Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN LENGKAP

FARMAKOLOGI
“ANASTESI DAN HIPNOTIK SEDATIF”

OLEH:

KELOMPOK III
GOLONGAN I
STIFA D3 2019

ASISTEN : LYDIA NADE CLAUDIA TANDAWIYA S. FARM

LABORATORIUM FARMAKOLOGI FARMASI


PROGRAM STUDI DIPLOMA III FARMASI
SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI MAKASSAR
MAKASSAR
2020
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Anastesi adalah suatu tindakan menghilangkan rasa sakit atau
nyeri ketika melakukan tindakan pembedahan dan berbagai prosedur
lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh (Amarta, 2012). Anastesi
dibagi menjadi dua, anastesi umum dan anastesi lokal. Anastesi umum
adalahsuatukondisi yang ditandai dengan hilangnya persepsi terhadap
semua sensasi akibat induksi obat, dalam hal ini selain hilangnya rasa
nyeri dan kesadaran juga hilang (Sriwijaya, 2008).
Anastesi lokal merupakan hilangnya sensasi rasa sakit dengan
cara aplikasi atau injeksi obat anastesi yang dapat menghambat konduksi
saraf (terutama nyeri) secara sementara pada daerah tertentu di bagian
tubuh tanpa disertai dengan hilangnya kesadaran (Hasanah, 2015).
Anastesi lokal dalam bidang kedokteran gigi, secara umum diindikasi
untuk berbagai tindakan bedah yang dapat menimbulkan rasa sakit yang
tidak dapat tertahankan oleh pasien (Putri, 2015).
Pelayanan anestesi untuk menunjang tindakan operasi telah
dilakukan selama berabad-abad. Bagaimanapun, kemajuan tehnik
anestesi modern memungkinkan operasi menjadi lebih aman. Ahli
anastesi yang berpengetahuan baik, waspada dan aman dalam merawat
pasien. Pengetahuan fisiologi dan farmakologi yang baik, dilengkapi
dengan monitor yang terus menerus membuat praktik anestesi lebih aman
dikerjakan (Jasa, 2014).
Tindakan anastesi merupakan usaha untuk menghilangkan nyeri
dengan tehnik-tehnik tertentu yang dipakai dalam tindakan operasi.
Perkembangan tehnik operasi modern tidak hanya terbatas pada
pemahaman terhadap proses-proses penyakit, anatomi, dan asepsis
berhubungan dengan pembedahan tetapi juga mengenai ketiadaan
tehnik-tehnik anesthetic aman dan dapat dipercaya. Tehnik-tehnik ini
awalnya berkembang Anesthesia Inhalasi yang diikuti oleh Anesthesia
Regional, Anesthesia Local dan Anesthesia Intravena. Perkembangan dari
anesthesia berhubungan dengan tehnik operasi merupakan salah satu
penemuan-pnemuan yang paling penting di dalam sejarah peradaban
manusia (Morgan, et al. 2004).
Obat sedative-hipnotik merupakan golongan obat pendepresi
susunan saraf pusat (SSP). Efeknya bergantung kepada dosis, mulai dari
yang ringan yaitu menyebabkan tenang atau kantuk, menidurkan, hingga
yang berat yaitu menghilangkan kesadaran, keadaan anastesi, koma dan
mati. Pada dosis terapi, obat sedatif menekan aktivitas mental,
menurunkan respons terhadap rangsangan emosi sehingga
menenangkan. Obat hipnotik menyebabkan kantukdan mempermudah
tidur serta mempertahankan tidur yang menyerupai tidur fisiologis
(Gunawan, 2007). Obat-obat golongan sedatif-hipnotik ditinjau dari aspek
medis menyebabkan timbulnya efek samping yang cukup berbahaya bagi
pemakainya seperti habituasi, toleransi bahkan adiksi jika digunakan
dalam waktu lama. Melihat dari kejadian tersebut, sangat diperlukan
danya obat tradisional sebagai alternative pengobatan dengan efek
samping yang lebih minimal, efektif, aman, murah, dan mudah di dapat
untuk mengurangi masalah tersebut, terutama untuk mengurangi terapi
dengan berbagai macam obat (Novindriani, 2013).
I.2 Maksud dan Tujuan Percobaan
I.2.1 Maksud Percobaan
Adapun maksud dari percobaan ini dilakukan agar kita dapat mengetahui
dan memahami efek farmakodinamik dan obat hipnotik sedativ.
I.2.2 Tujuan percobaan
Adapun tujuan percobaan ini dilakukan yaitu untuk mengetahui efek
farmakodinamik dan obat hipnotik sedatif.
I.2.3 Prinsip Percobaan
Adapun prinsip percobaan dari praktikum ini yaitu didasarkan pada
pengamatan efektivitas pemberian obat anastesi yakni eter ((C2H5)2O), dan
oobat hipnootik-sedatif yakni diazepam, NaCMC, dan fenobarbital pada
hewan coba berdasarkan omset dan durasinya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Dasar Teori
II.1.1 Anastesi
Anestesi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan rasa sakit
ketika dilakukan pembedahan dan berbagai prosedur lain yang
menimbulkan rasa sakit, dalam hal ini rasa takut perlu ikut dihilangkan
untuk menciptakan kondisi optimal bagi pelaksanaan pembedahan.
Tujuan anastesi adalah untuk menyediakan, atau menghilangkan rasa
sakit. Memblokir impuls saraf dari bagian bawah segmen tulang belakang
yang mengakibatkan penurunan sensasi di bagian bawah tubuh. Obat
epidural jatuh ke dalam kelas obat yang disebut bius lokal seperti
bupivacaine, chloroprocaine, atau lidokain.. Mereka sering disampaikan
dalam kombinasi dengan opioid atau narkotika, seperti fentanyl dan
sufentanil, untuk mengurangi dosis yang diperlukan bius lokal. (Sabiston,
2011).
Anestetik dibagi dalam dua golongan, yaitu anestetik umum yang
meniadakan rasa, tetapi juga meniadakan kesadaran dan anestetik lokal
atau zat-zat penghilang rasa setempat (Sabiston, 2011).
II.1.1.1 Anestesi Umum
Tindakan anestesia telah dikenal sejak lama sebagai upaya untuk
mempermudah orang melakukan tindakan operasi. Orang Mesir
menggunakan narkotik, sementara orang China menggunakan Cannabis
indica (ganja) untuk menghilangkan kesadaran sehingga si pasien tidak
merasakan nyerinya Anestetik umum menekan sistem saraf pusat,
mengurangi nyeri, dan menyebabkan hilangnya kesadaran. Anestetik
yang pertama dikenal adalah N 2O (1776), gas ini masih merupakan
anestetik yang efektif dan kini seringkali dipakai untuk pembedahan gigi.
Kemudian ditemukan dietil-eter, cairan yang menguap dan sangat mudah
terbakar, mempunyai bau tajam dan dapat menimbulkan rasa mual serta
muntah setelah pemakaian. Kloroform adalah anestetik berikutnya yang
ternyata hepatotoksik, dapat menimbulkan aritmia jantung dan depresi
napas. Dalam upaya memperoleh zat yang lebih aman maka
dikembangkanlah berbagai anestetik lain, seperti yang kita kenal sekarang
(Fadhil, 2016).
Anestesi umum merupakan kondisi yang dikendalikan dengan
ketidaksadaran yang bersifat reversibel dan diperoleh melalui penggunaan
obat-obatan secara injeksi dan inhalasi yang ditandai dengan hilangnya
respons rasa nyeri (analgesik), hilangnya ingatan (amnesia), hilangnya
respons terhadap rangsangan atau reflek, hilangnya gerak spontan
(immobility), serta hilangnya kesadaran (unconsciousness) (Ganiswara,
1995).
Stadium anestesi umum dibagi menjadi empat tingkatan (stadium)
(Ganiswara, 1995).
1. Stadium I (analgesik) dimulai dari saat pemberian zat anastetik sampai
hilangnya kesadaran. Pada stadium ini penderita masih dapat
mengikuti perintah dan rasa sakit hilang (analgesik). Pada stadium ini
dapat dilakukan tindakan pembedahan ringan seperti cabut gigi, biopsi
kelenjar dan sebagainya.
2. Stadium II (delirium/eksitasi) dimulai dari hilangnya kesadaran sampai
permulaan stadium pembedahan. Pada stadium ini terlihat jelas adanya
eksitasi dan gerakan yang tidak menurut kehendak, berteriak,
pernafasan tidak teratur, kadang-kadang apnea dan hipernea. Hal ini
terutama terjadi karena adanya hambatan pada sistem saraf pusat.
Pada stadium ini dapat terjadi kematian, karena itu stadium harus cepat
dilewati.
3. Stadium III (pembedahan) dimulai dengan teraturnya pernafasan
sampai pernafasan spontan hilang. Tanda yang harus dikenal adalah
pernafasan yang tidak teratur pada stadium II menghilang, pernafasan
menjadi spontan dan teratur oleh karena tidak ada pengaruh psikis,
sedangkan pengontrolan kehendak hilang, refleks kelopak mata dan
konjungtiva hilang, gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak
merupakan tanda spesifik untuk permulaan stadium III.
4. Stadium IV (paralisis medula oblongata), dimulai dengan melemahnya
pernafasan perut dibanding stadium III, tekanan darah tidak dapat
diukur karena kolaps pembuluh darah, berhentinya denyut jantung dan
dapat disusul kematian. Pada stadium ini kelumpuhan pernafasan tidak
dapat diatasi dengan pernafasan buatan.
Keadaan anestesi umum yang ideal harus mencakup analgesik,
amnesia, hambatan sensorik dan refleks otonom, serta relaksasi
musculus. Hal ini dapat dicapai dengan berbagai tingkat depresi sistem
saraf pusat akibat kerja obat anestesi. Namun demikian, tidak ada obat
anestesi tunggal yang bisa mencapai semua efek yang diharapkan tanpa
disertai sejumlah kerugian bila diberikan dengan dosis tunggal. Untuk
mencapai stadium anestesi yang ideal tindakan yang sering dilakukan
adalah mengombinnasikan obat-obatan dan mengambil kelebihan masing
masing sifat yang diharapkan. Selain itu, juga diusahakan untuk
memperkecil efek yang merugikan (Sardjana dan Kusumawati, 2004).
Sejalan dengan penggunaan di klinik kini anestetik umum dibedakan
atas anestesi inhalasi dan anestesi intravena. Walaupun demikian, secara
tradisional, anestesi umum dapat diberikan dengan menggunakan
berbagai jenis sistem anesthesia, yakni dengan sistem tetes terbuka
(open-drop system), tetes setengah terbuka (semi- open-drop system),
semitertutup/sistem Mappleson (semi-closed system) dan tertutup
(closed). Terlepas dari cara penggunaannya suatu anestesi ideal
sebenarnya harus dapat memperlihatkan 3 efek utama yang dikenal
sebagai “trias anesthesia”, yaitu efek hipnotik, efek analgesia dan efek
relaksasi otot. Akan lebih baik lagi kalau terjadi juga penekanan reflex
ototnom dan sensoris, seperti yang diperlihatkan oleh eter. Anestesi
digunakan pada pembedahan dengan maksud mencapai keadaan
pingsan, merintangi rangsangan nyeri (analgesia), memblokir reaksi
refleks terhadap manipulasi pembedahan, serta menimbulkan pelemasan
otot (relaksasi). Kini anestesi seimbang merupakan komposisi
premedikasi, suatu kombinasi obatobatan, sering dipakai dalam anestesi
umum. Anestesi seimbang terdiri dari (Katzung, 1995) :
a. Hipnotik diberikan semalam sebelumnya.
b. Premedikasi untuk meniadakan kegelisahan digunakan analgesic
narkotik atau benzodiazepine (misalnya, midazolam) dan
antikolinergik (contoh, atropine) untuk mengurangi sekresi diberikan
kira-kira 1 jam sebelum pembedahan.
c. Induksi anestesi, misalnya barbiturate dengan masa kerja singkat,
seperti natrium thiopental.
d. Gas inhalan, seperti nitro-oksida dan oksigen untuk mempertahankan
anestesi.
e. Pelemas otot jika diperlukan, misalnya tubokurarin dan galamin.
Anestesi seimbang mengurangi masalah kardiovaskular, mengurangi
jumlah anestesi umum yang diperlukan, mengurangi kemungkinan mual
dan muntah pasca anestesi, mengurangi gangguan fungsi organ dan
mempercepat pemulihan dari anestesi. Karena klien tidak menerima dosis
anestesi dalam jumlah besar, maka terdapat lebih sedikit pula reaksi yang
merugikan. Post medikasi diperlukan, misalnya untuk menghilangkan efek
samping perasaan gelisah dan mual. Untuk maksud ini diberikan
klorpromazin atau anti-emetik (antimual) yang lain, misalnya ondansentron
(Georg Thieme, 2007).
Anestesi umum berlangsung melalui empat tahap yaitu Analgesia
Dimulai dengan keadaan sadar dan diakhiri dengan hilangnya kesadaran.
Sulit untuk bicara; indra penciuman dan rasa nyeri hilang. Mimpi serta
halusinasi pendengaran dan penglihatan mungkin terjadi. Kedua adalah
Eksitasi atau delirium Terjadi kehilangan kesadaran akibat penekanan
korteks serebri. Kekacauan mental, eksitasi atau delirium dapat terjadi.
Waktu induksi singkat. Tahap 1 dan 2 dikenal juga sebagai tahap induksi.
Ketiga Surgical Prosedur pembedahan biasanya dilakukan pada tahap ini.
Dan tahap terakhir adalah Paralysis medular Tahap toksik dari anestesi.
Pernapasan hilang dan terjadi kolaps sirkulasi. Perlu diberikan bantuan
ventilasi (Sujati, 2016).
Mekanisme terjadinya anesthesia Akhir-akhir ini opiate kalsium dan
NO diduga berperanan dalam mekanisme kerja anestetik. Pada akhir
1970-an berkembang teori opiate yang menyatakan bahwa anestesi
inhalasi bekerja melalui reseptor opiate. Teori ini didukung data klinis dan
eksperimental yang memperlihatkan bahwa narkotik sintetis dapat
menurunkan kebutuhan akan anestesi inhalasi. Selain itu, ternyata
anestetik inhalasi ternyata merangsang dilepaskannya opiate endogen di
SSP. Hal ini dibuktikan oleh penelitian yang memperlihatkan bahwa N2O
meningkatkan peptide opioid di cairan otak kanan. Kalsium dikenal
sebagai neuroregulator karena ada bukti yang menunjukkan bahwa
anestetik inhalasi dapat mengubah kadar Ca intrasel dan ini memengaruhi
keterangsangan (exitability) neuron, sedangkan NO kini dikenal sebagai
neuromodulator yang diduga berperanan dalam mengatur tingkat
kesadaran. Akhir-akhir ini terbukti bahwa sasaran kerja anestesi inhalasi
maupun anestesi intravena adalah GABA receptor-chloride channel, suatu
komponen membrane neuron yang berperanan dalam transmisi sinaps
penghambat (inhibitory synaptic transmission) (Sujati, 2016).
Berdasarkan cara penggunaannya anestetik umum dibagi dalam dua
kelompok, yaitu anestesi inhalasi dan anestesi intravena (Katzung, 1995):
a. Anastesi inhalasi
     Obat anastesi yang pertama kali dikenal dan digunakan untuk
membantu. pembedahan ialah N2O. Dalam dunia modern anastesik
inhalasi yang umum digunakan untuk praktek klinik adalah N 2O,
halotan, enfluran, isofluran, desfluran, dan sevofoluran. Agen ini dapat
diberikan dan diserap secara terkontrol dan cepat karena diserap
serta dikeluarkan melalui paru-paru.  Sebagian besar gas anestetik
dikeluarkan lagi oleh paru-paru sebagian lagi dimetabolisme oleh
hepar dengan sistem oksidasi sitokrom P450. Sisa metabolisme yang
larut dalam air dikeluarkan melalui ginjal.
b. Anestesi intravena
Pemakaian obat anesteti intravena, dilakukan untuk : induksi
anestesia, induksi dan pemeliharaan anestesia bedah singkat,
suplementasi hypnosis pada anesthesi atau tambahan pada anelgesia
regional dan sedasi pada beberapa tindakan medik atau untuk
membentu prosedur diagnostik misalnya tiopental, ketamin dan
propofol. Untuk anestesia intravena total biasanya menggunakan
propofol. Anestesia intravena ideal membutuhkan kriteria yang sulit
dicapai oleh hanya satu macam obat yaitu larut dalam air dan tidak
iritasi terhadap jaringan, mula kerja cepat, lama kerja pendek, cepat
menghasilkan efek hypnosis, mempunyai efek analgesia, disertai oleh
amnesia pascaanestesia, dampak yang tidak baik mudah dihilangkan
oleh obat antagonisnya, cepat dieliminasi oleh tubuh, tidak atau sedikit
mendepresi fungsi respirasi dan kardiovaskuler, pengaruh
farmakokinetik tidak tergantung pada disfungsi organ, tanpa efek
samping (mual-muntah), menghasilkan pemulihan yang cepat. Untuk
mencapai tujuan diatas, kita dapat menggunakan kombinasi beberapa
obat atau cara anestesi lain. Kombinasi beberapa obat mungkin akan
saling berpotensi atau efek salah satu obat dapat menutupi pengaruh
obat yang lain.
1. Keuntungan anestesi intravena lebih dapat diterima pasien, tahap
yang tidak sadar lebih cepat dan lebih menyenangkan bagi ahli
anestesi. Oleh karena itu, agen intravena dapat digunakan sendiri
untuk menimbulkan anestesi.
2. Kekurangan anestesi intravena paling menonjol yaitu terjadi induksi
cepat dan depresi cerebrum yang jelas, seperti terlihat pada
gangguan pernapasan yang mengharuskan digunakannya ventilasi
dan ketidakstabilan  hemodinamik. Agen induksi intravena biasanya
digunakan bersama dengan anestesi inhalasi lain untuk
mendapatkan analgesia yang memadai dan dengan relaksan otot
untuk mendapatkan operasi yang optimum.
II.1.1.2 Anastesi Lokal
Anestesi lokal menghilangkan rasa sakit pada tempat di mana obat
diberikan, dan kesadaran tetap dipertahankan. Pemakaian anestetik lokal
mencakup prosedur gigi, menjahit laserasi kulit, pembedahan (minor)
jangka pendek pada daerah tertentu, anestesi spinal dengan menghambat
impuls saraf (nerve block) yang terletak di bawah tempat dimasukkannya
anestetik dan untuk prosedur diagnostik, seperti fungsi lumbal dan
torasentesis. Anestetik lokal pertama adalah kokain kemudian prokain.
Lidokain menggantikan prokain kecuali untuk prosedur gigi. Lidokain
mempunyai mula kerja yang cepat dan masa kerjanya lama, lebih stabil
dalam larutan dan lebih sedikit menimbulkan reaksi hipersensitivitas
daripada prokain. Bupivakain dan dibukain dipakai untuk anestesi spinal
karena mempunyai masa kerja yang lebih panjang. Anestesi local sering
kali digunakan secara parenteral pada pembedahan (agak) kecil, di mana
anestesi umum tidak perlu atau tidak diinginkan. Jenis anestesi lokal
dalam bentuk parenteral yang paling sering digunakan adalah anestesi
spinal. Kokain. Dahulu digunakan sebagai anestesi permukaan untuk
bedah hidung, tenggorok, telinga, mata. ES: cacat kornea, midriasis,
angina pektoris, nekrosis jaringan karena efek vasokonstriksi,
menyebabkan adiksi, maka tidak digunakan lagi di klinik (Gunawan,
2007).
Anastesi lokal adalah obat yang digunakan untuk mnecegah rasa
nyeri dengan memblok konduksi sepanjang serabut saraf secara
reversible. Semua serabut sensitive terdapat di anastesi local, namun
secara umum serabut berdiameter kecil. Lebih sensitive dari pada serabut
berdiameter besar. Oleh karena itu, dapat dicapai suatu blok diferensial
dimana serabut-serabut untuk nyeri ringan dan otonom diblok, sedangkan
serabut untuk sentuhan kasar dan gerakan tidak diblok. Anastesi lokal
mempunyai variasi yang luas dalam hal potensi, durasui kerja, toksisitas
dan kemampuan penetrasi membrane mukosa. Anastesik lokal mampu
menghambat konduksi saraf (terutama nyeri) secara reversible pada
bagian tubuh yang spesifik (Ganiswara, 1995).
Anastesi lokal dapat diberikan dengan cara sebagai berikut (Sujati,
2016):
a. Anastesi permukaan (topikal)
Anastesi membrane mukosa hidung, tenggorokan, percabangan
trakeobronkial, esophagus, dan saluran urin ogiental dapat dihasilkan
dengan penggunaan langsung larutan berair dari garam banyak
anastesik local atau dengan suspense anastesi lokal yang sukar larut.
b. Anastesi infiltrasi
Merupakan injeksi local secara langsung kedalam jaringan
memperhitungkan kelompok sarafkutan
c. Anastesi blok
Blok bidang dihasilkan dengan injeksi subkutan larutan anastesi local
dengan cara sedemikian sehingga menganastesi daerah yang jauh
dari penyuntikkan. Blok saraf, injeksi larutan anastesi lokal disekitar
saraf perifer individual pleksus saraf.
d. Anastesi spinal
Dilakukan setelah injeksi anastesi lokal kedalam cairan dalam ruang
lumbar.
e. Anastesi epidural
Diberikan dengan menyuntikkan anastesi lokal kedalam ruang
epidural, ruang yang terikat oleh ligamentum plavum secara posterior.
f. Anastesi kuadal
Anastesi kuadal adalah bentuk anastesi epidural yang disuntiikan
melalui tempat yang berbeda yaitu kedalam kanalis sakralis melalui
hiatus skralis.
Mekanisme kerja dari anastesi lokal yaitu dimana anastesi lokal ini
menekan jaringan lain yang dapat dieksitasi bila konsentrasiya dalam
darah cukup tinggi, namun efek sistemik utamanya mencakup sistem
saraf pusat. Anastesi lokal yang sering digunakan yaitu terdiri dari ujung
lifofilik (biasanya berupa cincin aromatik) dan ujung hidrofilik (biasanya
amina sekunder atau tersier), yang dihubungkan suatu rantai intermediet
yang menghubungkan ikatan ester atau amida (Sujati, 2016).
II.1.1.3 Jenis Jenis Tidur
Tidur merupakan salah satu cara untuk melepas kelelahan baii
jasmani dan rohani. Tidur merupakan suatu keadaan yang sederhana,
dalam keadaan tidur sedikit sekali yang dapat diingat secara normal dapat
dikatakan bahwa dalam tidur semua sistem dalam tubuh kita berkurang
kegiatannya. Pengurangan ini sampai batas ini sampai kita bangun
kembali keesokan harinya (Asmadi, 2008).
Tidur adalah suatu proses yang sangat penting bagi manusia, karena
dalam tidur terjadi proses pemulihan, proses ini bermanfaat
mengembalikan kondisi seseorang pada keadaan semula, dengan begitu
tubuh yang tadinya mengalami kelelahan segar kembali. Proses
pemulihan yang terhambat dapat menyebabkan organ tubuh tidak bisa
bekerja dengan maksimal, akibatnya orang yang kurang tidur akan cepat
lelah dan mengalami penurunan konsentrasi (Ulimuddin, 2011).
Setiap malam seseorang mengalami dua jenis tidur yang berbeda dan
saling bergantian yaitu tidur REM (Rapid-Eye Movement) dan tidur Non
REM (Non Rapid-Eye Movement) (Purwanto, 2008):
a. Tidur REM (Rapid-Eye Movement)
Tidur REM (Rapid-Eye Movement) terjadi disaat kita bermimpi, hal
tersebut ditandai dengan tingginya aktivitas mental dan fisik. Ciri-
cirinya yaitu detak jantung,tekanan darah dan cara bernapas sama
dengan yang dialami saat kita terbangun. Masa tidur REM kira-kira
20 menit dan terjadi selama 4 sampai 5 kali dalam sehari. Pada
fase REM, biasanya akan dimulai ketika memasuki menit ke 70
hingga 90 menit setelah individu tertidur. Fase REM merupakan
fase yang lebih dalam dibandingkan dengan NREM. Selama fase
REM, akan terjadi pergerakan bola mata atau bisa disebut
berkedut serta pola pernapasan menjadi tidak teratur dan juga
irama jantung menjadi meningkat. REM merupakan fase saat
individu bisa merasakan mimpi. Otak akan memberikan perintah
pada otot-otot tubuh untuk tidak bergerak, khususnya untuk
ekstremitas pada individu tersebut. Saat individu mengalami mimpi,
ektremitas tidak bergerak. Siklus dari fase NREM dan REM ini
terjadi berulang selama individu tertidur, setidaknya individu
tersebut melewati 3 tahapan dalam NREM sebelum memasuki
fase REM. Biasanya perputaran dari fase NREM ke fase REM
mebutuhkan waktu berkisar 1 ingga 2 jam, dan pada orang yang
tidur normal, siklus ini bisa berulang sekitar 3 hingga 4 kali dalam
satu malam. Waktu tidur dapat dibagi tiga bagian yaitu sepertiga
awal, sepertiga tengah, sepertiga akhir. Pada orang normal,
sepertiga awal tidur lebih banyak dalam fase 3 dan 4, sepertiga
tengah lebih banyak tidur dangkal (fase 2) serta sepertiga akhir
lebih banyak fase REM. Siklus tidur pada tiap individu berbeda dan
relatif dipengaruhi oleh usia, sebagai contoh pola tidur pada laki –
laki muda (20 – 29 tahun ), pertengahan (40-49 tahun) dan tua (70
– 90 tahun) akan memberikan gambaran pola tidur yang berbeda.
Pertambahan umur seseorang dapat menyebabkan total waktu
tidur menurun sedangkan waktu terjaga tetap. Pada orang tua tidur
sering terlihat gelisah dan waktu terjaganya menjadi lebih lama.
Sedangkan pada orang muda 15% waktu tidurnya dihabiskan pada
fase 4. Fase 4 biasanya tidak ditemukan pada orang tua, demikian
juga lama fase REM akan mengalami penurunan yaitu 28 % dari
pascapubertas menjadi 18% pada orang tua. Hal ini menunjukkan
bahwa tidur menjadi lebih singkat sehingga menyebabkan
berkurangnya kesegaran sesuai bertambahnya usia.
b. Tidur Non-REM (Non Rapid-Eye Movement)
Tidur Non-REM (Non Rapid-Eye Movement) memiliki empat
tingkatan yakni:
1. Tahap 1 Ini merupakan tahap awal individu memulai untuk tidur dari
fase terjaga. Dalam tahap 1 ini akan berlangsung dengan waktu
yang sangat singkat, antara 5 hingga 10 menit. Rata-rata orang
tertidur pada menit ketujuh. Tahap ini dimana sangat mudah
terganggu dari rangsangan luar karena tahap yang sangat mudah
untuk individu terbangun. Awal fase tahap ini ditandai dengan
kelopak mata tertutup, diiringi dengan berkurangnya tonus otot
serta akan terlihat pergerakan bola mata ke kanan dan ke kiri. Pada
tahap ini individu bisa merasakan adanya sensasi seperti tersentak
atau terjatuh karena adanya kontraksi otot yang timbul secara
spontan. Stadium tidur yang paling ringan didapatkan adanya
aktivitas teratur, tegangan rendah, frekuensi 3-7 siklus per detik
dan pada electroencephalography (EEG) terlihat gelombang theta.
2. Tahap 2 Tahap yang merupakan lanjutan tahap 1. Pada tahap ini
bisa dikatakan bahwa individu tersebut mulai tertidur. Biasanya
tahapan ini berlangsung antara 10-30 menit. Otot tonus yang
mulanya berkurang, sekarang menjadi lebih berkurang (rileks),
detak jantung menjadi lambat secara perlahan, aktivitas yang
dilakukan oleh otak pun akan menjadi singkat dan cepat namun
berirama (Sleep Spindle) dan terdapat komplek K trifasik pada
EEG serta gerakan dari bola mata terhenti. Suhu tubuh pun ikut
turun secara perlahan. Individu yang sudah berada pada tahap ini
agak susah dibangunkan.
3. Tahap 3 dan 4 Kedua tahap ini merupakan tahapan yang paling
dalam dari NREM. Individu akan susah dibangunkan. Namun
perbedaan dari kedua tahapan ini adalah kedalaman tidur individu
tersebut. Pada tahapan ini, ketika individu tersebut diberi
rangsangan dari luar agar dia bangun dari tidurnya, maka pada
saat dia terbangun, akan mengalami diorientasi sesaat dikarenakan
aktivitas otak sangat lambat, sehingga membutuhkan beberapa
menit untuk dilakukannya penyesuaian terhadap lingkungan. Pada
bagian yang paling dalam dari tahap ini ialah aliran darah akan
lebih banyak diarahkan menuju otot dengan tujuan agar energi fisik
pada tubuh terisi kembali. Pada rekaman EEG juga terdapat
perbedaan antara tahap 3 dan 4. Pada tahap 3 gelombang yang
muncul ialah gelombang delta namun kurang dari 50%, sedangkan
pada tahap 4 gelombang delta muncul lebih dari 50%. Selama
tahapan Deep Sleep dari fase NREM, tubuh akan melakukan
pembentukan ulang (regeneration) dan memperbaiki sel-sel tubuh
serta memperkuat dari kekebalan tubuh individu tersebut.
II.1.2 Hipnotik Sedatif
Obat-obat penekan SSP menimbulkan depresi (penurunan aktivitas)
dalam berbagai tingkat pada sistem saraf pusat yang tergantung pada
jenis dan jumlah obat yang dipakai. Obat yang digunakan untuk mengatasi
gangguan tidur digolongkan sebagai obat hipnotik sedative, dosis kecil
tertentu dari obat hipnotik memberi efek sedatif, meskipun sedative
merupakan efek samping dari beberapa obat depresan susunan saraf
pusat. Klasifikasi besar dari penekan SSP adalah sedative-hipnotik,
anestetik umum dan lokal, analgesik, analgesik narkotik, antikonvulsi,
antipsikotik, dan antidepresan (Mutshler, 1991).
Bentuk paling ringan dari penekanan SSP adalah sedasi, di mana
penekanan SSP tertentu dalam dosis yang lebih rendah dapat
menghilangkan respons fisik dan mental, tetapi tidak memengaruhi
kesadaran. Sedativ terutama dipakai pada siang hari. Dengan
meningkatkan dosis dapat menimbulkan efek hipnotik bukan hypnosis,
tetapi suatu bentuk alami dari tidur. Jika diberikan dalam dosis yang lebih
tinggi obat sedative-hipnotik mungkin akan mencapai anestesi. Sebuah
contoh adalah barbiturate dengan masa kerja sangat singkat yang dipakai
untuk menimbulkan anestesi adalah natrium thiopental (Pentothal)
(Samson dan Ridwan, 2019)..
Sedatif pertama kali diresepkan untuk mengurangi ketegangan dan
ansietas (kecemasan). Barbiturat mula-mula dipakai untuk efek
antiansietasnya, sampai pada awal 1960-an ketika pertama kali muncul
benzodiazepine. Karena ada banyak efek samping dari barbiturate dan
potensinya untuk terjadi ketergantungan fisik dan mental, maka
barbiturate kini lebih jarang diresepkan. Demikian pula pemakaian kronik
dari setiap sedative-hipnotik harus dihindari. Ada hipnotik dengan masa
kerja singkat dan hipnotik dengan masa kerja sedang. Hipnotik masa kerja
singkat berguna karena memungkinkan klien untuk bangun pada pagi hari
tanpa mengalami efek samping sulit untuk bangun tidur. Hipnotik masa
kerja sedang berguna untuk mempertahankan tidur, tetapi setelah
memakai obat ini klien mungkin mengalami rasa mengantuk yang tersisa
(hangover) pada pagi hari. Ini merupakan efek yang tidak diinginkan jika
klien masih aktif dan membutuhkan kesiagaan mental. Hipnotik yang ideal
akan menimbulkan tidur alami dan tidak menyebabkan hangover atau efek
yang tidak diinginkan (Georg, 2007).
Hipnotik dan sedatif merupakan golongan obat pendepresi susunan
syaraf pusat (SSP). Efeknya bergantung kepada dosis, mulai dari yang
ringan yaitu menyebabkan tenang atau kantuk, menidurkan, hingga yang
berat yaitu hilangnya kesadaran, keadaan anestesia, koma dan mati.
Pada dosis terapi, Obat sedatif menekan aktivitas mental, menurunkan
respons terhadap rangsangan emosi sehingga menenangkan. Obat
hipnotik menyebabkan kantuk dan mempermudah tidur serta
mempertahankan tidur yang menyerupai tidur fisiologis. Obat -obat sedatif
hipnotik memiliki efek farmakologi yang mirip dengan anestetik umum,jika
obat obat tersebut diberikan dengan dosis yang lebih besar efeknya sama
dengan anastesi umum. Kedua jenis obat tersebut mempunyai
mekanisme yang sama dalam menekan susunan syaraf pusat (Suriani
dan Sulaiman, 2016).
Mekanisme kerja obat sedatif-hipnotik, timbulnya efek sedatif-hipnotik
pasca pemberian obat memiliki keterkaitan dengan meningkatnya aktifitas
GABA, yakni sebuah neurotransmiter utama yang bekerja pada sinapsis
inhibitoris di dalam otak yang menghambat aktifitas susunan saraf pusat
atau SSP. Senyawa kimia yang memiliki pengaruh agonis, seperti
Alkaloid, flavonoid, saponin, dan tanin, bila kontraksi dapat menghasilkan
efek maksimum pada reseptor GABA. Reseptor GABA merupakan suatu
mediator yang dapat mengaktivasi terjadinya inhibisi neouron sehingga
aktivitas saraf untuk menghantarkan rangsangan terganggu. Pengikatan
senyawa-senyawa tersebut pada reseptor GABA di membran
pascasinaptik akan menghambat enzim GABA transminase sehingga
jumlah GABA menjadi berlebih dalam otak dan menyebabkan perubahan
konformasi pada reseptor GABA. Adanya perbedaan komposisi ion dalam
cairan intraselular maupun ekstraselular, mengakibatkan sel mengubah
potensial membrannya sebagai respon terhadap stimulus yang diterima
oleh sel tersebut. Dalam kondisi sel mengubah potensial membrannya
maka membran tersebut lebih permeabel terhadap ion K+ yang
meninggalkan sel sehingga saluran atau kanal ion klorida (gated ion
channel) terbuka dan mengakibatkan banyak ion klorida yang masuk ke
dalam sel karena gradien konsentrasinya yang besar. Aliran ion
mendorong potensial membran pada tekanan yang lebih negatif
dibandingkan potensial istirahatnya dan menyebabkan hiperpolarisasi
membran. Kondisi ini akan menghambat proses penghantaran potensial
aksinya dan pada akhirnya menyebabkan sel sulit tereksitasi (Samson &
Ridwan, 2019).
II.2 Klasifikasi dan Karakteristik Hewan Coba
II.2.1 Klasifikasi Mencit (mus musculus)
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub filum : Mamalia
Ordo : Rodentia
Genus : Mus
Spesies : Mus Musculus
II.2.2 Karakteristik Mencit (mus musculus)
Lama hidup : 1-2 tahun
Lama produksi ekonomis : 9 bulan
Lama bunting : 19-21 hari
Kawin sesudah beranak : 1-24 jam
Umur disapih : 21 hari
Umur dewasa : 35 hari
Umur dikawinkan : 8 minggu
Siklus kelamin : poliestrus
Perwakinan : pada waktu estrus
Berat dewasa : 20-40
BAB III
METODE KERJA
III.1 Alat dan Bahan
III.1.1 Alat
Adapun alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu animal
chamber, handscoon, kanula, kapas, lap kasar, spoit 1 cc, stopwatch dan
toples.
III.1.2 Bahan
Adapun bahan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu eter
(C2H5)2O), diazepam, NaCMC dan phenobarbital.
III.2 Cara Kerja
2.1 Anastesi
1. Siapkan dua ekor mencit atau sesuai yang dibutuhkan.
2. Siapkan dua toples atau sesuai jumlah mencit.
3. Basahi kapas dengan eter sedikit demi sedikit, lalu masukkan
kapas kedalam toples.
4. Letakkan mencit kedalam toples, lalu tutup toples.
5. Kemudian, nyalakan stopwatch dan amati durasi hingga mencit
pingsan.
6. Setelah mencit pingsan, keluarkan mencit dari dalam toples lalu
amati omset hingga mencit beraktivitas kembali.
2.2 Hipnotik – Sedatif
1. Siapkan tiga ekor mencit atau sesuai yang dibutuhkan.
2. Siapkan animal chamber, lalu tutupi dengan lap kasar hingga tidak
terdapat cahaya.
3. Siapkan Spoit, suntikkan NaCMC, diazepam dan phenobarbital.
4. Ambil mencit lalu suntikkan obat secara oral menggunakan kanula.
5. Masukkan mencit kedalam animal chamber, lalu tutupi
menggunakan lap kasar.
6. Amati omset hingga mencit diam (obat mulai berefek).
7. Amati durasi dari mencit diam (obat mulai berefek) hingga obat
tidak berefek.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1. Tabel Hasil Pengamatan
IV.1.1 Hasil Percobaan Anastesi
Perlakuan Parameter Mencit 1 Mencit 2
Eter Omset 02:28 01.05
Durasi 06.09 04.05
((C2H5)2O)

Ket :
1. Onset : waktu dari sadar ke setengah sadar
2. Durasi : waktu dari setengah sadar kembali sadar

Perhitungan

Mencit 1 = ( 06 : 09 – 02 : 20 )
= 364 – 148
221
= 221 → =3.68→ 3.14
60

5 menit = 180 detik


221-180 = 41
03 : 41 + 02 : 28 = 05 : 69
=06 : 09
Mencit 2 = ( 04 : 08 – 01 : 09 )
= 248 – 65
183
= 183 → =3.05→ 3.03
60

5 menit = 180 detik


183-180 = 3 03 : 03 - 01 : 05 = 04 : 08..
IV.1.2 Hasil Percobaan Hipnotik - Sedatif
Hewan Awal Parameter
Perlakuan X
Coba Jan-15 0-15 16-30 31-45
Mencit 1 11 2 0 0 0,66
Diazepam
Mencit 2 22 60 8 4 24
Fenobarbital Mencit 1 12 73 0 4 25,66
Mencit 2 33 21 3 0 8
Mencit 1 0 0 6 0 3
Na. CMC
Mencit 2 149 213 19 0 127

IV.2 Perhitungan
BB mencit
Volume Pemerian= X Vp max
BB max
IV.2.1 Perhitungan Diazepam
Berat Badan Hewan Coba
Mencit 1 = x Volume Pemberian
Berat badan standar
30
= g x 0,5 ml=0,75 ml
20
Berat Badan Hewan Coba
Mencit 2 = x Volume Pemberian
Berat badan standar
26
= g x 0,5 ml=0,65 ml
20

IV.2.2 Perhitungan Fenobarbital


Berat Badan Hewan Coba
Mencit 1 = x Volume Pemberian
Berat badan standar
33
= g x 0,5 ml=0,825 ml
20
Berat Badan Hewan Coba
Mencit 1 = x Volume Pemberian
Berat badan standar
33
= g x 0,5 ml=0,825 ml
20

IV.2.3 Perhitungan Na. CMC


Berat Badan Hewan Coba
Mencit 1 = x Volume Pemberian
Berat badan standar
26
= g x 0,5 ml=0,65 ml
20
Berat Badan Hewan Coba
Mencit 1 = x Volume Pemberian
Berat badan standar
28
= g x 0,5 ml=0,7 ml
20

IV.3 Pembahasan
Sistem saraf adalah sebuah sistem organ yang mengandung
jaringan sel-sel khusus yang disebut neuron yang mengkoordinasikan
tindakan binatang dan mengirimkan sinyal antara berbagai bagian
tubuhnya. Kebanyakan hewan sistem saraf terdiri dari dua bagian yaitu
pusat dan perifer. Sistem saraf pusat terdiri dari otak dan sumsum tulang
belakang. Sistem saraf perifer terdiri dari neuron sensorik , kelompok
neuron yang disebut ganglia, dan saraf menghubungkan mereka satu
sama yang lain dan sistem saraf pusat.

Pada percobaan hipnotik sedatif menggunakan diazepam dan


phenobarbital. Mencit 1 dengan berat 30 g diberi diazepam sebanyak
0.75 mL secara oral lalu digantung ekor mencit di statif. Mencit 2 dengan
berat 26 g diberi diazepam sebanyak 0,65 Ml secara oral. Diperoleh hasil
diazepam memiliki onset pada data awal tanpa pemberian obat yaitu pada
menit 0-15 menit adalah 11, dari menit 0-15, 16-30, 31-45 yang telah
diberikan obat diazepam , pada menit 0-15 adalah 2, menit 16-30 adalah
0, menit 31-45 adalah 0. Jadi rata-ratanya yaitu 0,66. Sedangkan
diazepam mencit 2 tanpa pemberian obat memiliki onset pada data awal
0-15 menit adalah 22. Dan pada saat telah diberikan obat yaitu pada
menit 0-15 adalah 60, 16-30 adalah 8, 31-45 adalah 4. Jadi rata-ratanya
adalah 24.

Mekansime kerja diazepam , bekerja pada sistem GABA, yaitu


dengan memperkuat fungsi hambatan neuron GABA. Reseptor
Benzodiazepin dalam seluruh sistem saraf pusat, terdapat dengan
kecepatan yang tinggi terutama dalam korteks otak frontal dan oksipital,
dihipokampus dan dalam otak kecil. Pada reseptor ini benzodiazepin akan
bekerja sebagai agonis.

Mekanisme kerja fenobarbital, fenobarbital adalah antikonvulson


turunan barbiturat yang efektif dalam mengatasi epilepsi pada dosis
subniprotis. Mekanisme kerja menghambat kemungkinan melibatkan
potensiasi penghambatan sinaps melalui suatu kerja pada reseptor GABA,
rekaman intrasel neuron korteks atau spinalis kordata mencit
menunjukkan bahwa fenobarbital meningkatkan respon terhadap GABA
ysng diberikan secara iontoforetik. Efek ini telah teramati pada konsentrasi
yang sesuai secara terapeutik. Na CMC (Natrium Karboksul Metilselulosa)
merupakan cara kerja dengan m engurangi sel yang memproduksi lendir
atau hiperplasraset. Pda tablet pengamatan reaksi yang banyak dihasilkan
oleh mencit yaitu 127.

Anastesi umum adalah obat yang dapat menimbulkan anestesi


atau narkosa (yun.An =tanpa, ain thesis =perasaan),yakni suatu keadaan
depresi umum dari pelbagai pusat di SSP yang bersifat reversibel, dimana
seluruh perasaan dan kesadaran ditiadakan sehingga ogak mirip keadaan
pingsan.
BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Anastesi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan rasa sakit
ketika dilakukan pembedahan dan berbagai prosedur lain yang
menimbulkan rasa sakit. Tujuan anastesi adalah unntuk menyediakan,
atau menghilangkan rasa sakit. Memblokir impuls saraf dari bagian bawah
segmen tulang belakang yang mengakibatkan penurunan sensasi
dibawah tubuh. Anastetik dibagi dalam dua yaitu, anastesi umum dan
lokal. Dari hasil percobaan pemeriaan pada mencit eter ((C2H5)2O),
menimbulkan efek perubahan perilaku dari bergerak aktif hingga menjadi
tenang dan tertidur akibat dari efek obat eter.
Hipnotik sedative merupakan golong obat depresen susunan sistem
saraf pusat (SSP) mulai dari ringan hingga berat yaitu hilangnya
kesadaran, koma dan mati yang teergantung pada dosis. Hasil
pengamatan bahwa NaCMC tidak menimbulkan efek hipnotik, sedangkan
diazepam dan fenobarbital menyebabkan keaktifan dari hewan coba dan
memberikan efek hipnotik sedative.
V.2 Saran
V.2.1 Saran untuk dosen
Sebaiknya dosen lebih sering mendampingi praktikan saat praktikum
berlangsung.
V.2.2 Saran untuk asisten
Sebaiknya metode pendampingan dan pembelajaran lebih
ditingkatkan agar kesalahan saat praktikum berlangsung dapat
diminimalisir.
V.2.3 Saran untuk laboratorium
Sebaiknya penyediaan alat dan bahan lebih diperhatikan agar
praktikum dapat berjalan dengan lancar.

DAFTAR PUSTAKA
Asmadi. 2008. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: EGC.
Amarta, C. (2012) Hypnodontia. 1st edn. Jakarta: Raih Asa Sukses.
Butterworth, J. F., dkk. Postanesthesia Care. Dalam: Morgan GE,Mikhail
M, penyunting. Clinical anesthesiology. Edisi ke-5. New York:
McGraw Hill; 2013. Halaman: 1257-1275.
Fadhil, Chairul., Syafruddin., dkk. 2016. Perbandingan onset dan Sedasi
Ketamine-Xilazin dan Propofol pada Anjing Jantan local (canis
familiars). Jurnal medika veterinaria vol 10 no 2. Banda Aceh:
universitas syiah kuala.

Ganiswara dan G. Slistia. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-4.


Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Gunawan SG. 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta:


Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI.

Georg Thieme Verlag: Stuttgart. Tan HT, Rahardja K. 2007. Obat-obat


penting, Khasiat, Penggunaan dan Efek Sampingnya. Edisi ke-6.
Jakarta: Elex Media Komputindo.

Hasanah, A. H. 2015. Pertimbangan Anastesi Lokal Pada Pasien Dengan


Penyakit Sistematik. Jakarta : Gramedia
Katzung BG. 1995. Farmakologi Dasar dan Klinik ed VI. Jakarta: EGC.
Lullmann H, et al. 2000. Color Atlas of Pharmacology. 2nd ed.

Mutschler, E. 1991. Dinamika Obat edisi 5. Bandung: Penerbit Institute


Teknologi Bandung.

Novindriani, D., Wijianto, B., Andrie, M., 2013, Uji Efek Sedatif Infusa
Daun Kratom (Mitragyna speciosa) pada Mencit Galur Balb/c,
Jurnal Mahasiswa Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan UNTAN, Vol 3, no.1,Hal 1-8.

Purwanto, S. 2008. Mengatasi Insomnia dengan Terapi Relaksasi. Jurnal


Kesehatan vol. 2 No. 2. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Putri. 2015. Pengaruh Anastesi Lokal Saat Pencabutan Gigi Terhadap


Terjadinya Bell’S Palsy’, The Effects of brief mindfulness
intervention on acute pain experience: An examination of
individual difference, 1. doi: 10.1017/CBO9781107415324.004.

Sabiston, C. David. 2011. Buku Ajar Bedah . Jakarta : EGC


Samson, Efraim dan Ridwan wahyudi abdul hamid. 2019. Potensi Sedatif
Hipnotik Daun Kayu Galala (Erythrina lithospperma) Sebagai
Kandidat Obat Insomnia. Vol 20 no 2 jurnal Matematika, Sains
dan Teknologi. Ambon : Universitas Pattimura.
Sujati woro indijah. 2016. Modul Bahan Ajar Farmasi FARMAKOLOGI.
Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Suriani dan Sulaiman. 2016. Uji Efek Hipnotik Ekstrak Etanol Sawi Langit
(Vernonia Cinerea L) Terhadap Mencit. Jurnal farmasi vol 13 no
2. Makassar, Fakultas Farmasi Universitas Indonesia Timur:
Majalah Farmasi Nasional.

Sriwijaya.2008. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Jawa Barat : Laskar


Aksara.

Ulimuddin, B.A. 2011. Hubungan Tingkat Stress Dan Tingkat Kejadian


Insomnia pada Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan
Universitas Diponegoro. Jurnal: Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro.

Anda mungkin juga menyukai