Uji Analgetik
PRAKTIKUM II
ANALGETIKA
I. TUJUAN
Mahasiswa mengenal dan mempraktekkan pengujian daya analgesic dengan menggunakan metode
rangsang kimia
Pengertian nyeri
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui
bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007). Menurut International Association for Study
of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat
terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya
kerusakan.
Fisiologi nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh
yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya
terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut
juga nosireceptor,secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga
yang tidak bermielin dari syaraf perifer. Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan
dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada
daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi
yang berbeda. Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah
ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi
dalam dua komponen yaitu :
a. Reseptor A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang memungkinkan
timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan.
b. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat pada daerah
yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi. Struktur reseptor nyeri
somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan
jaringan penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan
nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi. Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor
ini meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul
pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap
penekanan, iskemia dan inflamasi.
Analgetik
Analgetik adalah obat atau senyawa yang dipergunakan untuk mengurangi rasa sakit atau nyeri
tanpa menghilangkan kesadaran. Kesadaran akan perasaan sakit terdiri dari dua proses, yakni
penerimaan rangsangan sakit di bagian otak besar dan reaksi-reaksi emosional dan individu
terhadap perangsang ini. Analgetik diberikan kepada penderita untuk mengurangi rasa nyeri yang
dapatditimbulkan oleh berbagai rangsang mekanis, kimia, dan fisis yang melampaui suatunilai
ambang tertentu (nilai ambang nyeri). Obat penghalang nyeri (analgetik) mempengaruhi proses
pertama denganmempertinggi ambang kesadaran akan perasaan sakit, sedangkan narkotik
menekanreaksi-reaksi psychis yang diakibatkan oleh rangsangan sakit.
Atas dasar kerja farmakologisnya, analgetika dibagi dalam dua kelompok besar, yakni :
a. Analgetika perifer (non-narkotik), yang terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak
bekerja sentral. Analgetika antiradang termasuk kelompok ini
b. analgetika narkotik khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat, seperti pada fractura
dan kanker (Tjay, 2007).
Secara kimiawi analgetika perifer dapat dibagi dalam bebrapa kelompok, yakni :
a. parasetamol
Metode-metode pengujian aktivitas analgesik dilakukan dengan menilai kemampuan zat uji untuk
menekan atau menghilangkan ras nyeri yang diinduksi pada hewan percobaan (mencit, tikus,
marmot), yang meliputi induksi secara maknik, termik, elekrik, dan secara kimia. Metode pengujian
dengan induksi nyeri secara mekanik atau termik lebih sesuai untuk mengevaluasi obat-obat
analgetik kuat. Pada umumnya daya kerja analgetika dinilai pada hewan dengan mengukut besarnya
peningkatan stimulus nyeri yang harus diberikan sampai ada respon nyeri atau jangka waktu
ketahanan hewan terhadap stimulasi nyeri atau juga peranan frekuensi respon nyeri (Kelompok
Kerja Phytomedica, 1993).
1. Metode geliat
Obat uji dinilai kemampuannya dalam menekan atau menghilangkan rasa nyeri yang diinduksi secara
(pemberian asam asetat secara intraperitonial) pada hewan percobaan mencit (Kelompok Kerja
Phytomedica, 1993). Manifestasi nyeri akibat pemberian perangsang nyeri asam asetat
intraperitonium akan menimbulkan refleks respon geliat (writhing) yang berupa tarikan kaki ke
belakang, penarikan kembali abdomen (retraksi) dan kejang tetani dengan membengkokkan kepala
dan kaki belakang. Metode ini dikenal sebagai Writhing Reflex Test atau Abdominal Constriction Test
(Wuryaningsih,1996). Frekuensi gerakan ini dalam waktu tertentu menyatakan derajat nyeri yang
dirasakannya (Kelompok Kerja Phytomedica, 1993). Metode ini tidak hanya sederhana dan dapat
dipercaya tetapi juga memberikan evaluasi yang cepat terhadap jenis analgesik perifer (Gupta et al.,
2003).
2. Metode Listrik
Metode ini menggunakan aliran listrik sebagai penginduksi nyeri (Vohora dan Dandiya, 1992).
Sebagai respon terhadap nyeri, hewan akan menunjukkan gerakan atau cicitan. Arus listrik dapat
ditingkatkan sesuai dengan kekuatan analgesik yang diberikan. Metode ini dapat dilakukan terhadap
kera, anjing, kucing, kelinci, tikus dan mencit (Manihuruk, 2000).
3. Metode Panas
4. Metode Mekanik
Metode ini menggunakan tekanan sebagai penginduksi nyeri. Tekanan diberikan pada ekor atau kaki
hewan percobaan. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah tekanan yang diperlukan untuk
menimbulkan nyeri sebelum dan sesudah diberi obat. Metode ini dapat dilakukan terhadap anjing,
tikus, dan mencit (Manihuruk, 2000).
Alat
Handscoon : secukupnya
Masker : secukupnya
Bahan
B. Cara Kerja
Diinjeksikan p.o
Diinjeksikan p.o
Diinjeksikan p.o
Mencit 1
(kontrol)
Mencit 3
Mencit 2
Dihitung
% daya analgetik
Kontrol
1 0,735ml 3 32 43 42 32 29 181 -
(CMC1%)
a. Berat mencit
- Konversi dosis ke mencit (x0,0026) sehingga dosis parasetamol untuk mencit : 1,3mg – 2,6mg
sampai
Sehingga dosis SAA yang diinjeksikan secara p.o pada mencit adalah :
Volume pengambilan :
Volume pengambilan :
Volume pengambilan :
d. % daya analgetik
% daya analgetik =
=
=
% daya analgetik =
V. PEMBAHASAN
Tujuan dari praktikum ini adalah agar mahasiswa mengenal dan mempraktikkan pengujian daya
analgesik dengan menggunakan metode rangsangan kimia.
Analgetik adalah senyawa yang dapat menekan fungsi sistem saraf secara selektif. Digunakan untuk
mengurangi rasa sakit tanpa mempengaruhi kesadaran. Analgetik bekerja dengan meningkatkan
nilai ambang persepsi rasa sakit. Berdasarkan meknisme kerja analgetik dibagi menjadi dua yaitu
analgetik non narkotik dan analgetik narkotik. Analgetik non-narkotik digunakan untuk mengurangi
rasa sakit yang ringan sampai moderat, sehingga sering disebut analgetik ringan. Analgetik non-
narkotik bekerja menghambat enzim siklooksigenase dalam rangka menekan sintesis prostaglandin
yang berperan dalam stimulus nyeri dan demam. Sedangkan Analgetik narkotik adalah senyawa yang
dapat menekan fungsi sistem saraf pusat secara selektif. Efek analgesik dihasilkan oleh adanya
pengikatan obat dengan sisi reseptor khas pada sel dalam otak dan spinal cord. Rangsangan reseptor
juga menimbulkan efek euphoria dan rasa mengantuk.
Analgetik dipergunakan untuk mengurangi atau menghalau rasa sakit atau nyeri. Nyeri yang
diinduksikan kepada hewan uji dilakukan menggunakan metode rangsang kimia. Iritan kimia yang
digunakan adalah steril asam asetat yang diberikan secara intra peritoneal terhadap hewan uji yaitu
mencit (Mus muscullus). Metode rangsang kimia digunakan berdasar atas rangsang nyeri yang
ditimbulkan oleh zat-zat kimia yang digunakan untuk penetapan daya analgetika (Katzung, 1986).
Obat analgetik yang memiliki daya analgetik dengan presentasi yang tidak terlalu tinggi adalah
Paracetamol karena Paracetamol merupakan derivat-asetanilida adalah metabolit dari fenasetin.
Paracetamol berkhasiat sebagai analgetik dan antipiretik, Paracetamol dianggap sebagai zat
antinyeri yang paling aman, oleh karena itu obat ini lebih dipilih dalam percobaan ini. Adapun pada
Asam Mefenamat, Asetosal atau Aspirin mekanisme nyerinya sama sebagaimana Paracetamol
sebagai analgetik AINS namun afek samping berupa iritasi lambung lebih tnggi resikonya daripada
Paracetamol sehingga, Paracetamol lebih dipilih dalam pengujian efek analgetik pada percobaan ini.
Selanjutnya, efek nyeri itu akan bereaksi dengan obat analgetik yang diberikan. Dengan adanya obat
analgetik maka ambang nyeri ditingkatkan sehingga menyebabkan respon terhadap nyeri itu lebih
kecil. Semua obat analgetik non opioid, termasuk Paracetamol yang digunakan pada percobaan ini,
bekerja melalui penghambatan siklooksigenase. Paracetamol menghambat siklooksigenase sehingga
konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin terganggu. Setiap obat menghambat
siklooksigenase secara berbeda. Paracetamol menghambat siklooksigenase pusat lebih kuat dari
pada aspirin, inilah yang menyebabkan Paracetamol menjadi obat antipiretik yang kuat melalui efek
pada pusat pengaturan panas. Paracetamol hanya mempunyai efek ringan pada siklooksigenase
perifer. Inilah yang menyebabkan Paracetamol hanya menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri
ringan sampai sedang. Paracetamol tidak mempengaruhi nyeri yang ditimbulkan efek langsung
prostaglandin, ini menunjukkan bahwa Paracetamol menghambat sintesa prostaglandin dan bukan
blokade langsung prostaglandin. Obat ini menekan efek zat pirogen endogen dengan menghambat
sintesa prostaglandin, tetapi demam yang ditimbulkan akibat pemberian prostaglandin tidak
dipengaruhi, demikian pula peningkatan suhu oleh sebab lain.
Pada praktikum ini analgetik yang digunakan adalah analgetik non narkotik yaitu Paracetamol yang
disuspensikan dalam CMC 1%. Dengan kontrol menggunakan CMC 1%. Praktikum ini menggunakan
metode rangsangan kimia. Rangsangan kimia pada praktikum ini diberikan dengan pemberian steril
asam acetat 1% (SAA). Selain itu dalam praktikum ini hewan uji yang digunakan yaitu mencit. Mencit
digunakan sebagai hewan uji karenamudah disimpan dan dipelihara serta bisa beradaptasi baik
dengan lingkungan baru. Selain itu mencit percobaan hampir identik secara genetis.Genetik mereka,
karakteristik biologi dan perilakunya sangat mirip manusia, dan banyak gejala kondisi manusia dapat
direplikasi pada tikus.
Pada percobaan ini pemberian cairan pada mencit harus disesuaikan dosis serta volumenya, hal ini
dilakukan supaya supaya tidak terjadi overdosis dan pemberian volume yang berlebihan kepada
hewan uji. Konversi dosis pada praktikum ini yaitu dosis manusia kepada hewan uji yaitu mencit.
Konversi dosis manusia ke mencit dikalikan 0,0026 dari dosis manusia 70kg ke mencit 20g yang
kemudian disesuaikan dengan berat badan mencit. Pada praktikum ini konversi dosis Paracetamol
dari manusia sebesar 500-1000mg diperoleh dois Paracetamol untuk mencit sebesar 1,3mg – 2,6mg.
Pemberian ini tidak boleh melebihi volume maksimal larutan yang bisa diberikan pada mencit dalam
hal ini adalah per oral dan intra peritonial yang maksimum volume pemberiannya sebesar 1,0ml.
Karena sediaan yang dimiliki sebesar 250mg/100ml sehingga pemberian Paracetamol pada mencit
sebesar 0,5ml sampai 1ml. Sedangkan dosis SAA pada mencit sebesar 300mg/kgBB, sehingga
diperoleh dosis untuk mencit 0,0245kg, 0,019kg dan 0,025kg sehingga diperoleh dosis pemberian
pada mencit sebesar 7,35mg, 5,7mg dan 7,5mg. Karena sediaan yang dimiliki adalah SAA1%
(1g/100ml) sehingga volume saa yang diberikan berturut-turut sebesar 0,235ml, 0,57ml dan 0,75ml.
Langkah kerja dari percobaan ini adalah pengujian dilakukan dengan cara menimbang berat mencit
masing-masing sebanyak 3 ekor. Untuk masing-masing mencit dilakukan konversi dosis agar
pemberian dosis pada hewan uji mencit ini tidak melebihi batas yang ditetapkan. Terdapat 3 tahap
uji, tahap pertama yaitu pada mencit pertama, yaitu sebagai kontrol disuntik secara per oral dengan
larutan CMC 1% sebanyak 1 ml kemudian mencit kedua secara per oral diberi 0,5 ml suspensi
paracetamol dalam CMC 1% dan pada mencit ketiga secara per oral diberi 1 ml susoensi parasetamol
dalam CMC 1%. Setelah 5 menit pemberian kemudian mencit kedua dan ketiga diinjeksi secara intra
peritonial dengan larutan Steril asam asetat (SAA) 1% sebanyak konversi dosis yang telah dihitung
terlebih dahulu. Kemudian dilakukan pengamatan pada ketiga mencit dilihat dari geliatan mencit
dan dicatat kumulatif geliatan mencit setiap selang waktu 5 menit selama 30 menit. Kemudian
dihitung % daya analgetik dengan rumus :
Pada percobaan ini alat yang digunakan yaitu spuit injeksi ( 0,1 – 1 ml ), sonde dan gelas
beaker. Spuit injeksi dan sonde disini berfunsi untuk alat injeksi yang digunakan untuk menginjeksi
mencit yang beriisikan larutan yang akan diinjeksikan. Sedangkan bahan yang digunakan yaitu Steril
asam asetat (SAA) 1% yang berfungsi sebagai pemberi rasa nyeri pada mencit atau disebut sebagai
penginduksi nyeri dan suspensi paracetamol dalam larutan CMC 1% yang berfungsi sebagai
analgetik. SAA dapat memberikan suasana asam dengan melepas ion H+ yang berperan sebagai
mediator nyeri yang mempengaruhikerja sistem saraf, sehingga menimbulkan rasa nyeri. Rasa nyeri
ini dapat dilihat melalui gejala menggeliat pada mencit. Gejala sakit pada mencit sebagai akibat
pemberian SAA secara i.p yaitu adanya kontraksi dari dinding perut, kepala, dan kaki ditarik ke
belakang sehingga abdomen menyentuh dasar dari ruang yang ditempati yang disebut
geliat. Paracetamol merupakan obat analgetik lemah yang bekerja mempengaruhi proses sintesis
dari prostaglandin yang berperan dalam mekanisme nyeri, reaksi radang dan demam.
Hasil pengamatan menunjukkan mencit yang diberi Paracetamol dengan volume lebih banyak
memiliki aktivitas geliat lebih sedikit, karena diberikan Paracetamol dengan volume lebih banyak
sehingga kemampuan analgetik akan lebih besar. Berbeda dengan mencit yang diberikan CMC
sebagai konrol memilki geliat yang lebih banyak. Jumlah geliat mencit dihitung setiap 5 menit
selama 30 menit. Pada 5 menit pertama memilki geliat sedikit lama-lama geliat bertambah dan geliat
menurun pada pada menit-menit akhir. Selanjutnya dihitung % daya analgetik dengan rumus:
Pada mencit II memiliki % daya analgetik 62,98% dan pada mencit III memilki daya analgetik 74,59%.
Hal ini menunjukkan pada mencit III memiliki kemampuan analgetik lebih besar sehingga memiliki
geliat lebih sedikit.
Analgetika adalah obat atau senyawa yang dipergunakan untuk mengurangi atau menghalau rasa
sakit atau nyeri. Nyeri yang diinduksikan kepada hewan uji dilakukan menggunakan metode
rangsang kimia. Iritan kimia yang digunakan adalah steril asam asetat yang diberikan secara intra
peritoneal terhadap hewan uji yaitu mencit (Mus muscullus). Metode rangsang kimia digunakan
berdasar atas rangsang nyeri yang ditimbulkan oleh zat-zat kimia yang digunakan untuk penetapan
daya analgetika (Katzung, 1986).
Obat analgetik yang memiliki daya analgetik dengan presentasi yang tidak terlalu tinggi adalah
parasetamol karena Parasetamol merupakan derivat-asetanilida adalah metabolit dari fenasetin.
Parasetamol berkhasiat sebagai analgetik dan antipiretik, Parasetamol dianggap sebagai zat
antinyeri yang paling aman, oleh karena itu obat ini lebih dipilih dalam percobaan ini. Adapun pada
asam mefenamat, asetosal atau aspirin mekanisme nyerinya sama sebagaimana parasetamol
sebagai analgetik AINS namun afek samping berupa iritasi lambung lebih tnggi resikonya daripada
parasetamol sehingga, parasetamol lebih dipilah dalam pengujian efek analgetik pada percobaan ini.
Selanjutnya, efek nyeri itu akan bereaksi dengan obat analgetik yang diberikan. Dengan adanya obat
analgetik maka ambang nyeri ditingkatkan sehingga menyebabkan respon terhadap nyeri itu lebih
kecil. Semua obat analgetik non opioid, termasuk parasetamol yang digunakan pada percobaan ini,
bekerja melalui penghambatan siklooksigenase. Parasetamol menghambat siklooksigenase sehingga
konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin terganggu. Setiap obat menghambat
siklooksigenase secara berbeda. Parasetamol menghambat siklooksigenase pusat lebih kuat dari
pada aspirin, inilah yang menyebabkan Parasetamol menjadi obat antipiretik yang kuat melalui efek
pada pusat pengaturan panas. Parasetamol hanya mempunyai efek ringan pada siklooksigenase
perifer. Inilah yang menyebabkan Parasetamol hanya menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri
ringan sampai sedang. Parasetamol tidak mempengaruhi nyeri yang ditimbulkan efek langsung
prostaglandin, ini menunjukkan bahwa parasetamol menghambat sintesa prostaglandin dan bukan
blokade langsung prostaglandin. Obat ini menekan efek zat pirogen endogen dengan menghambat
sintesa prostaglandin, tetapi demam yang ditimbulkan akibat pemberian prostaglandin tidak
dipengaruhi, demikian pula peningkatan suhu oleh sebab lain.
2. Bagaimana mekanisme terjadinya rasa nyeri dari tempat stimulus rangsang sampai saraf pusat?
Bagaimana kerja dari analgesik?
Jawaban:
1. Pengaruh obat analgetik terhadap mencit adalah semakin besar dosis yang diberikan maka
geliat pada mencit semakin sedikit. Hal ini dikarenakan kerja dari analgetik semakin maksimal.
Analgetik (dalam praktek ini adalah parasetamol) menaikkan ambang nyeri dari mencit.
2. Mekanisme rasa nyeri dari tempat stimulus rangsang sampai saraf pusat adalah nyeri nosiseptif
terjadi ketika ada stimulus memicu reseptor nyeri, stimulus tersebut akan diubah menjadi impuls
saraf pada saraf aferen primer dan ditransmisikan sepanjang saraf aferen menuju spinal cord dan
akhirnya sampai pada pusat nyeri di dalam otak yang akan menimbulkan persepsi nyeri.
VII. KESIMPULAN
1. Analgetik adalah senyawa yang dapat menekan fungsi sistem saraf secara selektif. Digunakan
untuk mengurangi rasa sakit tanpa mempengaruhi kesadaran. Analgetik bekerja dengan
meningkatkan nilai ambang persepsi rasa sakit.
2. Analgetik yang digunakan adalah analgetik non narkotik yaitu Paracetamol yang disuspensikan
dalam CMC 1%. Dengan kontrol menggunakan CMC 1% yang keduanya telah disesuaikan dosisnya.
3. Praktikum ini menggunakan metode rangsangan kimia,yaitu diberikan dengan pemberian steril
asam acetat 1% (SAA) dengan hewan uji mencit, karena mudah disimpan dan dipelihara serta bisa
beradaptasi baik dengan lingkungan baru. Selain itu mencit percobaan hampir identik secara genetis
dengan manusia.
4. Pemberian di lakukan secara oral dan intra peritonial. Pemberian tidak boleh melebihi volume
maksimal larutan yang bisa diberikan pada mencit dalam hal ini adalah per oral dan intra peritonial
yang maksimum volume pemberiannya sebesar 1,0ml.
6. Hasil pengamatan menunjukkan mencit yang diberi Paracetamol dengan volume lebih banyak
memiliki aktivitas geliat lebih sedikit, karena diberikan Paracetamol dengan volume lebih banyak
sehingga kemampuan analgetik akan lebih besar.
7. Pada mencit II memiliki % daya analgetik 62,98% dan pada mencit III memilki daya analgetik
74,59%
Adeyemi. 2001. Analgesic and Anti-inflammatory Effects of The Aqueous Extract of Leaves of Persea
americana Mill. (Lauraceae). Italy: J. Fitoterapia, 73, Elsevier, Indena, p. 375-377.
Anief Moh. 2000. Prinsip Umum dan Dasar Farmakologi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press.
Ganiswara, Sulistia G (Ed), 1995, Farmakologi dan Terapi, Edisi IV. Balai Penerbit
Gupta, M., U.K. Mazumder, R.S. Kumar dan T.S. Kumar. 2003. Studies on Anti- inflammatory,
Analgesic and Antipyretic Properties of Methanol Extract of Caesalpinia bonducella leaves in
Experimental Animal Models, Iranian J. Pharmacology & Therapeutics. Calcutta, India: Razi Institute
for Drug Research.
Katzung, Bertram G., 1986, Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: Salemba Medika.
Kelompok Kerja Phyto Medica. 1993. Penapisan Farmakologi, Pengujian Fitokimia dan Pengujian
Klinis. Jakarta: Yayasan Phytomedica. hal. 3-6.
Manihuruk, E. Skripsi: Aktivitas Analgesik Daun Dewa (Gynura procumbens (Lour.) Merr. dan Gynura
pseudochina (L.) DC.) pada Mencit Dengan Metode Geliat. Jatinangor: Jurusan Farmasi, FMIPA,
Universitas Padjadjaran. hal. 18.
Tamsuri, A. 2007. Konsep dan Pentatalaksanaan Nyeri. Jakarta: EGC. Hal 1-63
Tjay,Tan Hoan dan K. Rahardja, 2007, Obat-obat Penting. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Vohora, S.B. and P.C. Dandiya. 1992. Herbal Analgesic Drugs. Italy: J. Fitoterapia, LXIII (3), Elsevier,
Indena. p. 202
Wuryaningsih, L.E., M.A. Rarome, T. Windono. 1996. Uji Analgesik Ekstrak Etanol Kering Rimpang
Kencur Asal Purwodadi pada Mencit Dengan Metode Geliat (Writhing Reflex Test), 3. Warta
Tumbuhan Obat Indonesia. hal. 24-25.