Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI

PRAKTIKUM 4
ANESTESI UMUM

DISUSUN OLEH
KELOMPOK 3 GOLONGAN II

Ega Wida Agatta 2008551036


Kadek Angga Dwi Sputra 2008551037
I Gede Krishna Wira Pradnyana 2008551038
Jeditya Shalom 2008551039
Ni Made Sugi Pradnyasuari 2008551040

DOSEN PENGAMPU :
Dewa Ayu Swastini, S. Farm., M. Farm., Apt.

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG PRAKTIKUM


Anestesi umum adalah suatu zat yang membuat depresi sistem saraf pusat sehingga
terjadi penurunan kesadaran untuk keperluan pembedahan. Zat ini pertama kali digunakan oleh
seorang dokter di pedesaan Georgia, Crawford Long, pada tahun 1842, namun pertama kali
dipublikasikan oleh William T.G. Morton, seorang dokter gigi di Boston. Eter adalah anestesi
ideal pertama yang sangat poten dan tidak mengurangi kadar oksigen di kamar operasi sampai
level hipoksia. Oleh karena itu, eter tidak membahayakan respirasi dan sirkulasi, dimana pada
masa itu, pemahaman manusia akan keterampilan menangani kedaruratan respirasi dan
sirkulasi belum seperti sekarang (Goodmann and Gillmann, 2006).
Status anestesi umum pada dasarnya mencakup analgesia, amnesia,hilangnya kesadaran,
terhambatnya refleks sensorik dan otonomik, serta dalambanyak kasus relaksasi otot bergaris.
Sejauh mana suatu anastetika tertentudapat menimbulka efek-efek di atas berbantung pada
obat-obat itu sendiri,dosisnya dan kondisi klinis. Selanjutnya, anestesi yang digunakan ialah
chloroform pada tahun 1847 yang diperkenalkan oleh seorang dokter kandungan, James
Simpson. Lalu, perkembangan anestesi umum diikuti oleh penggunaan cyclopropane pada
tahun 1929 dan penggunaan hallotan pada tahun 1956 yang kemudian menjadi anestesi yang
sering digunakan (Goodmann and Gillmann, 2006).
Di samping dikembangkannya anestesi umum inhalasi, anestesi umum intravena juga
dikembangkan pada awal abad 20, salah satunya ialah theopental yang mulai dikembangkan
pada tahun 1935. Namun, anestesi tersebut dapat menyebabkan depresi serius pada sistem
sirkulasi, respirasi, dan saraf. Bagaimanapun, anestesi intravena tetap digunakan untuk induksi
anestesi umum (Goodmann and Gillmann, 2006).
1.2. MAKSUD DAN TUJUAN PRAKTIKUM
1.2.1 Tujuan Umum
• Untuk mengetahui efek dari obat anestesi umum.
1.2.2 Tujuan Khusus
• Untuk mengetahui stadium-stadium anestesi umum
• Untuk mengetahui cara menganestesi hewan coba

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Anestesi dibagi menjadi dua kelompok berdasarka yaitu anestesi lokal dan anestesi
umum. Anestesi lokal merupakan hilangnya rasa sakit atau nyeri secara reversibel pada area
tubuh tertentu tanpa disertai dengna hilangnya kesadaran sedangkan anestesi umum
merupakan hilangnya rasa sakit secara reversibel disertai dengan hilangnya kesadaran.
Tindakan anestesi digunakan untuk mempermudah tindakan operasi maupun memberikan rasa
nyaman pada pasien selama operasi. Anestesi lokal didefinisikan sebagai suatu tindakan yang
menyebabkan hilangnya sensasi rasa nyeri pada sebagian tubuh secara sementara yang
disebabkan adanya depresi eksitasi di ujung saraf atau penghambatan proses konduksi pada
saraf perifer. Anestesi lokal menghilangkan sensasi rasa nyeri tanpa hilangnya kesadaran yang
menyebabkan anestesi lokal berbeda secara dramatis dari anestesi umum. Anestesi umum dapat
dibagi menjadi 3 jenis yaitu, anestesi volatil (inhalasi) dan non-volatil (injeksi/parenteral) dan
anestesi gabungan dari kedua jenis anestesi tersebut (kombinasi). Tanda-tanda anestesi umum
telah bekerja adalah hilangnya kordinasi anggota gerak, hilannya respon saraf perasa dan
pendengaran, hilangnya tonus otot, terdepresnya medulla oblongata sebagai pusat respirasi,
dan vasomotor, dan bila terjadi overdosis hewan akan mengalami kematian (Sudisma et al.,
2006). Anestesi umum inhalasi yang biasa digunakan pada hewan adalah halotan, isofluran,
sevofluran, desfluran, diethyl eter, dan nitrous oksida sedangkan anestesi umum yang biasa
diberikan secara injeksi meliputi barbiturat (thiopental, methohexical, dan pentobarbital),
cycloheksamin (ketamin, tiletamin), etomidat, dan profol, (Sudisma et al., 2006). Adapun
beberapa mekanisme dari masing masing obat anaestesi umum tersebut yaitu sebagai berikut:

2.1. MEKANISME OBAT ANESTESI INHALASI

Menurut BPOM Anestetik inhalasi merupakan anastetik yang dapat berupa gas atau
cairan volatil (mudah menguap). Oleh karena anestetik inhalasi berbentuk gas maka
memerlukan peralatan yang cocok dalam penyimpanan dan penggunaan. Obat dalam
golongan anestesi inhalasi dapat disalurkan melalui pipa rumah sakit atau tabung metal.
Pemberian cairan anestetik volatil menggunakan , menggunakan udara, penguap
terkalibrasi, oksigen, atau campuran nitrogen oksida-oksigen sebagai gas pembawa.
Anestesik inhalsi ini dapat memicu terjadinya hipertermia maligna. Untuk mencegah
hipoksia, anestetik inhalasi harus diberikan dengan kadar oksigen yang lebih besar

2
daripada kadar di udara (BPOM, 2015). Anestesi inhalasi memiliki keuntungan pada
potensi dan konsentrasinya yang dapat dikendalikan melalui mesin, dengan titrasi dosis
untuk menghasilkan respon yang diinginkan (Morgan E.G, dkk, 2006). Adapun beberapa
contoh obat-obat yang merupakan Anestesi Inhalasi :

1. Halotan merupakan cairan anestetik volatil. Keunggulan penggunaan halotan yaitu


efeknya kuat, jarang menyebabkan batuk atau menyebabkan penahanan nafas,
induksi bersifat halus, dan uapnya tidak mengganggu bila terhirup. Meski memiliki
kelebihan ini, halotan saat ini lebih jarang digunakan karena terkait dengan
hepatotoksisitas yang berat. Halotan menyebabkan depresi kardiorespiratori.
Depresi pernafasan mengakibatkan peningkatan tekanan karbondioksida arterial
dan mungkin menimbulkan aritmia ventrikuler. Halotan juga mendepresi serat otot
jantung dan mungkin juga bradikardia yang mengakibatkan curah jantung
berkurang dan tekanan arterial menurun. (BPOM, 2015)

2. Isofluran merupakan anestetik yang memiliki efek anestesi lebih rendah daripada
halotan. Isofluran merupakan halogenasi eter, yang berbentuk cairan, tak berwarna,
tidak ekplosif, tidak mengandung zat pengawet dan relatif tidak larut dalam darah
tetapi cukup iritatif terhadap jalannya pernafasan. Proses induksinya dan
pemulihannya relatif lebih cepat dibandingkan dengan obat-obatan anestesi
inhalasi yang ada saat ini tetapi masih lebih lambat daripada sevofluran (Mangku
dan Senapathi., 2010).

3. Desfluran merupakan anestetik kerja cepat, berupa cairan volatil, dilaporkan


memiliki kekuatan seperlima dari isofluran. Mungkin diperlukan pemberian
penghilang nyeri lebih awal setelah operasi karena pemulihan anestesia
berlangsung cepat. Karena pengalaman yang terbatas, obat ini tidak dianjurkan
untuk digunakan pada kasus bedah syaraf. Obat ini juga tidak direkomendasikan
untuk induksi pada anak- anak karena sering menimbulkan batuk, nafas tertahan
(breath holding), apnoe, spasme laring, dan peningkatan sekresi. Risiko
hepatotoksisitas dengan desfluran pada mereka yang sensitif terhadap anestetik
terhalogenasi tampaknya amat sedikit (BPOM, 2015).

4. Sevofluran merupakan anestetik volatil cair kerja cepat, lebih kuat dari desfluran.
Sevofluran merupakan halogenasi eter yang memiliki proses induksi dan
pemeliharaan paling cepat daripada obat-obat anestesi inhalasi yang ada.

3
Sevofluran relatif stabil dan tidak menimbulkan aritmia selama anestesi
berlangsung. Tahanan vaskuler dan curah jantung sedikit menurun sehingga
tekanan darah pun sedikit menurun (Mangku dan Senapathi, 2010).

Cara pemberian anestesi dengan obat-obatan inhalasi dibagi menjadi empat Menurut
Goodman dan Gilman (2012), yatitu sebagai berikut :

a) Open drop method

Cara ini dapat digunakan untuk zat anestetik yang menguap, peralatan
sederhana dan tidak mahal. Zat anestetik diteteskan pada kapas yang ditempelkan
pada hidung sehingga kadar zat anestetik dihirup tidak diketahui karena zat
anestetik menguap ke udara terbuka.

b) Semi open drop method

Metode ini memiliki cara kerja hampir sama dengan open drop, hanya untuk
mengurangi terbuangnya zat anestetik digunakan masker. Karbondioksida yang
dikeluarkan sering terhisap kembali sehingga dapat mengakibatkan hipoksia dan
untuk menghindari hal tersebut, pada masker dialirkan oksigen melalui pipa yang
ditempatkan di bawah masker.

c) Semi closed method

Metode ini mempunyai mekanisme yaitu udara yang dihisap diberikan bersama
oksigen murni yang dapat ditentukan kadarnya, kemudian dilewatkan pada
penguap (vaporizer) sehingga kadar zat anestetik dapat ditentukan. Keuntungan
cara ini, kedalaman anestesi dapat diatur dengan memberikan kadar tertentu zat
anestetik sehingga hipoksia dapat dihindari dengan pemberian O2.

d) Closed method

Metode ini mirip dengan semi closed, hanya udara ekspansi dialirkan melalui
absorben yang dapat mengikat karbondioksida, sehingga udara yang mengandung
zat anestetik dapat digunakan lagi (Goodman dan Gilman, 2012).

2.2. MEKANISME OBAT ANESTESI INJEKSI

Anestetik intravena merupakan anestesi yang dapat digunakan baik untuk


pemeliharaan anestesia maupun induksi anestesia selama tindakan operasi. Anestetik

4
intravena hampir seluruhnya menghasilkan efek dalam waktu satu masa sirkulasi lengan-
otak (arm-brain circulation time) dan dapat menyebabkan apneu dan hipotensi,
karenanya harus selalu tersedia fasilitas resusitasi yang memadai. Anestetik intravena ini
tidak boleh diberikan bila anestesiolog tidak yakin dapat mempertahankan bebasnya
jalan nafas, contohnya dalam kasus tumor pada faring atau laring dan pada seseorang
dengan kegagalan sirkulasi akut (syok) atau fixed cardiac output (BPOM, 2015). Adapun
beberapa contoh obat dalam golongann anestesi injeksi

1. Natrium tiopental (Natrium tiopenton) merupakan bat ini dapat mengurangi


aktivitas saraf pada otak sehingga bisa membuat seseorang merasa rileks dan
mengantuk. Induksi biasanya berlangsung lancar dan cepat tetapi dapat
menyebabkan depresi kardiorespiratori yang dose-related. Pemulihan kesadaran
dari pembiusan dengan tiopental dosis sedang dapat terjadi cepat hal tersebut
terjadi karena obat mengalami redistribusi di dalam jaringan. Walaupun demikian,
metabolisme berlangsung lambat dan efek sedatifnya bertahan sampai 24 jam.
Dosis berulang menimbulkan efek kumulatif dan pemulihan berlangsung lebih
lambat.

2. Etomidat adalah anestesi intravena kerja singkat yang digunakan untuk pembiusan
saat akan dilakukan prosedur yang membutuhkan prosedur pembiusan dalam
waktu yang cepat dan singkat. Etomidate sering kali digunakan untuk prosedur
singkat seperti mengembalikan kardioversi, dislokasi sendi, dan
pemasangan saluran pernapasan (intubasi trakea).

3. Propofol meupakan suatu obat kerja singkat yang memengaruhi penurunan tingkat
kesadaran dan berkurangnya ingatan pada saat pemakaian. Obat digunakan
sebagai anestesi umum awal dan pemeliharaan, sedasi untuk obat
penenang prosedural dan ventilasi mekanis. Propofol digunakan untuk status
epileptikus jika obat lain tidak berhasil. Efek maksimalnya memerlukan waktu
sekitar dua menit dan biasanya berlangsung lima sampai sepuluh menit. (BPOM,
2015).

2.3. MEKANISME OBAT ANESTESI TOPIKAL

Anestesi topikal adalah obat bius lokal yang digunakan untuk mematikan
permukaan bagian tubuh saja. Anestesi topikal dilakukan dengan cara memberikan bahan
anestetikum lokal tertentu pada daerah kulit atau membran mukosa yang dapat

5
dipenetrasi oleh bahan untuk menganestesi bagian ujung- ujung saraf superfisial. Semua
bahan anestetikum lokal dapat menganestesi sedalam 2-3 mm dari permukaan jaringan
dan dapat memberikan efek anestesi selama 10 menit apabila digunakan dengan tepat
(Amalia, 2008). Bahan anestesi topikal tersedia dalam bentuk gel dan dalam bentuk
aerosol yang memiliki bahan aktif Lignokain Hidroklorida 10% yang biasa disebut
dengan etil klorida. Etil klorida digunakan dengan menggunakan kapas kecil yang
kemudian diletakan pada daerah kerja dan biarkan sekitar 1 menit hingga mukosa kering
dan berwarna pucat. Etil klorida dapat diaplikasikan langsung ke daerah kerja apabila
digunakan untuk melakukan insist abses (Amalia, 2008).

2.4. TAHAP-TAHAP ANESTESI

Menurut Munaf (2008) stadium anestesi dapat dibagi menjadi 4 bagian yaitu :

• Stadium I (stadium induksi atau eksitasi volunter)


Stadium ini dimulai dari pemberian agen anestesi sampai kesadaran
menghilang. Rasa takut dapat meningkatkan frekuensi nafas dan pulsus, dilatasi
pupil, dapat terjadi urinasi dan defekasi.
• Stadium II (stadium eksitasi involunter),
Stadium ini dimulai dari hilangnya kesadaran sampai permulaan stadium
pembedahan (stadium III). Pada stadium II terjadi eksitasi dan gerakan yang tidak
sesuai kehendak, muntah, midriasis, hipertensi, pernafasan tidak teratur,
inkontinensia urin, dan takikardia.
• Stadium III (pembedahan/operasi)
Stadium ini dapat dibagi kedalam 3 bagian yaitu : Plane I yang ditandai dengan
pernafasan yang teratur dan terhentinya anggota gerak. Tipe pernafasan thoraco-
abdominal, bola mata bergerak-gerak, refleks pedal masih ada, palpebra, kornea
dan konjuctiva terdispersi. Plane II, ditandai dengan respirasi thoraco-abdominal
dan bola mata ventro medial semua otot mengalami relaksasi kecuali otot perut.
Plane III, ditandai dengan respirasi regular, abdominal, bola mata kembali ke
tengah dan otot perut relaksasi.
• Stadium IV (paralisis medulla oblongata atau overdosis),
Stadium ini ditandai dengan pulsus cepat, paralisis otot dada, dan pupil dilatasi.
Bola mata menunjukkan gambaran seperti mata ikan karena terhentinya sekresi
lakrimal (Munaf, 2008).

6
Dalam Praktikum ini digunakan zat anestesi yaitu eter sebagai anestesi inhalasi. Eter
merupakan cairan tidak berwarna, mudah menguap, berbau, mudah meledak, dan mudah
terbakar. Sifat analgesik eter sangat kuat dimana dengan kadar dalam darah 10-15 mg %
sudah terjadi efek analgesia tetapi pasien masih sadar. Efek pada kadar tinggi dan sedang
dapat menimbulkan relaksasi otot karena efek sentral dan hambatan neuromuscular. Eter
diabsorpsi dan disekresi melalui paru-paru dan sebagian kecil diekskresi melalui urine,
keringat, dan difusi melalui kulit. (Munaf, 2008).

7
BAB III

METODE KERJA

3.1. ALAT DAN BAHAN:


3.1.1. Alat :
• Sungkup
• Jarum pentul
• Stetoskop
• Kapas
• Senter
• Arloji
• Penggaris
3.1.2. Bahan:
• Eter

3.2. HEWAN YANG DIGUNAKAN

Hewan yang digunakan adalah Kelinci.

3.3. CARA KERJA


1. Dilakukan pemeriksaan awal :
- Respirasi (frekwensi nafas, dalamnya pernafasan)
- Mata (gerak mata, lebar pupil, reflek pupil, reflek kornea)
- Otot (tonus, gerak)
- Analgesia
- Saliva
- Muntah
2. Sungkup dipasang pada moncong kelinci (menutup mulut dan hidung). Posisi kasa di
atas. Dipastikan tidak ada ruang/celah (tidak bocor).
3. Eter diteteskan dengan kecepatan 30 tetes/menit pada kasa di bagian atas sungkup
hingga tercapai stadium anestesi. Amati tanda-tanda khas stadium anestesi.
4. Waktu terjadinya stadium anestesi sampai tercapai stadium anestesi optimal untuk
operasi dicatat.

8
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1. TABEL HASIL PENGAMATAN

Menit ke- 0 2 5 10 20
Stadium - I II III Pulih
Frekuensi 116/menit − − 82/menit −
Respirasi
Dalam Tidak − − Dalam −
Gerak
Normal − − Tidak ada −
Mata
Lebar
7 mm − − 5 mm −
E Pupil
Mata
V Reflek Tidak
Bergerak − − −
A Pupil Berferak
L Reflek Tikda
Berkedip − − −
U Kornea berkedip
A Ada Tidak ada
S Tonus tahanan/ − − tahanan/ −
I Otot tarikan tarikan
Pergerakan Tidak ada
Gerak − − −
normal pergerakan
Tidak
Analgesia Nyeri − − −
nyeri
Saliva Tidak ada − − Tidak ada −
Muntah Tidak ada − − Tidak ada −

Jumlah eter yang diberikan = 120 tetes

Praktikum dimulai dengan melakukan pemeriksaan awal hewan, yang meliputi


respirasi (frekuensi napas, dalam pernafasan), mata (gerak mata, lebar pupil, reflek pupil, reflek
kornea), otot (tonus, gerak), analgesia, saliva, dan muntah. Pada praktikum ini, hewan uji dalam
keadaan normal memiliki frekuensi pernafasan 116/ menit dan pernafasan yang tidak dalam;

9
pada mata terdapat gerakan yang normal, lebar pupil sebesar 7 mm, dan terdapat reflek pada
pupil mata ketika disinari cahaya dan adanya reflek kornea saat mata digoresi oleh tissue; pada
pemeriksaan tonus terdapat gerak menarik kembali dari hewan uji saat ditarik kakinya, dan
secara keseluruhan gerakan hewan uji normal dan tenang; pada evaluasi analgesia yang dapat
dilakukan dengan menjepit telinga kelinci dengan pinset, kelinci menunjukkan adanya rasa
sakit dengan menarik telinganya; dan kelinci tidak meunjukkan adanya saliva berlebih dan
muntah.

Proses anetesi dilanjutkan dengan meneteskan eter pada pukul 10.35, setelah eter
diteteskan sebanyak 120 tetes, stadium I anestesi tercapai pada pukul 10.37 atau 2 menit setelah
penetesan. Stadium I (analgesia) dimulai sejak saat pemberian anestetik sampai hilangnya
kesadaran. Pada data praktikum yang tersedia tidak dituliskan tanda apa saja yang ditunjukkan
oleh kelinci, namun secara teori pada stadium ini pasien tidak lagi merasakan nyeri (analgesia),
tetapi masih tetap sadar dan dapat mengikuti perintah.

Stadium II anestesi tercapai pada pukul 10.40 atau 5 menit setelah penetesan eter atau
3 menit setelah stadium I. Stadium II, yakni eksitasi atau delirium, dimulai sejak hilangnya
kesadaran sampai munculnya pernapasan yang teratur yang merupakan tanda dimulainya
stadium pembedahan. Pada data praktium yang tersedia juga tidak dituliskan tanda apa saja
yang ditunjukkan kelici, namun secara teori pada stadium ini pasien tampak mengalami
delirium dan eksitasi dengan gerakan-gerakan di luar kehendak. Pernapasan tidak teratur,
kadang- kadang apnea dan hyperpnea, tonus otot rangka meninggi, kadang sampai mengalami
inkontinesia dan muntah. Hal ini terjadi karena hambatan pada pusat inhibisi. Pada stadium ini
dapat terjadi kematian, sehingga stadium ini diusahakan cepat dilalui.

Stadium III anestesi tercapai pada pukul 10.45 atau 10 menit sejak eter diberikan atau
5 menit setelah stadium II. Stadium III (Pembedahan) dimulai dengan timbulnya kembali
pernapasan yang teratur. Pada stadium ini, frekuensi napas menurun dari frekuensi normalnya
menjadi 82/menit; pada mata tidak ada pergerakan, lebar pupil menurun menjadi 5 mm, dan
tidak ada respon saat diuji reflek pupil dan kornea; pada evaluasi otot tidak terdapat tonus dan
gerakan pada kelinci, misal saat badan kelinci dibalikkan tidak ada respon untuk membalikkan
kembali badannya; pada evaluasi analgesia saat telinga kelinci dijepit oleh pinset, kelinci tidak
menunjukkan reflek apapun yang berarti kenlinci tidak mampu untuk merasakan nyeri; kelinci
tidak menunjukkan adanya saliva berlebih dan muntah. Secara teori, stadium III memiliki 4
tingkatan, keempat tingkat dalam stadium pembedahan ini dibedakan dari perubahan pada

10
gerakan bola mata, refleks bulu mata dan konjungtiva, tonus otot, dan lebar pupil yang
menggambarkan semakin dalamnya pembiusan.

1. Tingkat 1: pernapasan teratur, spontan, dan seimbang antara pernapasan dada dan perut;
gerakan bola mata terjadi di luar kehendak, miosis, sedangkan, tonus otot rangka masih
ada.
2. Tingkat 2: pernapasan teratur tetapi frekuensinya lebih kecil, bola mata tidak bergerak,
pupil mata melebar, otot rangka mulai melemas, dan refleks laring hilang sehingga pada
tingkat dapat dilakukan intubasi.
3. Tingkat 3: pernapasan perut lebih nyata daripada pernapasan dada karena otot
interkostal mulai lumpuh, relaksasi otot rangka sempurna, pupil lebih lebar tetapi belum
maksimal.
4. Tingkat 4: pernapasan perut sempurna karena otot interkostal lumpuh total, tekanan
darah mulai menurun, pupil sangat lebar dan refleks cahaya menghilang. Pembiusan
hendaknya jangan sampai ke tingkat 4 ini sebab pasien akan mudah sekali masuk ke
stadium IV yaitu ketika pernapasan sopntan melemah. Untuk mencegah ini, harus
diperhatikan benar sifat dan dalamnya pernapasan, lebar pupil dibandingkan dengan
keadaan normal, dan turunnya tekanan darah

Pada pukul 10.55, setelah 10 menit sejak stadium III dimulai atau 20 menit sejak eter
diteteskan, kelinci pulih kembali dan efek anestesi mulai menghilang.

11
BAB V

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengamatan dan studi literatur yang telah dilakukan, dapat disimpulkan
hal-hal berikut ini.

1. Anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi lokal dan anestesi umum. Anestesi
lokal merupakan hilangnya rasa sakit atau nyeri secara reversibel pada area tubuh tertentu
tanpa disertai dengan hilangnya kesadaran sedangkan anestesi umum merupakan hilangnya
rasa sakit secara reversibel disertai dengan hilangnya kesadaran.
2. Mekanisme pemberian obat dapat dibagi menjadi tiga, yaitu anestesi inhalasi, anestesi
injeksi, dan anestesi topikal. Anastesi inhalasi bisa berupa gas atau cairan volatil (mudah
menguap). Anestetik intravena hampir seluruhnya menghasilkan efek dalam waktu satu
masa sirkulasi lengan-otak (arm-brain circulation time) dan dapat menyebabkan apneu dan
hipotensi, karenanya harus selalu tersedia fasilitas resusitasi yang memadai. Anestesi
topikal adalah obat bius lokal yang digunakan untuk mematikan permukaan bagian tubuh
saja.
3. Stadium I (analgesia) dimulai sejak saat pemberian anestetik sampai hilangnya kesadaran,
tercapai pada pukul 10.37. Secara teori pada stadium ini pasien tidak lagi merasakan nyeri
(analgesia), tetapi masih tetap sadar dan dapat mengikuti perintah
4. Stadium II, dicapai pada pukul 10.40, yakni eksitasi atau delirium, dimulai sejak hilangnya
kesadaran sampai munculnya pernapasan yang teratur yang merupakan tanda dimulainya
stadium pembedahan. secara teori pada stadium ini pasien tampak mengalami delirium dan
eksitasi dengan gerakan-gerakan di luar kehendak. Pernapasan tidak teratur, kadang-
kadang apnea dan hyperpnea, tonus otot rangka meninggi, kadang sampai mengalami
inkontinesia dan muntah.
5. Stadium III (Pembedahan) tercapai pada pukul 10.45, dimulai dengan timbulnya kembali
pernapasan yang teratur. Frekuensi pernafasan turun menjadi 82/menit dan lebar pupil
berkurang menjadi 5 mm. Secara teori, stadium III memiliki 4 tingkatan yang dibedakan
berdasarkan perubahan pada gerakan bola mata, refleks bulu mata dan konjungtiva, tonus
otot, dan lebar pupil yang menggambarkan semakin dalamnya pembiusan.

12
DAFTAR PUSTAKA

Amalia,M. 2008. Anestesi Lokal Pada Kedokteran Gigi Anak. Sumatera Utara: Universitas
Sumatera Utara

Badan POM. 2015. Anestetik Inhalasi. http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-15-anestesia/151-


anestetik-umum/1512-anestetik-inhalasi. Diakses pada 22 Mret 2021.

Badan POM. 2015. Anestesia. http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-15-anestesia/151-anestetik-


umum/1511-anestetik-intravena. Diakses pada 22 Mret 2021.

Departemen Farmakologi dan Teraupetik. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: FK
UI.

Goodman, L. S and A. Gilman. 2006. The Pharmacological Basis of Therapeutics. 11th Ed.
New York: Macmillan Publishing Co. Inc.

Goodman dan Gilman. 2012. Dasar Farmakologi Terapi. Edisi 10. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

Mangku, G dan Senapathi, T. G. A. 2010. Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta: PT. Indeks.

Morgan, G Edward, S Mikhail. 2006. Clinical Anesthesiology. New York: MC Graw Hill.

Munaf, S. 2008. Buku Ajar Ilmu Anestesi dan Reanimasi. Jakarta: PT.Indeks

Sudisma, I.G.N., G.A.G. Pemayun., A.A.G.J. Wardhita.,I.W.Gorda. 2006. Ilmu Bedah


Veteriner dan Teknik Operasi. Edisi I. Denpasar: Pelawa Sari.

13

Anda mungkin juga menyukai