NIM : 1911015320009
Kelompok : 11
LABORATORIUM
FARMAKOLOGI-TOKSIKOLOGI
FARMAKOKINETIKA
(JAE 502)
Disusun oleh
2021
Praktikum Farmakokinetika - 2021
PERCOBAAN II
SIMULASI IN VITRO MODEL FARMAKOKINETIKA : PERHITUNGAN
PARAMETER FARMAKOKINETIKA
KELOMPOK 11
Tanggal : Tanggal :
(Helsawati) 01 September 2021 18 September 2021
PERCOBAAN II
SIMULASI IN VITRO MODEL FARMAKOKINETIKA : PERHITUNGAN PARAMETER
FARMAKOKINETIKA
2 0,431
3 0,559
5 0,971
Perhitungan t1/2
Harga t1/2 = 0,693 / K
e) Tentukan Ka
Perhitungan Ka :
Dari slop fase eliminasi tarik garis ekstrapolasi hingga memotong sumbu Y. Tentukan beberapa
titik di bagian atas.
Hitung harga C residual dengan menggunakan harga C sebenarnya terhadap harga C ekstrapolasi
yang bersesuaian.
Hitung persamaan garis C residual vs t, hitung harga Ka dari harga slop garis yang diperoleh.
Y = bx + a
Y = -0,160x + 1,641
r = -0,881
Slope = -Ka / 2,303
Ka = -(-0,160) x 2,303
Ka = 0,368/menit
6. Hasil Perhitngan Ke, t1/2 dan Ka rute intravaskular (sesuai pembagian kelompok)
Percobaan I Percobaan II Percobaan III Percobaan IV
Ke (/menit) 0,064/menit 0,062/menit 0,055/menit 0,052/menit
t1/2 (menit) 10,828 menit 11,177 menit 12,6/menit 13,326 menit
Tuliskan hasil nilai Ke, t1/2 dan Ka dari rhodamin pada tabel diatas
Keterangan :
Ke : Kecepatan eliminasi (/menit)
t1/2 : waktu paruh (menit)
Ka : Kecepatan absorbsi (/menit)
7. Hasil Perhitngan Ke, t1/2 dan Ka rute ekstravaskular (sesuai pembagian kelompok)
Percobaan I Percobaan II Percobaan III Percobaan IV
Ke (/menit) 0,080/menit 0,078/menit 0,078/menit 0,082/menit
t1/2 (menit) 8,662 menit 8,884/menit 8,884 menit 8,451/menit
Ka (/menit) 0,359/menit 0,368/menit 0,389/menit 0,398/menit
Tuliskan hasil nilai Ke, t1/2 dan Ka dari rhodamin pada tabel diatas
B. Rute ekstravaskular :
Percobaan II (Kelompok 11)
a. Tentukan nilai C untuk t0
Menggunakan persamaan regresi dari t vs log C rhodamin B rute ekstravaskular
Y = bx + a, dengan x = 0, maka diperoleh nilai Y (yang merupakan log C)
C = antilog C
Y = -0,034x + 1,044
Y = -0,034(0) + 1,044
Y = 1,044
Log C = 1,044
C0 = antilog C
C0 = antilog 1,044
C0 = 11,066
b. Tentukan Luas daerah AUC
(,-.,/)1 (3/43-) (7./)×(--,/==4-,79:)
Luas daerah AUC 1 = 5
= 5
= 18,690
(,5.,-)1 (3-435) (=.7)×(-,79:4-,==/)
Luas daerah AUC 2 = 5
= 5
= 4,581
(,7.,5)1 (35437) (9.=)×(-,==/45,595)
Luas daerah AUC 3 = 5
= 5
= 5,928
(,:.,7)1 (3743:) (-5.9)×(5,59545,8--)
Luas daerah AUC 4 = 5
= 5
= 7,504
(,;.,:)1 (3:43;) (-;.-5)×(5,8--47,798)
Luas daerah AUC 5 = 5
= 5
= 9,162
0,8
Absorbansi
0,559
0,6
0,431
0,4 0,245
0,139
0,2 0,071
0
0,25 0,5 1 2 3 5
Konsentrasi (ppm)
Pembahasan
Judul praktikum pada percobaan kali ini yaitu simulasi in vitro model
farmakokinetika. Tujuan umumnya yaitu untuk memahami konsep farmakokinetika suatu
obat. Tujuan khusus dari percobaan kali ini antara lain mempelajari konsep farmakokinetika
suatu obat dengan menggunakan simulasi in vitro, membedakan profil farmakokinetika
suatu obat dengan dosis, rute pemakaian, klirens dan volume distribusi yang berbeda, dan
menerapkan analisis farmakokinetika dalam perhitungan parameter farmakokinetika.
Cara kerja pertama pada praktikum ini adalah pembuatan kurva baku rhodamin B.
Pertama-tama rhodamin B ditimbang sebanyak 10 mg menggunakan neraca analitik, setelah
itu dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL. Lalu ditambahkan aquadest sampai tanda batas
lalu dihomogenkan jadilah larutan baku dengan konsentrasi 100 ppm. Kemudian diambil 1
mL dari larutan baku 100 ppm lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL dan di
tambahkan aquadest hingga tanda batas, dihomogenkan jadilah larutan baku dengan
konsentrasi 10 ppm. Kemudian dibuat seri kadar 0,25 ppm; 0,5 ppm; 1,0 ppm; 2,0 ppm; 3,0
ppm dan 5,0 ppm. Larutan seri kadar dibuat dengan mengambil larutan masing-masing
sebanyak 0,125 mL; 0,25 mL; 0,5 mL; 1 mL; 1,5 mL dan 2,5m mL, dimasukkan ke dalam
labu ukur 10 mL. Kemudian ditambahkan aquadest hingga tanda dan digojog hingga
homogen, sehingga didapatkan larutan seri kadar. Cara kerja selanjutnya yaitu penentuan
panjang gelombang maksimum dan pembuatan kurva baku pertama-tama tentukan panjang
gelombang maksimum dengan larutan baku. Lalu amati nilai serapan pada panjang
gelombang antara 530-570 nm. Kemudian diamati serapan kurva baku menggunakan
panjang gelombang maksimum yang telah didapat yaitu 557 nm.
Cara kerja selanjutnya yaitu simulasi model fakmakokinetika in vitro menggunakan
14 Buku Kerja Praktikum Farmakokinetika
Universitas Lambung Mangkurat F-MIPA PS.Farmasi
rute intravaskular. Pertama-tama kalibrasi aqua bekas sesuai dengan klirens yaitu 100 mL
dengan cara mengambil air sebanyak 100 mL, kemudian diberi tanda batas. Setelah itu
siapkan gelas beker kemudian tambahkan aquades sesuai dengan volume distribusi sebanyak
1,8 L. Volume distribusi adalah volume teoritis bahwa dosis total obat perlu didistribusikan
secara merata untuk memberikan konsentrasi yang sama seperti pada plasma darah
(Hardjono, 2016). Letakkan gelas beker di atas hot plate, kemudian masukkan magnetik
stirrer ke dalam gelas beker lalu nyalakan stirrer. Magnetic stirrer ini menggambarkan
proses metabolisme dalam tubuh, dimana ketika magnetic stirrer dinyalakan maka akan
menggambarkan aliran darah di dalam tubuh. Kemudian, masukkan rhodamin B sebanyak
50 mL. Setelah itu setiap 3 menit diambil larutan sesuai dengan volume klirens yaitu
sebanyak 100 mL dan segera gantikan volume yang diambil tersebut dengan aquades sesuai
dengan klirens sebanyak 100 mL. Diamati perubahan yang terjadi, lalu dibaca absorbansinya
menggunakan spektrofotometri uv-vis pada panjang gelombang maksimum yaitu 557 nm.
Pada simulasi intravaskular dosis rhodamin B langsung diberikan seluruhnya pada menit 0.
Karena penambahan rhodamin B ini digambarkan sebagai obat yang langsung masuk ke
dalam sirkulasi sistemik, tidak ada proses absorpsi.
Cara kerja model farmakokinetika secara in vitro menggunakan rute ekstravaskular.
Pertama-tama kalibrasi gelas plastik dengan 200 mL air sesuai dengan nilai klirens,
kemudian diberi tanda batas. Setelah itu siapkan gelas beker, kemudian tambahkan aquades
sesuai dengan volume distribusi sebanyak 0,9 L. Lalu letakkan gelas beker diatas hot plate,
lalu dimasukkan magnetic stirrer dan nyalakan stirrer. Magnetic stirrer ini menggambarkan
proses metabolisme dalam tubuh, dimana ketika magnetic stirrer dinyalakan maka akan
menggambarkan aliran darah di dalam tubuh. Setelah itu masukkan rhodamin B sebanyak 10
mL. Penambahan rhodamin B ini digambarkan sebagai obat yang masuk ke dalam tubuh.
Rhodamin B dimasukkan sebanyak 10 mL karena rute ekstravaskular ada proses absorpsi
tidak langsung ke pembuluh darah sehingga obat dimasukkan secara bertahap. Proses
absorpsi ini dimulai saat obat dimasukkan ke dalam tubuh atau saat rhodamin B dimasukkan
ke dalam gelas beker yang berisi aquadest. Kemudian diambil larutan dari gelas beker tiap 3
menit sebesar nilai klirens yaitu 200 mL dan segera ganti volume yang diambil tersebut
dengan aquades sebanyak nilai klirens tersebut serta tambahkan juga 10 mL rhodamin b
kedalam larutan. Hal ini dilakukan berulang kali hingga rhodamin B yang telah dimasukkan
mencapai 50 mL atau menit ke-15. Kemudian pada menit 15 sampai 30 larutan diambil dan
digantikan dengan aquades sesuai dengan jumlah klirens yaitu 200 mL dan tanpa
penambahan rhodamin B. Setelah itu diamati perubahan dari menit ke 3 sampai menit 30.
Selanjutnya dibaca absorbansinya menggunakan spektrofotometri uv-vis pada panjang
diperiksa. Obat berada dalam keadaan dinamik di tubuh, dimana pada waktu yang
bersamaan berbagai peristiwa biologis dialami oleh obat sehingga untuk menggambarkan
sistem biologis yang kompleks tersebut diperlukan model farmakokinetika, dimana model
ini dapat dirancang untuk melakukan simulasi terhadap proses laju absorpsi, distribusi, dan
eliminasi obat untuk menggambarkan dan memprediksi konsentrasi obat dalam tubuh
sebagai fungsi waktu. (Shargel & Yu, 2016). Model farmakokinetik ini bertujuan untuk
memahami lebih baik terkait perjalanan waktu dari konsentrasi (kadar) obat setelah
pemberian berbagai formulasi dan mengukur hubungan dari dosis serta konsentrasi obat
(Zou et al, 2020).
Model dari farmakokinetika dapat dibagi menjadi dua yaitu model kompartemen dan
model fisiologik (Model Aliran). Model kompartemen dapat dibagi menjadi Model
Mammillary dan Model Caternary. Model kompartemen memberikan cara sederhana untuk
mengelompokkan semua jaringan ke dalam satu atau lebih kompartemen tempat obat
berpindah ke dan dari kompartemen pusat atau plasma. Model Mammilary merupakan
model kompartemen yang paling umum digunakan dalam farmakokinetika, dimana model
ini terdiri atas satu atau lebih kompatemen perifer yang dihubungkan ke suatu kompartemen
sentral. Kompartemen sentral inilah yang nantinya akan mewakili plasma dan jaringan-
jaringan yang perfusinya tinggi dan secara cepat berkesetimbangan dengan obat.
Kompartemen satu akan mewakili plasma atau kompartemen sentral, sedangkan
kompartemen dua akan mewakili kompartemen jaringan. Model Caternary terdiri dari
berbagai kompartemen yang tergabung satu sama lain menjadi satu deretan kompartemen.
Oleh karena itu, model caternary tidak dapat digunakan pada sebagian besar organ
fungsional dalam tubuh yang secara langsung berhubungan dengan plasma sehingga model
caternary tidak digunakan sesering model mammilary. Selanjutnya, model fisiologik (model
aliran darah/model perfusi/flow model) merupakan suatu model farmakokinetika yang
didasarkan atas data anatomik dan fisiologik yang telah diketahui. Selain itu, model ini
menggambarkan data secara kinetik dengan pertimbangan bahwa aliran darah bertanggung
jawab untuk mendistribusikan obat ke berbagai bagian tubuh (Shargel & Yu, 2005).
Sebagian besar studi menggunakan model satu atau dua kompartemen. Ketika obat
dieliminasi, konsentrasi obat dalam sirkulasi sistemik dan disemua jaringan menurun dengan
kecepatan yang sama karena kesetimbangan distribusi yang cepat. Obat yang mengikuti
perilaku ini mengikuti model farmakokinetik satu kompartemen, sedangkan pada model dua
kompartemen, pergerakan obat yang diberikan didistribusikan secara instan ke beberapa
jaringan dan perlahan ke jaringan lain. Namun, jika distribusi obat terjadi pada tiga tingkat
yang berbeda, model tiga kompartemen akan dapat diterapkan (Rehatta et al., 2019).Model
17 Buku Kerja Praktikum Farmakokinetika
Universitas Lambung Mangkurat F-MIPA PS.Farmasi
farmakokinetik yang digunakan pada praktikum kali ini yaitu memakai model kompartemen
satu terbuka intravaskular dan ekstravaskular.
Bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah Rhodamin B. Pemerian rhodamin B
konsentrasi rendah. Rhodamin B berbentuk serbuk kristal, tidak berbau, berwarna kehijauan,
berwarna merah keunguan pada konsentrasi tinggi dan berwarna merah terang pada
konsentrasi rendah (Kurniasih et al., 2014). Rhodamin B digunakan pada percobaan kali ini
karena bewarna yaitu berwarna merah sehingga memudahkan pengamatan secara kualitatif.
Selain itu, rhodamin B mempunyai gugus kromofor dan auksokrom sehingga dapat
dianalisis secara kuantitatif menggunakan spektrofotometer UV-VIS. Berikut struktur
rhodamin B:
distribusi sebesar 0,9 L yang mana orang tersebut mengalami gangguan ginjal namun tidak
mengalami obesitas karena nilai klirensnya kurang dari nilai normal. Kondisi ketiga dengan
klirens 200 mL/menit dan volume distribusi 1,8 L menyatakan bahwa orang tersebut tidak
mengalami gangguan ginjal namun mengalami obesitas karena volume distribusinya lebih
banyak daripada orang normal. Kondisi IV dengan klirens 100 mL/menit dan volume
distribusi 1,8 L menandakan orang tesebut mengalami gangguan ginjal dan obesitas.
Terdapat beberapa parameter farmakokinetik dari model farmakokinetik yaitu yang
terdiri atas Vd, Cl, Ke, Ka, Cp, dan t1⁄2. Volume distribusi adalah volume yang
dipertimbangkan dalam memperkirakan jumlah obat dalam tubuh dari konsentrasi obat yang
ditemukan di kompartemen pengambilan sampel (Shargel & Yu, 2016). Klirens obat adalah
suatu ukuran eliminasi obat dari tubuh tanpa mempermasalahkan mekanisme prosesnya.
Eliminasi obat terdiri dari proses metabolisme dan ekskresi. Klirens dapat didefinisikan
sebagai volume bersihan suatu obat dari tubuh per satuan waktu (Pradana et al.,2013).
Konsentrasi plasma (Cp) diasumsikan bahwa konsentrasi plasma mencerminkan konsentrasi
obat di tempat kerja. Ka adalah konstata orde satu untuk absorpsi. Cara menilai tingkat
penyerapan yaitu dengan adanya pengukuran konstanta laju orde pertama untuk absorbsi
(Ka). Ke adalah konstanta dalam pengontrolan waktu yang dibutuhkan kompartemen agar
terjadi keseimbangan dengan plasma. Waktu paruh (t 1⁄2) adalah waktu yang dibutuhkan
untuk turunnya kadar obat dalan plasma hingga 50% pada fase eliminasi (Rosenbaum,
2017).
Hasil yang didapatkan dalam praktikum kali ini yaitu pertama diperoleh hasil
absorbansi kurva baku rhodamin B pada konsentrasi 0,25 ppm; 0,5 ppm; 1 ppm; 2 ppm; 3
ppm; dan 5 ppm secara berurutan sebesar 0,071; 0,139; 0,245; 0,431; 0,559; dan 0,971.
Berdasarkan hasil absorbansi ini diperoleh persamaan regresi y = 0,183x + 0,042 dengan a
sebesar 0,042; b sebesar 0,183; dan r (koefisien korelasi) sebesar 0,997. Koefisien korelasi
yang didapatkan memenuhi syarat linieritas yaitu ≥ 0,997 (Nugraheni & Anggoro, 2016).
Lalu, dapat dilihat pada tabel simulasi percobaan untuk hasil serapan rhodamin B dalam
sampel tiap waktu pada rute intravaskular mengalami penurunan seiring dengan
bertambahnya waktu sampling, dimana hal ini dikarenakan semua model di rute
intravaskular langsung diberikan seluruh dosis obat di menit ke-3 dan tidak terdapat
penambahan dosis obat karena tidak mengalami proses absorpsi obat seperti rute
ekstravaskular. Setelah itu, dapat dilihat juga pada tabel simulasi percobaan untuk hasil
serapan rhodamin B dalam sampel tiap waktu pada rute ekstravaskular semakin meningkat
dari menitke-3 hingga ke-15, dan mulai mengalami penurunan dari menit k-18 hingga menit
ke-30. Hal ini dikarenakan rute ekstravaskular mengalami proses absorpsi obat sehingga
obat diberikan secara bertahap sehingga konsentrasi rhodamin B akan terus meningkat
hingga waktu tertentu dan akan dieliminasi apabila obat yang telah diberikan telah mencapai
dosis maksimum.
Hasil yang didapatkan dalam perhitungan konstanta kecepatan eliminasi (Ke) untuk
rute intravaskular antara lain pada percobaan I diperoleh Ke sebesar 0,064/menit, percobaan
II diperoleh Ke sebesar 0,062/menit, percobaan III diperoleh Ke sebesar 0,055/menit, dan
percobaan IV diperoleh Ke sebesar 0,052/menit. Berdasarkan perhitungan Ke di atas dapat
disimpulkan bahwa Ke yang paling besar terdapat pada simulasi percobaan I sehingga proses
eliminasinya berlangsung lebih cepat. Kecepatan eliminasi akan meningkat seiring dengan
meningkatnya kadar obat dan akan mempengaruhi klirens (Suwandi et al, 2018).
Selanjutnya, didapatkan juga perhitungan waktu paruh (t1/2) untuk rute intravaskular antara
lain pada percobaan I diperoleh t1/2 sebesar 10,828 menit, percobaan II diperoleh t1/2 sebesar
11,177 menit, percobaan III diperoleh t1/2 sebesar 12,6 menit, dan percobaan IV diperoleh t1/2
sebesar 13,326 menit. Berdasarkan perhitungan t1/2 di atas dapat disimpulkan bahwa t1/2 yang
paling panjang terdapat pada simulasi percobaan IV. Waktu paruh (t1/2) obat diartikan
sebagai waktu yang diperlukan untuk mencapai penurunan 50% konsentrasi obat dan
(Mahmood, 2021). Waktu paruh eliminasi akan menentukan seberapa cepat obat
terakumulasi. Selain itu, waktu paruh eliminasi ini ditentukan oleh klirens (CL) dan volume
distribusi (V) (Holford, 2016). Hasil yang didapatkan dalam perhitungan total nilai AUC
untuk rute intravaskular antara lain pada percobaan I diperoleh total nilai AUC sebesar
94.750, percobaan II diperoleh total nilai AUC sebesar 95.698, percobaan III diperoleh total
nilai AUC sebesar 104.539, dan percobaan IV diperoleh total nilai AUC sebesar 104.518.
AUC (Area Under Curve) ini menggambarkan jumlah obat yang telah berhasil diabsorpsi ke
dalam tubuh dan mencerminkan jumlah total obat aktif yang mencapai sirkulasi sehingga
dapat disimpulkan bahwa simulasi percobaan III menunjukkan jumlah obat yang telah
diabsorpsi oleh tubuh dalam jumlah yang besar (Suartini et al, 2016).
Hasil yang didapatkan dalam perhitungan konstanta kecepatan eliminasi (Ke) untuk
rute ekstravaskular antara lain pada percobaan I diperoleh Ke sebesar 0,080/menit, percobaan
II diperoleh Ke sebesar 0,078/menit, percobaan III diperoleh Ke sebesar 0,078/menit, dan
percobaan IV diperoleh Ke sebesar 0,082/menit. Berdasarkan perhitungan Ke di atas dapat
disimpulkan bahwa Ke yang paling besar terdapat pada simulasi percobaan IV sehingga
proses eliminasinya berlangsung lebih cepat. Selanjutnya, didapatkan perhitungan waktu
paruh (t1/2) untuk rute ekstravaskular antara lain pada percobaan I diperoleh t1/2 sebesar
8,662 menit, percobaan II diperoleh t1/2 sebesar 8,884 menit, percobaan III diperoleh t1/2
sebesar 8,884 menit, dan percobaan IV diperoleh t1/2 sebesar 8,451 menit. Berdasarkan
perhitungan t1/2 di atas dapat disimpulkan bahwa t1/2 yang paling panjang terdapat pada
simulasi percobaan II dan percobaan III. Kemudian, didapatkan perhitungan Ka (konstanta
kecepatan absorpsi) untuk rute ekstravaskular antara lain pada percobaan I diperoleh Ka
sebesar 0,359/menit, percobaan II diperoleh Ka sebesar 0,368/menit, percobaan III diperoleh
Ka sebesar 0,389/menit, dan percobaan IV diperoleh Ka sebesar 0,398/menit. Berdasarkan
perhitungan Ka di atas dapat disimpulkan bahwa Ka yang paling besar terdapat pada simulasi
percobaan IV sehingga proses absorpsinya berlangsung lebih cepat. Konstanta kecepatan
absorpsi (Ka) merupakan konstanta laju orde pertama dan sangat berkaitan dengan waktu
paruh yang sesuai untuk proses penyerapan (absorpsi). Hasil yang didapatkan dalam
perhitungan total nilai AUC untuk rute ekstravaskular antara lain pada percobaan I diperoleh
total nilai AUC sebesar 81.123, percobaan II diperoleh total nilai AUC sebesar 75.342,
percobaan III diperoleh total nilai AUC sebesar 77.129, dan percobaan IV diperoleh total
nilai AUC sebesar 80.811. AUC (Area Under Curve) ini menggambarkan jumlah obat yang
telah berhasil diabsorpsi ke dalam tubuh dan mencerminkan jumlah total obat aktif yang
mencapai sirkulasi sehingga dapat disimpulkan bahwa simulasi percobaan I rute
ekstravaskular menunjukkan jumlah obat yang telah diabsorpsi oleh tubuh dalam jumlah
yang besar (Suartini et al, 2016).
Grafik yang didapatkan dari kurva baku antara konsentrasi rhodamin B vs absorbansi
memiliki nilai koefisien korelasi yang baik yaitu sebesar 0,997 dan memenuhi syarat nilai
koefisien korelasi yang dapat diterima untuk tahapan pengujian secara kuantitatif yaitu ≥
0,997 (Nugraheni & Anggoro, 2016). Grafik kurva baku yang didapatkan ini lurus dan
mengalami kenaikan absorbansi seiring dengan bertambahnya konsentrasi dari rhodamin B.
Lalu, grafik yang didapatkan pada simulasi percobaan untuk rute intravaskular menunjukkan
bahwa semakin bertambahnya waktu, maka akan terjadi penurunan konsentrasi. Literatur
menyatakan bahwa grafik pada simulasi secara in vitro untuk rute intravaskular akan
memiliki bentuk grafik yang miring dan turun ke kanan, dimana bentuk grafik ini mengikuti
model farmakokinetika kompartemen satu terbuka yang memiliki rumus slope (kemiringan)
= -k/2,303. Berdasarkan literatur yang didapatkan menunjukkan bahwa hasil pada grafik
simulasi percobaan untuk rute intravaskular ini telah sesuai dengan literatur (Shargel & Yu,
2016). Selanjutnya, grafik yang didapatkan pada simulasi percobaan untuk rute
ekstravaskular menunjukkan bahwa grafik akan mengalami kenaikan pada waktu ke-3 menit
hingga waktu ke-15 menit, lalu akan mengalami penurunan pada waktu ke-18 menit hingga
waktu ke-30 menit. Hal ini dikarenakan pada rute ekstravaskular ini menggambarkan obat
yang terus meningkat hingga mencapai Cmaks dalam darah, setelah tercapai Cmaks maka obat
akan secara perlahan mengalami penurunan konsentrasi yang disebabkan oleh terjadinya
proses eliminasi obat di dalam tubuh. Berdasarkan literatur yang didapatkan menunjukkan
bahwa hasil pada grafik simulasi percobaan untuk rute ekstravaskular ini telah sesuai dengan
literatur (Shargel & Yu, 2016).
Kesimpulan
paruh (t1/2) untuk rute ekstravaskular antara lain pada percobaan I diperoleh t1/2 secara
berurutan sebesar 8,662 menit; 8,884 menit; 8,884 menit; dan 8,451 menit. t1/2 yang paling
panjang terdapat pada simulasi percobaan II dan percobaan III. Kemudian, didapatkan
perhitungan Ka untuk rute ekstravaskular antara lain pada percobaan percobaan I, II, III, dan
IV diperoleh Ka secara berurutan sebesar 0,359/menit; 0,368/menit; 0,389/menit; dan
0,398/menit. Ka yang paling besar terdapat pada simulasi percobaan IV. Hasil yang
didapatkan dalam perhitungan total nilai AUC untuk rute ekstravaskular antara lain pada
percobaan percobaan I, II, III, dan IV diperoleh total nilai AUC secara berurutan sebesar
81.123; 75.342; 77.129; dan 80.811. AUC terbesar terdapat pada simulasi percobaan I.
5. Grafik yang dihasilkan untuk ture intravaskular yaitu grafik yang turun, hal ini karena pada rute
intravaskular tidak terjadi absorpsi atau obat langsung masuk ke sistemik, setelah itu obat akan
tereliminasi dari tubuh. Grafik yang dihasilkan untuk rute ekstravaskular yaitu grafik yang naik
kemudian turun, grafik yang naik menyataan bahwa adanya proses absorpsi, selain itu terjadi pula
eliminasi. Sedangkan grafik turun menggambarkan proses eliminasi obat dari tubuh.
Pertanyaan
1. Parameter farmakokinetika yang mana yang dikaitkan dengan jumlah obat dalam tubuh
untuk pengukuran kadar obat dalam plasma ?
2. Jelaskan faktor dari timbulnya variabilitas kadar obat dalam plasma setelah dosis yang
sama diberikan kepada pasien yang berbeda !
Jawaban
1. Parameter farmakokinetika yang berkaitan dengan jumlah obat dalam tubuh untuk
pengukuran kadar obat dalam plasma yaitu konsentrasi waktu puncak plasma (darah)
(tmax), konsentrasi puncak obat plasma (Cmax), area dibawah konsentrasi plasma obat-
kurva waktu (AUC) (Shargel & Yu, 2016). Volume distribusi merupakan suatu
parameter yang berguna untuk enilai jumlah relative obat di luar kompartemen sentral
atau jaringan. Jumlah total obat dalam tubuh pada berbagai waktu pemberian dapat
ditentukan dengan mengukur konsentrasi obat dalam darah jika diketahuinya Vd suatu
obat. Distribusi bahan biologic biasanya terbatas di plasma dan cairan ekstraselular
karena umumnya bersifat polar dan bobot molekulnya besar. Protein dengan bobot
molekul di atas 30 kDa sangat lambat melewati kapiller pembuluh darah. Distibusi
bahan biologic dipengaruhi oleh ikatannya dengan protein plasma. Konjugasi antibody
dengan protein plasma dapat menghambat metabolism antibodi dan meningkatkan
efikasinya sebagai agen terapi (Suartini et al., 2016). Volume distribusi: jumlah obat
dalam tubuh tidak dapat ditentukan secara langsung, tetapi sampel darah dapat diambil
pada jarak waktu secara berkala dan dianalisis konsentrasi obat tersebut, VD berguna
23 Buku Kerja Praktikum Farmakokinetika
Universitas Lambung Mangkurat F-MIPA PS.Farmasi
untu mengalirkan konsentrasi obat dalam plasma (Cp) dan jumlah pbat dalam tubuh
(DB) (Shargel et al., 2005). Volume distribusi akan berguna untuk menentukan dosis
obat yang diperlukan untuk memperoleh kadar obat dalam darah yang dihendaki,
dimana obat dengan nilai Vd kecil akan menghasilkan kadar obat dalam darah yang
tinggi, sedangkan obat dengan kadar Vd besar maka kadar akan menghasilkan obat
dalam darah yang lebih rendah (Staf Pengajar, 2004).
2. Faktor yang mempengaruhi variabilitas kadar obat dalam plasma:
a. Farmakokinetik obat, seperti profil absorpsi, distribusi dan eliminasi
b. Fisiologi pasien, seperti usia, berat badan, jenis kelamin, dan status gizi yang akan
mempengaruhi disposisi obat
c. Kondisi patofisiologis seperti disfungsi ginjal, penyakit hati, atau gagal jantung
kongestif yang dapat mengubah profil farmakokinetik
d. Pengaruh efek jangka panjang obat yang memungkinkan terjadinya penyalah gunaan
obat oleh pasien
e. Ketidak patuhan pasien dalam meminum obat yang dapat menjadi masalah
untukmencapai hasil terapi yang efektif
Faktor lainnya yaitu :
• Perbedaan dalam kemampuan individu untuk memetabolisme dan menghilangkan
obat (misalnya genetika)
• Status penyakit (insufisiensi ginjal atau hati) atau kondisi fisiologis (cg, usia ekstrem,
obesitas) yang mengubah absorpsi, distribusi, atau eliminasi obat
• Obat interaksi
(Shargel & Yu, 2016).
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi timbulnya variabilitas kadar obat dalam plasma
yaitu:
a. Variasi absorpsi obat
b. Variasi distribusi obat, termasuk variasi dalam pengikatan protein
c. Perbedaan kemampuan individu untuk memetabolisme dan mengeliminasi obat
(misalnya genetika)
d. Keadaan penyakit (insufisiensi ginjal atau hati) atau keadaan fisiologi (misalnya
usia ekstrem, obesitas, sepsis/syok distributif penyakit kritis) yang mengubah
absorbsi obat, distribusi, atau eliminasi
e. Interaksi obat
(Southwood et al., 2018).
Pustaka
Holford, N. 2016. Absorption and Half-Life. Transl Clin Pharmacol. 24: 157-160.
Kurniasih, M., A. Riapanitra & A. Rohadi. 2014. Adsorpsi Rhodamin B dengan Adsorben
Kitosan Serbuk dan Beads Kitosan. Sains & Matematika. 2: 27-33.
Pradana, D. A., F. Hayati & D. Sukma. 2013. Pengaruh Pra-Perlakuan Madu Terhadap
Farmakokinetika Eliminasi Rifampisin Pada Tikus Wistar Jantan. Jurnal Ilmiah Farmasi.
10: 18-27.
Rosenbaum. 2017. Basic Pharmacokinetics and Pharmacodynamics. John Wiley & Sons, New
Jersey.
Shargel, L., S. Wu-pang & A. B. C. Yu. 2005. Biofarmasetika dan Farmaokinetika Terapan.
Airlangga University Press, Surabaya.
Shargel, L., Yu, A. B. 2016. Applied Biopharmaceutics and Pharmacokinetics. Mc Graw- Hill
Education, New York.
Southwood, R., V. H. Fleming & G. Huckaby 2018. Concepts In Clinical Pharmacokinetics 7th
Edition. ASHP Publishing, Bethesda.
Suwandi, N. D., C. Abrori & M. Hasan. 2018. Kadar Puncak (Cmax), Waktu Puncak (Tmax), Waktu
Paruh (T½) dan Bersihan Teobromin pada Sukarelawan Sehat setelah Pemberian Dark Chocolate
Bar Per Oral. e-Jurnal Pustaka Kesehatan. 6: 257-261.