Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN RESMI

PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI

ANESTESI UMUM

KELOMPOK 2

Disusun Oleh:

1. M. Ikbal H (14040033)
2. Mira Prasetyowati (14040036)
3. Muthia Nurhidayah (14040037)
4. Novy Ferdiany B. (14040038)
5. Nuraini (14040039)

SEKOLAH TINGGI FARMASI MUHAMMADIYAH

TANGERANG

2017
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarrakatu

Puji syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT atas berkat rahmat dan

hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan laporan praktikum Farmakologi dan

Toksikologi ini yang berjudul “Anestesi Umum“.

Laporan ini dibuat dengan beberapa bantuan dari berbagai pihak untuk

membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan selama mengerjakan makalah

ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan ini. Kami

menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada laporan ini.

Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik

yang dapat membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami

harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.

Akhir kata semoga laporan ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Wassalamualaikum Warrahmatullahi Wabarrakatu

Tangerang, 28 Desember 2017

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anestesi umum adalah suatu zat yang membuat depresi sistem saraf pusat

sehingga terjadi penurunan kesadaran untuk keperluan pembedahan. Zat ini

pertama kali digunakan oleh seorang dokter di pedesaan Georgia, Crawford

Long, pada tahun 1842, namun pertama kali dipublikasikan oleh William T.G.

Morton, seorang dokter gigi di Boston. Eter adalah anestesi ideal pertama

yang sangat poten dan tidak mengurangi kadar oksigen di kamar operasi

sampai level hipoksia. Oleh karena itu, eter tidak membahayakan respirasi dan

sirkulasi, dimana pada masa itu, pemahaman manusia akan keterampilan

menangani kedaruratan respirasi dan sirkulasi belum seperti sekarang

(Goodmann and Gillmann, 2006).

Selanjutnya, anestesi yang digunakan ialah chloroform pada tahun 1847

yang diperkenalkan oleh seorang dokter kandungan, James Simpson. Lalu,

perkembangan anestesi umum diikuti oleh penggunaan cyclopropane pada

tahun 1929 dan penggunaan hallotan pada tahun 1956 yang kemudian menjadi

anestesi yang sering digunakan (Goodmann and Gillmann, 2006).

Di samping dikembangkannya anestesi umum inhalasi, anestesi umum

intravena juga dikembangkan pada awal abad 20, salah satunya ialah

theopental yang mulai dikembangkan pada tahun 1935. Namun, anestesi

tersebut dapat menyebabkan depresi serius pada sistem sirkulasi, respirasi, dan
saraf. Bagaimanapun, anestesi intravena tetap digunakan untuk induksi

anestesi umum (Goodmann and Gillmann, 2006).

B. Tujuan Praktikum

1. Mengenai tahap-tahap manifestasi anestesi umum dan tahap-tahap

pemulihan dari anestesi umum

2. Mampu menganalisa perbedaan anestesi oleh berbagai bahan.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anestesi Umum

Anestesi artinya hilangnya sensasi nyeri (rasa sakit) yang disertai maupun

tidak disertai hilangnya kesadaran. Obat anestesi umum dan lokal dibedakan

berdasarkan pada dalamnya pembiusan dan tempat dimana obat tersebut

bekerja. Anestesi umum dapat memberikan efek analgesia dan atau anestesia,

serta bekerja di susuna saraf pusat. Anestetik ideal harus memperlihatkan 3

efek utama atau Trias anestesia. Trias anestesi: efek hipnotik (menidurkan),

efek enalgesia, dan efek relaksasi otot.

Obat anestesi umum adalah obat atau agen yang dapat menyebabkan

terjadinya efek anestesia umum yang ditandai dengan penurunan kesadaran

secara bertahap karena adanya depresi susunan saraf pusat. Menurut rute

pemberiannya, anestesi umum dibedakan menjadi anestesi inhalasi dan

intravena. Keduanya berbeda dalam hal farmakodinamik maupun

farmakokinetik (Ganiswara, 1995).

Tahap-tahap penurunan kesadaran dapat ditentukan dengan pengamatan

yang cermat terhadap tanda-tanda yang terjadi, terutama yang berhubungan

dengan koordinasi pusat saraf sirkulasi, respirasi, musculoskeletal dan fungsi-

fungsi otonom yang lain pada waktu-waktu tertentu. Beberapa anestetik umum

berbeda potensinya berdasarkan sifat farmakokinenik dan farmako dinamik

yang berbeda pula. Selain itu sifat farmasetika obat juga mempengaruhi

potensi anestesinya. Potensi anestetik yang kuat dapat disertai dengan potensi

depresi sususan saraf pusat yang kuat, sehingga perlu dilakukan pemantauan
yang ketat, untuk menghindari turunnya derajat kesadaran sampai derajat

kematian (Ganiswara, 1995).

B. Tahap-Tahap Anestesi

a. Stadium analgesia/Cisorientasi

Stadium ini dimulai dari induksi sampai hilangnya kesadaran. stadium

ini pasien tidak lagi merasakan nyeri (analgesia), tetapi masih sadar dan

dapat mengikuti perintah. Stadium ini berakhir dengan ditandai oleh

hilangnya refleks bulu mata. Pada stadium ini biasa dilakukan tindakan

pembedahan ringan.

b. Stadium eksitasi/delirium

Dimulai dari hilangnya kesadaran sampai munculnya pernafasan yang

teratur. Pada stadium ini pasien seringkali mengalami delirium dan

eksitasi. Pernafasan menjadi tidak teratur dan timbul gerakan-gerakan

tidak teratur, serta bisa mual dan muntah bila dirangsang. Oleh karena itu

stadium ini harus diusahakan cepat dilalui. Akhir stadium ini adalah

kembalinya pernafasan yang teratur.

c. Stadium operasi

Diawali dengan pernafasan regular yang teratur dan berlanjut hingga

terhentinya pernafasan spontan (Apnea). Dibagi dalam 4 plana, yaitu:

1. Plana 1

Pernafasna teratur, spontan, seimbang antara pernafasan dada dan

perut, gerakan bola mata involunter, miosis, tonus otot rangka masih

ada

2. Plana 2
Pernafasan teratur tetapi frekuensi lebih kecil, bola mata tidak

bergerak, pupil melebar, otot rangka melemas, dan refleks laring

hilang sehingga bisa dilakukan intubasi

3. Plana 3

Pernafasan perut lebih nyata dibanding dada karena lumpuhnya otot

intercostal, relaksasi otot rangka sempurna, pupil melebar dan refleks

cahaya menghilang.

4. Plana 4

Pernfasan abdominal sempurna, jerky karena lumpuh total otot

intercostal, tekana darah mulai turun, pupil melebar maksimal, refleks

cahaya menghilang.

d. Stadium depresi medula oblongata/paralisis.

Kedalaman stadium anestesi ini ditandai dengan terjadinya depresi

berat pusat vasomotor dan pernafasan di medulla oblongata yang diikuti

dengan kegagalan sirkulasi.

C. MEDIKASI PRA ANESTETIK

Tujuan medikasi pra anestetik:

a. Mengurangi rasa cemas

b. Memperlancar induksi

c. Mengurangi kegawatan akibat anestesi

d. Mengurangi hipersalivasi, bradikardi, dan muntah2 sesudah maupun

sebelum anestesi.

5 golongan medikasi preanestesi:


a. Analgesik narkotik

Contoh: morfin, gol opioid lain ( sulfentanil > remifentanil >

fentanil > alfentanil > morfin > meperidin.

Fungsi: mengurangi cemas dan ketegangan pasien.

b. Sedatif barbiturate

Fungsi: menimbulkan sedasi. Keuntungan: tidak

memperpanjang masa pemulihan dan eso sedikit.

Pentobarbital, sekobarbital, teopental.

c. Benzodiazepin

Diazepam, lorazepam, midazolam

Fungsi: sedasi, amnesia retrograd, mengurangi cemas,

mengurangi tonus spingter esofagus.

d. Antikolinergik

Teophilin, scopolamin, atropine

Mencegah hipersekresi mukus dan bronkus

e. Neuroleptik

Mengurangi mual dan muntah

Droperidol, clorpromazin, prometazin.

D. Jenis Obat Anestesi Umum

a. Halotan

Cairan tidak berwarna, bau enak, tidak iritatif, mudah menguap, tidak

mudah terbakar. Halotan merupakan anestetik dengan kekuatan 4-5 kali

eter atau 2 kali kloroform.


Keuntungan: induksi cepat dan lancar, tidak mengiritasi jalan nafas,

bronkodilatasi, pemulihan cepat, proteksi terhadap syok, jarang

menyebabkan mual muntah.

Kerugian: sangat poten, relatif mudah terjadi OD, analgesi dan relaksasi

yang kurang (harus kombinasi), mahal, menimbulkan hipotensi, aritmia,

meningkatkan TIK, menggigi pasca anestesi dll.

Dosis induksi 2-4 % dan pemeliharaan 0,5-2 %.

b. Enfluran

Anestesi inhalasi kuat yang Juga digunakan untuk anestesi persalinan.

Memiliki daya relaksasi dan analgesi otot yang baik  melemaskan otot

uterus. Tidak begitu menekan SSP. Termasuk anastetik eter berhalogen

yang cair, mudah menguap, tidak mudah terbakar. Induksi cepat dan

lancar serta pemulihan yang cepat.

c. Isofluran

Merupakan eter berhalogen, berbau tajam, dan tidak mudah terbakar.

Keuntungan: irama jantung stabil dan tidak terangsang oleh adrenalin

serta induksi dan masa pulih anestesi cepat.

d. Sevofluran

Turunan eter berhalogen yang paling disukai untuk induksi inhalasi.

Induksi cepat dan nyaman terutama pada anak.

e. Eter

Cairan tidak berwarna, mudah menguap, berbau khas dan mengiritasi

saluran nafas, mudah terbakar/meledak dan dapat terurai oleh cahaya

atau udara. Eter merupakan obat anestesi yang sangat kuat sehingga
pasien dapat memasuki setiap tingkat anestesi. Dapat digunakan dengan

berbagai metode anestesi.

1. Obat Anestesi IV

Adalah obat yang diberikan melalui jalur IV, baik yang berefek

hipnotik atau analgesik maupun pelumpuh otot. Terdistribusi dalam

sirkulasi dan diedarkan ke organ target. Obat anestesi IV yang ideal

belum bisa ditemukan.

2. Propofol

Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat

isotonik dengan kepekatan 1 %. Suntikan IV sering menyebabkan

nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain

1-2 mg/kg IV. Pengenceran propofol hanya boleh dengan dextrosa

5%, pada manula dosis dikurangi, pada anak < 3 tahun dan bumil

tidak dianjurkan.

3. Fenthanyl Dan Droperidol

Analgesik dan anestesi neuroleptic

Kombinasi tetap

Aman untuk pasien yang mengalami hiperpireksia ec anestesi umum

lain.

Fentanil: masa kerjanya pendek, mula kerja cepat

Droperidol: masa kerja lama dan mula kerja lambat.

f. Eter, Alkohol dan Metanol

a. Pelarut Eter
Eter (dietil eter, zaman dahulu dikenal sebagai sulfuric eter

karena diproduksi melalui reaksi kimia sederhana antara etil alkohol

dengan asam sulfat) digunakan pertama kali tahun 1540 oleh

Valerius Cordus, botani Prusia berusia 25 tahun. Eter sudah dipakai

dalam dunia kedokteran, namun baru digunakan sebagai agen

anestetik pada manusia di tahun 1842, ketika Crawford W. Long dan

William E. Clark menggunakannya pada pasien. Namun penggunaan

ini tidak dipublikasikan. Empat tahun kemudian, di Boston, 16

Oktober 1846, William T. G. Morton memperkenalkan demostrasi

publik penggunaan eter sebagai anestetik umum (Morgan dan

Mikhail, 2002). Eter dapat dimasukkan kedalam derivat alkohol

dimana H dari R-O-[H] digantikan oleh gugus R lainnya. Eter adalah

oksida organik yang berstrukur:

[R]-C-O-C-[R]

Eter tidak berwarna, berbau menyengat, cairan yang mudah

menguap. Titik didihnya adalah 36,2°C. Cara pembuatan yang paling

umum adalah dengan dehidrasi alkohol bersama asam sulfat (Collins,

1996).

b. Pelarut Etanol

Alkohol (etanol; C2H5OH) ialah suatu molekul kecil, larut

dalam air, dan diserap dengan sempurna dari saluran pencernaan.

Uap etanol dapat juga diserap melalui paru-paru. Adanya makanan


dalam usus memperlambat serapan. Distribusinya cepat, konsentrasi

dalam jaringan lebih kurang sama dengan konsentrasi plasma. Kadar

puncak dalam darah dapat dicapai dalam 30 menit. Lebih 90%

alkohol yang dikonsumsi dioksidasi dalam hati, sisanya dieksresikan

dalam paru-paru dan urin. Seorang dewasa dapat memetabolisme 7-

10 gram (0,15-0,22 mmol) alkohol setiap jam (Ganiswara, 1995).

Alkohol-alkohol lain yang berhubungan dengan etanol digunakan

secara luas dalam pelarut industri dan kadang-kadang menyebabkan

keracunan hebat.

c. Pelarut Metanol

Metanol (CH3OH); metal alkohol, alkohol kayu) diperoleh dari

distilasi desktruktif kayu. Metanol digunakan sebagai bahan

penambah bensin, bahan pemanas ruangan, pelarut industri, pada

larutan fotokopi, serta sebagai bahan makanan untuk bakteri yang

memproduksi protein. Metanol paling banyak dijumpai dalam rumah

tangga dalam bentuk cairan pembersih kaca mobil. Dapat diabsorpsi

melalui kulit, saluran pernapasan atau pencernaan dandidistribusikan

ke dalam cairan tubuh. Mekanisme eliminasi utama methanol di

dalam tubuh manusia ialah dengan oksidasi menjadi formaldehida,

asam format dan CO2. Metanol juga dapat disingkirkan dengan

membuat muntah, dan dalam jumlah kecil diekskresikan melalui

pernapasan, keringat dan urin (Ganiswara, 1995).


d. Pelarut Kloroform

Kloroform pada suhu dan tekanan normal mudah menguap,

jernih, tidak mudah terbakar. Nama lain untuk cloroform adalah

trichloromethane dan triklorid metil, tidak seperti eter, bau

chloroform manis tidak menyengat, walaupun uap chloroform pekat

terinhalasi dapat menyababkan iritasi permukaan mukosa yang

terkena. Kloroform adalah anestesi yang lebih efektif daripada nitro.

Kloroform dosis tergantung di dalam tubuh akan dimetabolisme

didalam hati. Metabolit kloroform termasuk phosgene, carbene dan

chlorine, yang semuanya dapat berkontribusi terhadap aktivitas

sitotoksik. Penggunaan jangka panjang kloroform sebagai anestetik

dapat menyebabkan toxaemia. Keracuanan akut dapat menyebabkan

sakit kepala, kejang, perubahan kesadaran, kelumpuhan, gangguan

pernapasan. Dari sistem otonom dapat mengakibatkan pusing, mual

dan muntah. Kloroform juga dapat menyebabkan delayed-onset

kerusakan pada hati, jantung dan ginjal (Katzung, 1997).


BAB III
METODELOGI PENELITIAN

A. Alat dan Bahan


1. Alat
a. Toples kaca dan tutupnya
b. Kapas
c. Pipet tetes
d. Timbangan
2. Bahan
a. Tikus
b. Eter
c. Klorofom
d. Etanol absolut

B. Cara Kerja

5 ml eter 5 ml klorofom 5 ml etanol

Toples di tutup selama 5


menit

Tikus dimasukan ke dalam


toples 3 toples

Diamati tiap 5 menit 30


menit
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Tikus dengan Perlakuan Onset Durasi


Kloroform 1 menit 3 menit
Eter 2 menit 6 menit
Etanol 4 menit 6 menit

B. Pembahasan

Anestetik adalah obat yang digunakan dengan maksud untuk

menimbulkan anestesi, yaitu kondisi pati rasa dan/atau kehilangan

kesadaran, sehingga dimungkinkan untuk dilakukan tindakan operasi bedah

terhadap pasien, tanpa mengalami rasa nyeri dan/atau tidak sadar atas

dirinya; maka, dibedakan menjadi anestetik lokal dan anestetik umum.

Eter adalah anestesi ideal pertama yang sangat poten dan tidak

mengurangi kadar oksigen di kamar operasi sampai level hipoksia. Oleh

karena itu, eter tidak membahayakan respirasi dan sirkulasi, dimana pada

masa itu, pemahaman manusia akan keterampilan menangani

kedaruratan respirasi dan sirkulasi belum seperti sekarang

(Goodmann and Gillmann, 2012).

Selanjutnya, anestesi yang digunakan ialah chloroform pada tahun

1847 yang diperkenalkan oleh seorang dokter kandungan, James Simpson.

Lalu, perkembangan anestesi umum diikuti oleh penggunaan cyclopropane


29

Pada tahun 1929 dan penggunaan hallotan pada tahun 1956 yang kemudian

menjadi anestesi yang sering digunakan (Goodmann and Gillmann, 2012).

Di samping dikembangkannya anestesi umum inhalasi, anestesi

umum intravena juga dikembangkan pada awal abad 20, salah

satunya ialah theopental yang mulai dikembangkan pada tahun

1935. Namun, anestesi tersebut dapat menyebabkan depresi serius pada

sistem sirkulasi, respirasi, dan saraf. Bagaimanapun, anestesi intravena

tetap digunakan untuk induksi anestesi umum (Goodmann and

Gillmann, 2012).

Pada percobaan kali ini, obat anestesi umum diberikan kepada

hewan coba yaitu tikus putih, praktikum ini bertujuan untuk mengetahui

pengaruh obat-obatan terhadap efek anestetik. Dalam percobaan ini ada

beberapa alat dan bahan yang digunakan. Alat yang digunakan antara lain

gelas ukur, toples, dan kapas. Bahan yang digunakan antara lain etanol, eter,

dan kloroform.

Langkah kerja untuk anestetik yaitu disiapkan 3 toples yang

didalamnya terdapat kapas untuk masing-masing kelompok, kelompok 1

toples yang diberikan kloroform, kelompok 2 diberikan eter, dan kelompok

3 diberikan etanol, masing-masing sebanyak 5 ml dan diamkan selama 5

menit. Setelah di diamkan selama 5 menit lalu dimasukkan mencit ke dalam

tiga toples berbeda (toples 1 berisi kloroform, toples 2 berisi eter, dan toples

3 berisi etanol) dan diamati durasi.

Pada uji anestetik tikus akan melewati 4 stadium. Stadium 1 yaitu

stadium analgesik karena pada stadium ini objek akan merasakan mati rasa
30

hingga pernafasan normal menghilang. Stadium 2 yaitu stadium delirium.

Pada stadium ini tikus akan mengalami eksitasi yang berlebihan. Stadium 3

yaitu stadium perasi, tikus akan mengalami hilangnya kesadaran hingga

hilangnya napas spontan. Stadium ini terbagi kedalam 4 tingkat. Tingkat

pertama yaitu objek telah mampu bernafas teratur normal, miosis, gerak

mata involunter, namun otot rangka masih berfungsi. Tingkat kedua

menunjukkan perubahan frekuensi napas menjadi lebih jarang. Pupil mata

juga melebar dan otot rangka mulai melemas. Tingkat ketiga menunjukkan

perubahan napas yang sebelumnya seimbang menjadi dominan pernapasan

abdominal. Hal ini disebabkan akibat mulai lumpuhnya m. intercostalis.

Pupil mata makin melebar dan reflex cahaya pun juga menghilang. Tingkat

keempat menunjukkan dominannya pernapasan abdominal secara maksimal

disertai maksimalnya pelebaran pupil dan kelumpuhan otot rangka. Stadium

IV yaitu depresi medulla oblongata. Pada stadium ini terjadi kegagalan

vasomotor dan pernafasan. Stadium ini merupakan stadium yang dapat

menyebabkan kematian pada tikus.

Pada saat diberikan kloroform, memiliki durasi sekitar 3 menit. Saat

tikus dimasukkan kedalam toples obat anestesi mulai menunjukkan efek.

Tikus mengalami stadium 3 pada menit ke-2 dan pada stadium 4 pada menit

ke-3. Dikarenakan tikus mengalami hilangnya kesadaran hingga hilangnya

napas spontan, pupil mata makin melebar, reflex cahaya pun juga

menghilang dan tikus mengalami kematian. Kloroform yang masuk kedalam

tubuh melalui inhalasi akan tetap berada di dalam tubuh dan akan

dimetabolisme oleh hati. Kloroform bersifat lipofilik yaitu larut dalam


31

jaringan lemak sehingga menyebabkan transfor normal oksigen terganggu

dan lama-kelamaan akan menimbulkan efek anestesi. Metabolit dari

kloroform yaitu phosgene. Kardene and klorin yang mempuyai aktivitas

sitotoksik. Sebenarnya, mekanisme kerja kloroform sebagai anestesi umum

belum diketahui secara pasti. Tetapi, berdasarkan penelitian pada tahun

2008 kloroform bekerja untuk menghambat kerja dari karnal ion TRPC 5

yang berfungsi untuk transmisi dan mengatur denyut jantung dan sebagian

besar karnal tersebut berada diotak.

Pada saat diberikan eter, memiliki durasi 6 menit. Saat tikus

dimasukkan kedalam toples obat anestesi mulai menunjukkan efek. Tikus

mengalami stadium 2 pada menit ke-2, stadium 3 pada menit ke-4 dan

stadium 4 pada menit ke-6. Mekanisme kerja eter terhadap anestesi yaitu

merupakan anestesi yang sangat kuat, sifat analgesiknya kuat sekali dengan

kadar dalam darah arteri 10-15 mg. Eter menyebabkan kontraksi pada otot

jantung, terapi in vivo ini dilawan oleh meningginya aktivitas simpati

sehingga curah jantung tidak berubah, eter menyebabkan dilatasi pembuluh

darah kulit. Eter diabsorpsi dan ekskreksikan melalui paru-paru, sebagian

kecil di ekstreksikan di urin, air susu, dan keringat.

Pada saat diberikan etanol, tikus tidak mengalami stadium 4 yaitu

tidak mengalami kematian. Tikus hanya mengalami hilangnya kesadaran

hingga hilangnya napas spontan. Etanol dapat mengurangi waktu tidur,

merangsang sekresi asam lambung dan salivasi.

Hubungan dengan literatur (FK UI. 2012) yang menyatakan bahwa

obat-obatan seperti kloroform dan eter memang pernah digunakan sebagai


32

anestetik inhalasi, sedangkan etanol kurang efektif digunakan sebagai

anestetik inhalasi dan itu terbukti di percobaan di mana etanol memberikan

durasi yang cukup panjang sehingga dalam keadaan darurat dapat

membahayakan pasien. Pada anestesi untuk manusia kloroform dan eter

tidak digunakan lagi, dikatakan bahwa eter dan kloroform memiliki efek

merusak hati dengan pembentukan metabolit sekunder sehingga

penggunaannya dihentikan. Faktor kesalahan yang terjadi mungkin

disebabkan oleh ketidaktelitian pengamatan oleh praktikan sehingga respon

dan durasi yang dicatat kurang tepat.


33

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Dari hasil praktikum yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa

dari ketiga perlakuan dengan bahan anestesi yang berbeda yaitu

kloroform, eter dan etanol hasil yang didapat yaitu durasi yang paling

cepat menyebabkan kematian tikus yaitu pada anestesi kloroform pada

menit ke-3 kemudian dengan waktu yang lebih lama adalah kelompok

tikus yang diberikan eter yaitu pada menit ke-6. Pada tikus yang

diberikan etanol, tikus tidak mengalami kematian.

2. Anestesi untuk manusia seperti kloroform dan eter tidak digunakan lagi,

dikatakan bahwa eter dan kloroform memiliki efek merusak hati dengan

pembentukan metabolit sekunder sehingga penggunaannya dihentikan.

B. Saran

Adapun saran dalam melakukan pengamatan anastesi umum yaitu lebih

memperhatikan lagi bagaimana onset dan durasi yang terjadi pada tikus agar

menghasilkan hasil yang valid.


34

Daftar Pustaka

Katzung, Bertram. 1997. Alkohol. Dalam: Farmakologi Dasar dan Terapi.


Edisi VI. Jakarta: EGC. Hal : 69, 76-7.
Ganiswarna, Sulistia G. 1995. Anestesi Umum. Dalam: Farmakologi dan
Terapi. Edisi IV. Jakarta: Bagian Farmakologi FKUI. Hal : 116.
Goodman dan Gilman. 2008. Anastetik Umum. Dasar Farmakologi Terapi.
Jakarta:EGC

Anda mungkin juga menyukai