Anda di halaman 1dari 28

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.


Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
kehendak-Nya kami bisa menyelesaikan laporan praktikum Farmasi Fisika dengan
judul “Disolusi Obat”. Kami menyadari bahwa dalam penyelesaian laporan ini
tercapai berkat bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, kami berterima kasih
kepada asisten-asisten Farmasi Fisika yang telah membimbing pada saat praktikum
sampai pembuatan laporan ini. Sehingga laporan praktikum Farmasi Fisika ini
dapat terselesaikan.
Tujuan pembuatan laporan praktikum ini untuk menunjang pengetahuan
kepada pembaca mengenai disolusi obat. Juga digunakan sebagai pelengkap
pelajaran dalam laboratorium Farmasi Fisika. Penulisan laporan ini terdorong oleh
kebutuhan mahasiswa farmasi yang masih kurang jelas dan masih belum
mengetahui tentang disolusi obat.
Kami menyadari dalam penulisan laporan ini terdapat kekurangan. Untuk
itu kami memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila ada kekurangan dalam
penulisan laporan praktikum ini.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Gorontalo, November 2017

Sri Susanti

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................ i
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
I.1 Latar Belakang .......................................................................... 1
I.2 Maksud dan Tujuan Praktikum ................................................. 2
I.3 Prinsip Percobaan ....................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 3
II.1 Dasar Teori ................................................................................. 3
II.2 Uraian Bahan .............................................................................. 6
BAB III METODE PRAKTIKUM .................................................................. 10
III.1 Waktu dan tempat Pelaksanaan Praktikum ................................ 10
III.2 Alat dan Bahan ........................................................................... 10
III.3 Cara Kerja ................................................................................... 12
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................... 14
IV.1 Hasil Pengamatan ...................................................................... 14
IV.2 Pembahasan ................................................................................ 21
BAB V PENUTUP ........................................................................................... 26
V.1 Kesimpulan ................................................................................ 26
V.2 Saran ........................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Obat merupakan semua zat baik kimiawi, hewani, maupun nabati yang
dalam dosis layak dapat menyembuhkan, meringankan atau mencegah
penyakit berikut gejalanya. Proses pemindahan molekul obat dari bentuk
padat ke dalam larutan pada suatu medium disebut disolusi (Tjay, 2007).
Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk
sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif sangat penting
artinya bagi ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat
tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh.
Sediaan obat yang harus diuji disolusinya adalah bentuk padat atau semi
padat, seperti kapsul, tablet atau salep (Ansel, 1985).
Laju disolusi atau kecepatan melarut obat-obat yang relatif tidak larut
dalam air telah lama menjadi masalah pada industri farmasi. Obat-obat
tersebut umumnya mengalami proses disolusi yang lambat demikian pula
laju absorpsinya. Dalam hal ini partikel obat terlarut akan diabsorpsi pada
laju rendah atau bahkan tidak diabsorpsi seluruhnya. Dengan demikian
absorpsi obat tersebut menjadi tidak sempurna (Ansel, 1985).
Dalam Bidang farmasi, pengetahuan mengenai kecepatan disolusi atau
kelarutan sangat diperlukan untuk membantunya memilih medium pelarut
yang paling baik untuk obat atau kombinasi obat, membantu mengatasi
kesulitan-kesulitan tertentu yang timbul pada waktu pembuatan larutan
farmasetis (di bidang farmasi), dan lebih jauh lagi, dapat bertindak sebagai
standar atau uji kemurnian (Astuti dkk., 2008).
Mengingat pentingnya mempelajari disolusi suatu obat dalam bidang
farmasi, maka dilakukan percobaan disolusi obat menggunakan sampel
asam salisilat dan dititrasi menggunakan larutan baku NaOH 0,05 N dan
indikator fenolftalein untuk menentukan banyaknya konsentrasinya.

1
2

I.2 Manfaat dan Tujuan Praktikum


I.2.1 Maksud Percobaan
Maksud dari percobaan yaitu, untuk mengetahui dan memahami cara
penentuan konstanta kecepatan disolusi dari suatu obat.
I.2.2 Tujuan Percobaan
1. Mahasiswa dapat menentukan kecepatan disolusi dari asam salisilat
dengan kecepatan 50 rpm dan 100 rpm.
2. Mahasiswa dapat menggunakan alat uji disolusi tipe 2 (dayung).
I.3 Prinsip Percobaan
Prinsip percobaan ini yaitu didasarkan pada penentuan konstanta
kecepatan disolusi dari berdasarkan kadar asam salisilat yang terdisolusi
dalam media aquadest dengan menggunakan alat disolusi tipe 2 dan
menentukan kadarnya menggunakan titrasi alkalimetri menggunakan NaOH
0,05 N dan penambahan indikator fenoftalein pada menit ke 5, 10, 15, 20,
25, 30, 35, 40 dan 45 berdasarkan perubahan warna dari tak berwarna
menjadi merah muda.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Teori Umum
II.1.1 Pengertian
Disolusi adalah proses melarutnya suatu obat. Agar suatu obat
diabsorpsi, mula-mula obat tersebut harus larut dalam cairan pada tempat
absorpsi. Sebagai contoh, suatu obat yang diberikan secara oral dalam
bentuk tablet atau kapsul tidak dapat diabsorpsi sampai partikel-partikel
obat larut dalam cairan pada suatu tempat dalam saluran lambung. Dalam
hal dimana kelarutan suatu obat tergantung dari apakah medium asam atau
medium basa, obat tersebut akan dilarutkan berturut-turut dalam lambung
dan dalam usus halus (Ansel, 1985).
Disolusi mengacu pada proses ketika fase padat (misalnya tablet atau
serbuk) masuk dalam fase larutan, seperti air. Ketika obat melarut partikel-
partikel padat melarut dan molekul demi molekul bercampur dengan cairan
dan menjadi bagian dari cairan tersebut. Oleh sebab itu, disolusi obat adalah
proses ketika molekul obat dibebaskan dari fase padat dan masuk ke dalam
fase larutan (Annajiah, 2015).
Bila suatu tablet atau sediaan obat lainnya dimasukkan ke dalam
beaker yang berisi air atau dimasukkan ke dalam saluran cerna (saluran
gastrointestinal), obat tersebut mulai masuk ke dalam larutan dari bentuk
padatnya. Kalau tablet tersebut tidak dilapisi polimer, matriks padat juga
mengalami pemecahan menjadi partikel-partikel yang halus. Disintegrasi,
deagregasi dan disolusi bisa berlangsung secara serentak dengan
melepasnya suatu obat dari bentuk dimana obat tersebut diberikan (Martin,
1993).
Pada waktu suatu partikel obat mengalami disolusi, molekul-
molekul obat pada permukaan mula-mula masuk ke dalan larutan
menciptakan suatu lapisan jenuh obat larutan yang membungkus permukaan
partikel obat padat. Lapisan-lapisan ini dikenal sebagai lapisan difusi. Dari
lapisan difusi ini, lapisan-lapisan difusi obat melewati cairan yang melarut

3
4

dan berhubungan dengan membran biologis serta absorpsi terjadi. Jika


molekul-molekul obat terus meninggalkan lapisan difusi, molekul-molekul
tersebut diganti dengan obat yang dilarutkan dari permukaan partikel obat
dan proses absorpsi tersebut berlanjut.
Jika proses disolusi untuk suatu partikel obat tertentu adalah cepat,
atau jika obat diberikan sebagai suatu larutan dan tetap ada dalam tubuh
seperti itu, laju obat yang terabsorpsi terutama akan tergantung
kesanggupannya menembus pembatas membran. Tetapi, jika laju disolusi
untuk suatu partikel obat lambat, misalnya mungkin karena karakteristik zat
obat atau bentuk dosis yang diberikan, proses disolusinya sendiri akan
merupakan tahap yang menentukan laju dalam proses absorpsi.
Perlahan-lahan obat yang larut tidak hanya bisa diabsorpsi pada
suatu laju rendah, obat-obat tersebut mungin tidak seluruhnya diabsorpsi
atau dalam beberapa hal banyak yang tidak diabsorpsi setelah pemberian
oral, karena batasan waktu alamiah bahwa obat bisa tinggal dalam lambung
atau saluran usus halus. Dengan demikian, obat-obat yang sukar larut atau
produk obat yang formulasinya buruk bisa mengakibatkan absorpsi tidak
sempurna dari obat tersebut serta lewatnya dalam bentuk tidak berubah
keluar sistem melalui feses (Ansel, 1985).
Disolusi merupakan tahapan yang membatasi atau tahap yang
mengontrol laju biabsorpsi obat-obat yang mempunyai kelarutan rendah,
karena tahapan ini seringkali merupakan tahapan yang paling lambat dari
berbagai tahapan yang ada dalam penglepasan obat dari sediaannya dan
perjalanannya ke dalam sirkulasi sistemik.
Laju dimana suatu padatan melarut di dalam suatu pelarut telah
diajukan dalam batasan-batasan kuantitatif oleh Noyes dan Whitney pada
tahun 1897 dan telah dikerjakan dengan teliti oleh peneliti-peneliti lain.
Persamaan tersebut dituliskan sebagai berikut:
dM Ds dC DS
= (Cs - C ) atau = (Cs - C)
dt h dt Vh

Dimana M adalah massa zat terlarut yang dilarutkan pada waktu t,


dM/dt adalah laju disolusi dari massa tersebut (massa/waktu). D adalah
5

koefisien difusi dari zat terlarut dalamlarutan, S adalah luas permukaan zat
padat yang menyentuh larutan, h ketebalan difusi, Cs kelarutan dari zat
padat, yakni, konsentrasi larutan jenuh dari senyawa tersebut pada
temperatur percobaan, dan C konsentrasi zat terlarut pada waktu t. Besarnya
dC/dt adalah laju disolusi dan V adalah volume larutan (Martin,1993).
II.1.2 Metode uji disolusi
1. Metode keranjang/alat tipe 1
Alat ini terdiri dari sebuah wadah tertutup yang terbuat dari kaca
atau bahan transparan yang inert, suatu motor, suatu batang logam yang
digerakkan oleh motor dan keranjang berbentuk silinder. Wadah
tercelup sebagian di dalam suatu tangas yang mempertahankan suhu
dalam wadah pada 370 selama pengujian berlangsung dan menjaga agar
gerakan air dalam tangas air halus dan tetap. Bagian dari alat termasuk
lingkaran tempat alat diletakkan tidak akan memberikan gerakan,
goncangan atau getaran signifikan yang melebihi gerakan akibat
perpuatan alat pengaduk.
Komponen batang logam dan keranjang yang merupakan bagian
dari pengaduk yang terbuat dari baja tahan karat tipe 316 atau sejenis
sesuai dengan spesifikasi. Sediaan dimasukkan ke dalam keranjang
yang kering padat tiap awal pengujian. Jarak antara dasar bagian dalam
wadah dan keranjang adalah 25 mm selama pengujian berlangsung
(Dirjen POM, 1995).
2. Metode dayung/alat tipe 2
Pada alat ini digunakan dayung yang terdiri dari dayung dan
batang sebagai pengaduk. Batang pengaduk berada pada posisi
sedemikian sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada setiap titik
dari sumbu vertikal wadah dan berputar dengan halus tanpa goyangan
yang berarti. Dayung melewati diameter batang sehingga dasar dayung
dan batang rata. Jarak 25 mm antara dayung dan bagian dalam dasar
wadah dipertahankan selama pengujian berlangsung. Dayung dan
batang logam merupakan satu kesatuan dapat disalut dengan suatu
6

penyalut inert yang sesuai. Sediaan dibiarkan tenggelam ke dasar


wadah sebelum dayung mulai berputar. Sepotong kecil bahan yang
tidak bereaksi seperti gulungan kawat berbetuk spiral dapat digunakan
untuk mencegah mengapungnya sediaan (Dirjen POM, 1995).
II.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi
Faktor-faktor yang mempengaruhi laju disolusiantara lain adalah
sebagai berikut (Shargel, 2005):
1. Pengadukan
Kondisi pengadukan akan sangat berpengaruh pada kecepatan
disolusi yang dikontrol difusi dengan ketebalan lapisan difusi
berbanding terbalik pada kecepatan putarann pengadukan.
2. Suhu
Umumnya semakin tinggi suhu medium akan semakin banyak zat
aktif yang terlarut. Adanya kenaikan suhu selain dapat meningkatkan
gradien konsentrasi juga akan meningkatkan tetapan difusi, sehingga
akan menaikkan kecepatan disolusi
3. Medium kelarutan
Sifat medium kelarutan akan mempengaruhi uji pelarutan.
Medium larutan hendaknya tidak jenuh obat. beberapa peneliti telah
menggunkana cairan lambung yang diencerkan, HCl 0,1 N, dapar
fosfat, caira lambung tiruan, air dan cairan usus tiruan tergantung dari
sifat produk obat dan lokasi dalam saluran pencernaan dan perkiraan
obat yang akan terlarut.
II.2 Uraian Bahan
1. Air Suling (Dirjen POM, 1979)
Nama resmi : Aqua destillata
Nama lain : Aquadest
Rumus molekul : H2O
Berat molekul : 18,02 g/mol
Rumus struktur :
7

Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau dan


tidak mempunyai rasa
Kegunaan : Sebagai pelarut
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
2. Alkohol (Dirjen POM, 1979; Rowe, 2009)
Nama resmi : Aethanolum
Nama lain : Etanol, alcohol
Rumus molekul : C2 H6 O
Berat molekul : 46,07 g/mol
Rumus struktur :

Pemerian : Cairan tak berwarna, jernih, mudah menguap dan


mudah bergerak, bau khas, rasa panas. Mudah
terbakar dengan memberikan nyala biru yang tidak
berasap
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam kloroform
dan dalam eter
Khasiat : Sebagai antibakteri, sebagai pelarut
Kegunaan : Sebagai pensteril alat laboratorium
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari
cahaya, di tempat sejuk, jauh dari nyala api.
3. Asam Salisilat (Dirjen POM, 1995; Sweetman, 2009; British, 2009)
Nama resmi : Acidum salicylicum
Nama lain : Asam salisilat
Rumus molekul : C7H6O3
Berat molekul : 138,12 g/mol
Rumus struktur :
8

Pemerian : Hablur putih, biasanya berbentuk jarum halus atau


serbuk hablur halus putih, rasa agak manis, tajam
Kelarutan : Sukar larut dalam air dan dalam benzena, mudah
larut dalam etanol dan dalam eter, larut dalam air
mendidih, agak sukar larut dalam kloroform
Khasiat : Anti Fungi (Anti Jamur)
Kegunaan : Sebagai sampel
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
4. Fenolftalein (Dirjen POM, 1995; Sweetman, 2009)
Nama resmi : Phenolftalein
Nama lain : Fenolftalein
Rumus molekul : C20H14O4
Berat molekul : 318,33 g/mol
Rumus struktur :

Pemerian : Serbuk hablur putih, putih atau kekuningan, larut


dalam etanol, agak sukar larut dalam eter.
Kelarutan : Sukar larut dalam air, larut dalam etanol (95%)
Khasiat : Sebagai obat untuk konstipasi
Kegunaan : Sebagai larutan indikator.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
5. Natrium Hidroksida (Dirjen POM, 1995;Rowe, 2009)
Nama resmi : Natrii hydroxydum
Nama lain : Natrium hidroksida
Rumus molekul : NaOH
Berat molekul : 40,00 g/mol
Rumus struktur :
O
Na H
9

Pemerian : Bentuk batang, butiran, masa hablur atau keping,


kering, rapuh dan mudah meleleh basah, sangat
alkalis dan korosif. Segera menyerap CO2.
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air dan etanol (95%).
Khasiat : Sebagai agen alkali, larutan penyangga
Kegunaan : Sebagai larutan baku.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
BAB III
METODE PRAKTIKUM
III.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Praktikum
Praktikum kecepatan disolusi dilaksanakan pada tanggal 16 November
2017 pukul 08.00-12.00 WITA. Pelaksanaan praktikum bertempat di
Laboratorium Teknologi Farmasi, Jurusan Farmasi, Fakultas Olahraga dan
Kesehatan, Universitas Negeri Gorontalo.
III.2 Alat dan Bahan
III.2.1 Alat

Buret Corong Dispo

Erlenmeyer Gelas Kimia Gelas Ukur

Labu disolusi Neraca Analitik Pipet

10
11

Sendok Tanduk Statif dan Klem

III.2.2 Bahan

Alkohol 70% Asam Salisilat Aquadest

Botol Vial Fenolftalein Kertas Saring

Kertas Perkamen NaOH 0,05 N Tisu


12

III.3 Cara kerja


III.3.1 Penentuan kecepatan disolusi pada pengadukan 50 rpm
1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
2. Dibersihkan alat dengan alkohol 70%
3. Dituangkan 50 ml larutan baku NaOH 0,05 N ke dalam buret
4. Dijenuhkan kertas saring dengan dispo
5. Diisi labu disolusi degan 900 ml air suling
6. Diukur suhu pada water bath 37oC
7. Ditimbang 2 gram asam salisilat menggunakan neraca analitik
8. Dimasukkan 2 gram asam salisilat ke dalam 900 ml air suling pada
bejana
9. Dihidupkan digital stirer pada kecepatan 50 rpm
10. Disampling sebanyak 10 ml larutan asam salisilat menggunakan dispo
setiap waktu 5, 10, 15, 20, 25, 30, 35, 40 dan 45 menit setelah
pengadukan. Setiap pengambilan larutan, segera digantikan dengan 10
ml air suling
11. Dimasukkan larutan sampel ke dalam erlenmeyer
12. Ditambahkan 3 tetes indikator fenoftalein
13. Ditentukan kadar larutan asam salisilat dari setiap sampel pada masing-
masing menit dengan cara titrasi asam basa larutan NaOH 0,05 N dari
buret sampai larutan berubah dari warna bening menjadi merah muda
14. Dicatat volume NaOH yang terpakai
III.3.2 Penentuan kecepatan disolusi pada pengadukan 100 rpm
1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
2. Dibersihkan alat dengan alkohol 70%
3. Dituangkan 50 ml larutan baku NaOH 0,05 N ke dalam buret
4. Dijenuhkan kertas saring dengan dispo
5. Dijenuhkan kertas saring dengan dispo
6. Diisi labu disolusi degan 900 ml air suling
7. Diukur suhu pada water bath 37oC
8. Ditimbang 2 gram asam salisilat menggunakan neraca analitik
13

9. Dimasukkan 2 gram asam salisilat ke dalam 900 ml air suling pada


bejana
10. Dihidupkan digital stirer pada kecepatan 100 rpm
11. Disampling sebanyak 10 ml larutan asam salisilat menggunakan dispo
setiap waktu 5, 10, 15, 20, 25, 30, 35, 40, dan 45 menit setelah
pengadukan. Setiap pengambilan larutan, segera digantikan dengan 10
ml air suling
12. Dimasukkan larutan sampel ke dalam erlenmeyer
13. Ditambahkan 3 tetes indikator fenoftalein
14. Ditentukan kadar larutan asam salisilat dari setiap sampel pada masing-
masing menit dengan cara titrasi asam basa larutan NaOH 0,05 N dari
buret sampai larutan berubah dari warna bening menjadi merah muda
15. Dicatat volume NaOH yang terpakai
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Tabel Hasil Pengamatan
Volume titran (mL)
Waktu (menit)
Pengadukan 50 rpm Pengadukan 100 rpm
5 0,5 1
10 0,4 1,2
15 0,3 1,5
20 1 1,9
25 1 2,2
30 0,5 2,5
35 1,4 2,9
40 1,4 3,9
45 1,9 4,8

IV.2 Perhitungan
IV.2.1 Uji Disolusi
a. Penentuan kecepatan disolusi pada pengadukan 50 rpm
Pada menit ke-5:
Ma1 = kesetaraan x Volume titran
= 6,906 x 0,5
= 3,453 M
10
Mb1 = Ma1 x 900

= 3,453 x 0,011 = 0,0379 M


Mt1 = Mb1 = 0,0379 M
Pada menit ke-10:
Ma2 = kesetaraan x Volume titran
= 6,906 x 0,4
= 2,7624 M
10
Mb2 = Ma2 x
900

= 2,764 x 0,011 = 0,0303 M

14
15

10
Mt2 = Mb2 + (900 x Mb1) = 0,0306 M

Pada menit ke-15:


Ma3 = kesetaraan x Volume titran
= 6,906 x 0,3
= 2,0718 M
10
Mb3 = Ma3 x
900

= 2,0718 x 0,011 = 0,0227 M


10
Mt3 = Mb3 + (900 x Mb2) = 0,0230 M

Pada menit ke-20:


Ma4 = kesetaraan x Volume titran
= 6,906 x 1
= 6,906 M
10
Mb4 = Ma4 x
900

= 6,906 x 0,011 = 0,0759 M


10
Mt4 = Mb4 + (900 x Mb3) = 0,0761 M

Pada menit ke-25:


Ma5 = kesetaraan x Volume titran
= 6,906 x 1
= 6,906 M
10
Mb5 = Ma4 x 900

= 6,906 x 0,011 = 0,0759 M


10
Mt5 = Mb5 + (900 x Mb4) = 0,0781 M

Pada menit ke-30:


Ma6 = kesetaraan x Volume titran
= 6,906 x 0,5
= 3,453 M
10
Mb6 = Ma6 x 900

= 3,453 x 0,011 = 0,0379 M


16

10
Mt6 = Mb6 +( x Mb5) = 0,0387 M
900

Pada menit ke-35:


Ma7 = kesetaraan x Volume titran
= 6,906 x 1,4
= 9,6684 M
10
Mb7 = Ma7 x
900

= 9,6684 x 0,011 = 0,1063 M


10
Mt7 = Mb7 + (900 x Mb6) = 0,1095 M

Pada menit ke-40:


Ma8 = kesetaraan x Volume titran
= 6,906 x 1,4
= 9,6684 M
10
Mb8 = Ma8 x
900

= 9,6684 x 0,011 = 0,1063 M


10
Mt8 = Mb8 + (900 x Mb7) = 0,1074 M

Pada menit ke-35:


Ma9 = kesetaraan x Volume titran
= 6,906 x 1,9
= 13,1214 M
10
Mb9 = Ma9 x 900

= 13,1214 x 0,011 = 0,1443 M


10
Mt7 = Mb9 + (900 x Mb8) = 0,1454 M

b. Penentuan kecepatan disolusi pada pengadukan 100 rpm


Pada menit ke-5:
Ma1 = kesetaraan x Volume titran
= 6,906 x 1
= 6,906 M
10
Mb1 = Ma1 x 900
17

= 6,906 x 0,011 = 0,0759 M


Mt1 = Mb1 = 0,0759 M
Pada menit ke-10:
Ma2 = kesetaraan x Volume titran
= 6,906 x 1,2
= 8,2872 M
10
Mb2 = Ma2 x 900

= 8,2872 x 0,011 = 0,0911 M


10
Mt2 = Mb2 + (900 x Mb1) = 0,0919 M

Pada menit ke-15:


Ma3 = kesetaraan x Volume titran
= 6,906 x 1,5
= 10,359 M
10
Mb3 = Ma3 x 900

= 10,359 x 0,011 = 0,1139 M


10
Mt3 = Mb3 + (900 x Mb2) = 0,1149 M

Pada menit ke-20:


Ma4 = kesetaraan x Volume titran
= 6,906 x 1,9
= 13,1214 M
10
Mb4 = Ma4 x 900

= 13,1214 x 0,011 = 0,1443 M


10
Mt4 = Mb4 + (900 x Mb3) = 0,1455 M

Pada menit ke-25:


Ma5 = kesetaraan x Volume titran
= 6,906 x 2.2
= 15,1932 M
10
Mb5 = Ma5 x 900

= 15,1932 x 0,011 = 0,1671 M


18

10
Mt5 = Mb5 + (900 x Mb4) = 0,1686 M

Pada menit ke-30:


Ma6 = kesetaraan x Volume titran
= 6,906 x 2.5
= 17,265 M
10
Mb6 = Ma5 x
900

= 17,265 x 0,011 = 0,1899 M


10
Mt6 = Mb6 + (900 x Mb5) = 0,1917 M

Pada menit ke-35:


Ma7 = kesetaraan x Volume titran
= 6,906 x 2.9
= 20,0274 M
10
Mb7 = Ma7 x
900

= 20,0274 x 0,011 = 0,2203 M


10
Mt7 = Mb7 + (900 x Mb6) = 0,2223 M

Pada menit ke-40:


Ma8 = kesetaraan x Volume titran
= 6,906 x 3,9
= 26,9334 M
10
Mb8 = Ma8 x 900

= 26,9334 x 0,011 = 0,2962 M


10
Mt8 = Mb8 + (900 x Mb7) = 0,2986 M

Pada menit ke-45:


Ma9 = kesetaraan x Volume titran
= 6,906 x 4,9
= 33,1488 M
10
Mb9 = Ma9 x 900

= 33,1488 x 0,011 = 0,3646 M


19

10
Mt9 = Mb9 + (900 x Mb8) = 0,3678 M

IV.2.2 Tabel Konsentrasi


a. Penentuan kecepatan disolusi pada pengadukan 50 rpm
Waktu Volume
Ma Mb Mt
(menit) titran (mL)
5 0,5 2,718 0,0298 0,0298
10 0,4 2,762 0,0303 0,0306
15 0,3 2,0718 0,0227 0,0230
20 1 6,906 0,0759 0,0761
25 1 6,906 0,0759 0,0781
30 0,5 2,718 0,0298 1,0306
35 1,4 9,6684 0,1063 0,1095
40 1,4 9,6684 0,1063 0,1074
45 1,9 13,1214 0,1443 0,1454
b. Penentuan kecepatan disolusi pada pengadukan 50 rpm
Waktu Volume
Ma Mb Mt
(menit) titran (mL)
5 1 6,906 0,0759 0,0759
10 1,2 8,2872 0,0911 0,0919
15 1,5 10,359 0,1139 0,1459
20 1,9 13,1214 0,1443 0,1455
25 2,2 15,1932 0,1671 0,1586
30 2,5 17,265 0,1899 0,1917
35 2,9 20,0274 0,2203 0,2223
40 3,9 26,9334 0,2962 0,2986
45 4,8 33,1488 0,3646 0,3678
20

IV.2.3 Tabel Laju Disolusi


a. Pengadukan 50 rpm

Waktu (menit) Mt dm/dt

5 0,0298 0,0059
10 0,0306 0,0030
15 0,0230 0,0015
20 0,0761 0,0038
25 0,0781 0,0031
30 1,0306 0.0010
35 0,1095 0,0031
40 0,1074 0,0026
45 0,1454 0,0032
Rata-rata 0,0030
b. Pengadukan 100 rpm

Waktu (menit) Mt dm/dt

5 0,0759 0,0151
10 0,0919 0,0091
15 0,1459 0,0076
20 0,1455 0,0072
25 0,1586 0,0067
30 0,1917 0,0063
35 0,2223 0,0063
40 0,2986 0,0074
45 0,3678 0,0081
Rata-rata 0,0082
21

IV.2.4 Grafik disolusi


0.3

0.25

0.2

0.15

0.1

0.05

0
5 10 15 20 25 30 35 40 45

50 rpm 100 rpm

IV.2 Pembahasan
Disolusi adalah proses melarutnya suatu obat. Agar suatu obat
diabsorpsi, mula-mula obat tersebut harus larut dalam cairan pada tempat
absorpsi. Sebagai contoh, suatu obat yang diberikan secara oral dalam
bentuk tablet atau kapsul tidak dapat diabsorpsi sampai partikel-partikel
obat larut dalam cairan pada suatu tempat dalam saluran lambung. Dalam
hal dimana kelarutan suatu obat tergantung dari apakah medium asam atau
medium basa, obat tersebut akan dilarutkan berturut-turut dalam lambung
dan dalam usus halus (Ansel, 1985).
Pada praktikum ini dilakukan percobaan disolusi obat dengan
menentukan kecepatan disolusi asam salisilat dengan melarutkan dalam
labu disolusi menggunakan alat uji disolusi tipe dayung dengan suhu 37o C
dan dengan kecepatan 50 rpm dan 100 rpm. Kemudian larutan asam salisilat
disampling setiap 5 menit sampai menit ke 45 dan setiap sampling di titrasi
menggunakan larutan baku NaOH 0,05 N dengan bantuan indikator
fenolftalein. Menurut Dirjen POM (2014), alat uji tipe dayung ini
22

menggunakan dayung yang berfungsi sebagai uji disolusi obat dari dayung
dan batang sebagai pengaduk.
Hal pertama yang dilakukan yaitu menyiapkan semua bahan yang
diperlukan, setelah itu dibersihkan alat menggunakan alkohol 70%. Tujuan
dari pembersihan alat ini untuk membunuh mikroorganisme yang ada pada
alat karena menurut Dirjen POM (1979), alkohol berfungsi sebagai
desinfektan dan juga antiseptik. Kemudian ditimbang asam salisilat sebnyak
2 g menggunakan neraca analitik. Penimbangan dilakukan menggunakan
neraca analitik karena menurut Day and Underwood (2012), neraca analitik
mempunyai tingat ketilitian yang akurat yaitu mempunyai kemampuan
mendeteksi bobot pada kisaran 100 gram sampai dengan kurang lebih
0,0001 gram.
Kemudian diarangkai alat uji disolusi tipe dayung, diatur suhu pada
water bath sampai 370C. Menurut Perry (2005), suhu tubuh normal berkisar
antara 36,5-37,5°C. Setelah itu diukur air sebanyak 900 ml dan dimasukkan
kedalam labu disolusi. Menurut Price (2006), kapasitas lambung dapat
mencapai 1 sampai 2 L. Tapi, dalam praktikum ini hanya digunakan 900 ml.
Selanjutnya dimasukkan asam salisilat sebanak 2 gr kedalam labu disolusi.
Kemudian diatur kecepatan pengadukan pada digital stirer sampai 50 rpm.
Menurut Atkins (1994), tujuan dilakukan pengadukan sebagai penentuan
suatu zat terlarut, semakin banyak jumlah pengadukan, maka zat terlarut
menadi mudah larut.
Setelah itu, larutan disampling sebanyak 10 ml setiap 5 menit sampai
menit ke 45. Setiap sampel disampling segera diganti dengan aquades
sebanyak 10 ml, hal ini untuk menyesuaikan keadaan pada labu disolusi
dengan keadaan pada lambung yaitu kondisi sink. Menurut Martin et al
(1993), kondisi sink mengacu pada kapasitas pelarut kelebihan medium
disolusi. Kondisi ini didefinisikan sebagai volume media setidaknya lebih
besar 3 kali dari yang dibutuhkan untuk membentuk larutan jenuh substansi
obat. Kompartimen reseptor terus menerus disegarkan dengan pelarut baru
23

dan menghapus setap obat yang telah menyebar dalam kompartemen


reseptor.
Kemudian hasil sampling dimasukkan kedalam gelas kimia dan di
tambahkan indikator fenolftalein sebanyak 3 tetes. Menurut Khopkar
(1990), tujuan penggunaan indikator fenolftalein adalah untuk mengetahui
apakah larutan yang diuji bersifat asam ataupun basa dan titik akhir titrasi
karena jika menggunakan indikator lain trayek pHnya sangat jauh dari
ekivalen. Lalu dititrasi dengan larutan NaOH 0,05 N. Menurut
Padmaningrum (2006), tujuan memakai metode titrasi karena titrasi
merupakan suatu proses analisis dimana suatu volume larutan standar
ditambahkan ke dalam larutan dengan tujuan mengetahui komponen yang
tidak dikenal. Titrasi dihentikan setelah terjadi perubahan warna larutan dari
bening menjadi merah muda. Setelah itu, dicatat volume titrasinya dan
dihitung kecepatan disolusiya. Selanjutnya dilakukan uji disolusi
menggunakan kecepatan 100 rpm dengan cara yang sama dengan uji
disolusi menggunakan keceatan 50 rpm.
Dari percobaan yang dilakukan, didapatkan hasil yaitu untuk laju
disolusi dari pengadukan 50 rpm pada menit ke-5 adalah 0,0059, untuk
menit ke-10 adalah 0,0030, untuk menit ke-15 adalah 0,0015, menit ke-20
adalah 0,0038 dan menit ke-25 adalah 0,0031, menit ke-30 adalah 0,0010,
menit ke-35 adalah 0,0031, menit ke-40 adalah 0,0026 dan menit ke-45
adalah 0,0032. Sedangkan, dari pengadukan 100 rpm pada menit ke-5
adalah 0,0151, untuk menit ke-10 adalah 0,0091, untuk menit ke-15 adalah
0,0076, menit ke-20 adalah 0,0072, menit ke-25 adalah 0,0067, menit ke-30
adalah 0,0063, menit ke35 adalah 0,0063, menit ke-40 adalah 0,0074 dan
menit ke-45 adalah 0,0081. Dari percobaan yang telah dilakukan didapatkan
hasil fruktuatif hal ini tidah sesuai dengan literatur. Menurut Martin (1993),
Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi tebal lapisan difusi. Jika
pengadukan berlangsung cepat, maka tebal lapisan difusi akan cepat
berkurang.
24

Adapun kemungkinan kesalahan yang terdapat pada saat praktikum


yaitu, kurang telitinya pada saat menimbang bahan, kurang telitinya
praktikan saat menentukan volume titran pada saat titrasi. Selain itu,
kesalahan saat mengambil sampling dari labu disolusi dengan menggunakan
dispo yang tidak ada ukuran. Volume yang digunakan juga melebihi batas
optimum yang digunakan untuk melarutkan asam salisilat. Karena, menurut
Dirjen POM (1979), asam salisilat larut dalam 550 bagian air sedangkan
pada praktikum ini digunakan 900 mL air.
BAB V
KESIMPULAN
V.1 Kesimpulan
Dari percobaan yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:
1. Percobaan ini didasarkan pada prinsip penentuan konstanta kecepatan
disolusi berdasarkan kadar asam salisilat yang terdisolusi dalam media
aquadest dengan menggunakan alat disolusi tipe 2 dan menentukan
kadarnya menggunakan titrasi alkalimetri menggunakan NaOH 0,05 N
dan penambahan indikator fenoftalein pada menit ke 5, 10, 15, 20, 25,
30, 35, 40 dan 45 berdasarkan perubahan warna dari tak berwarna
menjadi merah muda.
2. Dari hasil percobaan didapatkan kesimpulan bahwa untuk uji disolusi
kecepatan 50 rpm didapatkan hasil yang fruktuatif yaitu dimana pada
menit kelima adalah 0,0059, untuk menit kesepuluh 0,0030, untuk
menit kelima belas adalah 0,0015, menit kedua puluh adalah 0,0038 dan
menit kedua puluh lima adalah 0,0031, menit ketiga puluh adalah
0,0010, menit ketiga puluh lima adalah 0,0031, menit keempat puluh
adalah 0,0026 dan menit keempat puluh lima adalah 0,0032 sehingga
tidak sesuai dengan literatur. Dan untuk uji disolusi kecepatan 100 rpm
didapatkan hasil sesuai literature yaitu pada menit kelima adalah
0,0151, untuk menit kesepuluh 0,0091, untuk menit kelima belas adalah
0,0076, menit kedua puluh adalah 0,0072, menit kedua puluh lima
adalah 0,0067, menit ketiga puluh adalah 0,0063, menit ketiga puluh
lima adalah 0,0063, menit keempat puluh adalah 0,0074 dan menit
keempat puluh lima adalah 0,0081.
V.2 Saran
V.2.1 Saran Asisten
Diharapkan asisten senantiasa mendampingi praktikan agar tidak
terjadi kesalahan fatal pada saat praktikum berlangsung.

25
26

V.2.2 Saran Laboratorium


Lebih melengkapi sarana dan pra sarana dalam laboratorium untuk
memperlancar jalannya praktikum.
V.2.3 Saran Jurusan
Sarana dan prasarananya sebaiknya ditingkatkan kembali agar
kualitas kerja lebih baik lagi.
V.2.4 Saran untuk Praktikan
Diharapkan agar praktikan lebih menguasai materi praktikum sebelum
praktikum berlangsung.

Anda mungkin juga menyukai