Disusun oleh:
Kelompok 4
Utrianto Indrawan/1910027
Jasmine Wijaya/1910033
Balqist Sriprobo Pangestuti/1910066
Wendika Tita Grasella BR S./1910095
Nataliana Samantha Gracia M./1910125
Novaldo Wahid Waluyo/1910146
Maria Rizka Natariza/1910155
Abstrak: Suatu tindakan medis yang invasif, cenderung menimbulkan rasa sakit dan atau rasa
tidak nyaman. Untuk mengatasi masalah ketidaknyamanan tersebut, diperlukan suatu obat
anastesi. Obat anestesi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu anestesi lokal (tanpa disertai
hilangnya kesadaran) dan anestesi umum (disertai hilangnya kesadaran). Tujuan percobaan ini
adalah untuk mempelajari anestesi umum khususnya tentang onset of action dan duration of
action.
Onset of action adalah waktu mulai dari diberikannya obat sampai obat berikatan dengan
reseptor dan menimbulkan efek pertama kali. Dipengaruhi oleh kecepatan absorbsi, cara
pemberian, formulasi obat dan distribusinya dalam tubuh.
Duration of action adalah lamanya waktu dari saat timbulnya efek yang pertama kali sampai
hilangnya efek obat (lamanya efek). Tergantung dari sifat ikatan obat-reseptor, waktu paruh
obat dalam plasma, adanya zat-zat yang bersifat agonis atau antagonis dan kecepatan tubuh
mengeliminasi obat.
Percobaan ini menggunakan kelinci seberat 2,4 kg yang diberi obat anestesi dari golongan
benzodiazepin yaitu Natrium Tiopental (dosis 0,5ml / kg BB), dengan pemberian secara
parenteral. Pada percobaan, kelinci disuntik (pada vena marginalis di bagian dorsal telinga)
Natrium Tiopental sebanyak 1 ml sudah memasuki stadium anestesi dengan ciri-ciri : frekuensi
pernapasan dan denyut jantung berkurang, tonus otot dan reflex kornea menghilang, serta pupil
melebar.
Kelinci memasuki stadium anestesi 6 menit setelah penyuntikan dimulai dan berada dalam
stadium anestesi hanya selama 12 menit. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa Natrium
Tiopental memiliki onset of action yang cepat dan duration of action yang relative singkat.
BAB I
PENDAHULUAN
Obat hipnotik sedatif adalah golongan obat depresan SSP (sistem saraf pusat) yang relatif tidak
selektif, mulai dari yang ringan, yaitu menyebabkan kantuk, menidurkan, hingga yang berat
yaitu hilangnya kesadaran, keadaan anestesi, koma, dan meninggal.
Obat anestesi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu anestesi lokal (tanpa disertai hilangnya
kesadaran) dan anestesi umum (disertai hilangnya kesadaran). Tujuan percobaan ini adalah
untuk mempelajari anestesi umum khususnya tentang mulai kerjanya (onset of action) dan lama
kerjanya (duration of action). Obat yang telah diabsorbsi baru dapat menimbulkan efek bila
berikatan dengan reseptor yang sesuai pada sel organisme (teori pendudukan reseptor).
Percobaan ini menggunakan kelinci seberat 2400 gr yang diberi obat anestesi dari golongan
mg
benzodiazepin yaitu diazepam (dosis 0,7 /ml / 1.5 kg BB), dengan pemberian secara intra
vena. Pada percobaan, kelinci disuntik pada vena marginalis di bagian dorsal telinga sebanyak
1,6 ml dan memasuki stadium anestesi dengan ciri-ciri : tidur, pernafasan teratur, refleks korne
(-), ukuran pupil sedang, otot relaks.
Tujuan percobaan ini adalah untuk mempelajari anestesi umum khususnya tentang mulai
kerjanya (onset of action) dan lama kerjanya (duration of action).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Onset of action adalah waktu mulai dari diberikannya obat sampai obat berikatan dengan
reseptor dan menimbulkan efek pertama kali. Dipengaruhi oleh kecepatan absorbsi, cara
pemberian, formulasi obat dan distribusinya dalam tubuh.
Komponen reseptor yang paling penting adalah protein. Ikatan obat dengan reseptor dapat
berupa ikatan ion, hidrogen, hidrofobik, van der Walls, atau kovalen. Tetapi umumnya berupa
campuran berbagai ikatan tersebut. Ikatan kovalen merupakan ikatan yang kuat, sehingga pada
umumnya obat yang terikat secara kovalen dengan reseptornya memiliki waktu kerja yang
panjang.
Duration of action adalah waktu dari saat timbulnya efek yang pertama kali sampai hilangnya
efek obat. Dipengaruhi dari waktu paruh obat dalam plasma, adanya zat-zat yang bersifat agonis
atau antagonis dan kecepatan tubuh mengeliminasi obat. Eliminasi essensial adalah jumlah
total dari semua proses yang mengakhiri kerja obat.
Waktu paruh adalah lamanya waktu yang diperlukan dari kadar maksimum obat dalam plasma
(kadar terapiutik maksimum) sampai kadar tersebut menjadi setengahnya (kadar terapiutik
minimum).
Zat yang bersifat agonis artinya bekerja secara sinergis dengan obat yang dipakai, dengan
demikian memperkuat efek obat, sedangkan yang bersifat antagonis berarti kerjanya
berlawanan atau menghambat kerja obat yang dipakai.
Untuk mengetahui kapan obat anestesi mulai bekerja serta kapan pengaruhnya berkurang
hingga akhirnya hilang, kita harus mengetahui efek yang ditimbulkan obat itu.
a. Efek Utama
b. Efek Samping
Tergantung cara pemberian dan jenis obatnya. Efek samping dapat dikurangi dengan
adanya obat-obat medikasi preanestetik, yang dibagi menjadi 5 golongan yaitu analgesik
narkotik, sedatif barbiturat, sedatif non barbiturat, antikolinergik, dan penenang.
1. Anestetik Gas
Anestetik ini berpotensi rendah sehingga biasanya ditunjukan untuk induksi dan operasi
ringan. Selain itu tidak mudah larut dalam darah sehingga tekanan parsial dalam darah
cepat meningkat. Batas keamanan antara efek anestesia dan efek letal cukup besar.
Contoh anestetik gas adalah nitrogen monoksida dan siklopropan.
• Induksi anestesi.
1. Anestetik Inhalasi
Digunakan untuk anestetik yang menguap. Peralatan yang diperlukan sederhana dan
tidak mahal. Kekurangan cara ini adalah kadar zat anestetik yang sudah diberikan tidak
diketahui dan pemakaian zat anestetik boros.
b. Semiopen Drop Method
Cara ini hampir sama dengan Open Drop Method, hanya untuk mengurangi
terbuangnya zat anestetik digunakan masker. Untuk menghindari hipoksia karena udara
yang sama terhisap kembali, dialirkan O2 melalui pipa yang ditempatkan di bawah
masker.
c. Semiclosed Method
Udara yang terhisap mengandung O2 murni dan zat anestetik yang dapat diukur
kadarnya melalui vaporizer. Keadaan hipoksia dapat dihindarkan.
d. Closed Method
Cara kerjanya mirip Semiclosed Method. Keuntungannya ialah adanya NaOH yang
dapat mengikat CO2 sehingga udara yang mengandung anestetik dapat digunakan lagi,
tetapi cara ini relatif mahal.
2. Anestetik Parenteral
Intra vena atau intra musculer. Obat yang biasa digunakan secara IV ialah tiopenthal,
sedangkan ketamin dapat digunakan secara IV maupun IM.
Pemilihan bentuk sediaan dan cara pemberian anestetik tidak boleh sembarangan, tetapi
harus berdasarkan pada keadaan penderita, sifat anestetik umum, jenis operasi yang
dilakukan, obat yang tersedia serta ada tidaknya tenaga anestetik.
Barbiturat sering digunakan untuk menghasilkan efek hipnotik sedatif. Merupakan turunan
asam barbiturat hasil reaksi kondensasi antara urea dengan asam malonat. Efek utama
barbiturat adalah depresi SSP. Efek lainnya yaitu antiansietas, hipnotik, anestesi umum dan
antikonvulsi.
menghilangkan kesadaran.
menghambat pusat pernapasan
menghambat kontraksi otot jantung.
cenderung menurunkan tonus otot usus dan amplitudo gerakan kontraksinya.
berefek terhadap sistem metabolisme obat
tidak berefek buruk terhadap ginjal sehat.
Benzodiazepin berefek hipnosis, sedasi, relaksasi otot, antisiolitik dan antikonvulsi dengan
potensi yang berbeda-beda dan pengurangan pada rangsangan emosi ansietas. Benzodiazepin
bukan suatu depresan umum seperti barbiturate.
• Peningkatan dosis benzodiazepin menyebebkan depresi SSP yang meningkat dari sedasi ke
hypnosis dan dari hypnosis ke stupor.
• Sering dinyatakan sebagai efek anesthesia, tapi obat golongan ini tidak benar-benar
memperlihatkan efek anestesi umum yang spesifik, karena kesadaran penderita tetap
bertahan dan relaksasi otot yang diperlukan untuk pembedahan tidak tercapai.
• Pada dosis Preanestetik benzodiapin menimbulkan amnesia anterograd.
• Bila akan digunakan sebagai anestesi umum untuk pembedahan benzodiazepine harus
dikombinasikan dengan pendepresi SSP lainnya.
• Beberapa benzodiazepinmenginduksi hipotonia otot tanpa mengganggu gerak otot normal.
• Benzodiazepin tidak menimbulkan efek hiperalgesia, berbeda dengan barbiturate.
Indikasi Benzodiazepin:
• Insomia
• Ansietas
• Spasme otot
1. Merupakan potensiasi inhibisi neuron dengan asam γ-aminobutyric acid (GABA; suatu
neurotransmitter penghambat) sebagai mediator.
2. Reseptor GABA teraktivasi maka saluran klorida terbuka, klorida masuk ke dalam sel,
meningkatkan potensial elektrik sepanjang membrane sel dan menyebabkan sel sukar
tereksitasi.
3. Kemungkinan terbukanya kanalklorida sangat ditingkatkan oleh terikatnya GABA pada
reseptor kompleks tersebut.
4. Benzodiazepin tidak dapat membuka kanal klorida dan menghambat neuron sehingga
merupakan depresan yang relatif aman, sebab depresi neuron yang memerlukan transmitor
bersifat self limiting. Farmakokinetik
1. Lama kerja tergantung pada:
3. Volume distribusi benzodiazepine adalah besar dan banyak diantaranya menaik pada
usia lanjut.
4. Benzodiazepin dapat melewati sawar uri dan dieksresikan ke dalam ASI.
Efek Samping :
Termasuk golongan benzodiazepin. Obat ini menyebabkan tidur dan penurunan kesadaran
yang disertai nystagmus dan bicara lambat, tetapi tidak berefek analgesik. Juga tidak
menimbulkan potensiasi terhadap efek penghambat neuromuscular dan efek analgesic narkotik.
Diazepam digunakan untuk menimbulkan sedasi basal pada anestesi regional, endoskopi dan
prosedur dental, juga untuk induksi anesthesia terutama pada penderita dengan penyakit
kardiovakular.
Dibandingkan dengan ultra short acting barbiturate, efek anestesi diazepam kurang
memuaskan karena mula kerjanya lambat dan masa pemulihannya lama. Diazepam juga
digunakan untuk medikasi preanestetik dan untuk mengatasi konvulsi yang disebabkan obat
anestesi lokal.
BAB III
Obat : Diazepam
Diposible syringe 3 ml
Kapas
Alkohol 70%
Papan kelinci
Hewan : Kelinci
Rencana Kerja
1. Timbanglah berat badan kelinci. Perhatikan keadaan umum, aktivitas, dan pernapasannya.
2. Hitunglah obat yang diperlukan dengan dosis 0,7 mg/ml / 1.5 kg BB.
4. Suntikan obat ke dalam vena marginalis sebelah dorsal dari salah satu daun telinga kelinci
dengan mengarahkan jarum suntik ke pangkal telinga dengan kecepatan 0,02 ml/2 detik
sampai tercapai anestesi (tidur, pernapasan teratur, reflek kornea (-), ukuran pupil sedang,
otot relaks). Bila sudah tercapai anestesi, hentikan penyuntikan.
5. Catatlah
- Saat penyuntikan
2
Butuh : 1,5 x 0,7 = 0,9 = 1 cc
Diazepam memiliki onset of action yang cepat. Terbukti dari hasil percobaan yang telah
dilakukan. Segera setelah kelinci diberi diazepam secara intra vena, maka kelinci tersebut
mengalami anestesi. Hal ini disebabkan oleh sifat diazepam yang mudah larut dalam lemak dan
memiliki sifat hipnotik sedatif, antikonvulsi, anestesi, SSP depresan.
Pada percobaan, kelinci hanya disuntik diazepam sebanyak 1 ml sesuai dengan perhitungan
dosis yang seharusnya, karena dengan dosis 1ml kelinci sudah memasuki masa anestesi dengan
ciri-ciri: frekuensi pernapasan dan denyut jantung berkurang, tonus otot dan reflek kornea
menghilang, serta pupil mengecil.
Kelinci berada dalam masa anestesi hanya selama 6 menit. Hal ini menunjukan bahwa
diazepam memiliki duration of action yang singkat. Efek yang singkat ini dikarenakan
diazepam:
- Kemudian didistribusikan ke jaringan otot, lemak & seluruh jaringan tubuh lain.
- Penimbunan pada jaringan lemak dan otot menyebabkan kadarnya dalam plasma turun
secara cepat.
Pada manusia, lebih dari 65 % diazepam yang masuk ke dalam sirkulasi darah akan terikat pada
protein plasma. Waktu paruhnya akan meningkat pada kehamilan, penyakit hati kronis dan
pada penggunaan obat yang berulang. Eliminasinya berlangsung lebih cepat pada orang berusia
dewasa muda dibandingkan pada orang berusia tua atau anak-anak.
BAB V
KESIMPULAN
Onset of action adalah mula kerja dalam percobaan kelinci mulai teranestesi setelah 6 menit
penyuntikan. Duration of action adalah lamanya obat memiliki efek farmakologis. Dalam
percobaan ini kelinci teranestesi selama 6 menit.
Tidur, nafas teratur, refleks kornea (-), tonus relaks, ukuran pupil sedang
Pernafasan : 60x/menit
Elvina, Ridha. (2013). Kajian Aspek Farmakokinetik Kinik Obat Antidiabetik pada
Pasien Diabetus Mellitu Tipe 2 dengan Gangguan Fungsi Ginjal di Poliklinik Khusus Dr. M.
Djamil Padang. Farmakosains, 2.
SK, Toni Handoko. 1995. Anestesi Umum. Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Jakarta:
FK-UI. Hal: 109-123
Wiria, Metta Sinta sari dan Toni Handoko SK. 1995. Hipnotik Sedatif dan Alkohol.
Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Jakarta: FK-UI. Hal: 134-139
PERCOBAAN V
Abstrak: Pemberian suatu obat dengan dosis yang sama kepada suatu individu pada populasi
yang sama belum tentu memberikan efek yang sama, inilah yang disebut variasi biologis
individu terhadap obat. Variasi yang terjadi dapat berupa hipereaksi, hiporeaksi, alergi, atau
bahkan toksik. Variasi ini dipengaruhi oleh banyak faktor dari pemakai obat tersebut.
Untuk mengetahui variasi individu terhadap obat dan pentingnya dalam klinik. Maka dilakukan
percobaan mengenai variasi individu terhadap obat. Percobaan dilakukan dengan memberikan
Diazepam dengan dosis yang sama yaitu 0,5 ml/ mencit pada 12 ekor mencit. Obat kita suntikan
secara intra peritoneal. Lalu diamkan selama 1 jam dan perhatikan tingkah laku mencit-mencit
tersebut. Amati timbulnya ataksia, relaksasi otot, reaksi terhadap rangsang nyeri dan
pernafasannya. Kemudian kita catat intensitas pengaruh obat, dan dinyatakan dalam tanda +.
Intensitas obat dapat berupa + yaitu untuk pengaruh obat terhadap mencit yang sangat sedikit
sampai ++++ yaitu untuk mencit yang mati.
Setelah satu jam didapatkan hasil: + untuk 3 ekor mencit, ++ untuk 8 ekor mencit dan
untuk +++ 1 ekor mencit, dan ++++ tidak ada.
Kesimpulan dari percobaan ini adalah bahwa pemberian suatu obat dengan cara yang sama
pada dosis yang sama dapat memberikan respon yang bervariasi untuk tiap individu pada
populasi yang sama. Hal ini disebut variasi individu terhadap obat.
BAB I
PENDAHULUAN
Pemberian obat pada populasi yang sama dan cara pemberian yang sama dapat menimbulkan
respon pada tingkat yang berbeda-beda pada masing-masing individu. Perbedaan berat badan,
tinggi badan, atau sifat-sifat lain dari individu akan memberikan reaksi yang berbeda terhadap
pemakaian obat. Bahkan ada individu yang memberikan reaksi yang dinamakan “Drug
Allergy”.
Pada percoaban ini digunakan obat Diazepam. Obat ini memberi efek sedatif, hipnotik, dan
antikonvulsi.
Tujuan dari percobaan ini adalah untuk melihat adanya variasi individual pada pemberian
Diazepam dengan dosis dan cara pemberian yang sama pada mencit , yaitu pada dosis 0,5ml
untuk setiap mencit dan diinjeksikan secara intra peritoneal.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Variasi individu adalah variasi dalam respon terhadap dosis obat yang sama populasi yang
sama. Hubungan antara dosis dan efek digambarkan dalam kurva sigmoid yang memiliki 4
variabel, yaitu potensi, efek maksimal, slope, dan variasi individu. Variasi individu
digambarkan dengan garis horizontal dan vertikal. Garis horizintal menunjukkan bahwa untuk
menimbulkan efek obat dengan intensitas tertentu pada suatu populasi diperluka rentang dosis
sedangkan garis vertikal bahwa pemberian obat dengan dosis tertent pada populasi akan
menimbulkan suatu rentang intesitas efek.
* kepatuhan penderita
* kesalahan medikasi
Faktor-faktor farmakokinetik :
* distribusi
* biotransformasi
* ekskresi
Faktor-faktor farmakodinamik :
* interaksi obat-reseptor
* keadaan fungsional
* mekanisme homeostatik
Usia
Jenis kelamin
Berat badan
Faktor Genetik
Cara pemberian obat
Absorbsi
Ekskresi
Biotransformasi
Kecepatan absorbs
Saat pemberian
Faktor lingkungan
Kondisi Fisiologis
Usia
pada neonatus dan prematur terdapat perbedaan respon yang terutama disebabkan oleh
belum sempurnanya berbagai fungsi farmakokinetik tubuh, yaitu fungsi biotransformasi
hati (terutama glomerulus hidroksilasi) yang kurang, fungs ekskresi ginjal (filtrasi
glomerulus dan sekresi tubuh) yang hanya 60-70% dari fungsi ginjal dewasa. Kapasitas
ikatan protein plasma (terutama albumn) yang rendah, dan sawar darah otak serta sawar
kulit yang belum sempurna. Sedangkan pada usia lanjut, perbedaan respon disebabkan oleh
beberapa faktor seperti penurunan fungsi ginjal, perubahan faktor-faktor farmakodinamik,
adanya berbagai macam penyakit, dan penggunaan banyak obat sehingga meningkatkan
kemungkinan terjadinya interaksi obat.
Berat badan
penting digunakan untuk menghitung dosisi yang dinyatakan dalam mg/kg. Akan tetapi,
perhitungan dosis anak dari dosisi dewsa berdasekan berat badan saja. Seringkali
menghasilkan dosis anak yang terlalu kecil karena anak memiliki laju metabolisme yan
lebih tinggi sehingga per kg berat badannya membutuhkan dosis yang lebih tinggi
daripada orang dewasa (kecuali pada neonatus)
Kondisi Patologis
Penyakit saluran cerna : mengurangi kcepatan dan atau jumlah obat yang diabsorbsi
pada pemberian oral melalui perlambatan pengosongan lambung, percepatan waktu
transit dalam saluran cerna.
Penyakit kardiovaskular : mengurangi distribusiobat dan alian darah ke hepar dan
ginjal untuk eliminasi obat sehingga kadar obat tinggi dalam darah dan menimbulkan
efek yang berlebihan atau efek toksik.
Penyakit hati : mengurangi metabolisme obat di hati dan sintesis protein plasma
sehingga meningkatkan kadar obat, terutama kadar bebasnya dalam darah dan jaringan.
Penyakit ginjal : mengurangi ekskresi obat aktif maupun metabolitnya yang aktif
melalui ginjal sehingga meningkatkan kadarnya dalam darah dan jaringan, dan
menimbulkan respon yang berlebihan atau efek toksik.
A. Bahan percobaan
Spuit tuberkulin
B. Cara kerja
Hasil :
6
Banyaknya Mencit
0
(+) (++) (+++) (++++)
Efektivitas obat terhadap mencit
+ 3 25%
++ 8 66,67%
+++ 1 8,33%
++++ - -
PEMBAHASAN
Dilihat dari hasil percobaan maka dari 12 ekor mencit, 3 ekor mencit menunjukkan tanda
+ (pengaruh sedikit sekali),8 ekor mencit menunjukkan tanda ++ (pengaruh sedang, tidur tapi
masih bereaksi terhadap rangsang), dan 1 mencit yang menunjukkan tanda +++ (lemah – relax
dan tidak dapat dibangunkan) dan tidak ada mencit yang menunjukkan tanda ++++ (mati). Jadi
dapat dilihat bahwa terjadi variasi dalam respon tiap individu, meskipun obat yang diberikan
dosis dan cara pemberiannya sama.
Hal ini terjadi dikarenakan adanya variasi individu, dimana pada pemberian obat pada
populasi yang sama dan cara pemberian serta dosis yang sama dapat menimbulkan respon pada
tingkat yang berbeda-beda pada masing-masing individu.
BAB V
KESIMPULAN
Peristiwa variasi individu terhadap obat, merupakan pemberian obat yang sama dengan cara
yang sama dan dosis yang sama dapat memberikan respon yang bervariasi untuk tiap individu
pada populasi yang sama. Terbukti pada praktikum percobaan terhadap mencit. Efek yang
paling banyak terlihat adalah pengaruh ++ (tikus dalam pengaruh sedang, tidur tapi masih dapat
dibangunkan).
DAFTAR PUSTAKA
Disusun oleh:
Kelompok 4
Utrianto Indrawan/1910027
Jasmine Wijaya/1910033
Balqist Sriprobo Pangestuti/1910066
Wendika Tita Grasella BR S./1910095
Nataliana Samantha Gracia M./1910125
Novaldo Wahid Waluyo/1910146
Maria Rizka Natariza/1910155