Anda di halaman 1dari 19

PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI

PRAKTIKUM IV

“SEDATIF DAN TRANQUILIZER”

Disusun Oleh:

Nama : Muhammad Harun Al – Rasyid

NIM : 15040076

Kelompok :3

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

SEKOLAH TINGGI FARMASI MUHAMMADIYAH


TANGERANG

2018
BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang


Sedasi merupakan penekan sistem saraf pusat, dimana dalam dosis
rendah dapat menghilangkan respon fisik dan mental tetapi tidak
mempengaruhi kesadaran. Sedasi adalah suatu usaha untuk menimbulkan
keadaan tenang dengan pemberian obat. Sedatif pertama kali diresepkan
untuk mengurangi ketegangan serta kecemasan. Pada penggunaan obat
sedasi, kesadaran seseorang mulai menurun akan tetapi masih dapat
mengendalikan jalan nafas dan merespon perintah. Zat hipnotik merupakan
obat yang dapat menginduksi tidur. Obat hipnotik diinduksi untuk
mengilangkan kesadaran pada saat dilakukan anestesi umum. Obat – obat
yang ditujukan untuk sedatif dan hipnotik bekerja menekan sistem saraf
pusat dengan menghambat aktivitas GABA dalam berikatan dengan reseptor
GABA sehingga dihasilkan efek sedatif dengan adanya penurunan
lokomotor (gerak normal tubuh) (Hidayati, 2013). Obat-obat sedatif-
hipnotik seringkali merupakan obat yang sama, akan tetapi yang lebih sering
dipakai adalah untuk efek hipnotiknya. Sedatif-hipnotik terbagi menjadi 3
golongan antara lain golongan obat barbiturat, benzodiazepin dan
piperidindion (Hayes dan Kee, 2000).
Barbiturat merupakan golongan obat sedatif-hipnotik yang masih
digunakan hingga saat ini. Berdasarkan masa kerjanya, barbiturat
diklasifikasikan kedalam empat kelompok yaitu barbiturat dengan masa
kerja panjang, sedang, singkat dan sangat singkat. Barbiturat dengan masa
kerja sangat singkat digunakan untuk ansestesi umum seperti natrium
tipental (Penthotal). Sedangkan barbiturat dengan masa kerja singkat
digunakan untuk menimbulkan tidur pada pasien yang sulit tidur seperti
sekobarbital dan pentobarbital. Barbiturat merupakan depresan yang lebih
kuat dibandingkan dengan golongan BZD (Benzodiazepin) karena pada
dosis tinggi barbiturat secara langsung dapat meningkatkan konduktansi Cl-
dan menurunkan sensitivitas membran pascasinaps neuron terhadap
transmitor eksitasi (Hayes dan Kee, 2000).
Diazepam termasuk dalam golongan benzodiazepin dimana
mekanisme kerjanya yaitu meningkatkan ikatan antara y-aminobutyric acid
(GABA) dengan reseptor GABAA serta penguatan konduktansi ion klorida
yang dipicu oleh interaksi dengan GA dan reseptor GABAA. Kanal klorida
yang terbuka menyebabkan banyak ion klorida yang masuk ke dalam sel
dan mengakibatkan hiperpolarisasi sehingga mengurangi kemampuan sel
untuk dirangsang (Katzung, 2001).
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dilakukan praktikum “Sedatif
dan Tranquilizer” yang bertujuan untuk melakukan pengujian obat penekan
susunan saraf pusat dan tranquilizer dan mengevaluasi perbedaan efek
diazepam pada berbagai dosis.

I.2. Tujuan Praktikum


1. Melakukan cara penetapan aktivitas spontan tikus dengan alat rotarod
sebagai salah satu pengujian obat penekan susunan saraf pusat dan
tranquilizer.
2. Mengevaluasi perbedaan efek diazepam pada berbagai dosis dengan
mengamati perubahan aktivitas spontan tikus.

I.3. Manfaat Praktikum


1. Mahasiswa mampu menetapkan aktivitas spontan tikus dengan alat
rotarod yang digunakan sebagai salah satu pengujian obat penekan
susunan saraf pusat dan tranquilizer.
2. Mahasiswa mampu mengevaluasi perbedaan efek diazepam pada
berbagai dosis dengan mengamati perubahan aktivitas spontan tikus.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Hipnotik Sedatif


Sedatif dan hipnotik adalah senyawa yang dapat menekan system
saraf pusat sehingga menimbulkan efek sedasi lemah sampai tidur pulas.
Sedatif adalah senyawa yang menimbulkan sedasi, yaitu suatu keadaan
terjadinya penurunan kepekaan terhadap rangsangan dari luar karena ada
penekanan sistem saraf pusat yang ringan. Dalam dosis besar, sedatif
berfungsi sebagai hipnotik, yaitu dapat menyebabkan tidur pulas. Sedatif
digunakan untuk menekan kecemasan yang diakibatkan oleh ketegangan
emosi dan tekanan kronik yang disebabkan oleh penyakit atau faktor
sosiologis, untuk menunjang pengobatan hipertensi, untuk mengontrol
kejang dan untuk menunjang efek anestesi sistemik. Sedatif mengadakan
potensial dengan obat analgesik dan obat penekan sistem saraf pusat yang
lain (Siswandono dan Soekardjo, 2000). Barbiturat dan benzodiazepin
adalah subgrup sedatif-hipnotik yang terpenting (Katzung, 2001).
A. Benzodiazepin
Turunan benzodiazepin adalah obat pilihan yang banyak
digunakan sebagai sedatif-hipnotik karena mempunyai efikasi dan
batas keamanan lebih besar dibanding turunan sedatif-hipnotika lain,
yang antara lain menyangkut efek samping, pengembangan toleransi,
ketergantungan obat, interaksi obat dan kematian akibat kelebihan
dosis. Selain efek sedatif-hipnotik, benzodiazepin juga mempunyai
efek menghilangkan ketegangan (anxiolitik, tranquilizer minor),
relaksasi otot anti kejang. Di klinik turunan ini terutama digunakan
untuk menghilangkan ketegangan, kegelisahan dan insomnia. Efek
kadang dapat terjadi amnesia, hipotensi, penglihatan kabur dan
konstipasi. Penggunaan jangka panjang, terutama dalam dosis tinggi,
dapat menimbulkan ketergantungan fisik dan mental. Mekanisme
kerja turunan benzodiazepin adalah dengan menekan transmisi
sinaptik pada sistem pengaktifan retikula di otak dengan cara
mengubah permeabilitas membran sel sehingga mengurangi
rangsangan sel postinaptik dan terjadi deaktivasi korteks serebral.
Turunan benzodiazepin mengikat reseptor khas di otak dan
meningkatkan transmisi sinaptik GABA (gamma-aminobutyric acid)
dengan cara meningkatkan pengaliran klorida membran postsinaptik
dan menurunkan pergantian norepinefrin, katekolamin, serotonin dan
lain-lain amin biogenik dalam otak, dan hal ini kemungkinan
bertanggungjawab pada beberapa efek farmakologisnya (Siswandono
dan Soekardjo, 2000).
Salah satu contoh golongan benzodiazepin adalah diazepam.
Indikasi dari diazepam yaitu manajemen untuk ansietas, diazepam
mungkin berguna dalam simtomatik pada agitasi akut dan tremor,
penarikan kembali penggunaan alkohol akut. Diazepam mungkin
berguna pada simtomatim pada agitasi akut dan tremor. Untuk kejang
otot skeletal, diazepam dapat digunakan sebagai tambahan bantuan
untuk kejang otot skeletal karena reflek kejang patologi lokal seperti
inflamasi pada otot dan sendi atau trauma (Dollery, 1999).
B. Barbiturat
Turunan barbiturat merupakan sedatif yang banyak digunakan
sebelum diketemukannya turunan benzodiazepin. Turunan barbiturat
bekerja sebagai penekan pada aksis serebrospinal dan menekan
aktivitas saraf, otot rangka, otot polos dan otot jantung. Turunan
barbiturat dapat menghasilkan derajat depresi yang berbeda yaitu
sedasi, hipnotik atau anestesi, tergantung pada struktur senyawa, dosis
dan cara pemberian. Mekanisme kerja turunan barbiturat yaitu bekerja
menekan transmisi sinaptik pada sistem pengaktifan retikula di otak
dengan cara mengubah permeabilitas membran sel sehingga
mengurangi rangsangan sel postsinaptik dan menyebabkan deaktivasi
korteks serebal (Siswandono dan Soekardjo, 2000).
Efek utama barbiturat adalah penekan SSP. Semua tingkat
depresi dapat dicapai, mulai dari sedasi, hipnosis, berbagai tingkat
anastesi, koma sampai hilangnya kesadaran. Pemberian dosis obat
barbiturat yang hampir menyebabkan tidur dapat meningkatkan 20%
ambang nyeri sedangkan ambang rasa lainnya tidak dipengaruhi
(Wiria dan Handoko, 1995).
Contoh dari barbiturat adalah pentobarbital, sekobarbital dan
fenobarbital. Mekanisme kerja golongan barbiturat yaitu
memperpanjang durasi terbukanya kanal klorida gerbang GABA.
Selain itu pada konsentrasi tinggi barbiturat dapat bekerja sebagai
GABA-mimetik yang mengaktivasi kanal klorida secara langsung.
Kerja dari barbiturat ini kurang selektif dibandingkan dengan
benzodiazepin (Katzung, 2001).

II.2. Diazepam

Diazepam termasuk dalam golongan benzodiazepin dimana


mekanisme kerjanya yaitu meningkatkan ikatan antara y-aminobutyric
acid (GABA) dengan reseptor GABAA serta penguatan konduktansi ion
klorida yang dipicu oleh interaksi dengan GA dan reseptor GABAA. Kanal
klorida yang terbuka menyebabkan banyak ion klorida yang masuk ke
dalam sel dan mengakibatkan hiperpolarisasi sehingga mengurangi
kemampuan sel untuk dirangsang (Katzung, 2001).
Diazepam memiliki onset kerja yang cepat karena bersifat sangat
lipofil sehingga secara cepat dapat berpenetrasi ke dalam sawar darah otak
dan secara cepat pula bisa didistribusikan ke jaringan lipofilik dalam tubuh
(Eugen, 2009).

II.3. Tikus Putih

Klasifikasi Tikus Putih (Mawarsari, 2015):


Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Mammalia
Ordo : Rodentia
Famili : Muridae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicus

Hewan laboratorium atau hewan percobaan adalah hewan yang


sengaja dipelihara dan diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model
guna mempelajari dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu
dalam skala penelitian atau pengataman laboratorik. Tikus termasuk
hewan mamalia, oleh sebab itu dampaknya terhadap suatu perlakuan
mungkin tidak jauh berbeda dibanding dengan mamalia lainnya. Selain itu
penggunaan tikus sebagai hewan percobaan juga didasarkan atas
pertimbangan ekonomis dan kemampuan hidup tikus hanya 2 – 3 tahun
dengan lama produksi 1 tahun (Mawarsari, 2015).
Keunggulan tikus putih dibandingkan tikus liar antara lain lebih
cepat dewasa, tidak memperlihatkan perkawinan musiman dan umumnya
lebih cepat berkembang biak. Kelebihan lainnya sebagai hewan
laboratorium adalah sangat mudah ditangani, dapat ditinggal sendirian
dalam kandang asal dapat mendengar suara tikus lain dan berukuran cukup
besar sehingga memudahkan pengamatan. Secara umum, berat badan tikus
laboratorium lebih ringan dibandingkan berat badan tikus liar. Biasanya
pada umur empat minggu beratnya 35-40 g dan berat dewasa rata – rata
200-250 g, tetapi bervariasi tergantung pada galur (Mawarsari, 2015).

II.4. Rotarod
Rotarod merupakan alat yang digunakan untuk mengukur
koordinasi motorik pada hewan pengerat (mencit dan tikus). Pada alat ini
hewan uji diletakkan pada batang horizontal yang berputar. Batang
horizontal tersebut memiliki permukaan yang menonjol sehingga tidak
licin dan hewan coba dapat berpegangan. Namun dalam hal ini perlu
diperhatikan kesesuaiannya karena apabila tonjolan-tonjolan terlalu besar
akan membuat hewan uji dapat berpegangan dengan baik dan
pergerakannya menjadi statis. Sedangkan apabila tonjoloan terlalu kecil
mencit menjadi mudah jatuh karena tidak dapat berpegangan (Deacon,
2013).
BAB III

METODOLOGI

III.1. Alat dan Bahan

No Alat No Bahan
1 Rotarod 1 Tikus
2 Spuit dan sonde 2 Alkohol
3 Kapas 3 Aquadest
4 Timbangan 4 Tablet diazepam

III.2. Cara Kerja


1. Ditimbang 5 ekor tikus yang berjenis kelamin sama.
2. Diukur pupil, diamati reflek kornea, reflek spinal dan reflek balik
badan tikus.
3. Diadaptasikan tikus pada rotarod selama 5 menit dengan meletakkan
pada rota berputar rotarod kemudian dicatat selama 2 menit berapa kali
tikus jatuh dari ban berputar rotarod.
4. Tikus 1 diberi diazepam (dosis 5 mg untuk manusia p.o).
Tikus 2 diberi diazepam (dosis 10 mg untuk manusia p.o).
Tikus 3 tanpa perlakuan.
5. Pada menit ke 5, 10, 20 dan 30 tikus diletakkan diaas rotarod selama 2
menit.
6. Dicatat berapa kali tikus jatuh dan dicatat reflek balik badan, korne dan
perubahan diameter pupil.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1. Hasil
1. Penimbangan Hewan Uji

2. Kondisi Pupil Mata Tikus Pra Perlakuan

3. Pemberian Diazepam
4. Pengujian Aktivitas Spontan Tikus dengan Rotarod

5. Kondisi Pupil Mata Tikus Paska Perlakuan


6. Perhitungan Dosis

No Rute Pemberian BB Tikus Dosis Volume Suntik


1 Peroral 150 g 0,0675 mg 0,225 ml
2 Peroral 150 g 0,135 mg 0,45 ml
3 Aquadest (P.o) 130 g 1 ml 0,65 ml

7. Hasil Pengujian Aktivitas Spontan Tikus dengan Rotarod

Jumlah Jatuh
No Pra
Menit 5 Menit 10 Menit 20 Menit 30
Perlakuan
1 6 5 5 2 4
2 5 3 - - -
3 - 3 3 4 4

IV.2. Pembahasan
Pada praktikum kali ini, kami melakukan praktikum “Sedatif dan
Tranquilizer”. Praktikum kali ini bertujuan untuk melakukan pengujian
efek obat penekan susunan saraf pusat dan tranquilizer dengan menetapkan
aktivitas spontan tikus dengan alat rotarod serta mengevaluasi perbedaan
efek diazepam pada berbagai dosis dengan mengamati perubahan aktivitas
spontan tikus. Obat yang digunakan pada praktikum kali ini adalah obat
Diazepam yang berfungsi sebagai penenang dengan dosis 5 mg dan 10 mg
pada manusia. Rute pemberian yang diberikan yaitu melalui peroral serta 1
tikus tidak dilakukan perlakuan apapun sebagai tikus kontrol.
Langkah pertama yang dilakukan adalah melakukan penimbangan
berat badan masing-masing tikus untuk menghitung dosis diazepam yang
diberikan kepada masing-masing hewan uji. Serta diamati ukuran pupil
hewan uji dan hewan uji diadaptasikan dengan alat rotarod terlebih dahulu
selama 2 menit dengan tujuan agar tikus tersebut terbiasa dengan alat
rotarod dan tidak langsung terjatuh ketika alat rotarod dijalankan.
Tikus pertama diberikan diazepam dosis pada manusia 5 mg
melalui rute oral. Tikus ditimbang dan dihitung dosis diazepam yang akan
diberikan. Berat badan tikus 1 adalah seberat 150 g dan diazepam yang
diberikan adalah sebanyak 0,225 ml. Tikus diberikan diazepam melalui
rute oral dengan spuit yang dilengkapi dengan sonde.
Tikus kedua diberikan diazepam dosis pada manusia 10 mg
melalui rute oral. Tikus ditimbang dan dihitung dosis diazepam yang akan
diberikan. Berat badan tikus 1 adalah seberat 150 g dan diazepam yang
diberikan adalah sebanyak 0,45 ml. Tikus diberikan diazepam melalui rute
oral dengan spuit yang dilengkapi dengan sonde.
Tikus ketiga tidak diberikan perlakuan apapun. Tikus ketiga ini
digunakan sebagai tikus kontrol atau pembanding antara tikus yang
diberikan diazepam dan tikus yang tidak diberikan diazepam.
Pengamatan yang pertama yang dilakukan adalah pengamatan
berapa kali tikus terjatuh dari alat rotarod pada saat pra perlakuan tikus,
dimana tikus belum diberikan obat apapun. Ini dilakukan sebagai
perbandingan antara tikus sebelum diberikan obat diazepam dan sesudah
diberikan obat diazepam. Hasil yang didapat yaitu tikus 1 terjatuh
sebanyak 6 kali dan tikus 2 sebanyak 5 kali dalam waktu 2 menit.
Pengamatan berikutnya dilakukan pada menit ke 5. Pada menit ke
5 tikus 1 terjatuh sebanyak 5 kali, tikus 2 terjatuh sebanyak 3 kali dan
tikus 3 terjatuh sebanyak 3 kali dari alat rotarod. Terjadi penurunan jumlah
jatuh tikus dari alat rotarod jika dibandingkan pada saat pra perlakuan.
Pengamatan selanjutnya dilakukan pada menit ke 10. Pada menit
ke 10 tikus 1 terjatuh sebanyak 5 kali, tikus 2 tidak terjatuh dan tikus
ketiga terjatuh sebanyak 3 kali. Terdapat jumlah jatuh tikus yang stabil
pada tikus 1 dan tikus 3, namun tikus 2 tidak terjatuh sama sekali
meskipun tikus 2 merupakan tikus yang diberikan dosis diazepam 10 mg
dosis manusia.
Pengamatan berikutnya dilakukan pada menit ke 20. Pada menit ke
20 tikus 1 terjatuh sebanyak 2 kali, tikus 2 tidak terjatuh dan tikus 3
terjatuh sebanyak 4 kali. Terjadi penurunan jumlah jatuh tikus pada tikus
ke 1 sedangkan tikus 2 tetap tidak terjatuh dan terjadi peningkatan jumlah
jatuh pada tikus ke 3.
Pengamatan berikutnya dilakukan pada menit ke 30. Pada menit ke
30 tikus 1 terjatuh sebanyak 4 kali, tikus 2 tetap tidak terjatuh dan tikus 3
sebanyak 4 kali. Terjadi peningkatan jumlah jatuh tikus pada tikus ke 1
sedangkan tikus 2 tetap tidak terjatuh dan tikus 3 stabil di angka 4.
Hasil yang didapat dari pengamatan jumlah jatuh tikus ini tidak
sesuai dengan literatur. Dimana seharusnya semakin besar dosis dan
semakin lama durasi, maka semakin berefek pula obat tersebut didalam
tubuh. Sehingga seharusnya jumlah jatuh tikus bertambah dengan
bertambahnya durasi. Dan jumlah jatuh tikus terbanyak seharusnya pada
tikus ke 2 karena diberikan dosis diazepam terbesar dibandingkan dengan
dosis 1. Hal ini mungkin terjadi karena kurangnya ketelitian praktikan
pada saat melaksanakan praktikum, terdapat beberapa faktor yang dapat
menyebabkan hasil yang tidak sesuai dengan literatur ini. Diantaranya
adalah kesalahan pada saat pemberian obat diazepam pada hewan uji,
kesalahan pada saat pengujian di alat rotarod sehingga menimbulkan
angka yang tidak sesuai dengan literatur.
Pengamatan selanjutnya yaitu pengamatan perubahan diameter
pupil dari hewan uji pada saat pra perlakuan dan setelah menit ke 30
diberikan obat diazepam. Salah satu efek dari diazepam menurut
Mozayani dan Raymon tahun 2012 adalah dapat mengecilkan ukuran pupil
mata. Hasil yang didapat pada praktikum kali ini yaitu terdapat sedikit
perbedaan dari diameter pupil hewan uji, dimana setelah diberikan obat
diazepam, ukuran diameter pupil hewan uji mengalami pengecilan. Hal ini
menunjukkan bahwa efek diazepam bekerja yang ditandai dengan
perubahan ukuran pupil.
BAB V

PENUTUP

V.1. Kesimpulan
1. Dari praktikum yang dilakukan, jumlah jatuh tikus terbanyak adalah
pada tikus 1 yang diberikan diazepam dosis 5 mg pada manusia.
2. Hasil yang didapatkan tidak sesuai dengan literatur yang disebabkan
kurangnya ketelitian praktikan pada saat praktikum.

V.2. Saran
Diharapkan kepada praktikan agar lebih teliti dan lebih berhati –
hati dalam melaksanakan praktikum di dalam laboratorium dan diharapkan
agar dapat menambah fasilitas laboratorium agar kedepannya praktikum
dapat dilakukan lebih maksimal dan efektif serta efisien.
DAFTAR PUSTAKA

Deacon, R. M. J. 2013. Measuring Motor Coordination in Mice. Journal Of


Visualized Experiments.

Dollery, S. C. 1999. Therapeutic Drugs. Vol I. chruchill Livingstone, Edinburgh

Eugen, T. 2009. Benzodiazepin used Primarily for Emergency Treatment.


Innsbruck Willey Blackwell

Hidayati, Anna. 2013. Uji Efek Sedatif Ekstrak n-Heksana dari Daun Kratom
(Mitragyna speciosa Korth.) pada Mencit Jantan Galur BALB/c. Pontianak:
Universitas Tanjungpura.

Katzung, Bertram. G. 2001. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: Salemba


Medika.

Kee, Joyce, L., dan Hayes, Evelyn, R. 2000. Farmakologi “Pendekatan Proses
Keperawatan”. Jakarta: EGC.

Mawarsari, Titis. 2015. Uji Aktivitas Penyembuhan Luka Bakar Ekstrak Etanol
Umbi Talas Jepang (Colocasia esculenta L. Schott var. antiquorum) Pada
Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Galur Sprague Dawley. Jakarta: UIN
Syarif Hidayatullah.

Mozayani, Ashraf dan Lionel Raymon. 2012. Handbook of Drug Interaction. New
York: Humana Press.

Siswandono dan Soekardjo, B,. Kimia Medisinal. Surabaya: Airlangga University


Press, 2000.

Wiria., M. S. S. 2007. Hipnotik-Sedatif dan Alkohol. Farmakologi dan Terapi.


FKUI: Jakarta
LAMPIRAN

1. Perhitungan Dosis Diazepam Tikus 1 (5 mg)


Dosis manusia = 5 mg
Dosis tikus = dosis manusia x Fk
= 5 mg x 0,018
= 0,09 mg
BB tikus = 150 gram
Konsentrasi Suspensi = 15 mg/50 ml = 0,03 mg/ml
BB tikus yang ditimbang
Dosis Diazepam untuk tikus = x dosis tikus
200 gram
15 0 gram
= x 0,09 mg
200 gram
= 0,0675 mg
0,0 675 mg
VP untuk Tikus =
0,3 mg/ ml
Vp = 0,225 ml
2. Perhitungan Dosis Diazepam Tikus 2 (10 mg)
Dosis manusia = 10 mg
Dosis tikus = 10 mg x 0,018
= 0,18 mg
BB tikus = 150 gram
Konsentrasi Suspensi = 15 mg/50 ml = 0,03 mg/ml
BB tikus yang ditimbang
Dosis Diazepam untuk tikus = x dosis tikus
200 gram
150 gram
= x 0 ,18 mg
200 gram
= 0,135 mg
0 ,135 mg
VP untuk Tikus =
0,3 mg/ml
Vp = 0,45 ml
3. Perhitungan Dosis Aquadest Tikus 3 (Peroral)
1 ml
= 130g x
200 gr
13 0
= ¿ 0 , 65 ml
200

Anda mungkin juga menyukai