PERCOBAAN 1
PENGARUH CARA PEMBERIAN
TERHADAP ABSORBSI OBAT
Disusun oleh :
1. Lina Hadi W.
(1041311086)
(1041311091)
3. Mega Dessy S.
(1041311096)
4. Nana Jannatin
(1041311104)
(1041311170)
6. Aries Koes S.
(1041311171)
S1 FARMASI
SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI
YAYASAN PHARMASISEMARANG
2014/2015
PERCOBAAN I
A. TUJUAN
Mengenal, mempraktekan, dan membandingkan cara cara
pemberian obat terhadap kecepatan absorbsinya, menggunakan data
farmakologi sebagai tolok ukur.
B. DASAR TEORI
1.
1. Oral
Pemberian obat melalui mulut (per oral) adalah cara yang paling lazim,
karena sangat praktis, mudah dan aman. Namun, tidak semua obat dapat
diberikan per oral, misalnya obat yang merangsang atau diuraikan oleh
asam lambung. Sering kali resorpsi obat setelah pemberian oral tidak
teratur dan tidak lengkap, meskipun formulasinya optimal. Keberatan lain
adalah obat setelah diresorpsi harus melalui hati, dimana dapat terjadi
inaktifasi sebelum diedarkan ke lokasi kerjanya.
2. Sub kutan ( hypodermal )
Injeksi di bawah kulit dapat digunakan hanya dengan obat yang tidak
merangsang dan melarut baik dalam air atau minyak. Efeknya tidak
secepat injeksi intra muskular atau intravena. Mudah dilakukan sendiri,
misalnya insulin pada pasien penyakit gula.
3. Intra muskular (i.m)
Dengan injeksi di dalam otot, obat yang terlarut berlangsung dalam waktu
10-30
menit.
Guna
memperlambat
resorbsi
dengan
maksud
Kimia
Barbiturat merupakan derivate asam barbiturate (2,4,6
trioksoheksa-hidropirimidin). Rumus kimianya sebagai berikut:
H
O
N3 C
O = C2
C2H5
C
NC
H
C6H6
O
Farmakodinamik
koma,
sampai
kematian.Barbiturat
tidak
dapat
c.
Toleransi.
Toleransi
farmakodinamik
terhadap
maupun
barbiturate
secara
dapat
terjadi
farmakokinetik.
secara
Toleransi
Pernapasan.
Barbiturat menyebabkan depresi napas yang sebanding dengan
besarnya dosis. Pemberian barbiturat dosis sedative hamper tidak
berpengaruh terhadap pernapasan, sedangkan dosis hipnotik oral
menyebabkan pengurangan frekuensi dan amplitudo napas, ventilasi
alveoli sedikit berkurang, sesuai dengan keadaan tidur fisiologis.
2.3
Farmakokinetik
Hipnotik-sedatif barbiturat yang biasanya diberikan secara oral
Alat
- 3 Spuit injeksi dan jarum
- 3 Sonde untuk sediaan oral
- Stopwatch
- 2 Beaker glass
- pipet volume
- Labu takar
- Pipet tetes
- Aquarium Kaca
Bahan
D. SKEMA KERJA
3 mencit ditimbang satu per Satu per Satu
Diperhitungkan volume luminal yang diberikan dengan dosis 80 mg/kgbb
Per oral
intra peritoneal
subkutan
intra muscular
E.
F.
Melalui
G.
mulut
H.
I.dengan
jarum
tumpul
Disuntikka
n dalam
rongga
perut
Dimasukka
n sampai
bawah
kulit pada
tengkuk
hewan uji
Disuntikka
n ke dalam
otot di
daerah
gluteus
maximus
E. DATA PERCOBAAN
Berat badan mencit
Kelompok 1
Kelompok 2
Kelompok 3
Kelompok 4
Kelompok 5
Kelompok 6
32.8 g
20.6 g
27 g
29 g
29.6 g
20 g
24.5 g
29.1 g
25.9 g
29.7 g
22.8 g
29.7 g
21.5 g
29.1 g
31.8 g
29.9 g
29.6 g
27.8 g
32.8 g
1000 g
X 87.57 mg
Volume pemberian =
dosis
stok
2.87 mg
= 10 mg/ml
= 2.87 mg
= 0.28 ml
20.6 g
1000 g
X 87.57 mg
Volume pemberian =
dosis
stok
1.80 mg
= 10 mg/ml
= 1.80 mg
= 0.18 ml
3. Mencit dengan BB 27 g
Dosis =
27 g
1000 g
X 87.57 mg
Volume pemberian =
dosis
stok
2.36 mg
= 10 mg/ml
= 2.36 mg
= 0.24 ml
Kelompok 2
1. Mencit dengan BB 29 g
Dosis =
29 g
l 000 g
x 87,57 mg
Volume pemberian =
dosis
stok
2,54 mg
= 10 mg/ml
= 2,54 mg
= 0,25 ml
29,6 g
l 000 g
Dosis =
x 87,57 mg
Volume pemberian =
= 2,59 mg
dosis
stok
2,59 mg
= 10 mg/ml
= 0,259 ml
3. Mencit dengan BB 20 g
20 g
l 000 g
Dosis =
x 87,57 mg
Volume pemberian =
= 1,75 mg
dosis
stok
1,75 mg
= 10 mg/ml
= 0,175 ml
Kelompok 3
1. Mencit dengan BB 24.5 g
Dosis
24.5 g
1000 g X 87,57 mg
Volume pemberian=
dosis
stok
= 2.15 mg
2.15 g
10 mg/ml
= 0.22 ml
X 87.57 mg
Volume pemberian=
dosis
stok
= 2.55 mg
2.55 mg
10 mg/ml
= 0.25 ml
25.9 g
1000 g
X 87.57 mg
Volume pemberian =
dosis
stok
Kelompok 4
1. Mencit dengan BB 29.7 g
= 2.27 mg
2.27 mg
10 mg/ml
= 0.23 ml
Dosis =
29.7 g
1000 g
X 87.57 mg
Volume pemberian =
dosis
stok
2.6 mg
= 10 mg/m l
= 2.6 mg
= 0.26 ml
22.8 g
1000 g
X 87.57 mg
Volume pemberian =
dosis
stok
1.9 mg
= 10 mg/ml
= 1.9 mg
= 0.19 ml
29.7 g
1000 g
X 87.57 mg
Volume pemberian =
dosis
stok
2.6 mg
= 10 mg/ml
= 2.6 mg
= 0.26 ml
Kelompok 5
1. Mencit dengan BB 21.5 g
Dosis =
21.5 g
1000 g
X 87.57 mg
Volume pemberian =
dosis
stok
2.2 mg
= 10 mg/ml
= 2,2 mg
= 0.22 ml
29.1 g
1000 g
X 87.57 mg
Volume pemberian =
dosis
stok
2.55 mg
= 10 mg/ml
= 2.55 mg
= 0.26 ml
31.8 g
1000 g
X 87.57 mg
= 2.8 mg
Volume pemberian =
dosis
stok
2.8 mg
= 10 mg/ml
= 0.28 ml
Kelompok 6
1. Mencit dengan BB 29.9 g
29.9 g
Dosis = 1000 g X 87.57 mg
Volume pemberian =
dosis
stok
= 2.61 mg
2.61 mg
= 10 mg/ml
= 0.26 ml
29.6 g
1000 g
X 87.57 mg
Volume pemberian =
dosis
stok
= 2.59 mg
2.59 mg
= 10 mg/ml
= 0.25 ml
27.8 g
1000 g
X 87.57 mg
Volume pemberian =
No
Hewan
Cara Pemberian
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
ORAL
SUB CUTAN
INTRA
MUSKULAR
INTRA
dosis
stok
= 2.23 mg
2.23 mg
= 10 mg/ml
Pemberian
= 0.24 ml
Waktu
Reflek Balik Badan
Hilang Kembali
Onset
Durasi
(menit)
(menit)
08.17
10.12
14.09
115
237
08.24
08.34
08.19
08.22
08.25
08.25
08.29
08.27
08.18
08.23
12.12
11.22
08.55
08.58
09.47
08.51
08.49
09.06
08.57
08.52
14.10
14.52
12.36
12.38
11.21
12.25
12.31
11.47
10.26
11.13
228
168
36
36
82
26
20
39
39
29
118
210
221
220
94
214
222
161
89
141
3
1
2
3
1
2
3
PERITONEAL
ORAL
INTRA
PERITONEAL
08.28
08.28
08.32
08.36
08.25
08.30
08.33
09.06
11.30
11.31
11.56
11.32
09.40
08.59
F. PERHITUNGAN
Hasil pengujian statistika ANAVA satu jalan :
10.56
15.00
15.00
15.17
15.07
11.30
09.47
38
182
179
200
187
70
26
110
210
209
201
215
110
48
Multiple Comparisons
Scheffe
95% Confidence Interval
Dependent
Variable
onset
Oral
Subkutan
Intramuscular
Intraperitoneal
oral_2
intraperitoneal_2
Mean Difference
(I-J)
Std. Error
Sig.
Lower Bound
Upper
Bound
Subkutan
119.000
35.087
.110
-19.27
257.27
Intramuscular
142.000*
35.087
.043
3.73
280.27
Intraperitoneal
135.000
35.087
.057
-3.27
273.27
oral_2
-16.667
35.087
.998
-154.93
121.60
intraperitoneal_2
76.000
35.087
.491
-62.27
214.27
Oral
-119.000
35.087
.110
-257.27
19.27
Intramuscular
23.000
35.087
.993
-115.27
161.27
Intraperitoneal
16.000
35.087
.999
-122.27
154.27
oral_2
-135.667
35.087
.056
-273.93
2.60
intraperitoneal_2
-43.000
35.087
.903
-181.27
95.27
Oral
-142.000*
35.087
.043
-280.27
-3.73
Subkutan
-23.000
35.087
.993
-161.27
115.27
Intraperitoneal
-7.000
35.087
1.000
-145.27
131.27
oral_2
-158.667*
35.087
.021
-296.93
-20.40
intraperitoneal_2
-66.000
35.087
.629
-204.27
72.27
Oral
-135.000
35.087
.057
-273.27
3.27
Subkutan
-16.000
35.087
.999
-154.27
122.27
Intramuscular
7.000
35.087
1.000
-131.27
145.27
oral_2
-151.667*
35.087
.028
-289.93
-13.40
intraperitoneal_2
-59.000
35.087
.725
-197.27
79.27
Oral
16.667
35.087
.998
-121.60
154.93
Subkutan
135.667
35.087
.056
-2.60
273.93
Intramuscular
158.667*
35.087
.021
20.40
296.93
Intraperitoneal
151.667*
35.087
.028
13.40
289.93
intraperitoneal_2
92.667
35.087
.294
-45.60
230.93
Oral
-76.000
35.087
.491
-214.27
62.27
G. PEMBAHASAN
Pada percobaan kali ini kami kelompok dua mempelajari pengaruh dari
cara pemberian obat terhadap absorbsi obat, yang bertujuan untuk dapat
membandingkan kecepatan laju absorbsi obat dengan menggunakan data
farmakologi sebagai tolak ukur secara in vivo pada hewan uji (mencit). Mencit
dipilih sebagai hewan uji karena proses metabolisme dalam tubuhnya berlangsung
dengan cepat sehingga sangat cocok untuk dijadikan sebagai objek observarsi
kelompok kami. Pada percobaan mencit harus mengalami praperlakuan yakni
dipuasakan terlebih dahulu sebelum digunakan saat praktikum, yang bertujuan
untuk setiap mencit memiliki aktivitas enzim yang sama selain itu agar tidak
menghalangi bahan obat yang diserap dalam tubuh.
Absorbsi adalah penyerapan obat (zat) dari tempat pemberian sampai ke
sirkulasi sistemik. Dimana dipengaruhi beberapa faktor yaitu meliputi cara
pemberian obat dan bentuk sediaan. Pada percobaan kali ini dilakukan empat cara
pemberian yaitu peroral, subkutan, intraperitonial, intramuscular.
Pemberian per oral yaitu sebagian besar obat diberikan melalui mulut dan
ditelan sehingga dapat diserap dengan cepat dari lambung, tetapi kebanyakan obat
diabsorpsi sebagian besar melalui usus halus. Absorpsi obat melalui usus halus,
pengukuran yang dilakukan terhadap absorpsi obat baik secara in vivo maupun
secara in vitro, menunjukan bahwa mekanisme dasar absorpsi obat melalui usus
halus ini adalah secara transfer pasif. Dimana kecepatan obat ditentukan oleh
derajat ionisasi obat dan lipid solubilitas dari molekul obat tersebut.
Pemberian suntikkan secara subkutan yaitu obat disuntikkan di bawah
kulit dan menembus dinding kapiler yang berada disekitar area tersebut untuk
dapat memasuki aliran darah. Pemberian obat subkutan hanya bisa dilakukan
untuk obat-obat yang tidak menyebabkan iritasi terhadap jaringan karena akan
menyebabkan rasa sakit yang hebat, nekrosis dan pengelupasan kulit. Jaringan
subkutan paling tebal dan
obat akan di keluarkan dari depot lemak secara perlahan, hal itu yang membuat
mencit bangun kemudian akan tidur kembali. Obat ini bekerja secara selektif
menekan neuron abnormal dan menghambat penyebaran dan menekan firing
(rangsangan depolarisasi) dari neuron fokus. Phenobarbital terikat pada suatu situs
pengatur alasterik pada reseptor GABA.
Benzodiazepin akan memperkuat arus masuk yang diprakasai oleh
reseptor GABA dengan memperlambat pembukaan kanal ion-ion Cl. Selain itu
juga menyekat respon eksi tatorik yang diinduksi oleh glutamate, terutama yang
diprakarsai oleh aktivitas reseptor AMPA. Karena yang kita cari kecepatan
absorbsinya maka yang menjadi tolok ukur adalah data onset.
Onset dari percobaan ini di tandai dengan tertidurnya hewan uji (hilangnya
reflek balik badan). Mencit yang kehilangan kesadaran ini untuk beberapa saat
bangun dan melakukan aktivitasnya, tetapi kemudian tertidur kembali. Hal inilah
yang disebut dengan proses retribusi obat dalam tubuh. Retribusi obat dari tempat
kerja ke jaringan yang lain merupakan salah satu faktor yang menghentikan kerja
obat, ini terjadi pada obat yang sangat larut lemak. Karena aliran darah ke otak
sangat tinggi, maka setelah disuntikan obat akan segera mencapai kadar maksimal
dalam otak. Tetapi kadar di dalam plasma dengan cepat menurun akibat difusi ke
jaringan lain, maka obat dalam otak akan cepat berdifusi kembali ke plasma. Jadi
setelah depot lemak jenuh, masa kerja luminal pada pemberian selanjutnya baru
mencerminkan inaktivasi yang sangat lambat. Pemulihan setelah pemberian
luminal yang tertimbun dalam depot lemak perlahan-lahan akan dilepaskan
kembali, karena sifatnya reversibel. Hal ini yang menyebabkan mencit bangun,
tidur, bangun, tidur lagi dan begitu seterusnya. Cara pemberian dapat
mempengaruhi kecepatan absorbsi obat yang berpengaruh juga terhadap onset dan
durasi.
Pada literatur dijelaskan bahwa onset paling cepat adalah intraperitonial,
intramuscular, subkutan, peroral. Hal ini terjadi karena :
Peroral (P.O), obat akan mengalami rute yang panjang untuk mencapai
reseptor karena melalui saluran cerna yang memiliki banyak factor
penghambat seperti protein plasma.
Dan secara teoritis durasi paling cepat adalah peroral, intraperitonial,
muskular, intra peritoneal, sub kutan dan per oral. Praktikum kali ini tidak sesuai
karena secara teoritis intra peritonial merupakan cara pemberian yang
memberikan efek paling cepat. Hal ini dapat terjadi karena pada saat pemberian
obat secara inta peritoneal obat disuntikkan tidak tepat di rongga perut atau
mungkin masuk ke dalam organ lain sehingga menyebabkan obat membutuhkan
waktu yang lebih lama untuk mencapai sirkulasi sitemik.
Data durasi paling cepat pada praktikum kali ini yaitu intra
peritoneal,subkutan, per oral dan intra muskular. Durasi tersebut tidak sesuai
dengan data yang tercantum secara teoritis.
Keadaan ini akan terjadi lama, karena secara teoritis durasi dari
phenobarbital sekitar 10-12 jam. Tetapi pada percobaan ini, waktu durasi yang
diperoleh relatif pendek dari waktu teoritis. Hal ini mungkin disebabkan karena
beberapa faktor diantaranya :
1. Berat badan hewan uji, semakin berat hewan uji maka kecepatan absorbsi
2.
3.
durasi.
Keadaan patologi hewan uji, apabila saat sebelum perlakuan hewan uji berada
dalam sakit, maka penyerapan obat dalam usus juga berpengaruh pada
4.
5.
onset dengan uji anava 1 jalan. Dari data hasil statistik menggunakan program
SPSS 16.0 onset menggunakan anova satu jalan post hoc didapat hasil dimana
terdapat perbedaan signifikan antara pemberian oral dengan intra muscular dengan
nilai signifikasi p<0.05. Untuk intramuscular terdapat perbedaan tidak signifikan
dengan oral 1 dan oral 2 dengan nilai signifikasi p<0.05. Pada pemberian
intraperitonial terdapat perbedaan yang tidak signifikan dengan pemberian oral 2
dengan nilai signifikasi p<0.05.
Hasil uji statistik untuk durasi menggunakan menggunakan program SPSS
16.0
anova satu jalan didapat hasil tidak ada perbedaan antara semua cara
H. KESIMPULAN
1. Pada pengamatan data onset yang diperoleh tidak sesuai dengan teori,
yakni dari yang paling cepat ke yang paling lama pemberian secara :
Intra muscular > intra peritonial > sub kutan > per oral.
Yang seharusnya secara teori adalah :
Intra peritonial > intra muscular > sub kutan > per oral.
2. Pada pengamatan data durasi tidak sesuai dengan teori, sehingga diperoleh
urutan sebagai berikut :
Intra peritonial > sub kutan > peroral > intra muscular.
Yang seharusnya secara teori adalah :
per oral > intra peritoneal > intra muscular > sub kutan.
3. Yang perlu diperhatikan dalam absorbsi yaitu kecepatan penembusan obat
(onset) dan kelengkapan obat (durasi).
4. Ada perbedaan yang signifikan untuk pemberian per oral dengan intra
muscular.
5. Ada perbedaan tidak signifikan untuk intra muscular dengan per oral 1 dan
2.
6. Ada perbedaan tidak signifikan antara intra peritoneal dengan per oral.
7. Tidak ada perbedaan durasi antara cara pemberian secara per oral
dibanding intraperitoneal dan intramuscular.
8. Cara pemberian obat dapat mempengaruhi absorbsi obat dalam tubuh.
9. Absorbsi obat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain :
Kelarutan obat
Bentuk sediaan obat
Tempat pemberian dan cara pemberian obat
Rute pemakaian obat
Konsentrasi obat
Sirkulasi darah pada tempat absorbsi
Luas permukaan tempat absorbsi
Kemampuan difusi melewati membran
I. DAFTAR PUSTAKA
Katzung, Bertram. G., 2001. Farmakologi Dasar dan Klinik . Salemba
Medika, Jakarta.
Tjay, Tan Hoa, Kirana Rahardja.2003.Obat-Obat Penting. Jakarta; Gramedia.
Sulistia dan Gunawan.2007.Farmakologi dan Terapi ed V Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta:Gaya baru
Mycek, Marry J., 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar, Widia Medika,
Jakarta
Mutschler, Ernst. 1991. Dinamika Obat Edisi 5. Bandung : Penerbit ITB
Syarif, Amir, dkk. 1995. Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Jakarta : FKUI
Press.
Praktikan
Ika Puspitaningrum,M.Sc.,Apt
Mega Dessy
(1041311096)
Amalina E.N.F.(1041311170)
PERTANYAAN
1. Jelaskan secara spesifik dengan contoh-contoh, mengenai karakteristik
lingkungan fisiologis, anatomis dan biokimiawi yang berada pada
daerah kontak mula antara obat dengan tubuh beserta akibat yang
ditimbulkannya !
Jawaban :
Peroral
Obat-obat yang akan diabsorbsi di lambung haruslah yang
bersifat asam-asam lemah karena obat yang di absorbsi di usus
haruslah yang bersifat basa lemah. Jadi obat yang diabsorbsi di
usus haruslah bersifat labil dalam keadaan asam (lambung).
Pada orang lanjut usia tidak terjadi gangguan besar
absorbsinya, tapi laju absorbsinya berkurang atau berlangsung
lama karena motilitas lambung berkurang.
Enzim, bahan obat menyebabkan penurunan sintesis atau
menaikkan penguraian enzim retikulum endoplasmam beberapa
obat
ada
persaingan
tempat
ikatan
pada
enzim
dan
misalnya Penisilin menjadi rusak dan tidak diabsorbsi. Oleh karena itu,
Penisilin disalut enterik untuk melindungi obat dari lingkungan asam.
Bahan baku