Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

PERCOBAAN 1
PENGARUH CARA PEMBERIAN
TERHADAP ABSORBSI OBAT

Disusun oleh :
1. Lina Hadi W.

(1041311086)

2. Maharani Inka R.N.

(1041311091)

3. Mega Dessy S.

(1041311096)

4. Nana Jannatin

(1041311104)

5. Amalina Eka N.F.

(1041311170)

6. Aries Koes S.

(1041311171)

S1 FARMASI
SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI
YAYASAN PHARMASISEMARANG
2014/2015
PERCOBAAN I

PENGARUH CARA PEMBERIAN TERHADAP ABSORBSI OBAT

A. TUJUAN
Mengenal, mempraktekan, dan membandingkan cara cara
pemberian obat terhadap kecepatan absorbsinya, menggunakan data
farmakologi sebagai tolok ukur.
B. DASAR TEORI
1.

Macam Bentuk Sediaan


Farmakologi merupakan sifat dari mekanisme kerja obat pada

sistem tubuh termasuk menentukan toksisitasnya. Jalur pemakaian obat


yang meliputi secara oral, rektal, dan parenteral serta yang lainnya harus
ditentukan dan ditetapkan petunjuk tentang dosis-dosis yang dianjurkan
bagi pasien dalam berbagai umur, berat dan status penyakitnya serta teknik
penggunaannya atau petunjuk pemakaiannya.
Bentuk sediaan dan cara pemberian merupakan penentu dalam
memaksimalkan proses absorbsi obat oleh tubuh karena keduanya sangat
menentukan efek biologis suatu obat seperti absorpsi, kecepatan absorpsi
dan bioavailabilitas (total obat yang dapat diserap), cepat atau lambatnya
obat mulai bekerja (onset of action), lamanya obat bekerja (duration of
action), intensitas kerja obat, respons farmakologik yang dicapai serta
dosis yang tepat untuk memberikan respons tertentu
Obat sebaiknya dapat mencapai reseptor kerja yang diinginkan
setelah diberikan melalui rute tertentu yang nyaman dan aman seperti
suatu obat yang memungkinan diberikan secara intravena dan diedarkan di
dalam darah langsung dengan harapan dapat menimbulkan efek yang
relatif lebih cepat dan bermanfaat.
Selain pemberian topikal untuk mendapatkan efek lokal pada kulit
atau membran mukosa, penggunaan suatu obat hampir selalu melibatkan
transfer obat ke dalam aliran darah. Tetapi, meskipun tempat kerja obat

tersebut berbeda-beda, namun bisa saja terjadi absorpsi ke dalam aliran


darah dan dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Absorpsi ke
dalam darah dipengaruhi secara bermakna oleh cara pemberian
( Farmakologi Dasar dan Klinik, 1986)
Suatu obat dapat diberikan baik pada permukaan tubuh, yakni pada
kulit atau mukosa, maupun disuntikkan dengan bantuan alat perforasi
(misalnya alat suntik, alat imunisasi) ke dalam bagian dalam tubuh.
Tempat pemberian, cara pemberian dan bentuk sediaan obat diatur
menurut :

Sifat fisika dan kimia bahan obat

Munculnya kerja dan lama kerja yang diinginkan

Tempat obat seharusnya bekerja


Apabila diinginkan kerja yang cepat maka harus dipilih suatu cara
pemberian, yang pada cara ini periode laten antara waktu pemberian dan
munculnya kerja singkat yaitu dengan meniadakan absorbsi. Sebaliknya
jika diinginkan kerja yang tertunda, umumnya yang mungkin ialah bentukbentuk pemberian yang melalui absorbsi.
( Dinamika Obat ed.V, hal 6-7 )
Absorbsi merupakan proses penyerapan obat dari tempat
penberian, menyangkut kelengkapan dan kecepatan proses tersebut.
Kelengkapan dinyatakan dalam persen dari jumlah obat yang diberikan.
Tetapi secara klinik, yang lebih penting ialah bioavailabilitas. Istilah ini
menyatakan jumlah obat, dalam persen terhadap dosis, yang mencapai
sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh atau aktif.
( Farmakologi dan Terapi ed.IV, hal 3 )
Disamping faktor formulasi, cara pemberian obat turut
menentukan kecepatan dan kelengkapan resorbsi obat. Ada banyak cara
untuk memberikan obat

1. Oral
Pemberian obat melalui mulut (per oral) adalah cara yang paling lazim,
karena sangat praktis, mudah dan aman. Namun, tidak semua obat dapat
diberikan per oral, misalnya obat yang merangsang atau diuraikan oleh
asam lambung. Sering kali resorpsi obat setelah pemberian oral tidak
teratur dan tidak lengkap, meskipun formulasinya optimal. Keberatan lain
adalah obat setelah diresorpsi harus melalui hati, dimana dapat terjadi
inaktifasi sebelum diedarkan ke lokasi kerjanya.
2. Sub kutan ( hypodermal )
Injeksi di bawah kulit dapat digunakan hanya dengan obat yang tidak
merangsang dan melarut baik dalam air atau minyak. Efeknya tidak
secepat injeksi intra muskular atau intravena. Mudah dilakukan sendiri,
misalnya insulin pada pasien penyakit gula.
3. Intra muskular (i.m)
Dengan injeksi di dalam otot, obat yang terlarut berlangsung dalam waktu
10-30

menit.

Guna

memperlambat

resorbsi

dengan

maksud

memperpanjang kerja obat, sering kali digunakan larutan atau suspensi


dalam minyak. Tempat injeksi umumnya dipilih pada otot pantat yang
tidak memiliki banyak pembuluh dan syaraf.
4. Intra peritoneal (i.p)
Suntikan intraperitoneal tidak dilakukan pada manusia karena bahaya
infeksi dan adhesi terlalu besar.
Kecepatan resorbsi terutama tergantung pada bentuk pemberian
obat, cara pemberiannya dan sifat fisika-kimia dari obat. Resorbsi dari
usus ke dalam sirkulasi berlangsung cepat bila obat diberikan dalam
bentuk terlarut.Dengan sendirinya pemberian injeksi secara intravena (iv)
menghasilkan efek yang tercepat, karena obat langsung masuk ke dalam
sirkulasi.efek lebih lambat diperoleh dengan injeksi intramuskular (i.m)
dan efek lebih lambat lagi dengan injeksi subkutan ( s.c) karena obat harus
melintasi banyak membran sel sebelum tiba dalam peredaran darah.

(Obat-Obat Penting, hal 18-22)


Absorpsi adalah transfer suatu obat dari tempat pemberian ke dalam aliran
darah. Faktor fisik yang mempengaruhi:
1. Aliran darah ke tempat absorbsi : aliran darah ke usus jauh lebih
banyak daripada yang ke lambung. Jadi absorpsi di usus lebih baik.
2. Jumlah luas permukaan absorbsi : usus memiliki permukaan yang kaya
akan mikrovili dan luasnya 1000 kali luas permukaan lambung. Jadi
absorbsi di usus lebih efisien.
3. Waktu kontak pada permukaan absorbsi : jika obat bergerak melalui
saluran cerna dengan cepat (saat diare), maka obat tidak di absorbsi
dengan baik.Jika obat diminum bersanma makanan umumnya akan di
absorbsi lebih cepat.
Regimen dosis ( cara, jumlah, dan frekuensi pemberian obat)
mempengaruhi awitan dan durasi (lama kerja obat). Awitan adalah jumlah
waktu yang diperlukan oleh suatu obat untuk mulai bekerja. Durasi adalah
lamanya waktu suatu obat bersifat terapeutik ( biasanya sesuai waktu
paruh, metabolisme, dan ekskresi obat tersebut).
(Farmakologi Ulasan Bergambar, hal 4-6)
2.

Luminal ( golongan Barbiturat)


2.1

Kimia
Barbiturat merupakan derivate asam barbiturate (2,4,6
trioksoheksa-hidropirimidin). Rumus kimianya sebagai berikut:
H

O
N3 C

O = C2

C2H5
C

NC
H

C6H6
O

Luminal mengandung : Tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih


dari 101,01 C12H12N2O3.

Pemerian : Hablur kecil atau serbuk hablur putih berkilat ; tidak


berbau ; tidak berasa ; dapat terjadi polimorfisma. Stabil di udara ; pH
larutan jenuh labih kurang 5.
Kelarutan : Sangat sukar larut dalam air ; larut dalam etanol, dalam
eter, dan dalam larutan alkali hidroksida dan dalam alkali karbonat ; agak
sukar larut dalam kloroform.
(Anonim 1995, Hal. 659)
Luminal, senyawa hipnotik ini (1912) terutama digunakan pada
serangan grand mal dan status epilepticus berdasarkan sifatnya yang
dapat memblokir pelepasan muatan listrik di otak. Untuk mengatasi efek
hipnotiknya, obat ini dapat dikombinasi dengan kofein. Tidak boleh
diberikan pada absences karena justru dapat memperburuknya.
Resorpsinya di usus baik (70-90%) dan lebih kurang 50% terikat
pada protein; plasma t nya panjang, lebih kurang 3-4 hari, maka
dosisnya dapat diberikan sehari sekaligus. K.I 50% dipecah menjadi phidroksifenobarbital yang diekskresikan lewat urin dan hanya 10-30%
dalam keadaan utuh.
Efek sampingnya berkaitan dengan efek sedasinya yakni, pusing,
mengantuk, ataksia dan pada anak-anak mudah terangsang. Efek samping
ini dapat dikurangi dengan penambahan obat-obat lain.
Interaksi. Bersifat menginduksi enzim dan antara lain mempercepat
penguraian kalsiferol (vitamin D2)

dengan kemungkinan timbulnya

rachitis (penyakit Inggris) pada anak kecil.


(Tan Hoan Tjay 2007, Hal. 423)
2.2
a.

Farmakodinamik

Susunan Saraf Pusat


Efek utama barbiturate ialah depresi SSP. Semua tingkat
depresi dapat dicapai, mulai dari sedasi, hypnosis, berbagai tingkat
anesthesia,

koma,

sampai

kematian.Barbiturat

tidak

dapat

mengurangi rasa nyeri tanpa disertai hilangnya kesadaran, dan dosis


kecil barbiturat dapat meningkatkan reaksi terhadap rangsangan
nyeri. Pada beberapa individu, dan dalam keadaan tertentu,
misalnya adanya rasa sakit, barbiturat tidak menyebabkan sedasi
melainkan malah menimbulkan eksitasi (kegelisahan dan delirium).
Hal ini mungkin disebabkan adanya depresi pusat penghambatan.
b.

Efek Pada Tingkatan Tidur.


Efek hipnotik barbiturat meningkatkan total lama tidur dan
mempengaruhi tingkatan tidur yang bergantung kepada dosis.

c.

Toleransi.
Toleransi
farmakodinamik

terhadap
maupun

barbiturate
secara

dapat

terjadi

farmakokinetik.

secara

Toleransi

farmakodinamik berperan dalam penurunan efek, dan berlangsung


lebih lama daripada toleransi farmakokinetik. Toleransi terhadap efek
sedasi dan hipnosisterjadi lebih segera dan lebih kuat daripada efek
antikonvulsi.
d.

Pernapasan.
Barbiturat menyebabkan depresi napas yang sebanding dengan
besarnya dosis. Pemberian barbiturat dosis sedative hamper tidak
berpengaruh terhadap pernapasan, sedangkan dosis hipnotik oral
menyebabkan pengurangan frekuensi dan amplitudo napas, ventilasi
alveoli sedikit berkurang, sesuai dengan keadaan tidur fisiologis.
2.3

Farmakokinetik
Hipnotik-sedatif barbiturat yang biasanya diberikan secara oral

diarbsorbsi cepat dan sempurna. Barbiturat bentuk garam natriumnya


diabsorbsi lebih cepat daripada bentuk asam bebasnya, terutama bila
diberikan sebagai sediaan cair. Mula kerja bervariasi antar 10 60 menit,
bergantung kepada zat serta bentuk formulasinya, dan dihambat oleh
adanya makanan di lambung. Secara suntikan IV, barbiturat digunakan

untuk mengatasi status epilepsi, dan menginduksi serta mempertahankan


anestesi umum.
Barbiturat didistribusi secara luas dan dapat lewat plasenta.
Barbiturat yang sangat larut lemak, yang duigunakan sebagai penginduksi
anestesi, misalnya thiopental dan metoheksital, setelah pemberian secara
IV, akan ditimbun di jaringan lemak dan otot. Hal ini menyebabkan
penurunan kadarnya dalam plasma dan otak secara cepat, menyebabkan
pasien sadar dalam waktu 5 15 menit setelah penyuntik dengan dosis
anestetik. Setelah depot lemak jenuh, terjadi redistribusi ke aliran sistemik,
akibatnya pemulihan setelah pemberian barbiturat sangat larut lemak
memerlukan waktu yang lama.
Kecuali barbiturat yang kurang larut lemak, seperti aprobarbital
dan fenobarbital, barbiturat dimetabolisme dan atau dikonjugasi hamper
sempurna di hati sebelum dieksresikan lewat ginjal. Oksidasi gugusan
pada atom C-5 merupakan metabolisme yang terutama menghentikan
aktivitas biologisnya. Oksidasi tersebut menyebabkan terbentuknya
alcohol, keton, fenol atau asam karboksilat, yang dieksresikan dalam urine
sebagai obat bebas atau konjugatnya dengan glukoronat.
(Farmakologi dan Terapi ed V, hal148-150)
C. ALAT DAN BAHAN
1

Alat
- 3 Spuit injeksi dan jarum
- 3 Sonde untuk sediaan oral
- Stopwatch
- 2 Beaker glass
- pipet volume
- Labu takar
- Pipet tetes
- Aquarium Kaca

Bahan

- Larutan stok luminal 100 mg/ml


- aqua bidestilata
- Hewan uji mencit

D. SKEMA KERJA
3 mencit ditimbang satu per Satu per Satu
Diperhitungkan volume luminal yang diberikan dengan dosis 80 mg/kgbb
Per oral

intra peritoneal

subkutan

intra muscular
E.

F.
Melalui
G.
mulut
H.
I.dengan
jarum
tumpul

Disuntikka
n dalam
rongga
perut

Dimasukka
n sampai
bawah
kulit pada
tengkuk
hewan uji

Disuntikka
n ke dalam
otot di
daerah
gluteus
maximus

Dicatat waktu reflex balik badan

Hitung onset dan durasi


Dibandingkan hasilnya dengan uji statistika anafa dengan cara satu arah

E. DATA PERCOBAAN
Berat badan mencit
Kelompok 1

Kelompok 2

Kelompok 3

Kelompok 4

Kelompok 5

Kelompok 6

32.8 g
20.6 g
27 g

29 g
29.6 g
20 g

24.5 g
29.1 g
25.9 g

29.7 g
22.8 g
29.7 g

21.5 g
29.1 g
31.8 g

29.9 g
29.6 g
27.8 g

Dosis Luminal yang dipakai 80 mg/kgBB mencit

Dosis Luminal= BM Phenobarbital Na = 254,22 x 80mg/kgBB mencit


BM Phenobarbital
232,24
= 87,57mg/kgBB mencit
LUMINAL
STOK = 100 mg/ ml
10 mg/ml
Perhitungan volume pemberian :
Kelompok 1
1. Mencit dengan BB 32.8 g
Dosis =

32.8 g
1000 g

X 87.57 mg

Volume pemberian =

dosis
stok

2.87 mg
= 10 mg/ml

= 2.87 mg

= 0.28 ml

2. Mencit dengan BB 20.6 g


Dosis =

20.6 g
1000 g

X 87.57 mg

Volume pemberian =

dosis
stok

1.80 mg
= 10 mg/ml

= 1.80 mg

= 0.18 ml

3. Mencit dengan BB 27 g
Dosis =

27 g
1000 g

X 87.57 mg

Volume pemberian =

dosis
stok

2.36 mg
= 10 mg/ml

= 2.36 mg

= 0.24 ml

Kelompok 2
1. Mencit dengan BB 29 g
Dosis =

29 g
l 000 g

x 87,57 mg

Volume pemberian =

dosis
stok

2. Mencit dengan BB 29.6 g

2,54 mg
= 10 mg/ml

= 2,54 mg

= 0,25 ml

29,6 g
l 000 g

Dosis =

x 87,57 mg

Volume pemberian =

= 2,59 mg

dosis
stok

2,59 mg
= 10 mg/ml

= 0,259 ml

3. Mencit dengan BB 20 g
20 g
l 000 g

Dosis =

x 87,57 mg

Volume pemberian =

= 1,75 mg

dosis
stok

1,75 mg
= 10 mg/ml

= 0,175 ml

Kelompok 3
1. Mencit dengan BB 24.5 g
Dosis

24.5 g
1000 g X 87,57 mg

Volume pemberian=

dosis
stok

= 2.15 mg

2.15 g
10 mg/ml

= 0.22 ml

2. Mencit dengan BB 29.1 g


29.1 g
Dosis = 1000 g

X 87.57 mg

Volume pemberian=

dosis
stok

= 2.55 mg

2.55 mg
10 mg/ml

= 0.25 ml

3. Mencit dengan BB 25.9 g


Dosis =

25.9 g
1000 g

X 87.57 mg

Volume pemberian =

dosis
stok

Kelompok 4
1. Mencit dengan BB 29.7 g

= 2.27 mg
2.27 mg
10 mg/ml

= 0.23 ml

Dosis =

29.7 g
1000 g

X 87.57 mg

Volume pemberian =

dosis
stok

2.6 mg
= 10 mg/m l

= 2.6 mg

= 0.26 ml

2. Mencit dengan BB 22.8 g


Dosis =

22.8 g
1000 g

X 87.57 mg

Volume pemberian =

dosis
stok

1.9 mg
= 10 mg/ml

= 1.9 mg

= 0.19 ml

3. Mencit dengan BB 29.7 g


Dosis =

29.7 g
1000 g

X 87.57 mg

Volume pemberian =

dosis
stok

2.6 mg
= 10 mg/ml

= 2.6 mg

= 0.26 ml

Kelompok 5
1. Mencit dengan BB 21.5 g
Dosis =

21.5 g
1000 g

X 87.57 mg

Volume pemberian =

dosis
stok

2.2 mg
= 10 mg/ml

= 2,2 mg

= 0.22 ml

2. Mencit dengan BB 29.1 g


Dosis =

29.1 g
1000 g

X 87.57 mg

Volume pemberian =

dosis
stok

2.55 mg
= 10 mg/ml

= 2.55 mg

= 0.26 ml

3. Mencit dengan BB 31.8 g


Dosis =

31.8 g
1000 g

X 87.57 mg

= 2.8 mg

Volume pemberian =

dosis
stok

2.8 mg
= 10 mg/ml

= 0.28 ml

Kelompok 6
1. Mencit dengan BB 29.9 g
29.9 g
Dosis = 1000 g X 87.57 mg
Volume pemberian =

dosis
stok

= 2.61 mg
2.61 mg
= 10 mg/ml

= 0.26 ml

2. Mencit dengan BB 29.6 g


Dosis =

29.6 g
1000 g

X 87.57 mg

Volume pemberian =

dosis
stok

= 2.59 mg

2.59 mg
= 10 mg/ml

= 0.25 ml

3. Mencit dengan BB 27.8 g


Dosis =

27.8 g
1000 g

X 87.57 mg

Volume pemberian =

No
Hewan

Cara Pemberian

1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2

ORAL

SUB CUTAN
INTRA
MUSKULAR
INTRA

dosis
stok

= 2.23 mg

2.23 mg
= 10 mg/ml

Pemberian

= 0.24 ml

Waktu
Reflek Balik Badan
Hilang Kembali

Onset

Durasi

(menit)

(menit)

08.17

10.12

14.09

115

237

08.24
08.34
08.19
08.22
08.25
08.25
08.29
08.27
08.18
08.23

12.12
11.22
08.55
08.58
09.47
08.51
08.49
09.06
08.57
08.52

14.10
14.52
12.36
12.38
11.21
12.25
12.31
11.47
10.26
11.13

228
168
36
36
82
26
20
39
39
29

118
210
221
220
94
214
222
161
89
141

3
1
2
3
1
2
3

PERITONEAL
ORAL
INTRA
PERITONEAL

08.28
08.28
08.32
08.36
08.25
08.30
08.33

09.06
11.30
11.31
11.56
11.32
09.40
08.59

F. PERHITUNGAN
Hasil pengujian statistika ANAVA satu jalan :

10.56
15.00
15.00
15.17
15.07
11.30
09.47

38
182
179
200
187
70
26

110
210
209
201
215
110
48

Multiple Comparisons
Scheffe
95% Confidence Interval
Dependent
Variable

onset

(I) cara pemberian

Oral

Subkutan

Intramuscular

Intraperitoneal

oral_2

intraperitoneal_2

(J) cara pemberian

Mean Difference
(I-J)

Std. Error

Sig.
Lower Bound

Upper
Bound

Subkutan

119.000

35.087

.110

-19.27

257.27

Intramuscular

142.000*

35.087

.043

3.73

280.27

Intraperitoneal

135.000

35.087

.057

-3.27

273.27

oral_2

-16.667

35.087

.998

-154.93

121.60

intraperitoneal_2

76.000

35.087

.491

-62.27

214.27

Oral

-119.000

35.087

.110

-257.27

19.27

Intramuscular

23.000

35.087

.993

-115.27

161.27

Intraperitoneal

16.000

35.087

.999

-122.27

154.27

oral_2

-135.667

35.087

.056

-273.93

2.60

intraperitoneal_2

-43.000

35.087

.903

-181.27

95.27

Oral

-142.000*

35.087

.043

-280.27

-3.73

Subkutan

-23.000

35.087

.993

-161.27

115.27

Intraperitoneal

-7.000

35.087

1.000

-145.27

131.27

oral_2

-158.667*

35.087

.021

-296.93

-20.40

intraperitoneal_2

-66.000

35.087

.629

-204.27

72.27

Oral

-135.000

35.087

.057

-273.27

3.27

Subkutan

-16.000

35.087

.999

-154.27

122.27

Intramuscular

7.000

35.087

1.000

-131.27

145.27

oral_2

-151.667*

35.087

.028

-289.93

-13.40

intraperitoneal_2

-59.000

35.087

.725

-197.27

79.27

Oral

16.667

35.087

.998

-121.60

154.93

Subkutan

135.667

35.087

.056

-2.60

273.93

Intramuscular

158.667*

35.087

.021

20.40

296.93

Intraperitoneal

151.667*

35.087

.028

13.40

289.93

intraperitoneal_2

92.667

35.087

.294

-45.60

230.93

Oral

-76.000

35.087

.491

-214.27

62.27

G. PEMBAHASAN
Pada percobaan kali ini kami kelompok dua mempelajari pengaruh dari
cara pemberian obat terhadap absorbsi obat, yang bertujuan untuk dapat
membandingkan kecepatan laju absorbsi obat dengan menggunakan data
farmakologi sebagai tolak ukur secara in vivo pada hewan uji (mencit). Mencit
dipilih sebagai hewan uji karena proses metabolisme dalam tubuhnya berlangsung
dengan cepat sehingga sangat cocok untuk dijadikan sebagai objek observarsi
kelompok kami. Pada percobaan mencit harus mengalami praperlakuan yakni
dipuasakan terlebih dahulu sebelum digunakan saat praktikum, yang bertujuan
untuk setiap mencit memiliki aktivitas enzim yang sama selain itu agar tidak
menghalangi bahan obat yang diserap dalam tubuh.
Absorbsi adalah penyerapan obat (zat) dari tempat pemberian sampai ke
sirkulasi sistemik. Dimana dipengaruhi beberapa faktor yaitu meliputi cara
pemberian obat dan bentuk sediaan. Pada percobaan kali ini dilakukan empat cara
pemberian yaitu peroral, subkutan, intraperitonial, intramuscular.
Pemberian per oral yaitu sebagian besar obat diberikan melalui mulut dan
ditelan sehingga dapat diserap dengan cepat dari lambung, tetapi kebanyakan obat
diabsorpsi sebagian besar melalui usus halus. Absorpsi obat melalui usus halus,
pengukuran yang dilakukan terhadap absorpsi obat baik secara in vivo maupun
secara in vitro, menunjukan bahwa mekanisme dasar absorpsi obat melalui usus
halus ini adalah secara transfer pasif. Dimana kecepatan obat ditentukan oleh
derajat ionisasi obat dan lipid solubilitas dari molekul obat tersebut.
Pemberian suntikkan secara subkutan yaitu obat disuntikkan di bawah
kulit dan menembus dinding kapiler yang berada disekitar area tersebut untuk
dapat memasuki aliran darah. Pemberian obat subkutan hanya bisa dilakukan
untuk obat-obat yang tidak menyebabkan iritasi terhadap jaringan karena akan
menyebabkan rasa sakit yang hebat, nekrosis dan pengelupasan kulit. Jaringan
subkutan paling tebal dan

terdalam dari semua lapisan kulit yang terletak

dibawah epidermis disebut juga hipodermis. Lapisan hipodermis digunakan


sebagai penyimpan lemak atau cadangan bahan bakar ketika sumber energi
diperlukan oleh tubuh. Terdiri dari pembuluh darah besar dan saraf, dimana

hipodermis juga berfungsi sebagai isolator dan menyediakan bantal terhadap


benturan saat terjatuh atau mengalami cidera.
Pemberian suntikan intraperitoneal (I.P) yaitu diberikan melalui perut
(rongga peritoneum) mempunyai permukaan absorpsi yang sangat luas sehingga
obat dapat masuk ke sirkulasi sistemik secara cepat. Dimana di sekitar rongga
perut banyak terdapat pembuluh darah sehingga obat lebih mudah terabsorsbsi.
Pemberian suntikan intramuskuler (I.M) yaitu obat-obat yang larut dalam
air akan diabsorbsi dengan cepat setelah penyuntikan IM. Umumnya kecepatan
absorpsi setelah penyuntikan pada muskulus deloid atau vastus lateralis adalah
lebih cepat dari pada bila disuntikkan pada gluteus maximus.
Kecepatan absorbsinya pun berbeda pada masing-masing cara pemberian
yang dapat menunjukan keefektifan obat tersebut. Cara pemberian dapat
mempengaruhi kecepatan absorbsi obat yang berpengaruh juga terhadap onset dan
durasi. Onset yaitu waktu yang diperlukan mulai dari obat untuk mulai bekerja
sampai dengan obat menimbulkan efek. Pada onset tersebut obat mulai terabsorbsi
pada tempat absorbsiya masing-masing sesuai pemberiannya dan menimbulkan
efek dari obat yang diberikan. Sedangkan onset adalah waktu yang diperlukan
mulai dari obat menimbulkan efek sampai dengan obat tersebut tidak berefek lagi.
Pada durasi tersebut, obat masuk ke dalam fase distribusi dimana obat tersebut
sudah terabsorbsi dan menyebar ke peredaran darah kemudian obat tersebut akan
menimbulkan efek sampai obat dimetabolisme (diubah menjadi metabolit yang
dapat dapat dibuang dari tubuh) sehingga obat tidak menimbulkan efek lagi.
Pada percobaan kali ini menggunakan luminal Na atau Phenobarbital Na
yang sifatnya larut dalam lemak. Dalam praktek kali ini menggunakan dosis 80
mg/kg BB. Obat ini akan mencapai MEC (Minimal Effective Consentration)
tertinggi sehingga mencit akan tertidur dan akan bangun lagi karena secara
farmakokinetik golongan obat barbiturat yaitu phenobarbital itu larut dalam
lemak, saat keadaan plasma meningkat obat di lepaskan sehingga mencitnya
tertidur, tetapi saat keadaan plasma menurun, obat tetap tertimbun dalam lemak
sehingga mencit akan bangun dan begitu seterusnya. Phenobarbital memiliki sifat
redistribusi yaitu efek yang terjadi jika pada mencit, setelah efek anestesi hilang,

obat akan di keluarkan dari depot lemak secara perlahan, hal itu yang membuat
mencit bangun kemudian akan tidur kembali. Obat ini bekerja secara selektif
menekan neuron abnormal dan menghambat penyebaran dan menekan firing
(rangsangan depolarisasi) dari neuron fokus. Phenobarbital terikat pada suatu situs
pengatur alasterik pada reseptor GABA.
Benzodiazepin akan memperkuat arus masuk yang diprakasai oleh
reseptor GABA dengan memperlambat pembukaan kanal ion-ion Cl. Selain itu
juga menyekat respon eksi tatorik yang diinduksi oleh glutamate, terutama yang
diprakarsai oleh aktivitas reseptor AMPA. Karena yang kita cari kecepatan
absorbsinya maka yang menjadi tolok ukur adalah data onset.
Onset dari percobaan ini di tandai dengan tertidurnya hewan uji (hilangnya
reflek balik badan). Mencit yang kehilangan kesadaran ini untuk beberapa saat
bangun dan melakukan aktivitasnya, tetapi kemudian tertidur kembali. Hal inilah
yang disebut dengan proses retribusi obat dalam tubuh. Retribusi obat dari tempat
kerja ke jaringan yang lain merupakan salah satu faktor yang menghentikan kerja
obat, ini terjadi pada obat yang sangat larut lemak. Karena aliran darah ke otak
sangat tinggi, maka setelah disuntikan obat akan segera mencapai kadar maksimal
dalam otak. Tetapi kadar di dalam plasma dengan cepat menurun akibat difusi ke
jaringan lain, maka obat dalam otak akan cepat berdifusi kembali ke plasma. Jadi
setelah depot lemak jenuh, masa kerja luminal pada pemberian selanjutnya baru
mencerminkan inaktivasi yang sangat lambat. Pemulihan setelah pemberian
luminal yang tertimbun dalam depot lemak perlahan-lahan akan dilepaskan
kembali, karena sifatnya reversibel. Hal ini yang menyebabkan mencit bangun,
tidur, bangun, tidur lagi dan begitu seterusnya. Cara pemberian dapat
mempengaruhi kecepatan absorbsi obat yang berpengaruh juga terhadap onset dan
durasi.
Pada literatur dijelaskan bahwa onset paling cepat adalah intraperitonial,
intramuscular, subkutan, peroral. Hal ini terjadi karena :

Intraperitonial (I.P) mengandung banyak pembuluh darah sehingga obat


langsung masuk ke dalam pembuluh darah.

Intramuscular (I.M) mengandung lapisan lemak yang cukup kecil sehingga


obat akan terhalang oleh lemak sebelum terabasorbsi.

Subkutan (S.C), mengandung lemak yang cukup banyak sehingga absorpsi


obatnya cukup lama.

Peroral (P.O), obat akan mengalami rute yang panjang untuk mencapai
reseptor karena melalui saluran cerna yang memiliki banyak factor
penghambat seperti protein plasma.
Dan secara teoritis durasi paling cepat adalah peroral, intraperitonial,

intramuscular, subkutan. Hal ini terjadi karena :


Peroral (P.O), karena melalui saluran cerna yang memiliki rute cukup panjang
dan banyak factor penghambat maka konsentrasi obat yang terabsorbsi

semakin sedikit dan efek obat lebih cepat.


Intraperitonial (I.P), disini obat langsung masuk ke pembuluh darah sehingga
efek yang dihasilkan lebih cepat dibandingkan intramuscular dan subkutan

karena obat di metabolisme serempak sehingga durasinya agak cepat.


Intramuscular (I.M), terdapat lapisan lemak yang cukup banyak sehingga obat

akan konstan dan lebih tahan lama.


Subkutan (S.C), terdapat lapisan lemak yang paling banyak sehingga durasi
lebih lama disbanding intramuscular.
Dari data pengamatan yang diperoleh onset yang paling cepat yaitu intra

muskular, intra peritoneal, sub kutan dan per oral. Praktikum kali ini tidak sesuai
karena secara teoritis intra peritonial merupakan cara pemberian yang
memberikan efek paling cepat. Hal ini dapat terjadi karena pada saat pemberian
obat secara inta peritoneal obat disuntikkan tidak tepat di rongga perut atau
mungkin masuk ke dalam organ lain sehingga menyebabkan obat membutuhkan
waktu yang lebih lama untuk mencapai sirkulasi sitemik.
Data durasi paling cepat pada praktikum kali ini yaitu intra
peritoneal,subkutan, per oral dan intra muskular. Durasi tersebut tidak sesuai
dengan data yang tercantum secara teoritis.

Keadaan ini akan terjadi lama, karena secara teoritis durasi dari
phenobarbital sekitar 10-12 jam. Tetapi pada percobaan ini, waktu durasi yang
diperoleh relatif pendek dari waktu teoritis. Hal ini mungkin disebabkan karena
beberapa faktor diantaranya :
1. Berat badan hewan uji, semakin berat hewan uji maka kecepatan absorbsi
2.

lama karena banyak penghalang seperti lemak dan albumin.


Luas permukaan tubuh mencit, semakin luas permukaan tubuh mencit
diperlukan kadar obat yang lebih tinggi, sehingga mempengaruhi waktu

3.

durasi.
Keadaan patologi hewan uji, apabila saat sebelum perlakuan hewan uji berada
dalam sakit, maka penyerapan obat dalam usus juga berpengaruh pada

4.
5.

kecepatan efek yang ditimbulkan.


Tidak tepatnya volume obat yang di injeksikan.
Tidak tepatnya tempat pemberian obat sehingga obat kurang efektif.
Setelah dilakukan perhitungan onset dan durasi, dilakukan analisa data

onset dengan uji anava 1 jalan. Dari data hasil statistik menggunakan program
SPSS 16.0 onset menggunakan anova satu jalan post hoc didapat hasil dimana
terdapat perbedaan signifikan antara pemberian oral dengan intra muscular dengan
nilai signifikasi p<0.05. Untuk intramuscular terdapat perbedaan tidak signifikan
dengan oral 1 dan oral 2 dengan nilai signifikasi p<0.05. Pada pemberian
intraperitonial terdapat perbedaan yang tidak signifikan dengan pemberian oral 2
dengan nilai signifikasi p<0.05.
Hasil uji statistik untuk durasi menggunakan menggunakan program SPSS
16.0

anova satu jalan didapat hasil tidak ada perbedaan antara semua cara

pemberian dengan nilai signifikasi p>0.05.

H. KESIMPULAN
1. Pada pengamatan data onset yang diperoleh tidak sesuai dengan teori,
yakni dari yang paling cepat ke yang paling lama pemberian secara :
Intra muscular > intra peritonial > sub kutan > per oral.
Yang seharusnya secara teori adalah :
Intra peritonial > intra muscular > sub kutan > per oral.

2. Pada pengamatan data durasi tidak sesuai dengan teori, sehingga diperoleh
urutan sebagai berikut :
Intra peritonial > sub kutan > peroral > intra muscular.
Yang seharusnya secara teori adalah :
per oral > intra peritoneal > intra muscular > sub kutan.
3. Yang perlu diperhatikan dalam absorbsi yaitu kecepatan penembusan obat
(onset) dan kelengkapan obat (durasi).
4. Ada perbedaan yang signifikan untuk pemberian per oral dengan intra
muscular.
5. Ada perbedaan tidak signifikan untuk intra muscular dengan per oral 1 dan
2.
6. Ada perbedaan tidak signifikan antara intra peritoneal dengan per oral.
7. Tidak ada perbedaan durasi antara cara pemberian secara per oral
dibanding intraperitoneal dan intramuscular.
8. Cara pemberian obat dapat mempengaruhi absorbsi obat dalam tubuh.
9. Absorbsi obat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain :
Kelarutan obat
Bentuk sediaan obat
Tempat pemberian dan cara pemberian obat
Rute pemakaian obat
Konsentrasi obat
Sirkulasi darah pada tempat absorbsi
Luas permukaan tempat absorbsi
Kemampuan difusi melewati membran

I. DAFTAR PUSTAKA
Katzung, Bertram. G., 2001. Farmakologi Dasar dan Klinik . Salemba
Medika, Jakarta.
Tjay, Tan Hoa, Kirana Rahardja.2003.Obat-Obat Penting. Jakarta; Gramedia.
Sulistia dan Gunawan.2007.Farmakologi dan Terapi ed V Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta:Gaya baru
Mycek, Marry J., 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar, Widia Medika,
Jakarta
Mutschler, Ernst. 1991. Dinamika Obat Edisi 5. Bandung : Penerbit ITB

Syarif, Amir, dkk. 1995. Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Jakarta : FKUI
Press.

Semarang, 17 Maret 2015


Dosen Pengampu

Praktikan

Ika Puspitaningrum,M.Sc.,Apt

Lina Hadi W (1041311086)

Kurnia Rahayu P.,M.Sc.,Apt

Maharani Inka (1041311091)

Mega Dessy

(1041311096)

Nana Jannatin (1041311104)

Amalina E.N.F.(1041311170)

Aries Koes S. (1041311171)

PERTANYAAN
1. Jelaskan secara spesifik dengan contoh-contoh, mengenai karakteristik
lingkungan fisiologis, anatomis dan biokimiawi yang berada pada
daerah kontak mula antara obat dengan tubuh beserta akibat yang
ditimbulkannya !
Jawaban :

Peroral
Obat-obat yang akan diabsorbsi di lambung haruslah yang
bersifat asam-asam lemah karena obat yang di absorbsi di usus
haruslah yang bersifat basa lemah. Jadi obat yang diabsorbsi di
usus haruslah bersifat labil dalam keadaan asam (lambung).
Pada orang lanjut usia tidak terjadi gangguan besar
absorbsinya, tapi laju absorbsinya berkurang atau berlangsung
lama karena motilitas lambung berkurang.
Enzim, bahan obat menyebabkan penurunan sintesis atau
menaikkan penguraian enzim retikulum endoplasmam beberapa
obat

ada

persaingan

tempat

ikatan

pada

enzim

dan

mengakibatkan penghambatan penguraian.


2. Uraikan secara terperinci kondisi-kondisi penerimaan obat yang
menentukan rute pemberian obat yang dipilih !
Jawaban :
Memberikan obat melalui mulut adalah cara pemberian obat yang
paling sering, tetapi juga yang paling bervariasi dan memerlukan jalan
yang paling rumit untuk mencapai jaringan. Beberapa obat diabsorbsi
di lambung, namun duodenum sering merupakan jalan masuk utama ke
sirkulasi sistemik karena permukaan absorbsinya yang lebih besar.
Kebanyakan obat diabsorbsi dari saluran cerna dan masuk ke hati
sebelum disebarkan ke sirkulasi umum.
Metabolisme langkah pertama oleh usus atau hati membatasi
efikasi banyak obat ketika diminum peroral. Sebagai contoh, lebih dari
90% nitrogliserin dihilangkan pada saat satu kali melewati hati.
Minum obat bersamaan dengan makanan dapat mempengaruhi
absorbsi.
Keberadaan makanan dalam lambung dapat memperlambat waktu
pengosongan lambung sehingga obat yang dihancurkan oleh asam,

misalnya Penisilin menjadi rusak dan tidak diabsorbsi. Oleh karena itu,
Penisilin disalut enterik untuk melindungi obat dari lingkungan asam.

3. Sebutkan 3 contoh dimana sifat obat menentukan cara pemberiannya !


Jawaban :

Efek apa yang dikehendaki.

Onset dan durasi.

Stabilitas obat di dalam lambung.

Keamanan relatif dari penggunaan melalui bermacam-macam rute.

Apakah pasien dapat menelan obatnya atau tidak.

4. Sebutkan implikasi implikasi praktis dari rute pemberian obat


(umpamanya persyaratan sediaan farmasi yang diberikan dengan rute
tertentu, dosis obat jika dipilih rute pemberian tertentu, dsb) !
Jawaban :

Bahan baku

kloramfenikol palmitat yang dipakai cara peroral

dibuat sirup kloramfenikol sebaiknya tidak mengandung bentuk


polimorfis A yang tidak aktif, serta bahannya ada dalam bentuk
mikrokristal yang kurang stabil lebih mudah larut dan cepat
terabsorbsi.

Ampisilin anhidrat lebih mudah larut dari pada ampisilin trihidrat,


sehingga pemakain peroral akan memberikan blood level yang
lebih tinggi.

Anda mungkin juga menyukai