Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PRAKTIKUM

FARMAKOLOGI 1
PENGARUH OBAT HIPNOTIK DAN SEDATIF PADA PERILAKU HEWAN
PERCOBAAN
Dosen Pengampu : Dr. Apt. Numlil Khaira Rusdi, M.Si.

Disusun Oleh :

Cahya Nabila 2104015141


Nazwa Syila R 2104015192
Silvia Zetira Rizqy 2104015131

Kelas :

Praktikum Farmakologi A2

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS FARMASI DAN SAINS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
JAKARTA
2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. Hipnotik dan Sedatif


Hipnotik dan sedatif merupakan golongan obat pendepresi susunan saraf pusat (SSP).
Efeknya bergantung pada dosis, mulai dari yang ringan yaitu menyebabkan tenang dan
kantuk, menidurkan, hingga yang berat yaitu menghilangkan kesadaran keadaan anestesi,
koma dan mati. Sedatif adalah obat tidur yang dalam dosis lebih rendah dari terapi yang
diberikan pada siang hari untuk tujuan menenangkan. Sedatif termasuk ke dalam kelompok
psikoleptika yang mencakup obat obat yang menekan atau menghambat sisem saraf pusat.
Sedatif berfungsi menurunkan aktivitas, mengurangi ketegangan, dan menenangkan
penggunanya. Keadaan sedasi juga merupakan efek samping dari banyak obat yang khasiat
utamanya tidak menekan Sistem Saraf Pusat, misalnya antikolinergika. Belum jelas apakah
kerja anticemas yang terlihat secara klinis ekivalen atau berbeda dari efek sedasi. Sedatif
berfungsi menurunkan aktivitas, mengurangi ketegangan dan menenangkan penggunaanya.
Keadaan sedasi juga merupakan efek samping dari banyak obat yang khasiat utamanya tidak
menekan SSP, misal antikolinergika (Gunawan,1995).

Sedatif-hipnotik berkhasiat menekan sistem saraf pusat bila digunakan dalam dosis
yang meningkat, suatu sedatif, misalnya fenobarbital akan menimbulkan efek berturut-turut
peredaan, tidur, dan pembiusan total (anestesi), sedangkan pada dosis yang lebih besar lagi
dapat menyebabkan koma depresi pernafasan dan kematian. Bila diberikan berulang kali
untuk jangka waktu lama, senyawa ini lazimnya menimbulkan ketergantungan dan
ketagihan. Hipnotika atau obat tidur adalah zat-zat yang dalam dosis terapeutik
diperuntukkan untuk mempermudah atau menyebabkan tidur. Hipnotika menimbulkan rasa
kantuk, mempercepat tidur, dan sepanjang malam mempertahankan keadaan tidur yang
menyerupai tidur alamiah. Secara ideal obat tidur tidak memiliki aktivitas sisa pada
keesokan harinya (Tjay dkk, 2002: 384).

Efek hipnotik meliputi depresi sistem saraf pusat yang lebih kuat daripada sedasi, hal
ini dapat dicapai dengan semua obat sedatif dengan peningkatan dosis. Depresi sistem saraf
pusat yang bergantung pada tingkat dosis merupakan karakteristik dari sedatif-hipnotik.
Dengan peningkatan dosis yang diperlukan untuk hipnotik dapat mengarah kepada keadaan
anestesi umum. Masih pada dosis yang tinggi, obat sedatif-hipnotik dapat mendepresi pusat-
pusat pernafasan dan vasomotor di medulla, yang dapat mengakibatkan koma dan kematian
(Katzung, 1997).
Secara klinis obat-obatan sedatif-hipnotik digunakan sebagai obat-obat yang
berhubungan dengan sistem saraf pusat seperti nyeri akut dan kronik, tindakan anestesi,
kejang serta insomnia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Penggolongan Hipnotik dan Sedatif


Hipnotika dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yakni senyawa barbiturat dan
benzodiadepin, obat-obat lainnya (Tjay dkk, 2002: 389).
a. Barbiturat
Selama beberapa waktu barbiturat telah digunakan secara ekstensif sebagai hipnotik-
sedatif. Namun sekarang selain untuk beberapa penggunaan yang spesifik, golongan
obat ini telah digantikan oleh benzodiazepin yang lebih aman. Berdasarkan masa
kerjanya, turunan barbiturate dibagi menjadi 4, yaitu:
1. Turunan barbiturat dengan masa kerja panjang (6 jam atau lebih) Contohnya :
barbiturat, metarbital, fenobarbital.
2. Turunan barbiturat dengan masa kerja sedang (3-6 jam) Contoh :alobarbital,
amobarbital, aprobarbital, dan butabarbital berguna untuk mempertahankan tidur
dalam jangka waktu yang panjang.
3. Turunan barbiturat dengan masa kerja pendek (0,5-3 jam) Contoh : sekobarbital, dan
pentobarbital, yang digunakan untuk menimbulkan tidur untuk orang yang sulit jatuh
tidur.
4. Turunan barbiturat dengan masa kerja sangat pendek (<0,5 jam) Contoh : tiopental
yang digunakan untuk anestesi umum. Barbiturat harus dibatasi penggunaannya
hanya untuk jangka waktu pendek (2 minggu atau kurang) karena memiliki efek
samping.

Mekanisme kerja barbiturat pada SSP adalah sebagai berikut :


Barbiturat bekerja pada seluruh SSP, walupun pada setiap tempat tidak sama kuatnya. Dosis
nonanestesi terutama menekan respons pasca sinaps. Penghambatan hanya terjadi pada
sinaps GABA-nergik. Walaupun demikian efek yang terjadi mungkin tidak semuanya
melalui GABA sebagai mediator. Barbiturat memperlihatkan beberapa efek yang berbeda
pada eksitasi dan inhibisi transmisi sinaptik, kapasitas barbiturat membantu kerja GABA
sebagian menyerupai kerja benzodiazepin, namun pada dosis yang lebih tinggi bersifat
sebagai agonis GABA-nergik, sehingga pada dosis tinggi barbiturat dapat menimbulkan
depresi SSP yang berat (Tjay dkk, 2002:389)
b. Benzodiazepin
Obat ini pada umumnya kini dianggap sebagai obat tidur pilihan pertama karena
toksisitas dan efek sampingnya yang relatif paling ringan. Obat ini juga menimbulkan
lebih sedikit interaksi dengan obat lain, lebih ringan menekan pernapasan dan
kecenderungan penyalahgunaan yang lebih sedikit dosis aman yang lebar rendahnya
toleransi obat dan tidak menginduksi enzim mikrosom dihati. Golongan benzodiazepin
diantaranya temazepam, nitrazepam, flurazepam, flunitrazepam, diazepam dan
midazolam (Tjay dkk, 2002: 389-390).

Mekanisme kerja benzodiazepin pada SSP sebagai berikut :


Kerja benzodiazepin terutama merupakan interaksinya dengan reseptor
penghambat neurotransmiter yang diaktifkan oleh asam gamma amino butirat (GABA).
Reseptor GABA merupakan protein yang terikat pada membran dan dibedakan dalam 2
bagian besar sub-tipe, yaitu reseptor GABAA dan reseptor GABAB. Reseptor ionotropik
GABAA terdiri dari 5 atau lebih sub unit, reseptor GABAA berperan pada sebagian besar
neurotransmitter di SSP. Sebaliknya reseptor GABAB yang terdiri dari peptide tunggal
dengan 7 daerah transmembran, digabungkan dengan mekanisme signal transduksinya
oleh protein G.

c. Diazepam
Diazepam merupakan salah satu obat hipnotika-sedativa dari golongan benzodiazepin.
Golongan benzodiazepin obat ini pada umumnya kini dianggap sebagai obat tidur pilihan
pertama karena toksisitas dan efek sampingnya yang relatif paling ringan. Obat ini juga
menimbulkan lebih sedikit interaksi dengan obat lain, lebih ringan menekan pernapasan
dan kecenderungan penyalahgunaan yang lebih sedikit (Tjay dkk, 2007: 389). Diazepam
merupakan benzodiazepin yang sangat larut lemak dan memiliki durasi kerja yang lebih
panjang dibanding midazolam.
Diazepam dapat diberikan secara oral, intravena (harus diencerkan, karena
menyakitkan dan merusak pembuluh darah), intramuskular atau sebagai supositoria.
Ketika diazepam yang diberikan secara oral, itu diserap dengan cepat dan memiliki onset
cepat tindakan. Onset tindakan adalah 1-5 menit untuk administrasi IV dan 15-30 menit
untuk administrasi IM. Durasi puncak efek farmakologis diazepam adalah 15 menit
sampai 1 jam untuk kedua rute administrasi. Ketersediaan hayati setelah administrasi
oral adalah 100 persen, dan 90 persen setelah pemberian dubur. kadar plasma puncak
terjadi antara 30 menit dan 90 menit setelah pemberian oral dan antara 30 menit dan 60
menit setelah pemberian intramuskular setelah kadar puncak plasma administrasi dubur
terjadi setelah 10 menit untuk 45 menit. Diazepam sangat terikat dengan protein 96-99
persen diserap obat yang terikat protein. Separuh distribusi kehidupan diazepam adalah 2
menit sampai 13 menit. Farmakokinetik diazepam cepat diserap melalui saluran cerna
dan mencapai puncaknya dalam 1 jam (15-30 menit pada anak- anak) (Samik,2000).
Diazepam juga dapat melewati plasenta dan terdapat dalam sirkulasi fetus. Ikatan
protein benzodiazepin berhubungan dengan tingginya kelarutan lemak. Diazepam dengan
kelarutan lemak yang tinggi memiliki ikatan dengan proteinplasma yang kuat. Sehingga
pada pasien dengan konsentrasi protein plasma yang rendah. Metabolisme diazepam
mengalami oksidasi N-demethylation oleh enzim mikrosom hati menjadi
desmethyldiazepam dan oxazepam serta sebagian kecil temazepam. Desmethyldiazepam
memiliki potensi yang lebih rendah serta dimetabolisme melebih lambat dibanding
oxazepam sehingga menimbulkan keadaan mengantuk pada pasien 6-8 jam setelah
pemberian. (Samik,2000).
Metode yang digunakan untuk melihat efek hipnotik sedatif adalah dengan
menggunakan rotarod dan metode Hole board test. Pengujian menggunakan rotarod
bertujuan untuk melihat perubahan kemampuan keseimbagan mencit atau tikus di atas
ban yang berputar. Parameter yang diamati pada metode ini adalah banyaknya tikus atau
mencit terjatuh dari ban berputar, semakin banyak jumlah terjatuh menunjukkan hewan
dalam keadaan tenang. Sedangkan Pengujian Hole board test untuk melihat perubahan
perilaku eksplorasi dari hewan uji dengan menggunakan alat Infra-red Actimeter Orchid
Scientific®. Parameter yang diamati pada metode ini adalah jumlah head dip dari hewan
uji yaitu perilaku hewan uji memasukkan kepalanya dalam lubang, semakin sedikit head
dip menunjukkan hewan dalam keadaan tenang.
BAB III
METODOLOGI

A. Alat dan Bahan


1. 3 ekor tikus jantan
2. Rotarod, jarum suntik, kapas, timbangan
3. Obat: Pentobarbital Na (injeksi), Diazepam (injeksi), alkohol, aquades
4. Hole board, alat suntik, kapas, timbangan
5. Obat: Diazepam (injeksi), alkohol, aquadest

B. Prosedur Kerja
1. Pengaruh obat sedative dengan pemberian diazepam injeksi
a. Timbang 1 ekor tikus. Lalu timbang tikus. Adaptasikan tikus pada rotarod selama 2
menit dengan meletakkan pada roda rotarod kemudian catat selama 1 menit berapa
kali tikus jatuh dari ban berputar rotarod
b. Suntikkan injeksi diazepam dosis 5 mg/kg pada tikus
c. Amati dan catat ukuran pupil, refleks kornea, dan berjalan di rotarod pada menit ke
20 dan 40 setelah pemberian obat.
2. Pengaruh Obat Sedatif dengan Pemberian Pentobarbital Na injeksi
a. Timbang 1 ekor tikus. Lalu timbang tikus. Adaptasikan tikus pada rotarod selama 2
menit dengan meletakkan pada roda rotarod kemudian catat selama 1 menit berapa
kali tikus jatuh dari ban berputar rotarod
b. Suntikkan injeksi Pentobarbital dosis 20 mg/kg pada tikus secara IM
c. Amati dan catat ukuran pupil, refleks kornea, dan berjalan di rotarod dalam 20 dan
40 menit.
3. Metode Hole Board
a. Timbang 1 ekor tikus kemudian catat dan hitung volume pemberian obat diazepam.
Bersihkan alat hole board.
b. Adaptasikan tikus pada hole board selama 5 menit dengan meletakkan dalam alat,
kemudian catat selama 5 menit total head dip tikus
c. Suntikkan tikus dengan diazepam dosis 1,25 mg/kg secara IM 15 menit setalah
pemberian obat, hewan dimasukkan ke alat hole board pada posisi tengah alat. Amati
total head dip selama 5 menit.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Percobaan
1. Pemberian Diazepam Injeksi
Rotarod (dalam 1
Perlakuan Rx Kornea Rx Balik Badan Diameter Pupil
menit

Sebelum Kecil 1× - 9

20 menit Besar 2× - 2

40 menit Kecil - - 5

Perhitungan
BB tikus = 254 g
𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 × BB
VAO = 𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖
𝑚𝑔
20 ×0,254 kg
𝑘𝑔
= 50 𝑚𝑔/𝑚𝑙

= 0,1 ml
2. Pemberian Pentobarbitan Na Injeksi
Rotarod (dalam 1
Perlakuan Rx Kornea Rx Balik Badan Diameter Pupil
menit

Sebelum Besar - - 5

20 menit Kecil - - 2

40 menit Kecil - - 3

Perhitungan
BB tikus = 217 g
𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 × BB
VAO = 𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖
𝑚𝑔
20 ×0,217 kg
𝑘𝑔
= 50 𝑚𝑔/𝑚𝑙

= 0,08 ml
3. Metode Hole Board Test
Total Head Dip

Sebelum 15’ Setelah


Tikus BB (Kg) Dosis (VAO)
Pemberian Pemberian

Obat Obat

1 × pada menit
1 0,0159 Kg 0,795 ml ~ 1 ml 0
ke 5

Perhitungan

𝐾𝑀 𝑀𝑎𝑛𝑢𝑠𝑖𝑎
Animal dose = HED × 𝐾𝑀 𝐴𝑛𝑖𝑚𝑎𝑙 (𝑡𝑖𝑘𝑢𝑠)

37
= 0,4 mg ×
6

= 2,5 mg/kg

𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 × BB
VAO = 𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖

𝑚𝑔
2,5 ×0,159 kg
𝑘𝑔
= 5 𝑚𝑔/𝑚𝑙

= 0,0795 ml ~ 1 ml

B. Pembahasan
Pada praktikum kali ini menggunakan tikus jantan sebanyak 3 buah sebagai hewan
percobaan. Metode yang digunakan ada 2, yaitu metode rotarod dan metode hole board, obat
yang digunakan pada praktikum ini adalah Pentobarbital dan Diazepam.
Pada metode rotarod dimana menggunakan Pentobarbital Na injeksi dengan dosis
0,08 ml dan BB tikus sebesar 217 g. Sebelum diinjeksikan Pentobarbital ketika diletakkan
pada roda rotarod tikus lebih banyak jatuh, sedangkan setelah diberikan Pentibarbital injeksi
secara IM pada menit ke 20 sebanyak 2 kali jatuh dan pada menit ke 40 meningkat sebanyak
3 kali jatuh. Sehingga semakin lama waktu pemberian obat, semakin kecil pula kemungkinan
tikus tersebut jatuh. Ini dikarenakan Pentobarbital memberikan efek menenangkan hingga
membuat tidur sehingga tikus tidak banyak melakukan pergerakan.
Pada metode rotarod dimana menggunakan Diazepam dengan dosis 0,1 ml dan BB
tikus sebesar 254 kg. Sebelum diinjeksikan Diazepam ketika diletakkan pada roda rotarod
tikus lebih banyak jatuh, sedangkan setelah diinjeksikan Diazepam sedangkan setelah
diberikan Pentibarbital injeksi secara IM pada menit ke 20 sebanyak 2 kali dan pada menit ke
40 meningkat sebanyak 5 kali jatuh.
Metode rotarod berfungsi untuk membantu mengamati perlakukan hewan mencit
dengan mengukur koordinasi dan keseimbangan motorik nya setelah diberikan obat golongan
sedatif hipnotik.

Pada metode hole board dengan pemberian diazepam dosis 0,0795 ml dan BB tikus
0,159 kg. Diazepam digunakan untuk hipnotik, antikonvulsan, pelemas otot, dan induksi
anestesi. Metode hole board test bertujuan untuk melihat perubahan perilaku eksplorasi tikus
dengan menggunakan alat infrared actimater orchid scientific. Parameter yang diamati yaitu
jumlah head dip menunjukkan hewan dalam keadaan tenang. Hasil pengamatan kami yaitu
sebelum pemberian obat, total head dip 0. Artinya tidak ada head dip selama masa adaptasi
sebelum pemberian obat. Hal ini disebabkan karena tidak adanya sinar infrared yang
memancar pada lubang alat, sehingga tidak ada yang membuat tikus tertarik melihat ke dalam
lubang pada alat hole board. Total head dip setelah 15 menit pemberian obat yaitu 1 kali pada
menit ke 5. Hal ini disebabkan karena sinar infrared baru menyala pada menit ke 5, sehingga
baru ada yang dapat menarik perhatian tikus ke dalam lubang alat dan tikus melakukan head
dip.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Metode rotarod berfungsi untuk membantu mengamati perlakukan hewan mencit
dengan mengukur koordinasi dan keseimbangan motorik nya setelah diberikan obat
golongan sedatif hipnotik.
2. Metode rotarod berfungsi untuk membantu mengamati perlakukan hewan mencit
dengan mengukur koordinasi dan keseimbangan motorik nya setelah diberikan obat
golongan sedatif hipnotik.
3. Pada metode rotarod setelah diberikan obat Pentobarbita Na pada menit ke 20 tikus
jatuh sebanyak 2 kali dan pada menit ke 40 meningkat sebanyak 3 kali
4. Pada metode rotarod setelah diberikan obat Diazepam pada menit ke 20 tikus jatuh
sebanyak 2 kali dan pada menit ke 40 meningkat sebanyak 5 kali
5. Pada metode hole board setelah diberikan obat Diazepam pada menit ke 15
mengalami head dip sebanyak 1 kali pada menit ke 5
6. Pentobarbital Na merupakan obat hipnotik sedative golongan barbiturat yang dapat
memberikan efek mengakibatkan depresi dan kegelisahan. Sedangkan Diazepam
merupakan obat hipnotik sedatif golongan benzodiazepine yang dapat memberikan
efek lebih tenang
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Departemen Kesehatan RI : Jakarta


H. Sarjono, Santoso dan Hadi R.D. 1995. Farmakope dan Terapi. Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran Indonesia : Jakarta
Syamsudin. 2011. Farmakologi Eksperimental. Universitas Indonesia : Jakarta
Tjay, T.H dan Rahardja. K. 2002. Obat-Obat Penting. Edisi Kelima Cetakan Kedua. Jakarta : PT.
Elex Media Komputindo

Anda mungkin juga menyukai