Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PRAKTIKUM

TEKNOLOGI FORMULASI SEDIAAN STERIL


INJEKSI ASAM FOLAT

“Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Teknologi Formulasi
Sediaan Steril”

Disusun Oleh Kelompok 5


Farmasi 4C

AI NINA HERLINA 31115118


DAIS SARI MILATI 31115124
DIMAS RAHMAN FAUZI 31115129
HUDA NURUL AZMI 31115138
JAENUDIN 31115140
LASTRI ALIFIA 31115142
SAFITRI DWI ULFA 31115162
WINDY SUSI INDRIYANI 31115172

PRODI S1 FARMASI
STIKES BAKTI TUNAS HUSADA TASIKMALAYA
2018
Judul Praktikum : Pembuatan Sediaan Injeksi Asam Folat
Tanggal Praktikum : selasa, 25 september 2018

I. Tujuan
Mampu memahami pengertian sediaan steril, mengenal macam-
macam sediaan steril serta mampu melakukan proses sterilisasi alat,
bahan, dan ruangan serta dapat membuat sediaan steril injeksi yang
bermutu.
II. Dasar Teori
Steril adalah suatu keadaan dimana suatu zat bebas dari mikroba
hidup, baik yang patogen (menimbulkan penyakit) maupun patogen/
non patogen (tidak menimbulkan penyakit). Sediaan steril adalah bentuk
sediaan obat dalam bentuk terbagi-bagi yang bebas dari mikroorganisme
hidup. Pada prinsipnya, yang termasuk sediaan ini antara lain sediaan
parental preparat untuk mata dan preparat irigasi (misalnya infus).
Sediaan parenteral merupakan jenis sediaan yan g unik diantara bentuk
sediaan obat terbagi-bagi, karena sediaan ini disuntikkan melalui kulit
atau membrane mukosa ke bagian tubuh yang paling efisien, yaitu
membrane kulit dan mukosa, maka sediaan ini harus bebas dari
kontaminasi mikroba dan dari bahan-bahan toksis lainnya, serta harus
memiliki tingkat kemurnian yang tinggi. Semua bahan dan proses yang
terlibat dalam pembuatan produk ini harus dipilih dan dirancang untuk
menghilangkan semua jenis kontaminasi, apakah kontaminasi fisik,
kimia, atau mikrobiologis (Priyambodo, B., 2007).
Produk steril adalah sediaan terapetis dalam bentuk terbagi-bagi
yang bebas dari mikroorganisme hidup. Beberapa macam yang masuk
kedalam produk steril diantaranya sediaan parentral, tetes mata, hidung,
telinga, infus. Sediaan parenteral merupakan sediaan yang unik diantara
bentuk obat terbagi-bagi, karena sediaan ini disuntikkan melalui kulit
atau membran mukosa kebagian dalam tubuh. Karena sediaan
mengelakkan garis pertahanan pertama dari tubuh yang paling efisien,
yakni membrane kulit dan mukosa, sediaan tersebut harus bebas dari
kontaminasi mikroba dan dari komponen toksik dan harus
mempunyai tingkat kemurniaan tinggi dan luar biasa. Semua
komponen dan proses yang terlibat dalam penyediaan produk ini harus
dipilih dan dirancang untuk menghilangkan semua jenis kontaminasi
secara fisik, kimia atau mikrobiologi.
Ada tiga cara utama yang umum dipakai dalam sterilisasi yaitu
penggunaan panas, penggunaan bahan kimia, dan penyaringan (filtrasi).
Bila panas digunakan bersama-sama dengan uap air maka disebut
sterilisasi panas lembab atau sterilisasi basah, bila tanpa kelembaban
maka disebut sterilisasi panas kering atau sterilisasi kering. Sedangkan
sterilisasi kimiawi dapat dilakukan dengan menggunakan gas atau
radiasi. Pemilihan metode didasdarkan pada sifat bahan yang akan
disterilkan (Hadioetomo, R. S., 1985).
Cara-Cara Sterilisasi Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV
1. Sterilisasi uap
Sterilisasi uap adalah proses sterilisasi termal yang menggunakan
uap jenuh dibawah tekanan selama 15 menit pada suhu 121°.
Kecuali dinyatakan lain, berlangsung di suatu bejana yang disebut
autoklaf.
2. Sterilisasi panas kering
Sterilisasi cara ini menggunakan suatu siklus Oven modern yang
dilengkapi udara yang dipanaskan dan disaring. Rentang suhu
khas yang dapat diterima di dalam bejana sterilisasi kosong adalah
lebih kurang 15°, jika alat sterilisasi beroperasi pada suhu tidak
kurang dari 250°.
3. Sterilisasi gas
Bahan aktif yang digunakan adalah gas etilen oksida yang
dinetralkan dengan gas inert, tetapi keburukan gas etilen oksida ini
adalah sangat mudah terbakar, bersifat mutagenik, kemungkinan
meninggalkan residu toksik di dalam bahan yang disterilkan,
terutama mengandung ion klorida. Pemilihan untuk menggunakan
sterilisasi gas ini sebagai alternative dari sterilisasi termal.
4. Sterilisasi dengan radiasi ion
Ada 2 jenis radiasi ion yang digunakan yaitu disintegrasi
radioaktif dari radioisotop (radiasi gamma) dan radiasi berkas
electron. Pada kedua jenis ini, dosis yang menghasilkan derajat
jaminan sterilisasi yang diperlukan harus ditetapkan sedemikian
rupa hingga dalam rentang satuan dosis minimum dan maksimum,
sifat bahan disterilkan dapat diterima. Walaupun berdasarkan
pengalaman dipilih dosis 2,5 megarad radiasi yang diserap, tetapi
dalam beberapa hal, diinginkan dapat diterima penggunaaan dosis
yang lebih rendah untuk peralatan, bahan obat dan bentuk sediaan
akhir.
5. Sterilisasi dengan penyaringan
Sterilisasi larutan yang labil terhadap panas sering dilakukan
dengan penyaringan menggunakan bahan yang dapat menahan
mikroba, hingga mikroba yang dikandungnya dapat dipisahkan
secara fisik. Perangkat penyaringan umumnya terdiri dari suatu
matriks berpori bertutup kedap atau dikaitkan dengan wadah yang
tidak permeable. Efektivitas penyaringan media atau penyaringan
substrat tergantung pada ukuran pori matriks, daya adsorpsi
bakteri dari matriks dan mekanisme pengayakannya.
6. Sterilisasi dengan aseptic
Proses ini mencegah masuknya mikroba hidup kedalam komponen
steril atau komponen yang melewati proses antara yang
mengakibatkan produk setengah jadi atau produk ruahan atau
komponennya bebas mikroba hidup.

Injeksi adalah sediaan steril yang disuntikkan dengan cara


merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau melalui selaput
lender. Injeksi dapat berupa larutan, emulsi, suspensi, atau serbuk steril
yang harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum
digunakan. Syarat-syarat obat suntik yaitu, aman, harus jernih, tidak
berwarna, sedapat mungkin isohidris, sedapat mungkin isotonis, harus
steril, bebas pirogen(Anief, Moh, 2006).
Air yang digunakan untuk injeksi adalah Aqua pro Injectione. Air
untuk injeksi, dibuat dengan menyuling kembali air suling segar dengan
alat gelas netral atau wadah logam yang cocok dengan labu percik. Hasil
sulingan pertama dibuang dan sulingan selanjutnya ditampung dan
segera digunakan harus disterilkan dengan cara Sterilisasi A atau C
segera ditampung. Air untuk injeksi bebas udara dibuat dengan
mendidihkan air untuk injeksi segar selama 10 menit sambil dicegah
hubungan dengan udara sesempurna mungkin, didinginkan dan segera
digunakan. Jika dimaksudkan sebagai pelarut untuk injeksi, harus
disterilkan dengan cara sterilisasi A, segera setelah diwadahkan (Anief,
Moh, 2006).
Wadah obat suntik, termasuk tutupnya harus tidak berinteraksi
dengan sediaan, baik secara fisik maupun kimia sehingga akan
mengubah kekuatan dan efektivitasnya. Bila wadah dibuat dari gelas,
maka gelas harus jernih dan tidak berwarna atau kekuningan, untuk
memungkinkan memeriksa isinya. Jenis gelas yang susai dan dipilih
untuk tiaqap sediaan parenteral biasanya dinyatakan dalam masing-
masing monograf. Obat suntik ditempatkan di dlam wadah dosis tunggal
atau wadah dosis berganda. Menurut definisi wadah dosis tunggal
(Ansel, 1989).
Injeksi diracik dengan melarutkan, mengemulsi atau
mensuspensikan sejumlah obat dalam sejumlah pelarut atau dengan
mengisikan sejumlah obat ke dalam wadah dosis tunggal atau wadah
dosis ganda (Anief, 1986).
Menurut USP, sediaan obat suntik dapat dibagi menjadi lima
kelompok, yaitu:
1. Larutan obat siap untuk disuntikkan
2. Zat padat kering yang dinyatakan dengan istilah “untuk
disuntikkan” yang telah ditambahkan pelarut yang sesuai berupa
larutan yang memenuhi syarat obat suntik.
3. Suspensi steril, berupa zat padat yang disuspensikan dalam
Pembawa yang sesuai, yang tidak boleh disuntikkan ke dalam
pembuluh darah atau ke dalam sumsum tulang belakang.
4. Zat padat kering, yang dinyatakan sebagai “steril” untuk
disuspensikan yang telah ditambahkan zat pembawa yang sesuai,
yang memberikan bahan-bahan yang memenuhi syarat untuk
suspensi steril.
5. Emulsi dari cairan dalam lengkungan cairan untuk disuntikkan.
(Pjide, hal 82)

Selain dari pada itu sediaan obat suntik dapat dibagi beberapa
kelompok, yaitu:
1. Larutan sejati dengan pembawa air, contohnya vitamin C
2. Larutan sejati dengan pembawa minyak,
contohnya Injeksi kamper.
3. Larutan sejati dengan pembawa campuran, contohnya
Injeksi Phenobarbital.
4. Suspensi steril dengan pembawa air, contohnya Injeksi
Calciferol.
5. Suspensi steril dengan pembawa minyak, contohnya
Injeksi bismuth subsalisilat.
6. Emulsi steril, contohnya Infus Ivelip 20%.
7. Serbuk kering dilarutkan dengan air.

Rute Pemberian Sediaan Injeksi


1. Intrakutan (i.k/i.c) atau intradermal = Dimasukkan ke dalam kulit
yang sebenarnya, digunakan untuk diagnosis. Volume yang
disuntikkan antara 0,1-0,2 ml, berupa larutan atau suspensi dalam
air.
2. Injeksi subkutan (s.k/s.c) atau hipodermik = Disuntukkan ke
dalam jaringan di bawah kulit ke dalam alveolus, volume yang
disuntikkan tidak lebih dari 1 ml. Umumnya larutan bersifat
isotonis, pH netral, dan bersifat depo (absorpsinya lambat). Dapat
diberikan dalam jumlah besar (volume 3-4 liter/hari dengan
penambahan enzim hialuronidase), jika pasien tesebut tidak dapat
menerima infus intravena.
3. Intramuskular (i.m) = Disuntikkan ke dalam atau di antara lapisan
jaringan atau otot. Injeksi dalam bentuk larutan, suspensi, atau
emulsi dapat diberikan dengan cara ini. Yang berupa larutan dapat
diserap cepat, yang berupa emulsi atau suspensi diserap lambat.
Volume penyuntikan antara 4-20 ml, disuntikkan perlahan-lahan
untuk mencegah rasa sakit.
4. Intravena (i.v) = Disuntikkan langsung ke dalam pembuluh darah
vena. Bentuknya berupa larutan, sedangkan bentuk suspensi atau
emulsi tidak boleh diberikan melalui rute ini, sebab akan
menyumbat pembuluh darah vena yang bersangkutan. Injeksi
dibuat isotonis, tetapi ika terpaksa dapat sedikit hipertonis
(disuntikkan secara lambat atau perlahan-lahan dan tidak
memengaruhi sel darah); volume antara 1-10 ml. Injeksi intravena
yang dberikan dalam dosis tunggal dengan volume lebih dari 10
ml disebut “infus intravena/infus/infundabilia”. Infus harus bebas
pirogen, tidak boleh mengandung bakterisida, jernih, dan isotonis.
Injeksi i.v dengan volume 15 ml atau lebih tidak boleh
mengandung bakterisida. Injeksi i.v dengan volume 10 ml atau
lebih harus bebas pirogen.
5. Intraarterium (i.a) = Disuntikkan langsung ke dalam pembuluh
darah arteri/ perifer/ tepi, volume antara 1-10 ml, tidak boleh
mengandung bakterisida.
6. Intrakordal/intrakardiak (i.kd) = Disuntikkan langsung ke dalam
otot jantung atau ventrikel, tidak boleh mengandung bakterisida,
disuntikkan hanya dalam keadaan gawat.= Intratekal (i.t),
intraspinal, intrasisternal (i.s), intradural (i.d), subaraknoid
Disuntikkan langsung ke dalam saluran sumsum tulang belakang
didasar otak (antara 3-4 atau 5-6 lumbar vertebrata) tempat
terdapatnya cairan cerebrospinal. Larutan harus isotonis karena
sirkulasi cairan serebrospinal lambat, meskipun larutan anestetik
untuk sumsum tulang belakang sering hipertonis. Jaringan saraf di
daerah anatomi ini sangat peka.
7. Intraartikular = Disuntikkan ke dalam cairan sendi di dalam
rongga sendi. Bentuknya suspensi atau larutan dalam air.
8. Subkonjungtiva = Disuntikkan ke dalam selaput lendir di bawah
mata. Berupa suspensi atau larutan, tidak lebih dari 1 ml.
9. Intrabursa = Disuntikkan ke dalam bursa subcromillis atau bursa
olecranon dalam bentuk larutan suspensi dalam air.
10. Intraperitoneal (i.p) = Disuntikkan langsung ke dalam rongga
perut. Penyerapan berlangsung cepat, namun bahaya infeksi besar.
11. Peridural (p.d), ekstradural, epidural = Disuntikkan ke dalam
ruang epidural, terletak di atas durameter, lapisan penutup terluar
dari otak dan sumsum tulang belakang. (Syamsuni, 2007: 196-
198)

Keuntungan dan Kerugian Sediaan Injeksi


1. Keuntungan :
a) Bekerja cepat, misalnya injeksi adrenalin pada syok
anafilaktik.
b) Dapat digunakan untuk obat yang rusak jika terkena cairan
lambung, merangsang jika masuk ke cairan lambung atau
tidak diabsorpsi baik oleh cairan lambung.
c) Kemurnian dan takaran zat khasiat lebih terjamin.
2. Kerugian :
a) Karena bekerja cepat, jika teadi kekeliruan sukar dilakukan
pencegahan.
b) Cara pemberian lebih sukar, harus memakai tenaga khusus.
c) Kemungkinan terjadinya infeksi pada bekas suntikan.
d) Secara ekonomis lebih mahal dibandingkan dengan sediaan
yang digunakan per oral. (Syamsuni, 2007 : 228)

III. Preformulasi Zat Aktif

Pemerian Serbuk hablur, kuning atau jingga kekuningan, tidak berbau


Kelarutan Sangat sukar larut dalam air, praktis tidak larut dalam etanol (95%) P,
dalam Kloroform P, dalam eter P, dalam aseton P, dan dalam benzene P.
mudah larut dalam asam klorida encer P panas dan dalam H2SO4 P,
larutan berwarna kuning sangat pucat, mudah larut dalam larutan NaOH
encer dan dalam larutan Na2CO3 encer.
Stabilitas
 Panas
 Hidrolisis
 Cahaya Dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya
 pH 8-11
Kesimpulan :
Bentuk zat aktif yang digunakan : serbuk
Bentuk sediaan : injeksi intra muskular
Cara sterilisasi sediaan : autoclaf
Kemasan : vial

IV. Preformulasi Zat Tambahan


 Natrii Chloridum

Pemerian Hablur heksahedral tidak berwarna atau serbuk hablur putih, tidak berbau,
rasa asin
Kelarutan Larut dalam 2,8 bagian air, dalam 2,7 bagian air mendidih dan dalam
kurang lebih 10 bagian gliserol P, sukar larut dalam etanol (95%) P
Stabilitas
 Panas 14390C
 Hidrolisis
 Cahaya Wadah tertutup rapat, sejuk dan kering
 pH 6,7-7,3 (Martindale 28 hal:672)
Kesimpulan :
Bentuk zat aktif yang digunakan : serbuk
Bentuk sediaan : injeksi intra muskular
Cara sterilisasi sediaan : autoclaf
Kemasan : vial
 Dinatrii Edetas

Pemerian Serbuk hablur, putih tidak berbau rasa agak asam


Kelarutan Larut dalam 11 bagian air, sukar larut dalam etanol 95%. Praktis tidak
larut dalam kloroform dan dalam eter
Stabilitas
 Panas
 Hidrolisis
 Cahaya
 pH 4,3-4,7
Kesimpulan :
Bentuk zat aktif yang digunakan : serbuk
Bentuk sediaan : injeksi intra muscular
Cara sterilisasi sediaan : autoclaf
Kemasan : vial

 Natrii Hydroxidum

Pemerian Bentuk batang, butiran, masa hablur / keeping, kering, keras rapuh dan
menunjukkan susunan hablur putih, mudah meleleh basah, sangat alkalis
dan korosif. Segera menyerap CO2
Kelarutan Sangat mudah larut dalam air dan dalam etanol P (95%)
Stabilitas
 Panas 13900C
 Hidrolisis
 Cahaya
 pH
Kesimpulan :
Bentuk zat aktif yang digunakan : serbuk
Bentuk sediaan : injeksi inta muscular
Cara sterilisasi sediaan : autoclaf
Kemasan : vial

 Aqua Pro Injeksi

Pemerian Keasaman-kebasaan ; ammonium ; besi ; tembaga ; timbal ; kalsium ;


klorida ; nitrat ; sulfat ; zat teroksidasi memenuhi syarat yang tertera pada
aqua destilata
Kelarutan
Stabilitas
 Panas
 Hidrolisis
 Cahaya Air stabil dalam setiap keadaan (es, cairan, uap panas). Harus disimpan
dalam wadah yang sesuai
 pH
Kesimpulan :
Bentuk zat aktif yang digunakan : serbuk
Bentuk sediaan : injeksi intra muscular
Cara sterilisasi sediaan : autoclaf
Kemasan : vial

V. Perhitungan Tonisitas

ZAT ∆𝑡𝑏 C
Natrium Folat 0,069 0,526
Dinatri Edetas 0,132 0,05

 C Natrium Folat diperoleh dari


𝐵𝑀 𝑁𝑎 𝐹𝑜𝑙𝑎𝑡
C = x C asam Folat (%)
𝐵𝑀 𝐴𝑠𝑎𝑚 𝐹𝑜𝑙𝑎𝑡
464,4
C= x 0,5
441,4

C = 0,526%

 Tonisitas Na Folat
0,52−(∆𝑇𝑏.𝐶)
W=
0,576
0,52−{(0,069 .0,526)+(0,132.0,05)}
W=
0,576
0,477
W = 0,576
W = 0,828% -------------------------------------- (Hipotonis)

Untuk membuat supaya larutan tersebut isotonis, maka perlu


ditambahkan NaCl

VI. Sterilisasi
Alat Sterilisasi Waktu Keterangan
Beaker glas Autoclav (115 - 116°C) 30 menit Terlaksana
Corong Autoclav (115 - 116°C) 30 menit Terlaksana
Kaca arloji Autoclav (115 - 116°C) 30 menit Terlaksana
Spatel logam Api langsung 20 detik Terlaksana
Batang pengaduk Api langsung 20 detik Terlaksana
Vial Autoclav (115 - 116°C) 30 menit Terlaksana
Syringe - - Terlaksana
Gelas ukur Autoclav (115 - 116°C) 30 menit Terlaksana
Pipet tetes Autoclav (115 - 116°C) 30 menit Terlaksana
Erlenmayer Autoclav (115 - 116°C) 30 menit Terlaksana

VII. Perhitungan Penimbangan


1. perhitungan volume yang dibuat
Dibuat 9 Vial/10 ml + 2 vial untuk evaluasi/10 ml = total 11
vial/10ml
- Jumlah yang dibuat
11 vial x 10 ml = 110 ml
- Kelebihan untuk volume 10 ml, ditambahkan 0,5 ml
0,5 ml x 11 vial = 5,5 ml
Total = 110 ml + 5,5 ml = 115,5 ml
- Antisipasi kehilangan, dilebihkan 10% dari total
10% x 115,5 ml = 11,55 ml
Jadi, volume yang dibuat adalah 115,5 ml + 11,55 ml =
127,05 ml
2. Perhitungan penimbangan zat aktif
0,5% x 127,05 ml = 0,63525 gram

3. Perhitungan penimbangan zat tambahan


- Natrii Chloridum
0,8283% x 127,05 ml = 1,0523 gram

- Dinatri Edetas
0,05% x 127,05 = 0,0635 gram

4. Perhitungan penimbangan pembuatan NaOH 0,1 N


gram = N X BE X V
= 0,1 x 40 x 0,5
= 2 gram

VIII. Penimbangan
Volume
Bahan Satuan dasar Keterangan
produksi
10 ml 127,05 ml Terlaksana
Asam Folat 50 mg 0,63525 gram Terlaksana
NaCl 82,83 mg 1,0523 gram Terlaksana
Dinatri Edetas 5 mg 0,0635 gram Terlaksana
NaoH 2 gram Terlaksana
IX. Prosedur kerja

No Prosedur/pengolahan
1. Didihkan 100 ml aquapro injeksi dalam beaker glass selama 10
menit
2. Suspensikan asam folat dengan sebagian a.p.i (m)
3. Tambahkan larutan NaOH 0,1N kedalam suspense (m1) sampai
larut, diperlukan 35ml (m2)
4. Larutkan kedua Nacl dalam segelas a.p.i (m3)
5. Kedua campuran tersebut dicampurkan (m2 dan m3)
6. Tambahkan laritan dinastrii edetas (cek pH 9)
7. Larutan ditambahkan a.p.i ad 127,05 Ml
8. Larutan disaring dan filtrate pertama dibuang
9. Larutan kemudian dimauskan kedalam vial @ 10,5 ml
10. Sterilasasi dalam autoklap 115-116℃ selama 30 menit

X. Hasil Pengamatan Dan Evaluasi

No Jenis evaluasi Hasil pengamatan

1 Penampilan fisik wadah Baik

2 Kejernihan Jernih,terdapat sedikit partikel

3 Keseragaman volume 10.5 ml

4 pH 9

XI. Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan pembuatan sediaan steril, sediaan
steril ini merupakan sediaan yang bebas pirogen dan juga mikroorganisme.
Sediaan steril terdiri dari volume besar dan volume kecil, contoh sediaan steril
volume besar yaitu infus, pada sediaan infus ini tidak boleh sama sekali
terdapat pirogen. Untuk contoh sediaan steril dengan volume kecil yaitu injeksi.
Dimana pada praktikum kali ini membuat sediaan steril dengan volume kecil
yaiut injeksi asam folat.
Sebelum memulai praktikum, dilakukan perhitungan tonisitas terlebih
dahulu yang berdasarkan kepada metode penurunan titik beku. Perhitungan
tonisitas ini bertujuan agar larutan obat atau injeksi memiliki tonisitas yang
sama dengan tonisitas cairan tubuh kita diantaranya yaitu darah atau bersifat
isotonis. Dari hasil perhitungan tonisitas diperoleh hasil sebesar 0,828% yang
menunjukkan bahwa sediaan injeksi ini merupakan sediaan hipotonis. Akan
tetapi menurut ketentuan yang berlaku, sediaan hipotonis tidak diizinkan dalam
pembuatan sediaan injeksi karena akan mengakibatkan sel darah merah menjadi
lisis atau pecah dan hal ini akan sangat berbahaya bagi penggunanya. Oleh
karena itu diperlukan penambahan NaCl yang bertujuan agar sediaan ini dapat
mencapai keadaan isotonis.
Pada awalnya semua bahan ditimbang, yakni asam folat sebanyak 50
mg, dinatrii edetas 5 mg dan NaCl sebanyak 82,83 mg. Kemudian dididihkan
aqua pro injeksi (a.p.i) dalam beaker glass selama 10 menit. Aqua pro injeksi
merupakan air untuk injeksi yang disterilisasi dan di kemas dengan cara yang
sesuai, tidak mengandung bahan antimikroba atau bahan tambahan lainnya.
Aqua pro injeksi harus di panaskan terlebih dahulu agar terbebas dari CO2,
karena CO2 dalam suatu sediaan dapat bereaksi dengan salah satu zat dan dapat
membentuk endapan. Sedangkan salah satu syarat sediaan injeksi adalah jernih,
maka dari itu aqua pro injeksi yang digunakan haruslah terbebas dari CO2.
Kemudian asam folat yang telah ditimbang selanjutnya disuspensikan dalam
sebagian aqua pro injeksi. Lalu diteteskan larutan NaOH kedalam suspensi
asam folat sampai asam folat terlihat melarut dan terlihat jernih. NaOH yang
digunakan pada saat praktikum sebanyak 30 ml. Penambahan NaOH ini
tujuannya untuk melarutkan asam folat karena akan terbentuk garam dari asam
folat yaitu natrium folat yang lebih mudah larut dalam air. Penambahan larutan
NaOH ini perlu dilakukan karena syarat dari larutan steril ini adalah semua
komponen harus larut dalam air sedangkan asam folat tidak larut dalam air
sehingga perlu dilakukan reaksi penggaraman untuk meningkatkan
kelarutannya.
Kemudian tahap selanjutnya pada wadah terpisah, NaCl dilarutkan
dalam sebagian aqua pro injeksi. Ditambahkan larutan NaCl yang berfungsi
sebagai larutan pengisotonis. Isotonis adalah kondisi dimana suatu larutan
konsentrasinya sama besar dengan konsentrasi dalam sel darah merah sehingga
tidak akan terjadi pertukaran cairan diantara keduanya. Oleh karena itu
dilakukan penambahan NaCl sebanyak 0,828% untuk mencapai nilai isotonis.
Lalu kedua larutan tersebut dicampurkan. Kedalamnya ditambahkan larutan
dinatrii edetas atau EDTA. Digunakan EDTA sebagai pengkelat untuk
mengikat ion logam-logam yang berasal dari wadah gelas, selain itu wadah
gelas berkapur dapat membebaskanlogam yang dapat mengkatalisis hidrolisis
zat aktif menjadi tidak stabil, oleh karena itu ditambahkan dinatrii edetas pada
sediaan injeksi asam folat ini.
Larutan tercampur tersebut ditambahkan dengan aqua pro injeksi
sampai tanda batas 10 ml untuk kemudian disaring. Proses penyaringan ini
berfungsi untuk mensterilkan larutan dari mikroba karena mikroba yang
terdapat dalam larutan akan tertahan pada filter sehingga tidak ikut terbawa.
Dari larutan jernih yang didapat, maka dimasukkanlah ke dalam 11 vial
dengan masing-masing volume 10.5 ml. Pengisian vial dilebihkan sebanyak 2
vial dimaksudkan untuk evaluasi sediaan. Selanjutnya adalah proses penutupan
dari vial dengan pengepresan bagian tutup vial.
Kemudian sediaan injeksi asam folat ini disterilkan dengan
menggunakan autoklaf dengan suhu 121ºC selama 15 menit. Proses sterilisasi
ini dilakukan untuk membunuh mikroba yang tidak tersaring dan masih
terdapat pada sediaan sehingga diperoleh sediaan yang steril. Pada proses
sterilisasi ini juga dapat terlihat apabila ada vial yang bocor maka isi dari vial
tersebut akan meyusut (menguap). Dari hasil sterilisasi ini didapatkan bahwa
dari 11 vial yang ada, tidak ada satupun yang bocor.
Dilakukan Evaluasi, pengevaluasian yang pertama evaluasi adalah
organoleptik warna kuning jernih, kemudian evaluasi kejernihan. Evaluasi
kejernihan yaitu dengan melihat apakah sediaan yang dibuat benar-benar jernih
atau masih ada partikel-pasrtikel zat yang belum homogen. Dari hasil evaluasi
kejernihan ini adalah semua larutan dalam vial memiliki kejernihan yang baik
namun masih terdapat sedikit partikel hal ini disebabkan karena pada proses
pembuatan sediaan mungkin terkontaminasi partikulat yang berada di udara
sehingga injeksi asm folat yang didapatkan masih terdapat partikulat.
Selanjutnya dilakukan evaluasi keseragaman volume akan tetapi hanya
menggunakan indra penglihatan saja. Dari sediaan yang telah dibuat, dapat
dilihat bahwa volume masing-masing ampul adalah seragam. Dilakukan juga
evaluasi sediaan yaitu volume terpindahkan dimana dengan cara memindahkan
sediaan kedalam gelas ukur dan diukur volumenya yang menunjukkan volume
yang terdapat dalam vial tersebut yaitu sebesar 10.5 mL, dan yang terakhir
dilakukan evaluasi pengecekan pH dengan cara diukur dengan menggunakan
pH indikator yang menghasilkan nilai pH 9 yaitu bersifat basa.

XII. Kesimpulan

Dalam pembuatan sediaan steril injeksi asam folat yaitu didapatkan


konsentrasi yang hipotonis dimana hal ini tidak memenuhi persyaratan karena
persayaratan untuk sediaan steril salah satunyayaitu harus isotonis. Maka dari
itu dilakukan penambahan Natrium clhorida untuk menjadika sediaan menjadi
isotonis.

Dari hasil evaluasi yang dilakukan yaitu diantaranya ujikebocoran, uji


kejernihan, pH, volume terpindahkan yang menunjukkan hasil pada sediaan
injeksi asam folat tidak terdapat kemasan yang bocor, dilhat dari kejernihannya
sediaan jernih tetapi masih terdapat partikulat hal ini dapat disebabkan karena
terkontaminasi partikulat yang berada di udara sehingga terdapat partikulat di
sediaa injeksinya, untuk nilai pH yaitu bersifat basa dengan pH 9.
XIII. Daftar Pustaka

Anief, M., 2006, Ilmu Meracik Obat, Gadjah Mada University


Press, Yogyakarta
Anief, M., (1986), Ilmu Farmasi, Jakarta, Ghalia Indonesia, hal.
61-63
Ansel, H.C., 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi,
diterjemahkan oleh Farida Ibrahim, Asmanizar, Iis Aisyah, Edisi keempat,
255-271, 607-608, 700, Jakarta, UI Press.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.1995.Farmakope
Indonesia edisi IV. Jakarta;Depkes RI
Hadioetomo, R. S., 1985, Mikrobiologi Dasar dalam Praktek, PT.
Gramedia, Jakarta.
Priyambodo, B., 2007, Manajemen Farmasi Industri, Global
Pustaka Utama, Yogyakarta.
Syamsuni, H.A. (2007). Ilmu Resep, Kedokteran EGC, Jakarta.

XIV. Lampiran
Dokumentasi Keterangan
Sterilisasi alat
Penimbangan dinitri edetas

Penimbangan Nacl

Penimbangan asam folat

Pelarutan zat aktif asam folat

Penambahan larutan Nacl


Penyaringan dan proses
pengemasan

Hasil pengemasan kemudian


disterilisasi

Evaluasi sediaan steril

Kemasan produk

Anda mungkin juga menyukai