PRAKTIKUM III
Disusun Oleh:
NIM : 15040076
Kelompok :3
2018
BAB I
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Obat
Secara umum, obat dapat diartikan sebagai semua bahan tunggal atau
campuran yang digunakan oleh semua makhluk untuk bagian dalam dan luar
tubuh, guna mencegah, meringankan dan menyembuhkan penyakit (Putra,
2012).
Menurut undang – undang, yang dimaksud dengan obat adalah suatu
bahan atau campuran bahan yang dimaksudkan untuk digunakan dalam
menentukan diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan,
menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan badaniah
atau rohaniah pada manusia atau hewan, termasuk memperelok tubuh atau
bagian tubuh manusia (Syamsuni, 2007).
2. Jalur Parenteral
Parenteral berarti tidak melalui enteral. Termasuk jalur parenteral
adalah transdermal (topikal), injeksi, endotrakeal (pemberian obat ke
dalam trakea menggunakan endotrakeal tube), dan inhalasi. Pemberian
obat melalui jalur ini dapat menimbulkan efek sistemik atau lokal
(Priyanto, 2008).
Rute parenteral adalah memberikan obat dengan menginjeksi ke
dalam jaringan tubuh, obat yang cara pemberiannya tanpa melalui mulut
(tanpa melalui usus/ saluran pencernaan) tetapi langsung ke pembuluh
darah. Misalnya sediaan injeksi atau suntikan. Tujuannya adalah agar
dapat langsung menuju sasaran. Rute parenteral biasanya digunakan
untuk obat yang absorbsinya buruk melalui slauran cerna. Pemberian
parenteral juga digunakan untuk pengobatan pasien yang tidak sadar dan
dalam keadaan yang memerlukan kerja obat yang cepat (Nuryati, 2017).
Kelebihan dari rute obat yang diberikan secara parenteral adalah
(Nuryati, 2017):
Bisa untuk pasien yang tidak sadar
Bisa untuk pasien yang sering muntah dan tidak kooperatif
Untuk obat yang mengiritasi lambung
Dapat menghindari kerusakan obat di saluran cerna dan hati
Bekerja cepat
Sedangkan kekurangan dari rute obat yang diberikan secara
parenteral adalah (Nuryati, 2017):
Kurang aman karena jika sudah disuntikkan ke dalam tubuh tidak
bisa dikeluarkan lagi jika terjadi kesalahan
Tidak disukai pasien
Berbahaya (suntikan-infeksi)
a. Intravena
Suntikan intravena adalah cara pemberian obat parenteral
yang sering dilakukan. Untuk obat yang tidak diabsorbsi secara
oral, sering tidak ada pilihan. Obat langsung dimasukkan ke
pembuluh darah sehingga kadar obat di dalam darah diperoleh
dengan cepat, tepat dan dapat disesuaikan langsung dengan respons
penderita (Nuryati, 2017).
Intravena (IV) Tidak ada fase absorpsi, obat langsung masuk
ke dalam vena, “onset of action” cepat, efisien, bioavailabilitas
100%, baik untuk obat yang menyebabkan iritasi kalau diberikan
dengan cara lain, biasanya berupa infus kontinu untuk obat yang
waktu-paruhnya (t1/2) pendek (Joenoes, 2002).
b. Intramuskular
Suntikan intramuskular adalah pemberian obat dengan cara
menginjeksikan obat ke jaringan otot, obat-obat yang diberikan
secara intramuskular dapat berupa larutan dalam air atau preparat
depo khusus sering berupa suspensi obat dalam vehikulum
nonaqua seperti etilenglikol. Absorbsi obat dalam larutan cepat
sedangkan absorbsi preparat-preparat berlangsung lambat. Setelah
vehikulum berdifusi keluar dari otot, obat tersebut mengendap
pada tempat suntikan. Kemudian obat melarut perlahan-lahan
memberikan suatu dosis sedikit demi sedikit untuk waktu yang
lebih lama dengan efek terapeutik yang panjang (Nuryati, 2017).
Intramuskular (IM) “Onset of action” bervariasi, berupa
larutan dalam air yang lebih cepat diabsorpsi daripada obat berupa
larutan dalam minyak, dan juga obat dalam sediaan suspensi,
kemudian memiliki kecepatan penyerapan obat yang sangat
tergantung pada besar kecilnya partikel yang tersuspensi: semakin
kecil partikel, semakin cepat proses absorpsi. (Joenoes, 2002).
c. Subkutan
Suntikan subkutan hanya boleh dilakukan untuk obat yang
tidak iritatif terhadap jaringan. Absorpsi biasanya berjalan lambat
dan konstan, sehingga efeknya bertahan lebih lama. Absorpsi
menjadi lebih lambat jika diberikan dalam bentuk padat yang
ditanamkan dibawah kulit atau dalam bentuk suspensi. Pemberian
obat bersama dengan vasokonstriktor juga dapat memperlambat
absorpsinya (Nuryati, 2017).
Subkutan (SC) “Onset of action” lebih cepat daripada
sediaan suspensi, determinan dari kecepatan absorpsi ialah total
luas permukaan dimana terjadi penyerapan, menyebabkan
konstriksi pembuluh darah lokal sehingga difusi obat
tertahan/diperlama, obat dapat dipercepat dengan menambahkan
hyaluronidase, suatu enzim yang memecah mukopolisakarida dari
matriks jaringan. (Joenoes, 2002).
d. Intraperitoneal
Suntikan intraperitoneal adalah cara pemberian yang
disuntikkan langsung ke dalam rongga perut. Penyerapan
berlangsung cepat namun bahaya besar (Syamsuni, 2007).
Memilih rute penggunaan obat tergantung dari tujuan terapi, sifat
obatnya serta kondisi pasien. Oleh sebab itu perlu mempertimbangkan
masalah-masalah seperti berikut (Priyanto, 2008):
a. Tujuan terapi menghendaki efek lokal atau efek sistemik.
b. Apakah kerja awal obat yang dikehendaki itu cepat atau lambat
c. Apakah masa kerja obat yang dikehendaki lama atau pendek.
d. Stabilitas obat di dalam lambung atau usus.
e. Keamanan relatif dalam penggunaan melalui bermacam-macam rute.
f. Rute yang tepat dan menyenangkan bagi pasien dan dokter.
g. Harga obat yang relatif ekonomis dalam penyediaan obat melalui
bermacam-macam rute.
METODOLOGI
No Alat No Bahan
1 Spuit 1 Tikus
2 Sonde 2 Alkohol
3 Kapas 3 Aquadest
4 Timbangan 4 Tablet diazepam
IV.1. Hasil
1. Perhitungan Dosis
BB Tikus Volume
No Rute Pemberian Dosis (ml)
(g) Suntik (ml)
1 Oral 120 0,054 0,18
2 Intravena 160 0,072 0,24
3 Intramuskular 140 0,063 0,21
4 Subkutan 120 0,054 0,18
5 Aquadest oral 160 1 0,8
IV.2. Pembahasan
Pada praktikum kali ini, kami melakukan praktikum “Pengaruh Rute
Pemberian Terhadap Onset dan Durasi”. Praktikum kali ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh rute pemberian obat terhadap efek yang ditimbulkan
serta menyatakan onset dan durasi obat berdasarkan rute yang dberikan
kepada tikus putih sebagai hewan uji. Obat yang digunakan pada praktikum
kali ini adalah obat Diazepam yang berfungsi sebagai penenang dengan
dosis 5 mg pada manusia. Rute pemberian yang diberikan yaitu melalui
peroral, intravena, intramuskular dan subkutan serta 1 tikus diberikan
aquadest secara peroral sebagai tikus kontrol.
Praktikum kali ini bertujuan melihat onset dan durasi obat diazepam
dengan memperhatikan berapa lama waktu yang diperlukan bagi tikus untuk
tidur setelah diberikan obat diazepam pada masing – masing rute pemberian
serta menguji durasi atau lamanya kerja obat diazepam dengan mengamati
berapa lama waktu yang diperlukan untuk bangun dari tidurnya. Aquadest
yang diberikan secara peroral kepada tikus 5 adalah sebagai perbandingan
antara tikus yang diberikan diazepam dan tikus yang tidak diberikan
diazepam.
Tikus pertama diberikan diazepam dosis pada manusia 5 mg melalui
rute oral. Tikus ditimbang dan dihitung dosis diazepam yang akan
diberikan. Berat badan tikus 1 adalah seberat 120 g dan diazepam yang
diberikan adalah 0,18 ml. Tikus diberikan diazepam melalui rute oral
dengan spuit yang dilengkapi dengan sonde. Setelah diberikan perlakuan,
tikus diletakkan kedalam kandangnya kembali, dan dibiarkan hingga
obatnya bereaksi. Tikus 1 membutuhkan waktu 14 menit untuk tertidur
setelah diberikan obat dan 3 menit untuk bangun dari tidurnya.
Tikus kedua diberikan diazepam dosis pada manusia 5 mg melalui
rute intravena. Tikus ditimbang dan dihitung dosis diazepam yang akan
diberikan. Berat badan tikus 1 adalah seberat 160 g dan diazepam yang
diberikan adalah 0,24 ml. Setelah diberikan perlakuan, tikus diletakkan
kedalam kandangnya kembali, dan dibiarkan hingga obatnya bereaksi.
Tikus 2 membutuhkan waktu 13 menit untuk tertidur setelah diberikan obat
dan 3 menit untuk bangun dari tidurnya.
Tikus ketiga diberikan diazepam dosis pada manusia 5 mg melalui
rute intramuskular. Tikus ditimbang dan dihitung dosis diazepam yang akan
diberikan. Berat badan tikus 1 adalah seberat 140 g dan diazepam yang
diberikan adalah 0,21 ml. Setelah diberikan perlakuan, tikus diletakkan
kedalam kandangnya kembali, dan dibiarkan hingga obatnya bereaksi.
Tikus 3 membutuhkan waktu 15 menit untuk tertidur setelah diberikan obat
dan 4 menit untuk bangun dari tidurnya.
Tikus keempat diberikan diazepam dosis pada manusia 5 mg melalui
rute subkutan. Tikus ditimbang dan dihitung dosis diazepam yang akan
diberikan. Berat badan tikus 1 adalah seberat 120 g dan diazepam yang
diberikan adalah 0,18 ml. Setelah diberikan perlakuan, tikus diletakkan
kedalam kandangnya kembali, dan dibiarkan hingga obatnya bereaksi.
Tikus 4 membutuhkan waktu 16 menit untuk tertidur setelah diberikan obat
dan 2 menit untuk bangun dari tidurnya.
Tikus kelima diberikan aquadest dosis pada manusia 1 ml melalui
rute peroral. Tikus ditimbang dan dihitung dosis aquadest yang akan
diberikan. Berat badan tikus 5 adalah 160 g dan aquadest yang diberikan
adalah 0,8 ml. Setelah diberikan perlakuan, tikus diletakkan kedalam
kandangnya kembali. Hasil yang didapatkan pada tikus ke5, tikus ke 5 tidak
tertidur setelah diberikan aquadest.
Pada praktikum kali ini, hasil yang didapatkan tidak sesuai literatur,
dimana rute pemberian dengan onset tercepat seharusnya adalah melalui
intravena. Namun, hasil yang didapat tidak ada perbedaan signifikan antara
masing–masing perlakuan. Hasil durasi obat yang didapat pun tidak sesuai
yang diharapkan, dimana durasi yang tercepat seharusnya adalah melalui
rute oral. Namun, hasil yang didapat tidak ada perbedaan signifikan durasi
obat antara masing-masing perlakuan. Hal ini mungkin disebabkan karena
kesalahan praktikan dalam penyuntikan serta keadaan lab yang terlalu
bising yang menyebabkan tikus sulit tertidur serta mudah terbangun dari
tidurnya.
BAB V
PENUTUP
V.1. Kesimpulan
1. Dari praktikum yang dilakukan, onset yang tercepat adalah melalui rute
oral dan durasi yang tercepat adalah melalui rute subkutan.
2. Hasil yang didapatkan tidak sesuai dengan literatur yang disebabkan
kesalahan penyuntikan dan kondisi lab yang tidak kondusif.
V.2. Saran
Diharapkan kepada praktikan agar lebih teliti dan lebih berhati – hati
dalam melaksanakan praktikum di dalam laboratorium dan diharapkan agar
dapat menambah fasilitas laboratorium agar kedepannya praktikum dapat
dilakukan lebih maksimal dan efektif serta efisien.
DAFTAR PUSTAKA
Mawarsari, Titis. 2015. Uji Aktivitas Penyembuhan Luka Bakar Ekstrak Etanol
Umbi Talas Jepang (Colocasia esculenta L. Schott var. antiquorum) Pada
Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Galur Sprague Dawley. Jakarta: UIN
Syarif Hidayatullah.
Nuryati. 2017. Farmakologi Bahan Ajar Rekam Medis dan Informasi Kesehatan
(RMIK). Jakarta: Kemenkes RI.
Putra, Sitiatava Rizema. 2012. Buku Pintar Apoteker. Yogyakarta: Diva Press.
Sulanjani, Ian, Andini, Meiana Dwi dan Marta Halim. 2013. Dasar – Dasar
Farmakologi 1. Jakarta: BSD.
= 0,054 mg
0,054 𝑚𝑔
VP untuk Tikus = 0,3 𝑚𝑔/𝑚𝑙
Vp = 0,18 ml
2. Perhitungan Dosis Diazepam Tikus 2 (Intravena)
Dosis manusia = 5 mg
Dosis tikus = dosis manusia x Fk
= 5 mg x 0,018
= 0,09 mg
BB tikus = 160 gram
Konsentrasi Suspensi = 15 mg/50 ml = 0,03 mg/ml
𝐵𝐵 𝑡𝑖𝑘𝑢𝑠 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑡𝑖𝑚𝑏𝑎𝑛𝑔
Dosis Diazepam untuk tikus = 𝑥 𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑡𝑖𝑘𝑢𝑠
200 𝑔𝑟𝑎𝑚
160 𝑔𝑟𝑎𝑚
= 200 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑥 0,09 𝑚𝑔
= 0,072 mg
0,072 𝑚𝑔
VP untuk Tikus = 0,3 𝑚𝑔/𝑚𝑙
Vp = 0,24 ml
3. Perhitungan Dosis Diazepam Tikus 3 (Intramuskular)
Dosis manusia = 5 mg
Dosis tikus = dosis manusia x Fk
= 5 mg x 0,018
= 0,09 mg
BB tikus = 140 gram
Konsentrasi Suspensi = 15 mg/50 ml = 0,03 mg/ml
𝐵𝐵 𝑡𝑖𝑘𝑢𝑠 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑡𝑖𝑚𝑏𝑎𝑛𝑔
Dosis Diazepam untuk tikus = 𝑥 𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑡𝑖𝑘𝑢𝑠
200 𝑔𝑟𝑎𝑚
140 𝑔𝑟𝑎𝑚
= 200 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑥 0,09 𝑚𝑔
= 0,063 mg
0,063 𝑚𝑔
VP untuk Tikus = 0,3 𝑚𝑔/𝑚𝑙
Vp = 0,21 ml
4. Perhitungan Dosis Diazepam Tikus 4 (Subkutan)
Dosis manusia = 5 mg
Dosis tikus = dosis manusia x Fk
= 5 mg x 0,018
= 0,09 mg
BB tikus = 120 gram
Konsentrasi Suspensi = 15 mg/50 ml = 0,03 mg/ml
𝐵𝐵 𝑡𝑖𝑘𝑢𝑠 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑡𝑖𝑚𝑏𝑎𝑛𝑔
Dosis Diazepam untuk tikus = 𝑥 𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑡𝑖𝑘𝑢𝑠
200 𝑔𝑟𝑎𝑚
120 𝑔𝑟𝑎𝑚
= 200 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑥 0,09 𝑚𝑔
= 0,054 mg
0,054 𝑚𝑔
VP untuk Tikus = 0,3 𝑚𝑔/𝑚𝑙
Vp = 0,18 ml
5. Perhitungan Dosis Aquadest Tikus 5 (Peroral)
1 𝑚𝑙
= 160 𝑔 𝑥 200 𝑔𝑟
160
= 200 = 0,8 𝑚𝑙