Anda di halaman 1dari 10

Roni setiawan

Suku Kutai/Dayak
Suku Kutai atau Urang Kutai adalah suku asli yang mendiami wilayah Kalimantan Timur yang
mayoritas saat ini beragama Islam dan hidup di tepi sungai.
Suku Kutai merupakan bagian dari rumpun Suku Dayak, khususnya dayak rumpun ot danum
( tradisi lisan orangtua beberapa Suku Kutai yang mengatakan Suku Dayak Lawangan yang
kemudian berdiam di Kalimantan Timur melahirkan Suku Dayak Tunjung dan Suku Dayak
Benuaq, kemudian dengan masuknya budaya melayu dan muslim melahirkan terbentuknya
masyarakat Suku Kutai yang berbeda budaya dengan Suku Dayak).
Pada awalnya Kutai merupakan nama suatu teritori tempat bermukimnya masyarakat asli
Kalimantan atau Dayak. Suku Kutai berdasarkan jenisnya adalah termasuk suku melayu tua
sebagaimana Suku Dayak di Kalimantan Timur. Oleh karena itu secara fisik Suku Kutai mirip
dengan Suku Dayak rumpun Ot Danum. Hubungan Kekerabatan Suku Kutai dengan Suku Dayak
diceritakan juga dalam tradisi lisan Suku Dayak dengan berbagai versi di beberapa subsuku
rumpun Ot Danum (karena masing - masing subsuku memiliki sejarah tersendiri).
Adat-istiadat lama Suku Kutai banyak kesamaan dengan adat-istiadat Suku Dayak rumpun ot
danum (khususnya Tunjung-Benuaq) misalnya; Erau (upacara adat yang paling meriah), belian
(upacara tarian penyembuhan penyakit), memang, dan mantra-mantra serta ilmu gaib seperti;
parang maya, panah terong, polong, racun gangsa, perakut, peloros, dan lain-lain. Dimana adat-
adat tersebut dimiliki oleh Suku Kutai dan Suku Dayak. Bahkan hingga saat ini masih ada Suku
Kutai di Desa Kedang Ipil, Kutai Kartanegara yang menganut kepercayaan kaharingan sama
halnya dengan Suku Dayak.
Etimologi
Pada awalnya Kutai bukanlah nama suku, akan tetapi nama tempat/wilayah dan nama Kerajaan
tempat ditemukannya prasasti Yupa oleh peneliti Belanda. Seluruh masyarakat asli Kalimantan
sendiri sebenarnya adalah Serumpun, Antara Ngaju, Maanyan, Iban, Kenyah, Kayatn, Kutai
( Lawangan - Tonyoi - Benuaq ), Banjar ( Ngaju, Iban , maanyan, dll ), Tidung, Paser, dan
lainnya. Hanya saja Permasalahan Politik Penguasa dan Agama menjadi jurang pemisah antara
keluarga besar ini. Mereka yang meninggalkan kepercayaan lama akhirnya meninggalkan
adatnya karena lebih menerima kepercayaan baru dan berevolusi menjadi Masyarakat Melayu
Muda. Khususnya dalam Islam maupun Nasrani, hal - hal adat yang bertolak belakang dengan
ajaran akan ditinggalkan. Sedangkan yang tetap teguh dengan kepercayaan lama disebut dengan
Dayak.
Kutai menjadi nama suku akibat dari politik kepentingan penguasa saat itu yang berambisi
menyatukan Nusantara yaitu Maharaja Kertanegara penerus Singasari yang berasal dari Jawa
dengan tujuan untuk menahan perluasan kekuasaan Kubilai Khan dari Dinasti Mongol. Disaat itu
selama kekuasaan Kertanegara sebagian masyarakat asli Borneo yang biasa disebut dengan
Masyarakat Dayak akhirnya bertransformasi menjadi Masyarakat Kutai saat berdiam di wilayah
Kekuasaan Kerajaan Kertanegara dan diharuskan mematuhi peraturan Penguasa. Yang menolak
dan memiliki kesempatan melarikan diri akhirnya masuk ke pedalaman dan tetap menjadi
Masyarakat Dayak. Versi lain menyebutkan bahwa istilah dayak juga bukan merupakan nama
suku dulunya karena istilah dayak merupakan nama pemberian Belanda yang digunakan oleh
para kolonial Belanda untuk menghina masyarakat.
Menurut informasi lain, Nama Kutai berawal dari nama Kerajaan Kutai Martadipura di Muara
Kaman, sebenarnya nama kerajaan ini awalnya disebut Queitaire (Kutai) oleh Pendatang dan
Pedagang awal abad masehi yang datang dari India selatan yang artinya Belantara dan Ibukota
Kerajaannya bernama Maradavure (Martapura) berada di Pulau Naladwipa ( istilah Kalimantan
di kitab Jawa )dan letaknya di tepi Sungai Mahakam di seberang Persimpangan Sungai Kanan
Mudik Mahakam yakni Sungai Kedang Rantau asal nama Kota Muara Kaman sekarang. Dalam
berita Champa atau Cina disebut Kho-Thay artinya Kota Besar atau Bandar Kerajaan Besar. Ada
pendapat lain, dari sudut pandang masyarakat Jawa, bahwa Sumpah Palapa Patih Gajah Mada di
Majapahit sempat menyebutkan Tunjung Kuta, ada pula yang mengatakan tulisan yang benar
adalah Tunjung Kutai, akan tetapi ini pada masa Kerajaan Kartanegara.
Menurut Legenda Kerajaan Sendawar dengan Raja Tulur Aji Jangkat bersama permaisuri Mok
Manor Bulatn dan mereka memupnyai 5 orang anak : Sualas Gunaaqn (Menjadi Keturunan
Dayak Tunjung), Jelivan Benaaq (Menjadi Keturunan Dayak Bahau), Nara Gunaa (Menjadi
Keturunan Dayak Benuaq), dan Puncan Karnaaq (Menjadi Keturunan Dayak Kutai ).
Adapaun tradisi lisan di tiap keluarga masyarakat kutai yang mengatakan bahwa leluhur mereka
berasal dari negeri cina, mirip dengan tradisi lisan masyarakat Dayak Kenyah. Sehingga ada
anggapan bahwa Kutai ini adalah persatuan dari banyak subsuku masyarakat Dayak dalam
rangka mencari identitas baru.
Dari pemaparan di atas diketahui bahwa Kutai pada masa itu adalah nama Kerajaan/kota/wilayah
tempat penemuan prasasti bukan nama suku (etnis) dan hubungan kekerabatan Suku Kutai dan
Suku Dayak sangat kuat. Hanya saja pengaruh agama Islam dan akulturasi pendatang yang
menyebarkan agama Islam ( Sumatra, Cina, Banjar, Jawa ) serta perang antar kerajaan ( Dinasti
Kartanegara dari Majapahit yang memenangkan peperangan melawan kerajaan Kutai
Martadipura ) pada saat itu mengakibatkan budaya Suku Kutai menjadi agak berbeda dengan
Suku Dayak saat ini. Oleh karena itulah Suku Kutai asli akan menyebut Suku Dayak dengan
istilah Densanak Tuha yang artinya Saudara Tua karena masih satu leluhur.
Bahasa
Masyarakat Kutai yang terdiri dari banyak sub suku memiliki bahasa yang beragam. Beberapa
bahasa sub suku yang sudah tidak dipergunakan lagi dan kemungkinan sudah punah adalah
bahasa Umaa Wak, Umaa Palaa, Umaa Luhaat, Umaa Palog, Baang Kelo dan Umaa Sam.
Bahasa-bahasa tersebut dulunya lazim digunakan oleh masyarakat Kutai di hulu maupun hilir
mahakam.
Saat ini bahasa Kutai terbagi ke dalam 4 dialek yang letaknya tidak saling berdekatan :
1. Kutai Tenggarong
2. Kutai Kota Bangun
3. Kutai Muara Ancalong
4. Kutai Sengata/Sangatta (belum ada kode bahasanya)
Disamping memiliki beberapa persamaan kosa kata dengan bahasa Banjar, Bahasa Kutai juga
memiliki persamaan kosa kata dengan bahasa Dayak lainnya, misalnya :
 nade (Bahasa Kutai Kota Bangun); nadai (Bahasa Kantu'), artinya tidak
 celap (Bahsa Kutai Tenggarong; celap (Bahasa Dayak Iban, Bahasa Dayak Tunjung),
jelap (Bahasa Dayak Benuaq) artinya dingin
 balu (Bahasa Kutai Tenggarong), balu (Bahasa Dayak Iban, balu' Bahasa Dayak Benuaq),
artinya janda
 hek (Bahasa Kutai Tenggarong), he' (Bahasa Dayak Tunjung), artinya tidak
Asal Mula
Menurut tradisi lisan dari Suku Kutai, Proses perpindahan penduduk dari daratan asia yang kini
disebut provinsi Yunan - Cina selatan berlangsung antara tahun 3000-1500 Sebelum Masehi.
Mereka terdiri dari kelompok yang mengembara hingga sampai di pulau Kalimantan dengan rute
perjalanan melewati Hainan, Taiwan, Filipina kemudian menyeberangi Laut Cina Selatan
menuju Kalimantan Timur. Pada saat itu perpindahan penduduk dari pulau satu ke pulau lain
tidaklah begitu sulit kerena pada zaman es permukaan laut sangat turun akibat pembekuan es di
kutub Utara dan Selatan sehingga dengan hanya menggunakan perahu kecil bercadik yang diberi
sayap dari batang bambu mereka dengan mudah menyeberangi selat karimata dan laut cina
selatan menuju Kalimantan Timur.
Para imigran dari daratan Cina ini masuk ke Kalimantan Timur dalam waktu yang berbeda,
kelompok pertama datang sekitar tahun 3000-1500 Sebelum Masehi termasuk dalam kelompok
ras Negrid dan weddid kelompok ini diperkirakan meninggalkan Kalimantan dan sebagiannya
punah. Kemudian sekitar tahun 500 sebelum masehi berlangsung lagi arus perpindahan
penduduk yang lebih besar dan kelompok inilah yang diperkirakan menjadi cikal bakal penduduk
Kutai. Setelah adanya arus perpindahan penduduk dari Yunan terjadilah percampuran penduduk
kerena perkawinan.
Penduduk Kutai pada masa itu terbagi menjadi lima puak (lima suku):
1. Puak Pantun
2. Puak Punang
3. Puak Sendawar
4. Puak Pahu
5. Puak Melani
Puak Pantun (Kutai Muara Kaman/Kutai Tua-Eks Hindu))
Puak Pantun adalah suku tertua di Kalimantan Timur, dan merupakan suku atau Puak yang
paling Tua di antara 5 Suku atau Puak Kutai lainya, mereka adalah suku yang mendirikan
kerajaan tertua di Nusantara yaitu kerajaan Kutai Martadipura di Muara Kaman pada abad 4
Masehi. Suku ini mendiami daerah Muara Kaman Kab. Kutai Kartanegara dan sampai Daerah
Wahau dan Daerah Muara Ancalong, serta Daerah Muara Bengkal, Daerah Kombeng di dalam
wilayah Kab.Kutai Timur sekarang, suku Kutai pantun dapat dikatakan sebagai turunan para
bangsawan dan Pembesar di Kerajaan Kutai Martapura (Kutai Mulawarman). Raja pertamanya
dikenal dengan nama Kudungga, dan kerajaan ini jaya pada masa dinasti ketiganya yaitu pada
masa Raja Mulawarwan.
Dibawah pimpinan Maharaja Mulawarman, kehidupan sosial dan kemasyarakatan diyakini
berkembang dengan baik. Pemerintahan berpusat di Keraton yang berada di Martapura wilayah
kekuasaannya terbentang dari Dataran Tinggi Tunjung (Kerajaan Pinang Sendawar), Kerajaan
Sri Bangun di Kota Bangun, Kerajaan Pantun di Wahau, Kerajaan Tebalai, hingga ke pesisir
Kalimantan Timur, seperti Sungai China, Hulu Dusun dan wilayah lainnya. Dengan penaklukan
terhadap kerajaan-kerajan kecil tersebut, kondisi negara dapat stabil sehingga suasana tentram
dapat berjalan selama masa pemerintahannya. Suku ini mendiami daerah Muara Kaman Kab.
Kutai Kartanegara dan sampai Daerah Wahau dan Daerah Muara Ancalong, serta Daerah Muara
Bengkal, Daerah Kombeng di dalam wilayah Kab.Kutai Timur sekarang.
Puak Punang (Kutai Kedang)
Puak Punang (Puak Kedang) adalah suku yang mendiami wilayah pedalaman. Diperkirakan suku
ini adalah hasil percampuran antara puak pantun dan puak sendawar (tunjung-benuaq). Oleh
karena itu, logat bahasa Suku Kutai Kedang mengalunkan Nada yang bergelombang. Misalya
bahasa Indonesia “Tidak”, Bahasa Kutai “Endik”, Bahasa Kutai Kedang “Inde”…. tegas alas
gelombang. Suku ini mendirikan kerajaan Sri Bangun di Kota Bangun (atau dikenal dengan
nama Negeri Paha pada masa pemerintahan Kutai Matadipura). Puak punang ini tersebar
diwilayah Kota Bangun, Muara Muntai, danau semayang, Sungai Belayan dan sekitarnya.
Dalam pemerintahan Kerajaan Kutai Martapura dari tahun, 350-1605, yang beribukota di Muara
Kaman, kawasan Kota Bangun diketahui bahwa wilayahnya bernama NEGERI PAHA meliputi
daerah : KEHAM, KEDANG DALAM, KEDANG IPIL, LEBAK MANTAN, LEBAK
CILONG.
Negeri ini setingkat Propinsi dipimpin seorang Mangkubumi (Adipati Wilayah), suku ini disebut
Suku Kutai Kedang (Orang Adat Lawas) adapun pimpinannya berigelar Sri Raja (Raja Kecil)
dan Sri Raja terakhir bernama Sri Raja TALIKAT merupakan kerabat Raja di Muara Kaman,
dan memerintah di ibukota Keham sampai sekarang masyarakat Adat Lawas masih mendiami
daerah tersebut diatas.
Puak Tulur
Puak Tulur adalah suku yang mendiami wilayah Sendawar (Kutai Barat), suku ini mendirikan
Kerajaan Sendawar di Kutai Barat dengan Rajanya yang terkenal dengan nama Aji Tulur
Jejangkat. Puncan Karna anak bungsu Aji Tulur Jejangkat menikah dengan Aji Ratu anak
Maharaja Sultan.[2] Suku ini mendiami daerah pedalaman. Mereka berpencar meninggalkan tanah
aslinya dan membentuk kelompok suku masing-masing yang sekarang dikenal sebagai suku
Dayak Tunjung dan Benuaq (Ohong dan Bentian).
 Suku Tunjung mendiami daerah kecamatan Melak, Barong Tongkok dan Muara Pahu
 Suku Benuaq mendiami daerah kecamatan Jempang, Muara Lawa, Damai dan Muara
Pahu
 Suku Bentian mendiami daerah kecamatan Bentian Besar dan Muara Lawa
Suku Dayak Bahau merupakan suku Dayak pendatang di Kutai, selain itu terdapat pula suku-
suku Dayak pendatang lain di Tanah Kutai yaitu suku Dayak Kenyah, Punan, Basap, dan Kayan.
 Suku Kenyah dan Suku Kayan merupakan pendatang dari Apo Kayan, Kab. Bulungan.
Kini suku ini mendiami wilayah kecamatan Muara Ancalong, Muara Wahau, Tabang,
Long Bagun, Long Pahangai, Long Iram dan Samarinda Ilir.
 Suku Punan merupakan suku Dayak yang mendiami hutan belantara di seluruh
Kalimantan Timur mulai dari daerah Bulungan, Berau hingga Kutai. Mereka hidup dalam
kelompok-kelompok kecil di gua-gua batu dan pohon-pohon. Mereka dibina oleh
Departemen Sosial melalui Proyek Pemasyarakatan Suku Terasing.
 Suku Basap menurut cerita merupakan keturunan orang-orang Cina yang kawin dengan
suku Punan. Mereka mendiami wilayah kecamatan Sangkulirang.
Suku Kutai Puak Pahu, para lelakinya masih memakai cawat
 Suku Bakumpai berasal dari sungai Barito, Kalimantan Tengah, secara rumpun bahasa,
suku ini merupakan sub etnis Dayak Ngaju (Biaju) yang beragama Islam, sedangkan
secara rumpun budaya, suku ini tergolong berbudaya Banjar, sehingga sering juga disebut
Dayak Banjar atau Banjar Bakumpai. Posisi suku Bakumpai ini secara bahasa dan
budaya berada di tengah-tengah menjembatani antara budaya Dayak Ngaju dan budaya
Banjar (posisinya mirip suku Kutai puak Pahu). Mereka mendiami daerah kecamatan
Long Iram.
Puak Pahu (Dayak Kutai/Kutai Haloq-Eks Kaharingan)
Puak Pahu adalah suku yang mendiami wilayah Sungai Kedang Pahu. Suku ini tersebar di
Kecamatan Muara Pahu dan sekitarnya. Puak ini merupakan keturunan Dayak Benuaq--
"behaloq" -- menjadi "haloq" meninggalkan "Adat Lawas -- Kaharingan" menjadi "Pahuuq"
(Bahasa Dayak Benuaq --> Muslim (menganut Agama Islam).
Puak Melani (Melayu Kutai/Kutai Tenggarong)
Puak Melani adalah masyarakat yang mendiami wilayah pesisir. Mereka merupakan puak
termuda di antara puak-puak Kutai, di dalam masyarakat ini telah terjadi percampuran antara
suku kutai asli yaitu Dayak, dengan suku pendatang yakni; Banjar, Jawa dan Melayu. Sehingga
Puak ini memang sudah berkembang menjadi kesatuan etnis. Puak ini berkembang di masa
kerajaan Kutai Kartanegara, yaitu kerajaan jawa yang berdiri di Tanah Kutai. Raja pertamanya
bernama Aji Batara Agung Dewa Sakti. Puak ini umumnya mendiami wilayah pesisir seperti
Kutai Lama dan Tenggarong.
Dalam perkembangannya puak pantun, punang, pahu dan melani kemudian berkembang menjadi
suku kutai yang memiliki bahasa yang mirip namun berbeda dialek. Sedangkan sebagian puak
sendawar (puak tulur jejangkat) yang tidak berasimilasi dengan pendatang akhirnya hidup di
pedalaman, oleh Peneliti Belanda disebut dengan istilah Orang Dayak.
Kerajaan Tanah Kutai
Di Tanah Kutai diketahui berdiri 3 Kerajaan Besar, yaitu :
1. Kerajaan Martadipura ( Corak Hindu-Kaharingan-Melayu Tua (penduduk borneo saat itu
dayak, subsuku melayu muda nanti dibentuk masyarakat dayak)
2. Kerajaan Sri Bangun ( Corak Budha-Melayu Sriwijaya dan Melayu Tua)
3. Kerajaan Kartanegara ( Corak Islam - Asimilasi Jawa dan dayak ( Pengaruh penaklukan )
Kisah Pecahnya Puak Tanah Kutai
Disinilah awal terbaginya dua golongan atau kelompok suku asli di Tanah Kutai, yakni Suku
Dayak dan Suku Kutai (haloq). Haloq adalah sebutan bagi Suku Dayak atau suku asli Tanah
Kutai yang keluar dari adat/budaya/kepercayaan nenek moyang ( Adat, budaya, serta
kepercayaan nenek moyang tersebut masih terlihat dari ciri khas Suku Dayak saat ini). Mereka
yang behaloq ( Meninggalkan adat ) lebih menerima dan mau berbaur dengan pendatang
akibatnya masyarakat ini lebih sering dijumpai di daerah pesisir.
Sebutan haloq mulai timbul ketika suku-suku dari puak-puak kutai di atas mulai banyak
meninggalkan kepercayaan lama salah satunya adalah dengan taat pada ajaran Islam, karena adat
istiadat, budaya, dan kepercayaan dari suku asli Tanah Kutai tersebut banyak yang bertentangan
dalam ajaran Islam. Kemudian karena puak pantun, punang, dan melani sebagian besar
meninggalkan adat atau kepercayaan lama mereka, maka mereka mulai di sebut 'orang haloq'
oleh puak lain yang masih bertahan dengan kepercayaan lamanya (kepercayaan nenek moyang).
Dan puak yang masih bertahan dengan adat/kepercayaan lamanya sebagian besar adalah puak
sendawar (puak tulur jejangkat), meskipun sebagian kecil ada juga suku dari puak sendawar yang
meninggalkan adat lama (Behaloq). Sejak itulah orang haloq dan orang yg bukan haloq terpisah
kehidupannya, karena sudah berbeda adat istiadat.
Lambat laun orang haloq ini menyebut dirinya 'orang kutai' yang berarti orang yang ada di benua
Kutai atau orang dari wilayah Kerajaan Kutai. Sejak itu lah kutai lambat laun mulai menjadi
nama suku, yang mana suku kutai ini berasal dari puak pantun, punang, pahu dan melani dan
sebagian kecil puak sendawar. Sekarang Suku Kutai sudah banyak bercampur dengan etnis lain.
Terlihat dari budayanya yang merupakan hasil akulturasi dari beberapa budaya suku lain.
Terutama Kutai Kartanegara yang berasal dari Jawa dan bercampur dengan suku asli tanah kutai
(saat ini disebut Suku Dayak) tersebut.
Puak sendawar yang sebagian besar masih bertahan dengan adat/kepercayaan lama kemudian
berpencar membentuk kelompok-kelompok suku pedalaman dan terasing. Mereka kini menjadi
suku Tunjung dan Benuaq. Mereka adalah suku yang disebut Suku Dayak pada masa kini. Dayak
adalah sebutan yang dipopulerkan oleh orang Belanda dan peneliti asing, dimana mereka
menyebut suku - suku asli yang mendiami pedalaman Kalimantan. Sehingga istilah dayak sendiri
sebenarnya bukan berasal dari leluhur orang Kalimantan itu sendiri. Oleh karena itu masih ada
beberapa dari Suku Dayak enggan disebut Dayak. Mereka lebih memilih disebut subsukunya,
seperti orang Tunjung -- orang Benuaq.
Jadi yang disebut Suku Kutai sekarang ini adalah suku dari puak pantun, punang, pahu dan
melani yang mudah berakulturasi dengan pendatang dan perlahan meninggalkan adat lamanya.
Sedangkan Suku Dayak Tunjung dan Benuaq adalah dari puak sendawar yang tetap teguh
memegang keyakinan leluhur. Jadi Suku Kutai bukanlah suku melayu muda akan tetapi adalah
suku melayu tua, sama seperti Suku Dayak. Pengelompokkan Suku Kutai kedalam ras melayu
muda hanya berdasarkan Sosio-religius atau kultural, bukan berdasarkan "darah" (melayu tua).
Problematika klasifikasi Dayak atau Melayu
Perubahan Suku Kutai secara drastis setelah masuk Islam, hampir menghapus jejak asal
muasalnya yaitu Suku Lawangan. Kebudayaan Melayu yang dianggap lebih "beradab",
membantu menghilangkan budaya Dayak pada Suku Kutai dengan cepat. Istilah "haloq" yang
melekat pada Suku Kutai yang berarti "meninggalkan adat lawas" digunakan sebagai
kebanggaan bagi yang be"halooq". Tapi bagi Tunjung-Benuaq istilah itu sebagai stigma karena
tidak menghargai warisan leluhur. Sehingga Kutai kehilangan jejak Kaharingan / Lawangan,
walaupun sebagian kecil ada yg tersisa. Akibatnya orang lebih yakin Kutai adalah Melayu,
padahal tidaklah demikian. Tentu saja segala hal dalam adat lawas dianggap syirik (bertentangan
dengan agama) jadi harus dimusnahkan dan ditinggalkan.
Sulitnya data semakin mempersulit para peneliti untuk mencari jejak asal muasal Suku Kutai.
Membuat hasil penelitian terlihat ambigu bahkan samar. Peneliti seringkali mengklasifikasikan
berdasarkan bahasa, sedangkan menurut orang Kutai dan Tunjung-Benuaq mengenal tradisi lisan
yang mengklasifikasikan golongan berdasarkan budaya dan sejarah budayanya serta geneologi.
Oleh karena itulah Suku Kutai diklasifikasikan ke dalam suku Dayak berbudaya Melayu.

Anda mungkin juga menyukai