Anda di halaman 1dari 13

PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DASAR

PENGARUH CARA PEMBERIAN TERHADAP RESPON OBAT


(Pemberian sedatif hipnotik berbagai cara pemberian)

Oleh :
Kelompok 1-1A
Aulia Laili Tsuroya P17335119004
Piere Permata Putra P17335119024
Syifa Kamilla P17335119032

Tanggal Praktikum : Selasa, 11 Februari 2020


Tanggal Pengumpulan Laporan : Selasa, 18 Februari 2020

Laboratorium Farmakologi
Jurusan Farmasi
Poltekkes Kemenkes Bandung
I. Nama Percobaan
Pengaruh cara pemberian terhadap respon obat (pemberian sedatif hipnotik berbagai
cara pemberian)
II. Pendahuluan
A. Tujuan
1. Mampu melakukan teknik pemberian obat secara oral, intra muskular, sub
kutan, intra peritoneal dan intra vena.
2. Mampu memahami hubungan pemberian obat dengan onset time.
3. Mampu memahami hubungan pemberian obat dengan durasi kerja.

B. Dasar Teori

Obat adalah senyawa kimia yang dapat mengubah dan mempengaruhi responsivitas
sistem biologi. Aksi obat dimediasi oleh proses yang terjadi secara alami dalam tubuh
(Hollinger, 2003).

Rute pemberian obat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efek obat,
karena karakteristik lingkungan fisiologis anatomi dan biokimia yang berbeda pada daerah
kontak obat dan tubuh karakteristik ini berbeda, karena jumlah supply darah yang berbeda,
enzim-enzim dan getah fisiologis yang terdapat di lingkungan tersebut berbeda, Hal-hal
ini menyebabkan bahwa jumlah obat yang dapat mencapai lokasi
kerjanya dalam waktu tertentu akan berbeda, tergantung dari rute
pemberian obat (Katzung, B.G, 1982)

Bentuk sediaan yang diberikan akan mempengaruhi kecepatan


dan besarnya obat yang diabsorpsi, dengan demikian akan
mempengaruhi pula kegunaan dan efek terapi obat. Bentuk sediaan
obat dapat memberi efek obat secara lokal atau sistemik. Efek
sistemik diperoleh jika obat beredar ke seluruh tubuh melalui
peredaran darah, sedang efek lokal adalah efek obat yang bekerja
setempat misalnya salep (Anief, 1990).
Cara pemberian obat melalui oral (mulut), sublingual (bawah
lidah), rektal (dubur) dan parenteral tertentu, seperti melalui
intradermal, intramuskular, subkutan, dan intraperitonial, melibatkan

2
proses penyerapan obat yang berbeda-beda. Pemberian secara
parenteral yang lain, seperti melalui intravena, intra-arteri, intraspinal
dan intraseberal, tidak melibatkan proses penyerapan, obat langsung
masuk ke peredaran darah dan kemudian menuju sisi reseptor
(receptor site) cara pemberian yang lain adalah inhalasi melalui
hidung dan secara setempat melalui kulit atau mata. Proses
penyerapan dasar penting dalam menentukan aktifitas farmakologis
obat. Kegagalan atau kehilangan obat selama proses penyerapan akan
memperngaruhi aktifitas obat dan menyebabkan kegagalan
pengobatan (Siswandono, 1995).

Memilih rute pemberian obat tergantung dari tujuan terapi, sifat obat, serta kondisi
pasien. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian obat adalah:

a. Tujuan terapi, menghendaki efek lokal atau sistemik


b. Onset time, dikehendaki segera atau tertunda
c. Stabilitas obat di dalam lambung atau usus
d. Keamanan relatif dalam penggunaan melalui berbagai macam rute
e. Harga obat yang relatif ekonomis
Obat dapat menimbulkan efek apabila terjadi interaksi atau kontak dengan obat
terlebih dahulu. Kontak terjadi pada tempat dimana obat diberikan. Berikut ini ada
beberapa cara pemberian obat beserta karakteristiknya:

1. Pemberian secara Oral


Pemberian obat yang rutenya melalui saluran pencernaan dan pemberian melalui
mulut. Cara ini merupakan cara pemberian obat yang paling umum, karena mudah
digunakan, relatif aman, murah dan praktis (dapat dilakukan sendiri tanpa keahlian dan
alat khusus). Kerugian dari pemberian obat secara peroral adalah efeknya lama,
mengiritasi saluran pencernaan, absorpsi obat tidak teratur, tidak 100% obat diserap.
Tujuan penggunaan obat melalui oral terutama untuk memperoleh efek sistemik,
yaitu obat masuk melalui pembuluh darah dan beredar ke seluruh tubuh setelah terjadi
absorpsi obat dari bermacam-macam permukaan sepanjang saluran gastrointestinal.
Tetapi ada obat yang memberi efek lokal dalam usus atau lambung karena obat yang
tidak larut, misalnya obat yang digunakan untuk membunuh cacing dan antasida yang
digunakan untuk menetralkan asam lambung.

3
2. Pemberian secara Intra Muskular
Pemberian obat melalui suntikan dalam jaringan otot, umumnya pada otot pantat
dan otot paha (gluteus maximus) di mana tidak terdapat banyak pembuluh darah dan
saraf sehingga relatif aman untuk digunakan. Obat dengan cara pemberian ini dapat
berupa larutan, suspensi, atau emulsi.
Kelarutan obat dalam air menentukan kecepatan dan kelengkapan absorpsi. Obat
yang sukar larut dalam air akan mengendap di tempat suntikan sehingga absorpsinya
lambat atau terjadi tagositosis dari partikel obat. Sebaliknya, obat yang larut dalam air
akan diabsorpsi dengan cepat. Absorpsi biasanya berlangsung dalam waktu 10-30
menit. Namun, kecepatan absorpsi juga bergantung pada vaskularitas tempat suntikan
dengan kecepatan peredaran darah antara 0,027-0,07 ml/menit. Molekul yang kecil
langsung diabsorpsi ke dalam kapiler sedangkan molekul yang besar masuk ke sirkulasi
melalui saluran getah bening. Absorpsi obat cara suntikan intra muskular pada pria
lebih cepat daripada wanita karena pada wanita lebih banyak terdapat jaringan adiposa.
3. Pemberian secara Intravena
Biasanya tidak mengalami absorpsi, kadar diperoleh dengan cepat, tepat, dan
dapat disesuaikan respon serta dapat digunakan untuk larutan iritatif. Namun, cara
pemberian intravena biasanya menyebabkan efek toksik mudah terjadi dan tidak dapat
ditarik jika terjadi kesalahan perhitungan dosis, juga bagi obat yang larut dalam larutan
minyak tidak boleh diberikan karena mengendapkan konstituen darah, serta bagi
intravena penyuntikan dengan cara perlahan-lahan sambil mengawasi respon.

4. Pemberian secara Intraperitoneal


Obat diinjeksikan pada rongga perut tanpa terkena usus atau hati, karena dapat
menyebabkan kematian. Di dalam rongga perut, obat diabsorpsi secara cepat karena
pada mesentrium banyak mengandung pembuluh darah. Dengan demikian absorpsinya
lebih cepat dibandingkan peroral dan intra muskular. Obat yang diberikan secara intra
peritoneal akan diabsorpsi pada sirkulasi portal sehingga akan dimetabolisme di dalam
hati sebelum mencapai sirkulasi sistemik.

Hipnotik merupakan golongan obat depresan susunan saraf pusat (SSP), mulai
yang ringan yaitu menyebabkan tenang atau kantuk, menidurkan , hingga yang berat
(kecuali benzodiazepine) yaitu hilangnya kesadaran, koma dan mati bergantung kepada
dosis. Pada dosis terapi obat sedasi menekan aktifitas, menurunkan respons terhadap

4
rangsangan dan menenangkan. Obat hipnotik menyebabkan kantuk dan mempermudah
tidur serta mempertahankan tidur yang menyerupai tidur fisiologis (H. Sarjono, Santoso
dan Hadi R D., 1995).
Hipnotika atau obat tidur adalah zat-zat yang dalam dosis terapi diperuntukkan
meningkatkan keinginan faali untuk tidur dan mempermudah atau menyebabkan tidur.
Umumnya, obat ini diberikan pada malam hari. Bila zat-zat ini diberikan pada siang hari
dalam dosis yang lebih rendah untuk tujuan menenangkan,maka dinamakan sedatif
(Tjay,2002).
Obat-obatan hipnotik sedatif adalah istilah untuk obat-obatan yamg mampu
mendepresi sistem saraf pusat. Sedatif adalah substansi yang memiliki aktifitas moderate
yang memberikan efek menenangkan, sementara hipnotik adalah substansi yang dapat
memberikan efek mengantuk dan yang dapat memberikan onset serta mempertahankan
tidur. Efeknya bergantung dosis, mulai dari ringan yaitu menyebabkan tenang atau
kantuk, menidurkan, hingga berat yaitu kehilangan kesadaran, keadaan anestesi, koma
dan mati (Tjay, 2002).

III. Cara Kerja


A. Alat dan Bahan
Alat Bahan
1. Spuit injeksi dan jarum (1-2 ml) 1.Mencit
2. Sonde 2.Benzodiazepin
3. Sarung tangan 3.Phenobarbital
4. Stopwatch
5. Platform
6. Restainer

B. Cara Kerja

1) Alat dan bahan disiapkan.

2) Masing-masing hewan uji ditimbang dengan timbangan, dan diberi tanda pada
pangkal ekor hewan uji.

3) Dosis dan volume yang akan diberikan pada hewan uji dihitung.dengan dosis 60
mg/50ml

5
4) Obat diberikan pada hewan uji dengan dosis yang sesuai dengan masing-masing
pemberian obat secara oral, intravena, dan intraperitonial.

5) Efek sedasi dan hiptonik diamati dengan cara mengamati ptosis, gerakan bulak balik
pada platform, menengok ke bawah, dan righting reflex.

6) Diamati dengan cara:

Mencit diamati selama satu jam dan dihitung jumlah uji ptosis, jengukan ke bawah,
bulak balik. Dicatat setiap 10 menit.

 Ptosis : Turunnya kelopak mata bagian atas, dihitung persentase turunnya yaitu 0%
100%, ptosis merupakan tanda sedasi.
 Aktivitas Bulak Balik :

1) Dihitung berapa kali bulak balik melewati tanda batas di atas platform.

2) Dihitung satu kali bila melintasi tanda.

 Aktivitas jengukan :

1) Jumlah jengukan dihitung pada ujung platform.

2) Dihitung satu kali jengukan apabila hewan uji menjulurkan kepalanya ke bawah
platform.

 Righting Reflex:

1) Righting Reflex merupakan reaksi tubuh hewan uji untuk kembali ke posisi
semula setelah sebelumnya dipisahkan pada posisi terlentang.

2) Diuji dengan cara mengangkat ekor hewan uji dan meletakkanya pada posisi
terbalik.

IV. Hasil Pengamatan


 Perhitungan dosis dan volume yang akan diberikan pada mencit
Dosis untuk manusia : 150 mg
Dosis untuk mencit : 150 mg x 0,0026 = 0,39 mg/20 gram
Sediaan yang tersedia : 60 mg/50ml

6
1. Mencit untuk pemberian Oral
Bobot Mencit = 21 gram
0,39 mg x 0,39 x 21
Dosis yang diberikan = = →x= = 0,4095 mg/21 gr
20 gr 21 gr 20
60 mg 0,4095 mg 5 0 x 0,4095
Volume yang diberikan = = →x= = 0,34125 ml
50 ml x 60

2. Mencit untuk pemberian Intraperitonial

Bobot Mencit = 21 gram

0,39 mg x 0,39 x 21
Dosis yang diberikan = = →x= = 0,4095 mg/21 gr
20 gr 21 gr 20

60 mg 0,4095 mg 50 x 0,4095
Volume yang diberikan = = →x= = 0,34125 ml
50 ml x 60

3. Mencit untuk pemberian Intravena

Bobot Mencit = 25 gram

0,39 mg x 0,39 x 25
Dosis yang diberikan = = →x= = 0,4875 mg/21 gr
20 gr 25 gr 20

60 mg 0,487 5 mg 50 x 0,487 5
Volume yang diberikan = = →x= = 0,40625 ml
50 ml x 60

A. Cara Pemberian Oral (p.o)

Pengamata 10’ 20’ 30’ 40’ 50’ 60’


n
Menengok 6 35 11 5 6 1
Bulak-balik 2 8 2 - 1 -
Ptosis 0% 0% 0% 0% 0% 25%
Righting + + + + + +
reflex

B. Cara Pemberian Intravena (i.v)

7
Pengamata 10’ 20’ 30’ 40’ 50’ 60’
n
Menengok 2 1 17 34 32 92
Bulak-balik - - - 2 3 26
Ptosis 0% 25% 25% 25% 0% 0%
Righting + + + + + +
reflex

C. Cara Pemberian Intraperitoneal (i.p)


Pengamata 10’ 20’ 30’ 40’ 50’ 60’ 70’ 80’
n
Menengok 4 4 31 10 0 0 0 0
Bulak-balik 0 2 12 3 0 0 0 0
Ptosis 25% 25% 0% 25% 75% 75% 75% 75%
Righting + + + + + + + +
reflex

8
V. Pembahasan

Penggunaan hewan percobaan dalam penelitian ilmiah dibidang


kedokteran/biomedis telah berjalan puluhan tahun yang lalu. Hewan
sebagai model atau sarana percobaan haruslah memenuhi
persyaratan-persyaratan tertentu, antara lain persyaratan
genetis/keturunan dan lingkungan yang memadai dalam
pengelolaannya, disamping faktor ekonomis, mudah tidaknya
diperoleh, serta mampu memberikan reaksi biologis yang mirip
kejadiannya pada manusia (Tjay,T.H dan Rahardja,K, 2002).

Untuk mencapai efek farmakologi seperti yang diinginkan, obat


dapat diberikan dengan berbagai cara diantaranya melalui oral,
subkutan, intra muscular, intra peritoneal, rektal dan intra vena.
Masing-masing cara pemberian ini memiliki keuntungan dan manfaat
tertentu. Suatu senyawa atau obat mungkin efektif jika diberikan
melalui salah satu pemberian tetapi tidak atau kurang efektif jika
melalui cara lain. Perbedaan ini salah satunya disebabkan oleh adanya
perbedaan dalam hal kecepatan absorpsi dari berbagai cara pemberian
tersebut, yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap efek atau
aktifitas farmakologinya

9
Pada praktikum kali ini kelompok kami melakukan pemberian
sediaan uji pada hewan mencit melalui oral,intraperitonial dan
intravena. Dengan cara oral (pemberian obat melalui mulut masuk kesaluran intestinal)
digunakan sonde oral. Kedua, pemberian obat dilakukan dengan cara intravena yaitu
dengan menyuntikkan obat pada daerah ekor (terdapat vena lateralis yang mudah dilihat
dan dapat membuat obat langsung masuk ke pembuluh darah). Ketiga dengan cara
intraperitonial (injeksi yang dilakukan pada rongga perut,umumnya jarang digunakan
karena rentan menyebabkan infeksi).

Pada ketiga mencit yang kami suntikkan secara oral,intraperitonial


dan intravena menghasilkan data ptosis,gerakan bolak-balik dan
menengok ke bawah yang berbeda-beda. Larutan yang kami gunakan
untuk menyuntik adalah larutan phenobarbital yang merupakan
senyawa golongan barbiturat. Cara kerja obat ini yaitu pada sistem
saraf, mekanisme kerjanya dengan menurunkan aktivitas
motoric,mempengaruhi fungsi serebral dan menyebabkan kantuk,efek
sedasi dan hipnotik.Pada dosis tinggi,memiliki sifat antikonvulsan,dan
menyebabkan depresi saluran nafas yang dipengaruhi dosis.

Onset merupakan waktu mulai timbulnya efek setelah pemberian obat. Durasi adalah
waktu lamanya efek sampai efek obat tersebut hilang. Dari landasan teori dan pustaka
yang kami dapat dapat diketahui pemberian dengan cara intravena memiliki waktu yang
tercepat dan yang paling lambat adalah dengan pemberian oral. Cara intravena yaitu cara
pemberian obat langsung masuk ke pembuluh darah, sehingga cara ini tentu saja lebih
cepat memberikan efek karena tidak melalui proses absorbsi dulu untuk masuk ke sistem
sistemik dari pada cara-cara injeksi yang lain. Sedangkan cara oral merupakan cara
pemberian obat melalui pencernaan sehingga prosesnya berjalan lambat karena harus
melalui metabolisme lintas pertama (first pass metabolism).Sedangkan yang paling efektif
digunakan adalah melalui intraperitonial Namun suntikan i.p. tidak dilakukan
pada manusia karena bahaya injeksi dan adhesi terlalu besar.
Injeksi yang salah dapat mengakibatkan obat terakumulasi dalam jaringan yang salah
sehingga absorbsi dan distribusi obat menjadi berbeda dari yang seharusnya. Injeksi yang
salah juga bisa mengakibatkan dosis obat yang masuk tidak sesuai dengan yang
diharapkan atau bahkan obat tidak masuk ke sirkualsi sistemik. (Siswandono, 1995).

10
Mencit merupakan hewan yang memiliki penakut,aktif dan memiliki rasa
penasaran yang tinggi.Sehingga ketika diletakkan di atas platform akan sering bolak-balik
dan menengok ke bawah namun tidak akan melompat ke bawah karena takut
ketinggian.Setelah diberikan obat sedatif,seharunya semakin lama waktunya,setelah obat
bekerja jumlah gerakan bolak-balik dan menengok ke bawahnya semakin menurun dan
ptosis semakin meningkat karena mencit mulai merasakan efek kantuk.

Namun,dari data pengamatan yang diperoleh jumlah gerakan bolak-balik dan


menengok ke bawah hasilnya naik turun dan pemberian intravena memiliki hasil di
bawah dari pemberian secara intraperitonial. Hal ini diduga karena saat pemberian obat
khususnya intravena,obat tidak masuk semua ke dalam tubuh mencit karena praktikan
beberapa kali gagal memasukkan obat ke dalam tubuh mencit.

Sedangkan,pada saat pemberian intraperitonial obat awalnya bekerja dengan baik


karena mencit angka ptosisnya sudah mulai meningkat.Namun,saat mencit menengok ke
bawah pada menit ke-30 mencit,mencit terjatuh dari platform dan mulai aktif kembali
karena itu jumlah gerakan bolak balik dan menengok ke bawahnya kembali meningkat
dan angka ptosisnya kembali menjadi 0%.

Hal lain diduga juga karena pemberian dosis obat yang telalu tinggi.Karena dari
ketiga mencit yang kami amati semuanya setelah diberi obat mengalami defekasi yang
banyak yang mana menunjukkan mencit mengalami stress sering bulak balik dan
menengok ke bawah karena mengalami anxietas.Dan berdasarkan pustaka,obat
phenobarbital jika diberikan dosis tinggi bisa menyebabkan depresi.

Berdasarkan landasan tersebut,maka hal-hal tersebut yang kami duga menjadi


kesalahan dalam praktikum kali ini.Sedangkan,untuk righting reflex semuanya
menunjukkan nilai positif sebagaimana mencit normal seharusnya.

VI. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa :
1. Rute pemberian obat berpengaruh pada onset time dan durasi kerja obat dalam
tubuh.
2. Urutan rute pemberian dari yang memiliki onset time dan durasi kerja tercepat
adalah Intravena,Intraperitonial dan Oral.

11
VII. Daftar Pustaka

Anief,Moh.1990.Perjalanan dan Nasib Obat dalam Badan. Gadjah Mada University


Press:Jakarta.

Ditjen POM.1979.Farmakope Indonesia Edisi III.Departemen Kesehatan RI: Jakarta.

Ganiswara,Sulistin G.1995.Farmakologi dan Terapi,Edisi IV,Balai Penerbit Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.

Gunawan,Gan Sulistia.2009.Farmakologi dan Terapi,Edisi 5.Departemen Farmakologi dan

Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia:Jakarta.

H.Sarjono,Santoso dan Hadi R.D.,1995.Farmakologi dan Terapi.Bagian Farmakologi

Fakultas Kedokteran Indonesia:Jakarta.

12
Katzung,Bertram G.1989.Farmakologi Dasar dan Klinik.Salemba Medika: Jakarta.

Siswandono dan Soekardjo B. 1995. Kimia Medisinal. Surabaya:


Airlangga Press

Syamsudin.2011.Farmakologi Eksperimental.Universitas Indonesia: Jakarta.

Tjay,T.H. dan Rahardja K.2002.Obat-Obat Penting.Edisi Kelima Cetakan Kedua.Jakarta: PT

Elex Media Komputindo.

13

Anda mungkin juga menyukai