Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PRAKTIKUM BIOFARMASETIKA DAN

FARMAKOKINETIKA
“STUDI DIFUSI KETOPROFEN (IN VITRO)”

Dosen Pengampu : 1. apt. Emy Oktaviani, M.Clin.Pharm.


2. apt. Nisa Najwa Rokhmah, M.Farm.
3. Nina Herlina, M.Si.
4. apt. Emma Nilafita Putri Kusuma, M.Farm.
5. apt. Erni Rustiani, M.Farm.
6. apt. Wilda Nurhikmah, M.Si.
7. apt. Cyntia Wahyuningrum, M.Si.
8. Cyntia Wulandari, M.Farm
Asisten Dosen : Dicky Nurahayu
Kelompok :3
Anggota Kelompok : 1. Appriyatna Eko Purwanto (066121102)
2. Ervi Agustin (066121103)
3. Mutia Naila (066121098)
4. Khairunnisa Hasna R. (066121109)
5. Agung Nasrul Hidayat (066121113)
6. Findy Riayu Adriyanti (066121118)

LABORATORIUM FARMASI
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PAKUAN
BOGOR
2023
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Difusi adalah pergerakan zat dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah.
Difusi melalui membran dapat berlangsung melalui tiga mekanisme, yaitu
difusi sederhana, difusi melalui saluran yang terbentuk oleh protein
transmembran, dan difusi terfasilitasi (Shargel, 2018). Metode penghantaran
obat secara topikal memiliki kelebihan dibandingkan metode penghantaran
lainnya, salah satunya adalah menghindari metabolisme first pass effect pada
hati (Shankar, et.al., 2015)
Rintangan utama pemberian obat melalui kulit sesuai dengan fungsinya
sebagai pelindung organ dalam tubuh adalah lapisan stratum corneum yang
mempunyai struktur kompak dan sulit ditembus. Kemampuan pelepasan obat
dari polimer merupakan salah satu hal yang sangat mempengaruhi
keberhasilan sediaan. Partikel obat pertama-tama harus terlarut sehingga
terbentuk molekul yang dapat berdifusi melewati polimer, kemudian obat akan
berpenetrasi melewati barier kulit (Gaikwad, 2013).
Ketoprofen adalah obat antiinflamasi nonsteroid yang ampuh dan praktis
tidak larut dalam air. Obat ini biasanya digunakan untuk pengobatan gangguan
muskuloskeletal seperti osteoartritis dan rematik. Pemberian melalui rute
dermal dapat mengatasi kelemahan ini, dan dapat mempertahankan kadar
plasma yang relatif konsisten untuk terapi jangka panjang dari dosis tunggal.
Namun, fungsi penghalang kulit membatasi formulasinya sebagai bentuk
sediaan transdermal dan menjadikannya menantang (Suksaaere, et. al., 2014).

1.2 Tujuan Praktikum


1. Dapat memahami proses difusi obat menembus melalui membran
2. Dapat menentukan faktor-faktor yang berperan dalam proses difusi
sediaan
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Difusi
Difusi adalah pergerakan zat dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah.
Difusi melalui membran dapat berlangsung melalui tiga mekanisme, yaitu
difusi sederhana, difusi melalui saluran yang terbentuk oleh protein
transmembran, dan difusi terfasilitasi (Shargel, 2018). Proses difusi melalui
mebran dijelaskan oleh hukum Fick pertama. Hukum Fick pertama
menyatakan sejumlah massa yang mengalir melalui satu satuan penampang
melintang dari suatu pembatas dalam satu satuan waktu berbanding lurus
dengan perbedaan konsentrasi (Sinko, 2016).
Difusi sederhana merupakan proses pelaluan zat yang bersifat transport
pasif melalui pori protein yang dibentuk oleh protein integral atau pori statis
akibat gerakan rantai asam lemak lapisan ganda lipid, zat yang diangkut tidak
36 bersifat spesifik tetapi memenuhi sayarat ukuran maupun muatan
(Darmadi, 2019).
Difusi terfasilitasi adalah pelaluan zat melalui membran plasma yang
melibatkan protein pembawa tau protein transport. Protein transport memiliki
sifat seperti enzim, yaitu bersifat spesifik terhadap zat dan tempat pengikatan
molekul yang diangkutnya. Protein transport dapat berubah bentuk saat
mengikat dan melepas molekul yang dibawanya. Protein transport pada
membrane memudahkan difusi molekul asam amino dan glukosa (Darmadi,
2019).
2.1.1 Faktor yang mempengaruhi difusi
Faktor yang dapat mempengaruhi difusi yaitu molekul bergerak
terus-menerus secara acak pada tingkat yang tergantung pada massa,
lingkungan, dan jumlah energi panas yang dimiliki. Gerakan ini
menyumbang difusi molekul melalui media apa pun di mana mereka
dilokalisasi. Sebuah substansi akan cenderung bergerak ke setiap ruang
yang tersedia untuk itu sampai merata di ruangan itu. Setelah zat telah
menyebar sepenuhnya melalui ruang yang menghilangkan gradien
konsentrasinya, molekul mash akan bergerak di sekitar ruang, tetapi
tidak akan ada gerakan bersih jumlah molekul dari satu daerah ke
daerah lain (Setiawati, 2017).
Kecepatan difusi dipengaruhi oleh 4 faktor, yaitu (Darmadi, 2019):
1. Gradien konsentrasi: semakin besar gradient konsentrasi maka
difusi semakin cepat
2. Suhu: semakin tinggi suhu maka difusi semakin cepat. Hal ini
dikarenakan tingginya suhu menambah energi kinetik molekul
3. Luas permukaan: semakin luas permukaan maka difusi semakin
cepat. Hal ini dikarenakan lebih banyak ruang pertukaan molekul
4. Jenis molekul: molekul yang berukuran kecil atau bersifat nonpolar
lebih mudah berdifusi dibandingkan molekul besar dan tau polar

2.2 Ketroprofen Gel


Ketoprofen [asam 2-(3-benzoilfenil)-propionat] merupakan obat analgesik
perifer turunan dari asam propionat. Ketoprofen termasuk ke dalam golongan
obat antiinflamasi non steroid. Ketoprofen mempunyai rumus molekul
C16H14O3 dan berat molekul 254,3 g/mol. Ketoprofen berbentuk serbuk hablur,
putih atau hampir putih, tidak atau hampir tidak berbau, mudah larut dalam
etanol, dalam kloroform, dan dalam eter, praktis tidak larut dalam air
(Departemen Kesehatan, 2014).

2.3 Spektrofotometri UV-VIS


Secara umum, untuk analisis kadar obat yang terdisolusi digunakan
metoda spektrofotometri UV karena cepat dan dapat dilakukan secara real
time sehingga kadar obat terdisolusi dapat dimonitoring. Kelemahan metode
UV adalah apabila terdapat intervensi dari matrik atau zat aktif lain yang ada
dalam sampel akan mengganggu analisis (Saafrida, 2022).

2.4 Kulit
Kulit adalah organ terluar dari tubuh yang melapisi tubuh manusia. Berat
kulit diperkirakan 7% dari berat tubuh total. Pada permukaan luar kulit
terdapat pori-pori (rongga) yang menjadi tempat keluarnya keringat. Kulit
adalah organ yang memiliki banyak fungsi, diantaranya adalah sebagai
pelindung tubuh dari berbagai hal yang dapat membahayakan, sebagai alat
indra peraba, pengatur suhu tubuh, dan lainnya (Sulastomo, 2013).
2.4.1 Struktur Kulit
Kulit terdiri atas 2 lapisan utama yaitu epidermis dan dermis.
Epidermis merupakan jaringan epitel yang berasal dari ektoderm,
sedangkan dermis berupa jaringan ikat agak padat yang berasal dari
mesoderm. Di bawah dermis terdapat selapis jaringan ikat longgar
yaitu hipodermis, yang pada beberapa tempat terutama terdiri
dari jaringan lemak. (Sonny J R, 2013)

Gambar 1. Lapisan-lapisan dan ependiks kulit (Sonny J R, 2013)

2.5 Studi In Vitro


Studi pelepasan obat secara in vitro dilakukan dengan menggunakan alat
disolusi yang dimodifikasi (gelas kimia dan pengaduk magnetik) dengan
kecepatan putaran 50 rpm. Film berukuran satu sentimeter persegi yang telah
dilekatkan pada lapisan penyangga ditempelkan pada kaca objek, kemudian
ditempatkan dalam gelas kimia yang berisi 250 mL buffer fosfat pH 7,4 pada
suhu 37 ± 0,5°C. Sampel sebanyak 5 ml diambil pada interval waktu yang
telah ditentukan sebelumnya (5, 10, 15, 20, 25, 30, 45, 60, 90, 120, 180, dan
240) dan diganti dengan medium buffer fosfat pH 7,4 yang baru. Sampel
dianalisis, setelah pengenceran yang sesuai, menggunakan spektrofotometer
UV pada λ 260 nm (Putri, dkk., 2013).
BAB III
PROSEDUR PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat
1. Erlenmeyer 6. Membran milipore
2. Franz diffution cell 7. Pipet volume
3. Gelas ukur 8. Spektrofometri UV-Vis
4. Kaca arloji 9. Timbangan analitik
5. Labu ukur 10. Vial 10 ml
3.1.2 Bahan
1. Aquadest
2. Kalium fosfat
3. Kalium fosfat monobasa
4. Ketoprofen Gel
5. Kulit ular piton
6. Kulit tikus
7. Larutan dapar fosfat
8. NaOH

3.2 Cara kerja


3.2.1 Penetapan kadar zat aktif
a. Pembuatan larutan dapar fosfat ph 7,4
+250 ml kalium fosfat monobasa
+38,5 ml lar. NaOH 1 N

Ad 1000 ml aquadest

b. Pembuatan larutan kalium fosfat

Larutkan dalam aquadest


ad 500 ml

Ditimbang kalium fosfat


13,6 gram
c. Pembuatann larutan NaOH 1 N
Larutkan dalam aquadest
ad 500 ml

Ditimbang NaOH 20 gram

d. Pembuatan kurva kalibrasi ketoprofen


Dilarutkan dengan dapar
fosfat ad 100 ml

Ditimbang ketoprofen 100 mg

Dipipet 7,5 ml dari larutan


baku ad dapar 50 ml

Diukur Panjang gelombang dengan 150 ppm


larutan kons. 150 ppm

3.2.2 Uji difusi sediaan in vitro

Magnetic stirrer dijaga Diaplikasikan 0,5 gram gel


pada suhu 37°C pada membran

Diukur serapan pada Diambil sampel sebanyak 10 ml


spektrofotmetri UV-Vis pada menit 15, 30, 45, 60, 75 menit
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Data pengamatan


4.1.1 Deret Standar

Konsentrasi Absorbansi
110 0,358
120 0,266
130 0,379
140 0,372
150 0,378

4.1.2 Uji difusi


Menit Absorbansi Jumlah zat terpenetrasi (Q)
15 0,011 -651,95 mg/cm2
30 0,201 175,92 mg/cm2
45 0,013 -641,34 mg/cm2
60 0,014 -632,02 mg/cm2

4.2 Perhitungan
Dik : y = 0,0015x + 0,1608
a = 0,1608
b = 0,0015
r = 0,231
A = ⫪r2
= 3,14 . 1 cm . 1 cm
= 3,14
V = 20,5 ml
S = 3 ml
1. Menit 15
Persamaan regresi: y = 0,0015x + 0,1608
0,011 = 0,0015x + 0,1608
0,011 – 0,1608
x=
0,0015
x = -99,86 mg/mL

{ }
n−1
Cn .V + ∑ C . S
Q1 = i=1
A

Q1 = { (−99 , 86).20 , 5+ ( 1−1 ) . 3


3 ,14 }
Q1 = -651,95 mg/cm2
2. Menit 30
Persamaan regresi: y = 0,0015x + 0,1608
0,201 = 0,0015x + 0,1608
0,201 – 0,1608
x=
0,0015
x = 26,8 mg/mL

{ }
n−1
Cn .V + ∑ C . S
Q2 = i=1
A

Q2 = { 26 ,8. 20 , 5+ ( 2−1 ) .3
3 , 14 }
Q2 = 175,92 mg/cm2
3. Menit 45
Persamaan regresi: y = 0,0015x + 0,1608
0,013 = 0,0015x + 0,1608
0,013 – 0,1608
x=
0,0015
x = -98,53 mg/mL

{ }
n−1
Cn .V + ∑ C . S
Q3 = i=1
A

Q3 = {
−98 ,53. 20 , 5+ ( 3−1 ) .3
3 , 14 }
Q3 = -641,34 mg/cm2
4. Menit 60
Persamaan regresi: y = 0,0015x + 0,1608
0,014 = 0,0015x + 0,1608
0,014 – 0,1608
x=
0,0015
x = -97,86 mg/mL

{ }
n−1
Cn .V + ∑ C . S
Q4 = i=1
A

Q4 = {
−97 , 86.20 , 5+ ( 4−1 ) .3
3 ,14 }
Q4 = -636,02 mg/cm2

4.3 Grafik

Kurva Kalibrasi
0.4

0.3
Absorbansi

0.2

0.1

0
100 110 120 130 140 150 160
Konsentrasi

Gambar 1. Grafik kurva kalibrasi deret standar

Absorbansi Ketoprofen
0.25
0.2
Absorbansi

0.15
0.1
0.05
0
10 20 30 40 50 60 70
Menit

Gambar 2. Grafik absorbansi ketoprofen


4.4 Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan studi difusi sediaan farmasi
secara in vitro. Tujuan dilakukan percobaan ini untuk yaitu untuk mengukur
konsentrasi obat yang terdifusi kedalam kulit dan mengetahui konsentrasi obat
terhadap waktu yang dilakukan secara in vitro dengan melihat jumlah obat
yang terdifusi pada luas membran.
Pengujian difusi secara in vitro dilakukan pada sediaan transdermal.
Pemberian secara transdermal menghasilkan pelepasan obat ke dalam tubuh
melalui kulit. Rute pemberian transdermal memiliki beberapa keuntungan,
antara lain berkurangnya metabolisme obat lintas pertama (first pass effect),
tidak adanya degradasi saluran cerna, penghantaran obat dalam jangka
panjang, dan penyerapan obat yang terkontrol. Namun, hanya sejumlah kecil
molekul obat yang dapat diformulasikan menjadi patch transdermal karena
penetrasi kulit yang rendah.
Pengujian dilakukan dengan menggunakan ketoprofen gel. Ketoprofen
merupakan analgesik perifer yang digunakan untuk rheumatoid arthritis,
osteoarthritis, pirai, dismenore, dan keadaan nyeri lainnya. Ketoprofen
memiliki beberapa kelemahan, yaitu praktis tidak larut dalam air, kecepatan
disolusi dan bioavailabilitasnya rendah, serta waktu eliminasinya cepat. Oleh
karena itu, dilakukan pemberian obat melalui rute transdermal yang mampu
menghantarkan obat masuk secara terkendali ke dalam tubuh melalui kulit
untuk mendapatkan efek sistemik.
Sudi difusi in vitro obat dilakukan dengan menggunakan metode difusi
melalui membran. Membran yang digunakan yaitu membran kulit ular dan
membran kulit tikus karena memiliki struktur stratum korneum yang hampir
sama dengan manusia. Adapun mekanisme difusi terjadi saat ketoprofen di
dalam gel menembus kulit membran tikus yang dihubungkan dengan jumlah
ketoprofen yang terpenetrasi per satuan luas membran terhadap waktu
(Hukum Fick).
Pengujian difusi dilakukan pada menit 15, 30, 45, dan 60 dan suhu diatur
hingga 37°C agar uji sesuai dengan suhu tubuh manusia. Penggunaan dapar
fosfat pH 7,4 sebagai pelarut yang bertujuan untuk mengkondisikan cairan
seperti pH tubuh normal. Selanjutnya dibuat larutan deret standar dengan
konsentrasi 110 ppm; 120 ppm; 130 ppm; 140 ppm; dan 150 ppm sehingga
didapat persamaan regresi y = 0,0015x + 0,1608.
Berdasarkan hasil pengamatan pada uji difusi, dihasilkan absorbansi pada
menit 15 0,011; menit 30 0,201; menit 45 0,013; dan menit 60 0,014.
Absorbansi yang dihasilkan tidak memenuhi persyaratan karena absorbansi
yang baik pada rentang 0,2-0,8. Selanjutnya dilakukan perhitungan
konsentrasi ketoprofen pada menit 15, 30, 45, dan 60 dengan masing-masing
dihasilkan jumlah zat yang terpenetrasi (Q) sebesar -651,95 mg/cm 2;175,92
mg/cm2; -641,34 mg/cm;-636,02 mg/cm2. Hasil yang diperoleh tidak sesuai
karena bernilai negative dimana seharusnya didapat hasil yang positif. Hasil
yang tidak sesuai ini dapat terjadi karena penggunaan larutan dapar fosfat
yang tidak baru atau membran kulit yang digunakan terlalu tebal. Hal ini
sesuai dengan hukum fick yang menyatakan bahwa membran kulit berbanding
terbalik dengan fluks per satuan luas. Semakin tebal membran maka semakin
banyak waktu yang dibutuhkan untuk berdifusi melewati kulit.
Pada grafik uji difusi dapat dilihat bahwa konsentrasi ketoprofen negative
dan terjadi penurunan pada menit 45 dan 60 sehingga grafik yang dihasilkan
tidak bagus. Seharusnya grafik yang dihasilkan semakin lama waktu
ketoprofen terdifusi maka zat yang terpenetrasi akan semakin meningkat.
BAB V
KESIMPULAN

Berdasarkan praktikum kali ini yang berjudul “Studi Difusi Ketoprofen (In
Vitro)” dapat disimpulkan bahwa:

1. Mekanisme difusi terjadi saat ketoprofen di dalam gel menembus kulit


membran yang dihubungkan dengan jumlah ketoprofen yang terpenetrasi
per satuan luas membran terhadap waktu (Hukum Fick).
2. Jumlah zat ketoprofen yang terpenetrasi (Q) pada menit 15, 30, 45, dan 60
yaitu sebesar -651,95 mg/cm2; 175,92 mg/cm2; -641,34 mg/cm; -636,02
mg/cm2. Semakin lama waktu ketoprofen terdifusi maka zat yang
terpenetrasi akan semakin meningkat.
3.
DAFTAR PUSTAKA

Darmadi, (2019). Mekanisme Transpor Pada Membran. Yogyakarta : Pustaka


Pelajar.
Departemen Kesehatan RI., (2014). Farmakope Indonesia Edisi Kelima.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
Gaikwad, A.K., (2013). Transdermal Drug Delivery System: Formulation Aspect
And Evaluation. Comprehensive Journal of Pharmaceutical Sciences.
1(1): 1 – 10.
Suksaeree, C. Monton, A. Sakunpak, and T. Charoonratana., (2014). Formulation
and In Vitro Study of Ketoprofen Pseudolatex Gel for Transdermal Drug
Delivery Systems. International Journal of Pharmacy and
Pharmaceutical Sciences. 6(2): 248-253.
Putri, K. S. S., Slivia S., and E. Anwar., (2013). Pregelatinized Cassava Starch
Phtalate as Film-Forming Excipient for Transdermal Film of Ketoprofen.
Asian Journal of Pharmaceutical and Clinical Research. 6(3): 62-66.
Shankar, R., Tiwari, V., Mishra, C.P., Singh C.K., Sharma D., Jaiwal S. (2015).
Formulation and evaluation of ketoconazole nanoemulsion gel for topical
delivery. American Journal Pharmacy Technology. (5): 445-62
Shargel, A., (2018). Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Surabaya:
Airlangga University-press.
Sinko, A., (2016). Biologi Edisi Kedelapan Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Setiawati, T., (2017). Biologi Interaktif. Jakarta : Azka Press.
Singh G., (2015). Gastrointestinal complications of prescription and over-the-
counter nonsteroidal anti-inflammatory drugs: a view from the ARAMIS
database. American Journal of Therapy. (7):115-121.
Saafrida, Salman U., Lucida H., (2022). Pengembangan dan Validasi
Metode Disolusi Tablet Salut Enterik Ketoprofen. Jurnal sains dan
farmasi klinis, vol 9 no.3, hh 285-290
Sonny, J.R., (2013). HISTOFISIOLOGI KULIT. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Sulastomo, Elandari., (2013). Kulit Sehat dan Cantik. Jakarta: Kompas.
LAMPIRAN

Gambar 1. Menit 15 Gambar 2. Menit 30

Gambar 3. Menit 45 Gambar 4. Menit 60

Gambar 5. Ketoprofen gel Gambar 6. Alat difusi

Anda mungkin juga menyukai