Potts, N.L., & Mandleco, B.L. (2012). Pediatric nursing caring for children and
their families.(3rded.). New York: Delmar Cengage Learning.

Purwanto & Zulaekah, 2007. Pengaruh pelatihan relaksasi religius untuk


menguragi gangguan insomnia, (online), (http://www.wordpress.com,
diakses 20 November 2015).

Royal College of Nursing. (2003). Restraining, holding still and containing


children and young people. England: RCN Publish.

Sabiston, David C. 2002. Buku Ajar Bedah. Jilid Pertama. Jakarta: EGC.

Sentanu, Erbe. 2007. Teknologi Aktivasi Kekuatan Hati. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo.

Smeltzer, S. C. & Bare, B. G. (2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah


Brunner & Suddarth (Edisi 8).Jakarta: EGC.

Tomey, A.M., & Alligood, M.R, (2006). Nursing theorist and their work sixth
edition. Mosby: Year Book.

Wong, D.L., Hockenberry, E.M., Wilson, D., Wilkelstein, M.L., & Kline, N.E.
(2009). Nursing care of infants and chidren. Missouri: Mosby, Inc.

Anda mungkin juga menyukai