Anda di halaman 1dari 56

TUTORIAL

TATALAKSANA GENERAL ANESTESI

Disusun oleh:
Lulu Nuraini Rahmat (2015730080)

Pembimbing:
Dr. M. F. Susanti, Sp. An

KEPANITERAAN KLINIK STASE ANESTESI


RSUD SAYANG CIANJUR
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat
dan hidayah-Nya referat ini dapat terselesaikan dengan baik. Laporan tutorial ini disusun
sebagai salah satu tugas kepanitraan klinik stase anestesi.

Dalam penulisan laporan tutorial ini, tidak lepas dari bantuan dan kemudahan yang
diberikan secara tulus dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. M. F. Susanti, Sp. An sebagai dokter pembimbing.

Dalam penulisan laporan tutorial ini tentu saja masih banyak kekurangan dan jauh
dari sempurna, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, kritik dan saran yang bersifat
membangun akan sangat penulis harapkan demi kesempurnaan laporan tutorial ini.

Akhirnya, dengan mengucapkan Alhamdulillahirobbil ‘alamin laporan tutorial ini telah


selesai dan semoga bermanfaat bagi semua pihak serta semoga Allah SWT membalas semua
kebaikan dengan balasan yang terbaik, Aamiin Ya Robbal Alamin.

Cianjur, Januari 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................................2
DAFTAR ISI........................................................................................................................................3
BAB I....................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN................................................................................................................................4
1.1. Latar Belakang....................................................................................................................4
BAB II..................................................................................................................................................5
TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................................................5
2.1. Teknik Anestesi....................................................................................................................5
2.1.1. Anestesi Umum............................................................................................................5
2.2. Obat-obat Anestesi.............................................................................................................12
2.2.1. Anestesi inhalasi.........................................................................................................12
2.2.2. Anestesi Intravena.....................................................................................................20
2.2.3. Agen Analgesik...........................................................................................................32
2.2.4. Neuromuscular Blocking Agent................................................................................37
2.2.5. Cholinestrase Inhibitor dan Obat Antagonis Neuromuscular Blocking Agent.....47
2.2.6. Antikolinergik............................................................................................................48
2.2.7. Agonist Adregenik.....................................................................................................49
2.2.8. Antagonist Adregenik................................................................................................52
BAB III...............................................................................................................................................53
KESIMPULAN..................................................................................................................................53
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................54

3
BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Seperti diketahui, bahwa setiap pasien yang akan menjalani tindakan invasif, seperti
tindakan bedah akan menjalani prosedur anestesi. Anestesi sendiri secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur
lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.

Obat untuk menghilangkan nyeri terbagi ke dalam 2 kelompok, yaitu analgetik dan
anestesi. Analgetik adalah obat pereda nyeri tanpa disertai hilangnya perasaan secara total.
seseorang yang mengkonsumsi analgetik tetap berada dalam keadaan sadar. Analgetik tidak
selalu menghilangkan seluruh rasa nyeri, tetapi selalu meringankan rasa nyeri. Beberapa jenis
anestesi menyebabkan hilangnya kesadaran, sedangkan jenis yang lainnya hanya
menghilangkan nyeri dari bagian tubuh tertentu dan pemakainya tetap sadar.

Terdapat beberapa tipe anestesi, yang pertama anestesi total, yaitu hilangnya
kesadaran secara total. Lalu anestesi lokal, yaitu hilangnya rasa pada daerah tertentu yang
diinginkan (pada sebagian kecil daerah tubuh), anestesi regional yaitu hilangnya rasa pada
bagian yang lebih luas dari tubuh oleh blokade selektif pada jaringan spinal atau saraf yang
berhubungan dengannya.

Pembiusan lokal atau anestesi lokal adalah salah satu jenis anestesi yang hanya
melumpuhkan sebagian tubuh manusia dan tanpa menyebabkan manusia kehilangan
kesadaran. Obat bius jenis ini bila digunakan dalam operasi pembedahan, maka setelah
selesai operasi tidak membuat lama waktu penyembuhan operasi.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teknik Anestesi
2.1.1. Anestesi Umum

Anesthesia umum dapat diartikan sebagai suatu tindakan yang menyebabkan


perubahan fisiologik yang reversibel yang dikondisikan untuk memungkinkan pasien
menjalani berbagai prosedur medis.

Tindakan anesthesia memiliki keuntungan dan kerugian tersendiri, tidak semua pasien
medis ideal untuk dijalani dibawah anestesia umum. Keuntungan dari anestesia umum ialah:

1. Pasien tidak sadar, mencegah ansietas pasien selama prosedur medis berlangsung
2. Efek amnesia meniadakan memori buruk pasien yang didapat akibat ansietas dari
berbagai kejadian intraopearatif yang mungkin memberikan trauma psikologis
3. Memungkinkan dilakukannya prosedur yang memakan waktu lama
4. Memudahkan kontrol penuh ventilasi pasien

Sedangkan berikut adalah kerugian dari anestesia umum:

1. Sangat mempengaruhi fisiologi. Hampir semua regulasi tubuh menjadi tumpul di


bawah anestesia umum
2. Memerlukan pemantauan yang Iebih holistik dan rumit
3. Tidak dapat mendeteksi gangguan susunan saraf pusat, misalnya perubahan kesadaran
4. Risiko komplikasi pascabedah lebih besar
5. Memerlukan persiapan pasien yang lebih seksama
1. Stadium Anestesia
Stadium anestesia (anesthesia stages) dibuat berdasarkan efek ether. Ether merupakan
zat anestetik volatil yang poten dan digunakan luas pada jamannya. Selama masa penggunaan
ether yang cukup lama, dilakukan observasi dan pencatatan lengkap mengenai anestesia
yang terjadi. Klasifikasi Guedel dibuat oleh Arthur Ernest Guedel pada 1937, meliputi:
a. Stadium (stage) 1: disebut juga “stadium induksi” yaitu periode masuknya obat
induksi hingga hilangnya kesadaran, yang antara lain ditandai dengan hilangnya
reflex bulu mata.

5
b. Stadium (stage) 2: disebut stadium eksitasi. Setelah kesadaran hilang, timbul eksitasi
dan delirium. Pernafasan menjadi iregular, dapat terjadi pasien menahan nafas.
Terjadi REM. Timbul gerakan-gerakan involuntari, seringkali spastik. Pasien juga
dapat muntah dan hal ini dapat membahayakan jalan napas. Pada stadium ini aritmia
jantung dapat terjadi. Pupil dilatasi sebagai tanda peningkatan tonus simpatis. Stadium
2 adalah stadium yang berisiko tinggi.
c. Stadium (stage) 3: disebut juga stadium pembedahan (surgical anesthesia) dibagi atas
4 plana (planes), yaitu:
Plana 1 : Mata berputar kemudian terfiksasi
Plana 2 : Refleks kornea dan refleks laring hilang
Plana 3 : Dilatasi pupil, refleks cahaya hilang
Plana 4 : kelumpuhan otot interkostal, pernafasan menjadi abdominal dan dangkal
d. Stadium (stage) 4: merupakan stadium overdosis obat anestetik. Anestesia menjadi
terlalu dalam. Terjadi depresi berat semua sistem tubuh termasuk batang otak.
Stadium ini letal.
2. Persiapan Anestesia
Hal pertama yang harus ketika masuk ruang bedah adalah memastikan sumber listrik
terpasang pada peralatan elektronik. Lampu ruangan, mesin anestesia, berbagai alat pantau,
mesin penghangat, tempat tidur/blanket roll, infusion pumps, syringe pumps, defibrillator,
sumber gas terutama O2 dan periksa juga kondisi APL valve (adjustable pressure-limiting
valve), yaitu katup yang dapat diatur untuk mengeluarkan gas ke udara Iuar jika tekanan di
sirkuit nafas tinggi, peralatan elektronik yang harus dipastikan berfungsi.
Berikutnya menyiapkan STATICS yaitu memastikan kelengkapan alat yang harus disediakan
sebelum anesthesia. Yang termasuk kedalam STATICS ialah:
 S = Scope. Yang dimaksud adalah laringoskop dan stetoskop. Laringoskop harus
diperiksa lampunya cukup terang atau tidak. Stetoskop diperlukan untuk konflrmasi
bunyi nafas paru kanan-kiri setelah intubasi endotrakeal. Stetoskop juga dapat
digunakan untuk memantau intensitas dan irama denyut jantung
 T = Tube. Yang dimaksud adalah endotracheal tube (ETT). ETT disiapkan dengan
ukuran yang sesuai, disertai satu ukuran dibawahnya dan satu ukuran diatasnya.
 A= Airway, Yang dimaksud dengan airway slat-alat untuk menahan agar lidah tidak
jatuh, yaitu pipa orofaringeal Guedel atau pipe nasofaringeal.

6
 T= Tapes, Tapes adalah pita plester yang akan digunakan untuk memfiksasi ETT
nantinya
 I= Introducer, yaitu kawat atau tongkat kecil yang dimasukkan ke dalam ETT untuk
memudahkan tindakan intubasi. Alat ini harus fleksibel agar dapat diatur.
 C= Connector, penghubung antara ETT dengan sirkuit nafas.
 S= Suction, disampling mesin anestesia harus tersedia mesin penghisap yang berguna
untuk membersihkan jalan nafas ketika terpasang laringoskop-intubasi, selama
anestesia berlangsung, dan menjelang atau sesudah ekstubasi.
Setelah STATICS dan perlengkapan lain sudah lengkap, barulah dapat disiapkan obat-
obatan yang akan digunakan. Ketika pasien masuk di ruang bedah, ada hal pertama yang
harus dilakukan yaitu memastikan patensi akses intravena dan memasang alat pantau pada
pasien. Akses intravena adalah keharusan setiap anesthesia umum karena bukan saja penting
untuk memasukkan obat, namun juga penting untuk memberikan obat dan cairan resusitasi
bila diperlukan.
Ada dua masa kritikal anestesia, ketika induksi anestesia dan ketika pengakhiran
anestesia (emergence). Ekstubasi dalam keadaan sadar menguntungkan karena refleks
pertahanan diri pasien telah pulih. Kemungkinan obstruksi jalan napas karena sekret menjadi
kecil. Akan tetapi kondisi ini juga dapat memicu bahaya misalnya hipertensi. Ekstubasi
ketika anestesia masih dalam sangat menguntungkan bagi hasil pembedahan, namun
memerlukan kewaspadaan lebih lama. Anestesiologis harus mendampingi pasien hingga
kondisinya benar-benar aman dan pasien dapat diobservasi secara normal di ruang pulih.

2. Teknik General Anestesi

General anestesi menurut Mangku dan Senapathi (2010), dapat dilakukan


dengan 3 teknik, yaitu :

a) General Anestesi Intravena

Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan menyuntikkan


obat anestesi parenteral langsung ke dalam pembuluh darah vena.

b) General Anestesi Inhalasi

Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan memberikan


kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau cairan yang
mudah menguap melalui alat atau mesin anestesi langsung ke udara

7
inspirasi.

c) Anestesi Imbang

Merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan kombinasi obat-


obatan baik obat anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi atau
kombinasi teknik general anestesi dengan analgesia regional untuk
mencapai trias anestesi secara optimal dan berimbang, yaitu :

(1) Efek hipnotik, diperoleh dengan mempergunakan obat hipnotikum


atau obat anestesi umum yang lain.

(2) Efek analgesia, diperoleh dengan mempergunakan obat analgetik


opiat atau obat general anestesi atau dengan cara analgesia regional.

(3) Efek relaksasi, diperoleh dengan mempergunakan obat pelumpuh


otot atau general anestesi, atau dengan cara analgesia regional.

3. Obat-obat General Anestesi

Pada tindakan general anestesi terdapat beberapa teknik yang dapat


dilakukan adalah general anestesi dengan teknik intravena anestesi dan
general anestesi dengan inhalasi, berikut obat-obat yang dapat digunakan
pada kedua teknik tersebut.

Obat-obat Anestesi Intravena Obat-obat Anestesi Inhalasi

1)Atropine Sulfat 1) Nitrous Oxide


2)Pethidin 2) Halotan
3)Atrakurium 3) Enfluren
4)Ketamine HCL 4) Isofluran
5)Midazolam 5) Sevofluran
6)Fentanyl
7)Rokuronium bromide
8)Prostigmin

Obat-obat Anestesi Intravena

❖ Propofol

8
● Inhibisi neurotransmiter GABA.
● Induksi anestesi dan sedasi sedang hingga berat.
● Efek :
- CNS : Hypnotik, neuroproteksi.
- Cardiovaskuler : Vasodilatasi.
- Respirasi : depresi nafas.
● Dosis :
- Sedasi : bolus, iv, 5-50 mg.
- Induksi : iv 1-2,5 mg/kg.
- Pemeliharaan : bolus iv 25-50 mg, infuse 10 µg/kg/menit,
antiemetic iv 10 - 20 mg bolus IV.
● Efek Samping :
- Antiemetik.
- Nyeri pada saat penyuntikan.
● Sifat Fisik dan Kimia
Berupa cairan berwarna putih seperti susu, tidak larut dalam air dan
bersifat asam. Dikemasa dalam bentuk ampul, berisi 20ml/ampul,
mengandung 10 mg/ml.

❖ Fentanil
● Analgesik dan anesthesia
● Dosis:
- Analgesik: iv/im 25-100 µg
- Induksi: iv 5-40 µg/ kg BB
- Suplemen anastesi: iv 2-20 µg/kg BB
- Anastetik tunggal: iv 50-150 µg/ kg BB
● Awitan aksi: iv dalam 30 detik, im < 8 menit
● Lama aksi: iv 30-60 menit, im 1-2 jam
● Efek Samping:

- Bradikardi, hipotensi.

- Depresi saluran pernapasan, apnea.

- Pusing, penglihatan kabur, kejang.

9
- Mual, muntah, pengosongan lambung terlambat.
● Fentanil memiliki potensi 1000 kali lebih kuat dibandingkan petidin
dan 50-100 kali lebih kuat dari morfin
● Efek
➢ CNS: penurunan kesadaran, analgesik kuat
➢ Respirasi: Depresi pusat napas

❖ Roculax
● Sebagai tambahan pada anestesi umum untuk mempermudah
intubasi endotrakea dan memberikan relaksasi otot rangka selama
pembedahan.
● Dosis:
❏ Dewasa:
- Dosis awal intubasi endotrakeal: 0,6-1,2 mg/kgBB IV
- Pemeliharaan: 0,1-0,2 mg/kgBB IV                                   
❏ Anak-anak:
- Dosis awal intubasi endotrakeal :0,6 mg/kgBB IV
- Dosis pemeliharaan: 0,075-0,125 mg/kgBB IV
● Efek Samping:
Mual, muntah, bronkospasme, reaksi alergi, edema pada lokasi
injeksi, nyeri pada lokasi injeksi.
Obat-obat anestesi inhalasi

❖ Isofluran
● Merupakan halogenasi eter dikemas dalam bentuk cairan , tidak
berwarna, relatif tidak larut dalam darah tapi cukup iritatif terhadap
jalan nafas.
● Proses induksi dan pemulihannya relatif cepat dibandingkan dengan
obat-obatan anestesia inhalasi yang ada saat ini tapi masih lebih
lambant dibandingkan dengan sevofluran.
● Efek :
● CNS :
○ Penurunan konsumsi oksigen otak.
○ Tidak menimbulkan vasodilatasi dan perubahan sirkulasi

10
serebral.
● Kardiovaskular :
○ Tekanan darah dan denyut nadi relatif stabil.
● Respirasi :
○ Depresi pernapasan.
● Otot Rangka :
○ Menurunkan tonus otot skeletal.
● Ginjal :
○ produksi urin berkurang.
● Dosis :
❏ Untuk induksi, kkonsentrasi yang diberikan pada udara
inspirasi adalah 2,0-3,0 %.
❏ Untuk pemeliharaan dengan pola nafas spontan konsentrasinya
berkisar antar 1,0-2,5%, sedangkan untuk nfas kendali berkisar
0,5-1,0%.
❖ Sevofluran
● Merupakan halogenasi eter dikemas dalam bentuk cairan, tidak
berwarna, dan tidak iritatif terhadap jalan nafas.
● Proses induksi dan pemulihannya paling cepat dari semua obat -
obat anestesia inhalasi yang ada saat ini.
● Efek :
● CNS :
○ Sedikit meningkatkan tekanan intrakranial.
● Kardiovaskular :
○ Tekanan darah sedikit menurun.
● Respirasi :
○ Frekuensi nafas sedikit meningkat.
● Otot Rangka :
○ Menurunkan tonus otot skeletal lebih baik dibandingkan
isofluran.
● Ginjal :
○ Aliran darah ke ginjal dan laju filtrasi glomerulus lebih
ringan dibandingkan isofluran.

11
● Dosis :
❏ Untuk induksi konsentrasi yang diberikan pada inspirasi adalah
3.0 - 5.0 %.
❏ Untuk pemeliharaan dengan pola napas spontan berkisar antara
2.0 -3.0% sedangkan nafas kendali 0.5-1.0%.
c. Keuntungan General Anestesi
 Relaksasi otot yang tepat untuk waktu yang lama.
 Memfasilitasi kontrol menyeluruh terhadap jalan napas & sikulasi.
 Dapat disesuaikan dengan mudah dengan prosedur durasi.
 Dapat dikelola dengan cepat dan reversible.
d. Kerugian Anestesi
 Kompleksitas perawatan & biaya yang tinggi.
 Membutuhkan persiapan pasien pra operatif.
Menyebabkan kenaikan suhu tubuh, hiperkarbia, asidosis metabolik dan
hiperkalemia.

2.2. Obat-obat Anestesi


2.2.1. Anestesi inhalasi
Nitro oksida, kloroform, dan eter adalah jenderal pertama yang diterima secara
universal anestesi. Agen inhalasi saat ini digunakan secara luas dalam klinis
anestesiologi termasuk nitro oksida, halotan, isofluran, desfluran, dansevoflurane.
 Farmakokinetik anestesi inhalasi
Meskipun mekanisme kerja anestesi inhalasi kompleks, kemungkinan
besar melibatkan banyak protein membran dan saluran ion, jelas itu
menghasilkan efek pamungkasnya tergantung pada pencapaian jaringan
terapeutik konsentrasi dalam sistem saraf pusat (SSP). Ada banyak langkah
masuk antara vaporizer anestesi dan deposisi anestesi di otak.

12
Gambar 2.2. Agen anestesi inhalasi harus melewati banyak hambatan
antara mesin anestesi dan otak.

 Farmakodinamik anestesi inhalasi


Anestesi umum adalah keadaan fisiologis yang berubah yang ditandai
dengan reversible kehilangan kesadaran, analgesia, amnesia, dan beberapa
derajat relaksasi otot. Banyak zat yang mampu menghasilkan anestesi umum
luar biasa: elemen lembam (xenon), senyawa anorganik sederhana (nitro
oksida), hidrokarbon terhalogenasi (halotan), eter (isoflurane, sevoflurane,
desflurane), dan struktur organik kompleks (propofol dan ketamin). Sebuah
pemersatu teori yang menjelaskan tindakan anestesi harus mengakomodasi
keragaman struktur ini. Bahkan, berbagai agen mungkin menghasilkan
anestesi dengan cara berbeda set mekanisme molekuler. Agen inhalasi
berinteraksi dengan banyak ion saluran hadir di SSP dan sistem saraf tepi.
Nitro oksida dan xenon diyakini menghambat reseptor N-metil-D-aspartat
(NMDA). NMDA reseptor adalah reseptor rangsang di otak. Agen inhalasi
lain mungkin berinteraksi pada reseptor lain (misalnya, chlor-aminobutyric
acid [GABA] -activated chloride channel conductance) menyebabkan efek
anestesi. Selain itu, beberapa penelitian menyarankan bahwa agen inhalasi
terus bertindak dengan cara yang tidak spesifik, dengan demikian
mempengaruhi lapisan ganda membran. Mungkin saja anestesi inhalasi
bekerja beberapa reseptor protein yang menghalangi saluran rangsang dan

13
mempromosikan aktivitas saluran penghambat yang memengaruhi aktivitas
neuron, juga oleh sebagian orang efek membran tidak spesifik.
Tampaknya tidak ada satu pun situs aksi makroskopis yang dibagikan
semua agen inhalasi. Area otak tertentu yang dipengaruhi oleh berbagai
anestesi termasuk sistem pengaktif retikuler, korteks serebral, nukleus cuneate
korteks penciuman, dan hippocampus; namun, untuk menjadi jelas, anestesi
umum mengikat seluruh SSP. Anestesi juga terbukti menekan transmisi
rangsang di sumsum tulang belakang, terutama di tingkat punggung
interneuron tanduk yang terlibat dalam transmisi nyeri. Aspek yang berbeda
dari anestesi mungkin berhubungan dengan tempat aksi anestesi yang berbeda.
Sebagai contoh, ketidaksadaran dan amnesia mungkin dimediasi oleh anestesi
kortikal tindakan, sedangkan penindasan penarikan sengaja dari rasa sakit
mungkin berhubungan dengan struktur subkortikal, seperti sumsum tulang
belakang atau batang otak. Satu studi pada tikus mengungkapkan bahwa
pengangkatan korteks serebral tidak mengubah potensi obat bius. Memang,
ukuran konsentrasi alveolar minimum (MAC), MAC konsentrasi alveolar
yang mencegah gerakan pada 50% pasien sebagai respons terhadap stimulus
standar (misalnya, bedah, irisan) tergantung pada efek anestesi di sumsum
tulang belakang dan bukan di korteks.
Pemahaman masa lalu tentang tindakan anestesi berusaha
mengidentifikasi kesatuan hipotesis efek anestesi. Hipotesis ini mengusulkan
bahwa semua inhalasi agen berbagi mekanisme aksi umum di tingkat
molekuler. In sebelumnya didukung oleh pengamatan bahwa potensi anestesi
inhalasi agen berkorelasi langsung dengan kelarutan lemaknya (aturan Meyer-
Overton). Itu Implikasinya adalah bahwa anestesi dihasilkan dari molekul-
molekul yang larut secara spesifik situs lipofilik. Tentu saja, tidak semua
molekul yang larut dalam lemak adalah anestesi (beberapa sebenarnya
kejang), dan korelasi antara potensi anestesi dan kelarutan lemak hanya
perkiraan.

 Obat-obatan anestesi inhalasi


1. Nitrious Oxide

14
Nitro oksida (N2O) tidak berwarna dan pada dasarnya tidak berbau.
Meskipun tidak mudah meledak dan tidak mudah terbakar, nitrous
oxide mampu seperti oksigen mendukung pembakaran. Berbeda
dengan agen volatile kuat, nitro oksida adalah gas pada suhu kamar
dan tekanan sekitar. Itu dapat disimpan sebagai cairan di bawah
tekanan karena suhu kritisnya terletak di atas suhu kamar. Nitrogen
oksida adalah anestesi yang relatif murah; Namun, kekhawatiran
tentang itu keamanan telah menyebabkan ketergantungan seperti xenon
Seperti disebutkan sebelumnya, nitro oksida, seperti xenon, adalah
antagonis reseptor NMDA.
 Efek pada organ
- Menekan kontraktilitas miokard secara in vitro, tekanan darah
arteri, curah jantung, meningkatkan laju pernapasan (takipnea) dan
menurunkan volume tidal,
- Meningkatkan aliran darah otak dan volume darah otak,
peningkatan tekanan intrakranial secara ringan. Nitro oksida juga
meningkatkan konsumsi oksigen otak (CMRO2)
- Berbeda dengan agen inhalasi lainnya, nitro oksida tidak
memberikan signifikan efek relaksasi otot.
- Mengrangi aliran darah ginjal dengan meningkatkan resistensi
pembuluh darah ginjal. Hal ini menyebabkan penurunan laju filtrasi
glomerulus dan output urin.
- Menurunkan aliran darah hati tetapi lebih rendah jika dibandingkan
dengan agen volatile lainnya.
- Meningkatkan risiko mual muntah dan pasca operasi.
 Kontraindikasi
Meskipun nitro oksida tidak dapat larut dibandingkan dengan agen
inhalasi lain, itu 35 kali lebih larut daripada nitrogen dalam darah.
Dengan demikian, cenderung menyebar ke rongga udara lebih cepat
daripada nitrogen yang diserap oleh aliran darahnitro oksida
memiliki nilai terbatas pada pasien yang membutuhkan konsentrasi
inspirasi oksigen yang tinggi. contoh dari kondisi di mana nitro
oksida mungkin berbahaya termasuk emboli udara vena atau arteri,

15
pneumotoraks, obstruksi usus akut dengan distensi usus, udara
intrakranial (pneumocephalus setelah penutupan dural atau
pneumoencephalography), kista udara paru, gelembung udara
intraokular, dan pencangkokan membran timpani.
 Interaksi Obat :
Karena MAC nitro oksida yang tinggi mencegah penggunaannya
sebagai anestesi umum, sering digunakan dalam kombinasi dengan
agen volatile yang lebih kuat. Penambahan nitro oksida mengurangi
persyaratan yang lain ini agen (65% nitro oksida mengurangi MAC
anestesi yang mudah menguap oleh sekitar 50%). Meskipun
dinitrogen oksida tidak dianggap benign carrier gas, itu
melemahkan efek peredaran darah dan pernapasan agen anestesi
volatile pada orang dewasa. Nitro oksida mempotensiasi blokade
neuromuskuler, tetapi lebih sedikit dari agen volatile. Konsentrasi
nitro oksida mengalir melalui vaporizer dapat mempengaruhi
konsentrasi anestesi volatil yang diberikan. Untuk misalnya,
penurunan konsentrasi nitro oksida (yaitu, peningkatan konsentrasi
oksigen) meningkatkan konsentrasi agen volatile meskipun konstan
pengaturan vaporizer. Perbedaan ini disebabkan oleh kelarutan
relatif dari dinitrogen oksida dan oksigen dalam anestesi volatil cair.
Efek kedua gas dibahas sebelumnya. Nitrous oxide adalah gas
penipis ozon dengan efek rumah kaca.
2. Halothane
Halotan adalah alkana terhalogenasi. Ikatan karbon-fluorida
bertanggung jawab atas sifatnya yang tidak mudah terbakar dan
noneksplosif. Timol botol pengawet dan berwarna kuning menghambat
oksidatif spontan penguraian. Ini jarang digunakan di Amerika Serikat.
 Efek pada organ
- Menyebabkan vasodilator arteri coroner, menyebabkan penurunan
stimulasi vagal dan peningkatan denyut jantung sebabkan ritme
juctional rhythm atau bradikardia.
- Menyebabkan pernapasan cepat dan dangkal, brondilator
melemahkan refleks jalan napas dan merilekskan otot halus

16
bronkial dengan menghambat mobilisasi kalsium intraseluler.
Halothane menekan pembersihan lendir dari saluran pernapasan
(fungsi mukosiliar).
- Menyebabkan hipoksia dan atelektasis pasca operasi.
- Melebarkan pembuluh otak, halotan menurunkan resistensi
pembuluh darah otak dan meningkatkan volume darah otak dan
CBF.
- Melemaskan otot rangka dan mempotensiasi nondepolarisasi, agen
penghambat neuromuskuler (NMBAs).
- Mengurangi aliran darah ginjal, laju filtrasi glomerulus, dan urin
output.
- Menyebabkan aliran darah hati menurun sebanding dengan depresi
curah jantung.
 Kontraindikasi
- Pasien dengan gangguan fungsi hati
- Pasien dengan massa lesi intrakranial karena kemungkinan
hipertensi intrakranial sekunder akibat peningkatan volume darah
otak dan aliran darah.
- Pasien hipovolemik dan beberapa pasien dengan gangguan fungsi
ventrikel mungkin tidak mentolerir efek inotropik negatif halotan.
- Pasien pheochromocytoma.
 Interaksi Obat :
Depresi miokard yang terlihat dengan halotan diperburuk oleh agen
penghambat β-adrenergik dan agen calcium canal blocker.
Antidepresan trisiklik dan inhibitor monoamine oksidase telah
dikaitkan dengan fluktuasi tekanan darah dan aritmia, meskipun
keduanya tidak mewakili kontraindikasi absolut. Kombinasi halotan
dan aminofilin telah menghasilkan aritmia ventrikel yang serius.
3. Isoflurane
Isoflurane adalah anestesi volatil yang tidak mudah terbakar dengan
bau halus yang menyengat.
 Efek pada organ
- Depresi ventrikel kiri minimal in vivo

17
- Stimulasi β-adrenergik ringan meningkatkan aliran darah otot
rangka
mengurangi resistensi vaskular sistemik, dan menurunkan tekanan
darah arteri.
- Peningkatan konsentrasi isofluran yang cepat menyebabkan
peningkatan sementara detak jantung, tekanan darah arteri, dan
kadar norepinefrin dalam plasma. tingkat, tekanan aliran arteri, dan
kadar norepinefrin dalam plasma.
- Dilatasi arteri koroner, tetapi tidak sekuat nitrogliserin atau
adenosin.
- Efeknya terhadap depresi pernapasan selama anestesi isoflurane
menyerupai anestesi volatile, Meskipun kecenderungan untuk
mengiritasi refleks jalan nafas atas, isofluran dianggap
bronkodilator yang baik, tetapi mungkin tidak sekuat bronkodilator
seperti halotan.
- Pada konsentrasi yang lebih besar dari 1 MAC, isofluran
meningkatkan CBF dan tekanan intrakranial. Tekanan Isoflurane
mengurangi metabolik oksigen otak dan pada 2 MAC,
menghasilkan listrik diam pada electroencephalogram (EEG).
- Merelaksasikan otot skeletal
- Meningkatkan aliran darah ginjal, laju filtrasi glomerulus, dan urin
output
- Mengurangi aliran darah hati (arteri hepatik dan aliran vena porta).
 Kontraindikasi :
- Pasien dengan hipovolemia yang parah mungkin tidak mentolerir
efek vasodilatasi. Itu bisa memicu malignant hyperthermia.
 Interaksi Obat :
Epinefrin dapat diberikan secara aman dalam dosis hingga 4,5 mcg /
kg. Nondepolarizing NMBA’s dipotensiasi oleh isofluran.
4. Desflurane
 Efek pada organ

18
- Penurunan resistensi vaskular sistemik yang menyebabkan
penurunan tekanan darah arteri. Cardiac output relatif tidak berubah
atau sedikit tertekan pada 1 hingga 2 MAC.
- Peningkatan cepat konsentrasi desfluran menyebabkan peningkatan
sementara tetapi terkadang mengkhawatirkan pada detak jantung,
tekanan darah, dan kadar ketokolamin.
- Menyebabkan penurunan volume tidal dan peningkatan laju
pernapasan.
- Menekan respons ventilasi untuk meningkatkan PaCO2.
- Dilatasi pembuluh darah otak, meningkatkan CBF, volume darah
otak, dan tekanan intrakranial dalam keadaan normotension dan
normocapnia dan meningkatkan metabolisme oksigen otak
(CMRO2).
- Pada neuromuscular desflurane dikaitkan dengan dose-dependent
decrease dikaitkan dalam respon terhadap trainof-four dan stimulasi
saraf perifer tetanik.
- Meningkatkan aliran darah ginjal, laju filtrasi glomerulus, dan urin
output.
 Kontraindikasi :
hipovolemia berat, hipertermia maligna, dan intrakranial hipertensi
 Interaksi Obat :
Desflurane mempotensiasi agen penghambat neuromuskuler yang
tidak berpolarisasi ke tingkat yang sama dengan isoflurane.
Epinefrin dapat diberikan secara aman dalam dosis hingga4,5 mcg /
kg karena desfluran tidak membuat kepekaan miokardium menjadi
efek aritmogenik dari epinefrin.
5. Sevoflurane
 Efek pada organ :
- Sevoflurane sedikit menekan kontraktilitas miokard. Vaskular
sistemik resistensi dan penurunan tekanan darah arteri sedikit lebih
sedikit dibandingkan dengan isofluran atau desflurane.

19
- Dapat memperpanjang interval QT, yang signifikansi klinisnya
tidak diketahui. Perpanjangan QT dapt lihat nyata pada 60 menit
setelah munculnya anestesi pada anak.
- Menekan respirasi dan membalikkan bronkospasme sampai batas
tertentu mirip dengan isoflurane.
- Menyebabkan sedikit peningkatan CBF dan tekanan intrakranial di
normocarbia
- Konsentrasi sevofluran yang tinggi (> 1,5 MAC) dapat
mengganggu
autoregulasi CBF
- Sevoflurane menghasilkan relaksasi yang cocok untuk intubasi
setelah induksi inhalasi atau dengan menggunakan, propofol,
lidokain, atau opioid.
- Sedikit mengurangi aliran darah ginjal.
- Mengurangi aliran darah vena porta, tetapi meningkatkan liran
arteri hepatik, dengan demikian mempertahankan aliran darah
hepatik total dan pengiriman oksigen.
 Kontraindikasi
Hipovolemia berat, hipertermia maligna, dan intrakranial hipertensi.
 Interaksi Obat
Seperti anestesi volatile lainnya, sevoflurane mempotensiasi
NMBAs. Tidak peka jantung untuk aritmia yang diinduksi
katekolamin.
2.2.2. Anestesi Intravena
Anestesi umum dimulai dengan zat yang dihirup eter, nitro oksida, dan kloroform,
tetapi dalam praktik saat ini, anestesi dapat diinduksi dan dipertahankan dengan obat-
obatan yang masuk ke pasien melalui berbagai rute. Pra operasi atau sedasi prosedural
biasanya dilakukan dengan cara oral atau intravena rute. Induksi anestesi umum biasanya
dilakukan dengan inhalasi atau pemberian obat intravena. Atau, anestesi umum dapat
dilakukan diinduksi dan dirawat dengan injeksi ketamin intramuskular. Umum anestesi
dipertahankan dengan teknik total anestesi intravena (TIVA), sebuah teknik inhalasi, atau
kombinasi keduanya. Bab ini berfokus pada agen injeksi yang digunakan untuk

20
menghasilkan narkosis (tidur), termasuk barbiturat, benzodiazepin, ketamin, etomidat,
propofol, dan dexmedetomidine.

Gambar 2.3. Ringkasan efek anestesi nonvolatile pada sistem organ.

1. Barbiturat
 Mekanisme Kerja
Barbiturat menekan sistem pengaktif retikuler di batang otak, yang mengontrol
kesadaran. Mekanisme tindakan utama mereka diyakini melalui pengikatan ke
reseptor AB-aminobutyric acid tipe A (GABAA). Barbiturat mempotensiasi

21
aksi GABA dalam meningkatkan durasi bukaan saluran ion khusus klorida.

Gambar 2.4. Struktur Kimia Barbiturat

 Farmakokinetik
Absorbsi dilakukan secara intravena untuk induksi anestesi umum.
Durasi dosis induksi thiopental, thiamylal, dan methohexital adalah ditentukan
oleh redistribusi, bukan oleh metabolisme atau eliminasi. Thiopental kelarutan
lemak yang besar dan fraksi nonionisasi yang tinggi (60%) berperan untuk
otak yang cepat serapan (dalam 30 detik)
Redistribusi menurunkan plasma dan konsentrasi otak hingga 10%
dari level puncak dalam 20 hingga 30 menit Profil farmakokinetik ini
berkorelasi dengan pengalaman klinis pasien biasanya kehilangan kesadaran
dalam 30 detik dan bangun dalam 20 menit. Distribusi tiopental dari plasma ke
kelompok yang kaya akan pembuluh darah (VRG; otak, jantung, hati, ginjal,
kelenjar endokrin), ke kelompok otot (MG), dan akhirnya ke kelompok lemak
(FG). Dosis induksi minimal thiopental akan tergantung pada berat dan berat

22
badan dan usia. Diperlukan dosis induksi yang dikurangi untuk pasien usia
lanjut. Berbeda dengan paruh distribusi awal yang cepat dari beberapa menit,
eliminasi thiopental adalah berkepanjangan (eliminasi rentang paruh 10-12
jam).
Tiamin dan metoheksital memiliki pola distribusi yang sama,
sedangkan barbiturat yang kurang larut lipid miliki distribusi yang lebih lama
paruh dan durasi aksi setelah dosis tidur. Pemberian berulang barbiturat yang
sangat larut dalam lemak (misalnya, infus tiopental untuk "koma barbiturat"
dan perlindungan otak) memenuhi jenuh perifer kompartemen, meminimalkan
efek redistribusi dan rendering durasi tindakan lebih tergantung pada
eliminasi. Ini adalah contoh konteks sensitivitas seperti juga terlihat dengan
agen yang larut dalam lemak lainnya.
Barbiturat pada dasarnya biotransformasi melalui oksidasi hati menjadi
tidak aktif, metabolit yang larut dalam air. Karena ekstraksi hati yang lebih
besar, metoheksital adalah dibersihkan oleh hati lebih cepat daripada
thiopental. Oleh karena itu, pemulihan penuh fungsi psikomotorik juga lebih
cepat mengikuti metoheksital. Kecuali untuk zat yang tidak terikat protein dan
sedikit yang larut dalam lemak seperti ekskresi fenobarbital, ginjal terbatas
pada produk akhir hepatik yang larut dalam air biotransformasi. Metohohital
diekskresikan dalam tinja.

 Efek pada organ


- Menurunan cardiac output dan tekanan darah
- Meningkatkan denyut jantung.
- Vasodilatasi kapasitansi pembuluh perifer
- Tachycardia
- Menekan pusat ventilasi meduler, mengurangi ventilasi
- Mengurangi respons refleks jalan nafas untuk intubasi
- Menyebabkan pembuluh darah otak, menyebabkan penurunan otak
aliran darah, volume darah otak, dan tekanan intrakranial
- Mengurangi aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus secara
proporsional dengan penurunan tekanan darah

23
- Menurunkan aliran darah hati . Paparan kronis terhadap barbiturat
menyebabkan induksi enzim hati dan peningkatan laju
metabolisme.
- Pada tiobarbiturat menganfung sulfir sehinggs dapat
membangkitkan pelepasan histamin sel mast secara in vitro,
sedangkan oxybarbiturates tidak.

 Dosis

Gambar 2.5. Dosis Barbiturat.

 Interaksi Obat
Media kontras, sulfonamid, dan obat lain yang menempati pengikatan protein
yang sama situs dapat menggantikan thiopental, meningkatkan jumlah “free
drugs” tersedia dan mempotensiasi efek dari dosis yang diberikan. Etanol,
opioid, anntihistamin, dan depresan sistem saraf pusat lainnya mempotensiasi
efek obat penenang dari barbiturat.

2. Benzodiazepam
 Mekanisme Kerja
Benzodiazepin mengikat GABAA reseptor meningkatkan frekuensi
pembukaan kanal ion klorida. Pengikatan reseptor Benzodiazepam oleh
agonis memfasilitasi pengikatan GABA ke reseptornya. Flumazenil (sebuah
imidazoBenzodiazepam) adalah antagonis reseptor spesifik benzodiazepin
yang secara efektif membalikkan sebagian besar efek sistem saraf sentral
Benzodiazepam.

24
Gambar 2.6. Struktur Kimia Benzodiazepam.

 Farmakokinetik
Benzodiazepam dapat diberikan secaraa oral dan intravena untuk
memberikan efek sedasi . Diazepam dan lorazepam diabsorbi dengan baik
di saluran pencernaan, dengan kadar plasma puncak biasanya dicapai dalam
1 dan 2 jam, masing-masing. Diazepam relatif larut dalam lemak dan
mudah menembus blood brain barrier. Meskipun midazolam larut dalam
air pada pH rendah, cincin imidazolnya menutup pada pH fisiologis,
meningkatkan kelarutan lemaknya Kelarutan lipid sedang dari lorazepam
menyebabkan penyerapan otaknya lebih lambat dan permulaan tindakan.
Ketiganya benzodiazepin sangat terikat pada protein (90-98%).
Benzodiazepam bergantung pada hati untuk biotransformasi menjadi
larut dalam air produk akhir yang di-glukuronidasi. Metabolit fase I
diazepam adalah aktif secara farmakologis. Ekstraksi hati yang lambat dan
volume distribusi yang besar (Vd) menghasilkan waktu paruh eliminasi
yang lama untuk diazepam (30 jam). Meskipun lorazepam juga memiliki
rasio ekstraksi hati yang rendah, kelarutan lemaknya yang lebih rendah
membatasi Vd-nya, menghasilkan a waktu paruh eliminasi yang lebih
pendek (15 jam). Meskipun demikian, durasi klinis lorazepam seringkali
cukup lama karena meningkatnya afinitas reseptor.

25
Metabolit benzodiazepin diekskresikan terutama dalam urin. Sirkulasi
enterohepatik menghasilkan puncak sekunder dalam konsentrasi plasma
diazepam hingga 6 - 2 jam setelah pemberian.
 Efek pada organ
- Depresi ventrikel kiri minimal, bahkan pada dosis anestesi umum,
kecuali bila diberikan bersama opioid
- Menurunkan tekanan darah arteri, curah jantung, dan resistensi
pembuluh darah perifer minimal, dan terkadang dapat
meningkatkan denyut jantung.
- Menekan respons ventilasi terhadap CO2. Pada pemberian
intravena ventilasi harus dipantau karena dapat menyebabkan
gangguan nafas (apnea)
- Mengurangi konsumsi oksigen otak, aliran darah otak, dan tekanan
intrakranial tetapi tidak sejauh yang dilakukan barbiturat.
- Menyebabkan relaksasi otot ringan
- Memiiki efek antianxiety, amnestic, dan sedative terlihat lebih
rendah dosis berkembang menjadi pingsan dan tidak sadar pada
dosis anestesi.
 Dosis

Gambar 2.7. Dosis Benzodiazepam.


 Interaksi Obat
Cimetidine berikatan dengan sitokrom P-450 dan mengurangi
metabolisme diazepam. Eritromisin menghambat metabolisme midazolam
dan menyebabkan dua hingga tiga kali lipat perpanjangan dan intensifikasi

26
efeknya. Seperti disebutkan sebelumnya, kombinasi opioid dan
Benzodiazepam sangat mengurangi tekanan darah arteri dan resistensi
pembuluh darah perifer. Ini interaksi sinergis telah sering diamati pada
pasien yang menjalani jantung operasi yang menerima benzodiazepin untuk
premedikasi dan yang menerima dosis opioid yang lebih besar selama
induksi anestesi. Benzodiazepin mengurangi konsentrasi alveolar minimum
yang mudah menguap anestesi sebanyak 30%. Etanol, barbiturat, dan saraf
pusat lainnya sistem depresan mempotensiasi efek sedatif benzodiazepin.
3. Ketamine
 Mekanisme Kerja
Ketamin memiliki banyak efek di seluruh sistem saraf pusat, dan
memang demikian dikenal baik untuk menghambat saluran N-metil-D-
aspartat (NMDA) dan neuronal saluran kationik (HCN1) yang diaktifkan
hiperpolarisasi. Namun demikian, tepatnya bagaimana ketamin
menghasilkan anestesi atau analgesia masih kontroversial. Ketamine secara
fungsional "memisahkan" impuls sensorik dari korteks limbic (yang terlibat
dengan kesadaran sensasi). Secara klinis, keadaan ini anestesi disosiatif
dapat menyebabkan pasien tampak sadar (misalnya, mata membuka,
menelan, kontraktur otot) tetapi tidak dapat memproses atau merespons
input sensorik. Ketamin mungkin memiliki tindakan tambahan pada
analgesik jalur endogen.

27
Gambar 2.8. Struktur Kimia Ketamine, Dezametomidine, Etomidate, dan
Propofol.

 Farmakokinetik
Absorbsi ketamin dapat diberikan secara oral, hidung, rektal,
subkutan, dan epidural, tetapi dalam praktik klinis biasa diberikan
secara intravena atau secara intramuskular Level plasma puncak
biasanya dicapai dalam 10 hingga 15 menit setelah injeksi
intramuscular. Ketamin sangat larut dalam lemak dan, seiring dengan
peningkatan ketamin yang diinduksi aliran darah otak dan curah
jantung, mengakibatkan pengambilan otak yang cepat dan redistribusi
berikutnya (waktu paruh distribusi adalah 10-15 menit). “Awakening”
adalah karena redistribusi dari otak ke kompartemen perifer.
Ketamin diubah biotransformasi ke hati menjadi beberapa
metabolit, salah satunya (norketamin) mempertahankan aktivitas
anestesi. Pasien yang menerima dosis berulang ketamin (misalnya
untuk penggantian dressing setiap hari pada luka bakar) dapat terjadi
toleransi, dan ini hanya dapat dijelaskan sebagian dengan induksi
enzim hati. Luas serapan hati (rasio ekstraksi hati 0,9) menjelaskan
ketamine relative memiliki waktu paruh eliminasi yang pendek (2
jam).Produk akhir dari biotransformasi ketamin diekskresikan ke
dalam ginjal.

 Efek pada organ


- Meningkatkan tekanan darah arteri, denyut jantung, dan curah
jantung
- Memiliki efek terhadap ventilasi pernafasan yang minmal ,
meskipun kombinasi ketamin dengan opioid dapat menghasilkan
apnea
- Ketamine rasemik adalah sebuah bronkodilator kuat, S (+) ketamin
menghasilkan bronkodilasi minimal
- Pasien dengan peningkatan risiko aspirasi pneumonia ("perut
penuh") seharusnya diintubasi dengan anestesi umum ketamine

28
- Meningkatkan konsumsi oksigenasi otak, aliran darah otak, dan
tekanan intrakranial
- Menginduksi analgesia, amnesia, dan ketidaksadaran.
 Dosis

Gambar 2.8. Dosis Ketamine , Etomidate, Propofol dan


Dexmedetomidine
 Interaksi obat
Ketamin berinteraksi secara sinergis (lebih dari aditif) dengan anestesi
volatile tetapi dengan cara ditambahkan dengan propofol, benzodiazepin,
dan agen yang dimediasi reseptor GABA lainnya. Diazepam dan
midazolam menurunkan efek kardiostimulator ketamine dan diazepam
memperpanjang paruh eliminasi ketamin. Antagonis α-Adrenergik dan β-
adrenergik tidak dapat menutupi efek depresan miokard langsung dari
ketamin, yang biasanya diliputi oleh simpatik stimulasi. Infus ketamin dan
propofol bersamaan, sering kali dalam rasio infus (mg: mg) 1:10 sering
digunakan untuk sedasi anestesi lokal dan regional atau anestesi umum
intravena.
4. Etomidate
 Mekanisme Kerja
Etomidate menekan sistem pengaktifan retikuler dan meniru
penghambatan efek dari GABA. Secara khusus, etomidat khususnya isomer
R (+) tampaknya mengikat subunit dari reseptor GABAA, meningkatkan
reseptor afinitas untuk GABA. Etomidate mungkin memiliki efek

29
disinhibisi pada bagian-bagian sistem saraf yang mengontrol aktivitas
motorik ekstrapiramidal.
 Farmakokinetik
Etomidate hanya tersedia untuk pemberian intravena dan digunakan
terutama untuk induksi anestesi umum. Terkadang digunakan untuk
produksi sedasi singkat dalam (tidak sadar) seperti sebelum penempatan
blok retrobulbarar. Meskipun sangat terikat protein, etomidate ditandai
dengan sangat cepat dengan timbulnya aksi karena kelarutan lemaknya
yang besar dan fraksi besar yang tidak terionisasi di pH fisiologis.
Redistribusi bertanggung jawab untuk mengurangi plasma konsentrasi ke
“Awakening level”. Biotransformasi dengan enzim mikrosomal hati dan
esterase plasma dengan cepat menghidrolisis etomidat ke metabolit tidak
aktif. Produk akhir hidrolisis etomidat terutama diekskresikan dalam urin.
 Efek pada organ
- Memiliki efek minimal pada sistem kardiovaskular ; penurunan ringan
resistensi pembuluh darah perifer, penurunan tekanan darah arteri.
Kontraktilitas miokard dan curah jantung biasanya tidak berubah.
- Memiliki efek terhadapa ventilasi pernafasan yang lebih minimal jika
dibandingkan dengan barbiturat atau Benzodiazepam, walupun dengan
dosis induksi tidak menimbulkan apnea kecuali diberikan dengan
opioid.
- Menurunkan laju metabolisme otak, aliran darah otak, dan tekanan
intrakranial. Karena efek kardiovaskular minimal, otak tekanan perfusi
terjaga dengan baik.
- Mual dan muntah pasca operasi lebih umum daripada mengikuti
propofol atau barbiturate
- Tidak memiiliki sifat analgesic
- Dosis induksi etomidate secara sementara menghambat enzim yang
terlibat dalam kortisol dan sintesis aldosterone.
 Dosis
Dosis untuk induksi IV adalah 0.2 sampai 0.5 mg/kg.
 Interaksi Obat

30
Fentanyl meningkatkan level plasma dan memperpanjang waktu paruh
eliminasi etomidat. Opioid menurunkan karakteristik mioklonus etomidat.
5. Propofol
 Mekanisme Kerja
Induksi propofol pada anestesi umum dapat melibatkan fasilitasi
inhibisi neurotransmisi yang dimediasi oleh pengikatan reseptor GABAA.
Propofol secara allosteric meningkatkan afinitas pengikatan GABA untuk
reseptor GABAA. Reseptor ini, sebagai yang disebutkan sebelumnya,
digabungkan ke saluran klorida, dan aktivasi reseptor menyebabkan
hiperpolarisasi membran saraf. Propofol mengikat beberapa saluran ion
dan reseptor. Tindakan propofol tidak dibalikkan oleh antagonis
benzodiazepin spesifik flumazenil.
 Farmakokinetik
Propofol hanya tersedia untuk pemberian intravena untuk induksi
anestesi umum dan untuk sedasi sedang hingga dalam. Propofol memiliki
onset aksi yang cepat. “Awekaning” dari dosis bolus tunggal juga cepat
karena waktu paruh distribusi awal yang sangat singkat (2-8 menit).
Pemulihan dari propofol lebih cepat dan disertai dengan lebih sedikit
"mabuk" daripada pemulihan dari metoheksital, tiopental, ketamin, atau
etomidat. Ini membuatnya bagus untuk anestesi pada operasi rawat jalan.
Dosis induksi yang lebih kecil direkomendasikan pada pasien lanjut usia
karena Vd yang lebih kecil. Usia juga merupakan faktor penentu utama
diperlukan tingkat infus propofol untuk TIVA.
Proses pembersihan propofol melebihi aliran darah hati, menyiratkan
adanya metabolisme ekstrahepatik. Tingkat pembersihan yang sangat
tinggi ini mungkin berkontribusi untuk pemulihan yang cepat setelah infus
terus menerus. Konjugasi di hati menyebabkan metabolit tidak aktif yang
dihilangkan dengan pembersihan ginjal. Farmakokinetik propofol
tampaknya tidak dipengaruhi oleh obesitas, sirosis,atau gagal ginjal.
Penggunaan infus propofol untuk sedasi jangka panjang pada anak-anak
yang sakit kritis atau pasien dewasa muda bedah saraf telah dikaitkan
dengan kasus sporadis lipemia, asidosis metabolik, dan kematian, yang

31
disebut demikian sindrom infus propofol. Metabolit propofol
diekskresikan terutama pada urine.
 Efek pada organ
- Menurunkan resistensi vaskular sistemik , tekanan darah arteri ,
preload, dan kontraktilitas jantung.
- Dapat menyebabkan hipotensi; faktor yang terkait dengan hipotensi
dalam penggunaan propofol adalah dosis besar, injeksi cepat, dan
usia tua.
- Merupakan depresan pernapasan kuat dapat menyebabkan apnea
- Pada dosis dubanestesik propofol menghambat gerakan ventilasi
hipoksia dan menekan respon normal terhadap hypercarbia.
- Menurunkan refleks jalan nafas atas melebihi thiopental,
memungkinkan intubasi, endoskopi, atau penempatan masker
laring tanpa adanya blokade neuromuskuler.
- Meskipun propofol dapat menyebabkan pelepasan histamin,
induksi dengan propofol disertai dengan insiden mengi yang lebih
rendah baik pasien asma dan nonastatik dibandingkan dengan
barbiturat atau etomidat.
- Mengurangi aliran darah otak, volume darah otak, dan intrakranial
tekanan. Pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial,
propofol dapat menyebabkan pengurangan kritis dalam CPP (<50
mm Hg) kecuali jika ada langkah yang diambil untuk memperbaiki
MABP.
- Memiliki efek antiprutius, antiemerik, antikonvulsan dan dapat
menurunkan tekanan intraocular.
 Interaksi Obat
Banyak dokter memberikan midazolam dalam jumlah kecil (misalnya, 30
mcg / kg) sebelumnya untuk induksi dengan propofol; midazolam dapat
mengurangi dosis propofol yang dibutuhkan oleh lebih dari 10%. Propofol
sering dikombinasikan dengan remifentanil atau ketamine untuk TIVA.
2.2.3. Agen Analgesik
1. Opioid
 Mekanisme Kerja

32
Opioid berikatan dengan reseptor spesifik yang terletak di seluruh sistem
saraf pusat dan jaringan lainnya. Empat jenis reseptor opioid utama telah
diidentifikasi mu (μ, dengan subtipe μ1 dan μ2), kappa (κ), delta (δ), dan
sigma (σ). Semua reseptor opioid berpasangan dengan protein G;
pengikatan agonis ke reseptor opioid menyebabkan hiperpolarisasi
membran. Efek opioid akut dimediasi oleh penghambatan adenylyl cyclase
dan aktivasi fosfolipase C. Opioid menghambat saluran kalsium yang
terjaga tegangannya dan mengaktifkan perbaikan di dalam saluran kalium.
Efek opioid bervariasi berdasarkan durasi paparan, dan toleransi opioid
mengarah pada perubahan respons opioid. Tindakan klinis opioid
tergantung pada reseptor mana terikat dan afinitas pengikatan obat.
Aktivasi reseptor opioid menghambat pelepasan presinaptik dan respons
pascasinaps untuk neurotransmiter rangsang (misalnya, asetilkolin,
substansi P) dilepaskan oleh neuron nosiseptif
 Klasifikasi Opiod

Gambar 2.9. Klasifikasi Opiod.

33
Gambar 2.10. Struktur Kimia Opiod.
 Farmakokinetik
Penyerapan cepat dan lengkap mengikuti injeksi intramuskular atau
subkutan dari hydromorphone, morfin, atau meperidin, dengan kadar
plasma puncak biasanya tercapai setelah 20–60 menit. Berbagai macam
opioid efektif secara oral administrasi, termasuk oksikodon, hidrokodon,
kodein, tramadol, morfin, hidromorfon, dan metadon.
Karakteristik fisik yang menentukan distribusi dan pengikatan jaringan
analgesik opioid. Setelah pemberian intravena, waktu paruh distribusi
opioid pendek yaitu (5-20 menit). Rendahnya kelarutan lipid morfin
terhadap lemak menunda perjalanannya melintasi sawar darah-otak,
namun demikian, permulaan tindakannya lambat dan durasinya adalah
berkepanjangan. Ini kontras dengan peningkatan kelarutan lipid fentanyl
dan sufentanil, yang berhubungan dengan onset yang lebih cepat dan
durasi aksi yang lebih pendek ketika diberikan dalam dosis kecil.
Menariknya, alfentanil memiliki onset aksi dan durasi aksi lebih pendek

34
dari fentanyl setelah bolus injeksi, meskipun kurang larut dalam lemak jika
dibandingkan dengan fentanyl. Tingginya fraksi alfentanil yang tidak
terionisasi pada pH fisiologis dan volume distribusinya yang kecil (Vd)
meningkatkan jumlah obat (sebagai persentase dari dosis yang diberikan)
tersedia untuk mengikat di otak.
Dengan pengecualian remifentanil, semua opioid tergantung terutama
pada hati biotransformasi dan dimetabolisme oleh sistem sitokrom P
(CYP), terkonjugasi di hati, atau keduanya. Karena rasio ekstraksi hati
yang tinggi, pembersihannya tergantung pada aliran darah hati. Morfin dan
hydromorphone mengalami konjugasi dengan asam glukuronat untuk
membentuk, pada kasus sebelumnya, morfin 3-glukuronida dan morfin 6-
glukuronida, dan yang kasus terakhir hydromorphone 3-glucuronide.
Meperidine adalah N-demetilasi menjadi normeperidine, metabolit aktif
yang terkait dengan aktivitas kejang, khususnya dengan dosis meperidine
yang sangat besar. Produk akhir dari fentanyl, sufentanil, dan alfentanil
tidak aktif. Norfentanyl, metabolit fentanyl, dapat diukur dalam urin lama
setelah senyawa asli tidak lagi terdeteksi dalam darah menentukan
konsumsi fentanil kronis. Ini memiliki kepentingan terbesar dalam
mendiagnosis penyalahgunaan fentanyl.
Kodein adalah prodrug yang menjadi aktif setelah dimetabolisme oleh
CYP2D6 untuk morfin. Metabolisme ultrarapid dari obat ini (dengan
varian genetic CYP2D6) memiliki efek obat yang lebih besar dan efek
samping; metabolisme yang lambat (termasuk varian genetik dan mereka
yang terpapar inhibitor CYP2D6 seperti fluoxetine dan bupropion)
mengalami penurunan kemanjuran kodein. Tramadol sama juga harus
dimetabolisme oleh CYP menjadi O-desmethyltramadol agar aktif.
Hydrocodone dimetabolisme oleh CYP2D6 menjadi hydromorphone (yang
lebih kuat senyawa) dan oleh CYP3A4 menjadi norhydrocodone (senyawa
yang kurang kuat). Oksikodon dimetabolisme oleh CYP2D6 dan enzim
lain.
Struktur ester remifentanil membuatnya rentan terhadap hidrolisis
(dalam cara yang mirip dengan esmolol) oleh esterase nonspesifik dalam
sel dan jaringan darah merah, menghasilkan paruh eliminasi terminal
kurang dari 10 menit.Biotransformasi remifentanil cepat dan durasi

35
remifentanil Infus memiliki sedikit efek pada waktu bangun. Waktu paruh
remifentanil tetap sekitar 3 menit terlepas dari dosis atau durasi infusi.
Dalam kurangnya akumulasi (dan kurangnya sensitivitas konteks)
remifentanil berbeda dari opioid lain yang tersedia saat ini. Disfungsi hati
tidak membutuhkan penyesuaian dalam dosis remifentanil. Akhirnya,
pasien dengan pseudocholinesterase defisiensi memiliki respons normal
terhadap remifentanil. Produk akhir dari biotransformasi morfin dan
meperidin dihilangkan oleh ginjal, dengan kurang dari 10% menjalani
ekskresi empedu. Karena 5% hingga 10% morfin diekskresikan tidak
berubah dalam urin, gagal ginjal memperpanjang durasi aksi morfin.
 Efek pada organ
- Opioid memiliki efek langsung minimal pada jantung. Meperidine
cenderung meningkatkan denyut jantung.
- Fentanyl, sufentanil, remifentanil, dan alfentanil dikaitkan dengan
bradikardia yang dimediasi saraf vagus
- Opioid tidak menekan kontraktilitas jantung asalkan mereka
diberikan sendiri
- Meperidine, hydromorphone, dan morfin dosis boklus
membangkitkan beragam jumlah pelepasan histamin yang dapat
menyebabkan penurunan yang dalam pada sistemik resistensi
pembuluh darah dan tekanan darah arteri.
- Menekan ventilasi pernafasan, khususnya laju pernapasan
- Meningkatkan tekanan parsial karbon dioksida (PaCO2) dan
menumpulkan respons terhadap tantangan CO2
- Menumpulkan respons bronkokonstriktif terhadap stimulasi jalan
napas seperti yang terjadi selama intubasi trakea
- Morfin dan meperidin dapat menyebabkan bronkospasme yang
diinduksi histamin pada pasien yang rentan.
- Menuunkan konsumsi oksigen otak, aliran darah otak, volume
darah otak, dan tekanan intrakranial, tetapi pada tingkat yang jauh
lebih rendah daripada propofol, benzodiazepin, atau barbiturate
pada normocarbia
- Menstimulasi pusat mual dan muntah chemoreceptor trigger zone

36
- Memperlambat motilitas gastrointestinal dengan mengikat reseptor
opioid di usus dan mengurangi gerak peristaltik
- Kolik bilier dapat terjadi akibat opioid menginduksi kontraksi
sfingter Oddi
- Menghambat hormone katekolamin, hormone antidiuretic dan
kortisol.
 Dosis

Gambar 2.11. Dosis Opioid


 Interaksi Obat
Kombinasi meperidine dan inhibitor monoamine oksidase dapat
menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik, hiperpireksia, koma,
pernapasan, atau kematian. Propofol, barbiturat, benzodiazepin, anestesi
inhalasi, dan pusat lainnya depresan sistem saraf dapat memiliki efek yang
sinergis terhadap kardiovaskular pernapasan, dan efek sedatif dengan
opioid. Gangguan pembersihan alfentanil dan pemanjangan eliminasi
waktu paruh dipengaruhi oleh pengobatan dengan eritromisin.
2. Cyclooxygenase Inhibitor
 Mekanisme Kerja
COX mengkatalisasi produksi prostaglandin H1 dari aam arachidonic.
Dua bentuk enzim, COX-1 dan COX-2, memiliki perbedaan distribusi
dalam jaringan. Reseptor COX-1 tersebar luas di seluruh tubuh, termasuk

37
usus dan trombosit. COX-2 diproduksi sebagai respons terhadap
peradangan. Enzim COX-1 dan COX-2 berbeda lebih jauh dalam ukuran
situs pengikatannya: situs COX-2 dapat menampung molekul yang lebih
besar yang dibatasi mengikat di situs COX-1. Perbedaan ini sebagian
bertanggung jawab untuk Inhibisi COX-2 selektif. Agen yang
menghambat COX secara nonselektif (misalnya, aspirin) akan
melakukannya mengendalikan demam, radang, nyeri, dan trombosis. Agen
selektif COX-2 (misalnya, celecoxib, etoricoxib) dapat digunakan secara
perioperatif tanpa khawatir penghambatan trombosit atau gangguan
pencernaan. Inhibitor COX paling sering diberikan secara oral.
Asetaminofen, ibuprofen, diklofenak, dan ketorolak tersedia untuk
pemberian intravena.
 Farmakokinetik
Inhibitor COX bila diminum secara oral biasanya akan mencapai darah
puncaknya konsentrasi dalam waktu kurang dari 3 jam. Beberapa inhibitor
COX diformulasikan untuk aplikasi topikal. Sebagian besar inhibitor
COX menjalani biotransformasi hati. Peningkatan dosis acetaminophen
menghasilkan konsentrasi N-asetil-pbenzoquinon yang cukup besar dapat
menyebabkan gangguan hati. Hampir semua inhibitor COX diekskresikan
dalam urin.
 Efek pada organ
- Dapat menyebabkan gangguan pencernaan, dapat menyebabakan
perdarahan saluran cerna bagian atas
- Acetaminophen dapat menyebabkan galgal hati fulminant
- COX 1 mencegah agregasi trombosit
- NSAID terutama COX-2 selektif, mempengaruhi fungsi ginjal pada
pasien tertentu.
2.2.4. Neuromuscular Blocking Agent
Relaksasi otot rangka dapat dihasilkan oleh anestesi inhalasi mendalam, blok
saraf regional, atau agen blokade neuromuskuler. Agen penghambat neuromuskuler
dibagi menjadi dua kelas yaitu depolarisasi dan nondepolarisasi. Pembagian ini
mencerminkan perbedaan yang berbeda dala mekanisme aksi, respons terhadap
stimulasi saraf perifer, dan pembalikan blok.

38
Mirip dengan ACh, semua agen penghambat neuromuskuler adalah amonium
kuaterner senyawa nitrogen yang yang bermuatan positif memberikan afinitas untuk
nikotinik Reseptor ACh. Sedangkan sebagian besar agen memiliki dua atom
amonium kuaterner, hanya sedikit yang memiliki satu kation amonium kuaterner dan
satu amina tersier terprotonasi pada pH fisiologis.
Relaksan otot depolarisasi sangat mirip dengan ACh dan siap untuk diikat
Reseptor ACh, menghasilkan potensi aksi otot. Tidak seperti ACh, bagaimanapun,
obat ini tidak dimetabolisme oleh asetilkolinesterase, dan konsentrasinya di celah
sinaptik tidak jatuh dengan cepat, menghasilkan perpanjangan end plate
depolarizatio. End plate depolarizatiom yang terus-menerus menyebabkan relaksasi
otot pembukaan saluran natrium perijunctional terbatas waktu. Setelah eksitasi dan
pembukaan awal, saluran natrium ini tidak aktif dan tidak dapat dibuka kembali
sampai pelat akhir repolarisasi. End plate tidak dapat melakukan repolarisasi selama
relaksan otot depolarisasi terus mengikat untuk reseptor ACh; ini disebut blok fase I.
Perpanjangan depolarisasiend plate dapat menyebabkan perubahan yang kurang
dipahami pada reseptor ACh itu menghasilkan blok fase II, yang secara klinis
menyerupai nondepolarisasi relaksan otot. Relaksan otot nondepolarisasi mengikat
reseptor ACh tetapi tidak mampu menginduksi perubahan konformasi yang
diperlukan untuk pembukaan saluran ion. Karena ACh dicegah dari mengikat ke
reseptornya, tidak ada potensi end-plate berkembang.
Blokade neuromuskuler terjadi bahkan jika hanya satu subunit α yang diblokir.
Dengan demikian, pengendali otot depolarisasi bertindak sebagai agonis reseptor
ACh, sedangkan relaksan otot nondepolarisasi berfungsi sebagai antagonis kompetitif.
Dasar perbedaan mekanisme aksi ini menjelaskan berbagai efeknya secara pasti
terhadap kondisi penyakit. Misalnya, kondisi yang terkait dengan penurunan kronis
pada Pelepasan ACh (misalnya, cedera denervasi otot) merangsang peningkatan
kompensasi dalam jumlah reseptor ACh dalam membran otot. Keadaan ini kuga
menyebabkan ekspresi isoform yang immature (ekstrajunctional) dari reseptor Ach,
yang menampilkan sifat konduktansi saluran rendah dan berkepanjangan waktu
saluran terbuka. Peningkatan regulasi ini menyebabkan respons berlebihan terhadap
depolarisasi relaksan otot (dengan lebih banyak reseptor yang didepolarisasi), tetapi
resistensi terhadap relaksan yang tidak berpolarisasi (lebih banyak reseptor yang harus
diblokir). Di Sebaliknya, kondisi yang terkait dengan lebih sedikit reseptor ACh
(misalnya, downregulation myasthenia gravis) menunjukkan resistensi terhadap

39
relaksan depolarisasi dan peningkatan sensitivitas terhadap relaksan yang tidak
mempolarisasi.

Gambar 2.12. Klasifikasi Neuromuscular Blocking Agent.

Gambar 2.13. Struktur Kimia Neuromucular Blocking Agent

40
1. Succinycholine
 Mekanisme Kerja
Disebut juga suxamethonium terdiri gabungan dari dua molekul Ach,
Suksinilkolin tetap populer karena onset kerjanya yang cepat (30-60 detik)
dan durasi aksi pendek (biasanya kurang dari 10 menit). Permulaan
tindakan yang relative cepat terhadap blocker neuromuskuler lainnya
sebagian besar disebabkan oleh overdosis relative yang biasanya
diberikan. Suksinilkolin, seperti semua penghambat neuromuskuler,
memiliki volume distribusi yang kecil karena kelarutan lemaknya sangat
rendah, dan ini juga mendasari onset aksi yang cepat. Ketika suksinilkolin
memasuki sirkulasi, sebagian besar dimetabolisme dengan cepat menjadi
pseudocholinesterase succinylmonocholine. Proses ini sangat efisien
sehingga hanya sebagian kecil dari dosis yang disuntikkan pernah
mencapai persimpangan neuromuskuler. Ketika tingkat obat turun darah,
molekul suksinilkolin berdifusi menjauh dari persimpangan neuromuskuler
membatasi durasi tindakan. Namun, durasi aksi ini bisa terjadi
diperpanjang dengan dosis tinggi, infus suksinilkolin, atau metabolisme
abnormal. Yang terakhir dapat terjadi akibat hipotermia, penurunan kadar
pseudocholinesterase, atau enzim yang secara genetis menyimpang.
Hipotermia menurunkan laju hidrolisis. Mengurangi kadar
pseudocholinesterase yang menyertai kehamilan, penyakit hati, gagal
ginjal, dan terapi obat tertentu. Pengurangan kadar pseudocholinesterase
umumnya hanya menghasilkan perpanjangan sedikit aksi suksinilkolin (2-
20 menit). Kelumpuhan berkepanjangan dari suksinilkolin yang
disebabkan oleh pseudocholinesterase abnormal (atipikal cholinesterase)
harus dirawat dengan ventilasi mekanik lanjutan dan sedasi sampai fungsi
otot kembali normal dengan tanda-tanda klinis.

41
 Interaksi Obat

Gambar 2.13. Interaksi Obat Neuromuscular Agent

 Dosis obat
- Dosis suksinilkolin dewasa untuk intubasi adalah 1 hingga 1,5 mg /
kg intravena.
- Dosis sekecil 0,5 mg / kg biasanya mdapat diberikan pada kondisi
jika dosis defosikulasi agen nondepolarisasi tidak digunakan.
- Bolus kecil berulang (5-10 mg) atau tetesan suksinilkolin (1 g
dalam 500 atau 1000 mL, dititrasi untuk efek) dapat digunakan
selama prosedur bedah yang singkat tetapi membuthkan
kelumpuhan yang hebat (misalnya endoskopi otolaringologis).
 Efek samping dan pertimbangan klinis
- Meningkatkan atau menurunkan tekanan darah dan detak jantung.
- Suksinilkolin dosis rendah dapat menghasilkan kronotropik negatif
dan efek inotropik, tetapi dosis yang lebih tinggi biasanya
meningkatkan denyut jantung dan kontraktilitas

42
- Meningkatkan kadar katekolamin yang bersirkulasi
- Pada anak-anak sangat rentan terhadap bradikardia setelah
pemberian suksinilkolin
- Dapat terjadi fasiculasi
- Dapat menginduksi hiperkalemia
- Peningkatan insiden mialgia pasca operasi
- Fasikulasi otot dinding perut meningkatkan tekanan intragastrik,
dan peningkatan tonussfingter esofagus yang lebih rendah namun
tidak ada bukti yang menjelasakn peningkatan risiko refluks
lambung atau aspirasi paru pada pemberian suksinilkolin
- Depolarisasi membran berkepanjangan dan kontraksi otot
ekstraokular setelah pemberian suksinilkolin secara sementara
meningkatkan tekanan intraokular
- Meningkatkan tonus otot pada otot masseter secara sementara
- Suksinilkolin adalah agen pemicu kuat pada pasien yang rentan
terhadap ganas hipertermia, kelainan hipermetabolik otot rangka
- Dapat menyebabkan aktivasi elektroensefalogram dan sedikit
peningkatan aliran darah otak dan tekanan intrakranial pada
beberapa pasien
- Melepaskan sedikit histamine.
2. Atracum
 Metabolisme dan sekresi
Atracurium dimetabolisme secara luas sehingga farmakokinetiknya
independen dari fungsi ginjal dan hati, dan kurang dari 10% diekskresikan
tidak berubah oleh rute ginjal dan bilier.
- Ester Hidrolisis : Tindakan ini dikatalisis oleh esterase nonspesifik,
bukan oleh asetilkolinesterase atau pseudocholinesterase.
- Eliminasi Hoffman : pemecahan kimia nonenzimatik spontan terjadi
pada pH fisiologis dan suhu.
 Dosis
- Dosis 0,5 mg / kg diberikan intravena untuk intubasi

43
- Setelah succinylcholine, relaksasi intraoperatif dicapai dengan 0,25
mg / kg pada awalnya, kemudian dalam dosis tambahan 0,1 mg / kg
setiap 10 hingga 20 menit.
- Infus 5 hingga 10 mcg / kg / mnt secara efektif dapat menggantikan
bolus intermiten.
 Efek samping dan pertimbangan klinis
- Penurunan sementara dalam pembuluh darah sistemik resistensi dan
peningkatan indeks jantung terlepas dari pelepasan histamin.
- Bronkospasme berat adalah sesekali terlihat pada pasien tanpa riwayat
asma, pemakaiannya dihindari pada pasien dengan riwayat asma
- Pada dosis yang sangat besar dapat mengakibatkan eksitasi sistem
saraf pusat, yang menyebabkan peningkatan konsentrasi alveolar
minimum dan presipitasi kejang karena adanya laudanosine toxicity.
3. Cisatracurium
 Metabolisme dan sekresi
Seperti halnya atracurium, cisatracurium mengalami degradasi dalam
plasma pada pH dan suhu fisiologis dengan eliminasi Hofmann yang
bebas organ. Metabolit yang dihasilkan (akrilat monoquaternary dan
laudanosine) tidak mempunyai efek pemblokiran neuromuskuler. Karena
potensi cisatracurium yang lebih besar, maka jumlah laudanosine yang
diproduksi untuk tingkat dan durasi yang sama blokade neuromuskuler
jauh lebih sedikit dibandingkan dengan atracurium. Metabolisme dan
eliminasi tidak tergantung pada gagal ginjal atau hati. Variasi kecil dalam
pola farmakokinetik karena usia mengakibatkan tidak ada perubahan
penting secara klinis pada durasi aksi.
 Dosis
- Dosis untuk intubasi 0,1 sampai 0,15 mg / kg dalam 2 menit dan
menghasilkan blokade otot antara durasi. Laju infus pemeliharaan tipikal
berkisar antara 1,0 hingga 2,0 mcg / kg / menit.
 Efek samping dan pertimbangan klinis
Tidak seperti atracurium, cisatracurium tidak menghasilkan yang
konsisten, tergantung dosis peningkatan kadar histamin plasma setelah
pemberian. Cisatracurium tidak mengubah detak jantung atau tekanan

44
darah, juga tidak menghasilkan efek otonom, bahkan pada dosis setinggi
delapan kali ED95.
Cisatracurium berbagi dengan atracurium produksi laudanosine, pH dan
sensitivitas suhu, dan ketidakcocokan kimia.
4. Mivacurium
 Metabolisme dan eksresi
Mivacurium,seperti suksinilkolin, dimetabolisme oleh
pseudocholinesterase. Akibatnya, pasien dengan konsentrasi atau aktivitas
pseudocholinesterase rendah mungkin mengalami blokade neuromuskuler
yang berkepanjangan setelah mivacurium administrasi. Namun, seperti
agen nondepolarisasi lainnya, cholinesterase inhibitor akan memusuhi
blokade neuromuskuler yang diinduksi mivacurium. Edrophonium lebih
efektif membalikkan blokade mivakurium daripada neostigmine karena
neostigmine menghambat aktivitas plasma cholinesterase.
 Dosis
Dosis intubasi yang biasa adalah 0,15 hingga 0,2 mg / kg.
 Efek samping dan pertimbangan medis
Mivacurium melepaskan histamin dengan tingkat yang hampir sama
dengan atracurium. Itu waktu onset mivacurium adalah sekitar 2 hingga 3
menit. Keuntungan utama mivacurium dibandingkan dengan atracurium
adalah durasinya yang relatif singkat (20–30 mnt).
5. Pancuronium
 Metaboisme dan ekskresi
Pancuronium dimetabolisme oleh hati sampai tingkat tertentu. Produk
metabolismenya memiliki beberapa aktivitas pemblokiran neuromuskuler.
Ekskresinya terutama pada ginjal (40%), walaupun beberapa obat
dibersihkan oleh empedu (10%). Tidak mengherankan, pembersihan
pancuronium diperlambat dan blockade neuromuskulat diperpanjang oleh
gagal ginjal. Pasien dengan sirosis mungkin memerlukan dosis awal yang
lebih besar karena peningkatan volume distribusi tetapi telah berkurang
persyaratan pemeliharaan karena penurunan tingkat izin plasma.
 Dosis

45
- Dosis 0,08-0,12 mg / kg pancuronium memberikan relaksasi yang
memadai
- intubasi dalam 2 hingga 3 menit.
- Relaksasi intraoperatif dicapai dengan pemberian 0,04 mg / kg awalnya
diikuti setiap 20 hingga 40 menit dengan 0,01 mg / kg.

 Efek samping dan pertimbangan klinis


- Dapat menyebabkan hipertensi dan takikardi pada pemberisan dosis yang
besar
- Meningkatan konduksi atrioventrikular dan pelepasan katekolamin
meningkatkan kemungkinan aritmia ventrikel pada individu yang memiliki
kecenderungan
- Pasien yang hipersensitif terhadap bromida dapat menunjukkan reaksi
alergi pancuronium (pancuronium bromide).
6. Vecoronium
 Metabolisme dan eksresi
Vecuronium dimetabolisme sebagian kecil oleh hati. Tergantung terutama
pada ekskresi empedu dan sekunder (25%) pada ekskresi ginjal. Meskipun
itu adalah obat yang memuaskan untuk pasien dengan gagal ginjal,
durasinya adalah cukup lama. Durasi tindakan singkat Vecuronium
dijelaskan oleh waktu paruh eliminasi lebih pendek dan lebih cepat
dibandingkan dengan pancuronium. Setelah pemberian vecuronium untuk
pasien dalam jangka panjang unit perawatan intensif blokade
neuromuskuler yang berkepanjangan (hingga beberapa hari) mungkin
hadir setelah penghentian obat, mungkin dari akumulasi 3- aktifnya
hidroksi metabolit, mengubah pembersihan obat, dan pada beberapa
pasien, menyebabkan pengembangan polineuropati. Faktor risiko
tampaknya termasuk wanita jenis kelamin, gagal ginjal, terapi
kortikosteroid jangka panjang atau dosis tinggi, dan sepsis. Dengan
demikian, pasien-pasien ini harus dipantau secara ketat, dan dosis
vecuronium hati-hati dititrasi. Administrasi relaksan jangka panjang dan
selanjutnya kurangnya ikatan ACh yang berkepanjangan pada reseptor
nikotinik nikotinat postinaptik mungkin meniru keadaan denervasi kronis

46
dan menyebabkan disfungsi reseptor dan kelumpuhan. Toleransi terhadap
relaksan otot nondepolarisasi juga dapat terjadi setelahnya penggunaan
jangka panjang
 Dosis
- Dosis intubasi adalah 0,08 hingga 0,12 mg / kg. Dosis 0,04 mg / kg
awalnya diikuti dengan peningkatan 0,01 mg / kg setiap 15 hingga
20 menit memberikan relaksasi intraoperatif.
- Infus 1 hingga 2 mcg / kg / mnt menghasilkan pemeliharaan
relaksasi yang baik.
 Efek samping dan pertimbangan klinis
- Bahkan pada dosis 0,28 mg / kg, vecuronium tidak memiliki efek
yang signifikan terhadap kariovaskuler. Potensiasi bradikardia
yang diinduksi opioid dapat diamati pada beberapa orang pasien.
- Meskipun tergantung pada ekskresi empedu, durasi kerja
vecuronium biasanya tidak terlalu lama pada pasien dengan sirosis
kecuali diberikan dosis lebih besar dari 0,15 mg / kg. Penggunaan
vecuronium berkurang selama fase anhepatik transplantasi hati.
7. Rocorunium
 Metabolisme dan ekskresi
Rocuronium tidak mengalami metabolisme dan dieliminasi terutama oleh
hati dan sedikit oleh ginjal. Durasi kerjanya tidak dipengaruhi oleh
penyakit ginjal, tetapi sedikit diperpanjang oleh gagal hati dan kehamilan.
Karena rocuronium tidak memiliki metabolit aktif, itu mungkin merupakan
pilihan yang lebih baik dibandingkan vecuronium pada pasien langka yang
membutuhkan infus dalam waktu lama pengaturan unit perawatan intensif.
Pasien lanjut usia mungkin mengalami durasi yang lama aksi karena
penurunan massa hati.
 Dosis
 Dosis 0,45 hingga 0,9 mg / kg intravena untuk intubasi dan dosis
bolus 0,15 mg / kg untuk pemeliharaan.
 Dosis intramuskular (1 mg / kg untuk bayi; 2 mg / kg untuk anak-
anak) menyebabkan kelumpuhan pita suara dan diafragma yang
adekuat untuk intubasi, tetapi tidak sampai etelah 3 hingga 6 menit

47
(injeksi deltoid meimliki onset yang lebih cepat daripada
quadriceps).
 Untuk dosis infus 5 hingga 12 mcg / kg / menit.
 Efek samping dan pertimbangan klinis
Rocuronium (dengan dosis 0,9-1,2 mg / kg) memiliki onset aksi yang
mendekati suksinilkolin (60-90 s), menjadikannya alternatif yang cocok
untuk tindakan induksi cepat, tetapi dengan durasi aksi yang lebih lama.
Durasi aksi sedang sebanding dengan vecuronium atau atracurium.
Sugammadex memungkinkan pembalikan cepat rocuronium padat yang
diinduksi blokade neuromuskuler. Rocuronium (0,1 mg / kg) telah terbukti
cepat (90 detik) dan efektif (penurunan fasikulasi dan mialgia pasca
operasi) untuk prekurisasi sebelum pemberian suksinilkolin. Ia memiliki
kecenderungan memiliki efek vagolitik ringan.
2.2.5. Cholinestrase Inhibitor dan Obat Antagonis Neuromuscular Blocking Agent
 Mekanisme Kerja
Penggunaan klinis utama inhibitor kolinesterase adalah untuk
membalikkan nondepolarisasi bloker neuromuskuler. Transmisi
neuromuskuler terhalang ketika otot nondepolarisasi relaksan bersaing
dengan asetilkolin untuk mengikat kolinergik nikotinik reseptor.
Inhibitor cholinesterase secara tidak langsung meningkatkan
jumlahnya asetilkolin yang tersedia untuk bersaing dengan agen
nondepolarisasi, dengan demikian membangun kembali transmisi
neuromuskuler. Inhibitor asetilkolinesterase memperpanjang blokade
depolarisasi suksinilkolin. Antagonis Neuromuscular Blocking Agent
atau kolin ekstrasebekerj pada sabungan saraf oto mencegah asetilkolin
ekstrase bekerja, sehingga asetilkolin dapat bekerja. Antikolinestrase
paling sering digunakan adalah neostigmine (prostigmine),
piridostigmine dan edrophium.
 Dosis
- Nesotigmin : 0,04-0,08 mg/kg,
- Piridostrigmin : 0.1-0.4 mg/kg
- Edrophonium : 0,5-1 mb/kg
- Physostigmin : 0.01–0.03 mg/kg.

48
 Efek samping
- Hipersalivasi
- Berkeringat
- Bradikardia
- Hipermotilitas usus
- Pandangan kabur
- Bronkospasme dan peningkatan sekresi bronkus
2.2.6. Antikolinergik
Kelompok nondepolarisasi agen penghambat neuromuskuler, bertindak pada
reseptor nikotinik pada otot rangka. Sedangkan antikolinergik menghambat reseptor
muskarinik, atau dapat juga disebut sebagai antimuskuranik.
 Mekanisme Kerja
Antikolinergik adalah ester dari asam aromatik yang dikombinasikan
dengan basa organic. Hubungan ester sangat penting untuk pengikatan
yang efektif atas antikolinergik ke reseptor asetilkolin. Blok kompetitif
ini mengikat dengan asetilkolin dan mencegah aktivasi reseptor.
Seluler
efek asetilkolin, yang dimediasi melalui second messanger terlambat .
Reseptor jaringan kepekaannya bervariasi terhadap blokade. Faktanya,
reseptor muskarinik tidak homogen, dan subkelompok reseptor telah
diidentifikasi, termasuk sistem saraf pusat (M1, 4,5), ganglia otonom
dan reseptor sel parietal (M1), jantung (M2), dan otot polos (M3).

Gambar 2.16. Struktur Kimia Obat Antikolinergik


 Dosis

49
- Atropine
Dosis premedikasi 0,01 hingga 0,02 mg / kg, hingga dosis dewasa
biasanya 0,4 hingga 0,6 mg. Lebih besar dosis intravena hingga 2
mg mungkin diperlukan untuk sepenuhnya memblokir jantung saraf
vagal dalam mengobati bradikardia berat.
- Glycopirolate
Dosis premedikasi adalah 0,005 hingga 0,01 mg / kg hingga 0,2
hingga 0,3 mg pada orang dewasa.
 Efek Samping
- Meningkatkan respos saraf simpatik kardiocaskular, vasodilatasi
pembuluh darah kulut (Flush atropine) , takikardi
- Menghambat sekresi saluran pernapasan, dari hidung ke hidung
bronkus, relaksasi otot polos bronkus dan mengurangi resistensi
jalan nafas
- Pada beberapa obat pada dosis tertentu dapat menimbulkan
kecenderungan depresi, gelisah, atau halusinasi
- Mencegah aspirasi; menurunkan sekresi saliva dan lambung,
Menurunnya motilitas usus dan gerak peristaltik memperpanjang
waktu pengosongan lambung. Menururnkan tekanan sfingter
esofagus bagian bawah
- Menurunkan tonus ureter dan kandung kemih akibat halus,
merelaksasi otot dan menyebabkan retensi urin
- Menghambat kelenjar keringat dapat menyebabkan peningkatan
suhu tubuh (atropine fever).

Gambar 2.17. Efek farmokologi Obat Antikolonergik.


2.2.7. Agonist Adregenik
 Mekanisme Kerja
Agonis adrenergik dapat dibagi menjadi langsung atau tidak langsung.
Langsung mengikat neurotransmitter endogen reseptor agonis, dan ada
50
yang tidak langsung meningkat neurotransmitter endogen. Istilah
adrenergik awalnya merujuk pada efek epinefrin (Adrenalin), meskipun
norepinefrin (noradrenalin) adalah yang utama neurotransmitter yang
bertanggung jawab untuk sebagian besar aktivitas adrenergiksistem
saraf simpatik.

Gambar 2.18. Selekif Reseptor Agonist Adregenik

 Dosis
- Phynilephrine
Bolus IV 50 hingga 100 mcg (0,5 hingga 1 mcg / kg)
- Clonidine
Efek anestesi pada pmberian oral (3-5 mcg / kg), intramuskuler (2
mcg / kg), intravena (1-3 mcg / kg), transdermal (0,1-0,3 mg )
dilepaskan per hari), intratekal (15–30 mcg), dan pemberian clonidine
epidural (1-2 mcg / kg).
- Dexmedetomine
Dosis pemuatan 1 mcg / kg selama 10 menit diikuti dengan infus pada
0,2 hingga 0,7 mcg / kg / jam
- Epinefrin
Pada henti jantung dan syok diberikan intravena 0,5 hingga 1 mg.
Pada reaksi anafilaksis dosis 100 hingga 500 mcg diikuti dengan
infusi. Untuk meningkatkan kontraktilitas miokard atau detak jantung,
infus terus menerus disiapkan (1 mg dalam 250 mL [4 mcg / mL])

51
dan dijalankan dengan kecepatan 2 hingga 20 mcg / menit (30–300 ng
/ kg / mnt). Infiltrasi lokal epinefrin juga digunakan untuk
mengurangi perdarahan dari situs operasi
- Efedrin
Dosis dewasa bolus 2,5 hingga 10 mg; pada anak-anak, itu diberikan
sebagai bolus 0,1 mg / kg
- Norepinefrin
Pemberian infus kontinyu 2 hingga 20 mcg / mnt (30-300 ng / kg /
mnt).
- Dopamine
Dosis sedang (3–10 mcg / kg / menit), stimulasi β1 meningkatkan
kontraktilitas miokard, denyut jantung, tekanan darah sistolik, dan
curah jantung. Efek α1 menjadi menonjol pada dosis yang lebih tinggi
(10-20 mcg / kg / menit),kecepatan infus kontinyu 1 samapi 20
mcg/kg/mnt
- Dobutamine
Diberikan sebagai infus dengan kecepatan 2 hingga 20 mcg / kg /
menit.
- Fenoldopam
Infus kontinu 0,1 mcg / kg / menit, meningkat dengan kenaikan 0,1
mcg / kg / menit pada interval 15-20 menit sampai tekanan darah
target tercapai.
 Efek pada organ

52
Gambar 2.19. Efek Farmakologi Agonis Adregenik

2.2.8. Antagonist Adregenik


 Mekanisme Kerja
Antagonis adrenergik mengikat tetapi tidak mengaktifkan
adrenoceptors. Mereka bertindak mencegah aktivitas agonis
adrenergik. Seperti agonis, antagonis berbeda dalam spektrum interaksi
reseptor mereka.
 Dosis
- α-Blockers
1. Phentolamine : bolus intermiten (1-5 mg pada orang dewasa)
atau sebagai infus terus menerus
- Mixed Blocker (blocker α1-, β1-, and β2-receptors)
1. Labetolol : Dosis awal nya adalah 2,5 hingga 10 mg yang
diberikan intravena lebih dari 2 menit. Setelah dosis awal, dan
tergantung pada respons, 5 hingga 20 mg dapat diberikan dalam
interval 10 menit sampai tekanan darah yang diinginkan.
- β blocker
1. Esmolol : Untuk terapi jangka pendek dapat diberikan bolus
(0,2-0,5 mg / kg), seperti melemahkan respons kardiovaskular

53
terhadap laringoskopi dan intubasi. Perawatan jangka panjang
biasanya dimulai dengan loading dose 0,5 mg / kg diberikan
lebih dari 1 menit, diikuti dengan infus kontinu 50 mcg / kg /
menit utuk mempertahankan efek terapeutik. Jika ini gagal
menghasilkan respons yang memadai dalam 5 min, loding dose
dapat diulang dan infus ditingkatkan dengan penambahan 50
mcg / kg / mnt setiap 5 mnt hingga maksimum 200 mcg / kg /
mnt.
2. Meteprolol : Diberikan intravena dalam peningkatan 1 sampai 5
mg setiap 2 sampai 5 menit, dititrasi berdasarkan tekanan darah
dan detak jantung.
3. Propanolol : Dititrasi untuk menghasilkan peningkatan 0,5 mg
setiap 3 hingga 5 menit. Dosis total jarang melebihi 0,15 mg /
kg.

BAB III
KESIMPULAN
Jenis anestesi pada pasien yang menjalani pembedahan dapat dilakukan dengan
anestesi umum (general anestesi), anestesi local, dan anestesi pada suatu bagian tubuh
tertentu (regional anestesi). Tindakan anesthesia memiliki keuntungan dan kerugian
tersendiri, tidak semua pasien medis ideal untuk dijalani dibawah anestesia umum.
Obatan-obatan anestesi memiliki beragam golongan dan sedian yang nantinya akan
disesuaiakan dengan pengambilan keputusan klinis anestesi. Dalam praktik klinis
seorang anestesiologis mempergunakan obat-obatan seperti analgesic, neuromuscular
relaxant agent, local anasetesi, general anestesi ataupun obat-obatan tambahan lainnya.
Pemilihan obat-obatan ini mempertimbangkan dari mekanisme, efek samping,
kontraindikasi, dan juga interaksi dengan obat lainnya.

54
DAFTAR PUSTAKA
1. Miller RD. 2010. Miller’s Anesthesia. Ed ke-7, United State of America: Churchill
Livingstone Elsevier. 2213 hlm.
2. Leslie K, Eriksson LI, Wiener-kronish JP, Cohen NH, Fleisher LEEA, Gropper MA.
Miller’s Anesthesia. 9th Editio. Phialdelphia: Elvesier; 2020.
3. Benumof. 2007. Post Operative Complication Anesthesiology. Jakarta: EGC.
4. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi Kedua.
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia:
2009.
5. Morgan, G.E., Clinical Anesthesiology 5th ed. Stamford: Appleton and Lange, 2013
6. Soenarto, R. Chandra, S. Buku Ajar Anestesiologi dan Intensive Care. Fakultas
Kedokteran Indonesia, Jakarta:2012
7. Sabiston. Buku Ajar Ilmu bedah. Ed ke-7. Jakarta: ECG; 2011. Hal: 24-9
8. Rehatta M, Hanindito E, Tantri A. Anestesiologi dan Terapi Intensif: Buku Teks Kati-
Perdatin. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; 2019. Hal: 436-41
9. Kempthorne P, Morriss WW. The WFSA Global Anesthesia Workforce Survey.
2017;XXX(Xxx):1–10.
10. John F. Butterworth, David C.Mackey JDW. Morgan & Mikhail’ ’s Clinical
Anasthesiology. 6 Edition. New York: McGraw-Hill; 2018.

55
11. Said A. Latief, Kartini A. Suryadi MRD. Anestesiolgi. Jakarta: Bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009.
12. Werth, M. Pokok-Pokok Anestesi. EGC, Jakarta, 2010

56

Anda mungkin juga menyukai