Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

FARMAKOEKONOMI

DOSEN PENGAMPU : Apt. WIRNAWATI, S. Farm., M.Si

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 6

MARYANTI
NANDA DARU WAHDINI
PUTRI RAMADAYANTI
RANI NUR AFIFAH
RISCA AINUN JARIAH
RONI SETIAWAN
SURYANI
YHETI

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KALIMANTAN TIMUR
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini
walaupun secara sederhana, baik bentuknya maupun isinya. Makalah ini disusun
untuk melengkapi tugas Farmakoekonomi yang mungkin dapat membantu teman-
teman dalam mempelajari hal-hal yang berkaitan tentang masalah
farmakoekonomi di masa pandemi. Makalah ini dapat penulis selesaikan karena
bantuan berbagai pihak. Karena itu pada kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis.Tak
ada gading yang tak retak, begitu juga dengan makalah ini. Penulis menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan
kritik dan saran yang menbangun demi sempurnanya makalah ini.

Samarinda, 26 Februari 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................2
DAFTAR ISI............................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................4
1.1 Latar Belakang..........................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................5
1.3 Tujuan........................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................6
2.1 KESEHATAN TERKINI (DBD)..............................................................6
2.2 Dampak Berbagai Pihak Terhadap Farmakoekonomi Di Masa Pandemik.
...................................................................................................................7
2.3 Klasifikasi Biaya Dalam Farmakoekonomi..............................................9
2.4 Pengukuran Outcome Terapi...................................................................13
2.4.1 Clinical Outcome.............................................................................13
2.4.2 Humanistic Outcome........................................................................15
2.4.3 Economic Outcome..........................................................................16
BAB III PENUTUP...............................................................................................18
3.1 Kesimpulan..............................................................................................18
3.2 Saran........................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................19
BAB I
PENDAHULUAN

I.a Latar Belakang


COVID-19 adalah penyakit yang disebabkan oleh turunan coronavirus
baru, ‘CO’ diambil dari corona, ‘VI’ virus, dan ‘D’ disease (penyakit).
Sebelumnya, penyakit ini disebut ‘2019 novel coronavirus’ atau ‘2019-
nCoV.’ Virus COVID-19 adalah virus baru yang terkait dengan keluarga
virus yang sama dengan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) dan
beberapa jenis virus flu biasa (WHO, 2020). Coronavirus 2019 (Covid-19)
adalah penyakit menular yang disebabkan oleh sindrom pernapasan akut
coronavirus 2 (Sars-CoV-2). Penyakit ini pertama kali ditemukan pada
Desember 2019 di Wuhan, Ibukota Provinsi Hubei China, dan sejak itu
menyebar secara global diseluruh dunia, mengakibatkan pandemi coronavirus
2019-2020. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendeklarasikan wabah
koronavirus 2019- 2020 sebagai Kesehatan Masyarakat Darurat Internasional
(PHEIC) pada 30 Januari 2020, dan pandemi pada 11 Maret 2020.
Wabah penyakit ini begitu sangat mengguncang masyarakat dunia,
hingga hampir 200 Negara di Dunia terjangkit oleh virus ini termasuk
Indonesia. Berbagai upaya pencegahan penyebaran virus Covid-19 pun
dilakukan oleh pemerintah di negara-negara di dunia guna memutus rantai
penyebaran virus Covid-19 ini, yang disebut dengan istilah lockdown dan
social distancing (Supriatna, 2020). Sejak 31 Desember 2019 hingga 3
Januari 2020 kasus ini meningkat pesat, ditandai dengan dilaporkannya
sebanyak 44 kasus. Tidak sampai satu bulan, penyakit ini telah menyebar di
berbagai provinsi lain di China, Thailand, Jepang, dan Korea Selatan. Sampel
yang diteliti menunjukkan etiologi coronavirus baru, awalnya, penyakit ini
dinamakan sementara sebagai 2019 novel coronavirus (2019- nCoV),
kemudian WHO mengumumkan nama baru pada 11 Februari 2020 yaitu
Coronavirus Disease (COVID-19) yang disebabkan oleh virus Severe Acute
Respiratory Syndrome Coronavirus-2 (SARS-CoV-2). Virus ini dapat
ditularkan dari manusia ke manusia dan telah menyebar secara luas. Kasus
terbaru pada tanggal 13 Agustus 2020, WHO mengumumkan COVID-19,
terdapat 20.162.474 juta kasus konfirmasi dan 737.417 ribu kasus meninggal
dimana angka kematian berjumlah 3,7 % di seluruh dunia, sementara di
Indonesia sudah ditetapkan 1.026.954 juta kasus dengan spesimen diperiksa,
dengan kasus terkonfirmasi 132.138 (+2.098) dengan positif COVID-19
sedangkan kasus meninggal ialah 5.968 kasus yaitu 4,5% (PHEOC Kemenkes
RI, 2020).
COVID-19 disebabkan oleh SARS-COV2 yang termasuk dalam keluarga
besar coronavirus yang sama dengan penyebab SARS pada tahun 2003, hanya
berbeda jenis virusnya. Gejalanya mirip dengan SARS, namun angka
kematian SARS (9,6%) lebih tinggi dibanding COVID-19 (saat ini kurang
dari 5%), walaupun jumlah kasus COVID-19 jauh lebih banyak dibanding
SARS. COVID- 19 juga memiliki penyebaran yang lebih luas dan cepat ke
beberapa negara dibanding SARS (Tim Kerja Kementerian Dalam Negeri,
2020).

I.b Rumusan Masalah


a. Bagaimana kesehatan terkini dari pandemi covid 19 ?
b. Apa dampak berbagai pihak terhadap farmakoekonomi di masa pandemik?
c. Bagaimana klasifikasi biaya dalam farmakoekonomi ?
d. Bagaimana pengukuran outcome terapi ?

I.c Tujuan
a. Dapat mengetahui kesehatan terkini dari pandemi covid 19
b. Dapat mengetahui dampak berbagai pihak terhadap farmakoekonomi di
masa pandemik
c. Dapat mengetahui klasifikasi biaya dalam farmakoekonomi
d. Dapat mengetahui pengukuran outcome terapi
BAB II
PEMBAHASAN

II.a Masalah Kesehatan Terkini


Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi semua manusia
karena tanpa kesehatan yang baik, maka setiap manusia akan sulit dalam
melaksanakan aktivitasnya sehari-hari. Kesehatan adalah keadaan sehat, baik
secara fisik, mental, spiritual, maupun sosial yang memungkinkan setiap
orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis (UU No. 36 tahun
2009 tentang Kesehatan). Kesehatan merupakan hak asasi manusia, oleh
karena itu setiap orang mempunyai hak untuk hidup layak, baik dalam
kesehatan pribadi maupun keluarga termasuk di dalamnya mendapatkan
pelayanan kesehatan.
Seluruh masyarakat dunia sepakat bahwa hak atas kesehatan merupakan
hak dasar (Fundamental Right) yang dimiliki oleh setiap manusia. Hak atas
kesehatan yang sebelumnya dipandang hanya sekedar urusan pribadi terkait
dengan nasib atau karunia Tuhan, kini telah mengalami pergeseran paradigma
yang sangat besar menjadi suatu hak hukum (legal rights) yang tentunya
dijamin oleh negara (Nurhalimah, S. 2020). Kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah adanya Social Distancing yang dimungkinkan untuk mengurangi
atau menghambat penyebaran virus. Dan kebijakan ini sangat efektif dengan
mencegah orang sakit melakukan kontak langsung kepada orang lainnya yang
tidak sakit sehingga mencegah penularan. Begitu juga tenaga kesehatan
berupaya mencegah untukbertambahnya orang yang terifeksi dan perlu
adanya jaminan perlindungan dan keselamatan kerja bagi tenaga medis dalam
penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Kebijakan terkait
pelayanan kesehatan dapat dikatakan sebagai aspek penting dalam kondisi
dimasyarakat sekarang (Moch Halim Sukur, dkk. 2020).
Pada tanggal 2 Maret 2020, Indonesia untuk pertama kalinya
mengonfirmasi kasus COVID-19 (Tim detikcom, 2020). Hingga per tanggal
28 Mei 2020, tercatat 31.024 kasus COVID-19 yang telah menyebar di 34
provinsi di Indonesia (Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19,
2020) (Chairani, I. 2020). Corona virus atau COVID -19 adalah sebuah virus
yang menyerang dan menginfeksi sistem pernapasan. Corona virus
merupakan salah satu dari keluarga besar virus yang mengakibatkan
infeksi pada saluran pernapasan. Corona virus dapat mengakibatkan
gannguan ringan pada sistem pernapasan ringan maupun sedang pada
sistem pernapasan, virus corona juga dapat menyebabkan infeksi berat
pada paru-paru dan juga kematian. Kondisi pandemi COVID-19 yang terjadi
ini membawa dampak yang cukup serius pada tatanan kesehatan,
perekonomian, dan sosial di Indonesia
Dalam hal ini, Penegakan Hukum di awal munculnya virus di
Indonesia. Pemerintah Indonesia di tinjau berdasarkan Pasal 154 Undang –
Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, menyatakan Pemerintah
wajib mengumumkan bagian wilayah yang menjadi sumber terjangkitnya
penularan penyakit ke banyak masyarakat. Pemerintah wajib mengungkap
jenis dari penyakit yang penularannya menyebar dengan cepat. Fakta dari
Pemerintah dalam melindungi jaminan kesehatan masyarakat dikatakan
lamban untuk menyebarkan informasi terkait kasus yang memakan korban
banyak karena adanya virus yang sangat berbahaya ini. Sehingga dalam
Pelayanan Kesehatan yang dilakukan tenaga medis bisa dikatakan hampir
tidak mampu karena disebabkan banyaknya pasien yang dinyatakan Positif
COVID-19. Berdasarkan uraian diatas, maka akan dibahas mengenai
bagaimana awal terjadinya penyebaran virus begitu cepat di indonesia dan
bagaimana pelayanan kesehatan untuk masyarakat Indonesia dengan adanya
keterlambatan informasi dalam mengungkapkan terjadinya penyebaran virus
COVID-19 (Moch Halim Sukur, dkk. 2020).

II.b Dampak Berbagai Pihak Terhadap Farmakoekonomi Di Masa


Pandemik
Dampak yang ditimbulkan oleh wabah COVID 19 ini begitu masif
sampai dapat melumpuhkan aktivitas perekonomian global di berbagai sektor
bisnis. Kerugian ekonomi yang dialami China akibat virus 2019-nCov
diestimasikan mencapai USD 62 juta dan total kerugian lebih dari USD 280
juta secara global pada kuartal pertama tahun 20204,5. Indonesia diprediksi
mengalami penurunan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sebesar 0.2% dari
tahun 20196. Salah satu kegiatan operasional sektor bisnis yang terkena
dampak akibat wabah ini adalah kegiatan rantai pasok. Rantai pasok
merupakan serangkaian sistem yang terdiri atas organisasi, personel, aktivitas,
informasi, dan segala jenis sumber daya lainnya terkait kegiatan memasok
produk bagi konsumen [ CITATION Mon20 \l 1033 ]
Berbagai macam sektor bisnis terdampak dari pandemi COVID-19
ini, salah satunya adalah sektor industri farmasi di berbagai belahan dunia.
Ozili dan Arun menyatakan bahwa sebanyak 60% bahan baku aktif farmasi
yang digunakan seluruh dunia merupakan hasil produksi China. Rude
menyebutkan bahwa industri farmasi di berbagai belahan dunia sangat
bergantung terhadap pasokan bahan baku obat dari China sejak tahun 2013.
Pada tahun 2018, China merupakan produsen bidang farmasi terbesar di dunia
yang mencakup 32,2% produk farmasi yang mengalami peningkatan dari
persentase 26,5% sejak tahun 2013. Hal ini menyebabkan Cina menduduki
posisi nomor satu sebagai produsen bahan baku farmas[ CITATION Mon20 \l
1033 ]
Hingga saat ini, industri farmasi di Indonesia masih mengandalkan
impor sekitar 90% bahan baku obat-obatan yang digunakan dalam proses
manufaktur obat dari luar negeri. Nilai impor ini mencapai USD 2,5 miliar
hingga USD 2,7 miliar per tahunnya13. China dan India merupakan dua
negara eksportir bahan baku farmasi terbesar ke banyak negara, termasuk
Indonesia. Perusahaan-perusahaan yang berlokasi di China umumnya
membuat kebijakan menurunkan kecepatan produksi atau bahkan meliburkan
para pekerja sejak akhir bulan Januari karena hari raya Tahun Baru Imlek
dengan kisaran waktu 1 hingga 2 minggu setiap tahunnya.[ CITATION Mon20 \l
1033 ]
Strategi yang dapat dilakukan oleh industri farmasi dalam rangka
menghadapi wabah COVID-19 dapat dikategorikan ke dalam tiga aspek
manajemen rantai pasok, yaitu pengelolaan persediaan, manajemen informasi,
serta pengelolaan finansial perusahaan Dalam industri farmasi, manajemen
persediaan merupakan kunci utama dalam pengelolaan rantai pasok. Dalam
masa pandemi ini, industri farmasi harus mengupayakan agar stok pengaman
tetap terjaga dengan mengembangkan strategi persediaan yang adaptif
terhadap situasi dengan cara melakukan simulasi skenarioskenario inventory
tertentu dan dampaknya terhadap tingkat persediaan dan biaya. Salah satu
metode yang dapat digunakan untuk menguji strategi persediaan adalah
dengan metode simulasi. Simulasi merupakan analisis pemodelan yang
berguna dalam analisis gangguan rantai pasok ketika gangguan yang
berdampak terhadap rantai pasok perli dianalisis dalam kondisi perubahan
yang tergantung waktu [ CITATION Mon20 \l 1033 ]

II.c Klasifikasi Biaya Dalam Farmakoekonomi


Dalam kajian farmakoekonomi, biaya selalu menjadi pertimbangan
penting karena adanya keterbatasan sumberdaya, terutama dana. Dalam
kajian yang terkait dengan ilmu ekonomi, biaya (atau biaya peluang,
opportunity cost) didefinisikan sebagai nilai dari peluang yang hilang sebagai
akibat dari penggunaan sumberdaya dalam sebuah kegiatan. Patut dicatat
bahwa biaya tidak selalu melibatkan pertukaran uang. Dalam pandangan pada
ahli farmakoekonomi, biaya kesehatan melingkupi lebih dari sekadar biaya
pelayanan kesehatan, tetapi termasuk pula, misalnya, biaya pelayanan lain
dan biaya yang diperlukan oleh pasien sendiri.
Secara definisi, biaya dipahami sebagai konsumsi atas sumber daya
(nilai sumber daya yang dikonsumsi). Konsumsi sumber daya dalam
kaitannya dengan aktivitas dalam sektor pelayanan kesehatan membutuhkan
sumber daya kesehatan, sumber daya non kesehatan, waktu caregivers
informal yang diberikan oleh keluarga dan teman, penggunaan waktu pasien
dalam hubungannya dengan aktivitas mereka sendiri, juga lost production
sebagai akibat dari penyakit dan kematian (Luce et al. 1996, Drummond et al.
1997).

II.c.i Kategori Biaya


Tergantung perspektif yang dipilih, seluruh biaya yang terkait harus
diikutkan dalam analisis (Poulsen). Biaya bahan habis pakai/obat/bahan
farmasi dan (kadang-kadang) insentif karyawan. Komposisi biaya ini akan
berbeda bila di RS Swasta yang sudah menerapkan unit cost analysis secara
lebih konsekuen dimana sudah menambahkan unsur profit dan discounted
price dalam price settingnya. Menurut Indrayanthi dan Noviyanti (2016) dalam
Bahan Ajar Cost of Illness, mengatakan bahwa kategori biaya dapat dibagi
menjadi beberapa (Indrayanthi & Noviyanti, 2016) :
a. Biaya medis langsung (direct medical cost) adalah biaya yang harus
dibayarkan untuk pelayanan kesehatan. Biaya ini meliputi biaya
pengobatan, tenaga medis, biaya tes laboraturium, dan biaya pemantauan
efektivitas dan efek samping (Budiharto & Soewarta, 2008).
b. Biaya medis tidak langsung (direct non medical cost) adalah biaya yang
harus dikeluarkan secara langsung yang tidak terkait langsung dengan
pembelian produk atau jasa pelayanan kesehatan. Biaya yang termasuk
didalamnya adalah biaya transportasi dari dan ke rumah sakit, makanan
untuk keluarga pasien (Budiharto & Soewarta, 2008).
c. Biaya tidak langsung (indirect cost) adalah biaya yang dapat mengurangi
produktivitas pasien maupun keluarga, kehilangan pendapatan karena tidak
biasa bekerja akibat sakit, kehilangan waktu (Budiharto & Soewarta, 2008).
d. Biaya tidak teraba (intangible cost) adalah biaya yang berhubungan dengan
rasa sakit pasien dan penderitaannya, khawatir tertekan, efek nya pada
kualitas hidup. Kategori ini tidak bisa diukur dalam matar uang, namun
sangat penting bagi pasien maupun dokter (Budiharto & Soewarta, 2008).

Sedangkan menurut Kemenkes RI (2013) dalam Pedoman Penerapan


Kajian Farmakoekonomi, biaya dapat dibagi menjadi beberapa kategori
berdasarkan beberapa kriteria, yaitu meliputi (Kemenkes RI, 2013):
a. Biaya dalam produksi atau pemberian layanan kesehatan
Dalam proses produksi atau pemberian pelayanan kesehatan, biaya
dapat dibedakan menjadi sebagai berikut (Kemenkes RI, 2013):
a) Biaya rerata dan biaya marjinal
Biaya rerata adalah jumlah biaya per unit hasil yang diperoleh,
sementara biaya marjinal adalah perubahan biaya atas penambahan
atau pengurangan unit hasil yang diperoleh (Bootman et al., 2005).
Sebagai contoh, jika sebuah cara pengobatan baru memungkinkan
pasien pulang dari rumah sakit sehari lebih cepat dibanding cara
pengobatan lama mungkin akan terpikir untuk menghitung biaya rerata
rawat inap sebagai penghematan sumberdaya. Kenyataannya, semua
biaya tetap yang terhitung ke dalam biaya tetap tersebut (misalnya,
biaya laboratorium tidak mengalami perubahan. Yang berubah
hanyalah biaya yang terkait dengan lamanya pasien dirawat (biaya
makan, pengobatan, jasa dokter dan perawat, inilah biaya marjinal,
biaya yang betul-betul megalami perubahan.
b) Biaya tetap dan biaya variable
Biaya tetap adalah biaya yang jumlahnya tidak berubah dengan
perubahan kuantitas atau volume produk atau layanan yang diberikan
dalam jangka pendek (umumnya dalam rentang waktu 1 tahun atau
kurang), misalnya gaji karyawan dan depresiasi aset. Sementara itu,
biaya variabel berubah seiring perubahan hasil yang diperoleh, seperti
komisi penjualan dan biaya penjualan obat (Bootman et al., 2005).
c) Biaya tambahan (ancillary cost)
Biaya tambahan adalah biaya atas pemberian tambahan pelayanan pada
suatu prosedur medis, misalnya jasa laboratorium, skrining sinar-X,
dan anestesi. (Berger et al., 2003).
d) Biaya total
Biaya total adalah biaya keseluruhan yang harus dikeluarkan untuk
memproduksi serangkaian pelayanan kesehatan.

b. Biaya terkait perawatan kesehatan


Secara umum, biaya yang terkait dengan perawatan kesehatan dapat
dibedakan sebagai berikut (Kemenkes RI, 2013) :
a) Biaya langsung
Biaya langsung adalah biaya yang terkait langsung dengan perawatan
kesehatan, termasuk biaya obat (dan perbekalan kesehatan), biaya
konsultasi dokter, biaya jasa perawat, penggunaan fasilitas rumah sakit
(kamar rawat inap, peralatan), uji laboratorium, biaya pelayanan
informal dan biaya kesehatan lainnya. Dalam biaya langsung, selain
biaya medis, seringkali diperhitungkan pula biaya non-medis seperti
biaya ambulan dan biaya transportasi pasien lainnya.
b) Biaya tidak langsung
Biaya tidak langsung adalah sejumlah biaya yang terkait dengan
hilangnya produktivitas akibat menderita suatu penyakit, termasuk
biaya transportasi, biaya hilangnya produktivitas, biaya pendamping
(anggota keluarga yang menemani pasien) (Bootman et al., 2005).
c) Biaya nirwujud (intangible cost)
Biaya nirwujud adalah biaya-biaya yang sulit diukur dalam unit
moneter, namun sering kali terlihat dalam pengukuran kualitas hidup,
misalnya rasa sakit dan rasa cemas yang diderita pasien dan/atau
keluarganya.
d) Biaya terhindarkan (averted cost, avoided cost)
Biaya terhindarkan adalah potensi pengeluaran yang dapat dihindarkan
karena penggunaan suatu intervensi kesehatan (Berger et al., 2003).

c. Biaya yang diperhitungkan dalam telah ekonomi kesehatan


Selain itu, masih ada beberapa istilah biaya lainnya yang bersifat teknis
terkait dengan perawatan kesehatan. Beberapa biaya yang juga sering
diperhitungkan dalam telaah ekonomi kesehatan tersebut antara lain
(Kemenkes RI, 2013) :
a) Biaya perolehan (acqusition cost)
Biaya perolehan adalah biaya atas pembelian obat, alat kesehatan
dan/atau intervensi kesehatan, baik bagi individu pasien maupun
institusi (Berger et al., 2003).
b) Biaya yang diperkenankan (allowable cost)
Biaya yang diperkenankan adalah biaya atas pemberian pelayanan atau
teknologi kesehatan yang masih dapat ditanggung oleh penyelenggara
jaminan kesehatan atau pemerintah pasien maupun institusi (Berger et
al., 2003).
c) Biaya pengeluaran sendiri (out-of-pocket cost)
Biaya pengeluaran sendiri adalah porsi biaya yang harus dibayar oleh
individu pasien dengan uangnya sendiri. Sebagai contoh, iur biaya
peserta asuransi kesehatan (Berger et al., 2003).
d) Biaya peluang (opportunity cost)
Biaya peluang adalah biaya yang timbul akibat pengambilan suatu
pilihan yang mengorbankan pilihan lainnya. Bila seorang pasien
memutuskan untuk membeli obat A, dia akan terkena biaya peluang
karena tak dapat menggunakan uangnya untuk hal terbaik lainnya,
termasuk pendidikan, hiburan, dan sebagainya (Bootman et al., 2005)

II.d Pengukuran Outcome Terapi


Kajian farmakoekonomi senantiasa mempertimbangkan dua sisi, yaitu
biaya (cost) dan hasil pengobatan (outcome). Kenyataannya, dalam kajian
yang mengupas sisi ekonomi dari suatu obat/pengobatan ini, factor biaya
(cost) selalu dikaitkan dengan efektivitas (effectiveness), utilitas (utility) atau
manfaat (benefit) dari pengobatan (pelayanan) yang diberikan. Efektivitas
merujuk pada kemampuan suatu obat dalam memberikan peningkatan
kesehatan (outcomes) kepada pasien dalam praktek klinik rutin (penggunaan
sehari-hari di dunia nyata, bukan di bawah kondisi optimal penelitian).
Dengan mengaitkan pada aspek ekonomi, yaitu biaya, kajian
farmakoekonomi dapat memberikan besaran efektivitas-biaya (cost-
effectiveness) yang menunjukkan unit moneter (jumlah rupiah yang harus
dibelanjakan) untuk setiap unit indikator kesehatan baik klinis maupun
nonklinis (misalnya, dalam mg/dL penurunan kadar LDL dan/atau kolesterol
total dalam darah) yang terjadi karena penggunaan suatu obat. Semakin kecil
unit moneter yang harus dibayar untuk mendapatkan unit indicator kesehatan
(klinis maupun non-klinis) yang diinginkan, semakin tinggi nilai efektivitas-
biaya suatu obat.
II.d.i Clinical Outcome
Pasien dengan COVID-19 memiliki beberapa gejala ringan yang
menyerupai gejala flu seperti demam, batuk, sakit tenggorokan, produksi
sputum, dan malaise. Namun demikian, peradangan pada parenkim paru-paru
akibat adanya infeksi patogen, atau dalam istilah medis dikenal sebagai
pneumonia, dengan berbagai tingkat keparahan (ringan sampai berat), juga
merupakan manifestasi klinis yang banyak dijumpai pada kasus infeksi
COVID-19. Pada beberapa pasien, perburukan kondisi dapat terjadi dengan
manifestasi klinis acute respiratory distress syndrome (ARDS), kegagalan
pernapasan, dan kegagalan fungsi berbagai macam organ (multiple organ
dysfunction). Walaupun jarang, keluhan pada sistem pencernaan seperti diare
dan mual juga dapat terjadi pada pasien dengan COVID-19. Perburukan
kondisi lebih cepat terjadi pada kelompok geriatrik, khususnya mereka yang
berusia ≥65 tahun dan memiliki komorbid penyakit menahun seperti diabetes
melitus (DM) dan /atau hipertensi. Selain kelompok geriatrik, pasien anak-
anak, khususnya bayi yang baru lahir (neonates), juga perlu mendapat
perhatian dengan mempertimbangkan bahwa sistem kekebalan tubuh yang
belum terbentuk sempurna. Sampai saat ini, diperkirakan 80% kasus positif
COVID-19 merupakan kasus infeksi yang relatif ringan atau bahkan tidak
menunjukkan gejala sama sekali, 15% adalah kasus infeksi parah yang
membutuhkan terapi oksigen dan 5% lainnya adalah kasus kritis yang
membutuhkan ventilator. (Setiadi. et al. 2020)
Tata laksana pengobatan untuk pasien dengan COVID-19. Pada kasus
ringan, yang didefinisikan sebagai “pasien dengan infeksi saluran napas
bagian atas tanpa komplikasi dengan gejala yang tidak spesifik, antara lain:
demam, lemas, batuk (baik dengan maupun tanpa gejala), kehilangan nafsu
makan, malaise, nyeri otot, sakit tenggorokan, sesak napas, hidung tersumbat,
atau sakit kepala; dan kemungkinan disertai gejala yang jarang terjadi seperti
diare, mual, atau muntah berikut merupakan tata laksana terapinya: (1) Terapi
simptomatis, seperti: antipiretik untuk demam; (2) Edukasi pasien terkait
perburukan gejala yang membutuhkan penanganan medis lebih lanjut; dan (3)
Umumnya, pasien dengan tingkat keparahan ringan, tidak membutuhkan
perawatan di rumah sakit. Perlu ditekankan bahwa pasien perlu melakukan
isolasi diri sebagai upaya untuk meminimalkan sebaran virus. Tempat untuk
melakukan isolasi sangat ditentukan oleh ketersediaan sumber daya setempat
maupun negara. Walaupun dapat dilakukan di rumah, isolasi di rumah sakit
perlu diupayakan pada setting dengan risiko terjadinya penularan secara
sporadis. (Setiadi. et al. 2020).

II.d.ii Humanistic Outcome


Dampak virus Corona sangat besar, bersifat global, dan massif. Ia tidak
hanya mempengaruhi tingkat kesehatan masyarakat secara umum, namun
juga mempengaruhi aktivitas ekonomi, sosial, psikologis, budaya, politik,
pemerintahan, pendidikan, olahraga, agama, dan lain-lain. Karena itu
dibutuhkan kebijakan pemerintah yang tepat untuk mencegah dan mengatasi
virus Corona ini. Kebijakan yang diperlukan bukan hanya kebijakan untuk
mencegah dan menyembuhkan pasien yang terinfeksi Corona, tetapi juga
kebijakan untuk mengatasi dampak sosial, psikologis, dan ekonomi yang
ditimbulkan oleh virus Corona.
Untuk mencegah penyebaran dan penularan virus Corona menyebar luas
ke dalam masyarakat, pemerintah membuat serangkain kebijakan untuk
menanganinya. Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tersebut ada yang
tertulis, dan ada pula yang tidak tertulis. Kebijakan yang tertulis bentuknya
misalnya seperti Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (PERPU), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden
(PERPRES), Peraturan Menteri (PERMEN), Peraturan Daerah (PERDA),
Peraturan Bupati (PERBUP), Peraturan Walikota (PERWALI), dan lain-lain
termasuk di dalamnya adalah Surat Keputusan (SK), dan Surat yang berasal
dari pemerintah. Sedangkan kebijakan yang tidak tertulis bentuknya adalah
ajakan tidak tertulis yang berasal dari pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh
adat, tokoh budaya, tokoh agama, yang berisi larangan dan himbauan terkait
dengan pencegahan dan penanganan COVID-19.
Setelah Corona menjadi wabah (pandemic) pada awal bulan Maret 2020
sampai sekarang, pemerintah membuat berbagai macam kebijakan untuk
menghadapi serta mengatasi pandemic COVID-19 seperti kebijakan: (1)
berdiam diri di rumah (Stay at Home); (2) Pembatasan Sosial (Social
Distancing); (3) Pembatasan Fisik (Physical Distancing); (4) Penggunaan
Alat Pelindung Diri (Masker); (5) Menjaga Kebersihan Diri (Cuci Tangan);
(6) Bekerja dan Belajar di rumah (Work/Study From Home); (7) Menunda
semua kegiatan yang mengumpulkan orang banyak; (8) Pembatasan Sosial
Berskala Besar (PSBB); hingga terakhir, (9) pemberlakuan kebijakan New
Normal (Darwin, 2019).

II.d.iii Economic Outcome


Pemerintah telah menganggarkan total biaya penanganan Covid-19 dan
Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar Rp695,20 triliun yang
dialokasikan untuk enam sektor. Total realisasi hingga minggu pertama
Agustus adalah Rp151,25 triliun atau 21,8% dari pagu program Pemulihan
Ekonomi Nasional (kemenkeu. go.id, 10 Agustus 2020). Beberapa langkah
dilakukan oleh pemerintah untuk memperkecil dampak pada ketiga sektor
(kesehatan, sosial ekonomi, dan dunia usaha). Di bidang kesehatan misalnya,
pemerintah sudah memberikan dukungan peralatan bagi tenaga medis,
pembuatan RS darurat hingga mengupayakan RS rujukan untuk pasien
Covid-19.
Berdasarkan data Kemenko Perekonomian, realisasi program PEN untuk
bidang kesehatan baru sekitar Rp6,3 triliun dari pagu Rp87,55 triliun.
Realisasi ini untuk insentif kesehatan pusat dan daerah Rp1,7 triliun, santunan
kematian tenaga kesehatan Rp12,9 triliun, penyaluran gugus tugas Covid-19
Rp3,2 triliun dan insentif bea masuk kesehatan Rp1,4 triliun
(nasional.kontan.co.id, 5 Agustus 2020). Selanjutnya, pemerintah juga sudah
memberikan jaring pengaman sosial terhadap aktivitas sosial dan ekonomi
untuk masyarakat yang pendapatannya terdampak selama pandemi.
Tujuannya agar masyarakat masih tetap bisa menjaga konsumsi pada masa
pandemi. Realisasi untuk perlindungan sosial sebesar Rp85,3 triliun dari pagu
Rp203,91 triliun. Anggaran yang sudah terealisasi untuk Program Keluarga
Harapan (PKH) sebesar Rp26,6 triliun, bantuan langsung tunai (BLT) dana
desa Rp8,3 triliun, kartu sembako Rp25,5 triliun, program prakerja Rp2,4
triliun, bantuan sembako Jabodetabek Rp2,9 triliun, bantuan tunai non-
Jabodetabek Rp16,5 triliun dan diskon listrik Rp3,1 triliun
(nasional.kontan.co.id, 5 Agustus 2020).
Berbagai program pemulihan untuk dunia usaha juga terus 20 dilakukan
pemerintah agar mereka tetap bertahan. Pemerintah menyiapkan dukungan
bagi dunia usaha melalui koordinasi dengan BI dengan OJK dengan
perbankan nasional agar sektor bisnis, sektor usaha, dan sektor riil tetap bisa
bertahan walaupun tidak melakukan aktivitas ekonomi. Realisasi yang
ditujukan untuk padat karya kementerian/ lembaga sebesar Rp7,4 triliun, dana
insentif daerah (DID) pemulihan ekonomi Rp13,4 miliar. Lalu realisasi
program PEN untuk UMKM sebesar Rp30,21 triiliun dari pagu Rp123,4
triliun, realisasi untuk insentif usaha Rp16,2 triliun dari pagu Rp120,61
triliun, sementara belum ada realisasi untuk pembiayaan korporasi yang
memiliki pagu Rp53,57 triliun (Hardiwardoyo, 2020)
BAB III
PENUTUP

III.a Kesimpulan
Kajian farmakoekonomi senantiasa mempertimbangkan dua sisi, yaitu
biaya (cost) dan hasil pengobatan (outcome). Kenyataannya, dalam kajian
yang mengupas sisi ekonomi dari suatu obat/pengobatan ini, faktor biaya
(cost) selalu dikaitkan dengan efektivitas (effectiveness), utilitas (utility) atau
manfaat (benefit) dari pengobatan (pelayanan) yang diberikan. Dengan
mengaitkan pada aspek ekonomi, yaitu biaya, kajian farmakoekonomi dapat
memberikan besaran efektivitas-biaya (cost- effectiveness) yang
menunjukkan unit moneter (jumlah rupiah yang harus dibelanjakan) untuk
setiap unit indikator kesehatan baik klinis maupun nonklinis
Setelah Corona menjadi wabah (pandemic) pada awal bulan Maret 2020
sampai sekarang, pemerintah telah melakukan banyak upaya untuk mencegah
penularan virus corona, beberapa kebijakan pemerintah untuk mencegah
penyebaran penularan virus Corona agar tidak menyebar luas di dalam
masyarakat, seperti: kebijakan berdiam diri di rumah; Pembatasan Sosial;
Pembatasan Fisik; Penggunaan Alat Pelindung Diri; Menjaga Kebersihan
Diri; Bekerja dan Belajar di rumah; Menunda semua kegiatan yang
mengumpulkan orang banyak; Pembatasan Sosial Berskala Besar; hingga
kebijakan pemberlakuan kebijakan New Normal, tidak akan berjalan efektif
jika pemerintah tidak menyiapkan informasi yang akurat terkait sumber dan
penyebaran virus Corona serta penanganannya. Pembatasan aktivitas akibat
pandemi Covid-19 telah menimbulkan kerugian ekonomi secara nasional.

III.b Saran
Sebagai penulis, kami menyadari bahwa makalah ini banyak sekali
kesalahan dan sangat jauh dari kesempurnaan. Tentunya, penulis akan terus
memperbaiki makalah dengan mengacu pada sumber yang dapat
dipertanggungjawabkan nantinya. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran tentang pembahasan makalah diatas.
DAFTAR PUSTAKA

Berger, M.L., Bingefors, K., Hedblom, E., Pashos, C.L., Torrance, G., Smith,
M.D., 2003, Health Care Cost, Quality, and Outcomes : ISPOR Book of
Terms, ISPOR: USA.

Bootman J.L, et al, 2005, Principles of Pharmacoeconomics, 3rd ed, Harvey


Whitney Books Company : USA

Budiharto, Martuti, Soewarta Kosen. 2008. Peranan Farmakoekonomi dalam


Sistem Pelayanan Kesehatan Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan Vol
11: 337-340.

Drummond, M.F., M.J. Sculpher, G.W. Torrance, B.J. O’Brien, and G.L.
Stoddard, 2005. Methods for the Economic Evaluation of Health Care
Programmes, 3rd Edition, Oxford University Press, Oxford.

Indrayanthi, P.A., Noviyanti, R. 2016. Bahan Ajar: Cost of Illness (beban


ekonomi penyakit dalam pembagian kesehatan). Denpasar.

Kemenkes RI. 2013. Pedoman penerapan kajian Farmakoekonomi. Jakarta:


Kementerian Kesehatan RI.

Moch Halim Sukur, dkk. 2020. Penanganan Pelayanan Kesehatan Di Masa


Pandemi Covid-19 Dalam Perspektif Hukum Kesehatan. Journal Inicio
Legis Volume 1 Nomor 1

Nurhalimah, S. 2020. Covid-19 dan Hak Masyarakat atas Kesehatan. Jurnal Sosial
& Budaya Syar-i, Vol. 7 No. 6

Chairani, I. 2020. DAMPAK PANDEMI COVID-19 DALAM PERSPEKTIF


GENDER DI INDONESIA. JURNAL KEPENDUDUKAN INDONESIA

Setiadi. et al. 2020. Tata Laksana Terapi Pasien dengan COVID-19: Sebuah
Kajian Naratif. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia. Vol. 9 No. 1.
Hardiwardoyo. 2020. KERUGIAN EKONOMI NASIONAL AKIBAT PANDEMI
COVID-19. a : Journal of Business and Entrepreneurship Volume 2 No. 2
April 2020

Monica, Muctaradi.2020.COVID - 19 : Alarm Bagi Sistem Pasok Industri


Farmasi. Majalah farmasetis,5(4)

Darwin, 2019. Kebijakan Pemerintah Dalam Penanganan Pandemi Covid-19.


Journal Publicuho. Volume 3 Number 2 (May-July), (2020)

Anda mungkin juga menyukai